• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

A. Struktur Ruang Kawasan Bandung Utara (KBU)

1. Hirarki Perkotaan di KBU

Akibat kedekatannya dengan Kota Bandung yang berdasarkan Pola Dasar Pengembangan Jawa Barat dan Rencana Tata Ruang Propinsi Jawa Barat 2010 ditetapkan sebagai salah satu Pusat Pertumbuhan Utama yang jangkauan pelayanannya mencakup skala nasional, maka KBU merupakan kawasan lindung yang sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah. Sebagai bagian dari pusat satuan wilayah pengembangan (SWP) Bandung, maka secara lokal, wilayah KBU tersusun atas kota-kota dengan hirarki yang berorientasi pada hirarki tertinggi (orde pertama) yakni Kota Bandung, dengan hirarki yang lebih rendah yakni sebagai pusat pelayanan skala lokal. Meskipun dalam arahan kebijakan Pemerintah Jawa Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 bahwa penentuan pusat pertumbuhan wilayah ini selain didasarkan pada kecenderungan kegiatan sosial ekonomi, juga mempertimbangkan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan pada wilayah pusat pertumbuhan tersebut, namun Kota Bandung sebagai kota orde pertama memiliki pengaruh seluas SWP, sehingga tidak terhindarkan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan di KBU.

Sebenarnya hal ini telah disadari oleh perencana Kota Bandung sejak Zaman kolonial Hindia Belanda, sehingga Kota Bandung yang lahir pada tahun 1906 pada masa Pemerintah Hindia Belanda bukan dibangun sebagai pusat kegiatan ekonomi tetapi dirancang sebagai tempat permukiman dan peristirahatan (buitenzorg) kaum kolonial dengan menggunakan konsep “Garden City”. Konsep ini pertama kali diformulasikan oleh Ebenezer Howard yang kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten dalam mendesain Kota Bandung. Konsep “Garden City” tersebut memiliki karakteristik utama (BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998b, hal. I-2) yaitu kontrol terhadap seluruh pemilikan lahan, desain yang seksama terhadap keseluruhan

(2)

kota dan tersedianya lahan-lahan pertanian permanen di sekeliling kota sebagai penyangga (green belt).

Berdasarkan kosep “garden city” ini, maka keberadaan lahan pertanian yang ada di KBU semestinya mendapat dukungan dari berbagai lembaga, guna keberlanjutan Kota Bandung itu sendiri. Akan tetapi dengan perkembangan kebijaksanaan seperti di atas dan perkembangan penduduk berdampak pada pertumbuhan kota sejak berdirinya. Menurut BAPPEDA Tk I Provinsi Jawa Barat (1998b, hal. I-4), Kota Bandung telah beberapa kali mengalami perluasan wilayah dan terakhir kali diperluas pada tahun 1987 melalui Peraturan Pemerintah Propinsi Jawa Barat No. 16/1987 menjadi 17.000 ha. Selanjutnya dikatakan bahwa kecenderungan yang terjadi di KBU pada mulanya diawali oleh pembangunan hotel-restoran Bumi Sangkuriang serta perluasan lingkungan kampus ITB yang diikuti oleh perkembangan kawasan-kawasan permukiman berskala besar serta fasilitas perkotaan lainnya yang berlangsung dengan cepat sehingga sukar dikendalikan. Wilayah Kota Bandung yang termasuk KBU telah tumbuh menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Di pihak lain Pemerintah Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi (setelah pisah dari Kabupaten Bandung), juga memberlakukan wilayahnya di KBU sebagai pusat-pusat kegiatan ekonomi. Berdasarkan hal itu, maka pertimbangan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan pada wilayah pusat pertumbuhan sebagai kebijakan Pemerintah Propinsi Jawa Barat diindikasikan telah diabaikan.

Berdasarkan kebijaksanaan Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, atas dasar simpul-simpul pertumbuhan dengan pendekatan kependudukan dan kegiatannya, telah di wilayah KBU telah ditetapkan pusat-pusat pertumbuhan berikut (BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a, hal. IV-17):

1. Berdasarkan RUTR Kota Bandung, pusat sekunder di wilayah yang termasuk KBU, ditetapkan (1) Kelurahan Sarijadi (Kecamatan Sukasari) dan (2) Kelurahan Sadangserang (Kecamatan Coblong)

2. Berdasarkan RUTRD Kabupaten Bandung (sebelum dipecah menjadi Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat), telah ditetapkan orde sistem kota-kota yang termasuk KBU berikut:

(3)

- Orde I - 0 yang dirancang memiliki kemiripan dengan kota Bandung, untuk Kecamatan Cimahi Tengah, Cimahi Utara, Parongpong dan Kecamatan Cileunyi.

- Orde II - B, meliputi Kecamatan Padalarang - Orde III - A, meliputi Kecamatan Lembang

- Orde III – B, meliputi kecamatan Cikalong Wetan, Cisarua dan Ngamprah. Secara lebih rinci terkait dengan skala pelayanan dan fungsi kota dari masing-masing tingkat hirarki kota tersebut dapat dilihat pada Tabel 25 dan hirarki kota-kota yang ada di KBU, dapat digambarkan secara skematis seperti pada Gambar 17.

Tabel 25. Hirarki Struktur Kota Kabupaten Bandung Di Wilayah KBU Berdasarkan RUTR Kab. Bandung

Hirarki Kota

Skala

pelayanan Nama Kota

Fungsi Kota

Keterangan A B C D

Orde I-0 Lokal Cileunyi * * * * Limpahan peralihan sebagian Kota Bandung Kecamatan Parongpong * * Cimahi Utara * * Lokal Cimahi Tengah * *

Orde II-B Lokal Padalarang * * * * Membantu pelayanan Kota Soreang (Ibu Kota Kab. Bandung)

Orde III-A Lokal Lembang * * + * Kota yang diprioritaskan pertumbuhannya berkembang pesat, sehingga dapat berfungsi sebagai “Vounter Magnet” Orde III-B Lokal Cikalong

Wetan

* * + * Pusat pelayanan Cisarua * * + *

Ngamprah * * * Keterangan:

A : Pusat pelayahan wilayah belakang (hinterland service)

B : Pusat komunikasi antar wilayah (inter regional communication) C : Pusat kegiatan industri (good processing/manufacturing)

- Untuk Kecamatan Cikalong Wetan, Cisarua dan Lembang dikembangkan “agroindstri” dan “home industry” penunjang parawisata

D : Pusat permukiman (residental subcentre) E : Ibu Kota Kab. Pembantu

* : Peningkatan fungsi yang sudah ada + : Pengembangan fungsi baru

(4)

Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a

Gambar 17. Hirarki kota-kota yang ada di KBU Berdasarkan Kebijaksanaan Pemerintah Kota Bandung (1993) dan Kab. Bandung (1992)

Namun Bappeda Tk I Provinsi Jawa Barat (1998a) memandang pusat-pusat kota tersebut perlu penyesuaian lagi, terutama terhadap kota-kota yang difungsikan sebagai kawasan konservasi (kawasan lindung) agar perkembanganya tidak semakin meluas dan mengganggu fungsi lindung KBU. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, kemudian Bappeda Tk I Propinsi Jawa Barat pada tahun 1998 menetapkan struktur tata ruang KBU yang dibentuk berdasarkan simpul-simpul pertumbuhan dengan pendekatan kependudukan dan kegiatan yang ada, yang secara skematis terlihat seperti pada Gambar 18.

Ada beberapa alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat dalam menetapkan hirarki kota-kota di KBU, seperti disajikan pada tabel berikut:

III-A Ngamprah Kota Bandung III-B III-B III-B II-B I-0 I Cikalong Wetan

Padalarang Cimahi Cileunyi

Cisarua

Parongpong

Lembang

I-0

(5)

Tabel 26. Alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat Dalam Menentapkan Hirarki Kota-Kota di KBU

No. Kota Kecamatan

Penetapan Hirarki

Kota Alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat

(1) (2) (3) (4)

1. Kota Kecamatan Padalarang

Peningkatan dari kota orde II-B menjadi orde I - 0

Tingginya investasi di sektor perumahan dan adanya keinginan pemerintah untuk menjadikan Kota Padalarang sebagai daerah perkotaan dengan otonomi sendiri, maka diperkirakan akan

berkembang pesat. Untuk itu Kota Padalarang ini ditetapkan sebagai kota penyangga yang

mempunyai kemiripan dengan Kota Bandung. 2. Kota

Kecamatan Cikalong Wetan

Peningkatan dari kota orde III-B mejadi orde III-A

Mempunyai kecenderungan untuk berkembang akibat adanya kegiatan perkebunan dan adanya akses Padalarang – Purwakarta, sehingga untuk mengantisipasi perkembangan kegiatan perkotaan di Kota Kecamatan Cikalong Wetan tanpa membahayakan fungsi kawasan konservasi yang ada.

3. Kota Kecamatan Cisarua

Peningkatan dari kota orde III-B mejadi orde II-B

Mengalami tingkat pertumbuhan yang cukup pesat sebagai akibat adanya pembangunan permukiman oleh para developer dan berfungsi sebagai pusat pelayanan jalur distribusi dan koleksi hasil-hasil pertanian bagi daerah

sekitarnya dan sebagai pusat pelayanan beberapa kecamatan yang ada di sekitarnya dengan tingkat pertumbuhan sedang. 4. Kota Kecamatan Parongpong Penurunan dari orde kota I – 0 menjadi III – A

Semula ditetapkan sebagai penyangga yang memiliki kemiripan dengan Kota Bandung, namun untuk menghindari perkembangan kota meluas hingga ke kawasan konsevasi sehingga perlu diturunkan fungsinya hanya sebagai pusat pelayanan lokal dengan pertumbuhan cepat 5. Kota

Kecamatan Lembang

Peningkatan dari orde kota III-A menjadi II-B

Mengalami tingkat pertumbuhan yag cukup pesat dan berfungsi sebagai pusat pelayanan, yaitu sebagai pusat koleksi dan distribusi hasil-hasil pertanian bagi kota-kota kecamatan yang ada di sekitarnya, sehingga fungsinya perlu dinaikan menjadi pusar pelayanan kota-kota kecamatan yang ada di sekitarnya, dengan tingkat pertumbuhan sedang.

(6)

Tabel 26 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) 6. Kota Kecamatan Cimenyan Tidak dikategorikan ditetapkan menjadi Kota Orde III-B

Lokasinya berdekatan dengan kawasan lindung dimana pada RUTRD Kabupaten Bandung tidak dikategorikan dalam hirarki kota, tapi dalam kenyataannya mempunyai kegiatan utama di bidang pertanian, yaitu dalam melayani kegiatan yang mendukung pertanian dengan skala pelayanan lokal dengan tingkat pertumbuhan sedang. 7. Kota Kecamatan Cilengkrang Tidak dikategorikan ditetapkan menjadi Kota Orde III-B

Wilayahnya berdekatan dengan Kecamatan Cileunyi dan Cibiru (Kota Bandung), dimana pada RUTRD Kabupaten Bandung tidak dikategorikan dalam hirarki kota, tapi dalam kenyataannya ada aktivitas pertanian yang dilayani, dengan skala pelayanan lokal dengan tingkat pertumbuhan sedang dan perkembangannya dibatasi pada kegiatan yang mendukung pertanian Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a

Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a

Gambar 18. Hirarki kota-kota yang ada di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Kebijaksanaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat (1998)

Kota Bandung Cimenyan I-0 III-A Ngamprah III-A III-B II-B I-0 I Cikalong Wetan Padalarang Cimahi Cileunyi Cisarua Parongpong Lembang I-0 III-A III-B III-B Cilengkrang

(7)

Perbedaan di atas, dapat juga dipandang sebagai bentuk perkembangan, dimana pada saat penyusunan RUTRD Kabupaten Bandung pada tahun 1992 dan RTRW Kota Bandung tahun 1993 masih teridentifikasi 9 pusat pertumbuhan, kemudian pada tahun 1998 saat menyusun Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Bandung Utara telah teridentifikasi 11 pusat pertumbuhan.

Dengan telah ditetapkannya kebijakan tersebut, ditinjau dari penggunaan lahan berdampak pada perkembangan fisik wilayah KBU cukup pesat, hal ini dapat dilihat dari banyaknya kompleks perumahan (real estate) dan berkembangnya sarana dan prasarana wisata. Menurut Bappeda Propinsi Jawa Barat (1998) perkembangan fisik tersebut ditunjang oleh adanya penguasaan tanah yang relatif mudah, pemandangan yang cukup indah, dan berbagai aspek lainnya yang mendorong berkembangnya KBU.

Dilihat dari kegiatan perkotaan, wilayah perencanaan merupaan kawasan permukiman dengan kegiatan penunjang seperti perdagangan, pendidikan, pemerintahan, jasa dan kegiatan lainnya. Menurut Sinulingga (2005), fasilitas pelayanan, jangkauan pelayanan, jumlah penduduk, infrastrutur dan jenis kegiatan ekonomi merupakan dasar dalam penetapan hirarki kota dalam satu SWP.

Dalam perkembangannya, pusat-pusat pertumbuhan yang telah diidentifikasi pada tahun 1992 dan 1998 di atas, pada saat sekarang telah mengalami perkembangan yang berbeda kaitannya dengan fungsinya sebagai pusat pelayanan. Pusat-pusat pelayanan yang ada di KBU pada saat sekarang dapat diuraikan sebagai berikut.

(8)

Tabel 27. Orde Kota di KBU Berdasarkan Perkembangan Fasilitas Pelayanan dan Infrastruktur

Nama Kota Kedudukan Jangkauan Pelayahan

Kepadatan penduduk per ha

Fasilitas Pelayanan Infra-struktur Kegiatan Hirarki Kota

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

Lembang Pusat pelayanan sosial ekonomi, pemerintahan dan pelayanan umum Luas mencakup Nasional

11 jiwa  Peguruan Tinggi: KOWAD, Sespim POLRI, SESKO-AU, DODIK  Pusat Penelitian Pertanian;  Pusat per-dagangan  Hotel penunjang pariwisata Jaringan jalan kolektor primer (Subang – Bandung)  Industri besar (15);  industri sedang (2) Orde-II Cimahi (Cimahi Tengah, Cimahi Utara) Pusat pelayanan sosisal- ekonomi, ibu kota Kota Cimahi dan pusat pelayanan umum Luas mencakup nasional  Cimahi Tengah: 166 jiwa  Cimahi Utara: 97 jiwa  Pusat perdagang-an;  Rumah Sakit Umum (2)  RS Jiwa (1)

 Pusat Pe-merintahan dan Per-kantoran

 Komplek militer dan pusat pendidikan militer

Akses primer  Cimahi Teng: industri besar (16), idustri sedang (1)

 Cimahi Utara: Industri besar (36) Orde-II Kota Bandung (Sukajadi,S ukasari, Cidadap, Coblong ,Cicendo) Pelayanan subdistrik Luas mencakup nasional  Sukajadi (193),  Sukasari (119),  Cidadap (65),  Coblong (108),  Cicendo (166)  Pusat per-dagangan  PT: ITB, UNPAD, UPI,

NHI, STT Telkom, Politeknik ITB,

Politeknik Swiss, Univ. Maranatha,

 Rumah Sakit Umum (4 )  Rumah sakit spesial (3)

(9)

Tabel 27 (lanjutan)

Nama Kota Kedudukan Jangkauan Pelayahan

Kepadatan penduduk per ha

Fasilitas Pelayanan Infra-struktur Kegiatan Hirarki Kota (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Kota Bandung (Arcamanik , Cicadas dan Ujung Berung) Pusat pelayanan umum dan pemerintah kecamatan Lokal  Arcama-nik (70)  Cicadas (111)  Ujung Berung (93)  Pusat perdagang-an (2)  RS Umum (1)  Puskesmas (5)

 Terminal Bis Antar Kota dan Antar Prop

 Terminal Angkot

Akses primer  Arca-manik: idustri besar-sedang (16)  Cica-das: Industri besar- sedang (3)  Ujung Berung (23) Orde-II Kota Bandung (Cibiru); Kab. Bandung (Cileunyi) Pusat pelayanan umum dan pemerintah kecamatan Lokal  Cibiru (61)  Cileunyi (95)  SMA (4)  Pusat perdagang-an (1)  RS Umum (1)  Puskesmas (1)  Terminal Bis (1)  Terminal Angkot (1)  Pasar (1)

Akses primer  Cibiru: idustri besar-sedang (10)  Cileu-nyi: Industri besar (5) Orde-II Kota Bandung (Cibeu-nying Kaler dan Cibeu- nying Kidul) Pusat pelayanan umum dan pemerintah kecamatan Lokal  Cibeu-nying Kaler (154)  Cileunyi (307)  SMA (6)  Puskesmas (3)  Pasar (1)

Akses Primer Orde-III

Kab. Bandung (Ngamprah dan

Padalarang)

Ibu Kota Kab. Bandung Barat Lokal  Ngam-prah (29)  Pada-larang (24)  SMA (2)  Puskesmas (1)  Pasar (1)

Akses Primer  Ngam-prah: idustri besar (16)

(10)

Tabel 27 (lanjutan)

Nama Kota Kedudukan Jangkauan Pelayahan

Kepadatan penduduk per ha

Fasilitas Pelayanan Infra-struktur Kegiatan Hirarki Kota (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Kab. Bandung (Cisarua dan Parongpong ) Ibukota Kecamatan Lokal  Cisarua (12)  Parong-pong (21)  Perguruan Tinggi (5)  SMA (13)  RS Umum (1)  RS Jiwa (1)  Puskesmas (5) Akses sekunder dan Akses Tersier  Parong-pong: industri besar (1) Orde-III Kab. Bandung (Cilengkran g) Ibukota kecamatan

Lokal  11 jiwa  Perguruan Tinggi (1)  SMA ((2)

 Pasar (1)

Akses Tersier Order- III

Kab. Bandung (Cikalong Wetan) Ibukota Kecamatan

Lokal  6 jiwa  SMA (1)  Puskesmas (1)  Pasar (1)

Akses primer  Industri besar (4) Orde-IV

Kab. Bandung (Cimenyan)

Ibukota kecamatan

Lokal  41 jiwa)  SMA (14)  RS Umum (1)  Puskesmas (5)

Akses Tersier Orde- IV

(11)

Berdasarkan perkembangan faslitas pelayanan dan infrastruktu saat sekarang tersebut, secara skematis hirarki kota di KBU menjadi seperti tersaji pada Gambar 19.

Keterangan:

: Akses primer : Akses sekunder : Akses tersier

( ) : Kepadatan penduduk

(Gambar bersifat skematis, dan tidak skalamatik/proporsional) Sumber: Hasil Pengolahan

Gambar 19. Hirarki kota-kota yang ada di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan Perkembangan Fasilitas Pelayanan dan Infrastruktur

Melihat gambar tersebut, menunjukkan pada saat sekarang telah mengalami perkembangan beberapa pusat pertumbuhan yang diindikasikan pada tahun 1992 dan 1998, dan munculnya orde-orde kota baru yang merupakan ekses dari berkembangnya Kota Bandung menuju Kota Metropolitan. Di wilayah Kabupaten Bandung Barat yakni Kota Kecamatan Parongpong dan Kota Kecamatan Cisarua menuju penyatuan menjadi pusat pelayanan lokal yang melayani seluruh desa-desa yang ada di dua kecamatan tersebut, dengan fungsi primernya sebagai pusat pelayanan jalur distribusi dan koleksi hasil-hasil pertanian dengan akses tersier ke Kota Bandung dan Kota Cimahi tanpa melalui Lembang. Sementara fungsi

Sukasari (119) Cidadap (65) Sukajadi (193) Coblong (108) Cicendo (166) Cimenyan (41) Ngamprah (29) II II I Cikalong Wetan (6) Padalarang (24) Cimahi Tengah (166) Cimahi Utara (97) Cisarua (12) Parongpong (21) Lembang (11) Cilengkrang (11) II III III IV II III IV IV Cibeunying Kaler (154) Cibeunying Kidul (307) Arcamanik (170) Cicadas (111) Ujung Berung (93) Cibiru (61) Cileunyi (95)

(12)

sekundernya adalah sebagai pusat perguruan tinggi, pusat kesehatan jiwa, pusat pemerintahan kecamatan dan komplek militer.

Sementara Kota Kecamatan Lembang berkembang menjadi pusat pelayanan tersendiri dengan fungsi primernya adalah pusat koleksi dan distribusi hasil-hasil pertanian. Sedangkan fungsi sekundernya adalah pusat perdagangan, pusat perguruan tinggi dan pusat penelitian, daerah tujuan wisata dan pusat pemerintahan kecamatan dan perkantoran. Dengan lokasinya yang stretegis yang dilalui jaringan kolektor primer (Bandung-Lembang-Subang) dan dari macam kegiatannya yang cukup beragam, sehingga dapat dijadikan pusat pelayanan umum.

Sedangkan Kecamatan Ngamprah menuju penyatuan dengan Kecamatan Padalarang dengan akses tersier dan keduanya berhubungan dengan akses primer langsung ke Kota Cimahi. Penyatuan ini juga didorong oleh telah ditetapkannya Kecamatan Ngamprah sebagai ibukota Kabupaten Bandung Barat (pecahan dari Kabupaten Bandung Induk). Sementara itu Kecamatan Cikalong Wetan menjadi pusat pelayanan lokal dengan perkembangan yang dibatasi oleh kawasan lindung dan lahan perkebunan, sehingga memiliki hirarki yang rendah (orde-IV) dengan akses dibatasi ke Kota Padalarang.

Di Kota Cimahi, Kota Kecamatan Cimahi Tengah dan Kota Kecamatan Cimahi Utara menuju penyatuan menjadi pusat pelayanan umum terutama setelah menjadi Ibu Kota Cimahi, namun demikian tetap dipengaruhi oleh Kota Bandung dengan akses primer. Dilihat dari fungsi kegiatannya Kota Cimahi merupakan fungsi primer dalam peranannya sebagai pusat kegiatan perdagangan regional, pusat industri dan sebagainya. Kemudian kalau dilihat dari fungsi sekundernya dapat diidentifikasi sebagai lokasi perguruan tinggi, pusat kesehatan, pusat pemerintahan dan perkantoran, serta komplek militer.

Di Kota Bandung, beberapa pusat kota yaitu Kecamatan Sukasari, Cidadap, Sukajadi, Coblong dan Cicendo dengan pelayanan yang jumlah kondisi dan jenis kegiatannya dapat dikatakan merupakan pusat pelayanan subdistrik, karena dilihat dari jangkauan pelayanannya sudah cukup luas, termasuk salah satu orientasi orde kota lainnya. Sedangkan Kecamatan Arcamanik, Cicadas dan Ujung Berung memiliki

(13)

fungsi primer pusat perdagangan lokal dan menjadi orientasi orde kota lainnya yang lebih rendah. Sementara itu Kota Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul yang merupakan bagian Kota Bandung sebelah Utara, hanya digunakan sebagai pusat pelayanan lokal untuk penduduk di kelurahan yang ada di 2 kecamatan tersebut dan difokuskan sebagai pusat pelayanan lngkungan dengan bentuk peningkatan fungsi dan kondisi. Selanjutnya Kota Cibeunying Kaler dan Cibeunying Kidul menjadi orientasi Kota Cimenyan yang fungsi primernya adalah pusat pelayanan kegiatan pertanian.

Wilayah Kota Bandung bagian Timur yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung telah tumbuh menjadi satu kesatuan pusat kegiatan yakni Cibiru dan Cileunyi. Dengan letaknya yang strategis dengan akses jalan tol dan akses primer, kedua kota ini menjadi pusat perdagangan lokal dan menjadi orientasi kota orde lainnya yang lebih rendah yakni Kecamatan Cilengkrang yang berkembang sebagai pusat pelayanan kegiatan pertanian dengan skala pelayanan lokal.

2. Sistem Penggunaan Lahan Kota

a. Penetapan Zona Perkotaan dan Zona Perumahan

Untuk mengetahui kegiatan dominan di masing-masing pusat pertumbuhan dalam SWP Bandung secara lokal di wilayah KBU, maka diperlukan suatu analisis pergerakan orang dalam sistem transportasi. Elemen-elemen sistem transportasi yang terkait dalam penetapan zona perkotaan dan perumahan, meliputi:

(1) Pelaku perjalanan yang menyangkut perilaku, jumlah, fluktuasi perjalanan yang diakibatkan oleh aktivitas terhadap kegiatan ruang kota. Terkait dengan sistem penggunaan lahan, kajian tentang bangkitan perjalanan baik kondisi eksisting maupun tahun perencanaan dapat digunakan untuk menganalisis struktur ruang yang dibentuk, terutama dari sistem perumahan maupun perkotaan.

(2) Prasarana transportasi, baik berupa sistem jaringan jalan (road system), jaringan bebas hambatan (toll system), sistem jaringan kereta api dengan kajian secara menyeluruh, dan yang terkait. Terkait dengan sistem penggunaan lahan, kajian ini dapat digunakan untuk melihat penyebaran kegiatan perkotaan dan perumahan serta perubahannya.

(14)

(3) Sistem sarana transportasi, meliputi jenis moda, fasilitas pendukung diperlukan untuk menganalisis pergeseran permukiman dari pusat perkotaan ke luar kota berdasarkan tingkat kelajuan para pekerja.

(4) Manajemen tranportasi yang terkait dengan pengaturan terminal, rute angkutan umum, jenis moda angkutan umum, arah pergerakan kendaraan umum, pribadi dan barang; digunaan untuk menganalisis penyebaran aglomerasi penduduk/ permukiman.

Dalam kaitan dengan penetapan identifikasi pemanfaatan untuk kegiatan perkotaan (perkantoran, perdagangan, jasa, pendidikan dll) dan untuk kegiatan perumahan, akan digunakan analisis pola bangkitan perjalanan dan sistem jaringan jalan untuk wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Bandung yang masuk wilayah KBU.

Bangkitan dan Tarikan Pergerakan

Bangkitan pergerakan (trip generation) merupakan perkiraan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan yang dicirikan oleh jumlah arus lalu lintas, jenis lalulintas (pejalan kaki, truk, mobil) dan lalu lintas pada waktu tertentu (Tamin, 2000). Satuan jumlah dari jenis lalulintas disimbulkan SMP. Tingginya angka produksi perjalanan dibandingkan tarikan di suatu zona menandakan pemanfaatan lahan lebih dominan untuk kegiatan perumahan, sebaliknya angka tarikan perjalanan yang tinggi menunjukkan kegiatan perkotaan lebih dominan sehingga menarik perjalanan dari beberapa zona lainnya.

Analisis produksi dan tarikan secara internal/lokal untuk Kota Bandung dan Kabupaten Bandung menggunakan hasil analisis sekunder hasil penelitian LPM-ITB (1997) dan proyeksi dari Bappeda Prop. Jabar (1998), kemudian ditetapkan aktivitas tata guna lahannya seperti terlihat pada Tebel 28 dan Tabel 29.

Penggunaan angka relatif dalam penentuan tata guna lahan perumahan dan perkotaan secara internal/lokal, hanya menunjukkan aktivitas yang mendominasi pada tata guna lahan tersebut, artinya jika di suatu lokasi mempunyai dominasi aktivitas kegiatan perumahan bukan berarti bahwa di lokasi tersebut tidak terdapat kegiatan

(15)

perkotaan atau sebaliknya. Angka relatif tersebut digunakan untuk melihat perubahan penggunaan lahan secara internal. Untuk memberikan gambaran angka absolut bangkitan (asal) dan tarikan (tujuan) pada guna lahan perkotaan dan perumahan di Amerika Serikat dan Inggris seperti tersaji pada Tabel 30.

Tabel 28. Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Pada Wilayah Kota Bandung

No Zona/ Kota Kecamatan 1997 2010 Asal Tujuan Aktivitas Tata Guna Lahan Asal Tujuan Aktivitas Tata Guna Lahan 1 Isola 2748 2457 Perumahan 2880 3750 Perkotaan 2 Ledeng 2748 2457 Perumahan 2745 3560 Perkotaan 3 Ciumbuleuit 2256 2181 Perumahan 2478 3535 Perkotaan 4 Dago 5325 5439 Perkotaan 5715 11054 Perkotaan 5 Hegarmanah 1968 2181 Perkotaan 1874 3070 Perkotaan 6 Gegerkalong 2730 2355 Perumahan 2757 3548 Perkotaan 7 Sukarasa 2472 2529 Perkotaan 2975 4526 Perkotaan 8 Sarijadi 4368 4521 Perkotaan 5226 7947 Perkotaan 9 Sukawarna 5268 5409 Perkotaan 6456 13514 Perkotaan 10 Sukagalih 2559 6240 Perkotaan 3164 8047 Perkotaan 11 Cipedes 1959 2745 Perkotaan 1994 5808 Perkotaan 12 Sukaraja 7608 8028 Perkotaan 10248 15372 Perkotaan 13 Husein

Sastranegara

2604 2373 Perumahan 2311 3286 Perkotaan 14 Sukabungah 1677 1383 Perumahan 1707 2978 Perkotaan 15 Pasteur 2130 1644 Perumahan 1952 2708 Perkotaan 16 Cipaganti 2703 1686 Perumahan 2502 2782 Perkotaan 17 Lebaksiliwangi 4377 2337 Perumahan 3914 3875 Perumahan 18 Sekeloa 5526 5532 Perkotaan 6017 9086 Perkotaan 19 Lebakgede 4326 2262 Perumahan 3875 3714 Perumahan 20 Cigadung 4284 1872 Perumahan 4686 3024 Perumahan 21 Sadangserang 4257 1485 Perumahan 4668 2079 Perumahan 22 Sukaluyu 4341 2010 Perumahan 3927 3331 Perumahan 23 Neglasari 4341 1920 Perumahan 4155 3322 Perumahan 24 Sukapada 2460 3330 Perkotaan 2629 5295 Perkotaan 25 Pasirlayung 2295 3912 Perkotaan 2773 6833 Perkotaan 26 Padasuka 2448 3267 Perkotaan 2606 5091 Perkotaan 27 Cikutra 2460 3330 Perkotaan 2358 5863 Perkotaan 28 Cicadas 2430 5049 Perkotaan 2115 7921 Perkotaan 29 Ujungberung 5157 5769 Perkotaan 11268 10412 Perumahan 30 Cisurupan 4989 5820 Perkotaan 10461 8270 Perumahan 31 Cigending 4233 5427 Perkotaan 11382 6380 Perumahan 32 Pasirendah 2295 3912 Perkotaan 3122 7412 Perkotaan

Jumlah Asal & Tujuan 111342 110862 Perumahan 136940 187393 Perkotaan Jumlah Total Perjalanan 222204 324333

(16)

Tabel 29. Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Kab. Bandung (SMP/jam)

No Zona/Kecamatan

1997 2010

Asal Tujuan Aktivitas

Tata Guna Lahan Asal Tujuan

Aktivitas Tata Guna Lahan 1 Cikalong Wetan 1422 1443 Pasar 11841 5715 Perumahan 2 Padalarang 1290 1431 Perkotaan 14034 18224 Perkotaan 3 Ngamprah 1290 1431 Perkotaan 14034 4358 Perumahan 4 Cisarua 1359 1509 Pasar pertanian 33805 7040 Perumahan 5 Lembang 1359 1509 Pasar pertanian 19082 8786 Perumahan 6 Cimenyan 4923 4890 Pasar pertanian 8579 1940 Perumahan 7 Cilengkrang 4923 4890 Pasar pertanian 3125 3249 Pasar pertanian 8 Cileunyi 4287 4695 Perkotaan 19456 26707 Perkotaan 9 Parompong 1998 1899 Perumahan 12548 9497 Perumahan 10 Cimahi Tengah 8292 8508 Perkotaan 55793 84292 Perkotaan 11 Cimahi Utara 4503 4392 Perumahan 8774 8554 Perumahan Jumlah asal dan

tujuan 35646 36597 Pasar Pertanian 201071 178362 Perumahan Jumlah total

perjalanan 72243 379433

Sumber: BAPPEDA Tingkat I Propinsi Jawa Barat, 1998a dan Hasil Pengecekan

Tabel 30. Tarikan dan Bangkitan Aktivitas Guna Lahan di AS dan Inggris

Deskripsi aktivitas tata guna

lahan Tarikan pergerakan per ha

Bangkitan pergerakan per ha

Perkotaan

1. Pasar Swalayan 13600 -

2. Pertokoan 8500 -

3. Pusat pertokoan 3800 -

4. Restoran siap santap 59500 -

5. Restoran 6000 - 6. Gedung perkantoran 1300 - 7. Rumah sakit 1800 - 8. Perpustakaan 4500 - 9. Daerah industri 500 Perumahan

1. Permukiman di luar kota - 150

2. Permukiman di batas kota - 315

3. Unit rumah - 400

4. Flat tinggi - 500

Sumber: Tamin (2000)

Berdasarkan data pada Tabel 28 dan Tabel 29 di atas, menunjukkan untuk wilayah Kota Bandung, pada tahun 1997 dari 32 zona/kecamatan terdapat 14 zona/kecamatan yang merupakan zona asal perjalanan dengan dominasi aktivitas kegiatan perumahan dan 28 zona sebagai tujuan perjalanan dengan dominasi aktivitas

(17)

kegiatan perkotaan. Ke-empat belas zona kegiatan permukiman tersebut merupakan zona wilayah Kota Bandung yang berada di bagian Utara atau berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Namun pada tahun 2010, KBU diindikasikan telah mengalami perubahan, dimana dari 32 zona yang ada di KBU sebanyak 23 zona merupakan zona tujuan perjalanan dengan dominasi aktivitas perkotaaan, sisanya sebanyak 9 zona dominasi oleh aktivitas perumahan. Zona yang mengalami perubahan dari perumahan menjadi perkotaan adalah Isola, Ledeng, Ciumbuleuit, Gegerkalong, Husen Sastranegara, Sukabungah, Pasteur, Cipaganti. Zona yang tetap didominasi aktivitas perkotaan adalah Dago, Hegarmanah, Sukarasa, Sarijadi, Sukawarna, Sukagalih, Cipedes, Sukaraja, Sekeloa, Sukapada, Pasirlayung, Padasuka, Cikutra, Cicadas, dan Pasirendah. Sementara dari dominasi aktivitas perkotaan yang berubah didominasi aktivitas perumahan adalah Ujungberung, Cisurupan dan Cigending. Zona yang tetap didominasi aktivitas perumahan adalah Lebakgede, Cigadung, Sadangserang, Sukaluyu, dan Neglasari.

Sementara itu keseluruhan Zona/Kecamatan KBU pada wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi pada tahun 1997, dari 11 kecamatan sebanyak 9 kota kecamatan di KBU merupakan tujuan perjalanan yang diindikasikan oleh dominasi aktivitas pasar lokal, pusat koleksi dan distribusi hasil-hasil pertanian, serta kawasan perkotaan dan perkantoran; sedangkan yang merupakan asal mobilitas hanya kecamatan Parongpong dan Kecamatan Cimahi Utara. Kemudian berdasarkan prediksi dan pengecekan tahun 2008, aktivitas di KBU diindikasikan telah mengalami perubahan dimana dari 11 kota kecamatan sebanyak 8 kota kecamatan telah menjadi kawasan asal perjalanan atau dominasi kegiatannya berubah menjadi perumahan. Adapun kecamatan yang mengalami perubahan dari tujuan perjalanan menjadi asal perjalanan adalah Kecamatan Cikalong Wetan, Ngamprah, Cisarua, Lembang, dan Cimenyan. Hal ini berarti bahwa perkembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut lebih lambat dibanding dengan perkembangan perumahan baik yang dibangun oleh pengembang (melalui perijinan) maupun dilakukan secara alami oleh masing-masing keluarga.

(18)

Dengan adanya perubahan penggunaan lahan di Kota Bandung dan Kota Cimahi yang semakin didominasi oleh aktivitas perkotaan, maka wilayah KBU yang masuk Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat mendapatkan limpahan penduduk dengan tumbuhnya penggunaan lahan perumahan. Perubahan-perubahan penggunaan lahan tersebut umumnya terjadi di dekat pusat pertumbuhan yakni di kota kecamatan. Aktivitas beberapa kota kecamatan yang semula didominasi oleh aktivitas penggunaan lahan perkotaan, pada saat sekarang telah didominasi perumahan, sehingga struktur kawasan kota kecamatan tersebut sebagian besar merupakan kawasan perumahan. Sedangkan perubahan zona perumahan menjadi perkotaan pada umumnya terjadi di Kota Bandung, seiring dengan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan di Kota Bandung sebagai subdistrik, sehingga subdistrik tersebut mendapatkan limpahan pertumbuhan kota dari pusat pertumbuhan sekitarnya dengan tumbuhnya industri jasa. Ringkasan pergeseran perubahan penggunaan lahan perumahan dan perkotaan di Kota Bandung ke Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat seperti tersaji pada tabel berikut.

Tabel 31. Perubahan Aktivitas Guna Lahan Perumahan dan Perkotaan di KBU

Aktivitas Utama Guna Lahan

Kota Bandung Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat dan Kota Cimahi

Tahun 1997 Tahun 2010 Tahun 1997 Tahun 2010 Jml Zona/kec % Jml Zona/kec % Jml Zona/kec % Jml Zona/kec % Perumahan 18 44 9 28 2 18 7 64 Perkotaan 14 56 23 72 4 36 3 27 Pasar Lokal - - - - 1 9 0 0 Pasar Pertanian - - - - 4 36 1 9

Sebagai gambaran perkembangan perumahan dan pertumbuhan kota dapat dilihat dari perkembangan ijin lokasi sebagaimana rekapitulasi berikut.

Tabel 32. Rekapitulasi Izin Lokasi di Kawasan Bandung Utara (ha)

Kabupaten/ Kota Perumahan Industri Jasa Resort Pariwisata Villa Real Estate Bangunan gedung Jumlah (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Kota Bandung 174 32 - - - 206 Cibiru 50 - - - - 50 Sukajadi - 24 - - - 24 Sukasari 6 0 - - - 7

(19)

Tabel 32 (lanjutan) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Cidadap 85 3 - - - 88 Coblong 33 3 - - - 36 Cicendo - 1 - - - 1 Kab. Bandung 2475 - 593 540 55 3,663 Cimenyan 68 - 323 - - 391 Lembang 10 - 269 412 10 701 Parongpong 476 - 1 128 23 628 Cisarua - - - - 21 21 Ngamprah 1.511 - - - - 1.511 Cileunyi 146 - - - - 146 Cilengkrang 30 - - - - 30 Cikalong Wetan 200 - - - - 200 Cimahi Utara 35 - - - - 35 KBU 2649 32 593 540 55 3,869

Sumber: BPN Kota Bandung (2001), BPN Kabupaten Bandung (2001), dan Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat (2004)

Gambar 20. Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kota Bandung

R R R R R R I I I I I I P V G P V G PV G P V G PV G P VG -10 20 30 40 50 60 70 80 90

Cibiru Sukajadi Sukasari Cidadap Coblong Cicendo

Ju m la h ij in kecamatan

(20)

Gambar 21. Luas Izin Lokasi di KBU Wilayah Kabupaten Bandung

Sistem Jaringan Jalan

Sistem jaringan jalan sangat menentukan perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan kawasan lindung menjadi areal perumahan dan perkotaan. Kapasitas jaringan jalan utama merupakan faktor yang menjadi bahan pertimbangan orang untuk melakukan pilihan dalam penggunaan lahan ke arah yang lebih intensif. Kepadatan lalu lintas jaringan jalan tersebut dihitung dalam nilai VCR (Volume – Capacity Ratio). Tingkat kepadatan berhubungan dengan jenis kegiatan di sepanjang jalan tersebut, dimana nilai VCR-nya masuk kategori kritis, menunjukkan bahwa aktivitas perkotaan dan perumahan yang mendominasi lintasan jalan tersebut, sebaliknya nilai VCR-nya rendah menunjukkan lintas sepanjang jalan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian atau guna lahannya berupa guna lahan pertanian dan kehutanan.

Berdasarkan hasil perhitungan estimasi Bappeda Propinsi Jawa Barat (1998) untuk kurun waktu 2010, dengan asumsi tidak ada penambahan jaringan jalan baru, kapasitas jalan utama di KBU yakni ruas jalan Setiabudi, Surya Sumantri, Sukajadi, Cihampelas, Ir.H.Juanda, Dipati Ukur, Terusan Pateur, Pasteur, KPH Mustopa

R R R R R R R R R P P P P P P P P P V V V V V V V V V G G G G G G G G G 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Ju m la h ij in kecamatan

(21)

sampai Cileunyi akan melebihi kapasitas jalan dengan nilai VCR di atas 1. Kegiatan-kegiatan yang dominan di sepanjang jalan tersebut adalah perkotaan dan perumahan kota. Sedangkan untuk kabupaten Bandung yakni Jalan Cikalong Wetan – Cipeundeuy, Cimahi – Cisarua, Cisarua – Lembang, Panorama (Setiabudi) – Grand Hotel (Lembang), dan Cihanjuang – Ciwaruga telah melebihi kapasitas yang ada, dimana kegiatan dominan di sepanjang jalan tersebut adalah pasar lokal dan perumahan. Secara rinci estimasi VCR Jaringan Jalan Utama KBU di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung dapat dilihat pada Tabel 33.

Kegiatan dominan di sepanjang jalan utama tersebut yakni aktivitas perkotaan dan perumahan mencerminkan salah satu unsur morfologi kota di KBU sebagaimana yang disampaikan Hebert (1973) dalam Yunus (2005) bahwa morfologi kota tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian ataupun perdagangan/industri dan juga bangunan-bangunan individual. Sementara itu Smailes (1955) dalam Yunus (2005) memperkenalkan 3 unsur morfologi kota yaitu (1) unsur-unsur penggunaan lahan, (2) pola-pola jalan dan (3) tipe-tipe bangunan.

Penyebaran penggunaan lahan di KBU di atas, dimana pada KBU di luar Kota Bandung, telah menunjukkan kenampakkan kekotaan dan areal batas kota (built up area) jauh melampaui batas administrasi kota Bandung. Berdasarkan eksistensi batas fisik kota berada jauh dari batas administrasi kota (spill urban area) tersebut, maka kondisi Kota Bandung sebagai pusat Kota KBU dinamakan “under bounded city”. Pada kondisi kenampakan kekotaan dan areal batas kota yang jauh melampaui batas administrasi kota memungkinkan munculnya beberapa permasalahan d pengaturan wilayah. Wewenang pemerintah Kota Bandung untuk merencanakan wilayahnya hanya terbatas pada daerah yang terletak di dalam batas administrasi pemerintahan kota. Sementara itu untuk daerah kekotaan yang terletak di luar batas Kota Bandung menjadi wewenang pemerintah daerah yang lain yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi. Perbedaan ini terlihat dari arah kebijakan tata ruang yang telah dikemukakan dalam sub bab sebelumnya.

(22)

Tabel 33. Estimasi Nilai VCR Jaringan Jalan Utama KBU

No. Nama Jalan VCR Tahun 2010 Kategori Zona Kegiatan Utama

(1) (2) (3) (4) (5)

I Kb Bandung Barat dan Kb Bandung

1. Cikalong Wetan – Cipeundeuy ≥ 1.0 Kritis Perumahan perdesaan/pasar 2. Cimahi – Cisarua ≥ 1.0 Kritis Perumahan kota/pasar/industri 3. Cisarua – Lembang ≥ 1.0 Kritis Perumahan/Pasar/ pemerintahan 4. Lembang – Maribaya 0 – 0.5 Stabil Pertanian/wisata

5. Panorama – Grand Hotel ≥ 1.0 Kritis Perumahan/perhotelan

6. Cisarua – Situ Lembang 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 7. Patrol – Palintang 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 8. Sentral – Ciwaruga 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 9. Padalarang – Sp Cisarua 0.5 – 0.8 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 10. Cihanjuang – Cisarua 0.5 – 0.8 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 11. Cihideung – Ciwaruga 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 12. Cihanjuang – Ciwaruga ≥ 1.0 Kritis Perumahan

13. Cileunyi – Palintang 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan 14. Padasuka – Cimenyan 0 – 0.5 Stabil Pertanian/perumahan perdesaan II Kota Bandung

1. Setiabudi (UPI ke atas) > 2.0 Kritis Perumahan 2. Setiabudi (UPI ke bawah 1.0 - 2.0 Kritis Perkotaan 3. Gegerkalong 0.8 – 1.0 Tidak stabil Perumahan 4. Surya Sumantri > 2.0 Kritis Perkotaan

5. Sukajadi > 2.0 Kritis Perkotaan

6. Cipaganti 0.8 – 1.0 Tidak stabil Perkotaan 7. Cihampelas > 2.0 Kritis Perkotaan

8. Ciumbuleuit 0.8 – 1.0 Tidak stabil Perumahan kota/perkotaan 9. Siliwangi > 2.0 Kritis Perumahan kota/perkotaan 10. Tamansari 0 – 0.8 Tidak stabil Perumahan kota/perkotaan 11. Ir. H. Juanda (bawah simpang) > 2.0 Kritis Perkotaan

12. Ir.H. Juanda (atas simpang) 0.8 – 1.0 Tidak stabil Perumahan/perkotaan 13. Dipatiukur > 2.0 Kritis Perkotaan

(23)

Tabel 33 (lanjutan)

No. Nama Jalan VCR Tahun 2010 Kategori Zona Kegiatan Utama

(1) (2) (3) (4) (5)

14. Terusan Pasteur >2.0 Kritis Perkotaan

15. Pasteur 1.0 – 2.0 Kritis Perumahan/perkotaan 16. Surapati 0.8 – 1.0 Tidak stabil Perkotaan

17. KPH Mustopa > 2.0 Kritis Perkotaan/perumahan 18. Raya Sindanglaya > 2.0 Kritis Perumahan/perkotaan 19. Raya Ujungberung > 2.0 Kritis Perumahan/perkotaan 20. Raya Cibiru > 2.0 Kritis Perumahan/perkotaan Keterangan:

VCR = Volume – Capacity Ratio

Nilai VCR < 0.85: stabil; 0.85 < VCR < 1.0: tidak stabil; VCR > 1.0 kritis *) asumsi tanpa penambahan perubahan sistem jaringan jalan

(24)

Perembetan kenampakkan kekotaan (urban sprawl) dari Kota Bandung yang masuk KBU ke wilayah KBU Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi disebabkan meningkatnya penduduk kota Bandung maupun aktivitasnya. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota dengan cara pengambil alih lahan non urban oleh penggunaan lahan urban (invasion) di daerah pinggiran kota atau telah terjadi pengusiran (explusion) guna lahan non-urban oleh guna lahan urban.

Melihat gejala perembetan kenampakan kota di KBU yang mengikuti jalur utama transportasi seperti di atas, maka perluasan areal kekotaan (urban sprawl) di

KBU masuk kategori perembetan memanjang (ribbon development/lineair

development/ axial development). Menurut Yunus (2005), pada kondisi ini daerah sepanjang rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Membumbungnya harga lahan pada kawasan ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit. Karakteristiknya adalah makin banyaknya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian, makin banyaknya penduduk melakukan kegiatan non-pertanian, serta makin padatnya bangunan, sehingga mempengaruhi kegatan pertanian.

Dengan adanya pusat-pusat pertumbuhan yang menyebar di KBU yang dihubungkan satu sama lain oleh jalan utama seperti yang diuraikan pada sub bab di atas dan jenis perembetan yang masuk kategori “ribbon development”, maka model bentuk kota di KBU dengan pusatnya Kota Bandung adalah model stellar atau radial

dengan jalur yang tidak merata ke semua arah. Pada masing-masing lidah terbentuk pusat-pusat pertumbuhan subdistrik (subsidiary centers) yang berfungsi memberi pelayanan pada areal kekotaan yang letaknya agak jauh dari pusat kegiatan utama (Kota Bandung). Pada bagian-bagian yang menjorok ke dalam tumbuh permukiman yang dibangun mandiri oleh masyarakat atau oleh pengembang. Di luar permukiman tersebut, pada kondisi topografis adalah curam pada umumnya ditanami tanaman menahun (pohon-pohonan), tetapi pada kondisi tanahnya relatif datar ditanami oleh tanaman semusim berupa sayuran dan palawija.

(25)

b. Deferensiasi Zona Guna Lahan KBU

Dengan kondisi perembetan yang masuk kategori “ribbon development” dan bentuk kotanya adalah stellar, maka deferensiasi penggunaan lahan di KBU bertitik tolak dari dua pusat pertumbuhan di masing-masing jalan utama. Hal ini sesuai karakteristik kota yang berbentuk stellar, pada masing-masing lidah akan terbentuk pusat-pusat pertumbuhan subdistrik (subsidiary centers) yang berfungsi memberi pelayanan pada areal kekotaan yang letaknya agak jauh dari pusat kegiatan utama (Kota Bandung).

Dalam kondisi kota berbentuk stelar, maka model konseptual deferensiasi penggunaan lahan tidak sepenuhnya berlaku, dan model segitiga penggunaan lahan desa-kota (rural-urban land use triangle) tidak tunggal lagi melainkan triple yaitu model segitiga penggunaan lahan kota-desa, model segitiga penggunaan lahan desa-kota dan berlanjut menjadi model penggunaan desa-kota-desa, di setiap jalan utama. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Yunus (2005) bahwa keberadaan jalur transportasi, titik pertumbuhan, peraturan-peraturan zoning, spekuliasi lahan adalah beberapa contoh unsur-unsur penyebab terjadinya distorsi model ideal tersebut.

Adapun kondisi struktural deferensiasi zona guna lahan berdasarkan ciri penggunaan lahan kekotaan dan kedesaan di setiap kabupaten yang desa-desanya masuk KBU, sebagaimana tabel berikut.

Tabel.34. Deferensiasi Zona Guna Lahan Setiap Kabupaten/Kota KBU

Kabupaten/Kota Rural Area Rural Fringe Urral Fringe Urban Fringe Urban Area Jml Desa/Kel Kab. Bandung Barat 23,91% 43,48% 13,04% 15,22% 4,35% 46 Kab. Bandung 11,11% 44,44% 33,33% 11,11% 0,00% 9 Kota Cimahi 0,00% 0,00% 25,00% 62,50% 12,50% 8 Kota Bandung 0,00% 12,90% 35,48% 22,58% 29,03% 31

Berdasarkan data pada tabel di atas, dari 46 desa di Kabupaten Bandung Barat yang masuk wilayah KBU didominasi desa kategori Rural Fringe yakni sebanyak 23 desa (43%), kemudian Rural Area sebanyak 11 desa (24%), Urban Fringe sebanyak 7 desa (15%) dan Urban Area sebanyak 2 desa (4%). Untuk Kabupaten Bandung dari 9 desa yang masuk KBU didominasi kategori Rural Fringe sebanyak 4 desa (44%), Urral Fringe 3 desa (33%), Urban Fringe 1 desa (11%), dan Rural Area 1 desa (11%).

(26)

Untuk Kota Cimahi dari 8 kelurahan yang masuk KBU didominasi Urban Fringe 5 kelurahan (62,5%), kemudian Urral Fringe 2 desa (25%), dan Urban Area 1 kelurahan (12,5%). Sedangkan untuk Kota Bandung dari 31 kelurahan yang masuk KBU didominasi oleh Urral Fringe 11 kelurahan (35,5%), Urban Area 9 kelurahan (29%), Urban Fringe 7 kelurahan (22,6%), dan Rurral Fringe 4 kelurahan (12,9%).

c. Transformasi Penggunan Lahan di KBU

Berdasarkan struktur diferensial zona penggunaan lahan di atas, penggunaan lahan di KBU memiliki tingkat transformasi lahan atau baik lambat maupun cepat akan mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi lahan permukiman. Kondisi tingkat transformasi lahan tersebut semakin mengkhawatirkan mengingat bahwa penggunaan lahan di KBU diarahkan sebagai kawasan lindung. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat pada tahun 2004 telah melakukan evaluasi arahan penggunaan lahan yang menunjukkan kesesuaian mulai dari sawah irigasi teknis, tegalan/ladang, kebun campuran, tanaman sayuran, hingga hutan sejenis dan hutan lebat. Namun penggunaan lahan tersebut memiliki tingkat transformasi yang berbeda tergantung keberadaanya di zona guna lahan. Maka berdasarkan keberadaan guna lahan dalam zona guna lahan, dimana tingkat ransformasi struktur penggunaan lahan untuk masing-masing zona guna lahan sangat lambat jika berada di rural area dan sangat cepat jika berada di urban area, maka tingkat transformasi penggunaan lahan dii KBU seperti tabel berikut:

Tabel 35. Tingkat Transformasi Struktur Penggunaan Lahan di KBU

Penggunaan lahan Sangat

lambat Lambat Sedang Cepat

Sangat Cepat Jml desa/kel Sawah Irigasi 5,56% 27,78% 27,78% 31,48% 7,41% 54 Tegalan/ Ladang 7,14% 57,14% 21,43% 14,29% 0,00% 14 Kebun Campuran 9,09% 27,27% 36,36% 22,73% 4,55% 22 Tanaman sayuran 18,18% 45,45% 22,73% 9,09% 4,55% 22 Perkebunan (Kina dan

Karet)

75,00% 25,00% 0,00% 0,00% 0,00% 4 Hutan campuran 25,00% 37,50% 37,50% 0,00% 0,00% 8 Hutan Sejenis 28,57% 57,14% 14,29% 0,00% 0,00% 14

(27)

Berdasarkan tabel di atas, desa/kelurahan yang masih memiliki penggunaan lahan sawah irigasi berada di 54 desa/kelurahan, tegalan/ladang berada di 14 desa/kelurahan, kebun sayuran di 22 desa/kelurahan, tanaman sayuran di 22 desa/kelurahan, perkebunan (kina dan karet) di 4 desa, hutan campuran di 8 desa dan hutan sejenis (produksi) di 14 desa/kelurahan. Keberadaan penggunaan lahan tersebut akan menentukan tingkat transformasi penggunaan lahan atau perubahan penggunaan lahan sangat cepat apabila berada di zona urban area dan sangat lambat jika penggunaan lahan tersebut berada di zona ural area.

Penggunaan lahan sawah irigasi yang berada di 54 desa memiliki tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sangat cepat sebesar 7,41%, cepat 31,48%, sedang 27,78%, lambat 27,78% dan sangat lambat 5,56%. Kemudian lahan tegalan/ladang yang berada di 14 desa/kelurahan memiliki tingkat transformasi struktur penggunahan lahan cepat sebanyak 42,9%, sedang 36,36%, lambat 27,27%, dan sangat lambat 7,14%. Sementara itu penggunaan lahan kebun campuran, yang berada di 22 desa/kelurahan, memiliki tingkat transformasi strktur penggunaan sangat cepat 4,55%, cepat 22,73%, sedang 36,36%, lambat 27,27% dan sangat lambat 9,09%. Penggunaan lahan tanaman sayuran yang berada di 22 desa/kelurahan memiliki tingkat stransformasi struktur penggunaan lahan yang sangat cepat 4,55%, cepat 9,09%, sedang 27,73%, lambat 45,45% dan sangat lambat 18,18%. Untuk penggunaan lahan perkebunan (karet dan kina) masih cukup aman yakni berada di 4 desa yang memiliki tingkat transformasi struktur penggunaan lahan lambat 25% dan sangat lambat 75%. Sedangkan hutan campuran berada di 8 desa dengan tingkat transformasi struktur penggunaan lahan sedang. Dan untuk penggunaan hutan sejenis (tanaman) yang berada di 14 desa memiliki tingkat struktur penggunaan lahan sedang 14,29%, lambat 57,14% dan sangat lambat 28,57%.

Berdasarkan uraian di atas, maka penggunaan lahan di KBU berada di zona yang memiliki tingkat transpormasi guna lahan sedang sampai sangat cepat. Dalam kondisi tingkat transformasi tersebut, maka transformasi struktur penggunaan lahan KBU akan terjadi, baik dalam waktu cepat maupun lambat. Menurut Sadyohutomo (2008), terjadinya transformasi penggunaan lahan di kawasan lindung tersebut

(28)

disebabkan oleh belum adanya peraturan yang tegas mengenai pengavelingan (subdivision) yang dilakukan oleh perorangan. Akibatnya, perubahan penggunaan tanah menjadi tidak terkendali dan cenderung menimbulkan tata lingkungan yang tidak teratur, serta terjadinya fragmentasi lahan pertanian oleh permukiman yang dibangun oleh masyarakat secara mandiri.

B. Nilai Jasa Lingkungan di Kawasan Bandung Utara

Sebagai acuan kelayakan pemberian insentif baik model PDR dan PES adalah nilai manfaat hidrologis. Dengan proporsi KBU sebesar 72,44% ditetapkan sebagai kawasan lindung dan sisanya sebesar 17,56% sebagai kawasan budidaya, maka fungsi utama KBU adalah melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Salah satu fungsinya adalah untuk pengaturan tata air (hidrologis) bagi kawasan bawahannya yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, menjaga kesehatan DAS Citarum, penyedia air bagi kebutuhan rumah tangga dan penyedia jasa wisata.

Dengan telah munculnya pusat-pusat pertumbuhan di KBU, maka tekanan terhadap fungsi utama kawasan semakin besar, terutama terjadi perubahan penggunaan lahan yang didorong oleh perbedaan nilai lahan pertanian dengan nilai harapan tanahnya. Persoalannya adalah bahwa sebagian lahan di KBU adalah lahan milik. Dipihak lain harga komoditas pertanian yang dihasilkan lahan tidak mencerminkan nilai lingkungan. Oleh karena itu dalam mengatasi persoalan tersebut diperlukan mekanisme ekonomi untuk mendorong pemilik dan pengguna lahan melakukan upaya sesuai dengan arahan penggunaan lahan di kawasan lindung. Penilaian jasa lingkungan yang telah disumbangkan pemilik dan pengguna lahan merupakan dasar pemberian besaran dan lokasi pemberian insentif. Jasa lingkungan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah manfaat hidrologis.

Dari hasil survei di lapangan terhadap 128 responden, cara memperoleh air hampir seimbang yakni dari mata air/sungai langsung (27,34%), sumur tanpa pompa (21,88%), sumur dengan pompa (25%) dan PAM/ledeng (25,78%). Ada kecenderungan bahwa cara memperoleh air dipengaruhi oleh zona guna lahan,

(29)

dimana zona lahan rural area memperoleh air dengan cara langsung dari mata air/ sungai baik dengan cara mendatangi langsung atau disalurkan melalui selang, zona pertengahan menggunakan sumur tanpa pompa maupun dipompa serta di urban area menggunakan PAM/ledeng.

Berdasarkan hasil analisis regresi dengan metode stepwise diketahui bahwa variabel yang mempengaruhi besarnya konsumsi air adalah biaya pengadaan air (x1), jumlah anggota keluarga (x3) dan zona guna lahan (x5), sedangkan variabel jumlah pendapatan (x2), cara memperoleh air (x4) dan hirarki kota (x6) tidak berpengaruh secara nyata. Model regresi yang dihasilkan adalah y = 26,590 – 0,018 x1 + 52,082x3 + 13,476 x5 dengan r2 sebesar 75,5% dan p value sebesar 0.000. Hasil analisis regresi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan model regresi ini, biaya pengadaan air, jumlah anggota keluarga dan zona guna lahan secara siginifikan menentukan besarnya penggunaan air dan kebutuhan air untuk rumah tangga.

Dengan model regresi seperti tersebut, maka dengan rerata jumlah keluarga (x3) sebanyak 4,8 orang dan zona guna lahan (x5) sebesar 3,3, maka model regresi di atas menjadi y = 321,0544 – 0,018 x1. Dengan asumsi bahwa air untuk rumah tangga di KBU masih melimpah sehingga sumberdaya air memiliki karakteristik

nonrivalrous yang mana tingkat konsumsi air minum seseorang tidak mempengaruhi kesempatan orang lain untuk mengkonsumsi air minum, maka dengan jumlah rumah tangga penduduk di KBU sebanyak 412,681 KK memiliki nilai surplus konsumen manfaat air untuk rumah tangga di KBU sebesar Rp83 575 472 613 per tahun. Dengan dengan luas areal KBU seluas 38 548,35 ha, maka jasa lingkungan yang diberikan oleh KBU sebagai kawasan lindung adalah sebesar Rp21 680 331 per ha per tahun (Tabel 36).

Untuk mengetahui kehilangan manfaat hidrologis ke depan dilakukan

discounting. Tingkat suku bunga yang dipakai adalah suku bunga riil yakni selisih re-rata BI rate dengan re-re-rata inflasi setiap bulan selama tahun 2009. Adapun re-re-rata BI rate dan inflasi mulai dari Januari sampai Desember 2009 yang diumumkan Bank Indonesia masing-masing adalah 7,15% dan 4,90%, sehingga bunga riilnya adalah 2,50%. Waktu yang ditetapkan adalah selama 20 tahun, yakni analog lamanya masa

(30)

pakai bangunan. Dengan demikian nilai jasa hidrologi bagi RT saat sekarang (NPV Jasa hidrologi) maksimal adalah sebesar Rp423 398 459 per ha. Nilai jasa hidrologi ini dijadikan dasar kelayakan pemberian insentif baik melalui PDR maupun PES.

Tabel 36. Nilai Surplus konsumen dan nilai jasa hidrologis KBU

Komponen Nilai sampel (Rp/KK/th) Populasi KK Nilai Total (Rp/th) Luas KBU (ha) Nilai Jasa Hidrologi per ha (Rp/ha/th) (1) (2) (3) (4) (5) (6) Kesediaan berkorban 2.790.845,40 412.681 1.151.728.870.026,40 38.548,35 29 877 514 Nilai yang dikorbankan 765.695,23 412.681 315.987.874.870,79 38.548,35 8 197 183 Surplus Konsumen 2.025.150,16 412.681 835.740.995.155,61 38.548,35 21 680 331 Keterangan: (4) = (2) x (3) (6) = (4//(5)

Karena setiap guna lahan memiliki fungsi hidrologi yang berbeda, maka nilai jasa setiap guna lahan akan berbeda tergantung dari masukan air dari air hujan di guna lahan tersebut. Dengan asumsi besarnya koefisien infiltrasi sama dengan (1 –

C), dimana (C) adalah re-rata koefisein larian air hujan, maka berdasarkan data dari Asdak (2007) yang mengutip data dari Horn dan Schwab (1965), dan U.S Forest Service (1980), digunakan besarnya re-rata nilai koefisien larian setiap penutupan lahan (guna lahan) yakni lahan hutan lebat (0,05), hutan sejenis (0,10), ladang (0,25), tanaman sayuran (0,38) dan lahan permukiman (0,8). Berdasarkan nilai koefisien larian tersebut dapat ditentukan bobot infiltrasi yang akan digunakan untuk menghitung jasa masing-masing guna lahan dalam menghasilkan manfaat air bagi RT, dengan hasil seperti terlihat pada Tabel 37 dan Gambar 22.

Berdasarkan data pada tabel tersebut, NPV jasa hidrologi yang disediakan lahan di KBU untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga di dalam dan daerah bawahannya sebesar Rp1 872 237 894 900, untuk waktu yang tidak terhingga. Mengingat besarnya manfaat hidrologi di KBU, maka hilangnya daerah resapan di KBU, akan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Untuk itu, maka perlu dilakukan upaya pencegahan supaya tidak terjadi perubahan guna lahan menjadi

(31)

lahan permukiman, yang akan mengurangi potensi manfaat hidrologi dari lahan di KBU bagi kebutuhan air rumah tangga.

Tabel 37. NPV jasa hidrologis setiap guna lahan di KBU

Penggunaan Lahan Luas (ha) Koef larian (C) Koef masu-kan (1-C) Bobot NPV Jasa Hidrologi per ha (Rp/ha) Nilai jasa hidrologi Tiap Penggunaan Lahan (Rp) Hutan PPA 2561,25 0,05 0,95 15,40% 65 191 011 166 970 476 168 Hutan Lindung 7244,32 0,05 0,95 15,40% 65 191 011 472 264 542 671 Hutan Produksi Tetap 1814,20 0,10 0,90 14,59% 61 759 905 112 044 819 430 Hutan Produksi Terbatas 3838,90 0,10 0,90 14,59% 61 759 905 237 090 098 838 Perkebunan 2164,00 0,10 0,90 14,59% 61 759 905 133 648 434 157 Tegalan dan Kebun

Campuran 9605,20 0,25 0,75 12,16% 51 466 587 494 346 865 282 Pertanian non tanaman keras (sayuran) 3487,20 0,38 0,62 10,05% 42 545 712 148 365 407 757 Perumahan dan Daerah Terbangun Lainnya 7833,28 0,80 0,20 3,24% 13 724 423 107 507 250 597 Jumlah 38548,3 5 6,17 100,00% 1 872 237 894 900

Gambar 22. Proporsi Jasa Hidrologis Dari Setiap Guna Lahan di KBU

Hutan PPA 9% Hutan Lindung 25% Hutan Produksi Tetap 6% Hutan Produksi Terbatas 13% Perkebunan 7% Tegalan dan Kebun Campuran 26% Pertanian non tanaman keras 8% Perumahan dan Daerah Terbangun Lainnya 6%

(32)

C.

Nilai Lahan Milik di KBU

1.

Nilai Lahan Berdasarkan NJOP

Mengacu pada UU No. 12 Tahun 1985 dan perubahannya UU No. 12

Tahun 1994, dasar pengenaan PBB adalah

Nilai Jual Objek Pajak

(

sales val

ue =

NJOP), yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi

secara wajar. Bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui

perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau

Nilai Jual Objek Pajak pengganti. NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri

Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu (seperti DKI Jakarta) ditetapkan setiap

tahun sesuai perkembangan daerahnya.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka nilai pajak bumi dan bangunan

dapat digunakan untuk menentukan nilai jual tanah, sebagai bentuk nilai guna

lahan berdasarkan kelompok atau klasifikasi kelas dan bangunan. Nilai pajak

bumi dan bangunan memberikan gambaran pula tentang kebijakan terkait dengan

intervensi pemerintah ke dalam pasar tanah. Dengan penetapan PBB ini dapat

digunakan sebagai dasar pengendalian penggunaan tanah sesuai dengan penerapan

insentif dan disinsentif dalam zoning lahan.

Diferensiasi penggunaan lahan yang diuraikan terdahulu telah

mempertimbangkan keberadaan jalur transportasi, titik pertumbuhan (

growing

points

), peraturan zoning, sehingga gambaran nilai guna lahan di setiap kategori

guna lahan tersebut dapat dilihat dari kelas PBB. Berdasarkan hasil pencatatan di

beberapa sub zona di KBU digambarkan NJOP terendah dan tertinggi di desa

yang dilayani setip pusat pertumbuhan (kota) dapat dilihat pada Tabel 38.

Berdasarkan data pada Tabel 38, hirarki kota orde II, III dan

orde-IV merupakan orde dalam pengaruh orde-I Kota Bandung, memiliki NJOP pada

setiap kelasnya berbeda. Untuk pusat pertumbuhan Cikalong Wetan (orde-IV)

yang memiliki lokasi terjauh dari

built-up

area

kota Bandung (28 km) yang

dihubungkan arteri primer dan jalan negara di pusat kotanya memiliki nilai NJOP

sebesar Rp200 000 per m

2

, namun daerah hinterlandnya menunjukkan kelas tanah

yang masuk kelas lahan desa, dengan nilai lahan terendah Rp10 000/m

2

dan nilai

tertinggi Rp20 000/m

2

. Sementara itu dalam hirarki kota yang sama (Orde-IV)

(33)

dengan daerah hinterlandnya memiliki nilai terendah Rp10 000/m

2

dan nilai

tertinggi Rp200 000/m

2

. Kondisi ini lebih dipengaruhi oleh jarak dari

built-up

area

Kota Bandung, dimana Kota Cimenyan hanya berkisar 4,5 km. Selain itu di

Cimenyan telah tumbuh menjadi daerah perumahan sebanyak 68 izin, dan resort

pariwisata sebanyak 323 izin, sedangkan di Cikalong Wetan hanya dipengaruhi

oleh kedudukannya sebagai pusat pasar lokal dan adanya 200 izin perumahan

Untuk orde – III, menunjukan nilai lahan yang ekstrim yakni sebesar Rp2 013 000

per m

2

untuk pusat Kota Parongpong, sementara untuk kota Cisarua dan

Ngamprah dengan nilai Rp128 000/m

2

dan Rp285 000/m

2

. Tingginya nilai tanah

di Parongpong, lebih disebabkan oleh banyaknya daerah terbangun yakni

perumahan (476 izin), resort pariwisata (1 izin), villa real estate (128 izin), dan

bangunan gedung (23 izin), serta kedekatannya dengan

built-up

area

kota

Bandung. Sedangkan di Cisarua hanya terdapat 21 izin bangunan gedung serta

sebagai pusat pelayanan kota kecamatan dan pasar lokal, dan di Kota Ngamprah

sebanyak 1511 izin. Namun demikian dari ketiga pusat pertumbuhan tersebut,

masih memiliki daerah hinterland-nya nilai tanah kelas desa yakni Rp10 000/m

2

,

sedangkan nilai lahan hinterland tertinggi berada di Parongpong sebesar

Rp464 000/m

2

, kemudian Cisarua Rp82 000/m

2

dan Ngamprah Rp48 000/m

2

.

2.

Nilai Lahan Berdasarkan Harga Jual Setempat

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 38 responden, guna lahan tempat

bekerja penduduk dalam kegiatan pertanian di KBU adalah guna lahan sawah,

kebun sayuran, tegalan, pekarangan, serta kawasan hutan perhutani. Untuk

mengetahui curva sewa lahan pertanian, maka guna lahan pekarangan dan guna

lahan hutan tidak dimasukkan pada kategori guna lahan pertanian. tetapi

masing-masing dimasukkan dalam guna lahan permukiman dan guna lahan hutan.

Sedangkan lahan permukiman dimaksud adalah lahan yang telah siap dibangun

atau sudah berdiri bangunan di atasnya.

(34)

Tabel 38. NJOP Beberapa Pusat Pertumbuhan dan Daerah Hinterland-nya di KBU

Nama Kota/ Kec Hirarki Kota

Jarak dari built up- area Kota Bandung (km) Fungsi Jalan utama NJOP Pusat Kota (Rp/m2)

Kelas Pajak Bumi Daerah Hinterland Terendah NJOP

(Rp/m2) Tertinggi NJOP (Rp/m

2

)

Cikalong Wetan Orde-IV 28 AP 200.000 A37 10.000 A35 20.000

Cisarua Orde-III 7,2 AT 128.000 A37 10.000 A29 82.000

Parongpong Orde-III 5,8 AT 2.013.000 A37 10.000 A21 464.000

Ngamprah Orde-III 6,7 AT 285.000 A37 10.000 A32 48.000

Cimahi Utara Orde-II 8,7 AT 464.000 A32 48.000 A22 394.000

Lembang Orde-II 8,6 AP 464.000 A37 10.000 A24 285.000

(35)

Berdasarkan analisis regresi dengan metode

stepwise

diketahui bahwa

variabel yang mempengaruhi nilai tanah pertanian adalah kategori zona dimana

lokasi tanah berada (x

1

), sementara itu variabel hirarki kota (x

2

) tidak

berpengaruh nyata. Model regresi linier yang dihasilkan adalah y = 232765,05 –

1830,494x

1

dengan r

2

sebesar 81,3% dan p value sebesar 0.000. Sedangkan

variabel yang mempengaruhi nilai tanah untuk permukiman adalah kategor zona

dimana lokasi tanah berada (x

1

), sementara itu variabel hirarki kota (x

2

), jarak

dari jalan (x

3

), jarak dari sungai (x

4

), jarak dari mata air (x

5

), jarak dari hutan (x

6

)

dan topografi (x

7

) tidak berpengaruh nyata. Model regresi yang dihasilkan adalah

y = 486161,990-3210,089x

1

dengan r

2

sebesar 78,7% dan p value sebesar 0.000.

Adapun sebaran nilai jual setempat hasil regresi dapat dilihat pada Tabel 39 dan

Gambar 23.

Tabel 39. Nilai Tanah Berdasarkan Nilai Jual Setempat di KBU

Zona Lahan % Lahan Rural Harga Jual Lahan

Permukiman (Rp/m2)

Harga Jual Lahan Pertanian (Rp/m2) Urban area 0 - 10 486 162 – 454 061 232 765 -214 460 Urban fringe 10 - 40 454 061 – 357 758 214 460 – 159 545 Urral fringe 40 - 60 357 758 – 293 557 159 545 – 122 935 Rural fringe 60 - 90 293 557 – 197 254 122 935 – 68 021 Rural Area 90 - 100 197 254 – 165 153 68 021- 49 716

Gambar 23. Curva Bid-Rent Nilai Tanah Berdasarkan Harga Jual Tanah di KBU

Sementara itu Sutawijaya (2004) berdasarkan hasil penelitian di Kota

Semarang menyimpulkan bahwa faktor kepadatan penduduk, jarak ke pusat kota,

lebar jalan, kondisi jalan, ketersediaan sarana transportasi angkutan umum bus/

-50.000 100.000 150.000 200.000 250.000 300.000 350.000 400.000 450.000 500.000 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 N il a i L a h a n ( R p /m 2)

Persen Guna Lahan Rural (%)

(36)

angkot, dan yang terakhir adalah faktor lingkungan yang bebas banjir sangat

berpengaruh terhadap nilai tanah untuk permukiman.

2.

Berdasarkan Nilai Harapan Tanah Pertanian

Nilai harapan tanah didasarkan pada nilai saat sekarang (NPV)

produktivitas tanah pertanian dihitung berdasarkan profit dari budi daya tanaman

pertanian. Tingkat suku bunga yang dipakai adalah suku bunga riil yakni selisih

rata BI rate dengan rata inflasi setiap bulan selama tahun 2009. Adapun

re-rata BI rate dan inflasi mulai dari Januari sampai Desember 2009 yang

diumumkan Bank Indonesia masing-masing adalah 7,15% dan 4,90%, sehingga

bunga riilnya adalah 2,5%. Waktu yang ditetapkan adalah selama 20 tahun,

yakni analog lamanya masa pakai bangunan. Besarnya bunga riil dan waktu

tersebut sebagai dasar perhitungan NHT dengan menghitung NPV yang akan

dijadikan patokan menilai besarnya insentif atau disinsentif dalam menahan

perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan permukiman. Sebagai

gambaran luas tanam dan rata-rata produksi pertanian dan ladang di di Kabupaten

Bandung dan Kota Cimahi dalam KBU dapat dilihat pada Tabel 40.

Tabel 40. Luas Tanam dan Re-rata Produksi Pertanian dan Ladang/Kebun di

Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi dalam KBU

No Kecamatan Pertanian Ladang/Tegalan Luas tanam (ha) Re-rata Produksi (kwintal/ha)

Luas tanam (ha)

Re-rata Produksi (kwintal/ha) I Kab.Bandung*) 104.078,0000 85,4200 79.070,2000 2.333,5500 1 Ngamprah 1.134,0000 86,9100 560,5000 816,6100 2 Cimenyan 448,0000 53,5400 4.422,0000 1.399,0500 3 Cikalong Wetan 3.842,0000 84,3700 7.040,0000 691,9000 4 Lembang 336,0000 42,2200 1.834,0500 1.324,6900 5 Cisarua 1.175,0000 73,6700 1.093,0000 1.771,2100 6 Parongpong 237,0000 8,9700 1.057,0070 1.932,1500 7 Cileunyi 1.448,0000 72,9200 399,0005 856,5800 8 Cilengkrang 644,0000 65,0700 1.275,0000 1.070,0000 II Kota Cimahi 212,0000 55,0500 234,0000 531,0700 9 Cimahi Utara 104,0000 56,3000 138,0000 533,8700 10 Cimahi Tengah 79,0000 59,3600 68,0000 256,1400 *) Sebelum pecah mennjadi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat

Sumber: Hasil Pengolahan Kabupaten Bandung Dalam Angka 2002; Hasil Pengolahan Kota Cimahi Dalam Angka 2002 (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Jawa Barat, 2004)

Gambar

Tabel 26. Alasan Pemerintah Propinsi Jawa Barat Dalam Menentapkan Hirarki     Kota-Kota di KBU
Gambar 19. Hirarki kota-kota yang ada di Kawasan Bandung Utara Berdasarkan  Perkembangan Fasilitas Pelayanan dan Infrastruktur
Tabel 28. Produksi dan Tarikan Perjalanan di KBU Pada Wilayah Kota Bandung
Tabel 32 (lanjutan)   (1)  (2)  (3)  (4)  (5)  (6)  (7)  Cidadap                85            3   -  -  -         88   Coblong                33            3  -  -  -         36   Cicendo  -            1   -  -  -           1   Kab
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemenuhan HAM adalah salah satu indikator sebuah Negara Hukum, Indonesia se- bagai Negara hukum mengamanatkan didalam batang tubuh UUD NRI 1945 tentang

Pada umumnya hak-hak di dalam hak kekayaan intelektual selanjutnya disingkat HKI menganut sistim perlindungan yang sama yaitu sistim first to file (siapa yang pertama kali

Dari hasil observasi kegiatan pembelajaran yang dilakukan, aktivitas pembelajaran yang dilakukan dalam kelas berpusat pada guru, guru menyampaikan materi pelajaran

Kondisi PNS pada masa kemasa seolah menjadi sorotan publik, PNS di jaman Orde Lama merupakan bagian terpenting dalam proses membentuk karakter bangsa terutama

Jika dokumen Anda muncul di laman hasil penelusuran, konten tag judul biasanya muncul pada baris pertama ( jika Anda tidak familier dengan bagian hasil penelusuran Google

Akad yang digunakan pada simpanan maslahah adalah akad wadi’ah yad dhamanah yaitu akad penitipan barang atau uang (umumnya berbentuk uang) kepada koperasi, pengelola

Senyawa asam 3-okso-24-sikloarten-21-oat yang dapat menghambat pertumbuhan tumor kulit pada aktivasi virus Epstein Barr telah diisolasi dari daun duku (Nishizawa

Dengan perkembangan ilmu perpustakaan saat ini, seharusnya pustakawan memerlukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengasah, mengupdate skill dan menambah kompetensi yang