MASALAH REFORMASI BIROKRASI
Oleh:Lili Romli
Abstract
▸ Baca selengkapnya: model c pns terbaru
(2)abdi dalem dan priyayi yang juga berlapis-lapis, pegawai negeri pun terdiri dari berbagai pangkat, golongan dan eselon. Semboyan pegawai negeri adalah abdi negara mengandung makna berorientasi ke atas, sehingga mirip dengan birokrasi kerajaan, ambtenaar. Birokrasi lebih menekankan pada mengabdi ke atas dari pada ke bawah sebagai pelayanan kepada masyarakat.
Kini, apakah model atau cap birokrasi seperti diungkapkan di atas masih tetap melekat dalam birokrasi di
Indonesia? Seharusnya secara teoritis sudah berubah yang tidak lagi seperti itu, tetapi harus menuju pada birokrasi ala Weber di mana birokrasi benar-benar menekankan pada aspek efisiensi, efektivitas, profesionalisme, merit system, dan pelayan masyarakat. Mengapa? Hal ini karena zaman telah berubah dengan adanya era reformasi dan otonomi daerah, maka seharusnya birokrasi mengalami perubahan paradigma di mana birokrasi harus memposisikan diri sebagai abdi masyarakat, efisien, efektif, dan profesionalisme.
PENUTUP
Dewasa ini good governance merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Masyarakat menuntut kepada Pemerintah untuk mewujudkan dan melaksanakan good governance. Pola-pola lama penyelenggaraan Pemerintahan (bad governance) harus ditinggalkan diganti dengan pola-pola baru penyelenggaraan Pemerintahan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip good governance.
Untuk mewujudkan good governance diperlukan reformasi kelembagaan (ins-titusional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat Pemerintahan, baik struktur maupun infrastrukturnya. Kunci reformasi kelembagaan tersebut adalah
pemberdayaan masing-masing elemen, yaitu masyarakat umum sebagai stakeholders, Pemerintah sebagai eksekutif dan lembaga perwakilan sebagai shareholder.
Sedangkan reformasi manajemen sektor publik, terkait dengan perlunya digunakan model manajemen Pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, karena perubahan tidaklah sekedar perubahan paradigma namun juga perubahan manajemen. Di antara model manajemen yang popular adalah yang dikemukakan oleh Osborne dan Gaebler dengan konsep Reinventing Government. Perspektif baru Pemerintahan yang di-kemukakan oleh kedua pakar itu, yaitu: Pemerintahan Katalis, Pemerintah milik masyarakat, Pemerintah yang kompetitif, Pemerintah yang digerakkan oleh misi, Pemerintah yang berorientasi pada hasil, Pemerintah berorientasi pada pelanggan, Pemerintahan wirausaha, Pemerintah antisipatif, Pemerintah desentralisasi, Pemerintah berorientasi pada pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Afadlal (Ed.), Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah, Jakarta: P2P LIPI, 2003.
Hans-Dieter Evers dan Tilman Schiel, Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990, hal, 228.
Lili Romli ³2WRQRPL 'DHUDK GDQ %LURNUDVL
Lokal: Kasus Kabupaten
3DQGHJODQJ´GDODP
Syamsuddin Haris ³6HQWUDOLVDVUL %DUX
Dalam Birokrasi Lokal: Kasus
.DEXSDWHQ %LPD´ GDODP $IDGODO
Otonomi Daerah, Jakarta: P2P LIPI, 2003, hal. 64.
Fauziah Rasad ³5HIRUPDVL %LURNUDVL
Dalam Perspektif Pemberantasan
.RUXSVL´ GLNXWLS GDUL
http://www.transparansi.or.id/?pilih=li hatpopulerkolom&id=18.
Menpan: RUU Adiministerasi Pemerintahan Pryasyarat Reformasi
%LURNUDVL´ GLNXWLS dari
http://www.gtzsfgg.or.id/index.php?
page=menpan-ruu-administrasi- Pemerintahan-prasyarat-reformasi-birokrasi&hl=en_EN
Prof. Dr. Mustopa dijaya, Guru Besar Kebijakan Publik, Mantan Ketua LAN
periode 1998-EHUMXGXOµ5HIRUPDVL
Birokrasi Sebagai Syarat Pem-berantasan
..1¶\DQJGLVDPSDLNDQGDODP6HPLQDU
MEMAHAMI ETIKA BIROKRASI PUBLIK:
SEBUAH DIAGNOSIS INSTITUSIONAL
Oleh: Gabriel Lele
Abstract
This article investigates the problem of public service ethics from an institutional optic. This is an alternative way of looking at ethics other than a cultural approach. While acknowleding that ethics roots in culture, this article argues that ethics is institutionally embedded and can therefore be institutionally engineered. Since public service ethics is an integral part of a social contract between a government and its citizens, this article recommends the
implementation of a contract-l i k e m e c h a n i s m t o i m p r o v e e t h i c s i n p u b l i c s e r v i c e d e l i v e r y . C i t i z e n ‟ s c h a r t e r i s among the alternatives for such purpose as citizens can control their government and hold it accoutable in process
of service delivery.
Key words: e t h i c s , p u b l i c s e r v i c e , c o n t r o l , c i t i z e n ‟ s c h a r t e r
PENDAHULUAN
Salah satu dimensi administrasi publik yang belakangan ini menyedot perhatian banyak pihak adalah etika (Gow 2005; Lewis 2003). Sentralitas isu tersebut berkaitan dengan dua kondisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, etika birokrasi merupakan bagian integral dari sebuah kontrak sosial antara pemerintah dengan masyarakat pengguna layanan. Kontrak sosial tersebut sekaligus menjadi elemen pokok yang menyangga bangunan besar bernama negara. Di sisi lain, tidak sulit menemukan sejumlah persoalan yang menunjukkan bagaimana kontrak sosial yang begitu penting itu telah diabaikan, atau bahkan dilanggar, dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik. Pada titik yang paling ekstrim, terjadi pembalikan logika yang merusak filosofi dasar kontrak sosial yang ditandai oleh kekaburan definisi atas siapa yang seharusnya
menjadi pelayan dan siapa yang
semestinya dilayani. Dalam prakteknya, pemerintah sebagai pihak yang harus memberikan pelayanan justru lebih memposisikan dirinya sebagai pihak yang harus dilayani.
Ketegangan antara tuntutan normatif
serta realitas empiris tersebut
menimbulkan beberapa pertanyaan klasik yang telah menjadi pemicu diskusi sejak lama. Mengapa etika birokrasi sangat sulit
ditegakkan? Apa saja faktor penyebabnya? Bagaimana membenahinya?
Tulisan ini akan mencoba pertanyaan di atas. Fokusnya diletakkan pada diagnosis institusional dalam menjelaskan persoalan defisit etika di lingkungan birokrasi publik. Berdasarkan diagnosis institutional, tulisan ini akan merekomendasikan pendekatan institutional dalam upaya menciptakan dan menegakkan etika di lingkungan birokrasi publik.
Penutup
Tulisan ini sudah mendiskusikan akar persoalan defisit etika serta alternatif untuk
membenahinya. Tanpa menafikan
pentingnya pendekatan kultural, tulisan ini berargumen bahwa pendekatan struktural menawarkan diagnosis yang cermat serta resep yang lebih ampuh dalam upaya memahami defisit etika birokrasi serta strategi penanganannya. Pendekatan struktural dipilih karena sesuai dengan karakter etika birokrasi yang berada pada ruang publik dan, oleh karenanya, bersifat sistemik. Melalui kaca mata struktural, tulisan ini sudah berargumen bahwa persoalan defisit etika birokrasi berkaitan
dengan lemahnya pengaturan dan
Berangkat dari disgnosis tersebut, tulisan ini juga sudah mendiskusikan beberapa pilihan kebijakan yang berpusat pada isu rekayasa kelembagaan guna
PHQFLSWDNDQ ³enabling environment´ EDJL
aparat birokrasi untuk lebih memperhatikan nilai-nilai etika. Rekayasa kelembagaan dimaksud berusaha menciptakan aturan
PDLQ \DQJ ³PHPDNVD´ VHFDUD KXNXP
aparat birokrasi untuk lebih memperhatikan etika sambil pada saat yang bersamaan mengatur hak dan kewajiban masyarakat sebagai pengguna layanan. Rekayasa yang demikian sejalan dengan prinsip kontrak (sosial) yang juga menjadi fundamen penopang bangunan negara.
C i t i z e n ‟ s c h a r t e r dapat menjadi alternatif kebijakan sebagaimana sudah diterapkan di beberapa daerah. Gaungnya akan lebih kuat jika ada unit-unit pelayanan pusat yang mampu melakukan hal yang sama, terutama unit-unit departemen pelayanan teknis yang selama ini menjadi sasaran kritik masyarakat seperti kantor pajak, bea cukai dan imigrasi. Hanya jika ada kontrak yang jelas yang mengatur hak dan kewajiban penyedia dan pengguna layanan, persoalan defisit etika dapat diatasi dan kualitas pelayanan publik secara umum bisa ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Argyriades, Demetrios. 2006. Good Governance, Professionalism, Ethics and Responsibility. International Review of Administrative Sciences. Vol. 72, No. 2, hal. 155-170.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia,
Yogyakarta: Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Carr, Frank. 1999. The Public Service Ethos: Decline and Renewal? Public Policy and Administration. Vol. 14, No. 1, hal. 1-16.
Falconer, Peter K. dan Ross, Kathleen. 1999. &LWL]HQ¶V &KDUWHUV DQG 3XEOLF
Service Provision: Lessons from the UK Experience. International Review of Administrative Sciences. Vol. 65, No. 3, hal. 339-351.
Falconer, P.K., Ross, K. dan Conner, M.H. 1997 7KH &LWL]HQ¶V &KDUWHU
Empowering Users or Providers?, Review of Policy Issues. Vol. 3, No. 3, hal. 79±95.
Gow, J.I. 2005. A Practical Basis for Public Service Ethics. Paper pada the Annual Conference of the Canadian Political Science Association Western University, London Ontario, June 2005
Larbi, George, 2001. Assessing Infrastructure for Managing Ethics in the Public Service in Ethiopia:
Challenges and Lessons for
Reformers. International Review of Administrative Sciences, Vol. 67, No. 2, hal. 251-262.
Levine, Charles, H. Peters, Guy, P. dan Thompson, Frank J. 1990. Public Administration: Challenges, Choice and Consequences, Illinois: Scott Foresman/Little.
Lewis, Carol, W. 2003. Mini Symposium on Public Service Ethics: Introduction. International Journal of Organization Theory and Behavior. Vol. 6, No. 3, hal.402-404.
Major, John. 1996. T h e C i t i z e n ‟ s C h a r t e r - Five Years On, Cmnd 3370. London:
HMSO.
Osborne, David. dan Plastrik, Peter. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies For Reinventing Government. New York: Addison-Wesley.
Quill, Lawrence. 2008. Ethical Conduct
and Public Service: Loyalty
Ratminto dan Winarsih, A.S. 2005.
Manajemen Pelayanan,
Pengembangan Model Konseptual,
P e n e r a p a n C i t i z e n ‟ s C h a r t e r d a n
Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Shafritz, Jay M. 1998. International Encyclopedia of Public Policy and Administration. Oxford: Westview Press
Shafritz, Jay M. dan Russell, E.W. 1997.
Introducing Public Administration. New York: Longman.
Tan, P.G. 2006. Indonesia Seven Years
After Suharto: Party System
Institutionalization in A New
Democracy. Contemporary
Southeast Asia. Vol. 28, No. 1, hal. 88-114.
Van Wart, Montgomery. 1998. Changing Public Sector Values. New York: Garland Publishing.
Ward, Robert C. 2007. The Outsourcing of Public Library Management: An Analysis of the Application of New Public Management Theories From the Principal-Agent Perspective, Adminis-tration and Society, 38(6), 627-648.
Wilson, J. (ed.). 1995. Managing Public Services: Dealing with Dogma. London: Tudor.
World Bank. 2007. Governance Matters 2007: Worldwide Governance Indicators. Washington, DC: the World Bank. Tersedia di
http://web.worldbank.org/WBSITE/ EXTERNAL/NEWS/0,,contentMDK:214025 61%7Ep agePK:
MEMPERSOALKAN ETIKA DAN MORAL PEGAWAI NEGERI SIPIL
matter of fact, public service in Indonesia is hamper by systemic problems involving all actors in the system from high level officer to the low rank officer. Although regulation regarding ethic and moral of the government official sufficient enough to promote certain high standard code of conduct, the bureaucratic behavior is far from ideal. Indeed, bureaucratic behavior is a mixed of individual characteristic and bureaucratic characteristic. It is impossible to change bureaucratic behaviour without give attention to these two aspects. To solve this problem, leadership in Civil Servant Institution is crucial as a breakthrough to cut the vicious circle of buraucracy.Keywords: Bureaucratic Behaviour, Government Official, Ethic and Moral.
PENDAHULUAN
Suatu hari, Jumat pagi sekitar pukul 08 waktu setempat, penulis memasuki Kantor Walikota (Shakyuso) Niigata. Ketika masuk pintu, personil wanita yang mengenakan pakaian putih dengan blazer biru tersenyum ramah dan mempersilahkan untuk mengambil nomor antrian yang tersedia. Karena terlihat bingung, dia menanyakan hendak mengurus apa dan segera dia mengambilkan nomor antrian sesuai dengan yang diperlukan. Setelah menunggu antrian sebanyak tiga orang sekitar 5 menit, dengan ramah dan sedikit menundukkan kepalanya, petugas di loket menanyakan apa yang akan penulis urus. Setelah menjelaskan dokumen apa yang disiapkan, dia memeriksa dokumen yang penulis berikan. Dengan cepat dia memberi catatan pada formulir aplikasi dan dalam waktu singkat dia memberikan tanda terima. Selanjutnya dia mempersilahkan untuk membayar biaya yang sudah ditentukan sebagaimana yang tertera pada papan informasi. Hanya dalam waktu
kurang dari 30 menit, urusan
memperpanjang ijin tinggal di Jepang diselesaikan.
Ilustrasi di atas merupakan
pengalaman pribadi penulis ketika berurusan dengan birokrasi di Negara Jepang beberapa tahun silam. Lalu di
dalam benak penulis muncul segudang pertanyaan, bagaimana dengan Pelayanan Publik (Public Services) pada Instansi Pemerintah di Indonesia ? Apakah reformasi yang mulai marak digulirkan sejak Tahun 1998 lalu telah berhasil mengubah birokrasi yang terkenal dengan
VORJDQ ³NDODX ELVD GLELNLQ VXOLW NHQDSD
dibikin mXGDK´"6HMDXKPDQDNDKELURNUDVL
di Indonesia dapat memberikan
kenyamanan pada masyarakat ? Apakah faktor budaya mempunyai pengaruh terhadap kualitas pelayanan ? Apakah makna birokrasi di Indonesia berbeda dengan birokrasi di negara lain ? Apa sebenarnya fungsi birokrasi ? Apakah faktor perilaku birokrasi mempunyai kaitan erat dengan pola kepemimpinan ? Apakah birokrasi pemerintah yang stagnan menjadi faktor utama terpuruknya Indonesia saat ini ? Apakah birokrasi saat ini tidak ada bedanya dengan Era Pemerintahan Soeharto ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut melintas dipikiran penulis ketika membayangkan kualitas layanan publik di Indonesia.
mempunyai pandangan bahwa yang paling penting saat ini adalah demokrasi sudah berjalan dimana rakyat bisa langsung memilih pemimpinnya dan wakilnya di parlemen. Tidak banyak yang menaruh perhatian pada masalah birokrasi pemerintahan. Atau memang tidak banyak yang memahami bahwa agenda reformasi yang belum tuntas adalah reformasi birokrasi.
Dari perspektif sumber daya manusia dapat dikatakan bahwa birokrasi yang ada sekarang ini adalah warisan dari Rezim Orde Baru yang dibentuk pada awal Tahun 1970-an. Sebagian besar Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menduduki Jabatan Eselon I, II, dan III pada Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) merupakan rekruitmen pada Tahun 1970-an sampai Tahun 1980-an. Artinya, mentalitas yang ada pada sebagian besar PNS di level atas dan menengah tersebut masih dipengaruhi alam pikir dan sistem yang diwarisi oleh Rezim Orde Baru. Hal inilah yang luput dari pengamatan dalam reformasi yang sedang berlangsung saat ini. Reformasi yang telah mampu
mengubah sistem pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis melalui Pemilihan Langsung Kepala Negara dan Kepala Daerah belum mampu mengubah wajah birokrasi.
KESIMPULAN
Perilaku birokrasi yang saat ini ditampilkan oleh aparatur pemerintah hanya dapat diubah dengan melakukan pembenahan terhadap perilaku PNS, dalam hal ini menyangkut etika dan moralnya serta perbaikan lingkungan birokrasi Indonesia. PNS harus dapat melihat situasi saat ini sebagai masa transisi, bukan keadaan yang permanen. Dengan tetap menjaga semangat korps PNS, maka PNS diharapkan akan mampu melakukan terobosan dalam pelayanan masyarakat.
Selain itu, PNS harus mengambil jarak dari politik dan fokus kepada tugasnya sebagai unsur aparatur negara,
abdi negara, dan abdi masyarakat. PNS harus yakin bahwa posisinya adalah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, bukan abdi dari partai politik. PNS sebagai pelayan masyarakat tidak mungkin bersifat netral apabila tunduk kepada partai politik.
Etika dan moral PNS merupakan pondasi bagi PNS yang berkualitas. Tidak mungkin dihasilkan suatu perilaku birokrasi yang ideal sesuai dengan tujuan dari pembentukan PNS tanpa memperhatikan masalah etika dan moral PNS. Untuk itu, pembenahan etika dan moral perlu mendapatkan prioritas utama dalam reformasi birokrasi. Dibutuhkan suatu kepemimpinan yang kuat dan reformasi kelembagaan agar agenda mentalitas PNS yang ideal sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dapat terwujud. Semoga !!!
DAFTAR PUSTAKA
Suseno, Frans Magnis. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Kanisius, Jakarta. __________________. 1987. Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
__________________. 2000. Kuasa dan Moral. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Setiadja, Gunawan. 1990. Dialektika
Hukum dan Moral dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia. Kanisius, Jakarta.
Thoha, Mifthah. 1987. Perspektif Perilaku Birokrasi. Rajawali Pers, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1990. Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris. IND-HIL-CO, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1959 tentang Sumpah Jabatan Pegawai Negeri Sipil dan Anggota Angkatan Perang.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun
2000 tentang Pendidikan dan
Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai
Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.
Surat Edaran Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 14/SE/1975 tentang Petunjuk Pengambilan Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil.
Petunjuk Pengambilan Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil.Petunjuk
DEMOKRATISASI DAN PROBLEM NETRALITAS BIROKRASI
DI INDONESIA
Oleh: Gde Wisura
Abstract
This article will explain the problematic situations of bureaucratic reform in Indonesia. The fall of new orde rezim showed how well the process of democratic spread to all parts of Indonesia. Civil society tried to create and reconstruct the political system based on principles of demokratic rule, including how to make bureaucratic independenly. In fact, many case in reform era found there is political cooptation in the bureaucratic system.
Keywords : Political cooptation, democratization, civil servants
PENDAHULUAN
MASA SURAM POLITIK INDONESIA
Seperti kita ketahui, rezim Orde Baru
merupakan rezim yang sangat
menonjolkan kekuasaan negara yang sentralistik. Negara tampil sebagai satu-satunya kekuatan yang tidak dapat ditandingi oleh kelompok masyarakat
manapun juga. Negara menikmati
otonominya berhadapan dengan
masyarakat yang pada gilirannya sering memaksakan kepentingannya. Jaringan
negara terutama lembaga-lembaga
eksekutif, telah ber-kembang menjadi alat-alat efektif dalam mengelola dan menangani mobilisasi untuk mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh negara (Hikam, 1997: 135-134). Lebih dari itu
negara juga berhasil mengontrol
masyarakat dengan berbagai kebijakan dan perundang-undangan serta proses pembentukan tatanan politik, yang secara keseluruhan amat berdampak negatif terhadap nilai-nilai demokrasi.
Pertama, seluruh organisasi sosial dan politik secara ketat dikontrol melalui sejumlah regulasi, sehingga membuat mereka tidak menjadi ancaman bagi negara (Hikam, 1997: 136). Contoh yang amat menarik bagaimana regulasi itu dilakukan dengan cara yang amat otoriter, misalnya terlihat dari kemampuan negara
dalam menolak tuntutan-tuntutan
masyarakat, dan sebaliknya dapat me-maksakan kepentingannya. Sejauh yang teramati dalam masa Orde Baru, dalam
rangka regulasi tersebut, tampak keberhasilan negara dalam mengurangi jumlah partai politik yang ada, dari sepuluh partai menjadi hanya tiga partai politik pada tahun 1973, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dari ketiga partai politik, Golkar
direkayasa sedemikian rupa oleh
pemerintah untuk dijadikan sebagai basis kekuatan untuk memantapkan posisinya dan mendapatkan legitimasi kekuasaan dalam pemilu. Melalui peranan Golkar, strategi inklusioner dari perangkat korporatis negara diberlakukan. Strategi ini dijalankan berbarengan upaya kooptasi organisasi-organisasi sosial beserta para pemimpinnya ke dalam mesin politik (Hikam, 1997: 137).
Akibat kontrol pemerintah yang ketat terhadap organisasi sosial politik dengan hanya mengakui tiga organisasi politik saja,
WHODKPHQJDNLEDWNDQ³PDQGHJQ\D´DVSLUDVL
politik rakyat. Tidak ada kebebasan untuk mendirikan organisasi politik yang mampu menampung aspirasi, tuntutan, dan kepentingan politik dari berbagai masyarakat Indonesia yang notabene adalah masyarakat yang pluralistik. Kita dapat melihat bagaimana pemerintah Orde Baru menyikapi berdirinya Partai Rakyat Demokrat (PRD), Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Pemerintah melalui
aparat keamanan menekan,
dengan alasan keberadaan partai itu dan aktivitas politiknya telah membahayakan negara.
Kedua, dalam rangka melakukan pengetatan kontrol politiknya terhadap masyarakat, Orde Baru memantapkan peranan militer dengan fungsinya sebagai penyangga utama kekuasaan negara bekerjasama dengan teknokrat dan birokrat sipil. Berbagai posisi politik strategis dalam lembaga kepresidenan, kementrian, dan jabatan eselon tinggi tingkat daerah didominasi oleh militer, atau setidaknya dipengaruhhi oleh militer. Tidak hanya itu, bahkan melalui lembaga legislatif pun, yang seharusnya hanya diisi oleh wakil partai yang terpilih melalui pemilu, militer melakukan penetrasi
GHQJDQ VLVWHP ³SHQMDWDKDQ NXUVL´ \DQJ PHUHNDSHUROHKVHFDUD³JUDWLV´WDQSDKDUXV
mengikuti pemilu. Hal inilah yang menyebabkan militer akhirnya menjadi kekuatan sentral yang amat berpengaruhh dalam berbagai pengambilan keputusan politik negara.
Ketiga, dalam upayanya
memobilisasi konflik-konflik politik dan
ideologi, rezim Orde Baru juga
memperkuat posisinya dengan menjadikan ideologi Pancasila sebagai basis wacana politik untuk mendapatkan konsensus melalui hegemoni ideologi. Dengan persatuan dan unifikasi ideologi yang
NHPXGLDQ GLSHUWHJDV GHQJDQ ´SHQJDVDV -WXQJJDO´ 3DQFDVLOD NHORPSRN-kelompok
sosial dan politik yang ada diarahkan dan diikat untuk tidak lagi berkompetisi atas dasar retorika politik, namun dengan dasar program. Orde Baru melakukan depolitisasi dan distribusi eksponensial-ideologisasi terhadap aktivitas politik yang mungkin dilakukan baik oleh partai maupun organisasi sosial yang menjadi sarana artikulasi kepentingan masyarakat.
Keempat, penguatan rezim Orde Baru juga ditandai dominasi lembaga kepresidenan yang berada di tangan Soeharto. Hal ini tampak dengan kemampuan Soeharto mempertahankan kekuasaan selama 32 tahun, antara lain keberhasilannya
merekayasa jaringan struktur politik yang secara keseluruhan terpusat pada lingkaran kekuasaan yang dipegangnya. Lembaga militer di bawah kendalinya, dalam kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Partai politik di bawah kendalinya, melalui tangan Menteri Dalam
1HJHULVHEDJDL³SHPELQDSROLWLN´$NLEDW
pemusatan kekuasaan di tangannya, Soeharto dengan mudah memperalat negara beserta seluruh instrumen politiknya yang ada untuk melakukan kontrol terhadap kehidupan demokrasi.
PENUTUP
Birokrasi sebagai garda terdepan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dituntut untuk profesional dan tidak terkooptasi oleh kepentingan politik sehingga ia dapat menunjukkan postur ideal yang di harapkan publik. Liberalisasi politik sebagai akibat reformasi politik, di sisi lain memberikan godaan bagi birokrasi untuk bermain dalam ranah politik atau menciptakan ruang bagi munculnya politisasi terhadap birokrasi. Beberapa kasus di atas membuktikan bahwa birokrasi sulit sekali melepaskan dirinya dari ranah politik. Untuk itu diperlukan implementasi aturan yang lebih tegas, sanksi yang berat bagi pelanggaran yang dilakukan birokrasi. Perubahan memang tidak berlangsung cepat, namun bila dilakukan sungguh-sungguh kelak kita akan menemukan potret birokrasi yang ideal di negara kita.
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, Jean L & A, Arato, Civil Society and Political Theory, MIT Press: Massachusets, 1992.
Gellner, Ernest, Membangun Masyarakat Sipil : Prasyarat Menuju Kebebasan, Mizan: Bandung, 1992.
0DV·RHG 0RKWDU, Politik, Birokrasi, dan
Pembangunan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1997.
Rozi, Syafuan, Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak : Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006.
Sanit, Arbi, Reformasi Politik, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1998.
Sunantara, I Gde Arya, Rekiblatisasi Peran Strategis KORPRI sebagai Garda Depan Birokrasi Indonesia, Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Volume XIV/Nomor 1/ Januari/2006.
PERILAKU DAN ETIKA PEGAWAI NEGERI:
FAKTA, IDEALISME, DAN TANTANGAN MASA DEPAN
Oleh: Badrus Sholeh
Abstract
Indonesian State Officers – among them are Civil Servants- attempt to adapt from significant parts of the New
O r d e r ‟ s g o v e r n m e n t t o i n d e p e n d e n t g r o u p s p r o f e s s i o n a l l y e n d o r s e d t h e b u r e a u c r a c y f o r i m p l e m e n t i n g g o v e r n m e n t policy. However, the ethics of state officers managed by The Indonesian Laws no. 43/ 1999 is challenged by the
rise of the spirit of democracy, regional autonomy, and human rights.
Keywords : Civil servants, ethies and moral, professional
PENDAHULUAN
Pegawai Negeri telah menjadi bagian dari kerangka besar birokrasi pemerintah Orde Baru dan menopang kekuatan politik
pemerintah baik dalam penerapan
kebijakan nasional maupun mengarahkan pilihan politik praktis. Sebagai bagian dari arus besar politik Orde Baru, Pegawai Negeri sebagai komunitas terbesar lembaga-lembaga pemerintah- menjadi gerbong besar partai pemerintah. Semangat ini dalam beberapa konteks masih timbul pasca runtuhnya Orde Baru, dengan pembagian kekuasaan ke daerah pegawai pemerintah masih lekat dengan kooptasi politik.
Sebaliknya, Orde Reformasi memberi nuansa kebebasan bagi setiap penduduk Indonesia, dan bagi warga yang berstatus Pegawai Negeri juga lebih berani melakukan gerakan-gerakan yang menurut aturan birokrasi bisa dianggap melanggar. Di berbagai daerah, sekelompok Pegawai Negeri Sipil dikerahkan untuk mendukung calon tertentu dalam Pilkada, atau kelompok lain terlibat dalam demonstrasi yang menentang kebijakan pemerintah. Ini adalah fenomena baru yang menjadi tantangan bagi birokrasi pemerintah untuk lebih kreatif dan bijaksana melakukan pembinaan atas pegawainya.
Kasus terbelahnya kepentingan politik daerah yang melibatkan Pegawai Negeri adalah pada Pemilihan Kepala Daerah di Sulawesi Selatan. Pada Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan 5 November
2007, terjadi pertarungan antar kelompok dua calon gubernur, yaitu pasangan Amin-Mansyur melawan Syahrul Agus. Pegawai Negeri Sipil, baik Pemerintah Daerah di Ibu Kota Provinsi, Makassar, maupun di kabupaten atau kota lain juga terbelah secara nyata. Isu etnis sangat kental dimainkan oleh elit. Pegawai Negeri yang beretnis Bugis diarahkan untuk mendukung pasangan calon incumbent Amin Mansyur, karena Amin Mansyur adalah tokoh Bugis, sebaliknya pegawai beretnis Makassar diarahkan untuk memilih pasangan Syahrul-Agus. Syahrul Yasin Limpo, yang sebelumnya menjabat Wakil Gubernur periode Amin Syam Mansur adalah tokoh Makassar. Fenomena ini adalah gejala umum, meskipun faktanya banyak Pegawai Negeri yang beretnis Bugis memilih pasangan Syahrul-Agus karena
keinginan kuat masyarakat untuk
melakukan perubahan. Ketika hasil Pilkada tidak diakui pada tingkat provinsi, karena keberatan kelompok Amin-Syam atas keputusan KPUD Sulawesi Selatan karena diasumsikan terjadi penggelembungan di beberapa Kabupaten1 sehingga dibawa ke Mahkamah Agung. Ketika MA memutuskan bahwa hasil Pilkada Sulsel tidak sah, maka terjadi gelombang arus demonstrasi besar, termasuk diantaranya adalah mayoritas Pegawai Negeri sipil di Pemda Kota
0DNDVVDU \DQJ µPRJRN NHUMD¶ VHEDJDL
aspirasi dukungan atas pasangan Syahrul-Agus. Aspirasi masyarakat atas arah politik yang tidak terbendung dengan
pengaturan netralitas Pegawai Negeri terhadap politik. Bagaimana etika yang semestinya melandasi semangat kerja
pagawai negeri untuk menopang
pemerintah yang bersih dan professional tanpa melihat kepentingan etnis, politik dan kelompok.
Etika Pegawai Negeri telah lama diarahkan menjadi standar nasional bagaimana perilaku aparat negara sangat
mempengaruhi kualitas kerja dan
pelayanan. Dalam Pokok-pokok Pikiran RUU Etika Penyelenggaraan Negara (2005), atau dengan kata lain mengatur perilaku aparat negara, meliputi prinsip, kewajiban, hak, larangan, dan sanksi yang berarti mencakup tiga konsep dasar yang saling mempengaruhi, yaitu etika, moral dan hukum yang mempengaruhi sikap dan perilaku aparat negara.
(www.reformasibirokrasi.habibicenter.or.id)
KESIMPULAN
Pegawai Negeri mendapat tantangan serius pasca runtuhnya Orde Baru. Mereka dituntut oleh masyarakat untuk beradaptasi dalam situasi reformasi dan semangat demokrasi. Etika birokrasi yang selama ini terlihat rigid dan kaku, perlu dirombak
dengan melihat dan mendengarkan
aspirasi masyarakat bagaimana arah dan bentuk birokrasi publik. Pegawai Negeri dituntut untuk melayani masyarakat secara paripurna dan menopang keberlangsungan pemerintah dalam menjalankan program
dan secara maksimal menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Arus
globalisasi dan (sebaliknya) semangat desentralisasi mewarnai arah birokrasi publik yang dituntut mampu menopang pemerintah pusat dan daerah dalam persaingan global. Terbukanya Negara-Negara di Asia Tenggara pada kurun tahun 2015 dalam menerima berbagai arus perorangan dan kelompok jasa memaksa lembaga publik Indonesia untuk berbenah segera menyiapkan kemampuan (skill) dan sikap professional kalau tidak ingin ditinggalkan oleh masyarakat yang
disuguhi banyak pilihan. Dilain pihak, menguatnya primordialisme sebagai efek dari semangat desentralisasi dan reaksi atas derasnya tekanan globalisasi juga telah mempengaruhi kinerja pegawai pemerintah. Netralitas mereka teruji dan kebebasan hak mereka sebagai warga negara untuk berorganisasi dan berpolitik
MXJD WHODK PHQFLSWDNDQ µIULNVL¶ GDODP
wadah birokrasi pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Arfani, Riza Noer. Kinerja Tata Pemerintahan di Sumatra Barat:
Mengembalikan Nagari ke
Pangkuan?, Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia (IASI), Hamburg, 2008.
Detiknews.com,‟ D e m o k r a s i S e m a k i n 126&catid=4, diakses 5 Agustus 2008.
Lanin, Dasman, „ K e b i j a k a n D e s e n t r a l i s a s i dan Pemuliaan Nilai Kultural-Etnis
Dalam Birokrasi (Kasus Model Otonomisasi Nagari di Sumatra
B a r a t ) ‟ , B i s n i s & B i r o k r a s i , J u r n a l
Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. XIV/ No. 1/ Januari, Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, 2006.
Mahfud MD, Moh. ‟ R e s p o n s i v i t a s V o n i s M A a t a s P i l k a d a S u l s e l ‟, Jawa Pos,
24 Desember 2007.
Modul: Pengembangan Kebijakan Etika Pemerintahan Diklat Teknis Kepemerintahan yang Baik dan Etika Pemerintah, Jakarta: Departemen
Dalam Negeri dan Lembaga
Administrasi Negara, Juni 2007.
Muller, Jerry Z. „ U s a n d T h e m T h e
N a t i o n a l i s m ‟ , F o r e i g n A f f a i r s , Vol. 87, No. 2, Maret/ April 2008.
Mustopadidjaja, AR, ‟ F o r m a t B i r o k r a s i NKRI bagi Percepatan Pemulihan
dan Pembangunan Nasional,¶
Indonesian Bureaucracy & Service Watch (IBSW), Jakarta, 17 April 2002.
Pal, Leslie A., „ C o m p e t i n g P a r a d i g m s i n Policy Discourse The Case of
I n t e r n a t i o n a l H u m a n R i g h t s ‟ , P o l i c y
Sciences, An International Journal Devoted to the Improvement of Policy Making, Vol. 28 No. 2, May, Kluwer Academic Publishers, 1995.
Rauf, Maswadi. „ P e merintah Daerah dan
K o n f l i k H o r i z o n t a l ‟, Jurnal Ilmu Politik, No. 18, Agustus 2002.
Rowa, Hyronimus, µDimensi Pelanggaran
Hak Asasi Manusia di Lingkungan Pegawai Negeri Sipil Tinjauan Dari
A s p e k P e r a t u r a n K e p e g a w a i a n ‟
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, No. 3, Vol. 32, Jakarta: Institut Pemerintahan Dalam Negeri, 2006.
Sholeh, Badrus et.al, Balai Mediasi Desa Perluasan Akses Hukum dan Keadilan untuk Rakyat, Suhardi Suryadi (editor), Jakarta: LP3ES, 2007.
Sitepu, Musliana Bangun, „ M e n g a t a s i Berbagai Tantangan Dalam Era
Globalisasi Melalui Peningkatan
P e r i l a k u K e w i r a s w a s t a a n ‟ , B i s n i s &
Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, No. 01/ Vol. XIII/ Januari, Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia, 2005.
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Bandung: Fokusmedia, 2007.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana
PENERAPAN ETIKA MORALITAS DAN BUDAYA MALU
DALAM MEWUJUDKAN KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL
mengatakan bahwa PNS di Indonesia
DGDODK VHEDJDL VXDWX ³NHDMDLEDQ GXQLD´
karena begitu menariknya dan sulitnya memasuki jenjang karier PNS ini. Berawal dari inilah masalah-masalah ini kemudian bermunculan. Terutama masalah yang berkaitan dengan tumbuh suburnya praktek KKN dikalangan aparatur birokrasi (PNS).
Dilihat dari sejarahnya keberadaan abdi negara atau PNS inipun menjadi warga negara kelas menengah yang diberi keistimewaan pada jamannya di masa
jaman kependudukan penjajahan.
Keistimewaan itu diberikan tidak hanya kepada abdi negara tersebut melainkan keluarganya. Terutama keistimewaan untuk sekolah, hak dan kedudukannya dengan warga lain. Pihak kolonial berkepentingan terhadap pendudukannya dengan memelihara birokrasi yang telah dibentuknya dari kalangan kerajaan dan kaum priyayi. Demikian juga memasuki jaman kemerdekaan Orde Lama, Orde Baru dan di era reformasi ini. PNS seolah memiliki kedudukan yang lebih dengan warga negara lain. Seolah PNS di terpenting dalam proses membentuk karakter bangsa terutama dalam proses penegakkan kemerdekaan, sistim yang belum tertata dengan baik, dalam peyelenggaraan pemerintahan maupun kehidupan negara menjadikan abdi negara harus bekerja keras bersama rakyat untuk memperbaiki kehidupan negara. Dilihat dari segi kesejahteraan PNS dijaman Orde Lama masih juga ada keterbatasan, tetapi kedudukannya yang lebih di mata
masyarakat menjadikan PNS masih
menjadi sorotan penting.
Dijaman Orde Baru PNS menjadi bagian penting dalam sistem pemerintahan maupun sistem politik yang terbentuk pada
saat itu. PNS menjadi motor politik dari partai yaitu GOLKAR yang berkuasa dalam menjalankan roda pemerintahan. Hal ini menjadikan kedudukan PNS sebagai abdi negara sekaligus abdi kekuatan politik yang melayani partai berkuasa. PNS dengan lembaga KORPRI-nya bersinergi
menjadi satu kesatuan yang
melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Fakta ini menjadikan PNS sebagai organisasi atau kelembagaan yang
seringkali dimanfaat-kan untuk
kepentingan politik. Akibatnya fungsi aparatur birokrasi sebagai pelayan publik terabaikan dan terdistorsi menjadi abdi partai yang berkuasa pada saat itu.
Kondisi yang tidak berbeda adalah PNS dijaman reformasi seperti sekarang ini, kondisi PNS sekarang ada sedikit
perubahan terutama dari aspek
peningkatan ke-sejahteraan. Cara pandang
masyarakatpun masih tetap sama
menganggap PNS sebagai profesi yang membanggakan, walapun sebenarnya cara pandang demikian di masyarakat lambat laun memudar tidak seperti di jaman Orde Baru yang menjadikan PNS sebagai warga kelas pertama. Di jaman reformasi kehidupan PNS banyak berubah, tuntutan untuk bekerja sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. PNS sekarang juga mendapat tanggungjawab yang berat terutama dalam menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai abdi negara. Pengawasan masyarakat yang semakin menunjukkan kemajuannya menjadikan PNS harus bekerja dengan berbasis kinerja. Selain itu juga harus bekerja secara transparan, akuntabel dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Aspek kesejahteraan di masa
pemerintah merupakan peningkatan tunjangan kepada pegawai yang dianggap memilki fungsi strategis dalam upaya reformasi birokrasi. Selain itu khusus PNS guru dan dosen adanya kebijakan sertifikasi dengan memberikan tunjangan sebesar gaji pokok menjadikan PNS ini semakin ada harapan untuk lebih baik dari aspek kesejahteraan.
Terlepas dari berbagai hal tadi, kondisi PNS masih menjadi sorotan terutama dari aspek perilaku dan etika moralitas. PNS dianggap sebagai pekerja yang bekerja hanya berangkat duduk kemudian pulang dan tinggal menunggu
gaji, sebagian masyarakat masih
menganggapnya demikian. Hal ini wajar karena sebenarnya PNS terlihat masih belum adanya penataan yang jelas terhadap tupoksi dan kelembagaannya. Apalagi memasuki era otonomi daerah keberadaan PNS semakin tidak jelas terutama dengan buruknya manajemen sistim kepegawaian di daerah. Kondisi ini yang seringkali tidak dibarengi dengan peningkatan standar kompetensi PNS. Kenyataan ini mengakibatkan PNS tidak memiliki standar kerja yang jelas. Jadi tidak heran apabila masih adanya PNS terlihat sering bermain game ataupun hanya
duduk-GXGXN VDPELO ³QJHUXPSL´
Kenyataan ini masih banyak terlihat di beberapa lembaga pemerintahan.
Kondisi demikian sebenarnya tidak terjadi kalau pemerintah mampu me-rencanakan kebutuhan PNS secara tepat dan profesional. Terkadang PNS hanya sebatas direkrut dari orang terdekatnya
tanpa proses rasionalisasi yang
sebenarnya kebutuhan PNS itu berapa atau ditempatkan dimana saja. Terkadang hal ini belum dipikirkan, akibatnya kemudian seperti yang terjadi di
Departemen Keuangan yang telah
diungkapkan oleh Menterinya DR. Sri Mulyani bahwa sebenarnya Departemen
Keuangan kelebihan pegawai tapi
sebenarnya juga kekurangan pegawai. Artinya adalah kelebihan pegawai yang dimaksud adalah pegawai yang tidak
memiliki tupoksi yang jelas mencapai tujuh
ribuan sedangkan kekurangannya
mencapai hampir enam ribuan pegawai. Contoh kasus tersebut juga terjadi di daerah, PNS yang ada di daerah belum ada data yang jelas, kebutuhannya berapa, jumlahnya berapa dan rasionalisasi kebutuhannya sebenarnya berapa. Hal ini berkaitan dengan sistem informasi yang belum terbangun di daerah sehingga sulit diketahui rasionalisasi PNS di daerah. Sisi lain daerah juga masih dihadapkan pada berbagai persoalan berkaitan dengan kepegawaiannya, kedisiplinan, etika dan moralitas, kinerjanya, belum lagi permasalahan krusial lainnya seperti tugas dan tanggungjawab yang seringkali diabaikan. Di berbagai daerah melalui Bupati atau Walikotanya melakukan reformasi PNS melalui berbagai rangkaian kegiatan dan upaya dari regulasi sampai tingkat kesejahteraannya. Pada akhirnya ditiap daerah terkadang PNSnya memiliki budaya kinerja yang berbeda.
Ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan PNS yaitu : rasionalisasi PNS, faktor ketidakefektifan kinerja PNS dalam fungsi pelayanan publik, kondisi berlebihan jumlah PNS di Indonesia pada berbagai pemerintahan. Setiap tahun pengangkatan pegawai ditekan dalam jumlah yang seminimal mungkin dan hanya 15 persen dari total jumlah pegawai yang pensiun setiap tahun. Jika jumlah pegawai per tahun, mulai tahun 2007, yang pensiun berjumlah 120.000
orang, maka pemerintah hanya
miskin. Membengkaknya jumlah pegawai di Indonesia yang tidak sebanding dengan output kerja yang dihasilkan dalam bidang pelayanan publik merupakan dampak kebijakan politik birokrasi Orde Baru (Zaenal Muttaqien, 2008).
Selain itu menurut Edy Satria, (2005), seakan telah menjadi sebuah menu rutin, hujatan kepada sekitar 4 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali menjadi berita utama pasca lebaran yang lalu. Meski terkesan repetitif menguraikan inefisiensi birokrasi dan kebobrokan mental aparatnya, pemberitaan itu juga semakin dalam mencungkil berbagai segi yang terkait
dengan PNS. Bukan hanya
PHQJJDPEDUNDQ WHUMDGLQ\D ³NXFLQJ -NXFLQJDQ´ DQWDUD SHMDEDW \DQJ PHODNXNDQ
inspeksi mendadak dengan para pegawai, perilaku PNS yang hanya bersalam-salaman lalu pulang, atau tentang sanksi yang mungkin diterima pegawai, tetapi beberapa pemberitaan dan editorial juga melebar. Ujung-ujungnya, pemberitaan menjalar kepada masih maraknya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di lingkungan PNS
Hal lain seringkali menjadi sorotan terhadap PNS adalah dari masa orde satu ke orde yang lainnya setiap kali PNS dianggap syarat KKN, kinerja yang tidak baik dibandingkan dengan pegawai swasta, ataupun sebutan sebagai pegawai yang tidak profesional. Kondisi yang lebih mem-prihatinkan adalah kondisi PNS yang tidak lagi memiliki etika dan moralitas. Salah satu contohnya adalah PNS diberbagai
GDHUDK \DQJ NHWDKXDQ ³QJDPDU´ SDGD
bulan puasa di hotel di wilayah Surakarta, dan baru-baru ini yang sering terjadi adalah perselingkuhan, hamil diluar nikah, sampai terjadinya kegilaan pada PNS yang menjadikan mereka mendapat sanksi yang tegas dari pimpinannya, (Suara Merdeka, 13-10-2008)
PENUTUP 1. Kesimpulan
Berbagai persoalan yang berkaitan dengan keberadaan PNS sangat kompleks. Permasalahan tersebut dimulai dari proses rekruitmen yang tidak mengedepankan
analisis dan kebutuhan, sistem
penempatan yang tidak memperhatikan
kinerja, sistem penggajian dan
penghargaan yang kurang memperhatikan prestasi dan kinerjanya. Belum lagi
permasalahan karier PNS, sistem
pendidikan dan pelatihan serta berkaitan dengan sistim pemberhentian PNS.
Berbagai permasalahan tersebut
diperlukan langkah-langkah yang nyata dalam mewujudkan aparatur birokrasi yang bersih, profesional dan berperan sebagai pelayan masyarakat. Untuk itu diperlukan proses atau sistem reformasi birokrasi kepegawaian yang konferhensif dimulai dari pengadaan sampai pem-berhentian dari PNS tersebut.
Pengadaan PNS diperlukan sistem yang lebih terbuka dan transparan serta mem-perhatikan profesionalisme artinya, jika selama ini pengadaan PNS hanya diprioritaskan kepada para tenaga honorer yang notabene dari aspek kualifikasi belum tentu menjadi kebutuhan dan keahliannya. Maka diperlukan sebuah analisis dan kebutuhan dari PNS yang terencana dan tersistimatis. Demikian halnya penilaian kinerja PNS tidak lagi pada cara-cara klasik yang menilai PNS tidak berbasis pada kinerjanya melainkan sekedar kepatuhan semata. Dan implikasi dari sistem reward and punisment harus benar-benar diterapkan kepada aparat birokrasi baik yang berprestasi maupun yang melanggar aturan harus ada ketegasan.
slogan dan retorika yang ada dalam Panca Prasetya KORPRI maupun Sapta Marga dan sederetan Undang-undang atau
Peraturan Pemerintah Tentang
Mahsun, Mohammad, 2006, Pengukuran Kinerja Sektor Publik, BPE, Yogyakarta.
Manulang dan Manulang, mahirot, AMH (2001), Manajemen Personalia Edisi-3, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Robbins, Stephen, 2006, Perilaku Organisasi, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.
Ruky, Achmad S, 2001, Sistim Manajemen Kinerja, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Supriyadi, Gering & Tri Guno, 2003,
Budaya Kerja Organisasi Pemerintah,
Lembaga Administrasi Negara
Republik Indonesia, Jakarta
Suradji, 2003, Manajemen Kepegawaian Negara, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta
Swanson, R.A dan E.F. Holton III, 1999,
Results : How to asseses performance, learning, and perceptions in organizations, San Fransisco : BerretKoeler Publisher. Inc
Thoha, Miftah, 2007, Birokrasi & Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta
Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001,
Pembangunan Dilema Dan
Tantangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Wibawa, Samudra, 2005, Reformasi
Administrasi Bunga Rampai
Pemikiran Administrasi
Negara/Publik, Gava Media, Yogyakarta
Kementerian PAN-RI, Pedoman
Pengembangan Budaya Kerja
Aparatur Negara, Jakarta, 2002
PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN DISIPLIN YANG EFEKTIF
TERHADAP KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL
Oleh: Herman
Abstract
The discipline of civil servant has long been an intersting topics to continously discuss, in particular in discussions of the civil servant development. Normatively, the discipline of civil servants have been regulated, yet the rules and regulation number 30 year 1980 on Discipline of Civil Servant, still limited on obligations, restrictions and sanctions. However, the methods how to develop them is not regulated yet. This is important became discipline can not be instilled in short time, but it requires well planned, continous, and systematic development to achieve ideal civil servants. The model presented in this article is expected to be utilized as refference for helping the leaders in every levels to develop discipline of the service servants in organization.
Key words: development, discipline, and civil servant
A. DASAR PEMIKIRAN PEMBINAAN DISIPLIN PEGAWAI
Dalam konteks manajemen sumber
daya manusia (MSDM), pentingnya
pembinaan disiplin pegawai berangkat dari pandangan bahwa tidak ada manusia yang sempurna, terbebas dari kekhilafan dan kesalahan. Pendek kata, tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat salah. Oleh sebab itu, setiap organisasi termasuk instansi pemerintah perlu memiliki berbagai ketentuan yang harus ditaati oleh seluruh anggota organisasi dan didukung oleh standar yang harus dipenuhi oleh setiap pegawai. Begitu pentingnya kedisiplinan, sehingga ada ahli yang berpendapat bahwa kedisiplinan merupakan fungsi operatif MSDM yang terpenting, karena semakin baik disiplin pegawai, semakin tinggi prestasi yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin pegawai yang baik, sulit bagi suatu organisasi pemerintah mencapai hasil yang optimal. Sun Tzu, seorang ahli
strategi China dalam bukunya “ A r t o f W a r ” , mengatakan bahwa segala kebijakan tidak
mempunyai arti kalau tidak didukung oleh para pelaksananya. Hal yang demikian, berlaku pula bagi komunitas aparatur
negara, khususnya PNS, yang
menempatkan kedisiplinan sebagai salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pencapaian kinerja organisasi.
Sebagai bagian dari aparatur negara, masalah disiplin PNS, di samping
sebagai kewajiban moral dari konsekuensi ke-beradaannya selaku penyelenggara
tugas-tugas pemerintahan dan
pembangunan, juga merupakan tantangan logis yang tumbuh seirama dengan tuntutan perubahan dan perkembangan kemajuan masyarakat. Sebab, semakin majunya arus perkembangan dan tuntutan perubahan lingkungan, berimplikasi pula pada kemajuan pola pikir dan sikap kritis masyarakat, disertai tuntutan kebutuhan pelayanan yang semakin baik dari aparatur
negara. Dalam keadaan demikian,
diperlukan suatu kondisi dan kapasitas aparatur yang bersih dan bebas dari virus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta
GLKDUDSNDQMXJD316ELVD³EHUZLEDZD´
Aparatur yang bersih dan berwibawa akan terwujud, bila menempatkan nilai-nilai disiplin sebagai acuan hidupnya. Bersih artinya bahwa PNS sebagai pribadi memiliki ketaatan pada aturan yang berlaku dan menjadikan ketatan tersebut
sebagai kebanggaan. Sedangkan
berwibawa artinya, bahwa PNS sebagai pribadi memiliki kemauan dan kemampuan menjadikan pegawai atau masyarakat yang dipimpinnya untuk taat pada aturan yang berlaku, dan mereka akan dihargai oleh
PDV\DUDNDW NDUHQD ³NHEHUVLKDQ GDQ NHSHGXOLDQQ\D´ XQWXN PHQHPSDWNDQ
tugas-tugas ke depan yang semakin kompleks, maka PNS semakin dituntut untuk menunjukkan jati dirinya dalam menunaikan kewajiban, serta pengabdian pada bangsa, negara dan masyarakat. Sebab di satu sisi, beban negara dalam melaksanakan pembagunan nasional yang semakin kompleks menjadi tanggung jawab pegawai selaku abdi negara, di sisi lain, dalam kapasitasnya sebagai abdi masyarakat, harus mampu memberikan pelayanan optimal pada masyarakat yang
semakin berkembang, baik dalam
wawasan berpikir maupun sikap dan perilaku yang semakin kritis dalam tuntutan kebutuhan dan pelayanan dari aparatur negara.
Untuk mengantisipasi tuntutan kebutuhan disiplin PNS, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yang di dalamnya mengatur tentang kewajiban, larangan dan sanksi terhadap kewajiban yang tidak ditaati atau larangan dilanggar. Namun, terlepas dari beberapa kelemahan yang terdapat dalam peraturan tersebut, hingga saat masih sangat terasa bahwa masih banyak persoalan yang timbul berkaitan dengan sikap dan perilaku disiplin PNS. Untuk sekedar menyebut contoh, mulai kemangkiran pada saat jam kerja kantor, hingga perilaku tercela berat lainnya, seperti kebocoran anggaran, restitusi pajak, rekrutmen pegawai, peng-rusakan hutan lindung, kebejatan moral, dan lain-lain. Hal ini menandakan bahwa efektivitas peraturan tersebut masih berada pada tataran yang sangat rendah, untuk tidak disebut sebagai kelemahan (kegagalan) dari aturan tersebut.
Dari beberapa pertimbangan dapat disebutkan bahwa salah satu kelemahan dari peraturan disiplin tersebut adalah berkaitan dengan belum adanya cara
bagaimana melakukan pembinaan
pegawai. Dengan kata lain, peraturan disiplin tentang PNS baru sebatas memuat kewajiban, larangan dan sanksi, tetapi bagaimana cara melakukan pembinaan
belum diatur di dalamnya. Hal ini pentingnya mengingat disiplin pegawai tidak muncul seketika, tetapi melalui proses pembinaan yang dilakukan secara terarah, sistematis dan berkesinambungan, sehingga tercapai sosok PNS yang diinginkan. Untuk menuju ke arah hal tersebut, sudah tentu perlu adanya suatu panduan secara tertulis guna membantu para pimpinan di setiap lini dalam melakukan pembinaan disiplin PNS di lingkungan organisasi/unit kerja masing-masing.
CATATAN PENUTUP
Model pembinaan disiplin PNS yang disajikan dalam tulisan ini merupakan satu rangkaian dari penelitian dengan fokus mendesain suatu model pembinaan yang efektif terhadap kinerja pegawai. Untuk itu, paling tidak ada dua catatan penting sebagai kesimpulan terkait dengan pembinaan disiplin PNS.
Pertama, ternyata tidak mudah untuk merumuskan suatu model pembinaan disiplin pegawai yang seragam dan bersifat universal berlaku untuk seluruh kalangan PNS. Namun universalisme dalam tulisan ini bertitiktolak dari argumentasi normatif
undang-undang kepegawaian yang
mensyaratkan kebijakan dibuat oleh pusat dan pelaksanaannya didesentralisasikan ke daerah guna mewujudkan fungsi PNS yang satu (unified system) dan sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa, memberikan alasan penguat tentang pentingnya satu model pembinaan PNS yang seragam dan berlaku secara nasional.
Kedua, bahwa dalam kerangka normatif sistem kepegawaian (manajemen PNS), pembinaan disiplin, pembinaan karier dan pembinaan etika profesi,
merupakan satu rangkaian yang
terintegrasi dan pe-laksanaanya
dikembangkan. Model ini bersumsi bahwa efektivitas pembinaan PNS akan tercapai dengan baik apabila dilakukan secara terintegrasi, berkesinambungan dan terus menerus antara pembinaan disiplin, pembinaan etika dan pembinaan karier pegawai. Pembinaan disiplin pegawai pada dasarnya bukan merupakan kegiatan yang insedensil yang hasilnya langsung dapat dirasakan, melainkan merupakan proses belajar (learning process), dan ini bisa terjadi dalam organisasi yang anggota-anggotanya secara terus menerus mau belajar (learning organization).
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, M. Joko, 2002. Pemahaman dan
Tanggapan Terhadap Substansi
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000, dalam Pegawai Negeri Sipil di Era Revolusi dan Otonomi Daerah, Jakarta, Puslitbang BKN.
Hardijanto, 2003. Pembinaan
Kepegawaian Dalam Sistem
Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta, Makalah disampaikan pada Diklatpim Tingkat II, LAN, 2003.
Mangkunegara, Anwar Prabu, 2004. Manajemen Sumber Daya Manu-sia Perusahaan, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Mathis, Robert, L., Jackson, John, H., Manajemen Sumber Daya Manusia, (terjemahan), Jakarta, Salemba Empat, 2002.
Minor, Marianne, 2002. Coaching and Counseling, (terjemahan), Jakarta, PPM.
Podo, Hadi & Sullivan, Joseph, J., 2000. Kamus Ungkapan Indonesia-Inggris, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Rahardjo, Tri Budi, W., dkk., 2000.
Manajemen Untuk Pekerja Sosial, Jakarta, Pusat Informasi dan Penerbitan, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia.
Sastrohadiwiryo, B., Siswanto, 2003.
Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif dan Operasional, Jakarta, Bumi Aksara.
Saydam, Gouzali, Kamus Istilah Kepegawaian, Jakarta, Pustaka sinar Harapan, 1997.
Soedarsono, Soemarno, Character Building, Membentuk Watak, Jakarta, Elek Media Komputindo, 2002.
Salusu, J, 1996. Pengambilan Keputusan Strategik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Grasindo, Jakarta.
Tayibnapis, Burhannudin, A., Administrasi Kepegawaian Suatu Tinjauan Analitik, Jakarta, Pradnya Paramita, 1995.
Thoha, Miftah, 1993, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasi, Jakarta, Grafindo Persada.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Call for Papes
:
³&,9,/6(59,&(´
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
5HGDNVL ³Civil Service´ - XUQDO .HELMDNDQ GDQ 0DQDMHPHQ 316 \DQJ GLNHOROD ROHK 3XVDW 3HQJNDMLDQ GDQ
Penelitian Kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara mengundang para akademisi dan praktisi serta para pengelola kepegawaian untuk mempublikasikan tulisan/artikel maupun hasil riset terkait/relevan pada Volume IV Nomor 1 dan 2 Tahun 2010.
7HPD \DQJ GLDQJNDW SDGD 9ROXPH ,9 1RPRU 7DKXQ DGDODK ³5HIRUPDVL .HSHJDZDLDQ´ GDQ WHPD SDGD
9ROXPH ,9 1RPRU 7DKXQ DGDODK ³3URIHVLRQDOLVPH 316´Urgensi penetapan tema ini didasarkan pada
kondisi objektif prioritas kebijakan pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi secara sistematis, komprehensif, dan berkesinambungan, khususnya dalam bidang kepegawaian.
Naskah yang diterima dewan redaksi akan di-review oleh Redaksi Ahli. Naskah untuk Volume IV Nomor 1 Tahun 2010 diterima oleh Dewan Redaksi paling lambat Tanggal 30 April 2010 dan naskah untuk Volume IV Nomor 2 Tahun 2010 diterima oleh Dewan Redaksi paling lambat Tanggal 30 September 2010. Naskah dapat dikirim via email: puslitbang_bkn@yahoo.com.
6\DUDW SHQXOLVDQ DUWLNHO VHVXDL GHQJDQ IRUPDW ³Civil Service´ \DQJ GDSDW GLOLKDW GLwww.bkn.go.id). Artikel
maksimal terdiri dari 15 ± 30 halaman dan diketik dengan spasi tunggal. Abstraksi maksimal terdiri dari 250 kata
dan disertai dengan keywords. Setiap artikel yang dikirimkan disertai dengan nama dan alamat korespondensi penulis.
Contact Person: