• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 TINJAUAN DAN PERBANDINGAN ARSITEKTUR PURA MAOSPAIT DENGAN BEBERAPA PURA KUNA LAIN DI BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 4 TINJAUAN DAN PERBANDINGAN ARSITEKTUR PURA MAOSPAIT DENGAN BEBERAPA PURA KUNA LAIN DI BALI"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 4

TINJAUAN DAN PERBANDINGAN ARSITEKTUR PURA MAOSPAIT DENGAN BEBERAPA PURA KUNA LAIN DI BALI

Berdasarkan pengertian pura secara umum yang sebelumnya telah dijelaskan, maka pura dapat dibagi berdasarkan beberapa kelompokvii, di antaranya adalah:

4.1. Tipologi Bangunan Suci Pada Komplek Pura

Bangunan pura pada umumnya menghadap ke arah barat dan bila memasuki pura menuju ke arah timur, sedangkan persembahyangannya menghadap ke arah timur yaitu ke arah terbitnya matahari. Komposisi bangunan-bangunan yang ada di dalam pura berjajar dari utara ke selatan atau kaja-kelod di sisi timur, menghadap ke arah barat dan sebagian di kaja menghadap ke kelod (Gelebet 1986 108 dan 120).

Tempat pemujaan atau pura terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama adalah bangunan-bangunan pelinggih untuk tempat perwujudan (menstanakan) yang dipuja atau diupacarai atau yang dipuja dari pura tersebut. Bangunan-bangunan itu disebut juga penyawangan atau pesimpangan. Selain bangunan utama, ada bangunan pelengkap untuk pelaksanaan upacara, antara bale pawedan, bale piyasan, bale gong, bale pengambuhan.

Ada juga bangunan penyempurna sebagai bangunan tambahan yang menyempurnakan candi bentar, kori agung, bale kulkul, pewaregan, wantilan dan bangunan pelengkap lainnya yang bertujuan untuk menyempurnakan. Berdasarkan konstruksinya, bangunan-bangunan pemujaan terdiri dari pasangan

(2)

batu, konstruksi kayu dan penutup atap atau gabungan antara konstruksi batu di bawah dan konstruksi kayu di atas.

a. Tugu

Bentuk bangunan yang berdenah bujur sangkar terdiri atas tiga bagian yaitu kaki, badan dan kepala atau tepas batur tenggek. Bagian bawah bangunan besar dan mengecil ke arah atas dengan hiasan-hiasan. Bagian kepala membentuk ruang tempat sesajen. Bahan bangunan pada umumnya bahan batu alam seperti batu padas, batu karang laut, batu bata atau jenis-jenis batu lainnya atau campuran atas beberapa jenis batu. Bangunan tugu berfungsi untuk pelinggih atau menstanakan sarwa bhuta, kala dengan atau roh-roh halus lainnya. Letak bangunan ini di bagian depan mengarah teben kelod atau kauh, sedangkan jika ada di pekarangan dimaksudkan sebagai apit lawang.

b. Candi

Bentuknya serupa dengan tugu, pada bagian kepala memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas. Denah bangunan berbentuk bujur sangkar, bujur sangkar dan tinggi bangunan bisa mencapai 10 m atau lebih tinggi lagi dengan memperhatikan keindahan proporsi. Bahan bangunan menggunakan batu alam seperti batu padas, batu karang laut dan batu bata halus.

Candi ada yang berbentuk candi rengat, candi kurung, candi gulung atau kori agung dengan berbagai macam-macam variasi dan hiasannya yang berfungsi sebagai pintu masuk pekarangan. Sesuai dengan keindahan proporsi, bentuk fungsi dan besarnya atap candi bertingkat tiga sampai sebelas. Berdasarkan dengan fungsinya sebagai pintu masuk, candi bentar, candi gelung atau kori agung letaknya di tembok penyengker batas pekarangan pura, sedangkan candi rengat letaknya di halaman pura di jeroan.

c. Padma

Fungsi utamanya adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Bentuknya lengkap, madia dan sederhana, masing-masing disebut padmasana,

(3)

padmasari, padma capah. Padmasana yang berbentuk sederhana pada umumnya difungsikan sebagai tempat pemujaan di tempat-tempat yang dianggap angker atau ada penunggunya. Bangunan padmasana sebagai tempat pemujaan umumnya ada di pamerajan kasta brahmana, di kahyangan tiga, di kahyangan jagat atau sad kahyangan. Bentuk bangunan padmasana serupa dengan candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan. Padmasana tidak memakai atap dan bangunannya terdiri atas bagian-bagian kaki yang disebut tepas, badan atau batur dan kepala disebut sari.

Padmasana dalam bentuk dan fungsi utamanya dilengkapi dengan bedawang nala dilukiskan sebagai kura-kura raksasa mendukung padmasana yang dibelit seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa yang dilukiskan dalam posisi terbang di belakang padma, masing-masing merupakan kesatuan dengan padmasana. Bedawang nala, garuda dan angsa merupakan simbol-simbol dari mitologi yang melukiskan keagungan bentuk dan fungsi padmasana. Pada umumnya padmasana memiliki tinggi 5 M dengan dasar segi empat atau bujur sangkar sisi-sisinya sekitar 3 M dan mengecil ke arah atas. Bangunan padma menggunakan bahan dari batu alam atau batu buatan. Letak padmasana pada ummnya terletak di kaja-kangin menghadap ke barat atau miring menghadap kelod-kauh.

d. Gedong

Bentuknya serupa dengan tugu, tetapi bagian kepala dibuat dari konstruksi kayu, atapnya alang-alang, ijuk atau bahan-bahan penutup atap lain yang disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya. Penggunaan bangunan gedong terdiri atas beberapa fungsi sesuai dengan tempatnya di pamerajan, pura, kahyangan atau tempat-tempat tertentu. Tata letak gedong, bentuk konstruksi atap atau ketentuan-ketentuan lain ditentukan atau sesuai dengan fungsi gedong atau yang dipuja pada gedong tersebut. Pemakaian bahan, penyelesaian konstruksi dan hiasannya sesuai dengan tingkatan utama, madia dan sederhana suatu pura yang ditempatinya. Selain gedong dalam bentuknya yang umum ada pula gedong dengan bentuk dan fungsi tertentu, gedong dengan dua ruangan atau gedong kembar.

(4)

Gedong dengan tiga ruangan atau rong telu untuk kemulan di sanggah atau pamerajan. Gedong dengan atap bertumpang di sebut gedong sari untuk tempat-tempat pemujaan persinggahan atau memuja yang dipuja di kahyangan jagat dari suatu pura tertentu. Komposisi orientasi dan tata letak gedong disesuaikan dengan yang dipuja pada atau melalui gedong tersebut. Umumnya bangunan gedong sebagai tempat pemujaan di pura menghadap ke barat dari jajaran kaja kelod atau utara selatan. Gedong yang berfungsi sebagai tempat pemujaan persinggahan menghadap kelod dari jajaran kangin kauh atau timur barat di sisi kaja.

e. Meru

Bentuknya menonjolkan keindahan atap bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Jumlah tumpang atap selalu ganjil, meru tumpang 3, 5, 7, 9 dan 11 sebagai tingkat tertinggi. Meru terdiri atas bagian kepala dengan atap, badan sebagai ruang pemujaan dan kaki dengan bentuk batur. Fungsi meru sebagai tempat untuk pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, dewa-dewa dan leluhur di Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat, Kahyangan Tiga atau Pamerajan Agung.

Tata letak meru di suatu pura tempat pemujaan ada di halaman jeroan bagian utara. Pada umumnya meru menghadap ke barat di sisi timur sebagai tempat pemujaan utama. Deretan bangunan pelinggih meru, padma, gedong dan bangunan-bangunan pemujaan lainnya berderet kaja kelod di sisi timur menghadap ke barat. Persembahyangan pemujaan manghadap ke timur, ke arah matahari terbit. Pada beberapa pura orientasi persembahyangannya berbeda, hal ini disebabkan keadaan lokasi dan filosofi khusus, seperti Pura Kahen yang menghadap kaja dan Pura Uluwatu yang menghadap kelod kauh dan masing-masing merunya menghadap kelod dan kaja kangin.

f. Pelinggih-pelinggih runtutan

Meru, padmasana, gedong dan kemulan merupakan bangunan-bangunan pelinggih tempat pemujaan utama dan untuk bangunan pelengkap dengan fungsi-fungsi tertentu di suatu pura dibangun bangunan-bangunan runtutan, antara lain:

(5)

- Tajuk atau pepelik bentuk dan konstruksinya serupa bangunan gedong terbuka tiga sisi ke depan dan kesamping. Fungsinya untuk penyajian sarana dan perlengkapan upacara.

- Bangunan dan paliangan, bentuk dan konstruksinya serupa dengan gedong, sedikit lebih besar dan ada yang memakai tiang jajar. Bangunan tajuk terbuka pada tiga sisi dan berfungsi untuk menstanakan simbol-simbol dan sarana upacara. Letak tajuk atau pepelik, pengaruman atau peliangan di bagian samping depan sisi halaman pelinggih-pelinggih utama.

- Taksu nenggeng atau seperti gedong bertiang satu dan taksu nyangkil seperti gedong ruang dua empat tiang, dua tiang gantung di tepi kanan. Bangunan kemulan rong tiga juga ada dengan empat tiang, empat tiang lainnya merupakan tiang gantung dengan masing-masing dua di tepi kanan dan dua di tepi kiri. Bangunan-bangunan kemulan dengan taksu untuk tempat pemujaan di pamerajan agung atau sanggah kawitan.

- Gedong mas catu dan mas sari memiliki bentuk dan konstruksi yang sama dengan gedong. Mas catu puncak atapnya tumpul sedangkan mas sari puncak atapnya kerucut lancip. Fungsinya untuk tempat pemujaan sri sedana, harta kekayaan untuk kesejahteraan.

- Menjangan seluang memiliki bentuk dan konstruksi serupa gedong, terbuka tiga sisi, pada bagian depan memakai tiang tengan dengan kepala menjangan. Fungsinya sebagai tempat untuk pemujaan Mpu Kuturan penyebar agama Hindu dan pembinanya.

- Gedong agung, gedong ibu atau gedong batu, bangunan gedong besar dengan dinding tembok batu berhias ornamen pepalihan. Fungsinya untuk tempat pemujaan leluhur di sanggah atau pamerajan kawitan, dadia atau paibon. Ada pula yang dibangun di pura-pura Kahyangan Tiga.

g. Bangunan-bangunan pelengkap upacara

Pelaksanaan upacara pemujaan, odalan, pujawali memerlukan bangunan pemujaan penyajian upacara dan bangunan-bangunan pelengkap pelaksanaan upacara, bangunan-bangunan itu antara lain:

(6)

- Bale piyasan, sebuah bangunan tipe sakepat sakenem, astasari atau sakaroras sesuai dengan besarnya tingkatan pura tempat pemujaan. Fungsinya sebagai tempat penyajian sarana-sarana upacara atau keaktifan serangkaian upacara. Bangunan bale piyasan terbuka tiga sisi atau empat sisi dan terletak di sisi barat halaman atau sisi lain yang menghadap ke arah pemujaan meru, gedong atau padmasana. Atap bangunan terdiri atas alang-alang, bahan bangunan lainnya dari kelas khusus untuk bangunan-bangunan pemujaan.

- Bale pawedan merupakan bangunan sakepat atau bangunan yang lebih besar, letaknya di sisi yang berhadapan dengan bangunan pemujaan dan menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan. Bale pawedan dibangun di pura-pura besar yang sering menyelenggarakan upacara tingkat utama yang memerlukan tempat pawedan.

- Pewaregan suci, terletak di jaba tengah atau di jaba sisi. Bentuk bangunan memanjang dengan deretan tingkat dua-dua, luas bangunan tergantung keperluan dari besarnya suatu pura. Fungsi bangunan untuk dapur adalah tempat mempersiapkan keperluan sajian upacara di pura yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.

- Bale gong, terletak di jaba tengah atau di jaba sisi. Merupakan bangunan tanpa balai-balai jajaran tiang tepi tanpa tiang tengah. Pada umumnya luas bangunan sekitar 20 m2, tebuka di keempat sisi atau ke belakang perbatasan dengan tembok penyengker. Fungsi bangunan sebagai tempat menabuh gamelan gong atau gamelan lainnya.

- Bale kulkul, terletak di sudut depan halaman pura dan memiliki bentuk susunan tepas, batur, sari, dan atap penutup ruang kulkul atau kentongan. Berfungsi sebagai tempat kulkul yang dibunyikan awal akhir dan saat tertentu dari rangkaian upacara. Bentuk-bentuk bale kulkul ada yang sederhana, madia dan utama sesuai dengan fungsi pura.

- Panggungan, bangunan tiang empat atap pelana balai-balai tinggi luasnya sekitar 2 m2. Terletak di bagian utara atau di jabaan. Bentuk bangunan sederhana dan memiliki fungsi sebagai tempat penyajian banten upacara. Bangunan panggungan dibangun di beberapa pura yang tergolong besar dan sering melakukan pemujaan utama.

(7)

4.2 Struktur Bangunan

Bangunan tempat pemujaan terdiri dari tiga unsur tri hita karana yang dipuja di suatu pura sebagai jiwa yang dijadikan tempat pemujaan sebagai fisik yang melaksanakan pemujaan sebagai tenaga. Untuk suatu kehidupan diperlukan adanya jiwa fisik dan tenaga. Fisik bangunan tempat pemujaan terdiri dari bagian-bagian kepala, badan dan kaki atau atap, rangka ruang dan bebaturan masing-masing dengan bentuk-bentuk yang sesuai dengan fungsinya.

a. Bebaturan

Bentuknya sederhana terdiri atas batu alam atau batu bata dengan bentuk bujur sangkar dan memiliki tinggi yang disesuaikan dengan macam dan fungsi bangunannya. Bebaturan terlihat jelas di bangunan-bangunan candi, padmasana, bale kukul dan bale wadah. Bentuk-bentuk pepalihan dan hiasan juga menentukan tingkat keutamaan bebaturan.

Tepas atau repas ujan merupakan bidang dasar bangunan antar pondasi dan pasangan bebaturan. Tebal atau tinggi di atas tanah amusti kurang lebih 15 cm dan atapak + anggandang kurang lebih 30 cm lebih lebar sekeliling bebaturan. Bebaturan padmasana bujur sangkar panjang bangunan-bangunan gedong dan bangunan meru bebaturannya susunan tepas dan batur. Letak sarinya ditempati oleh rangka ruang meru atau gedong. Bahan bangunan untuk bebaturan, batu bata pasangan atau batu-batu alam jenis batu padas.

b. Rangka ruang

Sebagian badan bangunan tempat pemujaan adalah rangka yang membentuk ruang tempat pemujaan, konstruksi kayu pada meru dan gedong pada macamnya. Empat tiang merupakan pokok konstruksi dengan lambang sineb ikatan atas dan sunduk waton ikatan bawah, kaki tiang di bawah waton. Pada meru dan gedong, tiga sisi tertutup ke arah depan dengan pintu tajuk dan terbuka pada tiga sisi.

Meru dan gedong dengan berbagai jenisnya tergolong agung atau utama dilengkapi dengan tiang-tiang jajar di depan atau di sisi-sisinya. Hiasan ukiran pada pintu dan tiang-tiang jajar sendi alas tiang hiasannya singa bersayap, karang

(8)

tapel atau kera penyangga tiang. Pada bagian kerangka ruang pemujaan dipakai kayu-kayu khusus untuk parhyang, kayu cendana, menengan, majagau, cempaka dan beberapa jenis kayu lainnya.

c. Atap

Bagian kepala adalah struktur atap dengan bentuk-bentuk pelana kampyah atau limasan. Kayu-kayu bahan kerangka atap dari kayu-kayu kelas khusus seperti kerangka ruang badan. Betaka sebagai konstruksi pengikat puncak atap bahannya kayu cendana atau jenis-jenis kayu utama lainnya yang lebih utama dari kayu-kayu kerangka di bawahnya. Bahan penutup atap dipakai ijuk, alang-alang atau sirap bambu di pegunungan yang mudah menghasilkan bambu.

Bangunan-bangunan pemujaan di sanggah atau pamerajan dan pura-pura yang sederhana konstruksi atau pelana kampyah dari bahan alang-alang. Penyelesaian konstruksi rangka atap serupa dengan atap bangunan rumah, ukuran-ukuran batang konstruksi dan jarak lebih kecil sesuai dengan besar bangunan. Susunan rangka, pemade, pemucu, iga-iga dedalas, kolong, dedeleg atau betaga dan tuge bila diperlukan. Alang-alang sebagai penutup diikat dalam bentuk bidang-bidang ingketan yang diikatkan pada iga-iga. Ujung atap dipotong rapi. Atap ijuk bisa dengan sistem ingketan atau dengan sistem jepit setiap lapis pada bilah-bilah jepitan. Atap bagian bawah pada dedalas dengan lekesan ijuk yang dipotong rapi. Puncak atap ditutup dengan paso atau murdha berornamen.

4.3 Susunan Pura Sebagai Kompleks Bangunan

Pada umumnya pura terdiri dari tiga halaman atau tiga bidang tanah yang masing-masing dikelilingi oleh tembok batas atau penyengker. Ketiga halaman itu saling berhubungan melalui gapura. Halaman paling depan atau luar disebut jabaan atau jaba saja, halaman tengah disebut jaba tengah, dan halaman dalam disebut jeroan. Pada masing-masing halaman ada bangunan yang sudah ditentukan letaknya sesuai dengan fungsinya.

Pada halaman luar atau jaba ada bangunan yang sifatnya profan, di halaman tengah atau jaba tengah ada bangunan yang bersifat profan pada

(9)

hari-hari biasa dan sakral pada waktu upacara, sedangkan di halaman dalam atau jeroan adalah bagian yang sifatnya sakral (Rata 1991: 88).

Kecuali bangunan-bangunan untuk keperluan upacara keagamaan, setiap pura dilengkapi gapura yang merupakan pintu masuk dan pintu penghubung antar halaman. Antara jaba (halaman luar) dengan halaman tengah atau jaba tengah terdapat candi bentar atau sering pula disebut candi rengat. Disebut demikian oleh karena bentuknya seperti bangunan candi dibelah dua dengan disela-selanya ada ruangan. Bagian yang di sisi kiri sama dengan bagian sisi kanan dan ruangan terbuka yang ada di tengah-tengah untuk ke luar masuk pura.

Gapura yang kedua pada sebuah pura adalah candi kurung atau umum disebut kori agung, terletak antara halaman tengah atau jaba tengah dan halaman dalam atau jeroan. Candi kurung di Bali Utara umumnya disebut paduraksa, padahal istilah ini adalah untuk menyebutkan tiang penghubung di sudut antara tembok penyengker. Gapura yang disebut kori agung berbentuk seperti candi yang utuh dengan pintu dari kayu di tengahnya dan atap susun di atasnya.

Di depan candi kurung maupun candi bentar yaitu di bagian kiri dan kanan terdapat dua bangunan yang sama, masing-masing di kiri dan kanan yang disebut apit lawang, berfungsi sebagai penjaga pintu. Berikut adalah pembagian bangunan-bangunan yang terdapat di suatu pura secara umum.

4.3.1 Halaman luar atau jaba

Pada halaman luar atau jaba terdapat beberapa bangunan yang bersifat tidak sakral dan digunakan untuk kegiatan umum yang dilakukan sebelum upacara, bebrapa bangunan di antaranya adalah:

a. Bale kulkul yaitu bangunan yang agak tinggi dan berfungsi sebagai tempat untuk menggantungkan kulkul atau kentongan. Kulkul ini dibunyikan pada saat berlangsungnya upacara atau pada waktu akan diadakan pertemuan penyungsung pura. Bale kulkul biasanya didirikan di sudut halaman luar. b. Perantenan atau dapur yaitu tempat untuk memasak keperluan upacara seperti

(10)

c. Wantilan yaitu suatu bangunan besar tanpa dinding yang dipergunakan sebagai tempat tontonan dan juga tempat menyiapkan sesaji.

d. Gelebeg atau lumbung yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan padi milik pura. Pada masa sekarang tidak banyak pura yang dilengkapi lumbung.

4.3.2 Halaman tengah atau jaba tengah

Pada halaman tengah atau jaba tengah ada beberapa bangunan seperti bale gong dan bale agung. Akan tetapi di beberapa pura ada bangunan lainnya.

a. Bale Gong yaitu bangunan tempat menabuh gamelan pada saat berlangsungnya upacara.

b. Bale Agung yaitu bangunan besar agak panjang bentuknya sebagai tempat pertemuan penyungsung pura dan saat upacara dipergunakan sebagai tempat sesaji.

4.3.3 Halaman dalam atau jeroan

Halaman jeroan merupakan halaman yang paling sakral, maka bangunan-bangunan didalamnya adalah bangunan-bangunan utama yang diperuntukkan sebagai tempat persembahyangan yang suci. Beberapa bangunan di antaranya:

a. Padmasana yaitu tahta Siwaditya (Dewa Siwa yang dianggap identik dengan Aditya atau Dewa Surya). Bangunan ini lambang dari Gunung Mandara, sesuai dengan cerita Ksirarnawa atau pengadukan lautan susu untuk mendapatkan amerta. Padmasana juga dihubungkan dengan cerita Tantu Pengelaran yaitu cerita dipindahkannya Gunung Mahameru dari India Ke Jawa. Dalam Usana Bali Usana Jawa Gunung Mahameru juga dipindahkan ke Bali.

(11)

b. Meru adalah bangunan yang bentuknya makin ke atas makin mengecil dan atapnya terdiri dari tumpang atau tingkatan. Jumlah tumpang umumnya ganjil yaitu tiga, lima, tujuh, sembilan dan sebelas. Jumlah tumpang dihubungkan dengan manifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa pada meru yang berfungsi sebagai tahta para dewa. Meru yang berfungsi sebagai pelinggih leluhur jumlah tumpangnya disesuaikan dengan status sosial orang yang didharmakan. Meru untuk seorang raja lebih banyak jumlah tumpangnya dari meru untuk seorang patih dan dari luar tidak berbeda dengan meru untuk para dewa. c. Prasada yaitu bangunan dari batu bata atau padas yang bentuknya seperti

meru yang merupakan tiruan gunung dan berfungsi sebagai tempat untuk memuja leluhur. Di Bali prasada disamakan fungsinya dengan pendharmaan. Ada pura yang di halaman dalamnya atau jeroan ada bangunan meru dan prasada yaitu Pura Sada di Kapal dan Pura Taman Ayun di Mengwi. Pada dasarnya bentuk prasada sama dengan meru, hanya bahannya berbeda yaitu prasada dibuat dari batu bata atau padas, sedangkan meru bagian badan dan atapnya dibuat dari kayu dan ijuk. Tidak semua pura memiliki kedua bangunan ini. Sebagai pengganti umumnya didirikan Bale Pengaruman yang berfungsi sebagai stana leluhur pada saat berlangsungnya upacara (Soekmono 1974: 306-307).

d. Gedong ialah bangunan yang berfungsi sebagai pelinggih, tahta dari dewa penguasa pura maupun pesimpangan yaitu tempat singgah dewa yang mempunyai hubungan dengan pura tersebut. Gedong mempunyai bilik di bagian atas yang umumnya dibuat dari kayu, sedangkan badan dan kaki dibuat dari batu bata atau batu padas.

e. Ratu Ngerurah yaitu bangunan dibuat dari batu bata atau batu padas yang berfungsi sebagai pelinggih penjaga pura.

f. Piyasan yaitu bangunan yang dipergunakan sebagai tempat untuk menghias pretima dan juga sebagai tempat sesaji.

(12)

g. Menjangan seluang yaitu bangunan menyerupai gedong dan di depan ruangannya ada patung berbentuk kepala seekor menjangan. Bangunan ini berfungsi sebagai tahta Mpu Kuturan, seorang tokoh agama yang sangat terkenal di Bali. Tidak semua pura memiliki bangunan ini pada halaman dalamnya atau jeroan.

4.4 Orientasi Pura

Pura di Bali berorientasi ke puncak gunung, karena gunung dianggap sebagai tempat suci yaitu tempat bersemayamnya para dewa serta leluhur yang diperdewa. Gunung yang dianggap paling suci di Bali adalah gunung Agung yang juga merupakan tempat tertinggi. Arah ke gunung disebut kaja (utara) dan arah ke laut di sebut kelod (selatan). Berdasarkan atas arah ke gunung dan arah ke laut, maka kaja di Bali selatan adalah berlawanan arahnya dengan kaja di Bali utara.

Di samping kaja dan kelod di Bali ada pula orientasi arah yang disebut ulu dan teben. Ulu adalah arah ke hulu yang disamakan dengan arah ke gunung dan teben adalah arah ke hilir yang disamakan dengan arah ke laut. Ada juga orientasi arah ke atas atau ke angkasa yang disebut beduhur dan arah ke bumi atau ibu pertiwi yang disebut beten.

Sesuai dengan orientasinya maka bagian tersuci dari sebuah pura yang disebut jeroan (halaman dalam) terletak pada bagian yang mengarah ke gunung. Orientasi ulu dan teben sampai saat ini masih ditaati oleh masyrakat Bali yaitu apabila mereka tidur, letak kepala adalah di ulu (arah gunung) dan kaki di arah teben (arah laut)

Khusus untuk bangunan suci yang disebut kamulan yaitu bangunan inti pada sanggah atau pamerajan terletak di arah kangin (timur) yaitu arah terbitnya matahari. Berdasarkan atas terbit dan tenggelamnya matahari maka di Bali ada juga orientasi arah kangin dan kauh.

Pura Besakih terletak di lereng Gunung Agung merupakan arah suci dan pusat kawasan suci bagi masyarakat Hindu di Bali. Hal ini terlihat pada penempatan bangunan suci padmasana pada pura-pura di Bali yaitu searah dengan dengan arah Pura Besakih (Rata 1991: 86-88).

(13)

4.5. Sasaran yang dipuja

Berdasarkan atas sasaran yang dipuja secara garis besar pura dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Pura sebagai tempat memuja leluhur yang diperdewa atau Dewa Pitara. Contohnya Pura keluarga seperti sanggah, paibon, Pura Dadia, Pura Kawitan, Pura Panti, Pedharmaan.

b. Pura sebagai tempat memuja para Dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa. Contohnya Kahyangan Tiga terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem, Sad Kahyangan, Pura Subak (Pura Ulun Sawi), Pura Melanting, Pura Segara.

Dalam kenyataannya, kebanyakan pura di Bali mempunyai pelinggih (tahta) untuk kedua sasaran yang dipuja, baik untuk leluhur yang diperdewa maupun untuk para dewa. Pelinggih-pelinggih itu umumnya terletak di halaman yang sama, misalnya ada sejumlah pelinggih di halaman jaba tengah.

4.6. Penyungsung Pura

Penyungsung pura adalah masyarakat yang menjadi pemuja dan penanggung jawab suatu pura. Suatu kenyataan bahwa tidak setiap pura merupakan tempat pemujaan bagi setiap orang. Suatu pura menjadi tempat pemujaan sekelompok masyarakat saja, adalah bagi mereka yang menganggap dirinya tunggal penyungsungan atau sepemujaan (Soekmono 1974:310-311). Hal ini tampak jelas dan mudah dipahami pada pura yang pemujanya berdasarkan darah keturunan atau berdasarkan teritorial.

Berdasarkan atas masyarakat penyungsung itu maka pura di Bali dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

a. Pura yang penyungsungnya berasal dari satu keluarga atau mempunyai hubungan darah (genealogis).

Kelompok sepemujaan yang paling kecil adalah keluarga seperumahan yang terdiri atas satu unit keluarga rumah tangga sampai keluarga besar.

(14)

Setiap keluarga dalam pekarangannya selalu memiliki tempat persembahyangan untuk memuja para leluhurnya (Dewa Pitara). Tempat pemujaan ini disebut sanggah atau pamerajan (Soekmono 1974:311). Pamerajan adalah tempat pemujaan keluarga dari kasta brahmana, ksatria dan wesya, sedangkan tempat pemujaan untuk kasta sudra disebut sanggah.

Ukuran pekarangan, bangunan-bangunan dan tata letaknya sama antara pamerajan dengan sanggah yang terletak di bagian pekarangan kaja kangin, perbedaannya terletak pada pengurip dan tingkatan utama untuk pamerajan. Pamerajan alit untuk keluarga kecil atau rumah tangga dan pamerajan agung atau sanggah gede untuk keluarga besar. Pamerajan agung atau sanggah gede disebut juga pamerajan atau sanggah kawitan atau dadia untuk keluarga besar seketurunan sampai pada jumlah sekitar 40 kepala keluarga, dan untuk jumlah kelurga besar yang lebih dari 40 kepala keluarga disebut panti atau paibon, akan tetapi sanggah untuk satu keluarga atau keluarga besar tetap ada.

Pada pamerajan alit atau sanggah pengantenan untuk satu keluraga bangunannya terdiri atas kemulan dan taksu, sedangkan pada pamerajan kawitan, dadia, paibon atau panti bangunannya terdiri atas kamulan, taksu dan pelinggih-pelinggih yang jumlahnya mencapai 7 hingga 11 bangunan pelinggih. Bangunan-bangunan untuk gedong disesuaikan dengan pura-pura Sad Kahyangan atau Kahyangan Jagat yang dipuja dari pamerajan atau sanggah yang ada. Bahan-bahan bangunan yang dipakai untuk bangunan tempat pemujaan tergolong bahan khas utama atau bahan-bahan khusus untuk tempat pemujaan seperti kayu-kayu majagau, menengah cempaka untuk rangka dan ijuk untuk atap.

b. Pura yang penyungsungnya berasal dari satu wilayah yang sama atau administratif territorial.

Satu wilayah administratif territorial yang dimaksud adalah desa adat. Setiap desa adat yang ada di Bali pada umumnya memiliki tiga tempat pemujaan yang disebut Kahyangan Tiga. Penyungsung ketiga pura ini adalah warga desa adat tersebut yang tidak dibedakan kekeluargaannya maupun pekerjaannya. Kahyangan Tiga itu terdiri atas Pura Puseh, Pura Desa (Bale

(15)

Agung) dan Pura Dalem. Pura Puseh adalah tempat pemujaan terhadap Dewa pelindung desa dan letaknya disatukan dengan Pura Bale Agung.

Pura Desa atau Bale Agung adalah tempat pemujaan untuk memuja cikal bakal atau leluhur desa tersebut atau pemujaan untuk Dewa Brahma. Terdapat di pusat desa di bagian kaja kangin dari perempatan desa dalam pekarangan yang dibatasi tembok penyengker. Tata zoning pekarangannya dibagi dua atau tiga, yaitu jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Bangunan utamanya adalah Bale Agung sehingga sering disebut Pura Bale Agung. Ada pula bale kulkul, wantilan yang berfungsi sebagai tempat untuk kegiatan bersama pada upacara di Pura Desa dan ada pintu masuk berupa candi bentar yang terletak di antara jaba sisi dan jaba tengah serta kori agung yang terletak di antara halaman jaba tengah dan jeroan.

Pura Dalem adalah tempat untuk memuja Dewi Maut (Durga) karena dialah yang berkuasa atas penduduk desa yang telah meninggal. Letak Pura Dalem adalah di kelod (arah laut) dari desa, letaknya tidak jauh dari sema atau kuburan yang sekaligus menjadi tempat pembakaran mayat (Soekmono 1974:311). Tata letak ini di beberapa desa masih sesuai, namun ada juga yang telah menyimpang karena masalah tanah atau pemekaran desa. Pura Puseh adalah tempat untuk memuja Dewa Wisnu, terletak di pusat desa berdekatan atau bersebelahan dengan Pura Desa. Tata zoning pekarangannya dibagi dua atau tiga, yaitu jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Pekarangannya ada yang merupakan satu areal tersendiri dan ada yang menjadi satu dengan Pura Desa. Pada umumnya Pura Desa di tempatkan di bagian depan Pura Puseh dan ada yang terletak di sisi Pura Puseh.

c. Pura yang penyungsungnya mempunyai kepentingan yang sama atau fungsional.

Ikatan kepentingan bersama dapat menumbuhkan penyungsungan tunggal seperti para petani dalam hal pengairan sawah (Soekmono 1974:313). Demikian halnya dengan para pedagang dalam satu pasar secara bersama dapat menjadi penyungsung Pura Melanting atau Pura Ulun Pasar tanpa dibedakan atas dasar keturunannya dan daerah asal mereka.

(16)

Bangunan-bangunan pura untuk masing-masing profesi disebut Pura Pengulu atau Pura Ulun.

Pura Ulun Carik disebut juga Pura Subak untuk kelompok-kelompok petani sawah dari satu sektor irigasi, sedangkan Pura Ulun Danu untuk petani sawah yang sawahnya diairi oleh pengairan yang bersumber di suatu danau yang diatur organisasi subak dan Pura Ulun Tegal merupakan tempat pemujaan petani-petani ladang di suatu wilayah pertanian tertentu. Pura Ulun Segara atau disebut juga Pura Segara merupakan tempat untuk pemujaan warga nelayan yang berada di suatu wilayah pantai tertentu. Bagi seseorang yang berprofesi ganda seperti bekerja sebagai nelayan dan memiliki usaha dagang, keluarganya menanggung beban beberapa tempat pemujaan. Berdasarkan atas profesinya tersebut ia menjadi penyiwi Pura Segara dan Pura Melanting.

d. Pura yang penyungsungnya mempunyai ikatan agama secara umum.

Ikatan keagamaan secara umum dapat menimbulkan kepercayaan untuk menyatukan penyungsung dan menganggap beberapa pura sebagai tempat pemujaan bersama, misalnya Sad Kahyangan, sedangkan Pura Besakih menjadi junjungan umat Hindu di Bali (Soekmono 1974:313). Pemuja Sad Kahyangan dan terutama Pura Besakih adalah seluruh masyarakat yang beragama Hindu tanpa dibedakan atas keturunan, pekerjaan maupun daerah asalnya.

Di samping Sad Kahyangan di Bali ada pula sejumlah Dang Kahyangan yaitu pura yang dikaitkan dengan pemujaan seorang tokoh yang cukup berjasa, terutama dalam bidang agama. Ada beberapa tokoh yang dianggap berjasa untuk seluruh kawasan daerah Bali seperti Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha. Pura yang dihubungkan dengan Mpu Kuturan, misalnya Pura Silayukti di Padang Bai, Karangasem. Sedangkan pura yang dihubungkan dengan Danghyang Nirartha, misalnya Pura Maospait, Denpasar.

(17)

Di samping keempat kelompok pura ini, ada pura jenis lain yaitu pura yang berasal dari peninggalan-peninggalan purbakala seperti Goa Gajah, Relief Yeh Pulu, Goa Garba, Candi Gunung Kawi (Rata 1991: 33-52) .

4.7. Fungsi Pura

Ada kesalahpahaman bahwa pura adalah rumah dewa, dan yang benar adalah bahwa pura merupakan persimpangan (tempat singgah) saja dari para dewa. Hal ini jelas terlihat pada saat berlangsungnya upacara, terutama piodalan (upacara ulang tahun) pura tersebut. Tempat abadi para dewa adalah kahyangan yang di Bali adalah Gunung Agung. Pada saat piodalan pura dipenuhi dengan “tamu agung” yang terdiri dari para dewa yang mempunyai kaitan atau hubungn dengan pura tersebut (Soekmono 1974: 308)

Di samping sebagai tempat pesimpangan para dewa, pura juga berfungsi sebagai tempat bertemunya para dewa dengan umatnya. Di antara sekian banyaknya para dewa ada salah satu yang menjadi penguasa pura. Hal ini disebabkan karena sebuah pura didirikan sebagai persembahan kehadapan dewa tertentu. Pada saat piodalan dewa ini berperan sebagai tuan rumah. Secara umum, dewa ini disebut “dewa pura” yaitu dewa yang menguasai pura dan dimuliakan secara khusus pula. Pada umumnya yang menjadi dewa pura adalah tokoh nenek moyang yang telah diperdewa dan selalu diharapkan perlindungannya. Jadi, secara umum pura memiliki fungsi sebagai tempat pesimpangan para dewa dan merupakan tempat persembahyangan umat beragama Hindu untuk memuja para dewa serta leluhur yang diperdewa (Rata 1991: 94-96 dan 103).

4.8. Tinjauan Arsitektur Pura Maospait

Melalui berbagai penelitian dan pengamatan dengan cara membandingkan antara bangunan keagamaan yang ada di India dengan bangunan keagamaan di Bali dapat diketahui, ternyata tidak ada persamaan di antara keduanya. Hal ini disebabkan Bali tidak mengalami proses Indianisasi yang begitu besar seperti di

(18)

Jawa dan masyarakat Bali kembali ke kebudayaan mereka yang lama, yaitu kebudayaan Pra-Hindu (Quaritch Wales 1953:120)

Masyarakat Bali tetap menggunakan unsur-unsur budaya lokal dengan menjadikannya sebagai pedoman dalam pembangunan pura atau bangunan suci serta pengaruh sangat besar yang berasal dari bangunan candi pada masa Majapahit (Soekmono 1974:306), sehingga struktur bangunan pura berbeda dengan bangunan yang terdapat di India. Meskipun demikian beberapa unsur yang berasal dari India tetap dipergunakan di antaranya konsep bangunan yang ada dalam kitab Manasara-Silpasastra mengenai penetapan lokasi bangunan suci.

Beberapa ahli seperti N.J Krom, W.F Stutterheim (1936), V.R van Romondt (1951) A.J Bernet kempers (1959), dan Soekmono (1974) berpendapat bahwa Bali banyak memiliki kesamaan dengan Jawa Timur (Majapahit) dalam berbagai sendi kehidupan, khususnya kehidupan keagamaan. Kesimpulan sementara tersebut didukung berbagai sumber tertulis, yakni Kakawin

Nāgarakŗtāgama pada pupuh 79:3. Selain itu di dalam naskah lontar Kusuma Dewa juga disebutkan adanya persamaan sistem pendirian bangunan suci

(pura-Pura) di Bali dengan sistem pendirian bangunan suci di Majapahit (Koleksi perpustakaan lontar, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, Bali. No:217/76a; Estudiantin 2003: 227-228).

Kajian mengenai arsitektur Pura Maospait akan diperbandingkan dengan literatur-literatur yang memuat mengenai pura-pura di Bali pada umumnya secara keseluruhan untuk melihat adanya persamaan atau perbedaan dengan Pura Maospait, mengingat struktur halaman Pura Maospait yang sedikit berbeda. Data pura-pura kuna pembanding yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh I Gusti Gde Ardana tahun 1983.

Pada perbandingan bangunan-bangunan penanda pada pura-pura kuna tidak mendeskripsi setiap bangunan, hal ini disebabkan kajian utama penelitian ini bukanlah pura-pura kuna tersebut melainkan Pura Maospait Gerenceng. Data pura-pura kuna ini hanya digunakan sebagai pembanding saja.

(19)

4.8.1 Halaman

Penataan halaman pura dan bangunan yang ada di dalamnya dibuat berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan dan tidak terlepas dari unsur filosofis agama Hindu, khususnya Hindu Bali seperti halnya konsep Tri Angga. Aturan pendirian bangunan suci telah ditetapkan dalam Lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta Bhumi serta lontar lainnya yang berkaitan dengan bangunan suci.

I Wayan Patera (1996:219-220) menyebutkan bahwa penambahan bangunan baik dalam bentuk meru (pada masa Mpu Kuturan) atau padmasana (pada masa Danghyang Nirartha) di pura-pura mengindikasikan adanya pembaharuan, tetapi apa yang telah mentradisi sebelumnya tetap dipertahankan. Hal-hal yang sebelumnya sudah berlaku, selama tidak bertentangan masih tetap dipelihara dan disempurnakan (Estudiantin 2003:228-229)

Walaupun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada satu purapun yang persis sama dengan pura lainnya, baik dalam jumlah bangunan maupun bentuknya. Seringkali halaman luar hanya berbentuk halaman terbuka di depan pura, sehingga timbul kesan seolah-olah pura terdiri dari dua halaman (Covarrubias 1977:265; Soekmono 1974:307; Rata 1990:89). Kelompok pura yang biasanya masih memiliki tiga halaman adalah pura-pura yang tergolong besar seperti Kahyangan Tiga, Dang Kahyangan, Sad Kahyangan.

Menurut N. J Krom dalam buku yang berjudul Inleiding tot de Hindoe-Javaanche Kunst II(1923) yang dikutip oleh Soekmono, gugusan Candi Panataran dari Kerajaan Majapahit sangat berbeda susunannya dari gugusan-gugusan candi lain, tetapi sebaliknya memperlihatkan banyak persamaan dengan pura di Bali (Soekmono 1974:304). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bernet Kempers.

Kompleks Candi Panataran berdenah bujur sangkar panjang dan dibagi atas tiga halaman dengan candi induknya terletak di halaman paling belakang, menyerupai pembagian halaman pada pura-pura di Bali. Beberapa bangunan yang ada di gugusan Candi Panataran juga mengingatkan dengan bangunan bale agung pada pura di Bali. Selain itu atap Candi Induk Panataran diduga dibuat dari bahan yang mudah rusak, seperti atap meru di Bali (Bernet Kempers 1959:90-92).

(20)

4.8.1.1 Halaman Pura Maospait

Pura Maospait memiliki lima halaman, berbeda dengan jumlah halaman pada pura lain yang ada di Bali dan Candi Panataran. Meskipun demikian Pura Maospait masih mengikuti aturan yang yang ditetapkan Asta Kosala-Kosali, dimana setiap pura memiliki halaman bertingkat yang terdiri atas jaba, jaba tengah dan jeroan. Demikian halnya pada Pura Maospait yang terdiri atas jaba kembar, jaba, jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Selain itu terdapat perbedaan yang menonjol yakni jeroan terletak di tengah-tengah halaman jaba kembar dan jaba tengah. Uraian mengenai halaman Pura Maospait telah dijelaskan sebelumnya pada bab 3.

Kemungkinan yang terjadi adalah jaba kembar merupakan halaman tambahan yang dibangun untuk melindungi halaman jeroan yang letaknya dekat dengan jalan raya, mengingat pintu masuk jaba kembar terletak di depan jalan raya. Hal tersebut juga dapat terjadi pada halaman jaba sisi yang kemungkinan dibangun untuk melindungi Pura Maospait dari pemukiman penduduk yang bertambah padat. Apabila halaman jaba kembar dan jaba sisi ditiadakan maka Pura Maospait mengikuti kaidah pembangunan pura di Bali pada umumnya dan juga memiliki persamaan dengan Candi Panataran yang terdiri dari tiga halaman dengan bangunan induk atau halaman paling sakral terletak pada halaman paling dalam.

Penambahan halaman-halaman tersebut menyebabkan perubahan terhadap arah masuk para pengunjung ke dalam kompleks pura. Biasanya pengunjuk memasuki pura menuju arah timur, sedangkan pada Pura Maospait sedikit berbeda yang sebelumnya pada Bab 3 telah dijelaskan.

(21)

U

Jaba Kembar Jeroan Jaba

Jaba Tengah Jaba Sisi

Gambar 1. Sketsa Denah Pura Maospait Gerenceng (Oktorina A. 2008)

(22)

4.8.1.2 Halaman Pura Maospait Tatasan

Pembahasan sebelumnya telah menjelaskan bahwa tidak ada satu pura yang sama bentuknya, baik dari segi letak halaman maupun jumlah bangunan di dalamnya. Salah satu contoh pura yang hanya terdiri atas dua halaman antara lain pura Maospait Tatasan. Pura Maospait Tatasan terletak di Banjar Tatasan, Desa Tonja, Kecamatan Denpasar Timur, Kabupaten Badung.

Berdasarkan penataan halamannya Pura Maospait Tatasan terdiri dari dua halaman, yaitu halaman luar (jaba) dan halaman dalam (jeroan). Ada candi bentar yang menjadi pintu masuk halaman jaba, candi bentar itu menghadap ke arah timur langsung berhadapan dengan jalan raya umum. Pada halaman jaba terdiri dari halaman luas tanpa suatu bangunan dan dua apit lawang yang terletak di depan kori agung yang menghubungkan halaman jaba dengan halaman jeroan. Kori agung di antara halaman jaba dan jeroan berfungsi sebagai pintu penghubung halaman yang menghadap ke arah selatan.

Meskipun halaman jaba terkesan kosong, namun pada halaman jeroan dipenuhi dengan bangunan-bangunan dan pelinggih-pelinggih pemujaan serta kolam suci yang terletak di halaman paling dalam di jeroan.

U

Jaba Jeroan

Gambar 2. Sketsa Denah Pura Maospait Tatasan (Oktorina A. 2008)

(23)

4.8.1.3 Halaman Pura Kebo Edan

Pura Kebo Edan terletak di sisi selatan dari desa Pejeng termasuk ke dalam Banjar Intaran, kecamatan Tampak Siring, kabupaten Gianyar. Berdasarkan sejarah, Pura kebo Edan dulu digunakan sebagai tempat pemujaan para penganut sekte Bhairawa yang beraliran tantrisme yang dibawa dari Kerajaan Singosari dengan rajanya yang bernama Kertanegara yang berhasil menduduki Bali pada tahun 1284 dan mengangkat Kebo Parud sebaai wakilnya.

Berdasarkan peninggalan-peninggalan yang terdapat di Pura Kebo Edan menunjukkan bahwa pura digunakan sebagai tempat pemujaan sekte Bhairawa, sehingga kemungkinan pura ini dibangun pada abad ke-13 M. Pada masa ini Pura Kebo Edan tidak lagi berfungsi sebagai tempat pemujaan sekte Bhairawa melainkan berfungsi sebagai tempat suci pemujaan umat Hindu untuk memuja Tuhan Hyang Widhi beserta manifestasinya dan para roh suci leluhur atau bhatara-bhatari. Pura Kebo Edan menghadap ke arah barat sehingga untuk mencapainya harus melalui jalan kecil di sisi selatan pura.

Seperti halnya Pura Maospait Tatasan, pura ini pun tidak terdiri dari tiga halaman melainkan terdiri atas dua halaman yang terbagi atas halaman luar (jaba) dan halaman dalam (jeroan). Melalui jalan kecil di sisi selatan para pemuja di pura ini dapat memasuki pura dan berjalan ke arah barat dan langsung memasuki halaman jaba.

Pada halaman jaba hanya terdapat empat bangunan yang terdiri dari bale dan dua apit lawang. Kedua apit lawang terletak di depan candi bentar yang menghadap ke arah barat dan berfungsi sebagai pintu penghubung antara halaman jaba dengan jeroan. Sedangkan pada halaman jeroan ada arca-arca kuna yang dapat memberikan petunjuk mengenai sejarah dan keagamaan pada masa lalu di sekitar daerah tersebut dan pelinggih-pelinggih kini menjadi media pemujaan para penduduk sekitar.

(24)

U

Jaba Jeroan

Gambar 3. Sketsa Denah Pura Kebo Edan (Oktorina A. 2008)

4.8.1.4 Halaman Pura Penataran Sasih

Pura Penataran Sasih terletak di tengah-tengah Desa Pejeng wilayah kecamatan Tampak Siring, kabupaten Gianyar. Mengenai nama pura kemungkinan diambil dari nekara perunggu yang tersimpan di Pura Penataran Sasih dikenal masyarakat Pejeng dengan sebutan Bulan Pejeng. Bulan artinya sama dengan sasih, sehingga pura tempat disimpannya nekara perunggu itu dinamai Penataran Sasih. Adanya nekara perunggu di Pura Penataran Sasih kemungkinan pura ini sudah ada sebelum pengaruh Hindu dengan bentuknya belum seperti pura melainkan lebih sederhana.

Berdasarkan peninggalan berupa pecahan-pecahan prasasti yang diukir di atas batu padas tidak ada angka tahun serta tidak menyebutkan nama seorang raja. Tetapi melihat dari bentuk huruf yang digunakan huruf kawi dan bahasa Sansēkrta kemungkinan prasasti ini berasal dari abad ke-9 atau awal abad ke-10 M.

(25)

Pura ini memiliki status sebagai pura Dang Kahyangan, terdiri atas dua halaman, yaitu halaman luar (jaba) dan halaman dalam (jeroan) dan untuk memasuki pura harus melalui candi bentar yang terletak di sisi barat pura. Setelah melalui candi bentar tersebut dapat memasuki halaman jaba yang di dalamnya ada beberapa bangunan. Ada kori agung yang menghubungkan antara halaman jaba dengan halaman jeroan. Kori agung menghadap ke arah barat dan berhadapan dengan candi bentar. Pada halaman jeroan ada beberapa bangunan untuk pemujaan sesuai dengan fungsinya masing-masing.

U

Jaba Jeroan

Gambar 4. Sketsa Denah Pura Penataran Sasih (Sumber: Oktorina A. 2008)

(26)

4.8.1.5 Halaman Pura Pusering jagat

Mengingat beberapa pura yang ada di Bali tidak mengikuti konsep Tri Angga, bukan berarti tidak ada pura yang tetap mengikuti konsep Tri Angga. Salah satu contoh pura yang terdiri atas tiga halaman antara lain, Pura Pusering Jagat. Pura Pusering Jagat terletak di desa Pejeng, kecamatan Tampak Siring, daerah tingkat II Gainyar. Pura Pusering Jagat sering disebut Pura Pusering tasik dan memiliki status sebagai pura Kahyangan Jagat dalam kedudukannya sebagai Sad Kahyangan yang diklasifikasikan sebagai pura-pura Padma Bhuwana yang berposisi di tengah sebagai stana Dewa Siwa.

Berdasarkan Lontar Kusuma Dewa yang diduga ditulis oleh Mpu Kuturan yang hidup pada jaman pemerintahan Airlangga di Jawa Timur 1019-1042 M, ia kemudian beralih ke Bali atas permintaan Raja Udayana untuk menertibkan kehidupan keagamaan dan tata kemasyarakatan di Bali. Pada jaman Bali Kuna diduga pusat pemerintahan terletak di sekitar desa Bedaulu dan Pejeng, karena itu tidak mengherankan apabila di Pejeng ada pura kerajaan. Sumber kedua berupa angka tahun candra sangkala pada Sangku Sudamala yang diartikan sebagai angka tahun 1251 Ś/1329 M. Pada saat itu kemungkinan kerajaan dipegang oleh Sri Astasura Ratnabhumibanten dan pura ini masih mendapat perhatian raja serta diperluas dengan beberapa bangunan suci.

Pura ini terletak di sisi barat jalan raya dan menghadap ke arah barat sehingga untuk mencapainya melalui jalan kecil di sisi utara pura dan masuk melalui candi bentar yang merupakan pintu masuk menuju halaman jaba. Pura ini terdiri atas tiga halaman, yaitu halaman luar (jaba), halaman tengah (jaba tengah) dan halaman dalam (jeroan). Ada kori agung dan dua arca berbentuk gajah terletak di depan kori agung yang menghadap ke arah barat dan berfungsi sebagai pintu penghubung antara halaman jaba dengan jaba tengah.

Pada halaman jaba tengah dibagi menjadi dua ruangan dengan dipisah tembok penyengker setengah halaman, selain itu di halaman jaba tengah ada dua candi bentar kecil yang berfungsi sebagai penghubung antara halaman jaba tengah dengan jeroan. Halaman jeroan merupakan halaman terluas dari pura Pusering Jagat dengan bangunan-bangunan yang diletakkan di sekeliling halaman.

(27)

Setiap halaman terdapat pelinggih-pelinggih pemujaan dengan fungsi-fungsi tertentu.

U

Jaba Tengah Jaba Jeroan Gambar 5. Sketsa Denah Pura Pusering Jagat

(Oktorina A. 2008)

4.8.1.6 Halaman Pura Samuan Tiga

Pura Samuan Tiga terletak di Desa Bedaulu kecamatan Blahbatu, kabupaten Gianyar. Mengenai penamaan Samuan Tiga terdiri dari kata “samuan”

(28)

yang memiliki arti pertemuan dan “tiga” yang berarti tiga. Hal ini berkaitan dengan paham Tri Murti yang terdiri dari Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa. Pura Samuan Tiga dibagi menjadi tiga halaman, yaitu halaman luar (jabaan), halaman tengah (jaba tengah) dan halaman dalam (jeroan).

Pura dapat dimasuki melalui candi bentar yang berada di sisi selatan pura dan menghubungkan dengan halaman jaba. Selain itu, untuk memasuki halaman jaba tengah harus melalui candi bentar yang menghubungkan antara halaman jabaan dengan halaman jaba tengah. Pada halaman jaba tengah ada kori agung dengan tangga tinggi yang menghubungkan antara halaman jaba tengah dengan jeroan. Halaman jeroan dipenuhi oleh bangunan-bangunan sehingga lahan terlihat sempit karena bangunan diletakkan berdekatan.

U

Jeroan Jaba Tengah Jaba Gambar 6. Sketsa Pura Samuan Tiga

(29)

Tabel 1. Perbandingan Halaman Pura Halaman Pura Pura Maospait Gerenceng Pura Maospait Tatasan Pura Kebo Edan Pura Pusering Jagat Pura Penataran Sasih Pura Samuan Tiga Jaba Kembar v - - - Jaba v v v v v v Jaba Sisi v - - - - - Jaba tengah v - - v - v Jeroan v v v v v v Keterangan: V: Ada -: Tidak ada

Berdasarkan perbandingan yang telah dilakukan terhadap Pura Maospait Gerenceng dan pura kuna lainnya ternyata tidak semua pura kuna mengikuti konsep tiga halaman, akan tetapi konsep pembagian antara halaman sakral dan tidak sakral yang mengikuti konsep pura pada umumnya terdiri atas tiga halaman antara lain halaman luar (jaba), halaman tengah (jaba tengah) dan halaman dalam (jeroan). Konsep itu masih tetap diikuti seperti halnya Candi Panataran yang memiliki candi induk di halaman paling dalam. Hal ini menunjukkan bahwa pura tidak tergantung pada berapa jumlah halaman karena yang terpenting yaitu adanya halaman jeroan atau halaman sakral untuk meletakkan pelinggih-pelinggih utama. Selain itu, menurut pendapat ahli yang telah dikemukakan sebelumnya, pura-pura besar seperti Sad Kahyangan, Dang Kahyangan memiliki halaman yang terdiri atas tiga halaman, tetapi pada Pura Maospait Gerenceng yang termasuk ke dalam golongan pura Dang Kahyangan terdiri atas lima halaman. Demikian halnya dengan Pura Penataran Sasih yang juga merupakan Pura Dang Kahyangan terdiri atas dua halaman. Hal ini menandakan bahwa jumlah halaman tidak terlalu penting dalam pembuatan pura melainkan bangunan-bangunan yang

(30)

terdapat pada suatu pura yang dilihat berdasarkan fungsinya masing-masing bagi para pemujanya.

Pembagian halaman pura menjadi tiga kemungkinan masih merupakan hal yang relatif dapat diubah, pada awalnya konsep itu masih dikuti oleh beberapa pura, akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman dan padatnya populasi penduduk maka hal tersebut dapat berubah. Seperti halnya yang terjadi pada Pura Maospait Gerenceng, kemungkinan pura ini terdiri atas tiga halaman kemudian seiring bertambahnya waktu agaknya halaman jaba kembar dibangun untuk melindungi halaman jeroan yang dekat dengan jalan raya utama. Sedangkan halaman jaba sisi dibangun untuk melindungi pura terhadap kepadatan rumah penduduk. Jika halaman jaba kembar dan jaba sisi ditiadakan maka akan terlihat bahwa konsep pembangunan Pura Maospait Gerenceng pada awalnya mengikuti konsep pembagian tiga halaman.

4.8.2 Bahan

Pada pembangunan pura ada perbedaan terhadap bahan yang digunakan. Di daerah Bali utara pada umumnya menggunakan bahan dari batu paras, sedangkan pura-pura di Bali selatan menggunakan bahan dari bata merah (Eiseman 1988:26-27).

Sebagai contoh Pura Dalem Jagaraga dan Pura Beji Sangsit yang terletak di daerah Bali Utara menggunakan bahan dari batu paras. Sedangkan Pura Pusering Jagat dan Pura Penataran Sasih yang terletak di daerah Bali Selatan menggunakan bahan dari bata merah (Seriarsa dkk 1981/82:9).

Pura Maospait yang terletak di daerah Bali Selatan hampir secara keseluruhan dibuat dari bata merah dengan sedikit ornamen batu paras. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Ni Made Suliastri mengenai Pura Maospait Gerenceng, dapat diketahui bahan dasar yang digunakan untuk mendirikan pura itu yakni bata merupakan batu bata tipe Majapahit. Selain itu, bahan dasar Pura Maospait juga dikombinasikan dengan bahan lain, di antaranya adalah kayu, batu, alang-alang atau ijuk sebagai atapnya.

(31)

4.8.3 Bangunan-Bangunan 4.8.3.1 Keletakan

Penataan halaman tidak terlepas dari konsep Hindu yakni Tri Loka (bhurloka,bhuwarloka,swarloka) dan konsep Hindu Bali yakni Tri Angga (nista, madya, utama). Kedua konsep ini menekankan makna sakral dan profan di lingkungan pura.

R. Soekmono berpendapat bahwa pura terdiri atas tiga halaman (jaba atau halaman I; jaba tengah atau halaman II; dan jeroan atau halaman III), yang satu sama lain dipisah oleh tembok penyengker namun saling berhubungan melalui gapura-gapura yang ada di tembok penyengker (1974:306). Susunan pura yang horizontal merupakan proyeksi mendatar dari susunan candi yang vertikal. Jaba/jabaan=kaki candi=bhurloka, jaba tengah=tubuh candi=bhuwarloka dan jeroan atau swarloka (1975:309).

Berdasarkan keletakan yang diatur menurut konsep Hindu Bali, maka penataan halaman pada Pura Maospait yang terdiri atas lima halaman dapat dibagi menjadi: jaba kembar dan jaba = bhurloka; jaba sisi dan jaba tengah = bhuwarloka; jeroan = swarloka. Berikut adalah perbandingan keletakan dengan pura kuna lainnya:

Tabel 2. Perbandingan Keletakan Halaman

Keletakan Pura Maospait Gerenceng Pura Maospait Tatasan Pura Kebo Edan Pura Penataran Sasih Pura Pusering Jagat Pura Samuan Tiga Bhurloka Jaba kembar dan jaba

jaba jaba jaba Jaba Jabaan

Bhuwarloka Jaba sisi dan jaba - - - Jaba tengah Jaba tengah

(32)

tengah

Swarloka jeroan jeroan jeroan jeroan jeroan jeroan

Berdasarkan tabel perbandingan di atas dapat diketahui bahwa secara keseluruhan di tiap pura ada yang memiliki halaman lengkap sesuai konsep bhurloka, bhuwarloka dan swarloka. Pura-pura tersebut itu Pura Maospait Gerenceng, Pura Pusering Jagat dan Pura Samuan Tiga. Sedangkan pura-pura yang tidak memiliki halaman yang sesuai dengan konsep Tri Loka adalah Pura Maospait Tatasan, Pura Kebo Edan dan Pura Penataran Sasih. Perbedaannya terletak pada tidak adanya halaman jaba tengah pada kompleks pura.

Pada tabel dapat diketahui bahwa semua pura memiliki halaman jeroan, kemungkinan yang terjadi adalah jumlah halaman tidaklah terlalu penting selama halaman yang paling sakral yakni jeroan tetap ada. Hal ini disebabkan halaman jeroan merupakan halaman yang paling sakral dari seluruh halaman pada kompleks pura, diyakini pada saat upacara, dewa yang disembah dan leluhur berkumpul pada pelinggih-pelinggih utama yang ada di halaman dan sesuai dengan konsep Tri Loka dimana halaman yang paling sakral letaknya paling dalam.

4.8.3.2 Bangunan Penanda Pada Pura

Tinjauan terhadap arsitektur suatu pura tidak mengabaikan bangunan-bangunan penanda yang ada di pura tersebut, karena wujud pura tidak akan tegas. Berikut adalah uraian untuk menunjukkan bangunan penanda yang ada di Pura Maospait.

(33)

4.8.3.2.1 Bangunan Penanda Pura Maospait Tatasan

Pada Pura Maospait Tatasan terdapat beberapa bangunan utama yang terletak pada halaman jeroan, diantaranya adalah:

a. Bale Gong

Bangunan bale gong memiliki denah empat persegi panjang dan memiliki alas yang lebih luas dibandingkan dengan bale. Pada permukaan alas ada batur yang memiliki ketinggian hampir sama dengan alasnya. Ada enam tiang dibuat dari kayu yang menopang atap yang memiliki kerangka dari kayu berbentuk limasan dengan ditutupi dengan genteng. Bale gong merupakan tempat untuk menyimpan gamelan ketika tidak sedang digunakan untuk upacara.

Foto 38. Bale Gong (Oktorina A. 2008) b. Piyasan

Bangunan piyasan memiliki denah berbentuk bujur sangkar dan berbentuk bale. Pada bagian alas lebih luas dibandingkan batur yang ada di permukaannya dan ditutup dengan keramik yang berwarna hitam. Selain itu terdapat enam tiang yang terbuat dari kayu untuk menopang atap yang berbentuk limasan. Kerangka atap dibuat dari kayu dan atap ditutup dengan genteng.

Foto 39. Piyasan (Oktorina A. 2008)

(34)

c. Prasada

Bangunan prasada memiliki denah bujur sangkar dan terletak di sisi timur. Pada bagian alas berbentuk bujur sangkar yang lebih besar dibandingkan dengan bangunannya. Di permukaan alas ada batur dengan meja sesaji yang ketika tidak ada upacara dapat dilepaskan dan dilengkapi dengan tangga.

Selain itu pada permukaaan batur ada bangunan yang terdiri atas satu ruangan di dalamnya dan ada bagian tengah ada pintu dengan arah buka ke dalam. Pada bagian permukaan bangunan ada prasada dengan tingkatan yang berjumlah lima dan berbentuk menyempit ke atas.

Berdasarkan keterangan yang ada, prasada itu dahulu bertumpang sembilan dan kehancurannya disebabkan oleh gempa bumi pada tahun 1917. Prasada ini dibangun kembali oleh Kantor Suaka Sejarah dan Purbakala wilayah Propinsi Bali di Gianyar dengan hasil perbaikan prasada kini hanya bertumpang lima.

Foto 40. Prasada (Oktorina A. 2008)

(35)

4.8.3.2.2 Bangunan Penanda Pura Kebo Edan

Bangunan-bangunan penanda di Pura Kebo Edan terletak pada halaman jaba dan jeroan, bangunan-bangunan itu antara lain:

a. Palinggih

Palinggih ini merupakan salah satu palinggih di Pura Kebo Edan yang dinamakan Palinggih Ratu Bayu. Palinggih Ratu Bayu merupakan stana Dewa Wisnu yang ada di halaman jeroan. Bangunan ini dibuat dari bata dengan denah bujur sangkar, alasnya berbentuk batur. Di permukaan batur ada dua tiang kayu di sisi depan dan dinding di sisi belakang, fungsinya untuk menopang atap. Tiang-tiang kayu ditopang umpak dari batu paras. Pada bagian tengah terdapat meja persajian menempel pada dinding. Atap bangunan berbentuk tajuk dengan kerangka dari kayu dan ditutupdengan ijuk.

Foto 41. Palinggih (Nirmala S. 2008)

c. Piyasan

Bangunan ini dibuat dari bata yang memiliki denah berbentuk bujur sangkar dan alas yang lebih luas dibandingkan dengan bangunannya. Pada permukaan alas ada batur yang di setiap sudutnya terdapat ragam hias menyerupai antefiks. Di permukaan alas terdapat empat tiang kayu untuk menopang atap. Pada

(36)

sisi belakang bangunan ada dinding di antara tiang-tiang tersebut. Atap bangunan berbentuk tajuk yang memiliki kerangka dari kayu ditutup dengan ijuk.

Foto 42. Piyasan (Nirmala S. 2008)

4.8.3.2.3 Bangunan Penanda Pura Penataran sasih

Pada Pura Penataran Sasih ada beberapa bangunan penanda di halaman jaba dan jeroan, di antaranya:

a. Bale Kulkul

Bangunan bale kulkul memiliki denah bujur sangkar yang menyerupai batur dan terdiri atas tiga tingkat. Selain itu, bangunan ini terbuat atas campuran bata dan batu paras. Pada bagian alas ukurannya lebih luas dibandingkan dengan batur. Batur tingkat pertama sebagian dibuat dari bata dan di bagian tengah serta pinggirnya ditutup dengan batu paras.

Pada batur tingkat kedua empat tiang kayu yang berfungsi sebagai penopang atap. Sedangkan di tingkat tiga ada batur yang ukurannya lebih kecil dibandingkan batur tingkat pertama dan tingkat kedua. Sekeliling batur tingkat tiga dikelilingi pagar kayu dan ada kentongan (kulkul) yang digantung di kerangka atap. Kentongan tersebut berjumlah dua dan terbuat dari kayu. Atap bale

(37)

berbentuk tajuk dan ditutupi oleh ijuk. Bale ini berfungsi untuk memanggil karma pura ketika diadakan pertemuan untuk membicarakan masalah yang menyangkut pura. Disamping itu juga ditabuh ketika upacara piodalan berlangsung.

Foto 43. Bale Kulkul (Oktorina A. 2008) b. Wantilan

Bangunan wantilan memiliki denah empat persegi panjang dan memiliki alas dengan ukuran sama dengan atap bangunan. Alas bangunan dibuat dari batu paras dan pada permukaannya ada duabelas tiang untuk menopang atap.

Atap terdiri atas kerangka kayu yang membentuk limasan dan ditutupi oleh ijuk. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat para karma pura, disamping itu juga berfungsi sebagai tempat untuk mengadakan tontonan yang bersifat hiburan bagi masyarakat.

Foto 44. Wantilan (Oktorina A. 2008)

(38)

c. Bale Gong

Bangunan bale gong memiliki denah empat persegi panjang. Bagian alas dibuat dari semen dan pada permukaannya ada batur yang berukuran lebih kecil dibandingkan dengan alas. Ada enam tiang dibuat dari semen yang berfungsi untuk menopang atap kayu berbentuk limasan. Bale gong berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat gamelan yang dikeluarkan ketika ada upacara besar.

Foto 45. Bale Gong (Oktorina A. 2008) d. Pengaruman

Pengaruman merupakan bangunan yang memiliki denah empat persegi panjang. Pada bagian bawah ada alas yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan batur yang ada di permukaan alas. Pada tiap sisi tengah batur ada hiasan-hiasan dan bagian pinggir serta tengah ada hiasan-hiasan yang menonjol. Di bagian permukaan batur ada meja persajian yang dibentuk menyerupai singgasana dilengkapi dengan sandaran di bagian belakang.

Pada singgasana terdapat enam tiang dari kayu untuk menopang atap. Atap memiliki kerangka dari kayu berbentuk limasan yang ditutup dengan ijuk.

Foto 46. Pengaruman (Oktorina A. 2008)

(39)

e. Pesimpangan

Bangunan ini merupakan salah satu bangunan pesimpangan yang ada di Pura Penataran Sasih yang dinamakan Pesimpangan Bhatara Wisnu. Pesimpangan ini memiliki denah bujur sangkar dengan bagian alas berbentuk batur dari batu paras.

Pada permukaan batur ada meja persajian digunakan untuk meletakkan beberapa arca yang disembah. Arca-arca itu dibuat dari batu kali yang dipahat dan di duga arca-arca itu merupakan lambang dari Trimurti. Selain itu, di permukaan meja persajian ada empat tiang yang memiliki fungsi untuk menopang atap. Pada bagian belakang meja persajian ditutupi oleh dinding dari bata merah. Atap bangunan ini memiliki kerangka yang terbuat dari kayu berbentuk tajuk yang ditutup dengan ijuk.

Foto 47. Pesimpangan Bhatara Wisnu (Oktorina A. 2008)

f. Pelinggih

Bangunan pelinggih ini merupakan salah satu dari beberapa pelinggih di Pura Penataran Sasih yang dinamakan Pelinggih Ratu Sasih. Pelinggih ini memiliki bentuk batur bujur sangkar yang terdiri atas tiga tingkat. Pada batur paling dasar berbentuk bujur sangkar dengan tiap-tiap ujung yang di hias ornamen menyerupai antefiks. Pada batur tingkat kedua di setiap sisinya di bagian tengah ada hiasan-hiasan yang dipahat.

(40)

Pada permukaan batur tingkat kedua ada empat tiang untuk menopang atap. Batur tingkat ketiga memiliki bentuk yang lebih kecil dibandingkan dengan batur tingkat pertama dan kedua. Pada batur tingkat ketiga diletakkan nekara perunggu yang merupakan simbol dari pura ini. Selain itu pada permukaan batur tingkat ketiga ada empat tiang kayu untuk menopang atap. Atap tersebut terbuat dari kayu dan berbentuk tajuk yang ditutupi ijuk.

Foto 48. Pelinggih Ratu Sasih (Oktorina A. 2008)

g. Padmasana

Bangunan padmasana memiliki alas yang berdenah bujur sangkar dan bentuk semakin ke atas makin mengecil. Bagian alas berbentuk batur dan di permukaannya ada bagian yang menjorok ke dalam dan kemudian melebar lagi menjadi seluas batur yang menjadi alas. Pada bagian permukaannya ada batur dengan bentuk menyerupai antefiks sudut. Pada bagian puncak berbentuk padmasana (tempat duduk) dengan

sandaran di belakangnya. Foto 49. Padmasana (Oktorina A. 2008)

(41)

h. Gedong

Bangunan gedong menyerupai tugu dan memiliki alas berbentuk batur yang dibuat dari semen. Pada permukaan batur ada tugu dibuat dari bata dan bentuknya yang lebih kecil dibandingkan dengan batur. Bagian atas tugu ada satu ruangan kecil tertutup yang dibuat kayu. Atap tugu berbentuk tajuk yang ditutup dengan ijuk.

Foto 50. Gedong (Oktorina A. 2008)

4.8.3.2.4 Bangunan Penanda Pura Pusering Jagat

Di Pura Pusering Jagat ada beberapa bangunan penanda yang terletak di halaman jaba, jaba tengah dan jeroan, diantaranya:

a. Bale Gong

Bangunan bale gong memiliki denah bujur sangkar dan alas yang dilengkapi dengan tangga yang berjumlah empat anak tangga terletak di salah satu sisi alas tersebut. Pada permukaan alas ada batur yang terbuat dari batu paras dan di tiap ujung sisinya ada hiasan menyerupai antefiks yang menonjol.

Pada permukaan batur terdapat empat tiang yang terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan umpak yang terbuat dari batu paras. Tiang-tiang itu berfungsi untuk menopang atap yang dibuat dari kayu dan berbentuk tajuk yang ditutup

(42)

dengan ijuk. Bale gong berfungsi sebagai tempat untuk menabuh gamelan dalam kaitan dengan upacara di pura.

Foto 51. Bale Gong (Oktorina A. 2008)

b. Bale Kulkul

Bangunan bale kulkul yang ada di Pura Pusering Jagat terdiri atas batur tiga tingkat dan memiliki denah bujur sangkar. Pada alas tiap sisi bagian tengah terlihat menjorok ke dalam sedangkan pada batur tingkat pertama memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan alas dan ada hiasan di ujung tiap sisinya.

Batur tingkat kedua lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan batur tingkat pertama dan memiliki hiasan yang sama dengan batur tingkat pertama. Pada permukaan batur tingkat kedua terdapat empat tiang kayu untuk menopang atap dan dilengkapi dengan umpak yang berbentuk dewi yang pahat.

Batur tingkat ketiga memiliki bentuk yang lebih kecil dibandingkan dengan batur tingkat pertama dan kedua serta ada empat tiang kayu yang

(43)

berfungsi untuk menopang atap. Atap bale kulkul dibuat dari kayu yang berbentuk tajuk dan ditutup oleh ijuk.

Foto 52. Bale Kulkul (Oktorina A. 2008) c. Wantilan

Wantilan pada Pura Pusering Jagat memiliki denah empat persegi panjang dengan alas dari semen. Bangunan ini memiliki sepuluh tiang yang berfungsi untuk menopang atap, tiang-tiang itu dibuat dari kayu dan memiliki umpak yang dibuat dari semen.

Atap bangunan memiliki bentuk limasan dan dibuat dari kayu serta ditutupi dengan genteng. Wantilan memiliki fungsi sebagai tempat pertemuan para anggota karma pura dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah yang menyangkut pura seperti penyelenggaraan piodalan dan perbaikan pura. Disamping itu juga berfungsi sebagai tempat untuk menyelenggarakan keramaian pura seperti tontonan.

Foto 53. Wantilan (Oktorina A. 2008)

(44)

d. Pengaruman

Bangunan pengaruman memiliki denah bujur sangkar dan memiliki alas yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan bangunannya. Bangunan ini menyerupai batur yang terdiri atas dua tingkat dan dibuat dari bata.

Ada tangga dengan tujuh anak tangga dan pipi tangga yang melintang pada sisi kanan dan kiri tangga. Pipi tangga berbentuk naga yang melintang dengan kepala naga yang terletak pada anak tangga pertama. Selain itu, pada batur tingkat pertama di sekelilingnya dikelilingi pagar kayu dengan pintu pagar yang terletak di depan tangga serta terdapat pula tiang kayu yang berjumlah sepuluh untuk menopang atap.

Batur tingkat kedua merupakan bangunan dengan satu ruangan tertutup yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan batur tingkat pertama dan terdapat pintu pada sisi depan bangunan serta dikelilingi oleh pagar kayu yang dikunci. Seperti halnya batur tingkat pertama, pada batur tingkat kedua juga ada sepuluh tiang kayu yang berfungsi untuk menopang atap. Atap bangunan berbentuk tajuk yang dibuat dari kayu dan ditutup dengan ijuk.

Foto 54. Pengaruman (Oktorina A. 2008)

(45)

e. Gedong

Bangunan ini merupakan salah satu gedong pada Pura Pusering Jagat dan dinamakan Gedong Agung Catur Muka. Gedong Catur Muka memiliki denah berbentuk bujur sangkar dengan alas yang lebih luas dibandingkan dengan bangunan. Bangunan ini terdiri atas batur dua tingkat dan pada sisi depan batur tingkat pertama ada tangga yang terdiri atas sembilan anak tangga. Selain itu, ada pipi tangga yang terletak di sisi kanan-kiri anak tangga dan berbentuk naga yang melintang.

Pada teras batur tingkat kedua ada meja persajian dan delapan tiang kayu. Batur tingkat kedua memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan batur tingkat pertama dan merupakan bangunan dengan satu ruangan tertutup.

Atap bangunan dibuat dari kayu dan memiliki bentuk tajuk serta ditutupi dengan ijuk. Gedong Agung Catur Muka berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan arca Caturkaya yaitu arca berkepala dan berbadan empat. Muka yang mengarah ke timur bernama Isvara, ke barat bernama Dewa Mahadewa, ke selatan Dewa Brahma dan ke utara adalah Dewa Wisnu.

Foto 55. Gedong Agung Catur Muka (Oktorina A. 2008)

f. Padmasana

Bangunan padmasana memiliki denah empat bujur sangkar dan alas yang berupa batur. Padmasana memiliki bentuk semakin ke atas semakin mengecil

(46)

dengan bagian puncak yang berbentuk padmasana (tempat duduk) dengan sandaran.

Foto 56. Padmasana (Oktorina A. 2008)

g. Pelinggih

Pelinggih ini merupakan salah satu pelinggih yang ada di Pura Pusering Jagat dan dinamakan Pelinggih Ratu Pusering Jagat yang merupakan bangunan terbuka tanpa atap dan berdenah bujur sangkar. Bagian alas berbentuk batur dan dikelilingi dinding bata dengan bagian bagian depan sedikit terbuka yang berfungsi sebagai pintu masuk.

Pada permukaan batur diletakkan arca seorang dewi dalam posisi berdiri dan kedua tangannya memegang kendi yang diarahkan ke bawah. Di sisi dinding yang terbuka ada dua patung naga dalam posisi kepala dan leher tegak.

Foto 57. Pelinggih Ratu Pusering Jagat (Oktorina A. 2008)

(47)

4.8.3.2.5 Bangunan Penanda Pura Samuan Tiga

Di Pura Samuan Tiga ada beberapa bangunan penanda, berikut ini adalah uraian beberapa bangunan penanda akan tetapi hanya sebagian yang akan dideskripsikan, di antaranya:

a. Piyasan

Bangunan piyasan memiliki denah bujur sangkar dan alas dibuat dari semen. Pada salah satu sisi terdapat tangga yang terdiri atas tiga anak tangga. Selain itu, pada permukaan alas ada sepuluh tiang kayu dengan umpak dibuat dari semen. Pada salah satu sisi ada dinding dari bata. Tiang-tiang kayu itu untuk menopang atap yang berbentuk tajuk dibuat dari kayu dan ditutup ijuk.

Foto 58. Piyasan (Oktorina A. 2008) b. Pengaruman

Pengaruman yang ada di Pura Samuan Tiga memiliki denah bujur sangkar dan menyerupai batur yang terdiri atas dua tingkat. Pada sisi depan, ada tangga dengan tujuh anak tangga dan memiliki pipi tangga menyerupai naga yang melintang di sisi kanan-kiri tangga.

Foto 59. Pengaruman (Oktorina A. 2008)

Gambar

Gambar 1. Sketsa Denah Pura Maospait Gerenceng  (Oktorina A. 2008)
Gambar 2. Sketsa Denah Pura Maospait Tatasan  (Oktorina A. 2008)
Gambar 3. Sketsa Denah Pura Kebo Edan  (Oktorina A. 2008)
Gambar 4. Sketsa Denah Pura Penataran Sasih  (Sumber: Oktorina A. 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan komponen simetris, tegangan dan arus tiga fasa yang dalam keadaan tak seimbang di-. transformasikan ke dalam

Power merupakan faktor penting dalam kehidupan kepemimpinan, sebab dengan faktor itu seorang pemimpin akan dapat mempengaruhi perilaku orang lain baik secara individu

PSEKP selain merupakan institusi penelitian dan kebijakan di Indonesia yang sangat responsif dalam melakukan kajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian dan telah banyak

Hasil uji coba program komputer yang dibuat menunjukkan bahwa kontur dapat dimodelkan dengan baik menggunakan grafik interpolasi 2D dan 3D, parameter yang dapat diubah

Penyimpangan terdiri dari penyimpangan yang direncanakan (misalnya ketersediaan bahan awal yang tidak mencukupi untuk proses produksi, sehingga dilakukan penyesuaian

Data subyektif merupakan pendokumentasian manajemen kebidanan menurut Helen Varney yaitu langkah pertama (pengkajian data), terutama data yang diperoleh melalui

dalam teknik pengenceran atau adanya kontaminan dan akan memiliki pengaruh yang besar pada perhitungan akhir, sebalikanya jumlah koloni yang lebih dari

Gambar atau grafik merupakan bagian yang penting sistem multimedia, pada dasarnya sebuah format gambar dapat direpresentasikan kedalam tipe bitmap atau vektor, perbedaan dari