Halaman | 1
PENGEMBANGAN SELF ADVOCACY DALAM MENINGKATKAN KESADARAN DIRI
MELALUI STRUCTURE LEARNING APPROACH PADA SISIWA SMP
Hariadi Ahmad
(Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling FIP IKIP Mataram) Email: hariadi_memed@yahoo.co.id
ABSTRAK
Individu sebagai makhluk sosial mempunyai dorongan dari dalam dan luar diri untuk berinteraksi. Individu memerlukan keterampilan sosial yang baik dalam berinteraksi. Rendahnya keterampilan sosial memicu terjadinya masalah pribadi sosial. Siswa sedang mengalami perubahan fisik, psikis, dan mengalami fase transisi, kebimbangan jadi diri, dan identitas diri. Perubahan perkembangan bertujuan penyesuaian diri yang positif terhadap lingkungan sekitarnya, memerlukan aktualisasi diri. Keberhasilan siswa dalam penyesuaian diri dengan baik, secara pribadi maupun sosial harus mempunyai kesempatan mengungkapkan minat dan keinginannya. Penelitian ini adalah penelitian pengembangan yang bertujuan untuk (1) menghasilkan panduan pelatihan self advocacy yang dikembangkan dengan teknik Structure Learning Approach yang memenuhi kriteria akseptabilitas (kegunaan, kelayakan, ketepatan dan kepatutan), dan (2) menghasilkan panduan pelatihan self advocacy yang efektif meningkatkan self advocacy siswa SMP. Agar pelaksanaan pelatihan self advocacy dapat mencapai hasil yang baik, maka konselor perlu memiliki kompetensi teknis khususnya dalam memimpin kelompok, budaya siswa, dan kondisi siswa. Pada penelitian selajutnya perlu dilakukan pengamatan di luar seting pelatihan, menggunakan desain dan teknik penelitian yang lain, dan pada subyek yang lebih besar dan karakteristik yang berbeda.
Kata Kunci: Self Advocacy, Kesadaran Diri, Structure Learning Approach. PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk sosial
menyebabkan adanya dorongan dari dalam diri dan luar diri individu untuk
berinteraksi dengan individu lain.
Melalui interaksi sosial, setiap individu dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta memaknai hidupnya untuk kepentingan diri sendiri dan orang lain. Intraksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan,
antara orang perorangan dengan
kelompok maupun antara kelompok dengan kelompok sosial lain. Individu
yang memiliki keterampilan sosial yang tinggi cenderung mendapat penerimaan sosial yang lebih baik, sedangkan individu yang memiliki keterampilan sosial yang rendah cenderung akan mendapatkan penerimaan sosial yang kurang baik.
Dalam berinteraksi sosial ada
beberapa keterampilan yang perlu
dikuasai oleh setiap individu, salah satunya adalah keterampilan sosial yang didalamnya termasuk self advocacy
(Yuan, 1994). Keterampilan self
advocacy merupakan konstruk psikologis, yaitu kebutuhan bagi setiap individu dalam perkembangan yang
Halaman | 2
perlu dipenuhi dengan berbagai
kebutuhan seperti kasih sayang,
perhatian, penghargaan terhadap dirinya, dan peluang mengaktualisasikan dirinya.
Self advocacy merupakan keterampilan yang dimiliki oleh individu dalam berkomunikasi secara efektif, menyampaikan pendapat, bernegosiasi,
menyatakan minat, keinginan,
kebutuhan, dan hak-haknya, serta
kemampuan untuk mengambil keputusan
dan bertanggung jawab terhadap
keputusan yang di ambil (Van Reusen, Bos, Schumaker, & Deshler, 1994; Van Reusen, 1996; Schreiner, 2007; Test, Fowler, Wood, Brewer, & Eddy, 2005).
Keterampilan self advocacy
bermanfaat bagi siswa sebagai berikut:
pertama, akan memudahkan siswa dalam
mengontrol perasaan. Kedua, siswa dapat membangun rasa percaya diri. Ketiga, siswa dapat mengubah rasa putus asa dan
ketidakberdayaan menjadi perasaan
penuh harapan. Keempat, akan
memudahkan siswa dalam bersosialisasi
dan menjalin hubungan dengan
lingkungan, mengungkapkan apa yang
diinginkan dan dirasakan secara
langsung, menghindari munculnya
ketegangan dan perasaan tidak nyaman.
Kelima, dengan memiliki self advocacysiswa dapat mencari solusi dan
penyelesaian dari berbagai kesulitan atau permasalahan yang dihadapi secara efektif, sehingga tidak menjadi beban.
Keenam, sisiwa dapat meningkatkan
kemampuan kognitif, memperluas
wawasan tentang lingkungan, dapat menghargai perbedaan tata pandang dalam masyarakat, memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri (Van Reusen, 1994, 1996;Oregon Department
of Education, 2001; Pacock, et.al, 2002). Self advocacy berkembang sejalan dengan usia seseorang, sehingga
penguasaan sikap dan perilaku pada
periode-periode awal perkembangan
akan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan periode selanjutnya. Akan tetapi jika siswa tidak dilatihkan sejak dini, maka para siswa mengalami kesulitan dalam membantu diri mereka sendiri dalam berbicara sesuai dengan apa yang diinginkan, dibutuhkan dan
diharapkan, dalam menyampaikan
pendapat, berkomunikasi secara efektif, dan bernegosiasi dalam memperoleh hak-haknya, serta dapat bertanggung jawab atas apa yang menjadi pilihan dan keputusannya (Van Reusen, 1994, 1996; Pacock, Stan, Meagan, David, Bob, Wendy and James, 2002; Schreiner, 2007).
Menurut Van Reusen (1996) hambatan adalah masalah yang paling sering dialami oleh siswa minoritas. Konselor bertugas membela para siswa
dengan memupuk kemampuan self
advocacy, yang didefinisikan sebagai
kemampuan untuk berkomunikasi atau bernegosiasi yang berhubungan dengan kepentingan, keinginan, kebutuhan dan hak. Menurut Yuan (1994) terdapat beberapa persoalan yang timbul pada siswa diantaranya rendahnya kesadaran diri dan keengganan untuk bertanya untuk meyakinkan dan meminta apa yang mereka butuhkan, yang dapat merugikan diri mereka sendiri dalam meraih keberhasilan di bidang akademik, sosial, dan lapangan pekerjaan. Dalam
persiapan pengambilan keputusan,
tanggung jawab yang lebih besar untuk
siswa itu sendiri, sangat perlu
menjadikan siswa lebih aktif dan bijaksana dalam proses belajar dan pembelajaran yang spesifik.
Bimbingan dan konseling
sebagai salah satu bidang layanan yang terintegral dalam keseluruhan upaya
Halaman | 3
pendidikan di sekolah perlu
menunjukkan tanggung jawab dan
keperdulian secara optimal.
Profesionalisme pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah dapat diketahui melalui unjuk kerja konselor. Konselor adalah tenaga ahli yang diharapkan dapat
menfasilitasi peserta didik untuk
mencapai kemandirian dalam berbagai bidang akademik, karir, personal serta sosial. Unjuk kerja konselor tersebut secara tegas dirumuskan sebagai salah satu sub kompetensi konselor yakni
menyelengarakan bimbingan dan
konseling yang memandirikan peserta didik (Dirjen PMPTK Depdiknas, 2007).
Undang-undang No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, menyatakan bahwa peran konselor sebagai tenaga profesional,
tidak hanya memberikan layanan
bimbingan dan konseling, tetapi juga menyelengarakan kegiatan pelatihan bagi peserta didik agar dapat mencapai tujuan perkembangan optimal peserta didik. Penyelengaraan kegiatan pelatihan bagi siswa di sekolah dapat dilakukan untuk memenuhi berbagai bidang kebutuhan siswa, seperti akademik, belajar, karir,
pribadi-sosial. Program pelatihan
keterampilan self advocacymerupakan program layanan terkait kebutuhan sosial
pribadi yang sangat penting dan
beranfaat bagi para siswa sekolah.
Pelatihan keterampilan self
advocacy merupakan salah satu bentuk
intervensi serta pendekatan bimbingan dan konseling yang dapat dilakukan oleh konselor bagi siswa di sekolah. Konselor dapat menerapkan strategi pembelajaran
terstruktur untuk membantu siswa
meningkatkan keterampilan self
advocacy, karena tahapan dalam startegi
pembelajaran tersetruktur sangat
sistematis, direktif, dan behavioristik.
Strategi pembelajaran terstuktur terdiri dari lima tahap, yaitu (a) penjelasan materi atau arahan (instruction), (b)
pemberian model (modeling), (c)
bermain peran (role-play), (d) pemberian umpan balik (performancefeedback), dan (e) pemberian tugas dan pemeliahraan (transfer of training and maintenance) (Sprafkin, Gershaw, dan Glodstein, 1993; selanjutnya dikembangkan oleh Thompson, 2003).
Menurut Sprafkin, Gershow &
Goldstein (1993), keterampilan
seseorang tampak melalui serangkaian perilaku, berawal dari perilaku yang sederhana hingga ke perilaku yang
kompleks. Perilaku-perilaku yang
dimaksudkan meliputi: mengidentifikasi kekuatan dan kemampuan diri, sikap asertif, keterampilan negosiasi sehingga individu mampu secara efektif dalam
berkomunikasi, menyampaikan
pendapat, menyatakan minat, keinginan,
kebutuhan dan hak-haknya tanpa
mengorbankan martabat diri sendiri dan orang lain.
Hasil penelitian tentang self
advocacyyang dilakukan oleh: Brinckerhoff (1994) yang dikembangkan pada siswa sekolah menengah dengan
tema “Developing Effective
self-advocacy skills in colege-bound students with learning disablitis”. Sebagai salah
satu komponen bahan ajar self advocacy pada siswa yang mengalami kelemahan dalam belajar. Dengan menggunakan
teknik role play. Pacock(2002)
mengembangkan self advocacy pada 17 siswa yang mengalami kelemahan dalam belajar dengan teknik role play. Skinner (1998) melatihkan self advocacy pada siswa sekolah dasar dan menengah yang mengalami kelemahan dalam belajar dengan mengembangkan bahan ajar menggunakan teknik role play. Erlinda
Halaman | 4
(2011) yang mengembangkan
keterampilan asertif, mengembangkan keterampilan asertifbagi siswa sekolah menengah pertama dengan menggunakan teknik Structured Learning Approach.
Paduan pelatihan self
advocacyyang akan dikembangkan tersebut, merupakan panduan pelatihan bagi konselor dalam membantu siswa
mengembangkan pengetahuan dan
melatih keterampilan self advocacy. Panduan pelatihan self advocacyselain berfungsi sebagai pengembangan juga berfungsi sebagai pencegahan, yaitu untuk mencegah siswa merasa tidak mampu membela diri mereka terhadap
apa yang diinginkan, dapat
mengekspresikan dirinya sendiri,
menghilangkan hambatan-hambatan dari dalam dan luar diri yang berupa
mengidentifikasi kekurangan dan
kemampuan diri, bersikap asertif,
memiliki keterampilan negosiasi,
berkomunikasi secara efektif,
menyampaikan pendapat, minat,
keinginan, dan pengambilan keputusan, serta menentuan nasib sendiri. Meskipun
tujuan pengembangan panduan ini
bersifat pengembangan dan prepentif, namun tidak menutup kemungkinan
panduan pelatihan self advocacy
berfungsi kuratif untuk membantu siswa yang sedang memiliki kurang dalam kesadaran diri, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, komunikasi dan tanggung jawab.
Berdasar pada kepentingan
tersebut maka upaya pengembangan panduan pelatihan self advocacy bagi siswa SMP yang dilakukan melalui penelitian ini merupakan langkah stategis dan dapat berfungsi preventif, kuratif
maupun pengembangan melaui
optimalisasi pelaksanaan layanan
bimbingan pribadi dan sosial oleh konselor bagi siswa SMP.
METODE PENGEMBANGAN
Model pengembangan yang digunakan dalam pengembangan panduan pelatihan
self advocacy ini adalah modifikasi dari
model Borg dan Gall (1983). Menurut Borg dan Gall, prosedur penelitian
pengembangan atau Research and
Development (R&D) terdiri dari dua
tujuan utama, yaitu: (1) mengembangkan produk, dan (2) menguji keefektifan produk dalam mencapai tujuan. Tujuan
pertama disebut sebagai fungsi
pengembangan, sedangkan tujuan kedua disebut sebagai fungsi validasi. Proses pengembangan biasa berhenti sampai pada tahap dihasilkannya suatu produk melalui uji coba terbatas, hanya saja
produk semacam itu tidak dapat
digunakan secara luas, maka produk tersebut perlu divalidasi, langkah validasi
ini dimaksudkan untuk menguragi
ketidakpastian.
Borg dan Gall (1983)
berpendapat bahwa ada sepuluh langkah dalam penelitian dan pengembangan, yaitu: 1) Melakukan penelitian dan pengumpulan informasi (kajian pustaka, pengamatan, persiapan laporan tentang pokok permasalahan). 2) Melakukan
perencanaan (mendefinisian
keterampilan, perumusan tujuan,
penentuan urutan pembelajaran, dan uji skala kecil). 3) Mengembangkan produk awal (menyiapkan materi pelatihan,
penyusunan buku panduan dan
perlengkapan evaluasi). 4) Uji lapangan awal. Ujicoba dilaksanakan pada 1-3 sekolah dengan 6- 12 subjek uji coba. Selama uji coba diadakan pengamatan, wawancara serta penyebaran angket
untuk kemudian dikumpulkan dan
Halaman | 5 produk utama (sesuai dengan saran-saran
dari hasil uji lapangan awal). 6) Melakukan uji coba lapangan utama. Data kuantitatif tentang unjuk kerja subyek prapelatihan dan pascapelatihan dikumpulkan. Hasil dinilai sesuai dengan
tujuan pelatihan dan dibandingkan
dengan data kelompok bila
dimungkinkan. 7) Melakukan revisi terhadap produk operasional (revisi produk berdasarkan saran-saran dari hasil uji coba lapangan utama). 8)
Melakukan uji coba lapangan
operasional, wawancara, observasi dan koesioner (dikumpulkan dan dianalisis). 9) Melakukan revisi terhadap produk akhir (revisi produk seperti disarankan oleh hasil uji coba lapangan). 10)
Mendiseminasikan dan
mengimplementasikan produk. Langkah-langkah yang terdiri dari sepuluh tahapan tersebut merupakan sebuah lingkaran yang saling berhubungan. Langkah-langkah yang telah dikemukakan tersebut bukan langkah yang harus baku diikuti. Setiap pengembangan dapat memilih dan menentukan langkah yang tepat bagi penelitiannya berdasarkan kondisi dan kendala yang dihadapi (Borg dan Gall, 1983).
Teknik intervensi yang
digunakan dalam pelatihan self advocacy adalah Structured Learning Approach. Tahapan Structured Learning Approach terdiri dari (a) penjelasan materi, (b) pemberian model, (c) bermain peran, (d)
pemberian umpan balik, dan (e)
pemberian tugas, (Sprafkin, Gershaw, dan Glodstein, 1993., Thompson, 2003).
Desain uji ahli dimaksudkan untuk menguji model pelatihan self
advocacy yang akan dipergunakan untuk
menetapkan akseptabilitas (kriteria
kegunaan, kelayakan, ketepatan, dan kepatutan) panduan model pelatihan
tersebut. Penilaian dari ahli adalah uji coba pertama yang dilakukan setelah model pelatihan selesai dibuat. Tujuan
untuk mengetahui
kekurangan-kekurangan pada panduan secara teori. Data yang diperoleh pada uji ahli meliputi penilaian kriteria kegunaan, kelayakan, keteapatan, dan kepatutan dari ahli terhadap prototype model pelatihan self advocacy. Data yang
diperoleh bersifat kuantitatif dan
deskriptif verbal,data kuantitatif
diperoleh melalui skala penilaian yang diberikan pada masing-masing ahli dan data deskriptif verbal diperoleh dari saran, komentar atau kritik yang tertulis dalam angket maupun hasil wawancara dengan ahli. Data-data diperoleh baik data deskriptif verbal dan kuantitatif
akan digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk mervisi dan
menyempurnakan model pelatihan self
advocacy.
Instrument pengumpulan data yang digunakan adalah mengunakan skala angket penilaian. Angket penilaian ini dikembangkan dari buku the joint
committee on standards for educational Evaluation (1981). Angket ini bertujuan
untuk mengumpulkan pendapat ahli tentang kegunaan, kelayakan, ketepatan dan kelayakan panduan pelatihan.
Untuk mengetahui tingkat
keefektifan maka dilakukan eksperimen dengan menggunakan rancangan
one-group pretest-posttest design (Isaac &
Micahel, 1984; Sukmadinata, 2008:208; Setyosari dan Widijoto, 2007:131). Ciri utama rancangan ini adalah bahwa kelompok dibandingkan dengan dirinya sendiri. Perbedaan tes akhir (O2) dengan tes awal (O1) dianggap sebagai pengaruh adanya perlakuan (X). Keberhasilan sebuah perlakuan ditentukan dengan
Halaman | 6 membandingkan skor pre-test dan
post-test. Apabila ada perbedaan yang
signifikan skor tes awal dan tes akhir, maka hal itu merupakan pengaruh dari
perlakuan X, rancangan ini dapat digambarkan pada gambar 1 sebagai berikut:
Pre-test Perlakuan Post-test
O1 X O2
Sumber: Setyosari dan Heru, 2007:131, dan Sukmadinata, 2008:208
Gambar 1. One Group Pretest-Postest Design
O1 : Pengukuran yang diadakan sebelum pelatihan dilaksanakan
O2 : Pengukuran yang diberikan setelah mengikuti pelatihan self advocacy.
X : Perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji coba pengembangan panduan
pelatihan self advocacy bagi siswa sekolah menengah pertama (SMP) ini dilaksanakan dalam tiga tahapan yaitu:
pertama, dilakukan uji ahli oleh tiga
orang ahli bimbingan dan konseling.
Kedua uji lapangan kelompok kecil
adalah seorang konselor. Uji kelompok kecil ini digunakan untuk mengetahui akseptabilitas panduan pelatihan self
advocacy. Ketiga uji kelompok terbatas,
yaitu 8 orang siswa SMP Negeri 16 Mataram. Hasil uji coba Pengembangan
Self advocacy ini dapad dilihat pada table
1 berikut ini:
Tabel 1. Hasil Uji Coba Ahli dan Calon Pengguna
NO Aspek akseptabilitas Ahli Bimbingan Konseling Calon Pengguna/Konselor 1 keguaan 4 (D) 3 (C) 2 kelayakan 3 (C) 3 (C) 3 ketepatan 3 (C) 3 (C) 4 kepatutan 3 (C) 4 (D)
Untuk mengetahui hasil dari pelatihan self advocacybagi siswa SMP dilakukan dengan cara melakukan tes awal (pretest) dan tes akhir (postest)
meggunakan skala self advocacy.
Pelaksanaan pelatihan self advocacypada siswa SMP Negeri 16 Mataram dengan
menggunakan subyek penelitian
sebanyak 8 (delapan) siswa. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan self
advocacy berdasarkan panduan yang
telah dikembangkan, maka data hasil
peretest dan hasil postest dianalisis
dengan dua cara, yaitu analisis secara persubyek dan perkelompok, yang dapat dilihat pada table 2 berikut ini:
Halaman | 7
Tabel 2. Hasil Uji Coba Kelompok Kecil
No SUBYEK
Komponen Self Advocacy Siswa SMP
Self Advocacy Beda/ Peruba han % Kesadaran Diri Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan Keterampilan Komunikasi Kesadaran Tanggung Jawab Pre-test Post Test Pre-test Post Test Pre-test Post Test Pre-test Post Test Pre-test Post Test 1 AFJ 99 107 93 107 98 110 97 115 387 439 52 13,44 2 AAS 96 107 96 107 99 111 98 110 389 435 46 11,83 3 CASK 92 110 97 107 91 110 96 110 376 437 61 16,22 4 DNVS 81 110 73 103 75 104 82 105 311 422 111 35,69 5 FNAI 99 113 94 108 86 110 94 110 373 441 68 18,23 6 FKH 91 112 86 102 87 105 93 111 357 430 73 20,45 7 IKWA 96 115 95 114 90 112 93 112 374 453 79 21,12 8 PDN 93 111 97 105 88 105 91 108 369 429 60 16,26 Jumlah 747 885 731 853 714 867 744 881 2936 3486 550 Rata-rata 93 111 91 107 89 108 93 110 367 436 69
Tabel 3. Hasil Perolehan Skor Rata-Rata Pretest dan Posttest No Komponen Self Advocacy
Hasil rata-rata skor Asymp. Sig. (2-tailed) Pre test Post Test Beda Perubahan % Z tes 1 Kesadaran Diri 93 111 17 18,47 -2.524a .012
2 Pemecahan Pengambilan Keputusan Masalah dan 91 107 15 16,69 -2.524a .012 3 Keterampilan Komunikasi 89 108 19 21,43 -2.524a .012 4 Kesadaran Tanggung Jawab 93 110 17 18,41 -2.524a .012
Total Self Advocacy 367 436 69 18,73 -2.521a .012
1. Hasil uji ahli Bimbingan dan Konseling
Uji ahli bimbingan dan konseling terdiri dari tiga ahli. Ahli pertama
memberikan beberapa catatan,
masukan dan saran berupa: (a) perbaikan pengetikan, (b) indikator skala penilaian ahli dan item
pernyataan disederhanakan, (c)
waktu pelaksanaan hendaknya
dilaksanakan sepraktis mungkin, (d) materi setiap topik disempurnakan.
(e) pemberian penguatan dan
pemberian balikan pada kegiatan konselor hendaknya dijadikan satu. Ahli kedua memberikan catatan, komentar dan saran berupa: (a) perlu
ditambahkan rubik ketercapaian
penilaian pelatihan self advocacy. Berdasarkan catatan yang diberikan
dari uji ahli bimbingan konseling. Ahli ketiga memberikan catatan, komentar dan saran berupa: (a) perbaikan pengetikan, (b) gambar pada sampul panduan perlu diganti. (c) susunan bagian awal panduan: pengertian, pentingnya, manfaat, prosedurumum, selanjutnya topik-topik dalam pandauan terdiri dari pelatihan, jumlah pertemuan
2. Hasil uji konselor (calon pengguna produk)
Uji konselor, diberikan kepada satu
orang konselor di SMPN 23
Mataram. Hasil penilain konselor tersebut, baik secara deskriptif
verbal maupun kuantitatif
menunjukkan bahwa secara umum panduan pelatihan self advocacy yang dikembangan ditinjau dari segi
Halaman | 8 aspek kegunaan konselor menilai
berguna, kelayakan konselor menilai layak, ketepatankonselor menilai
tepat, dan kepatutan konselor
menilai sangat patut, sehingga
panduan dapat dikembangkan lebih lanjut.
Pada uji konselor ini,
konselor memberikan saran dan komentar. Konselor memberikan saran dan komentar berupa: (a) ditambahkan gambar-gambar yang menarik, misalnya pada materi
kesadarandiri, sehingga siswa
menarik membacanya.
3. Hasil uji kelompok terbatas
Uji kelompok terbatas yang
dilaksanakan di SMP Negeri 16 Mataram, dengan jumlah peserta yang ikut dalam pelatihan self
advocacy sebanyak 14 orang siswa,
meskipun subyek yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 8 orang subyek. Pengambilan peserta pelatihan self advocacy sebanyak 14 siswa, yang terpilih secara acak, hal
ini dilakukan untuk menjaga
ancaman internal subyek penelitian.
Uji kelompok terbatas
menggunakan desain pretest-postest
control group design. Siswa berjumlah 8 orang yang dipilih secara acak tanpa ada pertimbangan atau kriteria tertentu. Pemilihan
secara acak dilakukan dengan
anggapan bahwa semua siswa telah
memiliki self advocacy meski
dengan tingkatan yang berbeda. Hasil dari analisis individu atau persubyek ditemukan siswa mengalami peningkatan prosentase yang berbeda pada setiapkomponen
keterampilan yang dilatihkan,
misalnya pada komponen kesadaran
diri subyek AFJ sebesar 8,08%,
subyek AAS sebesar 11,46%,
subyek CASK sebesar 19,57%, subyek DNVS sebesar 35,80%, subyek FNAI 14,14%, subyek FKH sebesar 23,08%, subyek IKWA
sebesar 19,79%, subyek PDN
sebesar 19,35%.Pada komponen
keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan subyek AFJ sebesar 15,05%, subyek AAS sebesar 11,46%, subyek CASK sebesar 10,31%, subyek DNVS sebesar 41,10%, subyek FNAI
14,89%, subyek FKH sebesar
18,60%, subyek IKWA sebesar
20,00%, subyek PDN sebesar
8,25%.
Pada komponen keterampilan komunikasi, subyek AFJ sebesar
12,24%, subyek AAS sebesar
12,12%, subyek CASK sebesar 20,88%, subyek DNVS sebesar 38,67%, subyek FNAI 27,91%,
subyek FKH sebesar 20,69%,
subyek IKWA sebesar 24,44%, subyek PDN sebesar 19,32%. Pada
komponen kesadaran tanggung
jawab, subyek AFJ sebesar 18,56%,
subyek AAS sebesar 12,24%,
subyek CASK sebesar 14,58%, subyek DNVS sebesar 28,05%, subyek FNAI 17,02%, subyek FKH sebesar 19,35%, subyek IKWA
sebesar 20,43%, subyek PDN
sebesar 18,68%.
Data pretest dan postest
untuk seluruh komponen self
advocacy terhadap kelompok eksperimen, terdapat peningkatan skor rata-rata antara pretest dan
posttest, pada masing-masing komponen setelah diberi pelatihan
self advocacy dengan teknik
Halaman | 9
Selanjutnya, berdasarkan
hasil uji statistik wilcoxon,
menunjukkan bahwa pelatihan self
advocacy yang dikembangkan
dengan menggunakan teknik
structured learning approach,
terbukti efektif meningkatkan self
advocacysiswa SMP. Hal ini disebabkan karena dengan teknik
structured learning approach siswa
diminta untuk mengulangi
perilaku/keterampilan-keterampilan yang diharapkan sampai benar-benar dikuasai dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan
Thorndike dalam teori belajar
behavioristik mengenai hukum
latihan (the law of exercise) bahwa semakin sering suatu tingkah laku
diulang atau dilatihkan, maka
asosiasi tersebut akan semakin kuat (Slavin, 2009).
Melalui structured learning
approach siswa mengamati tingkah
laku yang diperankan oleh pemain
dan kemudian mempraktekkan
tingkah laku bersama siswa lainnya. Hal ini sesuai dengan teori belajar sosial yang dikemukakan Albert Bandura (Slavin, 2006), yaitu siswa dapat belajar dengan mengamati dan meniru tingkah laku melalu model (guru, orangtua atau orang lain).
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan hasil kajian produk pengembangan dalam penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan:
1. Menurut ketiga ahli bimbingan dan
konseling dan seorang calon
pengguna atau konselor, secara umum panduan pelatihan yang
dikembangkan telah memenuhi
kriteria akseptabilitas ditinjau dari:
Aspek kegunaan, aspek kelayakan,
aspek ketepatan, dan aspek
kepatutan.
2. Berdasarkan hasil uji statistik
dengan menggunakan uji wilcoxon, dapat disimpulkan bahwa pelatihan
self advocacy yang dikembangkan
efektif untuk meningkatkan self
advocacy siswa SMP. SARAN
Dari hasil temuan dilapangan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan pelaksanaan pelatihan self advocacy, antara lain: a. Konselor perlu memiliki kompetensi
teknis khususnya dalam memimpin sebuah kelompok.
b. Konselor perlu mempertimbangkan budaya tiap peserta karena bisa terjadi perbedaan budaya antara peserta yang satu dengan yang lainnya.
c. Konselor perlu memperhatikan
kondisi fisik dan kondisi psikologis siswa sebelum pelatihan berlangsung,
agar pelaksanaan pelatihan self
advocacymendapatkan hasil optimal. d. Desain penelitian ini adalah one group
pretest-postest design. Untuk peneliti
selanjutnya dapat menggunakan
desain penelitian yang lain.
e. Teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Structure
Learning Approach. Dengan tahapan sebagai berikut: (a) penjelasan materi (b) pemberian model, (c) bermain peran, (d) pemberian umpan balik, dan (e) pemberian tugas. Untuk
peneliti selanjutnya dapat
mengunakan teknik penelitian yang lain.
f. Pengujian keefektifan pelatihan
pengembangan panduan self advocacy yang dirancang baru diterapkan pada siswa SMP kelas VIII (delapan)
Halaman | 10 sebanyak 8 siswa, sehingga belum
diketahui keefektifan pelatihan self
advocacy ini bila diterapkan pada
siswa lain yang jumlahnya lebih besar dengan latar belakang karakteristik
yang berbeda. Untuk itu bagi
penelitian lanjutan dapat melakukan pengujian pelatihan terhadap subyek
lain dengan karakteristik yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Borg, W. R. and Gall, M. D. 1983.
Educational Research an Introduction. Longman Inc.,
1560 Broadway, New York, N.Y. 10036.
Brinckerhoff, L. C. 1994.Developing Effective Self-Advocacy Skills in College Bound Students with
Learning Disablities. Jurnal
Intervention in School and Clinic, Vol 29. No 4: 229-237.
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu
Pedidikan dan Tenaga
Kependidikan Departemen
Pendidikan Nasional. 2007.
Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dan Siswa dalam Jalur Pendidikan Formal.
Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional.
Erlinda. M. 2011. Pengembangan
Panduan Pelatihan
Keterampilan Asertif Siswa SMP. Universitas Negeri Malang, Pascasarjana, Program
Studi Bimbingan dan
Konseling. (Tesis, tidak
diterbitkan)
Friedman, H. S., Schustach, M. W. 2006.
Kepribadian Toeri Klasik dan Riset Moderen. Edisi ke satu
(Alih bahasa: Fransiska Dian, Maria Hani, Andreas P. Prima). Jakarta. Erlangga.
Hurlock. E. B. 1995. Perkembangan
Anak, jilid 2 edisi ketujuh.
Jakarta. PT. Gelora Pratama. Isaac, S. & Michael, W. B (1984).
Handbook In Research And Evaluation: For Education and The Behavioral Science. San
Diego: California 92107 Edit Publisher.
Oregon Department of Education. 2001.
Self-Determination Handbook: A Resurce Guide for Teaching and Facilitating Transition and Self-Advocacy Skills.
Oregon.Public Service Building. Pacock A. L., Stan. L., Meagan. K., David. W. T., Bob A., Wendy. W., and James E. M. 2002.
Successful Strategies for
Promoting Self-Advocacy
Among Student With LD: The LEAD Group.Intervention in
School and Clinic. Vol. 37 No
4: 209-216.
Scheriner. M.B. 2007. Effective Self-Advocacy: What Students and Special Educators Need to Know. Journal Intervention in
School and Clinic. Vol. 42.
No.5: 300 – 304.
Setyosari, P., dan Widijoto, H. 2007.
Metode Penelitian Pendidikan.
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang. Skinner. M. E. 1998. Promoting Self
Halaman | 11
Students with Learning
Disablities.Intervention in
School and Clinic. Vol. 33. No.
5: 278-283.
Slavin, R. E 2009. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek. PT Indeks: Jakarta.
Slavin, R. E. 2006. Educational
Psycology: Theory and Practice: Boston: Pearson Education.
Sprafkin, R. P., Gershaw, N. J. & Goldstein, A. P. 1993. Social
Skills for Mental Health, a structured learning approach.
Boston. Allyn and Bacon. Sukmadinata, N. S. 2008. Metode
Penelitian Pendidikan. Program
Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia dengan
PT Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Test, D.W., Fowler. C. H., Wood. W. M., Brewer. D. M., &Eddy. S. 2005. A Conceptual Framework of
Self-Advocacy for Students
with Disabilities.Journal
Remedial and Special Education. Vol. 26, No 1: 43 –
54.
The Joint Committee on Standards For Educational Evaluation. 1981.
Standards for Evaluations of Educational Program, Projects, and Materials. New York: Mc
Graw-Hill Book Company. Thompson, A. R. 2003. Counseling
Techniques, Second Edition,
New York.
Triyono. 2012. Makalah seminar
Psikologi Terapan dalam Setting Pendidikan: Pengkajian dan Kerjasama Niche Profesi Bidang Pendidikan, Psikologi dan Konseling. Fakultas
Pendidikan Psikologi
Universitas Negeri Malang
(tidak diterbitkan).
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Van Reusen, A. K. 1996. The
Self-Advocacy Strategy for
Education and Transition
Planning. Journal Intervention
in School and Clinic. Vol. 32.
No.1: 49 – 54.
Van Reusen, A. K., Bos, C. S., Schumaker, J. B., & Deshler, D. D. (1994). The self advocacy
strategy for education and transition planing. Lawrence,
KS: Edge Enterprises.
Yuan, F. 1994. Moving Toward Self-Acceptance: A Course for
Students With Learning
Disabilities. Intervention in
School and Clinic. Vol. 29. No.