• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuanpertemuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuanpertemuan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia terdiri dari berbagai kebudayaan daerah yang bersifat kewilayahan, yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Masyarakat Indonesia juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu.

Dalam konteks ini pengetahuan budaya akan berisi tentang simbol-simbol pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat pemiliknya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungannya. Pengetahuan budaya biasanya akan berwujud nilai-nilai budaya suku bangsa dan nilai budaya bangsa Indonesia, dimana di dalamnya berisi kearifan-kearifan lokal kebudayaan lokal dan suku bangsa setempat.

(2)

2 Emile Durkheim menyebutkan bahwa integrasi nasional akan terbentuk yang disebabkan oleh adanya kesadaran sosial yang tinggi dan kesadaran sosial ini terwujud bila kesadaran individu cukup tinggi.1 Melalui proses pembelajaran terhadap nilai dan budaya fisik yang berupa benda cagar budaya akan mendukung terwujudnya integrasi nasional. Sebab tanpa ada suatu pengenalan dan pemahaman dalam pembelajaran yang terus menerus sudah barang tentu akan mengalami suatu ketidaktahuan, sehingga timbul apatis terhadap hal yang tidak bernilai ekonomis. Untuk melunturkan apatisme itu perlu pembinaan agar bisa tumbuh nation building-nya. Sebagai contoh bila benar-benar sudah mengerti apa itu benda cagar budaya, lambat atau cepat dan tahap demi tahap mucul rasa sayang. Wujud dari kesayangan terhadap benda cagar budaya itu diantaranya akan menjaga cagar budaya.2

Membahas tentang warisan kebudayaan, maka akan tiba pada pemahaman akan sisi bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible heritage) dari sebuah warisan. Secara sederhana, tangible dapat dimaknai sebagai sesuatu yang dapat dikenali oleh sistem penginderaan (disentuh, dilihat, dikecap, dan lain-lain) sementara intangible dipahami sebagai sesuatu yang bersifat norma, value „nilai‟, hingga sistem kepercayaan; yang oleh Mounir Bouchenaki pada 14th ICOMOS General Assembly and International

1

Djuretna Imam Muhdi, 1994, Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hlm.28

2

Djoko Adi Prasetyo, Peran Cagar Budaya dalam Proses Pembelajaran, http://djodigowes-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-42324-Akademis-Peran%20Benda%20Cagar%20Budaya.html diakses pada tanggal 05 November 2015

(3)

3

Symposium kedua hal ini diformulasikan sebagai placememory

meaning „tempat– kenangan – makna‟.3

Dalam International Journal of Intangible Heritage, definisi intangible dijabarkan lagi sebagai kebiasaan setempat atau adat istiadat. Salah satu cara memahami (secara terbatas namun tidak membatasi) tangible sebagai sebuah benda atau tempat atau kawasan dan intangible sebagai semesta peradaban yang meliputi benda atau tempat atau kawasan tersebut.4

Keduanya baik sisi bendawi maupun non bendawi, warisan budaya punya peran yang penting dalam memperkuat ketahanan budaya. Ketahanan budaya ini tentu harus selalu diartikan secara dinamis, di mana unsur-unsur kebudayaan dari luar ikut memperkokoh unsur-unsur kebudayaan lokal. Proses globalisasi, yang dikatakan dapat mempertajam clash of civilization.

Menurut Samuel Huntington, proses globalisasi juga dapat mengakibatkan perusakan berat terhadap peradaban, kemasyarakatan dan kesadaran etnis (exacerbation of civilizational, societal and ethnic self-consciousness,), tidak perlu mengakibatkan pelumpuhan yang memarginalisasi eksistensi bangsa, selama bangsa ini memiliki ketahanan budaya yang tangguh. Globalisasi yang terekspose melalui media massa, khususunya televisi, sempat mendorong kepinggir berbagai kesenian tradisional. Apalagi generasi muda makin kurang

3

Adhy Langgar, Pelestarian Cagar Budaya dan Peran Museum,

http://www.adhylanggar.info/museum/pelestarian-dalam-uu-cagar-budaya-dan-peran-museum/ diakses pada tanggal 13 November 2015

(4)

4 tertarik belajar dan mengembangkan musik dan tari tradisional (gamelan, angklung, tembanglangendrian, dan seterusnya).5

Keanekaragaman kebudayaan tak benda di Indonesia ini perlu mendapatkan perlindungan baik di tingkat nasional maupun internasional. Perlindungan kebudayaan tak benda ini perlu dilakukan untuk mengetahui kekayaan budaya yang ada dan kondisinya saat ini dan terutama untuk mencegah adanya pengakuan dari pihak lain.6 Selain itu, perlindungan kebudayaan tak benda juga dapat memantapkan jati diri bangsa serta dapat memperjelas asal usul karya budaya yang terdapat di wilayah Negara Indonesia.7

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UU CB), Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dalam penjelasan umum UU CB disebut bahwa warisan budaya bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible) yang bersifat nilai-nilai merupakan bagian integral dari kebudayaan secara menyeluruh.

5 Meutia Farida Hatta Swasono, Membangun Ketahanan Budaya Bangsa Melalui Kesenian,

https://anugrahjuni.wordpress.com/umum/membangun-ketahanan-budaya-bangsa-melalui-kesenian/ diakses pada tanggal 13 November 2015

6

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama dengan Kantor UNESCO Jakarta, “Buku

Panduan Praktis Pencatatan Warisan Budaya Takbenda indonesia”, Jakarta : Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama dengan Kantor UNESCO Jakarta, Hal 6

(5)

5 Sementara istilah warisan budaya dikenal dalam definisi Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), dikenal istilah warisan dunia yang terdiri dari warisan alam dunia dan warisan budaya dunia. Warisan budaya dunia adalah kawasan yang memiliki nilai universal luar biasa dan mempunyai pengaruh sangat penting terhadap budaya yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia.8

Warisan budaya terbagi dua, yaitu bendawi dan tak benda. Warisan budaya bendawi adalah hal-hal yang dapat disentuh dan dipakai. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mendefinisikan warisan budaya tak benda adalah segala praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan serta alat-alat, benda (alamiah), artefak, dan ruang-ruang budaya terkait dengannya yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan dalam hal tertentu perseorangan sebagai bagian warisan budaya mereka.9

Warisan budaya tak benda ini, yang diwariskan dari generasi ke generasi, senantiasa diciptakan kembali oleh berbagai komunitas dan kelompok sebagai tanggapan mereka terhadap lingkungannya, interaksinya dengan alam, serta sejarahnya, dan memberikan mereka rasa jati diri dan keberlanjutan untuk memajukan penghormatan keanekaragaman budaya dan daya cipta insani.10

Istilah warisan budaya tak benda juga dipakai dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Convention

8

Subur Tjahjono, Memelihara Warisan Budaya Tak Benda,

http://travel.kompas.com/read/2014/10/24/175400427/Memelihara.Warisan.Budaya.Tak.Benda. Diakses pada 15 November 2015

9 Ibid. 10

(6)

6

For The Safeguarding Of The Intangible Cultural Heritage (Konvensi Untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda). Jadi secara yuridis penyebutan yang dipakai ialah warisan budaya tak benda. Oleh karena itu, dalam penelitian ini istilah yang dipakai ialah warisan budaya tak benda

Dalam salah satu artikel sindonews.com 21 Januari 2015, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva, menyampaikan beberapa hal penting mengenai perlindungan cagar budaya dalam Simposium Internasional Reaktualisasi Hukum Internasional terhadap Perlindungan Cagar Budaya, di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Salah satu poin pentingnya dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UU CB) telah disebutkan, tujuan pelestarian cagar budaya tak hanya untuk menjaga keberadaan benda bersejarah. Tapi juga menyangkut upaya meningkatkan harkat dan martabat bangsa, mempertahankan identitas bangsa, mempromosikan nilai sejarah bangsa serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengaruhnya yang besar terhadap kehidupan manusia juga mempertegas budaya, termasuk benda Cagar Budaya menjadi identitas yang memiliki kekuatan. Budaya bisa dikatakan sebagai sifat sebuah bangsa. Budaya juga menjadi kekuatan bangsa untuk mandiri dan bertahan.11

Namun perlindungan hukum mengenai warisan budaya tak benda di Indonesia belum optimal, meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi UNESCO tentang warisan budaya tersebut, yaitu Convention For Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage 2003 (Konvensi

11

Ratih Keswara, Lindungi Cagar Budaya Tak Cukup dengan Aturan Konstitusi, http://nasional.sindonews.com/read/828736/15/lindungi-cagar-budaya-tak-cukup-dengan-aturan-konstitusi-1390307363 diakses tanggal 5 November 2015

(7)

7 Perlindungan Warisan Budaya Tidak Benda). Ratifikasi dilakukan dengan Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Konvensi Untuk Perlindungan Warisan Budaya TakBenda.

Salah satu dampak belum adanya peraturan khusus tentang warisan budaya tak benda yang berupa undang-undang atau peraturan pemerintah, kebudayaan Indonesia banyak diklaim oleh Malaysia. Adapun yang dimaksud dengan klaim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki atau mempunyai) atas sesuatu.12

Salah satu warisan budaya tak benda dari Indonesia yang menarik untuk diamati perlindungannya ialah I La Galigo yang berasal dari Sulawesi Selatan. Karya agung suku Bugis ini, kini menjadi perhatian dunia setelah ditetapkan sebagai Memory of The World oleh UNESCO pada tahun 2011.

La Galigo mulanya ditulis Raja Paccana, Colliq Pujie, dari lembaran-lembaran daun lontar. Ia hidup pada 1812-1876. Statusnya sebagai Raja Tanete tidak menghalangi kerjanya. Saat itu, Kabupaten Barru masih terbagi empat kerajaan: Tanete, Balusu, Malluisetasi, dan Barru. Peneliti sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, Nurhayati Rahman, menjelaskan, kitab asli La Galigo tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah itu dibawa Dr. Benjamin Frederik Matthes sekitar 1800-an. Awalnya, Matthes dikirim ke Sulawesi Selatan oleh Nederlands Bijbelgenootschap

12 Anonim, “Arti Kata Klaim”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, kbbi.web.id/klaim, diakses tanggal

(8)

8 untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Pulang ke Belanda, ia membawa 25 naskah asli Sureq La Galigo.13

Namun La Galigo dibuat dalam 12 jilid semata-mata untuk dapat menyusunnya lebih rapi dan supaya tidak terlalu tebal dan berat untuk dibawa dan lebih mudah pada saat dibaca. Namun demikian, di setiap halaman pertama pada setiap jilid terdapat deskripsi isi buku yang fungsinya seperti daftar isi. Kadangkala apa yang tertulis di deskripsi halaman pertama tidak tertulis di dalam kitab yang dimaksud. Kemungkinan pada prosesnya La Galigo ditulis lebih dari satu orang. Menurutnya, Colliq Pujie bisa jadi meminta bantuan orang lain untuk menulis naskah La Galigo yang sangat panjang tersebut. Pendapat Sirtjo Koolhof ini didasari atas temuan 4 jenis tulisan tangan yang berbeda dalam 12 jilid La Galigo. Sayangnya dari keseluruhan 12 jilid La Galigo, baru 2 jilid pertama yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan dicetak ulang dengan didanai oleh Pemerintah Belanda.14

Manuskrip La Galigo saat ini disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden dengan teknologi konservasi khusus naskah kuno, yaitu dengan perawatan intersif dan tempat penyimpanan bersuhu 18 derajat celcius.15 La Galigo adalah epik tulis yang terpanjang di dunia dengan 300.000 baris teks

13

Anonim, Ironi Sastra Bugis yang Terkikis,

www.korantempo.com/view_details.php?idedisi=1340&idcategory, diakses tanggal 11 April 2015

14 Andi Ahmad Yani, Menziarahi La Galigo di Belanda,

http://makassar.tribunnews.com/2013/12/23/menziarahi-la-galigo-di-belanda , diakses tanggal 11 April 2015

15 Anonim, Carilah La Galigo Sampai Ke Leiden,

https://bolehtau.wordpress.com/2008/03/25/carilah-la-galigo-sampai-ke-leiden/ diakses tanggal 23 Maret 2016

(9)

9 dan mengalahkan Mahabrata dari India. Untuk itulah pada tahun 2011 UNESCO mengakui naskah NBG 188 La Galigo sebagai Memory of the World atas negara Indonesia dan Belanda.16

Mengingat pentingnya perlindungan La Galigo sebagai sarana memperkuat ketahanan budaya baik kebudayaan Bugis maupun kebudayaan Indonesia. Ketahanan budaya sendiri berfungsi untuk membetengi bangsa dari arus globalisasi serta memperkuat pemahaman mengenai jati diri bangsa. Oleh karenanya penulis tertarik untuk membahas hal tersebut dalam penulisan hukum dengan judul “Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (Studi Kasus I La Galigo)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan oleh penulis di atas maka dirumuskan permasalahan yang kemudian dikaji dan dianalisis lebih lanjut. Permasalahan tersebut yaitu: bagaimanakah perlindungan hukum warisan budaya tak benda I La Galigo ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

Mengetahui dan menganalisis perlindungan warisan budaya tak benda I La Galigo.

16Ibid.

(10)

10 Manfaat dari penelitian ini adalah untuk :

a. Secara teoritis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu hukum, terutama yang berkaitan dengan perlindungan warisan budaya tak benda di Indonesia.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian yang sejenis dan berkaitan.

b. Secara praktis

1) Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang ilmu hukum, terutama hukum lingkungan dalam pelindungan warisan budaya tak benda.

2) Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hal-hal yang penting untuk melestarikan warisan budaya tak benda.

3) Bagi instansi/pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna dalam perbaikan perlindungan dan pelestarian warisan budaya tak benda.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelurusan kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penelitian yang dilakukan oleh penulis

(11)

11 belum pernah diteliti atau ditulis oleh rekan mahasiswa lainnya. Apabila terdapat penelitian yang membahas mengenai perlindungan cagar budaya, tentunya penelitian tersebut dilakukan di luar lingkup warisan budaya tak benda, dan mempunyai judul serta rumusan masalah yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

Berdasarkan hasil penelurusan kepustakan melalui internet, penulis menemukan ada penelitian dari sudut pandang Hukum Internasional yang ditulis Samuel Valentino Adiputra (060200263), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul “Peranan UNESCO Terhadap Pengklaiman Budaya Tidak Berwujud dan Penerapan Hukumnya di Indonesia” yang memiliki tujuan penelitian mengetahui peranan UNESCO dalam perlindungan budaya tidak berwujud dan penerapan hukum yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk melindungi budaya tidak berwujud tersebut dan hasil penelitiannya adalah :

a. UNESCO sebagai satu-satunya badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan tugas khusus untuk melindungi warisan budaya berada dalam pengawasan upaya internasional untuk melindungi kreativitas dan keragaman di seluruh dunia, berperan aktif dalam upaya perlindungan dan pewarisan kebudayaan tidak berwujud dalam negara-negara di dunia dengan cara membuat konvensi untuk melindungi kebudayaan tidak berwujud.

b. Di Indonesia, pemerintah ikut serta meratifikasi Convention for The Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003 melalui Peraturan

(12)

12 Pemerintah No. 78 tahun 2007, serta Indonesia mendapat pengakuan bahwa budaya-budaya yang diklaim oleh Negara Malaysia merupakan budaya asli yang berasal dari Indonesia dengan terdaftarnya budaya-budaya tersebut dalam Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity.

Selain itu juga ada penelitian dari Fajar Winarni S.H., M.Hum. dan Dinarjati Eka Puspitasari S.H.,M.Hum. yang berjudul Urgensi Perlindungan Cagar Budaya Tidak Berwujud (Studi Kasus: Klaim Budaya Indonesia Oleh Malaysia) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2015. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana pengaturan perlindungan cagar budaya tidak berwujud di Indonesia serta bagaimana upaya pemerintah Indonesia menghadapi klaim budaya Indonesia oleh Malaysia dan hasil penelitiannya:

1. Pengaturan cagar budaya takbenda atau cagar budaya tidak berwujud di Indonesia adalah belum ada yang berupa undang-undang, baru sebatas Peraturan Menteri. Selama ini cagar budaya yang tidak berwujud kurang mendapat perhatian dari Pemerintah, padahal Indonesia merupakan salah satu Negara yang meratifikasi Konvensi Internasional tentang cagar budaya tak berwujud. Namun Pemerintah tidak segera menindaklanjuti dengan pembuatan undang-undang atau peraturan pemerintah. Terkait dengan pengaturan cagar budaya tak berwujud ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia,

(13)

13 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. 42 Tahun 2009 dan No. 40 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat. Dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, tidak ada satu pasal pun yang mengatur mengenai cagar budaya non benda. Pengaturannya hanya disinggung dalam Penjelasan Umum UU No. 11 Tahun 2010.

2. Upaya Pemerintah Indonesia menghadapi klaim budaya Indonesia oleh Malaysia adalah pemerintah Indonesia membentuk Komite Warisan Budaya Nasional yang bertugas mencatat semua warisan budaya nasional di Indonesia, sehingga diharapkan dapat menghindari adanya saling klaim, Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan strategi jangka pendek, menengah dan panjang agar klaim kebudayaan yang berasal dari Indonesia sebagai milik Malaysia tidak terjadi lagi.

Sedangkan peneliti menulis tentang perlindungan warisan budaya tak benda sesuai kacamata Hukum Lingkungan. Selain itu dalam penelitian ini peneliti memakai I La Galigo sebagai obyek studi kasus.

Referensi

Dokumen terkait

(Faktor fundamental yang terdiri dari : nilai buku, keuantungan dan PER saham secara serempak atau simultan tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham properti di

f. Sebagaimana ketentuan Pasal 344 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian, dan Evaluasi Pembangunan Daerah,

Frasa preposisi pada data (1a) sudah benar dan pada kalimat (1b) seharusnya was sebagai kata kerja bantu pada data itu adalah is karena kalimat tersebut

Pada diagram sankey dapat dilihat besarnya daya loss, hanya 10,78% saja yang diubah menjadi energi listrik, loss daya photovoltaic adalah 89,22% yang tidak dapat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buku Sepuluh Ribu Pantun Selaksa Santun karya Tusiran Suseno memiliki delapanbelas nilai budi pekerti yaitu religius, jujur,

Biaya merupakan faktor yang utama pada dasar strategi yang bertujuan menjadi penghasil produk atau pelayanan service yang low-cost di dalam market segmen.. Dalam membentuk

Perencanaan pengumpulan bukti dilakukan dengan melakukan pengembangan dokumen PAAP (Perencanaan Aktivitas dan Proses Asesmen). Dalam penelitian tahun kedua 2020

a) Melakukan identifikasi kurikulum berjalan untuk memahami aspek, teknik serta indikator materi lingkungan yang telah tercakup di dalam kurikulum SMA IT Nur Hidayah. b)