• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan hakiki setiap manusia. Kemajuan zaman dan teknologi menuntut manusia untuk selalu berpikir lebih maju dan selektif, terutama dalam memenuhi kebutuhannya akan pangan yang tidak cukup hanya sekedar menghilangkan rasa lapar hingga muncul istilah pangan fungsional. Menurut Hasan dkk. (2011), pangan dikatakan bersifat fungsional apabila mengandung zat gizi atau non gizi (komponen aktif) yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh ke arah positif seperti memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit, menjaga kondisi fisik dan mental, maupun memperlambat proses penuaan.

Jepang merupakan salah satu pusat perkembangan tren pangan fungsional dunia. Konsumsi per kapita makanan dan minuman fungsional di Jepang telah mencapai empat kali lebih besar dari makanan dan minuman biasa (Stein dan Emilio, 2008). Kini, sifat fungsional menjadi salah satu kriteria pangan dalam parameter penerimaan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Indonesia juga harus mampu bersaing dengan negara lain dalam mengembangkan pangan fungsional, sehingga potensi pangan lokal mendapat tempat dalam perkembangan tren pangan fungsional dunia.

Indonesia memiliki sumber daya lahan yang luas untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian. Luas daratan Indonesia mencapai 188.2 juta ha, yang terdiri dari 148 juta ha lahan kering dengan jenis tanah, iklim, fisiografi, dan elevasi yang beragam (Mulyani dan Irsal, 2008). Maka, potensi sektor pertanian dapat tumbuh dengan baik. Iklim tropis dengan dua musim tiap tahun menunjang tingkat keanekaragaman hayati dan mudahnya perkembangan bahan pangan seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan.

Indonesia memiliki potensi umbi yang beragam sebagai sumber karbohidrat dan bahan baku tepung lokal, antara lain ubi jalar, ubi kayu,

(2)

gembili, garut, talas, uwi, suweg, ganyong, dan lain-lain. Kandungan karbohidratnya yang tinggi membuat umbi-umbian dapat dijadikan sebagai makanan pokok (Histifarina, 2012). Salah satu jenis umbi lokal Indonesia yang kurang populer adalah umbi ganyong. Kebanyakan petani juga menganggap ganyong kurang memiliki nilai ekonomis sehingga sedikit petani yang membudidayakannya (Sutrisno dan Endah, 2011). Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya rata-rata konsumsi ganyong (dengan pendekatan umbi lainnya) masyarakat Jawa Tengah yang hanya sebesar 1.2 gram per orang per hari yang lebih kecil daripada konsumsi singkong dan ubi jalar (Santoso dkk., 2014). Padahal, tanaman ganyong dapat dibudidayakan dengan mudah tanpa memerlukan persyaratan yang sulit (Slamet, 2010) dan pengolahan ganyong pun tidak sulit, hanya dengan merebusnya ganyong sudah dapat menjadi makanan pokok masyarakat. Histifarina (2012), mengungkapkan bahwa rimpang ganyong tidak hanya dapat dikonsumsi sebagai makanan selingan, tetapi dapat diproses lebih lanjut menjadi tepung yang dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan tepung terigu. Ganyong juga dapat dibuat gaplek seperti singkong dan bahan makanan sejenis yang bermanfaat bagi warga pedesaan di saat paceklik. Menurut Imai (2013), ganyong juga telah dikonsumsi sebagai bahan pangan konsumsi rumah tangga sejak zaman purba meskipun dengan jumlah yang kecil.

Sampai saat ini, ganyong telah dimanfaatkan sebagai bahan pangan langsung yang dapat diolah melalui proses penepungan, yang selanjutnya menjadi produk bakery seperti mie (Herman et al., 1997); dodol (Ridhawati, 2009); roti tawar; cake (Imai, 2013), dan sumber pati untuk material industri (Kuswandari dkk., 2013) serta bahan edible film (Syaichurrozi dkk., 2012). Dalam perkembangannya, ganyong diolah menjadi tepung. Tepung ganyong mengandung pati resisten sekitar 9.9% dan amilosa sebesar 36.35% yang dapat digunakan sebagai bahan baku produksi pati resisten karena memiliki efek menguntungkan dalam pencegahan penyakit seperti diabetes, penurunan kolesterol, dan pengaturan berat badan (Astuti dan Rifda, 2011). Sedangkan kandungan pati ganyong berkisar 70-80% dan memiliki karakteristik lebih

(3)

mudah dicerna oleh tubuh manusia daripada jenis pati lainnya (Aprianita, 2010, Zhang dan Zheng, 2013). Dalam ganyong juga ditemukan senyawa fungsional, sejumlah antioksidan, BHT (Butyl Hydroxyl Toluene), quercetin, asam galat, dan asam askorbat (Mishra et al., 2011).

Tepung ganyong mengandung karbohidrat sekitar 86% namun kadar proteinnya hanya sekitar 1% (Histifarina, 2012). Rendahnya protein ganyong perlu dicampur dengan komoditas lain yang kaya akan protein seperti kacang-kacangan. Salah satu jenis kacang yang terdapat di Indonesia adalah kacang kara. Menurut Maesen dan Somaatmadja (1993), dalam Windrati (2010), kara-karaan mengandung protein sebesar 18-25% yang dapat dijadikan sebagai sumber protein.

Salah satu jenis kara lokal yang memiliki harga relatif lebih murah dari jenis kacang populer lainnya seperti kedelai dan kacang hijau adalah kara pedang. Menurut Doss et al. (2011a), kara pedang berpotensi tumbuh dengan mudah pada daerah tropis. Kara pedang juga mampu menghasilkan biji berkisar 1-4.5 ton biji kering/ha, sesuai dengan populasi, teknik produksi, dan lingkungan produksinya (Pramitasari dkk., 2013). Dibandingkan dengan jenis-jenis kacang lainnya, kara pedang termasuk jenis kacang yang kurang dimanfaatkan sebagai bahan pangan dalam pemenuhan protein gizi manusia, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini didukung dengan rendahnya rata-rata konsumsi kara pedang (dengan pendekatan kacang lainnya dan olahan) masyarakat Jawa Tengah yang hanya sebesar 0.7 gram per orang per hari yang tergolong cukup rendah apabila dibandingkan dengan konsumsi kedelai serta kacang tanah (Santoso dkk., 2014), sehingga dalam penelitian ini digunakan bahan lain berupa kacang kara pedang untuk mengimbangi kandungan protein tepung ganyong. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gizi adalah zat makanan pokok yang diperlukan bagi pertumbuhan dan kesehatan badan.

Kara pedang mengandung 17 jenis asam amino, yang didominasi oleh glysin, serin, dan asam glutamat serta mengandung lektin yang dapat diisolasi dengan purifikasi (Melgarejo et al., 2005). Lektin merupakan protein yang

(4)

dapat mengikat karbohidrat sebagai antigen protein yang mengikat pada permukaan glikoprotein (atau glikolipid) dalam darah, ikatan protein- karbohidrat terdapat pada sebagian besar tanaman yang memiliki peran perlindungan terhadap patogen eksternal seperti jamur (Rybak dan Galina, 2013, Buul dan Fred, 2014, Gemede dan Negussie, 2014). Produk-produk berbahan dasar kara pedang juga telah dikembangkan mulai dari isolat lektin (Malgarejo et al., 2005), protein rich flour kara pedang (Windrati dkk., 2010), isolat protein (Qayyum et al., 2012), minyak kara pedang (Abitogun and Olasehindo, 2012). Selain itu, kara pedang dapat digunakan sebagai alternatif pengikat (binding agent) (Marimuthu dan Gurumoorthi, 2013). Binding diperlukan dalam proses hidrasi yang berperan pada proses stalling dalam mengatur viskositas dan sifat regang (extensibility) seperti peran gluten dalam terigu (Tharise et al., 2014).

Berdasarkan uraian di atas, ganyong (Canna edulis) diketahui memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, sedangkan kara pedang (Canavalia ensiformis) memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Upaya untuk meningkatkan kualitas gizi manusia dari umbi-umbian dan kacang-kacangan dapat dilakukan dengan cara mengonsumsi kedua jenis bahan tersebut secara bersamaan sehingga kebutuhan karbohidrat dan protein sebagai zat makro yang dibutuhkan tubuh dapat terpenuhi. Kondisi geografis dan lahan di Indonesia mampu mendukung pembudidayaan dalam rangka meningkatkan produktivitas kedua jenis bahan lokal tersebut. Oleh karena itu, pemanfaatan pengolahan ganyong dan kara pedang dapat lebih optimal bahkan untuk skala industri dalam memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat sebagai konsumen.

Senyawa yang terdapat dalam ganyong dan kara pedang berpotensi dijadikan senyawa fungsional yang memiliki manfaat, seperti antioksidan, serat pangan, dan pati resisten. Perlakuan sederhana seperti perendaman dan perkecambahan dapat digunakan untuk memperbaiki komponen antioksidan pada kara pedang (Chaturvedi et al., 2015). Makanan tinggi serat yang terbuat dari kacang-kacangan dapat mencegah dan mengobati berbagai penyakit seperti diabetes, konstipasi, hipertensi, dan anemia (Akande et al., 2013).

(5)

Oleh karena itu, pengolahan bahan pangan dapat lebih dikembangkan sebagai alternatif pangan fungsional yang berasal dari komoditas lokal.

Dalam penelitian ini, tepung ganyong dan kara pedang dikombinasikan dalam bentuk tepung komposit (tepung campuran). Milligan et al. (1981), dalam Noorfarahzilah et al. (2014) mendefinisikan tepung komposit sebagai campuran tepung, pati, dan/atau bahan lain di dalamnya untuk mengganti sebagian atau seluruh tepung terigu dalam produk makanan. Tepung komposit bertujuan untuk mendapatkan karakteristik bahan yang sesuai untuk produk olahan yang diinginkan (Retiana, 2014). Berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan penggunaan tepung komposit dari bahan tanaman lokal (umbi-umbian, buah-buahan) dan mengandung protein tinggi (kacang-kacangan) sebagai substitusi tepung terigu dalam pembuatan berbagai produk, sehingga mengurangi permintaan terigu impor (Giami et al., 2004, dalam Olaoye et al., 2006).

Dasar teknologi tepung komposit mengacu pada proses pencampuran tepung untuk menghasilkan produk makanan berkualitas tinggi dengan cara yang ekonomis (Kadam et al., 2012). Tepung komposit dapat dikembangkan menjadi tepung fermentasi (Taiwo et al., 2012), produk bakery seperti kue sifon (Ningsih dan Lucia, 2013), kue kering (Alsuhendra dkk., 2013), biskuit (Adebowale et al., 2012), roti tawar (Oyeku et al., 2008), produk mie (Martini, 2013), daging analog (Retiana, 2014), serta beras analog (Hendrawan et al., 2015). Pembuatan tepung komposit ini merupakan usaha penganekaragaman pangan sebagai alternatif pangan fungsional, sehingga belum diketahui formula yang sesuai ditinjau dari karakteristik fisik, kimia, dan senyawa fungsionalnya.

Berdasarkan definisi pangan fungsional yang dapat digunakan untuk mencegah maupun mengobati penyakit, penelitian ini mengarah pada pemanfaatan tepung komposit fungsional ganyong dan kara pedang sebagai alternatif pangan bagi penderita diabetes mellitus tipe 2 yang disebut dengan istilah diabetesi. Diabetes mellitus dibagi menjadi 2 tipe yakni diabetes tipe 1 yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin

(6)

yang didiagnosa pada masa anak-anak, dan diabetes tipe 2 sebagai akibat dari kegagalan fungsi pankreas dalam memproduksi insulin yang biasanya didiagnosis pada masa dewasa (Ko, 2000). Pada akhir tahun 2014, Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang memiliki penderita diabetes mellitus terbanyak kelima di dunia yakni 9.1 juta penderita (Subarkah, 2014) dan pada tahun 2030 diperkirakan mencapai 11.9 juta orang dengan rata-rata peningkatan penderita tahunan sebesar 251 ribu orang (Shaw et al., 2010)

Peningkatan penderita diabetes dapat terjadi karena peningkatan kesejahteraan, ketersediaan pangan, serta pola hidup yang tidak tepat. Salah satu upaya pencegahan penyakit diabetes adalah dengan mengatur pola konsumsi dan memilih makanan yang tepat. Cara memilih pangan yang tepat dengan mengonsumsi makanan berkadar pati resisten tinggi (Hasan dkk., 2011). Pati resisten dapat mengurangi glukosa dalam darah, reaksi insulin pada diabetesi tipe 2 (Li et al., 2015), dan dapat menurunkan indeks glikemik (Chung et al., 2009, dalam Mojiono et al., 2013). Senyawa fenol dan aktivitas antioksidan diketahui berlimpah dalam kacang-kacangan (Doss et al., 2011c). Unsur fenol seperti flavonoid, alkaloid, saponin, dan tanin memiliki kemampuan menurunkan kadar gula darah atau aktivitas hipoglikemik yang sering disebut sebagai komponen antidiabetes (Suprayitno et al., 2015). Pemanfaatan ganyong dan kara pedang yang dibuat menjadi tepung komposit diharapkan dapat menjadi salah satu pangan fungsional yang dapat digunakan untuk masyarakat pada umumnya dan alternatif diet bagi penderita penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2 pada khususnya.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik fisik, kimia, dan fungsional tepung ganyong dan kara pedang?

2. Bagimana pengaruh perbedaan formula terhadap karakteristik fisik, kimia, dan fungsional tepung komposit dari ganyong dan kara pedang? 3. Bagaimana formula terbaik tepung komposit dari ganyong dan kara

(7)

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui karakteristik fisik, kimia, dan fungsional tepung ganyong dan kara pedang

2. Mengetahui pengaruh perbedaan formula terhadap karakteristik fisik, kimia, dan fungsional tepung komposit dari ganyong dan kara pedang 3. Mengetahui formula terbaik tepung komposit dari ganyong dan kara

pedang berdasarkan karakteristik fisik, kimia, dan senyawa fungsionalnya

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang proses pengolahan tepung ganyong dan kara pedang menjadi tepung komposit serta karakteristik fisik, kimia, dan fungsionalnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk meningkatkan pemanfaatan ganyong dan kara pedang sebagai pangan fungsional untuk alternatif diet bagi penderita penyekait degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2. Dengan demikian, nilai ekonomis bahan pangan lokal seperti ganyong dan kara pedang dapat meningkat.

Referensi

Dokumen terkait

Bedasarkan faktor-faktor tersebut, maka ketiadaan hubungan paparan debu terhirup dengan kapasitas vital paru pada pekerja penyapu pasar Johar kota Semarang, tidak

1) Bagaimana rencana gambar kerja, operation plan, production routing untuk pembuatan komponen bak pick up. 2) Bagaimana menghitung jumlah dan harga material yang

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

informasi tentang jenis dan berbagai motif batik store nusantara, dapat melakukan pemesanan batik secara online dengan mendaftarkan data diri pelanggan dan mengisi form

“Kecuali mengenai Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Labuan dan Putrajaya, hukum Syarak dan undang-undang diri dan keluarga bagi orang yang menganut agama Islam,

Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) nilai rata-rata postes keterampilan komu- nikasi siswa pada kelas yang diterap- kan model pembelajaran berbasis