• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Savunesse, Sawu, Rai Hawu. Di antara istilah-istilah itu, sebutan Sabu adalah istilah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Savunesse, Sawu, Rai Hawu. Di antara istilah-istilah itu, sebutan Sabu adalah istilah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sabu adalah nama suku dengan beberapa sebutan berbeda, antara lain Savu,

Savunesse, Sawu, Rai Hawu. Di antara istilah-istilah itu, sebutan “Sabu” adalah istilah resmi yang digunakan oleh pemerintah dan saat ini tampaknya juga merupakan sebutan yang paling banyak digunakan oleh penduduk Sabu sendiri untuk menyebut daerah mereka. Sabu juga dikenal sebagai nama sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Orang Sabu sendiri mempercayai bahwa asal-muasal mereka berasal dari satu

leluhur bernama Hawu Ga. Dalam kesehariannya, orang Sabu berkomunikasi dengan

menggunakan bahasa asli Sabu yang memiliki beberapa dialek, antara lain dialek Raijua, Mesara, Timu, dan Seba. Namun, hampir semua orang Sabu dapat mengerti bahasa yang digunakan meskipun dengan dialek yang berbeda-beda. Bahasa Sabu juga diperkaya oleh bahasa-bahasa lainnya, seperti bahasa Bima atau Sumba. Orang Sabu menganut dua

sistem kekerabatan yakni localized patrilineal group (menurut garis laki-laki dan terikat

dengan tanah tempat diam : udu dan kerogo) dan nonlocalized matrilineal group

(menurut garis perempuan dan tidak terikat dengan tanah kediaman : hubi dan wini).

Setiap orang Sabu mempunyai garis keturunan rangkap, yaitu udu dan kerogo dari pihak

bapak serta hubi dan wini dari pihak ibu. Masyarakat Sabu dikenal sebagai masyarakat

agraris (menyadap nira/udaya lontar, memasak gula dan lain-lain), nelayan dan beternak.

Kesenian yang paling menonjol adalah seni tari dan tenun ikat. 1

Masyarakat Sabu menganut agama asli jingitiu2 sebelum agama kristen masuk di

pulau Sabu. Kini 80 % masyarakat Sabu menganut agama Kristen Protestan. Meskipun

1 http://melayuonline.com/ind/opinion/read/439/mengenal-suku-sabu-sawu-atau-savu; bnd. Nico L.

Kana, Dunia Orang Sawu, (Jakarta : Sinar Harapan, 1983), h. 122-128

2 Jingitiu merupakan sistem religi animisme dan dinamisme. Dalam sistem kepercayaan ini

(2)

2

pola pikir mereka masih banyak dipengaruhi oleh kepercayaan Jingitiu. Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku dengan kalender adat yang menentukan saat

menanam dan upacara lainnya.3 Dalam Kehidupan orang Sabu, khususnya dalam

kehidupan religi, terkait erat dengan aspek-aspek kehidupan lain, yakni : bidang, ekonomi sosial dan budaya atau adat istiadat. Hal ini bermula dari pandangan bahwa semuanya harus didasarkan pada keselarasan dengan agama suku, atau atas pandangan bahwa segala sesuatu adalah merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa yang disebut dengan nama : “Deo Mone Ae”. Dalam segala segi kehidupan, setiap kegiatan selalu harus diawali dengan ritual-ritual keagamaan dengan maksud untuk memohon bimbingan,

petunjuk, berkat serta penjagaan dari Deo.4

Dalam sejarah kebudayan manusia, terdapat gerak perpindahan suku bangsa yang disebut dengan istilah migrasi. Adapun migrasi menyebabkan terjadinya perjumpaan antar kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Akibatnya, individu dalam kelompok itu dihadapkan dengan unsur kebudayaan para migran. Kontak

hubungan ini menyebabkan masing-masing kelompok manusia mengalami proses sosial. 5

Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Atau dengan perkataan lain, proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan

moyang pertama. Semua yang ada dibumi ini, Rai Wawa (tanah bawah) berasal dari Deo Ama atau Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan membentuk mancipta). Deo Ama sangat dihormati sekaligus ditakuti, penuh misteri. Menurut kepercayaan ini, Deo Ama mempunyai berbagai roh yaitu Pulodo Wadu (roh yang mengatur musim kemarau; Deo Rai (roh yang mengatur musim hujan); Deo Heleo (roh yang mengawasi kehidupan manusia).

3 http://orangsabu.blogspot.com/2006/06/budaya-sabu_25.html

4 http://orangsabu.blogspot.com/2009/03/agama-suku-sabu-fokus-pada-wilayah.html

5 Tri Widiarto, Pengantar Antorpologi Budaya (Dasar-dasar Antropologi Budaya), (Salatiga: Widya Sari

(3)

3

bersama. Bentuk umum dari proses sosial ialah interaksi sosial. Syarat terjadinya interaksi

sosial ialah adanya kontak sosial dan komunikasi.6

Demikian halnya ketika orang Sabu migrasi ke pulau Sumba. Oleh karena keadaan geografis pulau sabu yang kecil dan sumber daya alam dan manusia yang kurang mendukung untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti musim kemarau panjang dengan musim hujan yang rendah, mata pencaharian bergantung pada iklim dan cuaca, lahan yang sangat kering, berbatu dan tidak subur, serta pendidikan yang masih rendah, sehingga mendorong terjadinya mobilitas penduduk Sabu yang sangat tinggi dan menyolok di seluruh daerah NTT. Maka terkenallah orang Sabu sebagai suku perantau yang mencari kehidupan lebih baik di luar pulaunya. Sumba menjadi salah satu pulau rantauan yang didatangi oleh suku Sabu. Migrasi orang Sabu ke Sumba terdiri dari beberapa gelombang, yang disesuaikan dengan faktor pendorong terjadinya mobilitas tersebut. Gelombang pertama, migrasi orang Sabu dalam jumlah yang kecil, dilakukan karena inisiatif sendiri dari mereka sendiri untuk mencari kehidupan yang lebih baik lagi. Gelombang kedua, dipengaruhi oleh kebijakan dan kepentingan Belanda. Pada awalnya berjumlah kecil namun sehubungan dengan kepentingan Belanda maka sekitar 400 orang sabu dipindahkan ke Sumba. Seiring perkembangan zaman, Golombang migrasi orang Sabu ke Sumba selanjutnya semakin meningkat jumlahnya dan sulit dikontrol,

disebabkan kepentingan pribadi dari setiap individu yang bermigrasi.7

Berdasarkan data sensus yang diperoleh Kana, dinyatakan bahwa orang Sabu masuk ke pulau Sumba pada tahun 1838. Mereka diekspedisi oleh Belanda (sesuai kesepakatan kontrak antara Sabu dan Belanda) untuk menghentikan kebiasaan orang Ende yang menyerang Sumba demi mendapatkan budak. Migrasi orang Sabu ke Sumba

6 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1982), h.53-545

7 F. D. Wellem, Injil dan Marapu, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004 ), h.127; bnd. Wielenga, De

Zending op Soemba (Hoenderloo,Ned. Zendingsraad, 1949), h. 12; Oe H. Kapita, Sumba di dalam Jangkauan Jaman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976), h. 27

(4)

4

diawali oleh hubungan perkawinan antara anak Raja Melolo di Sumba Timur dan anak

Raja Sawu di Haba.8 Tahun 1876 dilaporkan bahwa jumlah orang Sawu di Sumba sudah

cukup besar sehingga menunjukkan semacam supermasi. Kebanyakan mereka yang pindah ke Sumba adalah yang telah beragama Kristen. Imigran dari Sawu umumnya meneruskan cara hidup tradisionalnya di pemukiman yang baru ini, sebagai penyadap nira dan peladang. Namun migrasi di masa berikutnya lebih didorong oleh kehausan

pendidikan lanjutan atau untuk mendapatkan lapangan kerja yang lebih sesuai.9

Menjelang akhir abad ke-19,10 pemerintah Hindia-Belanda mentransmigrasikan

sejumlah orang Sabu ke Sumba. Mereka ditempatkan di Melolo (Umalulu), wilayah kerajaan Melolo, dan di Kambaniru, wilayah kerajaan Kambera, pantai Utara Pulau Sumba. Mereka merupakan koloni tersendiri, terisolasi dan terpisah dari masyarakat Sumba. Di sana mereka tetap memelihara adat-istiadat, budaya asli mereka. Orang-orang Sabu ini tidak berada di bawah kekuasaan Raja Melolo dan Raja Kambera, melainkan mereka di bawah kekuasaan Raja Seba di Sabu. Pemerintahan sehari-hari atas orang Sawu di Sumba dilaksanakan oleh seorang raja muda, masing-masing seorang di Melolo dan seorang di Kambaniru. Orang Kristen asal Sabu ini kemudian membentuk dua jemaat di Sumba, yaitu di Kambaniru dan Melolo. Inilah jemaat-jemaat Kristen pertama di

Sumba.11

Selain kisah di atas, terdapat juga kisah lain mengenai orang Sabu di Sumba. Menurut cerita rakyat Sumba, pada mulanya orang Sabu berdiam di Tanjung Sasar, di

sebuah kampung yang bernama Paraingu Hau, artinya kampung Orang Sawu, sebelum

8 Menurut F.D. Wellem, pada waktu itu terjadi perkawinan orang Sabu dengan orang Sumba, misalnya

anak Raja Mangili dan Melolo menikah dengan anak Raja Seba (Sabu) sehingga Raja Mangili dan Melolo memandang Raja Seba sengai saudaranya. Mereka saling membantu, seperti memberi tempat tinggal kepada orang Sabu, serta memberikan bantuan dalam memerangi musuhnya. Inilah sebabnya, di Mangili terdapat sekelompok orang Sabu. Kebanyakan transmigran Sabu beragama Kristen sehingga terbentuklah jemaat Melolo. Lih. F. D. Wellem, Injil dan Marapu, h. 127.

9 Nico L. Kana, op.cit., h. 19

10 Menurut F.D Wellem, perpindahan ini terjadi sekitar tahun 1870-an, karena pada tahun 1876 telah

terbentuk jemaat Sabu di Kambaniru.

(5)

5

mereka berlayar ke arah Timur untuk mencari tempat tinggal yang baru. Mereka yang tidak ikut pindah ke Sabu, menetap dan berintegrasi dengan masyarakat Sumba. Di samping itu, terdapat tuturan silsilah, baik yang beredar di kalangan suku Sumba maupun suku Sabu, yang mengatakan bahwa nenek moyang mereka bersaudara kandung, yaitu Hawu Meha dan Humba Meha. Humba Meha adalah saudara perempuan, sedangkan Hawu Meha adalah seorang laki-laki yang sulung. Humba Meha kawin dengan Umbu

Walu Mandoku. Oleh karena itu, orang Sabu dihormati sebagai keturunan laki-laki. 12

Berdasarkan pemaparan sejarah migrasi orang Sabu ke pulau Sumba di atas, dapat dikatakan bahwa perpindahan orang Sabu ke Sumba, disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya ialah faktor ekonomi yakni untuk memperbaiki tingkat kehidupan yang lebih baik, untuk memperoleh lapangan pekerjaan. Faktor lainnya ialah unsur politis-keamanan, yang mana disebabkan oleh kolonialisasi Belanda sehubungan dengan faktor keamanan

dan politik serta kegiatan pekabaran Injil.13

Ketika orang Sabu bermigrasi ke Sumba, mereka membangun komunitas sendiri yang menunjukkan identitas budaya mereka dan selalu bermukim pada suatu tempat yang khusus dan ekslusif, seperti di pinggiran pantai, satu kelurahan seperti di Kambaniru,

kecamatan Umalulu, serta daerah transmigrasi yang disiapkan oleh pemerintah NTT.14

Ketika bermigrasi, orang Sabu tetap membawa dan memelihara adat istiadat dan budaya nenek moyang mereka. Namun dalam kehidupan sehari-hari di daerah Sumba, terjadi perjumpaan dan kontak antara orang Sabu dengan masyarakat Sumba (budaya lokal). Perjumpaan dan interaksi sosial antara orang Sabu dan orang Sumba ini terjadi melalui hubungan kawin-mawin, persaudaraan, hubungan dalam mata pencaharian, kerja sama bahkan juga permusuhan seperti perang antara orang Sabu dengan orang Sumba di

12 F. D. Wellem, op. cit., h. 126-127

13 Lih. F. D. Wellem, op. cit., h. 128-130, 167; D. K. Wielenga, De Savoeneezen op Soemba (Sejarah

orang Sabu di Sumba), h. 235 – 240.

(6)

6

Mbatakapidu, Mangili dan lain sebagainya. Kehadiran orang Sabu ke Sumba dan interaksi sosial yang terjadi di antara dua budaya ini terus terjalin hingga saat ini dan tetap dipertahankan. Adat istiadat dan budaya orang Sabu tetap terpelihara dengan baik. Sehingga ketika perjumpaan dan interaksi dengan orang Sumba, orang Sabu menunjukkan nilai budaya yakni ramah, saling menghormati, bertoleransi, suka bergaul

dan bersolidaritas.15 Dengan sikap seperti ini, kehadiran orang Sabu pun dengan mudah

diterima dalam masyarakat Sumba dan proses interaksi sosial diantara dua budaya yang berbeda dapat berjalan dengan baik. Dalam proses perjumpaan dan interaksi sosial ini, sebagai pendatang, orang Sabu harus berupaya menyesuaikan diri dengan lingkungan dan adat istiadat pribumi yaitu masyarakat Sumba. Sehingga dalam proses interaksi itu terjadi proses adaptasi terhadap lingkungan dan budaya Sumba dan juga proses pemeliharaan identitas budaya Sabu.

Dalam mempertahankan identitas budaya Sabu, orang Sabu di Sumba tetap melakukan berbagai adat istiadat mereka. Dalam proses adaptasi, orang Sabu berupaya untuk berinteraksi dan menyesuaikan budaya Sabu dengan lingkungan dan budaya Sumba. Dalam perkembangannya selanjutnya, akibat pejumpaan atau hubungan sosial antara komunitas orang Sabu dengan masyarakat Sumba dalam berbagai kegiatan, terjadilah perjumpaan bahkan pengadopsian dan pencampuran antara kebudayaan Sabu dengan kebudayaan Sumba tidak akan terhindarkan. Fenomena inilah yang disebut dengan istilah akulturasi budaya Sabu dengan budaya Sumba.

Adapun pengertian akulturasi mengacu pada pengaruh satu kebudayan terhadap kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayan, yang mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan. Definisi antroplog klasik Redfield, Linton, dan Herskovits: “Akulturasi meliputi fenomena yang dihasilkan sejak dua kelompok yang

(7)

7

berbeda kebudayaannya mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli salah satu atau kedua kelompok itu”. Akulturasi adalah pola perubahan di mana terjadi penyatuan antara dua kebudayan. Penyatuan ini dihasilkan dari kontak yang berlanjut. Kontak ini dapat terjadi menurut sejumlah cara. Kolonisasi, perang, penaklukan dan pendudukan militer, migrasi, misi penyebaran agama, perdagangan, pariwisata, bersempadan, adalah sebagian di antara cara-cara yang memungkinkan dua

kebudayaan dapat melanjutkan kontak.16 Pemahaman ini menunjukkan pada sifat

kebudayaan yang mengalami perubahan. Perubahan budaya ini terjadi sebagai bentuk adaptasi dan hasil dari kontak dan perjumpaan budaya Sabu dengan masyarakat Sumba. Meskipun demikian, kebudayaan Sabu tidak dengan mudahnya dapat berubah dan meninggalkan identitas aslinya. Hal ini nampak dengan adanya unsur-unsur budaya Sabu yang masih tetap dipertahankan dalam komunitas orang Sabu di Kelurahan Kambaniru dan kecamatan Umalulu.

Berdasarkan realita ini, maka penulis ingin melakukan suatu penelitian mengenai budaya Sabu dalam perjumpaan dengan masyarakat Sumba Timur, khususnya di Kambaniru dan Kecamatan Umalulu yang tetap mempertahankan identitas budaya asli dan juga mengalami proses akulturasi budaya. Alasan peneliti memilih Kambaniru dan Umalulu, ialah karena pada dua wilayah tersebutlah merupakan wilayah pertama, di mana orang Sabu datang, menetap dan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Sumba Timur hingga sekarang ini. Sedangkan persoalan-persoalan yang ingin diteliti ialah mengenai bagaimana proses perjumpaan orang Sabu dengan masyarakat Sumba, yang tentunya memiliki perbedaan budaya dan agama? Unsur budaya Sabu apa saja yang tetap dipertahankan meskipun telah berada di luar pulau Sabu dan ketika berjumpa dengan masyarakat Sumba dan budayanya? Mengapa orang Sabu tetap mempertahankan

(8)

8

budaya asli nya ketika mereka telah berada di Sumba dan berjumpa dengan masyarakat Sumba? Bagaimana proses akulturasi itu terjadi? Faktor-faktor pendukung orang Sabu, yang dengan latar belakang budaya dan identitas sosial yang berbeda, dapat berintegrasi dengan masyarakat Sumba dan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Sumba (bidang pemerintahan, bidang sosial budaya dan dalam bidang agama)? Apa yang menjadi faktor pendukung proses akulturasi tersebut? Apakah kesamaan agama membuka peluang terjadinya integrasi dan akulturasi kedua budaya tersebut? Unsur budaya Sumba apa yang diadopsi oleh orang Sabu menjadi bagian dari kebudayaannya?

B. Rumusan Masalah

1.Unsur-unsur budaya Sabu apa saja yang tetap dilakukan di Sumba dan unsur budaya Sabu apa saja yang mengalami perubahan akulturasi di kelurahan Kambaniru dan kecamatan Umalulu ?

2.Mengapa unsur-unsur budaya Sabu tersebut tetap dipertahankan dan mengalami perubahan akulturasi?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai ialah antara lain :

1. Mendiskripsikan unsur-unsur budaya Sabu yang tetap dipelihara di Sumba dan unsur

budaya yang mengalami perubahan akulturasi dalam masyarakat Sumba Timur khususnya di kelurahan Kambaniru dan kecamatan Umalulu.

2. Menganalisa alasan pelestarian budaya Sabu dan faktor terjadinya perubahan akulturasi

dalam budaya Sabu di kelurahan Kambaniru dan kecamatan Umalulu. D. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan ialah kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik dan

(9)

9

dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata, bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.17 Metode yang digunakan

ialah deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu usaha dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, kondisi, suatu pemikiran ataupun peristiwa-peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antara fenomena yang diselidiki.18

a. Teknik pengumpulan data. Untuk penelitian ini sejumlah teknik diajukan, yaitu studi

kepustakaan, wawancara, dan observasi. Penggunaan berbagai teknik penelitian diterapkan kepada para informan maupun sumber data yang berwujud dokumen yang relevan dengan fokus penelitian.

b. Lokasi dari Penelitian adalah keluharan Kambaniru dan kecamatan Umalulu,

kabupaten Sumba Timur

c. Subjek Analisa dari penelitian ini adalah komunitas orang Sabu dengan tujuan untuk

menggali pemahaman mengenai pelestarian budaya dan perubahan akulturasi yang terjadi dalam kehidupannya di Sumba Timur khususnya di Kambaniru dan kecamatan Umalulu.

d. Waktu Penelitian : penelitian dengan teknik wawancara – observasi ini akan dilakukan

selama 2-3 minggu.

e. Informan : penelitian ini akan mendapatkan berbagai informasi dari para informan

antara lain :

 Tokoh-tokoh adat dalam masyarakat Sabu dan Sumba di Kambaniru dan kecamatan

Umalulu

 Tokoh Intelektual Sabu-Sumba

17 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 6 18 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), 63

(10)

10

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian diharapkan dapat memberi masukan bagi :

 Bagi komunitas Sabu dan masyarakat Sumba, hasil penelitian ini sebagai

sumbangsih pemikiran untuk mengetahui dengan jelas sejarah berbagai suku (khususnya suku Sabu) dan budaya yang ada di masyarakat Sumba Timur, dan membangun hubungan antar budaya yang harmonis dengan melakukan interaksi sosial dan mengambil bagian atau berpartisipasi dalam hubungan sosial.

 Bagi Fakultas Teologi : diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi pelengkap

dan tambahan pengetahuan khususnya sehubungan dengan studi agama suku dan kebatinan; agama dan budaya serta teologi kontekstual, antropologi budaya, konseling lintas budaya dan sebagainya. Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi mahasiswa teologi yang berminat pada studi anthropologi-sosiologi serta yang akan terjun dalam pelayanan di masyarakat Indonesia yang memiliki keberagaman budaya.

 Bagi peneliti, selain menambah wawasan mengenai budaya Sabu dan Sumba, juga

menjadi bekal bagi pelayanan peneliti di pulau Sumba dalam membangun hubungan dan komunikasi lintas budaya.

F. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penelitian tesis ini akan disusun dalam lima bab. Pada Bab I, Penulis memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Pada Bab II, penulis memaparkan mengenai landasan teori sebagai pisau analisa untuk menganalisis penelitian ini. Teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori mengenai kebudayaan mengenai proses pelestarian budaya (enkulturasi) dan perubahan kebudayaan (akulturasi). Pada Bab III, penulis akan memaparkan hasil penelitian

(11)

11

berdasarkan rumusan masalah: unsur-unsur budaya Sabu apa saja yang tetap dipertahankan dan unsur budaya yang mengalami perubahan akulturasi. Pada Bab IV, penulis menganalisis alasan yang menyebabkan terjadinya pelestarian budaya Sabu dan perubahan akulturasi dalam budaya Sabu sesuai dengan pemaparan hasil penelitian di dalam bab III dengan memakai landasan teori bab II. Pada Bab V, penulis mengakhiri penulisan ini berupa kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Melihat realita tersebut di atas, penulis berminat untuk melakukan penelitian mengenai deskripsi strategi Buy on Rumors Sell on News serta dampak yang ditimbulkannya, lebih

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan dia atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan pengkajian lebih dalam mengenai

Berdasarkan dari latar belakang masalah pada penelitian ini, penulis menentukan akan melakukan penelitian mengenai sosialisasi pajak, pengetahuan perpajakan, sanksi

Dengan demikian dalam penelitian ini, penulis hendak melakukan kajian kritis teori seksualitas terhadap praktik poligami dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat

1.2.2 Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis membatasi masalah penelitian ini yaitu mengenai Partisipasi Masyarakat di Kecamatan Seram Timur dalam

Berdasarkan fenomena yang telah dikemukakan diatas serta dari penelitian sebelumnya, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut dan

Seiring dengan pemanfaatan Pulau Los oleh masyarakat dan juga adanya sampah plastik di pulau tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai komposisi dan kepadatan

Berdasarkan pemaparan yang telah penulis jelaskan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menggali lebih dalam terkait persepsi masyarakat pada sistem zonasi dalam