• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 17 Nilai indeks kesamaan spesies antar komunitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tabel 17 Nilai indeks kesamaan spesies antar komunitas"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

22

4. PEMBAHASAN

Karakteristik Tanah Tekstur tanah

Secara umum, hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tekstur tanah di lahan bekas tambang timah adalah berpasir. Kadar pasir yang relatif tinggi di setiap tailing menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan vegetasi. Di sisi lain, pori-pori tanah dapat berperan dalam mendukung aerasi tanah (Hakim et al. 1986). Menurut Setiadi (2012) pada kondisi persentase pasir di atas 80% maka akan menyebabkan pertumbuhan vegetasi menjadi stagnan. Permasalahan yang sama juga terjadi di lahan pasca tambang timah di Singkep (Badri 2004).

Tekstur tanah di TL 130 tahun (20–40 cm) sama dengan tekstur tanah di hutan (0–20 cm) dan Bebak (20–40) yaitu lempung liat berpasir, sedangkan tekstur tanah di TL 130 tahun (0–20 cm) sama dengan tekstur tanah di Bebak (0– 20 cm). Perkembangan tanah di TL 130 tahun telah terjadi sehingga menghasilkan jumlah liat yang lebih tinggi dibandingkan tailing lainnya. Menurut Nurtjahya

Tabel 17 Nilai indeks kesamaan spesies antar komunitas

Nilai IS Tumbuhan Bawah (%)

Lokasi Rimba Bebak Padang LPT < 100 tahun LPT > 100 tahun

Rimba 0 30 9.5 8 18.18 Bebak 30 0 8 34.48 40 Padang 9.5 8 0 20 12.5 LPT < 100 th 8 34.48 20 0 20 LPT > 100 th 18.18 40 12.5 20 0 Nilai IS Semai (%)

Lokasi Rimba Bebak Padang LPT < 100 tahun LPT > 100 tahun

Rimba 0 48.15 13.33 17.65 32.56 Bebak 48.15 0 11.76 15.79 38.3 Padang 13.33 11.76 0 14.28 43.48 LPT < 100 th 17.65 15.79 14.28 0 22.22 LPT > 100 th 32.56 38.3 43.48 22.22 0 Nilai IS Pancang (%)

Lokasi Rimba Bebak Padang LPT < 100 tahun LPT > 100 tahun

Rimba 0 54.54 5 8.16 28.57 Bebak 54.54 0 4.88 16 42.1 Padang 5 4.88 0 15.38 20 LPT < 100 th 8.16 16 15.38 0 41.38 LPT > 100 th 28.57 42.1 20 41.38 0 Nilai IS Pohon (%)

Lokasi Rimba Bebak Padang LPT < 100 tahun LPT > 100 tahun

Rimba 0 36.84 0 0 0

Bebak 36.84 0 0 11.76 0

Padang 0 0 0 0 0

LPT < 100 th 0 11.76 0 0 0

(2)

23 (2008) tekstur tanah di hutan yang dijadikan lokasi perbandingan dengan tailing timah juga memiliki tekstur lempung liat berpasir.

Dalam hal kesuburan tanah, komponen terpenting dalam tekstur tanah yaitu keberadaan fraksi liat serta kandungan mineralnya sebagai penyerap dan mempertukarkan ion-ion dalam tanah sehingga dapat menyediakan unsur hara bagi tumbuhan (Hakim et al. 1986). Pada ketiga tipe ekosistem hutan kerangas sekunder, Rimba mengandung komposisi liat yang paling tinggi di antara seluruh lokasi penelitian pada kedua lapisan tanah yaitu 36.87% (0–20 cm) dan 49.99% (20–40 cm). Tekstur lempung berpasir dan lempung liat berpasir ini menjadi indikator bahwa tanah Rimba relatif lebih subur dan mudah diolah dibandingkan lokasi lainnya. Keberadaan vegetasi hutan telah mendukung proses pembentukan tanah baik sebagai penyedia organisme, iklim mikro yang kondusif untuk pelapukan sehingga dapat mempercepat waktu pelapukan batuan. Adanya beberapa strata tajuk dan tingkat pertumbuhan pohon juga dapat mengurangi terjadinya tumbukan air hujan yang berlebihan ke permukaan tanah, sehingga permukaan tanah tidak mudah tercuci.

Pada ekosistem Bebak, kandungan liat juga relatif tinggi dibandingkan lokasi lainnya namun masih di bawah Rimba yaitu 17.78% (0–20 cm) dan 22.45% (20–40 cm). Kandungan liat yang lebih rendah dari Rimba dapat disebabkan oleh perbedaan penggunaan lahannya. Bebak merupakan lahan olahan bagi masyarakat sekitar (ladang berpindah), sehingga proses pembentukan tanahnya tidak seintensif di Rimba. Di ekosistem Padang, kandungan liatnya hanya 3.84% (0–20 cm) dan 6.18% (20–40 cm). Hal ini menunjukkan bahwa tanah di Padang relatif kurang subur dan juga sulit diolah karena tingginya kadar pasir (>90%). Keterbatasan kondisi fisik ekosistem padang ini menjadi ciri khas hutan kerangas yang telah mengalami gangguan yang sulit untuk suksesi menjadi hutan kembali (Whitten et al. 1984).

Tekstur tanah sangat penting dalam pertumbuhan vegetasi dan menjadi dasar dalam memilih perlakuan pengolahan lahan yang tepat khususnya untuk masalah tanah berpasir (> 80%) dan tanah yang kompak (akumulasi debu dan liat > 65%) (Setiadi 2012). Upaya perbaikan tekstur tanah sangat penting untuk mendukung proses reaksi kimia tanah yang membutuhkan air dan udara yang cukup di dalam tanah. Penambahan bahan organik dapat menjadi teknik pembenahan tanah untuk memperbaiki tekstur tanah berpasir (Setiadi 2012). Dengan demikian, dapat meningkatkan jumlah koloid organik yang berperan dalam penyerapan air dan hara.

Reaksi tanah (pH)

Nilai pH tanah pada tiap lokasi didapatkan berkisar antara 4.0 – 6.3. Secara umum nilai pH pada tiap lokasi kurang dari 5.5. Nilai pH yang paling rendah dijumpai pada TL 130 yaitu 4.0. Nilai pH di bawah 5.5 akan menurunkan aktivitas bakteri, namun akan mendukung aktivitas jamur dan pelapukan (Landon 1984; Hakim et al. 1986). Nurtjahya (2008) melaporkan adanya potensi fungi mikoriza arbuskula pada kisaran pH 4.5 – 5.1 di tailing 0 tahun, 7 tahun, 11 tahun 38 tahun dan hutan.

Salah satu faktor yang memengaruhi nilai pH yaitu sifat koloid. Koloid organik mudah melepaskan ion H ke dalam larutan tanah sehingga pH tanah menjadi rendah (Hakim et al. 1986). Hal ini terlihat pada pH di hutan dan TL 130

(3)

24

tahun yang bahan organik dan kandungan liatnya lebih tinggi dibandingkan di lokasi lainnya. Pada pH yang rendah di kedua lokasi tersebut, pertumbuhan vegetasi dapat didukung oleh ketersediaan unsur hara dan liat meskipun dengan performa pertumbuhan yang kurus. Hal ini juga menjadi ciri dan indikator bahwa ekosistem hutan kerangas tumbuh pada kondisi pH yang rendah dan terlihat pada pertumbuhan vegetasi yang kerdil dan kurus di hutan kerangas (Brunig 1974; Whitmore 1984; Whitten et al. 1984; MacKinnon et al. 1996). Pada lokasi lainnya, yang tanpa penutupan vegetasi, kondisi tanah menjadi kurus dan miskin bahan organik sehingga pertumbuhan vegetasi menjadi stagnan.

Upaya pembenahan tanah dengan pH rendah perlu mempertimbangkan peningkatan pH terlebih dahulu sebelum melakukan pemupukan kation. Pada pH rendah ion H+ banyak yang terikat dengan anion-anion lain, sehingga tidak dapat mendukung reaksi pertukaran kation lainnya. Penambahan unsur hara tidak akan efektif karena akan hilang akibat pencucian (Hakim et al. 1986), sehingga perlu dilakukan perbaikan kondisi pH terlebih dahulu, misalnya dengan pengapuran. C organik dan N total

Kandungan bahan organik tertinggi yaitu di Rimba sebesar 1.11% hingga 2%. Kandungan bahan organik menurun drastis pada TL 3 tahun, 5 tahun, 15 tahun dan 50 tahun yaitu berkisar 0.1% hingga 0.4% dan meningkat pada TL 130 tahun menjadi 1.2% dan 1.8%. Hal ini menunjukkan bahwa proses suksesi alami tidak dapat meningkatkan bahan organik dalam waktu yang singkat. Pada lahan bekas tambang timah di Bangka dan Singkep umur 0 tahun, 7 tahun, 11 tahun, 13 tahun, 26 tahun, 38 tahun dan lebih dari 40 tahun, kandungan bahan organik masih di bawah 1% (Badri 2004; Nurtjahya 2008).

Secara umum kandungan bahan organik di suatu lokasi dapat dilihat secara visual dari warna tanah khususnya bagian top soil. Warna tanah yang lebih gelap umumnya menunjukkan kandungan bahan organik yang lebih tinggi, meskipun tidak selalu demikian. Bahan organik tanah merupakan sumber nutrisi bagi tanah yang berasal dari hasil pelapukan serasah-serasah tumbuhan maupun bangkai binatang atau fauna tanah (Hakim et al. 1986). Bahan organik di Bebak sudah di atas 1%, sedangkan bahan organik di Padang masih sangat rendah 0.4% (0–20 cm) dan 0.1% (20–40 cm). Aktivitas pengolahan lahan di Bebak dengan melakukan pembakaran untuk membuka hutan dapat mendukung ketersediaan bahan organik di dalam tanah. Pada TL 130 tahun, proses suksesi yang berlangsung lebih dari 100 tahun dan adanya vegetasi hutan mendukung ketersediaan serasah dan kondisi iklim mikro untuk proses dekomposisi bahan organik. Kandungan bahan organik juga sangat ditentukan dengan kondisi tekstur tanah, semakin banyak liat maka semakin banyak pula bahan organik yang tesimpan.

Pada TL 15 tahun, TL 50 tahun dan Padang, kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan TL 3 tahun dan TL 5 tahun yang hampir tidak dijumpai vegetasi. Pada TL 15 tahun dan TL 50 tahun sudah ditumbuhi oleh beberapa spesies pionir dan tumbuhan khas hutan kerangas seperti Tristaniopsis obovata, Baeckea frutescens, Ploiarium alternifolium, Dillenia suffruticosa, Rhodomyrtus tometosa, Melastoma malabathricum dan Syzygium buxifolium, sedangkan di Padang didominasi oleh rumput-rumputan (Cyperaceae) dan beberapa spesies

(4)

25 khas hutan kerangas seperti Nepenthes gracilis, Drosera burmanni dan Tristaniopsis obovata.

Ketersediaan bahan organik akan memengaruhi kandungan N dalam tanah. Rendahnya bahan organik berdampak pada rendahnya ketersediaan N. Kandungan nitrogen tertinggi yaitu di Rimba dan TL 130 tahun sebesar 0.2%. Menurut Landon (1984) nilai ini masih dalam kategori sedang (0.2%–0.5%). Namun, nitrogen dalam bentuk unsur belum dapat diserap oleh tumbuhan sehingga perlu adanya aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik tersebut dan menguraikannya menjadi nitrit, nitrat atau amonium sehingga dapat diserap oleh tumbuhan. Ketersediaan N dalam tanah sangat dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme tanah dalam melakukan proses dekomposisi. Selain memerlukan peran aktivitas mikroorganisme, proses dekomposisi bahan organik ini juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik seperti terbatasnya air dan temperatur tinggi pada saat musim panas, khususnya di lahan pasca tambang hingga mencapai 40 ºC. Dengan demikian, kondisi ini kurang menguntungkan bagi aktivitas mikroorganisme khususnya bakteri yang berperan dalam proses nitrifikasi dan amonifikasi. Di Rimba, Bebak dan TL 130 tahun telah terdapat tutupan vegetasi yang cukup rapat sehingga relatif lebih lembab dan dapat mendukung aktivitas mikroorganisme merombak bahan organik.

Rendahnya kandungan bahan organik yang telah dijelaskan sebelumnya mengakibatkan ketersediaan unsur N dalam tanah pun juga rendah di semua lokasi. Nisbah antara kandungan bahan organik dan nitrogen (C/N rasio) yang baik untuk pertumbuhan vegetasi yaitu di bawah 15. Secara umum C/N rasio di semua lokasi di bawah 15, hal ini menunjukkan bahan organik sudah terdekomposisi. Meskipun demikian, kandungan N di hampir semua lokasi tergolong rendah yaitu di bawah 0.2% (Landon 1984).

P tersedia dan P total

Kandungan fosfor di setiap lokasi penelitian dalam rentang kekurangan yaitu antara 4.3–9.5 ppm (Landon 1984). Tumbuhan yang kekurangan P akan menunjukkan gejala seperti pertumbuhan terhambat (kerdil) dan daun-daun menjadi ungu atau coklat yang dimulai dari bagian ujung daun (Hakim et al. 1986). Kondisi ini terlihat pada performa vegetasi yang tumbuh di lokasi penelitian yang kerdil dan kurus serta menjadi salah satu ciri ekosistem hutan kerangas, dimana vegetasi dapat bertahan hidup dalam kondisi yang kekurangan unsur hara.

Ketersediaan fosfor dipengaruhi oleh kelarutan unsur Ca, Al dan Fe yang dapat membentuk persenyawaan dengan fosfat (Hakim et al. 1986). Pada TL 5 tahun, kandungan fosfor tersedia yang rendah diduga karena tingginya kelarutan Fe hingga 50 ppm. Sebaliknya, pada TL 3 tahun, TL 15 tahun dan TL 50 tahun memiliki kandungan P tersedia yang tinggi karena kelarutan Fe yang rendah. Selain itu, kandungan P juga dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik. Seluruh kandungan fosfor pada lapisan 0–20 cm lebih tinggi dibandingkan pada lapisan 20–40 cm. Menurut Hakim et al. (1986) kandungan fosfat organik pada top soil lebih tinggi dibandingkan dengan sub soil.

Kandungan P yang di bawah 7 ppm atau dalam kategori yang rendah, vegetasi masih dapat tumbuh di atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa tanman masih dapat tumbuh meskipun dalam kondisi yang miskin hara. Unsur P berperan

(5)

26

dalam perkembangan akar, membentuk batang yang kokoh dan untuk pembentukan bunga dan biji. Dalam hukum minimum Liebig 1840 (Odum 1993) menyebutkan bahwa pertumbuhan suatu tanaman tergantung pada jumlah nutrisi yang disediakan baginya dalam jumlah minimum. Pada kondisi unsur hara yang rendah tersebut, beberapa tumbuhan dapat tumbuh disana dengan performa morfologi yang beragam, ada yang memiliki batang kurus-kerdil, daun yang kecil-tebal, lebar-agak berbulu, tebal-agak berair dan lainnya. Hal ini merupakan bentuk adaptasi setiap tumbuhan terhadap kondisi lingkungannya.

Unsur hara makro (Ca, Mg, K dan Na)

Hasil analisis unsur hara menunjukkan ketersediaan unsur Ca, Mg, K dan Na dalam jumlah yang rendah yaitu di 0.0–0.5 me/100 g (Landon 1984). Kandungan unsur hara sangat tergantung hasil pelapukan batuan. Unsur Ca banyak dihasilkan dari mineral-mineral primer plagioklas, karbonat CaCO3 (kalsit), CaMg(CO3)2 (dolomit). Ketersediaan Ca sangat penting dalam pertumbuhan vegetasi yaitu sebagai penyusun dinding sel dan berperan dalam pembelahan sel (Hardjowigeno 2010). Unsur Mg bersumber dari mineral kelam (biotit, augit, hornblende, amfibol). Pada LPT < 100 tahun terdapat mineral augit dengan ciri pada tanah berwarna hitam (Pratiwi SD 2013, komunikasi pribadi). Ketersediaan Mg dalam tanah berperan dalam pembentukan klorofil pada tumbuhan, gejala kekurangan Mg yaitu daun menguning (Hardjowigeno 1986). Unsur K dalam tanah dihasilkan dari mineral-mineral primer (feldspar), karena kandungan mineral feldspar sedikit maka sedkit pula kandungan K. Ketersediaan K berperan dalam perkembangan akar, mempertinggi daya tahan tumbuhan terhadap kekeringan (Hardjowigeno 2010). Pada TL 3 tahun, 5 tahun kandungan K di bawah 0,1 me/100 g sehingga menyebabkan tumbuhan tidak dapat tumbuh pada kondisi tersebut. Kandungan Ca menyebabkan pertumbuhan vegetasi di lokasi menjadi kerdil karena kurangnya Ca, rendahnya Mg tidak signifikan menyebabkan daun menjadi kekuningan. Nilai Ca masih lebih tinggi dibandingkan Mg. Hal ini menunjukkan pertumbuhan masih bisa berlangsung meskipun lambat. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemupukan kation.

Unsur mikro (Al, Fe, Mn, Zn)

Secara umum unsur mikro yang tersedia masih berada pada kisaran yang tidak melebihi batas tingkat toksisitas dalam tanah. Khususnya kelarutan Al tidak melebihi batas toksik dalam tanah. Tanah dengan tekstur berpasir lebih berpotensi untuk mengalami proses pencucian lanjut, pada drainase tanah yang baik ion Fe dan Mn mudah larut dalam air melalui reaksi reduksi. Kelarutan Fe cenderung paling tinggi dibandingkan unsur mikro lainnya. Unsur Fe berperan dalam pembentukan klorofil (Hardjowigeno 2010), bisa jadi karena tingginya kelarutan Fe namun rendah Mg sehingga warna daun masih berwarna hijau. Unsur Zn berperan dalam pembentukan hormon dan pematangan biji sedangkan unsur Mn berperan dalam fotosistesis (Hardjowigeno 2010). Meskipun dalam jumlah yang rendah atau terbatas, ketersediaan unsur hara saling melengkapi satu sama lain untuk mendukung pertumbuhan vegetasi.

(6)

27 Kapasitas tukar kation (KTK)

Nilai kapasitas tukar kation (KTK) di setiap lokasi tergolong rendah dan sangat rendah, berkisar antara 0.6–8.05 me/100 g (Landon 1984). Kondisi ini mengakibatkan pertumbuhan yang stagnan bagi tumbuhan (Setiadi 2012). Besarnya nilai KTK dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jumlah liat, bahan organik dan pH. Pada lokasi yang memiliki kandungan liat dan bahan organik yang sedikit maka akan rendah pula kemampuan koloid-koloid yang akan mempertukarkan ion-ion dalam tanah sehingga nilai KTK nya menjadi rendah.

Nilai KTK tertinggi yaitu pada lapisan tanah 20–40 cm di Bebak. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas perladangan berpindah yang dilakukan secara disini sehingga memperbaiki kondisi tanah setempat. Umumnya kegiatan perladangan dilakukan dengan rotasi 8 tahun sekali untuk di lokasi yang sama. Hal ini merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat melayu Belitung dalam mengolah tanah. Pada masa tersebut area bekas ladang telah menjadi hutan kecil dan siap untuk diusahakan kembali, karena unsur hara tanah sudah dianggap cukup. Metode yang digunakan dalam membuka lahan yaitu dengan penebasan dan pembakaran secara terkendali. Pembakaran bahan organik dapat meningkatkan nilai pH dan ketersediaan bahan organik tanah serta KTK tanah.

Pada TL 3 tahun, TL 5 tahun, TL 15 tahun dan TL 50 tahun nilai KTK sangat rendah sehingga menyebabkan unsur hara akan mudah tercuci bila terjadi hujan. Hal ini juga didukung oleh kondisi tekstur tanah yang berpasir sehingga memiliki porositas yang tinggi. Tanah dengan KTK yang rendah akan sia-sia jika dilakukan pemupukan kation (Hakim et al. 1984). Upaya perbaikan tanah dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik untuk merangsang aktivitas mikroorganisme tanah (Hakim et al. 1986). Penambahan bahan organik berperan dalam meningkatkan kandungan koloid organik tanah sebagai fasilitas dalam pertukaran ion-ion dan mendukung perbaikan tekstur tanah berpasir serta meningkatkan nilai KTK.

Kejenuhan basa

Kejenuhan basa di lokasi penelitian tergolong dalam kondisi tinggi (> 60%), sedang (20–60%) dan rendah (< 20%) (Landon 1984). Persentase KB tertinggi yaitu di TL 3 tahun sebesar 71.7%. Kondisi ini tidak didukung oleh nilai KTK yang tinggi, yaitu hanya 0.6 me/100 g. Kation basa yang ada dalam tanah tidak dapat dijerap oleh koloid-koloid dalam pertukaran kation. Basa-basa akan dengan mudah tercuci bersama air hujan. Sebaliknya, nilai KB di Bebak paling rendah di antara lokasi lainnya yaitu 8.07%, namun memiliki nilai KTK yang paling tinggi yaitu 8.05 me/100 g. Kondisi ini juga tidak mendukung proses pertukaran hara yang baik bagi tumbuhan.

Kandungan logam berat

Secara umum, konsentrasi logam berat (Cr, Cu, Ni, Pb dan Ni) yang dapat terukur di semua lokasi penelitian masih di bawah batas minimum pencemaran lingkungan. Ketersediaan logam berat yang terakumulasi dapat menjadi bahaya pada rantai makanan dalam sebuah ekosistem. Di sisi lain, konsentrasi logam berat di tanah diperlukan sebagai unsur hara non esensial atau unsur mikro bagi pertumbuhan vegetasi.

(7)

28

Hasil analisis menunjukkan unsur Cd tidak terukur di semua lokasi. Hal ini dapat terjadi karena konsentrasi Cd sangat rendah dalam tanah dan Cd sebagai mineral minor dalam beberapa unsur sulfida seperti ZnS, PbS dan CuFeS2 (Setiawan I 2014, komunikasi pribadi). Selain Cd, unsur Pb juga hampir tidak terukur di semua lokasi, hanya terdapat di Padang sebesar 0.988 mg/kg. Konsentrasi logam berat tertinggi yaitu Cr di Rimba sebesar 3.615 mg/kg dalam fraksi organik, fraksi ini tidak mudah larut dan tercuci. Konsentrasi Cu tertinggi juga di Rimba sebesar 2.728 mg/kg dalam fraksi oksida kemudian di TL 3 tahun sebesar 2.524 mg/kg dalam fraksi oksida. Pada beberapa lokasi, konsentrasi Cu juga terukur di fraksi mobile. Pada fraksi organik, Cu tidak terukur lagi. Hal ini diduga terjadikarena Cu telah habis terurai pada step 1 dan step 2. Kondisi ini menunjukkan bahwa Cu di lokasi penelitian berpotensi untuk lebih mudah tercuci dan masuk ke dalam badan air di tanah. Konsentrasi Ni terukur dalam fraksi mobile di semua lokasi. Kehadiran unsur Ni diduga hasil dari pelapukan batuan ultramafic yang mengandung unsur feromagnesium dan bersifat basa, seperti basalt, gabro dan peridotit. Pada formasi Kelapa Kampit terdapat potensi adanya batuan tersebut. Konsentrasi Zn terukur pada fraksi mobile dan organik. Konsentrasi Zn tertinggi yaitu di Rimba (1.616 mg/kg) dalam fraksi mobile kemudian di Bebak (0.83 mg/kg) dalam fraksi organik.

Potensi konsentrasi logam berat di Rimba relatif lebih tinggi dibandingkan di lokasi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Rimba berperan sebagai penyimpan cadangan mineral dalam tanah khususnya dalam fraksi organik. Kegiatan penambangan secara terbuka yang dilakukan dengan membuka hutan dapat mengakibatkan beberapa mineral yang mengikat unsur logam berat mengalami oksidasi dan tercuci.

Komposisi mineral liat

Secara umum, mineral yang dominan di setiap lokasi yaitu kaolinit. Hal ini menunjukkan bahwa nilai KTK yang rendah, nilai KTK mineral kaolinit yaitu 3– 15 cmol/kg (Millar & Turk 1990). Batuan induk granodiorit (batuan beku) pada ekosistem Rimba mengandung mineral kuarsa > 70%, tingginya kandungan kuarsa menunjukkan tanah bersifat asam. Pelapukan dari batuan ini mengandung Na, Ca, Si dan Al yang dibutuhkan bagi tumbuhan.

Dari hasil analisis komposisi mineral liat, diperoleh mineral kaolinit dan gibsit sebagai mineral yang dominan dan sedikit dijumpai vermikulit dan illit. Kehadiran mineral sekunder ini menunjukkan tanah telah mengalami pelapukan lanjutan dan hanya sedikit mengandung unsur hara karena mineral-mineral primer telah terdekomposisi (Hakim et al. 1984). Pada ekosistem Padang tidak ada data komposisi mineral disebabkan oleh fraksi liat yang sangat sedikit tidak dapat diambil sebagai contoh preparat untuk dianalisis.

Pelapukan batuan induk diorit kuarsa batubesi (batuan beku) di LPT < 100 tahun tidak terlalu asam karena kandungan mineral kuarsanya yang relatif sedikit serta adanya kandungan mineral augit yang membuat kondisi tanah bersifat agak basa. Hal ini dapat dilihat dari nilai pH di lokasi ini berkisar 5–6.1. Meskipun demikian, nilai ini masih menunjukkan pH dibawah netral, karena komposisi mineral plagioklas sangat tinggi (bersifat asam) pada batuan tersebut. Hasil analisis komposisi mineral liat, teridentifikasi kaolinit sebagai mineral yang dominan kemudian gibsit, vermikulit, illit dan kuarsa. Masih terdapatnya mineral

(8)

29 kuarsa menunjukkan tanah yang miskin hara dan belum mengalami pelapukan lanjutan. Terdapatnya mineral gelap augit di lokasi ini yang ditunjukkan pada Gambar 11, menandakan tanah tersebut akan mudah lapuk. Sepintas warna gelapnya seperti menunjukkan tanah yang banyak mengandung pelapukan bahan organik. Menurut Hardjowigeno (2010), mineral kelam seperti augit banyak mengandung unsur Mg yang dapat mendukung pembentukan klorofil daun.

Pada lokasi LPT > 100 tahun dengan batuan induk batupasir kuarsa (batuan sedimen). Pelapukan batuan ini menghasilkan persentase mineral kuarsa yang tinggi, sedikit lempung dan tanah bersifat sangat asam (Pratiwi 2010). Hasil analisis komposisi mineral liat, diperoleh kaolinit, illit, vermikulit, gibsit, mikrokline, ortoklas dan kuarsa. Khususnya pada TL 130 tahun yang telah mengalami suksesi, ditemukan mineral feldspar (mikrokline dan ortoklas) yang merupakan sumber unsur K yang berfungsi dalam perkembangan akar (Hardjowigeno 2010). Pertumbuhan akar vegetasi di lokasi ini bahkan hingga di atas permukaan tanah (Gambar 12).

Selain di TL 130 tahun, ortoklas dan mikrokline juga terdapat di TL 3 tahun yang berupa cluster pasir. Mineral feldspar merupakan mineral yang mudah tercuci sehingga apabila tidak didukung oleh tekstur tanah sifat kimia tanah lainnya, maka unsur hara yang terdapat di mineral feldspar akan mudah hilang tercuci air hujan. Adanya kegiatan penambangan ulang di lokasi penelitian juga dapat menghambat proses pelapukan mineral feldspar, sehingga tidak dapat menyediakan unsur hara dalam tanah.

Gambar 12 Akar M. leucadendron yang tumbuh di atas permukaan tanah. Gambar 11 Lapisan tanah warna hitam sebagai mineral augit.

(9)

30

Potensi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Tanah yang kekurangan bahan organik akan membutuhkan pupuk yang cukup banyak untuk mendukung pertumbuhan vegetasi. Pada kondisi yang kurang menguntungkan ini aktivitas mikroorganisme yang memungkinkan yaitu Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Dalam Nurtjahya (2008) ditemukan beberapa genus FMA di lahan pasca tambang timah antara lain Glomus, Gigaspora, Scutellospora dan Acaulospora. Dari hasil penelitian juga diperoleh beberapa spesies dari Glomus, Gigaspora dan Acaulospora. Pada beberapa spesies tumbuhan. Jumlah spora yang diperoleh relatif sedikit (1–6 spora/ 25 g). Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di alam yang sudah teranggu dan bukan merupakan hasil inokulasi. Namun demikian, kehadirannya akan berkontribusi pada siklus nutrisi tanah dan membentuk struktur tanah serta berperan dalam penyedia nitrogen tanah dengan menyerap nitrogen dalam bentuk amonium kemudian diteruskan ke tumbuhan (Hakim et al. 1986; Miller & Jastrow 1992).

Komposisi dan Struktur Vegetasi Komposisi tumbuhan bawah

Komposisi tumbuhan bawah yang paling tinggi yaitu di LPT < 100 tahun sebanyak 17 spesies. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekosistem yang masih dalam tahap suksesi pasca kegiatan penambangan. Kondisi lingkungan yang relatif terbuka memberikan ruang penyebaran biji-bijian yang dibawa oleh burung kemudian jatuh di permukaan tanah. Pada eksosistem suksesi jumlah spesies tumbuhan bawah relatif lebih tinggi daripada pada ekosistem klimaks. Beberapa spesies pionir yang toleran hadir pada ekosistem suksesi karena perkembangan ekosistem akan melewati tahap rumput-rumputan terlebih dahulu kemudian semak. Tiga spesies yang mendominasi yaitu Fimbristylis sp. (herba), Paspalum vaginatum (herba) dan Melastoma malabathricum (semak/perdu).

Ekosistem Rimba hanya terdapat 8 spesies tumbuhan bawah karena kondisi lingkungan sudah ternaungi, sementara sebagian besar tumbuhan bawah membutuhkan banyak cahaya. Jumlah spesies dan individu tumbuhan bawah di hutan yaitu paling sedikit dibandingkan ekosistem lainnya. Tiga spesies yang dominan yaitu Syzygium buxifolium (semak/perdu), Uvaria hirsuta (liana), dan Ancistracladus tectorius (liana). Hal ini disebabkan oleh kondisi hutan yang relatif sudah ternaungi dibandingkan lokasi lainnya. Cahaya matahari menjadi faktor pembatas pertumbuhan tumbuhan bawah, semak/perdu dan liana. Umumnya habitus tumbuhan bawah, semak/perdu banyak terdapat di ekosistem suksesi, sedangkan liana terdapat di ekosistem suksesi dan ekosistem klimaks.

Pada ekosistem Padang spesies yang banyak ditemukan yaitu Paspalum vaginatum (herba), Fimbristylis sp. (herba) dan Captosapelta tomentosa (liana). Ekosistem padang didominasi rerumputan dan diselingi beberapa spesies semak/perdu dan anakan pohon. Sehingga nilai kerapatan tumbuhan bawah di Padang paling tinggi dibandingkan lokasi lainnya yaitu 462.500 ind/ha. Kondisi padang dan lahan pasca tambang memiliki kesamaan yaitu sangat terbuka, namun permukaan tanah pada ekosistem padang ditumbuhi oleh rerumputan tidak seperti lahan pasca tambang dengan kondisi permukaan tanah yang berupa padang pasir.

(10)

31 Komposisi semai

Jumlah spesies semai yang paling banyak yaitu di Bebak (29 spesies) dengan kerapatan 165.000 ind/ha. Kehadiran semai di suatu ekosistem menunjukkan potensi regenerasi suatu spesies dalam ekosistem tersebut. Hal ini tidak menjamin jenis pada tingkat semai dapat dijumpai pada tingkat pancang dan pohon atau kelimpahannya bisa menurun pada tingkat pertumbuhan selanjutnya. Berdasarkan Mosaic Theory, komposisi dan dominansi vegetasi di suatu ekosistem akan mengalami perubahan di masa depan (Richards 1952 diacu dalam Hikmat 2005). Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat survival suatu spesies tehadap dinamika eksosistem baik secara fisik maupun biotik serta gangguan dari luar.

Tiga spesies semai di bebak yaitu Guioa pleuropteris, Syzygium eunera dan Syzygium lepidocarpa. Pada tingkat pancang tiga jenis tersebut tidak mendominasi lagi. Tingginya jumlah spesies tingkat semai di Bebak dapat disebabkan oleh kondisi tanah yang relatif lebih subur dibandingkan kondisi yang lain. Pada awal pertumbuhan, tanaman memerlukan unsur hara yang banyak, cahaya dan kelembahan udara yang cukup. Adanya dinamika populasi dalam setiap ekosistem dimungkinkan adanya spesies lain yang muncul pada tingkat pancang menggantikan spesies tingkat semai sebelumnya atau akan dijumpai spesies yang dominan pada tingkat semai tidak menjadi dominan di tingkat pancang karena tidak mampu bersaing dengan spesies lainnya. Seperti yang juga terjadi di Rimba, pada tingkat semai, jenis yang paling banyak yaitu C. depressinervosum kemudian S. lepidocarpa. Pada tingkat pancang, S. lepidocarpa menjadi yang paling dominan, dan diikuti oleh C.lanigerum.

Jumlah spesies tingkat semai di LPT < 100 tahun dan LPT > 100 tahun lebih tinggi dibandingkan di Padang. Apabila dilihat dari kerapatannya, kerapatan semai di Padang lebih tinggi dibandingkan di lahan pasca tambang. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya cluster-cluster pada lokasi lahan pasca tambang, sehingga kehadiran semai hanya dapat dijumpai pada cluster-cluster tertentu saja. Tingginya kerapatan tumbuhan bawah di Padang dapat menghambat pertumbuhan semai di Padang. Menurut masyarakat lokal, ekosistem padang merupakan ekosistem suksesi yang telah mencapai klimaks, sehingga kemungkinan perkembangan menjadi hutan sangat kecil atau disebut disklimaks.

Komposisi pancang

Jumlah spesies pancang yang paling banyak yaitu di Rimba dan Bebak sebanyak 42 spesies. dengan kerapatan berturut-turut 18.900 ind/ha dan 21.880 ind/ha. Jenis yang dominan tumbuh di Rimba yaitu S. lepidocarpa, sedangkan di Bebak yaitu C. lanigerum. Pada ekosistem Padang hanya ditemukan dua spesies pancang yaitu T. obovata dan M. leucadendron dengan nilai kerapatan pancang 1.400 ind/ha. Nilai kerapatan pancang di Padang paling kecil dibandingkan lokasi lainnya. Menurut Riswan (1982) tingkat survival semai ke pancang di hutan kerangas sangat lambat karena miskinnya unsur hara di hutan kerangas.

Pada lahan pasca tambang timah, kehadiran pancang paling banyak dijumpai di LPT > 100 tahun yaitu sebanyak 19 spesies dan 4.600 ind/ha, sedangkan di LPT < 100 tahun hanya ditemukan 11 spesies dengan kerapatan 1.680 ind/ha. Perbedaan yang cukup tinggi ini disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat suksesi pada cluster-cluster di setiap LPT. Pada cluster hutan di LPT >

(11)

32

100 tahun atau TL 130 tahun telah ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi dan relatif lebih rapat dibandingkan cluster semak di LPT < 100 tahun atau TL 50 tahun. Hal ini juga menunjukkan bahwa perlu waktu yang sangat lama untuk membangun hutan kerangas tingkat pancang dari lahan pasca tambang timah. Apabila dibandingkan dengan kerapatan pancang di Rimba dan Bebak, kerapatan di LPT > 100 tahun masih jauh lebih kecil dikarenakan tidak homogennya kondisi di lapangan.

Jenis yang dominan di kedua LPT yaitu M. leucadendron namun dengan INP yang berbeda. Nilai INP M. leucadendron di LPT > 100 tahun lebih tinggi dibandingkan di LPT < 100 tahun. Hal ini menunjukkan jumlah individu dan sebaran M. leucadendron di LPT > 100 tahun lebih tinggi. Pada LPT < 100 tahun, juga ditemukan jenis pionir M. barbatus yang dapat menjadi indikator lokasi tersebut masih dalam tahapan suksesi. Sedangkan jenis lain yang ditemukan di LPT > 100 tahun, dan memiliki nilai INP yang tinggi yaitu T. obovata, P. alternifolium dan D. suffruticosa.

Komposisi pohon

Jumlah spesies pohon tertinggi yaitu di Rimba sebanyak 24 spesies dengan kerapatan 470 ind/ha. Jenis yang banyak ditemukan adalah S. lepidocarpa dan S. wallichii. S. wallichii merupakan jenis yang tidak dominan di tingkat semai dan pancang, tetapi dapat tumbuh hingga tingkat pohon. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ini mampu bersaing dengan jenis lainnya. Sedangkan S. lepidocarpa termasuk jenis yang konsisten ditemukan sebagai jens dominan di tingkat semai, pancang dan hingga pohon.

Pada ekosistem Bebak S. wallichii juga ditemukan sebagai spesies tingkat pohon yang dominan, kemudian S. lepidocarpa. S. wallichii merupakan jenis yang dapat tumbuh pada ekosistem klimaks maupun suksesi (Vaidhayakarn & Maxwell 2010). Anakan S. wallichii di Bebak juga termasuk dalam lima INP tertinggi. Menurut Sahoo dan Lalfakawma (2010), kemampuan survival S. wallichii pada lahan terganggu lebih tinggi daripada lahan yang tidak terganggu. Pada hamparan lahan di sekitar Bebak yang terbuka dijumpai anakan S. wallichii yang sangat banyak. Jenis ini dicirikan dengan pucuk daunnya yang berwarna merah keunguan.

Pada eksosisem Padang hanya dijumpai satu spesies tingkat pohon yaitu C. rotundatus dan hanya satu individu dalam plot penelitian. Jenis ini merupakan jenis yang mampu beradaptasi pada kondisi yang kering dan miskin hara. Hal ini menunjukkan bahwa di Padang, pertumbuhan vegetasi dari semai menjadi pancang dan kemudian menjadi pohon adalah suatu proses yang sangat sulit. Di Kalimantan, jenis ini sering ditemukan di area-area bekas kebakaran lahan.

Pada LPT< 100 ditemukan tiga spesies tingkat pohon antara lain V. arborea, A. mangium dan A. occidentale. Jenis V. Arborea merupakan satu-satunya spesies habitus pohon dari famili Asteraceae. Ditemukannya A. mangium dengan diameter 19.7 cm disebabkan oleh adanya kegiatan revegetasi di LPT < 100 tahun sekitar tahun 2000-an. Sedangkan A. occidentale diameter 49,36 cm ditanam pada kegiatan revegetasi sekitar tahun 1969. Pada LPT > 100 tahun tidak ada data tingkat pohon. Adanya penebangan pohon untuk kegiatan penambangan ulang menyebabkan tidak lestarinya vegetasi tingkat pohon di lokasi penelitian.

(12)

33 Indeks keanekaragaman, kekayaan dan kemerataan spesies

Menurut Magalef (1972) diacu dalam Magurran (1988), indeks keanekaragaman Shannon biasanya berada pada rentang 1.5–3.5, jarang melebihi 4.5. Secara umum indeks keanekaragaman di setiap lokasi penelitian berada dalam rentang 0–3.07. Pada beberapa lokasi indeks keanekaragaman di bawah 1.5, seperti pada semai di Padang dan di Bebak, pancang di Padang dan pohon di LPT < 100 tah n. Semakin kecil nilai ’ maka emakin rendah p la keanekaragaman spesiesnya dan tingkat kompleksitasnya. Sedikitnya jumlah spesies pada suatu komunitas, maka akan diikuti dengan jumlah individu per spesies yang tinggi sehingga akan terjadi kompetisi antar individu yang tinggi. Seperti yang terjadi di Padang, spesies semai yang diperoleh 5 spesies namun total individu mencapai 93.000 individu per ha. Jumlah ini paling tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang memiliki jumlah spesies lebih banyak. Nilai ’ tumbuhan bawah tertinggi yaitu di LPT < 100 tahun (2.18) kemudian di Padang (2.15). Pada tingkat semai di LPT > 100 tahun (2.03), tingkat pancang di Bebak (3.07) dan tingkat pohon di Rimba (2.64). Kondisi Rimba relatif lebih lembab dan rapat, sehingga memberikan kondisi yang cocok bagi pertumbuhan vegetasi atau untuk perkecambahan biji, meskipun kebanyakan dari semai yang tumbuh di lantai hutan ada yang tidak mampu bertahan hidup hingga pancang atau pohon.

Famili yang mendominasi di semua lokasi penelitian yaitu Myrtaceae. Spesies dari Myrtaceae memiliki penyebaran dan kemampuan tumbuh yang cukup baik pada kondisi fisik yang kurang menguntungkan. Kebanyakan dari spesies Myrtaceae yaitu jenis-jenis yang toleran sehingga tergolong jenis pionir, dimana jenis ini juga toleran terhadap keterbatasan unsur hara. Kondisi lingkungan yang terbatas ini, dapat disesuaikan oleh tumbuhan dalam adaptasi aktivitas fisiologi famili Myrtaceae dengan menghasilkan kandungan metabolit sekunder yang lebih banyak dan berkualitas. Adaptasi morfologi dengan bentuk daun yang kecil-kecil tebal, lebar dan berair, batang yang kering dan lainnya. Di Padang, LPT > 100 tahun dan Rimba juga ditemukan jenis insektivora antara lain D. burmanni, N. gracilis, N. ampullaria dan N. rafflesiana, yang menjadi spesies indikator kondisi tapak yang miskin hara dan umum dijumpai di ekosistem hutan kerangas (Whitmore 1984, Whitten et al. 1986).

Jenis-jenis dari famili Clusiaceae juga banyak ditemukan di ekosistem hutan kerangas (Brunig 1974), dari genus Calopyhllum dan Garcinia, jenis ini merupaan jenis betor-betoran atau bintangur. Famili ini memiliki ciri mengandung getah kuning, beberapa spesies yang ditemukan yaitu C. lanigerum, C. deppresinervosum, Cratoxylon glaucum, Garcinia parvifolia, G. lateriflora, G. hombroniana.

Nilai indeks kemerataan yang semakin mendekati satu menunjukkan bahwa jumlah individu dalam spesies relatif tersebar merata. Seperti yang terjadi pada kemerataan pohon di LPT< 100 tahun, terdapat tiga spesies pohon dan masing-masing satu individu, sehingga nilai E nya adalah satu. Namun di Padang, karena hanya ditemukan satu spesies dan satu individu maka nilai indeks keanekaragaman adalah nol, serta nilai indeks kekayaan dan kemerataannya adalah nol.

(13)

34

Indeks kesamaan spesies dua komunitas

Adanya perbedaan kondisi fisik dan kimia tanah di antara limalokasi penelitian telah menunjukkan adanya perbedaan komposisi vegetasi. Secara umum masih terdapat kesamaan spesies tumbuhan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 16, karena adanya kesamaan faktor pembatas di setiap lokasi yaitu tekstur tanah berpasir.Indeks kesamaan spesies tumbuhan bawah tertinggi yaitu antara Bebak dan LPT < 100 tahun sebesar 34.48% antara lain Hypserpa sp., M. malabathricum, R. tomentosa, Clibadium surimanense dan Lycopodium cernuum. Indeks kesamaan tertinggi pada tingkat semai yaitu antara Rimba dan Bebak sebesar 48.15%, antara lain C. lanigerum, C. depressinervosum, C. formosum, R. cinerea, S. incarnatum, S. eunerura, S. decipiens, S. lepidocarpa, S. lineatum, Psychotria viridiflora, Rapanea hasseltii, Symplocos cochinchinensis dan T. Obovata. Pada tingkat pancang yaitu antara Rimba dan Bebak sebesar 54.54% atau sebanyak 21 spesies, 12 spesies diantara yang juga sama pada tingkat semai. Jenis lain yang ditemukan antara lain Ilex cymosa, Litsea firma, Myrica javanica, Aporosa aurita, Guioa pleuropteris, Canthium didyma, Eurya nitida, Adinandra sarosanthera dan Cryptocarya densiflora. Nilai IS tertinggi tingkat pohon juga antara Rimba dan Bebak sebesar 36.84% antara lain Glochedion arborescens, R. cinerea, Parkia singularis, M. javanica, T. obovata, S. lepidocarpa dan S. wallichii.

Indeks kesamaan spesies terhadap lahan pasca tambang, paling tinggi dijumpai pada tingkat semai di LPT > 100 tahun dan Padang antara lain S. napiforme, S. zeylanicum, C. lanigerum, M. leucadendron dan T. obovata. Indeks kesamaan spesies yang tertinggi selanjutnya yaitu semai di hutan dan LPT > 100 tahun sebesar 32.56%, antara lain Calophyllum lanigerum, Syzygium incarnatum, Syzygium euneura, Tristaniopsis obovata, Syzygium lepidocarpa, Schima wallichii dan Syzygium rostratum. Tristaniopsis obovata merupakan spesies yang umum dijumpai di hutan kerangas (Brunig 1974; Whitmore 1984; MacKinnon et al. 1996). Spesies ini juga menjadi spesies yang dominan di LPT >100 tahun pada tingat semai dan pancang setelah Malaleuca leucadendron. Sedangkan nilai IS tertinggi antara LPT < 100 tahun dan LPT > 100 tahun yaitu pada tingkat pancang sebesar 41.38%, antara lain S. napiforme, S. zeylanicum, M. leucadendron, S. euneura, F. aurita dan D. suffruticosa.

Vegetasi Pionir Lokal Potensial

Penggunaan spesies pionir lokal lebih dianjurkan dalam kegiatan rehabilitasi yaitu untuk menghindari adanya invasi alien species yang dapat mengganggu ekosistem (Parotta et al. 1997). Penanaman akasia (A. mangium) dan jambu mete (A. occidentale) yang telah dilakukan di beberapa lokasi lahan pasca tambang timah di Belitung dan tidak menunjukkan keanekaragaman yang tinggi, hanya didominasi jenis tersebut saja bahkan sulit dijumpai adanya rumput di permukaan tanah sekitar pohon akasia. Alexander (1990) juga melaporkan bahwa penanaman spesies exotic Eucalyptus di lahan pasca tambang timah di Nigeria dapat menurunkan kualitas tanah. Adanya zat alelopati yang dihasilkan oleh beberapa jenis tumbuhan eksotik juga dapat menghambat pertumbuhan jenis-jenis yang ada di sekitarnya bahkan menyebabkan kematian. Oleh sebab itu, perlu dilakukan

(14)

35 pemilihan jenis-jenis pionir lokal yang potensial mendukung kolonisasi alami dan adaptif untuk bertahan hidup dalam kondisi miskin hara.

Dalam kegiatan restorasi, penentuan dan pemilihan vegetasi adalah bagian penting untuk mencapai keberhasilan kegiatan restorasi (Setiadi 2012). Nurtjahya (2008) melakukan penelitian terhadap penggunaan spesies lokal untuk kegiatan revegtasi lahan pasca tambang diantaranya Calophyllum inophyllum, Syzygium grande, Ficus superba, Vitex pinnata, Hibiscus tiliaceus, Mallotus panulatus, Aporosa sp., Macaranga sp dengan pertimbangan memiliki sifat xerofitik serta penentuan sumber biji berdasarkan kemiripan lokasi sumber bij dan lokasi tailing pasir yang kering dan miskin hara serta rentan terhadap angin kencang sewaktu-waktu. Penggunaan spesies pionir lokal sebagai catalitc species dapat mendukung terjadinya suksesi alami melalui rekolonisasi alami (Parotta et al. 1997).

Beberapa pertimbangan dalam memilih spesies pionir antara lain bersifat fast growing, toleran, sedikit membutuhkan unsur hara, berperan sebagai catalitc species, mudah dipropagasi, murah dan mudah dalam pemeliharaan dan sesuai dengan penggunaan lahan (Setiadi 2014). Jenis-jenis pionir di lokasi penelitian yang berpotensi sebagai spesies pionir antara lain beruta (Dicranopteris linearis),

keremuntingan (R. tomentosa), keletaan (M. malabathricum), simpor bini (D. suffruticosa), sekudang pelandok (S. buxifoilum), gelam (M. lecadendron), pelawan kiring (T. obovata), renggadaian (P. alternifolium), seru (S. wallichii), sapu padang (B. frutescens) dan arang-arang (S. napiforme). Habitus paku-pakuan seperti D. linearis (Gambar 13) dapat dijadikan sebagai spesies pionir karena dapat tumbuh pada kondisi pasir kering dan di batu. Sifat tersebut dapat mendukung terbentuknya kelembaban mikro di permukaan tanah. Biji dari paku beruta ini dapat diperoleh dari tumpukan serasah-serasah dibawahnya.

Keremuntingan (R. tomentosa) dan keletaan (M. malabathricum) merupakan dua spesies yang sangat mudah dijumpai di lahan bekas tambang atau di pinggir-pinggir jalan (Gambar 14 & Gambar 15). Jenis ini memiliki daun yang kecil, rimbun, buah bentuk berry yang edibel dan juga disukai oleh burung. Pemilihan jenis yang memiliki buah dan dapat dimakan burung, dapat mendukung suksesi alami melalui penyebaran biji-bijinya secara alami (Zhang Chu 2013). Jenis ini tumbuh sebagai semak pada area bekas tambang, namun di Bebak, mampu tumbuh secara vertikal dan sebagai pohon kecil atau perdu, tidak membentuk semak yang rimbun. Warna daunnya lebih hijau pada daerah bekas tambang dibandingkan di Bebak. Unsur hara di Bebak mendukung pertumbuhan vertikal tumbuhan yaitu ditunjukkan dengan jumlah Ca dalam tanah lebih tinggi

(15)

36

dibandingkan di lokasi bekas tambang dengan dukungan kondisi KTK yang lebih tinggi pula.

Dari segi manfaat, keremuntingan (R. tomentosa) dimanfaatkan buahnya sebagai bahan sirup dan berkhasiat sebagai antioksidan bagi tubuh manusia. Menurut masyarakat lokal, daunnya berkhasiat sebagai obat penurun kolesterol. Keletaan (M. malabathricum) dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat sakit gigi, dengan cara merebus daunnya dan dikumurkan. Selain sebagai obat, di beberapa tempat, buahnya dikembangkan sebagai sumber pewarna alami.

Di lahan bekas tambang, pertumbuhan R. tomentosa dan M. malabathricum yang membentuk semak rimbun untuk mendukung terbentuknya iklim mikro di sekitar permukaan tanah sehingga daun atau serasah yang jatuh ke permukaan tanah dapat menjadi kondisi yang baik untuk dekomposisi. Akar R. tomentosa dan M. malabathricum yang panjang di lahan bekas tambang juga merupakan bentuk adaptasi morfologi untuk mendapatkan air dan nutrisi di permukaan tanah atau

Gambar 15 Keletaan (M. malabathricum). Gambar 14 Keremuntingan (R. tomentosa)

(16)

37 lapisan atas tanah. Karena tekstur tanah yang berpasir, sehingga nutrisi mudah hilang tercuci melalui infiltrasi dan surface run off.

Selain R. tomentosa, M. leucadendron atau gelam juga merupakan jenis yang adapatif pada kondisi yang miskin hara dan lahan terbuka. Bentuk adaptasi jenis ini yaitu dengan ciri memiliki kulit batang yang berlapis-lapis dan mengandung banyak air. Akarnya juga mampu tumbuh di sekitar permukaan tanah (Gambar 16). Daun M. leucadendron relatif lebih tebal dan sulit terdekomposisi karena banyak mengandung serat. M. leucadendron juga jenis yang mudah ditemukan di lahan bekas tambang atau di tepi-tepi jalan, jenis ini tahan pada kondisi kering dan juga tumbuh kondisi basah atau terendam.

S. buxifolium merupakan jenis yang memiliki daun yang kecil, rimbun dan membentuk semak (Gambar 17). Namun di bebak, jenis ini juga tumbuh tinggi (tidak kerdil). Jika dilihat dari nama lokalnya, S. buxifoilum atau sekudong pelandok memiliki buah jambu-jambuan yang berukuran kecil berwarna putih dan menjadi sumber pakan pelandok (rusa) dan burung sehingga penyebarannya dapat dibantu secara alami oleh rusa maupun burung, bisa dari hasil kunyahan yang terjatuh atau dari kotorannya. Jenis ini dapat dijumpai di Rimba, Bebak, Padang dan lahan pasca tambang.

(17)

38

Sapu padang (B. frutescens), merupakan jenis yang menjadi ciri ekosistem Padang namun juga dijumpai di lahan pasca tambang (Gambar 18). Bentuk daunnya seperti jarum, kecil-kecil dan tebal. Ini juga menjadi bentuk adaptasi spesies untuk mengurangi penguapan pada kondisi lahan terbuka. Tumbuhan ini dimanfaatkan masyarakat lokal untuk membuat sapu halaman yang dikenal dengan sapu padang. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa tumbuhan ini berkhasiat sebagai obat anti inflamasi (Xi Jia et al. 2014).

Jenis lain yang juga berpotensi sebagai pionir dan masih dari famili Myrtaceae yaitu arang-arang (S. napiforme) dan pelawan kiring (T. obovata). S. napiforme dapat tumbuh di lokasi terbuka maupun ternaungi, memiliki buah jambu-jambuan yang edibel, berukuran kecil dan berwarna ungu tua kehitaman yang juga disukai oleh kera di hutan (Gambar 19). Sedangkan T. obovata merupakan jenis yang umum dijumpai di ekosistem hutan kerangas dengan ciri khas kulit batangnya yang berwarna merah dan mengelupas (Gambar 20). Jenis ini dapat ditemukan di semua lokasi penelitian.

Gambar 18 Sapu padang (B. frutescens).

(18)

39

Selain spesies dari Myrtaceae dan Melastomataceae, jenis pohon lain yang berpotensi sebagai pionir yaitu dari famili Dilleniaceae dan Theaceae. Simpor bini (Dillenia suffruticosa) banyak ditemukan di lahan terbuka. D. suffruticosa memiliki daun yang lebar dan agak tebal. Jenis ini mudah dijumpai di lahan bekas tambang dan tumbuh dapat tumbuh berkelompok. Jenis ini hampir sama dengan R. tomentosa dan M. malabathricum, pertumbuhannya di Bebak dapat menjadi tinggi seperti pohon, namun di lahan bekas tambang pertumbuhannya terhambat dan menjadi agak kerdil dan berupa semak (Gambar 21). Teknik silvikultur jenis ini dapat dilakukan dengan stek batang. Di alam, anakan simpor bini muncul dari pertunasan akarnya. Dari aspek manfaat, masyarakat lokal menggunakan daunnya sebagai pembungkus makanan.

Gambar 20 Batang kayu pelawan (T. obovata). Gambar 19 Arang-arang (S. napiforme).

(19)

40

Seru (Schima wallichii) dan renggadaian (Ploiarium alternifolium) jenis dari famili Theaceae yang berpotensi sebagai pionir. S. Wallichii sangat mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan dan dan pada lahan-lahan terbuka (Gambar 22). Jenis ini mampu bertahan hidup hingga tingkat pohon. Kayu S. wallichii sering dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan bangunan/konstruksi, sehingga cukup rawan kelestariannya di hutan karena masih terdapatnya kegiatan penebangan liar. P. alternifolium merupakan salah satu jenis khas hutan kerangas yang mampu tumbuh pada kondisi kering, dan tergenang. Pada tingkat semai dan pancang banyak dijumpai di lahan pasca tambang. Jenis ini memiliki ciri pucuknya berwarna agak kemerahan seperti pucuk S. wallichii dengan daun yang agak tebal dan banyak mengandung air. Kayu renggadaian juga dimanfaatkan sebagai bahan bangunan oleh masyarakat lokal.

Gambar 22 Batang pohon seru (S. wallichii). Gambar 21 Simpor bini (D. suffruticosa).

(20)

41 Teknik Pembenahan Tanah Lahan Pasca Tambang Timah

Kerusakan tanah akibat kegiatan penambangan merubah ekosistem secara total, sehingga usaha perbaikannya harus dimulai dari nol (Bech et al. 2012). Proses suksesi yang diserahkan secara alami akan membutuhkan waktu yang sangat lama karena adanya beberapa faktor pembatas, sehingga perlu adanya campur tangan manusia melalui kegiatan rehabilitasi. Menurut Setiadi (2012) pembenahan tanah penting dilakukan sebelum melakukan kegiatan revegetasi di lahan pasca tambang. Permasalahan utama di lahan pasca tambang timah yaitu tanah berpasir, KTK sangat rendah, bahan organik rendah, P tersedia rendah dan unsur hara yang rendah. Penggunaan bahan organik dianjurkan untuk memperbaiki tekstur tanah berpasir dan meningkatkan aktivitas mikroorganisme dalam tanah. Adanya bahan organik dalam tanah juga dapat meningkatkan ketersediaan koloid humus, karena koloid liat pada tanah berpasir sangat sedikit. Koloid-koloid tersebut akan berperan dalam proses penyerapan hara, air sera pertukaran ion-ion dalam tanah. Untuk mendukung ketersediaan hara maka juga perlu dilakukan pemupukan baik pupuk organik maupun pupuk hayati.

Penambahan pupuk organik

Penambahan bahan organik dalam bentuk pupuk dapat meningkatkan kandungan koloid organik tanah sebagai fasilitas dalam pertukaran ion-ion dan mendukung perbaikan tekstur tanah berpasir, porositas tanah dan menurunkan bulk density (Hakim et al. 1986; Celik et al. 2004). Beberapa bahan organik yang umumnya digunakan dalam kegiatan rehabilitasi lahan pasca tambang antara lain kompos dari serbuk gergaji, kotoran ayam, kotoran sapi, sekam padi, limbah kelapa sawit, eceng gondok dan lainnya. Menurut Sittadewi (2007), pengolahan eceng gondok sebagai media tumbuh dengan pencampuran gambut, kotoran ayam dan EM4 menghasilkan kondisi media tumbuh dengan KTK tinggi (90.78 me/100 g). Aplikasi bahan organik walaupun sedikit dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam sifat fisika dan kimia tanah (Bohn & McNeal 1979). Untuk menghidari terjadinya pencucian bahan organik yang sudah diberikan maka perlu ditambahkan pupuk polimer sebagai perekat unsur hara dalam tekstur tanah pasir (Setiadi 2012).

Aplikasi pupuk mikoriza

Mikoriza merupakan bentuk simbiosis mutualisme antara jamur dan akar. Tipe asosiasi fungi mikoriza yang umum dijumpai yaitu arbuskular mikoriza. Fungi mikoriza arbuskula memberikan beberapa keuntungan bagi tumbuhan antara lain meningkatkan kapasitas penyerapan air, non mobile nutrient (P, Zn dan Cu) dan meningkatkan ketahanan terhadap patogen serta kondisi kering (Smith & Read 2008). Aplikasi pupuk mikoriza sebagai pupuk hayati yang berasal dari hasil inokulasi indigenous FMA dapat menyokong pertumbuhan tanaman di awal fase pertumbuhan di lahan-lahan marjinal (Setiadi Y 2014, Komunikasi pribadi). Percobaan rumah kaca untuk merevegetasi lahan pasca tambang timah di Singkep telah dilakukan dengan kombinasi penggunaan media pupuk kandang, inokulan mikoriza dan anakan lamtoro (Leucana lecocephala) dapat mendukung perbaikan pH, KTK dan menurunkan kelarutan Aluminium (Badri 2004). Aplikasi mikoriza dalam restorasi ekosistem dapat dilakukan dalam kondisi tanah dengan bahan

(21)

42

organik yang rendah, toksik dan untuk mengoptimalkan pencapaian keanekaragaman hayati (Miller & Jastrow 1992).

Berdasarkan hasil analisis kehadiran FMA pada beberapa spesies yang tumbuh di lokasi penelitian maka dapat pemberian pupuk mikoriza yang berasal dari hasil inokulasi FMA lokal dapat menjadi alternatif untuk mendukung pertumbuhan tanaman pada kegiatan revegetasi di lahan pasca tambang timah. Pada kondisi alami telah menunjukkan bahwa beberapa spesies yang juga berpotensi sebagai pionir berasosiasi dengan FMA, sehingga aplikasi pupuk mikoriza ini sesuai dengan konsep restorasi yaitu mendukung terciptanya keanekaragaman hayati spesies lokal dan mengikuti proses adaptasi di alam pada setiap spesies.

Legume Cover Crops (LCC)

Legume cover crops (LCC) merupakan sebuah teknik persiapan lahan tanam di area terbuka pada kondisi datar maupun kelerengan curam dengan melakukan penanaman rumput sebagai penutup tanah. Menurut Setiadi (2014) teknik ini berguna untuk menstabilkan tanah dan mengurangi erosi. Beberapa jenis legume yang biasa digunakan sebagai cover crops antara lain, Pueraria javanica, Centrosema pubescens dan Calopogonium mucunoides. Aplikasi penanaman LCC membutuhkan pencampuran kompos dan pupuk polimer untuk menghindari adanya pencucian hara yang sebagai nutrisi bagi biji LCC. Aplikasi polimer juga dapat meperbaiki agregat tanah dan sabilitas tanah (Lehrsch et al. 2005; Zandieh & Yasrobi 2010). Pada kondisi lahan pasca tambang timah dengan tekstur berpasir dan porositas tinggi maka sesuai jika dilakukan penanaman LCC. Keberadaan LCC sangat penting dalam proses fiksasi nitrogen dan dapat memperbaiki bulk density, porositas tanah, permeabilitas tanah dan kadar air tanah (Leomo et al 2011). Selain itu, LCC juga mendukung aktivitas mikroorganisme. Nurtjahya (2008) melakukan percobaan tanam di lahan pasca tambang timah di Bangka dengan aplikasi media tanam:kompos kotoran sapi (2:1) kemudian di bagian leher bibit ditutup dengan sobekan sabut kelapa serta menanam Legume Cover Crops (LCC) Calopogonium mucunoides sebanyak 30 kg/ha. Hasilnya dapat meningkatkan kelembaban tanah 10%, menurunkan suhu tanah ± 3,3 °C dan meningkatkan populasi semut dan Collembola.

Berdasarkan hasil analisis tanah di lapangan pada kondisi tailing terbuka, persentase pasir yang tinggi, nitrogen yang rendah maka teknik LCC dapat menjadi alternatif persiapan lahan sebelum tanam untuk memperbaiki kondisi tanah. Dengan adanya tanaman penutup tanah, dapat mengurangi limpasan air hujan di atas permukaan tanah dan mendukung tersedianya N dalam tanah dengan adanya asosiasi antara bakteri pemfiksasi N pada akar legume. Perlahan, kandungan liat tanah juga dapat meningkat seiring dengan adanya serasah dari legume sebagai sumber bahan organik.

Seed Soil Augmentation (SSA)

Dalam kegiatan revegetasi untuk tujuan restorasi, teknik Seed Soil Augmentation (SSA), yaitu menebarkan sumber benih alami yang terdapat pada serasah pinggiran hutan di lokasi lahan pasca tambang yang dapat menjadi alternatif pembenahan tanah dan revegetasi (Setiadi 2014). Teknik ini mengadopsi mekasisme suksesi di alam. Teknik ini diawali dengan evaluasi sumber benih,

Gambar

Tabel 17  Nilai indeks kesamaan spesies antar komunitas
Gambar 12  Akar M. leucadendron yang tumbuh di atas permukaan tanah.
Gambar 14  Keremuntingan (R. tomentosa)
Gambar 16  Gelam (M. leucadendron).
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tjilik Riwut km.18 Warna Hitam Pekat Bongkahan pasir yang berasal dari penambangan jalan Tjilik Riwut km.18 , pada bagian berwarna hitam pekat memiliki 3 komponen terdiri dari

Berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner dari masing-masing item pertanyaan menunjukan rata-rata persentasenya diatas 70%, yang menurut kriteria interpretasi

Pertama Pertama, belajar dari pengalaman krisis keuangan yang , belajar dari pengalaman krisis keuangan yang terjadi di negara-negara Asia, khususnya Indonesia, secara umum

Biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan terbitnya Keputusan ini dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2017 Nomor: DIPA-083.01.1.017216/2017 tanggal 7

Pendidikan luar sekolah sebagai pemberdaya masyarakat adalah suatu cara untuk menggali suatu proses belajar kelompok masyarakat dan berlatih secara sistematis untuk

Untuk Gempa Rencana bila bangunan dianalisis dengan rekaman gempa El Centro 1940, displacement untuk arah x aman dan arah y terdapat 3 lantai yang tidak

S K S DOSEN RUANGAN KULIAH SENIN 1tA AKT - SIANG 13.30 - 15.30 EAK110022 AGAMA BAHASA INGGRIS BAHASA INDONESIA PENGANTAR BISNIS EKONOMI MIKRO 2 IKA BR. Hari dan waktu

Dosis ekstrak EEDJ yang digunakan pada penelitian dalam mengamati respon fagositosis sel makrofag adalah 10 %, 20 % dan 40 % dari LD 50 yang diperoleh dengan pemberian