• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBANGUNAN

AGRIBISNIS BERBASIS

PETERNAKAN DAN

IMPLIKASINYA BAGI

PENGEMBANGAN

SUMBER DAYA

MANUSIA

Pendahuluan

Kegiatan ekonomi yang berbasis peternakan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang memiliki prospek kedepan. Karakteristik produk peternakan (daging, telur, susu, dan produk olahannya) yang merupakan salah satu bahan pangan dan permintaannya bersifat income elastic demand yang relatif tinggi, akan memiliki peningkatan permintaan produk peternakan yang Iebih besar dari Iaju peningkatan pendapatan. Karakteristik permintaan yang demikiart dan potensi pengembangan yang masih cukup besar di Indonesia, menjadi alasan pokok untuk menjadikan peternakan sebagai salah satu sumber pertumbuhan baru bagi sektor pertanian pada PJP-II ini.

Pengembangan peternakan di masa yang akan datang, akan dihadapkan pada lingkurtgan ekonomi dunia baru yang sangat

(2)

berbeda dengan masa Ialu. Penghapusan atau penurunan berbagai proteksi perdagangan internasional yang dipayungi oleh WTO, akan menghapus batas-batas ekonomi setiap perusahaan atau negara sedemikian rupa sehingga akan meningkatkan persaingan. Konkritnya, peternakan Indonesia akan bersaing ketat dengan peternakan negara Iain bukan saja merebut pasar intemasional tapi juga dalam merebut pasar dalam negeri Indonesia. Dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta dan pendapatan per kapita diperkirakan mencapai sekitar US $ 2500 pada tahun 2005, Indonesia akan menjadi salah satu pasar produk ternak terbesar yang akan diperebutkan oleh produsen hasil ternak dunia.

Dalam menghadapi tantangan Iingkungan ekonomi baru yang hams dihadapi peternakan Indonesia, dimasa depan, diperlukan cara baru dalam mernbangun kegiatan peternakan. Hal ini tentunya, juga berimplikasi pada perubahan tuntutan kualifikasi sumberdaya manusia sebagai aktor dari pembangunan peternakan.

Pada makalah ini akan diuraikan bagaimana paradigma baru pembangunan peternakan yang mampu mengakomodir Iingkungan ekonomi baru tersebut diatas. Selanjutnya akan membahas bagaimana Implikasinya bagi pengembangan sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk menopang pembangunan peternakan ke depan.

Paradigma Baru Pembangunan Peternakan

Kata kunci dalam menghadapi lingkungan ekonomi dunia yang makin bersaing adalah kemampuan daya saing

(competitiveness). Bila peternakan Indonesia mampu bersaing, maka peternakan Indonesia akan mampu meningkatkan pangsanya di pasar internasional disamping di pasar domestik. Sebaliknya bila peternakan Indonesia tidak mampu bersaing, maka peternakan Indonesia akan terdesak baik di pasar domestik apalagi di pasar intemasional,

(3)

Secara operasional keunggulan bersaing dapat diartikan sebagai: “tlie ability to deliver goods and services at the time, place, and form sought by buyer’s in both t)ie domestic and internasional markets at prices as good or better than those of other potential suppliersfwhile earning at least opportunity cost on resources employed” (Sharpies and Milham, 1990; Cook, M.L and ME, Bredahl, 1991).

Konsep keunggulan bersaing yang demikian menunjukkan bahwa kemampuan memasok produk peternakan yang sesuai dengan preferensi (selera) konsumen merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi peternakan yang berdaya saing. Dengan perkataan lain kemampuan menghasilkan produk peternakan semurah mungkin belum menjamin keunggulan bersaing. Harga produk peternakan yang lebih murah hanya akan mendukung keunggulan bersaing bila produk yang dihasilkan sesuai dengan selera konsumen. Masalahnya adalah bagaimana cara membangun peternakan agai mampu memiliki keunggulan bersaing yang demikian?

Dimasa lalu, pembangunan peternakan di Indonesia berakar pada paradigma pembangunan dengan orientasi peningkatan produksi hasil ternak primer. Oleh karena itu, dimasa lalu pembangunan peternakan identik denganpembangunan usaha peternakan (on-farm). Sedangkan kegiatan yang menyediakan sapronak, pengolahan hasil ternak, dan pasar produk peternakan dianggap eksogenus atau diluar jangkauan pembangunan peternakan itu sendiri.

Paradigma pembangunan peternakan yang demikian, tidak kondusif untuk mencapai peternakan yang berdaya saing. Selain cenderung mengabaikan pasar (selera konsumen), paradigma tersebut cenderung menyekat-nyekat agribisnis peternakan sehingga menimbulkan masalah transmisi (pass through problems)

dan menciptakan margin ganda (double marginalization) yang justru memperlemah daya saing.

(4)

Untuk mencapai peternakan yang berdaya saing, paradigma lama tersebut perlu dirubah kepada paradigma baru yakni paradigma agribisnis. Dengan paradigma baru tersebut pembangunan peternakan diwujudkan melalui pembangunan agribisnis hulu (industri: pembibitan, pakan, obat-obatan); usaha budidaya peternakan (on-farm agribusiness);

agribisnis hilir (industri pengolahan : daging, susu, telur beserta perdagangannya); dan jasa penunjang agribisnis (perkreditan, transportasi, kebijakan pemerintah, penelitian dan pengembangan, dll.) secara simultan dan konsisten.

Esensi dari pembangunan peternakan dengan paradigma agribisnis adalah bahwa preferensi konsumen yang berkembang merupakan cetak biru (blue print) dari arah pengembangan agribisnis hilir, budidaya/ agribisnis hulu, dan jasa penunjang agribisnis peternakan, Sebagai contoh, bila konsumen telah menuntut daging ayam ras dengan atribut: boneless meat dengan kandungan lemak dan residu antibiotika rend ah, maka tuntutan atribut ini menjadi cetak biru bagi pengembangan teknologi pengolahan daging (agribisnis hilir), teknologi budidaya ayam ras (on-farm), teknologi pakan, pernbibitan, (agribisnis hilir), dan sistem pengendalian mutu serta pengelolaan agribisnis ayam ras mulai dari hulu hingga ke hilir. Dengan begitu alokasi sumberdaya dalam agribisnis ayam ras dapat terarah pada penciptaan produk yang sesuai dengan tuntutan pasar. Alokasi sumberdaya yang terarah ini, ditambah dengan rninimumnya masalah margin ganda dan masalah transmisi sebagai akibat dari pengelolaan integrasi vertikal, akan kondusif untuk mencapai keunggulan bersaing.

Pengembangan Sumberdaya Manusia

Keberhasilan pembangunan peternakan dengan pendekatan agribisnis ditentukan oleh konsistensi pengelolaan antar subsistem agribisnis hulu, budidaya,, agribisnis hilir, dan jasa penunjang agribisnis, Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan agribisnis berbasis peternakan akan sangat ditentukan keharmonisan

(5)

kerjasama tim (team-work) sumberdaya manusia (SDM) baik yang berada pada agribisnis hulu, budidaya, agribisnis hilir, danyang ada pada jasa penunjang. Dengan perkataan Iain, seluruh SDM yang berada pada satu agribisnis komoditas (misalnya agribisnis ayam ras) dari hulu ke hilir harus dipandang sebagai suatu tim kerja (team-work). Hasil studi mutakhir (Hill and Berder, 1996; Ward et.al., 1995) mengungkapkan bahwa ketidakefisienan, kelambatan perkembangan, dan kekurangmampuan beradaptasi dari suatu agribisnis banyak bersumber dari ketidakharmonisan kerjasama tim di agribisnis itu sendiri.

Untuk mewujudkan suatu kerjasama tim yang harmonis pada agribisnis, setiap SDM yang terlibat didalamnya tidak cukup hanya memiliki wawasan mengenai bidang pekerjaannya sendiri (on-job oriented). Kunci keberhasilan suatu kerjsama tim adalah bila setiap SDM yang ada memiliki wawasan pengetahuan mengenai bagaimana pekerjaan bidang lain dilaksanakan (how to do each other’s job). Secara lebih lengkap, Hill dan Berder (1996) mengungkapkan bahwa setiap SDM yang terlibat dalam agribisnis, disamping memiliki ketrampilan pada bidang pekerjaannya sendiii (on-job skill), harus juga memiliki wawasan Iengkap tentang posisinya dalam perusahaan; posisi perusahaan dalam industri; dan perilaku industri (micro behaviour). Selain itu, karena agribisnis tidak mungkin terlepas dari fenomena makro dan melampaui batas-batas negara, maka setiap SDM yang terlibat dalam agribisnis juga perlu memiliki wawasan tentang kondisi dan perilaku makro (macro beliaviour) dan kondisi atau perilaku dunia secara global (global beiiauiour).

Dengan begitu setiap SDM yang ada mampu memposisikan diri dan mengetahui konsekuensi dari pekerjaannya pada masing-masing level: perusahaan, industri, makro, maupun level internasional.

Suatu sub-tim kerjasama ( subteam-work) SDM yang berada pada industri pembibitan ayam ras, harus memiliki wawasan yang cukup tentang aspek budidaya, agribisnis hilir, industri ayam ras secara keseluruhan, dan bahkan industri ayam ras internasional, sehingga kinerja tim kerjasama tersebut, misalnya mutu DOC

(6)

yang dihasilkannya, dapat menyumbang pada upaya pencapaian daya saing agribisnis ayam ras secara keseluruhan. Analog dengan hal ini juga berlaku bagi sub-tim kerjasama SDM pada budidaya, agribisnis hilir, dan pada lembaga penunjang, SDM yang bekerja pada lembaga pemerintah misalnya harus memiliki wawasan yang cukup tentang agribisnis ayam ras (micro-macro-global behaviour) agar mampu menghasilkan kebijaksanaan yang kondusif bagi pencapaian daya saing dan bukan kebijaksanaan yang menimbulkan optirnisme pada suatu subsistem sementara pada subsistem lainnya menimbulkan pesimisme,

Persoalannya khususnya di Indonesia adalah bahwa SDM agribisnis peternakan yang tersedia umumnya memiliki perbedaan dan variasi pendidikan/pengalaman yang cukup kontras, Selain itu, wawasan SDM yang ada juga umumnya masih terbatas pada level pengetahuan mikro (micro behaviour). Mutu SDM yang demikian jelas sulit diharapkan untuk mewujudkan suatu kerjasama tim yang harmonis dan handaL Memang, umumnya SDM agribisnis kita sebagian besar memperoleh pelatihan (training) baik pada saat perekrutan (recruitment)

maupun dalam rangka promosi jabatan. Namun pelatihan yang ada masih terbatas pada pelatihan mengenai aspek langsung yang berkaitan dengan suatu bidang pekerjaan (on-job training)

untuk memperbaiki ketrampilan di bidang pekerjaan tersebut

(on-job skill), sehingga belum cukup untuk mewujudkan suatu kerjasama tim yang handaL

Menghadapi mutu SDM agribisnis yang demikian, kita perlu mengembangkan suatu sistem pengembangan mutu SDM agribisnis yang terencana dan rnemberi akses kepada SDM yang ada untuk rnemiliki wawasan aspek mikro makroglobal (micro-macro-global-behaviour) dari agribisnis.

Catatan Penutup

Perubahan paradigma pembangunan petemakan dari pendekatan peningkatan produksi kepada paradigma agribisnis

(7)

memerlukan perubahan dalam pendidikan SDM agribisnis. Oleh karena itu, lembaga-Iernbaga pembinaan SDM baik perguruan tinggi, Iembaga pembinaan SDM profesional maupun departemen SDM suatu perusahaan agribisnis hendaknya perlu menyesualkan kurikulumnya.

Kurikulum pendidikan tinggi ilmu peternakan yang sampai saat ini cenderung berwawasan mikro, perlu merevisi kurikulumnya dengan mengakomodir ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan wawasan atau aspek mikro-makro-global sedemikian rupa, sehingga SDM yang dihasilkan mampu diandalkan sebagai aktor pembangunan agribisnis dalam lingkungan dunia yang penuh persaingan.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Apakah dengan adanya SPJF online dapat mengurangi pengeluaran biaya.. *pengurangan biaya dapat diukur dari berkurangnya pembelian atk, telfon, fax

Verifier 3.4.2. Implementasi kegiatan identifikasi. Papua Satya Kencana telah melakukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi terhadap jenis-jenis flora dan fauna

7) Apabila tidak ada peserta yang memenuhi persyaratan administrasi, maka seleksi dinyatakan gagal. Evaluasi teknis dilakukan terhadap peserta yang memenuhi persyaratan

Percobaan ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan naungan yang berbeda serta kombinasi pemberian zat pemacu tumbuh benzylaminopurine dengan zat penghambat tumbuh

Audit Teknologi Informasi dan Assurance, Buku Pertama Edisi Kedua, Salemba Empat, Jakarta.. James, (2001).Sistem Informasi Akuntansi, Edisi Pertama, Salemba Empat,

Di samping itu, pada perdagangan ayam broiler (ras) saluran tataniaga dipengaruhi juga adanya produk yang dihasilkan secara periodik dan produ- sen relatif

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ditarik beberapa kesimpulan pada pengujian pengaruh kualitas produk, citra merek dan layanan purna jual

Dari hasil uji t di atas, dapat disimpulakan bahwa biaya kualitas yang terdiri dari biaya pencegahan, biaya deteksi atau penilaian, biaya kegagalan internal, dan