• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian dengan judul Implikatur dalam Wacana Komik pada Majalah Donal Bebek karya Tri Astuti (2012), mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Penelitian mengenai implikatur dalam wacana pernah dilakukan oleh Tri Astuti (2012), mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Penelitian tersebut berjudul Implikatur dalam Wacana Komik pada Majalah Donal Bebek. Hasil penelitian tersebut menganalisis tentang tuturan dalam wacana komik pada majalah Donal Bebek edisi 1585 sampai dengan 1597 terbitan Maret sampai dengan Mei. Dalam wacana tersebut, implikatur konvensional terdapat dalam wacana 8 tuturan, dan implikatur percakapan terdapat dalam wacana 51 tuturan. Persamaan penelitian tersebut dengan yang dilakukan peneliti adalah sama-sama mengkaji tuturan dari sudut pandang pragmatik, khususnya implikatur. Adapun perbedaanya terletak pada sumber data yang menjadi objek penelitian. Peneliti memilih sumber data berupa wacana pojok “Mang Usil” dalam koran Kompas, sedangkan Tri Astuti sumber datanya berupa wacana komik dalam majalah Donal Bebek.

2. Penelitian dengan judul Implikatur dalam Wacana Kolom Pojok “Semarangan” pada Surat Kabar Suara Merdeka karya Anis Permata Dewi (2012), mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Penelitian yang hampir serupa juga dilakukan oleh Anis Permata Dewi (2012), mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan judul penelitiannya Implikatur dalam Wacana Kolom Pojok “Semarangan” pada Surat Kabar Suara

(2)

11

Merdeka. Penelitiannya menunjukan bahwa jenis-jenis implikatur yang terdapat dalam kolom “Pojok Semarangan” sebanyak 68 tuturan antara lain menginformasikan (3 tuturan), menyindir (35 tuturan), mengkritik (9 tuturan), menegaskan (5 tuturan), mendukung (2 tuturan), mengeluh (1 tuturan), menyarankan (3 tuturan), mengejek (9 tuturan), dan memohon (1 tuturan). Walaupun sama-sama meneliti tentang implikatur, namun penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang peneliti bahas. Perbedaannya terletak pada sumber data dan analisis data. Pada penelitian yang dilakukan oleh Anis Permata Dewi sumber datanya adalah wacana kolom “Pojok Semarangan” dalam surat kabar Suara Merdeka, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan sumber datanya berupa wacana kolom “Pojok Mang Usil” dalam koran Kompas edisi Agustus 2014.

B. Bahasa

1. Pengertian Bahasa

Chaer (2007: 32) menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Hal itu hampir sama dengan pendapat Dardjowidjojo (2010: 16) yang menyebutkan bahwa bahasa adalah suatu simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota masyarakat suatu bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.

(3)

12

Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 2004: 2). Senada dengan hal itu Sumarsono (2012: 18) mengungkapkan bahwa bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Dengan demikian bahasa merupakan simbol yang bersifat arbitrer, artinya tidak ada hubungan wajib antara bahasa dengan konsep yang dilambangkan. Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipakai oleh para anggota masyarakat berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya.

2. Fungsi Bahasa

Keraf (2004: 3) mengungkapkan bahwa bahasa mempunyai empat fungsi yaitu: (a) sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, (b) sebagai alat komunikasi, (c) sebagai alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (d) sebagai alat mengadakan kontrol sosial. Berikut uraian dari keempat fungsi bahasa tersebut.

a. Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri. Ekspresi diri berarti mengungkapkan segala hal yang dirasakan oleh pikiran dan perasaan manusia. Bahasa menyatakan secara terbuka segala yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antaralain untuk menarik perhatian orang lain terhadap kita, yaitu digunakan sebagai alat untuk mencari perhatian orang lain terhadap hal-hal yang sedang dirasakan. Selain itu bahasa untuk menyatakan ekspresi diri juga bertujuan untuk

(4)

13

membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi. Artinya bahasa dapat mengontrol emosi yang terjadi pada diri manusia.

b. Sebagai alat komunikasi. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi bersifat intrapersonal karena bahasa digunakan sebagai alat untuk saling bertukar pikiran dan perasaan serta memungkinkan menciptakan kerja sama antar manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan lepas dari peristiwa komunikasi dengan media bahasa sebagai alat penyampainya yang dapat mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan penggunanya.

c. Sebagai alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Dalam kehidupan manusia selalu membutuhkan eksistensi untuk diterima dan diakui oleh masyarakatnya. Dalam pembentukan eksistensi itulah, manusia akan melakukan integrasi (pembaharuan) dan adaptasi (penyesuaian diri) dengan masyarakat. Dalam proses integrasi dan adaptasi ini manusia selalu menggunakan bahasa sebagai perantaranya, dengan bahasa seorang anggota masyarakat akan mengenal dan belajar terhadap segala adat istiadat, tingkah laku dan tata krama masyarakatnya. Oleh karena itu, secara sosial kolektif bahasa mempunyai peran penting sebagai media untuk membentuk keharmonisan kehidupan masyarakat dalam proses integrasi dan adaptasi sosial.

d. Sebagai alat mengadakan kontrol sosial. Kontrol sosial itu sendiri adalah usaha untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan seseorang. Semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena diatur dengan mempergunakan bahasa. Tentunya keberhasilan seseorang dalam melakukan kontrol sosial sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahasa yang tepat. Dengan menggunakan bahasa yang baik dan

(5)

14

benar, maka seseorang dapat mempengaruhi pikiran dan tindakan orang lain sesuai dengan apa yang diharapkan.

3. Ragam Bahasa

Kridalaksana (2011: 206) berpendapat bahwa ragam bahasa ialah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan. Ragam bahasa menurut Chaer (2007: 56) adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu. Untuk situasi formal digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar, untuk situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam nonstandar. Dari sarana yang digunakan dapat dibedakan adanya ragam lisan dan ragam tulisan (Chaer, 2007: 56). Berdasarkan pendapat di atas ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, serta medium pembicaraan.

Salah satu jenis ragam bahasa yakni ragam bahasa jurnalistik. Ragam bahasa jurnalistik merupakan salah satu dari variasi bahasa. Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media massa untuk menyampaikan informasi. Bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif. Bahasa jurnalistik adalah sebuah laras bahasa. Bahasa yang digunakan oleh kelompok profesi atau kegiatan dalam bidang tertentu. Oleh karena itu ada laras bahasa sastra, ekonomi, keagamaan. Masing-masing laras bahasa itu memiliki kosakata, struktur, dan lafal yang berbeda. Bahasa jurnalistik terletak di antara ragam baku resmi dan santai (Sarwoko, 2007: 3-4).

(6)

15

C. Wacana

1. Pengertian Wacana

Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya „berkata‟, „berucap‟. Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu „melakukan tindakan ujar‟. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna „membendakan‟ (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai „perkataan‟ atau „tuturan‟ (Douglas dalam Mulyana, 2005:3).

Wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah (Depdiknas, 2007: 1265). Di samping itu, wacana juga berarti satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Menurut Tarigan (dalam Mulyana, 2005: 6) wacana adalah satuan bahasa paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan keherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan dan tertulis. Jadi, suatu kalimat atau rangkaian kalimat, misalnya, dapat disebut sebagai wacana atau bukan wacana tergantung pada keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupinya.

Mulyana (2005: 1) menyimpulkan wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Alwi, dkk (2003: 41) menjelaskan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.

(7)

16

Sobur (2009: 11) mengatakan bahwa wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa.

Dalam pengertian yang lebih sederhana, wacana berarti cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas (Lull dalam Sobur, 2009: 11). Kleden menyebut wacana sebagai “ucapan dalam mana seorang pembicara menyampaikan sesuatu tentang sesuatu kepada pendengar”. Wacana selalu mengandaikan penulis, apa yang dibicarakan, dan pembaca. Bahasa merupakan mediasi dalam proses ini. Wacana itu sendiri, seperti dikatakan Tarigan (dalam Sobur, 2009:11), mencakup keempat tujuan penggunaan bahasa, yaitu ekspresi diri sendiri, eksposisi, sastra, dan persuasi. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian wacana di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan rentetan kalimat yang terjalin secara teratur dan berkaitan, satuan bahasa terlengkap yang memiliki unsur kohesi dan koherensi sehingga menciptakan makna yang jelas dan dibuat secara terbuka sehingga menimbulkan pemahaman tertentu pada pendengar atau pembaca.

2. Unsur-unsur Internal Wacana

Unsur internal suatu wacana terdiri atas satuan kata atau kalimat. Yang dimaksud dengan satuan kata adalah kata yang berposisi sebagai kalimat, atau yang juga dikenal dengan sebutan “kalimat satu kata”. Untuk menjadi satuan wacana besar, satuan kata atau kalimat tersebut akan bertalian, dan bergabung membentuk wacana.

(8)

17

Unsur-unsur internal wacana menurut Mulyana (2005: 7) di antaranya ialah kata dan kalimat, dan teks dan koteks. Unsur-unsur tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

a. Kata dan Kalimat

Kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian, atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti (Chaer, 2007: 162). Sebagaimana dipahami selama ini, kalimat selalu diandaikan sebagai susunan yang terdiri dari beberapa kata yang bergabung menjadi satu pengertian dengan intonasi sempurna (final). Pada kenyataannya kalimat dapat juga terdiri dari satu kata. “Kalimat satu kata” adalah bentuk ungkapan atau tuturan terpendek yang harus memiliki esensi sebagai kalimat (Mulyana, 2005:8). Dalam konteks wacana, kata atau kalimat yang berposisi sebagai wacana disyaratkan memiliki kelengkapan makna, informasi, dan konteks tuturan yang jelas dan mendukung. Contoh (5) membuktikan bahwa orang cenderung bertanya jawab dengan kalimat pendek satu kata dalam suatu dialog atau percakapannya,yaitu:

(3) O1 : “Kuliah?” O2 : “Enggak.” (4) Dia memang pintar.

Berdasarkan kaidah sintaksis dan semantik, kalimat (4) merupakan kalimat yang benar dan jelas maknanya. Namun, berdasarkan pandangan kewacanaan, masih banyak persoalan yang perlu diungkapkan, misalnya siapakah yang dimaksud dengan dia, siapa pula yang mengucapkan kalimat itu, dalam konteks apa kalimat itu muncul, dan sebagainya. Munculnya beberapa pertanyaan tersebut jelas menunjukkan bahwa kalimat di atas belum menunjukkan adanya kelengkapan makna dan informasi. Hal itu

(9)

18

disebabkan kalimat itu muncul (diucapkan) karena ada kondisi yang melatarbelakanginya. Jadi, kalimat (4) masih memerlukan konteks kalimatnya agar bisa dipahami.

b. Teks dan Koteks

Teks adalah esensi wujud bahasa. Dengan kata lain, teks direalisasikan (diucapkan) dalam bentuk wacana (Mulyana, 2005: 9). Berkaitan dengan teks, didapati pula istilah koteks (co-text). Koteks yaitu teks yang bersifat sejajar, koordinatif, dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, teks yang satu memiliki hubungan dengan teks lainnya. Teks lain tersebut bisa berada di depan (mendahului) atau di belakang (mengiringi). Contoh:

(5) Terima kasih.

(6) Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.

Wacana (5) adalah tulisan yang digantungkan di lorong akhir suatu jalan kampung. Wacana tersebut jelas merupakan wacana potongan. Masih ada teks atau wacana lain yang sebelumnya tergantung di lorong masuk jalan kampung tersebut, yaitu wacana (6). Wacana tersebut merupakan peringatan bagi orang yang akan melewati lorong kampung jalan itu. Apabila masyarakat yang melewati lorong telah menaatinya, misalnya dengan memperlambat laju kendaraannya, maka wacana “terima kasih” adalah suatu ucapan yang diberikan masyarakat kepada para pengguna jalan tersebut. Salah satu teks itu berkedudukan sebagai koteks (teks penjelas).

3. Unsur-unsur Eksternal Wacana

Unsur eksternal (unsur luar) wacana menurut Mulyana (2005: 11) adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, namun tidak nampak secara eksplisit. Sesuatu

(10)

19

itu berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal ini terdiri atas implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks. Analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut dapat membantu pemahaman tentang suatu wacana. Unsur-unsur tersebut memiliki penjabaran sebagai berikut.

a. Implikatur

Menurut Grice (dalam Mulyana, 2005:11) implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu „yang berbeda‟ tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan perkataan lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi. Dalam lingkup analisis wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat atau menjadi bahan pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara “yang diucapkan” dengan “yang diimplikasikan”. Jadi, suatu dialog yang mengandung implikatur akan selalu melibatkan penafsiran yang tidak langsung. Dalam komunikasi verbal, implikatur biasanya sudah diketahui oleh para pembicara, dan karenanya tidak perlu diungkapkan secara eksplisit. Dengan berbagai alasan, implikatur disembunyikan agar hal yang diimplikasikan tidak nampak terlalu mencolok. Di dalam pertuturan yang sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling dimengerti (Rahardi, 2005: 42-43).

(11)

20

Tuturan (7) tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa sang ayah sudah datang dari tempat tertentu. Si penutur bermaksud memperingatkan mitra tutur bahwa sang ayah yang bersikap keras dan sangat kejam itu akan melakukan sesuatu terhadapnya apabila ia masih terus menangis. Dengan perkataan lain, tuturan itu mengimplikasikan bahwa sang ayah adalah orang yang keras dan sangat kejam dan sering marah-marah pada anaknya yang sedang menangis. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak mutlak. Maksud tuturan harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa implikatur ialah suatu kajian pragmatik yang di dalamnya membahas mengenai maksud yang tidak eksplisit dalam suatu tuturan penutur (penulis) terhadap mitra tutur (pembaca). Di antara tuturan dan maksud yang tersirat harus ada kesamaan pengetahuan yang melatarbelakangi apa yang sedang dipertuturkan. Dengan begitu, maksud yang disampaikan mampu dimengerti secara tepat oleh mitra tutur atau pembaca. Jika tidak ada kesamaan konteks yang melatarbelakangi, peristiwa pertuturan tidak akan berjalan lancar. Penulis dan pembaca tidak akan memiliki kesepakatan bersama.

1) Jenis Implikatur

Grice (dalam Mulyana, 2005: 12) menyatakan bahwa ada dua macam implikatur. Macam-macam implikatur tersebut yaitu implikatur konvensional (coventional implicature), dan implikatur percakapan (conservation implicature). Kedua implikatur ini memiliki perbedaan masing-masing. Walaupun memiliki perbedaan, namun kedua implikatur ini dapat ditemukan di dalam peristiwa

(12)

21

pertuturan. Untuk lebih jelasnya, implikatur konvensional dan implikatur percakapan pembahasannya sebagai berikut.

a) Implikatur Konvensional

Implikatur konvensional ialah pengertian yang bersifat umum dan konvensional. Semua orang umumnya sudah mengetahui (mafhum) tentang maksud atau pengertian sesuatu hal tertentu. Menurut Yule (2006: 78) implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan, dan tidak bergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Seperti halnya presupposisi leksikal, implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata itu digunakan. Contoh:

(8) Lestari putri asli Banyumas, makanya ia sopan.

Tuturan (8) menyatakan adanya implikasi konvensional yaitu adanya hubungan antara orang banyumas dengan sopan. Selama ini masyarakat Banyumas dikenal sopan. Implikatur konvensional bersifat nontemporer. Artinya, makna atau pengertian tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem, yang terdapat dalam suatu bentuk ujaran, dapat dikenali implikasinya karena maknanya “yang tahan lama” dan sudah diketahui secara umum.

b) Implikatur Percakapan

Implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pemahaman terhadap hal “yang dimaksud” sangat tergantung pada konteks terjadinya percakapan. Implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu tindak percakapan

(13)

22

(speech act). Oleh karenanya, implikatur tersebut bersifat temporer (terjadi saat berlangsung tindak percakapan) dan nonkonvensional (sesuatu yang diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan) (Levinson dalam Mulyana, 2005: 13). Jika percakapan yang sama diutarakan dengan konteks yang berbeda, maka maksud tuturannya dapat berbeda dengan sebelumnya.

Dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak mengutarakan maksudnya secara langsung. Hal yang hendak diucapkan justru “disembunyikan”, diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali berbeda dengan maksud ucapannnya. Perhatikan bentuk-bentuk percakapan di bawah ini.

(9) Ibu : “Ani, adikmu belum makan.” Ani : “Ya, Bu. Lauknya apa?”

Percakapan antara Ibu dan Ani pada contoh (9) mengandung implikatur yang bermakna „perintah menyuapi‟. Dalam tuturan itu tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan ibu hanyalah pemberitahuan bahwa „adik belum makan‟. Namun karena Ani dapat memahami implikatur yang disampaikan ibunya, ia manjawab dan siap untuk melaksanakan perintah ibunya tersebut. Jawaban dari Ani tersebut menunjukan bahwa Ani memahami perintah ibunya untuk menyuapi adiknya. Dari keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa implikatur percakapan merupakan ujaran yang memiliki makna atau pengertian yang lebih bervariasi karena pemahaman terhadap hal yang dimaksudkan dalam suatu tuturan sangat tergantung pada konteks terjadinya percakapan. Maksud atau makna yang terkandung di dalam implikatur percakapan atau implikatur nonkonvensional dapat dipahami jika kita melihat konteks yang melingkupinya.

(14)

23

b. Praanggapan

Semua pernyataan memiliki praanggapan, yaitu rujukan atau referensi dasar. Rujukan inilah yang menyebabkan suatu ungkapan wacana dapat diterima atau dimengerti oleh lawan bicara, yang pada gilirannya komunikasi tersebut akan dapat berlangsung dengan lancar. “Rujukan” itulah yang dimaksud dengan “praanggapan”, yaitu anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pendengar/pembaca. Praanggapan membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat) untuk mengungkapkan makna atau pesan yang ingin dimaksudkan. Jadi, semua pernyataan atau ungkapan kalimat, baik yang bersifat positif maupun negatif, tetap mengandung anggapan dasar sebagai isi dan substansi dari kalimat tersebut.

c. Referensi

Referensi adalah hubungan antara kata dengan benda (orang, tumbuhan, sesuatu lainnya) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara/penulis. Jadi, yang menentukan referensi suatu tuturan adalah pihak pembicara sendiri, sebab hanya pihak pembicara yang paling mengetahui hal yang diujarkan dengan hal yang dirujuk oleh ujarannya. Pendengar atau pembaca hanya dapat menerka hal yang dimaksud (direferensikan) oleh pembicara dalam ujarannya itu. Terkaan itu bersifat relatif, bisa benar, bisa pula salah (Lubis, 1993:29). Dengan perkataan lain, tugas pendengar atau pembaca dalam memahami ujaran adalah mengidentifikasikan sesuatu atau seseorang yang ditunjuk atau dimaksud dalam ujaran tersebut. Kemampuan mengidentifikasi atau menerka rujukan itu seringkali berbeda dengan yang dimaksud

(15)

24

pembicara. Perbedaan terkaan itu disebabkan oleh perbedaan representasi atau pemahaman dunia antara pembicara dengan pendengar (Soeseno dalam Mulyana, 2005:16). Oleh karena itu, dalam memahami atau menganalisis wacana referensial, diperlukan pengetahuan dan pengalaman tentang dunia (knowledge of world), setidaknya pengetahuan tentang “dunia” atau isi yang terdapat dalam wacana tersebut.

Dilihat dari acuannya, referensi dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (1) referensi exophora (eksopora, situasional), dan (2) referensi endophora (endopora, tekstual). Referensi eksofora adalah penunjukan atau interpretasi terhadap kata yang relasinya terletak dan tergantung pada konteks situasional. Bila interpretasi itu terletak di dalam teks itu sendiri, maka relasi penunjukan itu dinamakan referensi endofora. Contoh:

(10) Itu rumah.

Kata “itu” menunjuk pada “sesuatu”, yaitu rumah. Rumah yang dimaksud adalah “tempatnya”, tidak terdapat dalam teks, melainkan berada di luar teks. Referensi eksofora itu mengkaitkan langsung antara teks dengan sesuatu yang ditunjuk di luar teks tersebut. Referensi endopora dapat dipilah lagi menjadi dua jenis yaitu referensi anafora dan referensi katafora (Halliday dalam Lubis, 1993:30). Referensi anafora ialah referensi yang kata rujukannya berada di depan atau sebelumnya. Referensi katafora ialah referensi yang kata rujukannya berada di belakang atau sesudahnya.

d. Inferensi

Inferensi atau inference secara leksikal berarti kesimpulan (Echols dalam Mulyana, 2005:19). Dalam bidang wacana, istilah itu berarti sebagai proses

(16)

25

interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Dengan demikian, si pendengar (penulis) dalam percakapan menduga kemauan si pembicara, dengan itu pula si pendengar (pembaca) memberikan responnya (Lubis, 2011: 70). Pembaca harus dapat mengambil pengertian, pemahaman, atau penafsiran suatu makna tertentu. Dengan kata lain, pembaca harus mampu mengambil kesimpulan sendiri, meskipun makna itu tidak terungkap secara eksplisit. Inferensi sangat diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif terhadap alur percakapan yang terkait, akan tetapi kurang jelas hubungannya. Contoh:

(11) O1 : “Wah, sudah masuk kota. Kita cari gudeg dulu.” O2 : “Langsung ke Parangtritis saja!”

Kota yang dimaksud dalam percakapan tersebut adalah Yogyakarta. Penjelasan itu dipastikan benar. Hal tersebut dikarenakan secara kultural Yogyakarta dikenal sebagai kota gudeg. Lebih jelas lagi, jawaban „Andi‟ yang menekankan lokasi wisata Parangtritis, yang memang berada di Yogyakarta. Proses inferensi inilah yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas.

e. Konteks Wacana

Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikasi, interpretatif, dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa ini selalu mengandaikan terjadi secara dialogis, perlu adanya kemampuan menginterpretasikan, dan memahami konteks terjadinya wacana. Pemahaman terhadap konteks wacana, diperlukan dalam proses menganalisis wacana secara utuh, sedangkan konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan

(17)

26

tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Pada hakikatnya, wacana adalah wujud nyata komunikasi verbal manusia. Oleh karena itu, wacana selalu mengandaikan adanya orang pertama atau biasa disebut pembicara, penulis, penyapa, atau penutur dan orang kedua sebagai pasangan bicara atau pendengar, pembaca, petutur.

Menurut Syafi‟ie (dalam Sobur, 2009: 57) pada dasarnya, konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam. Keempat macam tersebut antara lain yaitu: (1) konteks fisik (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu, dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu; (2) kontek epistemis (epistemic context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengar; (3) konteks linguistik (linguistics context) yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi; dan (4) konteks sosial (social context) yaitu relasi sosial dan latar seting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar. Keempat konteks tersebut jelas mempengaruhi kelancaran komunikasi. Hymes (dalam Lubis,2011: 87) mencatat tentang ciri-ciri konteks yang relevan. Ciri-ciri konteks yang relevan tersebut di antaranya (1) pembicara, (2) pendengar, (3) topik pembicaraan, (4) setting, (5) channel, (6) code, (7) massage from, (8) event. Masing-masing ciri-ciri konteks tersebut memiliki penjelasannya. Berikut ini penjelasan lebih lanjut.

(18)

27

1) Pembicara

Pembicara merupakan orang yang menyampaikan maksud tuturan. Mengetahui si pembicara dalam situasi akan memudahkan untuk menginterpretasikan pembicaraannya. Makna wacana tertentu akan mempunyai makna yang berbeda jika dituturkan oleh penutur yang berbeda latar belakang, minat, dan perhatiannya. Selain pembicara, penulis juga akan mempengaruhi makna yang dituturkan. Misalnya ada seseorang yang mengatakan:

(12) Operasi harus dilaksanakan.

Apabila kalimat tersebut dituturkan oleh seorang dokter tentu kita akan paham bahwa yang dimaksudkannya dengan operasi itu adalah operasi terhadap manusia atau hewan. Tetapi bila diucapkan oleh seorang ahli ekonomi, maka operasi itu bukan lagi operasi terhadap manusia ataupun hewan, melainkan operasi dalam bidang ekonomi seperti mendrop ke pasar beras dari pemerintah untuk menstabilkan harga. Sebuah kalimat yang begitu pendek mempunyai inferensi yang begitu banyak berdasarkan pembicaraannya. Lain pembicaraan akan lain pula artinya. Jadi, sudah jelas betapa pentingnya mengetahui si pembicara demi menafsirkan pembicaraannya.

2) Pendengar

Pendengar merupakan orang yang diajak berbicara dan menafsirkan pesan dari pembicara. Mengetahui siapa pendengar dalam sebuah pembicaraan sangatlah penting. Pendengar juga perlu diperhatikan latar belakang (sosial, budaya, dan lain-lain). Kepentingan mengetahui siapa pendengar ujaran itu ditujukan akan memperjelas makna ujaran itu. Setiap ujaran akan memiliki makna berbeda sesuai dengan penutur yang berbeda latar belakang. Selain itu, berbeda penerima ujaran akan berbeda pula tafsirannya apa yang didengarnya itu. Contoh:

(19)

28

(13) Luruskan dan siapkan. (14) Kulitmu halus sekali!

Kalimat (13) akan berbeda maknanya jika pendengarnya berbeda. Jika kita mengetahui bahwa kalimat (13) itu ditujukan kepada siswa-siswa, maka kita akan tahu bahwa perintah itu adalah dalam hal baris-berbaris. Kalimat (14) bila diucapkan kepada anak perempuan berumur lima tahun atau perempuan muda berumur dua puluh tahun atau seorang nenek yang berumur tujuh puluh tahun, akan mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Kepada anak berumur lima tahun atau gadis dua puluh tahun, ujaran tersebut ditafsirkan sebagai pujian. Berbeda dengan hal itu, jika pendengarnya nenek berumur tujuh puluh tahun maka akan ditafsirkan sebagai penghinaan.

3) Topik Pembicaraan

Pengetahuan tentang topik pembicaraan akan memudahkan seseorang pendengar atau pembaca untuk memahami pembicaraan atau tulisan. Contoh kata “banting” mempunyai makna yang berbeda dalam bidang ekonomi dan bidang olahraga. Jawaban dari kata tersebut tentu berdasarkan bidangnya atau topik pembicaraan. Kalau orang membicarakan tentang ekonomi tentu artinya adalah memurahkan harga, dan kalau artinya orang sedang membicarakan judo tentulah baanting berarti mengangkat seseorang dan menjatuhkannya dengan cepat. Jadi, partisipan tutur akan menangkap dan memahami makna wacana berdasarkan topik yang sedang dibicarakan.

4) Setting (Waktu, Tempat)

Setting adalah waktu dan tempat pembicaraan dilakukan. Termasuk juga hubungan antara pembicara dan pendengar, gerak-gerik tubuhnya, roman muka, dan

(20)

29

lainnya. Hal tersebut akan mempengaruhi pesan atau maksud yang disampaikan. Dengan mengetahui mukanya merah karena marah, atau pucat karena takut, waktunya ketika jauh malam, atau pagi benar akan menjadikan seseorang akan memahami makna pembicaraan. Dengan kata lain, waktu dan tempat sangat mempengaruhi pemahaman. Contoh:

(15) Ini kan sudah jam satu. Masak begitu saja tidak siap.

Sebentar lagi lonceng berbunyi. Apa kita harus menunggu di sini?

Tuturan tersebut tidak jelas maksudnya jika tidak mengetahui settingnya. Setting di sini sangat diperlukan untuk mengetahui apa yang sedang dibicarakan. Kalau kita ketahui settingnya, seperti dimuka kelas, jam telah menunjukkan pukul 13.00 dan yang berbicara itu marah, hubungannya antara guru dan murid, tentulah dapat kita terka bahwa yang dibicarakan itu soal kerja siswa-siswa yang diberi waktu cukup tapi tidak juga selesai. Hal itu akan berbeda apabila yang berbicara ialah seorang mahasiswa dengan temannya pada saat akan sholat berjamaah. Tuturan (15) dapat dipahami sebagai bentuk keluhan terhadap temannya yang terlalu lambat, sedangkan si mahasiswa sudah menunggunya dari tadi.

5) Channel (Penghubung)

Seorang pembicara dalam memberikan informasi kepada lawan pembicara dapat menggunakan berbagai cara, dapat dengan lisan, tertulis, telegram, dan lainnya. Inilah yang dinamakan channel. Penghubung adalah alat yang dipakai untuk menyampaikan topik tutur. Untuk menyampaikan informasi, seoran penutur dapat mempergunakan penghubung dengan bahasa lisan maupun tulis lengkap dengan paralinguistiknya. Ujaran lisan dapat dibedakan berdasarkan sifat hubungan partisipan tutur, yaitu langsung dan tidak langsung. Hubungan langsung terjadi pada dialog tanpa perantara sedangkan tidak langsung terjadi dengan perantara (misalnya telepon, teleks,

(21)

30

dan radiogram). Di samping itu, ujaran lisan dapat pula dibedakan menjadi ragam resmi sehingga terdapat ragam lisan resmi di satu pihak dan ragam lisan tidak resmi di pihak lain. Ujaran lisan merupakan sarana komunikasi dengan menggunakan tulisan sebagai perantara. Jenis sarana seperti itu mungkin berwujud surat, pengumuman, edaran, undangan, telegram, dan sebagainya (Hymes dalam Rani, 2005:193). Jadi, pemilihan penghubung itu sangat bergantunga pada beberapa faktor, yaitu kepada siapa ia berbicara, dalam situasi bagaimana (dekat atau jauh). Kalau dekat tentu dapat secara lisan, tetapi kalau jauh tentulah harus dengan tulisan atau telegram.

6) Code (Dialek)

Kalau penghubungnya lisan, kodenya dapat dipilih antara salah satu dialek bahasa yang ada. Kodenya bisa juga dengan memakai salah satu register yang paling tepat untuk hal itu. Pemilihan kode bahasa yang tidak tepat sangat berpengaruh pada efektivitas komunikasi. Kalau efektivitas komunikasi terganggu, kemungkinan timbul kesalahpahaman komunikasi. Misalnya, jika ragam bahasa baku dipakai untuk tawar-menawar di pasar, maka akan kurang tepat. Begitu juga dengan ragam nonbaku dipakai untuk berkhotbah di masjid, maka akan terasa aneh.

7) Massage From (Debat, Diskusi, Seremoni Agama)

Pesan yang hendak disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan bersifat fundamental dan penting. Banyak pesan yang tidak sampai pada pendengar karena bentuk pesannya tidak sesuai dengan si pendengar dan situasinya. Kalau pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai lapisan maka haruslah dipilih bentuk pesan yang bersifat umum, sebaliknya jika pendengarnya kelompok yang bersifat khusus atau hanya dari satu lapisan masyarakat tertentu bentuk pesan haruslah juga

(22)

31

bersifat khusus. Isi dan bentuk pesan harus sesuai karena apabila keduanya tidak sesuai maka pesan atau informasi yang disampaikan akan susah dicerna pendengar. Misalnya dalam menyampaikan informasi tentang ilmu pasti, misalnya, haruslah berbeda dengan menyampaikan uraian tentang ilmu sejarah atau ilmu bahasa.

8) Event (Kejadian)

Peristiwa tutur adalah peristiwa tutur tertentu yang mewadahi kegiatan bertutur, misalnya pidato, percakapan, seminar, dan sebagainya. Peristiwa tutur tentunya bermacam-macam pula, ditentukan oleh tujuan pembicaraan. Setiap peristiwa akan berbeda cara penuturnya karena setiap peristiwa menghendaki tutur yang tertentu. Peristiwa tutur seperti wawancara akan berbeda dengan peristiwa tutur ceramah atau akan berbeda lagi dengan peristiwa tutur di pengadilan antara hakim dengan terdakwa atau saksi. Hymes (dalam Rani, 2005:195) menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat hubungannya dengan latar peristiwa, dalam pengertian suatu peristiwa tutur tertentu akan terjadi dalam konteks situasi tertentu. Sesuai dengan konteks situasinya, suatu peristiwa mungkin akan lebih tepat diantarkan dengan bahasa yang satu sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih cocok diantarkan dengan bahasa yang lain. Peristiwa tutur tersebut dapat menentukan bentuk dan isi wacana yang (akan) dihasilkan. Wacana yang dipersiapkan untuk pidato akan berbeda bentuk dan isinya akan berbeda dengan wacana dalam konferensi.

4. Wacana Kolom “Pojok Mang Usil” dalam Kompas

Koran adalah media komunikasi yang berisi informasi aktual dari berbagai aspek kehidupan. Aspek kehidupan yang dimaksud misalnya politik, ekonomi,

(23)

32

kriminal, seni, olahraga, luar negeri, dalam negeri, dan sebagainya. Koran lebih menitikberatkan pada penyebaran informasi (fakta maupun peristiwa) agar diketahui publik. Koran pada umumnya terbit harian, sekalipun ada juga koran mingguan. Dari segi ruang lingkupnya, ada surat kabar lokal atau surat kabar nasional (Yunus, 2010:29).

Salah satu koran yang ada di Indonesia adalah koran Kompas. Koran Kompas adalah nama surat kabar Indonesia yang berkantor pusat di Jakarta. Koran Kompas diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara yang merupakan bagian dari Kelompok Kompas Gramedia (KG). Untuk memudahkan akses bagi pembaca di seluruh dunia, Kompas juga terbit dalam bentuk daring bernama KOMPAS.Com yang dikelola oleh PT Kompas Cyber Media. KOMPAS.Com berisi berita-berita yang diperbarui secara aktual dan juga memiliki sub kanal koran Kompas dalam bentuk digital. Koran Kompas adalah satu di antara dua koran di Indonesia yang diaudit oleh Audit Bureau of Circulations (ABC). Koran lainnya yang juga diaudit adalah Warta Kota.

Setiap koran memiliki kolom khusus yang menjadi ciri bagi media massa masing-masing, misalnya “Pojok Mang Usil” Kompas. Kolom khusus ini biasanya berisi komentar anonim atas perkembangan terakhir atau yang menyangkut situasi politik dan ekonomi. Isinya biasanya berupa kiasan, sindiran, sarkasme, kejutan, olok-olok yang terkadang terkesan agak nakal. Pada umumnya, kolom khusus terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berupa pernyataan (biasanya dari pejabat, birokrat, tokoh, dan orang terkenal lainnya). Bagian kedua merupakan tanggapan dari redaksi media massa yang bersangkutan (Yustina, dkk, 2010: 1).

(24)

33

D. Prinsip Percakapan

Allan (dalam Rahardi, 2005: 52) mengungkapkan bahwa bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial. Seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lain, kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila para peserta pertuturan itu semuanya terlibat aktif di dalam proses bertutur tersebut. Apabila terdapat satu atau lebih pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu tidak dapat berjalan lancar. Agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar, mereka haruslah dapat saling bekerja sama. Ia juga berpendapat bahwa bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur itu, salah satunya, dapat dilakukan dengan berperilaku sopan kepada pihak lain. Berperilaku sopan itu dapat dilakukan dengan cara memperhitungkan “muka” si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.

1. Prinsip Kerja Sama

Agar pesan dapat sampai dengan baik pada peserta tutur komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan prinsip kejelasan, prinsip kepadatan, dan prinsip kelangsungan. Prinsip-prinsip itu secara lengkap dituangkan di dalam prinsip kerja sama Grice. Prinsip kerja sama Grice itu seluruhnya meliputi empat maksim. Maksim-maksim tersebut yakni (1) Maksim-maksim kuantitas (maxim of quantity), (2) Maksim-maksim kualitas (maxim of quality), (3) maksim relevansi (maxim of relevance), (4) maksim pelaksanaan (maxim of manner). Berikut penjelasan mengenai prinsip kerja sama Grice.

(25)

34

a. Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)

Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Tuturan (16) dan tuturan (17) berikut dapat dipertimbangkan lebih lanjut untuk memperjelas pernyataan ini.

(16) Lihat itu Tofik Hidayat mau bertanding lagi!

(17) Lihat itu Tofik Hidayat yang mantan pemain bulu tangkis itu mau bertanding lagi!

Tuturan (16) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan tersebut sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti yang ditunjukan pada tuturan (17) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan (17) di atas tidak mendukung atau melanggar prinsip kerja sama Grice.

Dalam masyarakat dan budaya Indonesia, khususnya di dalam kultur masyarakat Jawa, ada indikasi bahwa semakin panjang sebuah tuturan akan semakin sopan tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan semakin tidak sopan tuturan itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk menunjukkan

(26)

35

maksud kesantunan tuturan dalam bahasa Indonesia, dalam hal tertentu penutur harus melanggar dan tidak menepati prinsip kerja sama Grice.

b. Maksim Kualitas (Maxim of Quality)

Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi. Tuturan (18) dan tuturan (19) berikut dapat memperjelas pernyataan ini.

(18) Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilai! (19) Jangan menyontek, nanti nilainya E!

Tuturan (19) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (18) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan seseorang. Merupakan suatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilakan mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian. Namun, tuturan (18) jelas lebih sopan dan halus daripada tuturan (19) yang cenderung lebih kasar. Dengan alasan itulah penutur melanggar maksim kualitas.

(27)

36

c. Maksim Relevansi (Maxim of Relevance)

Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Hal ini bisa disebabkan karena penutur ingin menunjukkan kesantunan tuturan, ketentuan yang ada pada maksim itu sering kali tidak dipenuhi. Maksim relevansi tidak selalu harus dipenuhi. Berkenaan dengan hal ini, tuturan (20) antara seorang Kaprodi dengan dosen lainnya pada contoh berikut dapat dipertimbangkan.

(20) Kaprodi : “Bawa kesini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!” Dosen : “Maaf Pak, kasihan sekali mahasiswa yang sedang menunggu

itu.”

Di dalam contoh percakapan itu, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang dosen tidak memiliki relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Kaprodi. Tuturan (20) di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip kerja sama tidak selalu harus dipenuhi dalam pertuturan sebenarnya. Hal seperti itu dapat dilakukan apabila tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud tertentu yang khusus sifatnya. Maksim relevansi dapat dilanggar karena alasan kesantunan dalam pertuturan. Penutur melanggarnya agar terlihat lebih santun dalam pertuturannya.

d. Maksim Pelaksanaan (Maxim of Manner)

Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan

(28)

hal-37

hal itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Hal ini bisa disebabkan karena penutur ingin menunjukkan kesantunan tuturan, ketentuan yang ada pada maksim itu sering kali tidak dipenuhi. Maksim pelaksanaan tidak selalu harus dipenuhi. Berkenaan dengan itu, tuturan (21) pada contoh berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi.

(21) A : “Ayo, cepat dibuka!”

B : “Sebentar dulu, masih dingin.”

Cuplikan tuturan (21) di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar kejelasan rendah, kekaburannya menjadi sangat tinggi. Tuturan si A sama sekali tidak memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur. Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar kekaburan sangat tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Dapat dikatakan demikian, karena kata itu dimungkinkan untuk ditafsirkan bermacam-macam. Demikian pula tuturan yang disampaikan B mengandung kekaburan sangat tinggi. Kata dingin pada tuturan itu dapat mendatangkan banyak kemungkinan persepsi penafsiran karena di dalam tuturan itu tidak jelas apa sebenarnya yang masihg dingin itu. Tuturan-tuturan demikian itu dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan dalam prinsip kerja sama Grice.

2. Prinsip Kesantunan

Selain prinsip kerja sama, diperlukan pula prinsip kesopanan dalam suatu komunikasi. Prinsip kesopanan atau prinsip kesantunan mewajibkan setiap penutur berlaku santun kepada orang lain (Rohmadi, 2011: 132). Sama halnya dengan prinsip kerja sama, prinsip kesantunan juga tidak selalu harus dipenuhi. Prinsip kesantunan memiliki sejumlah maksim. Prinsip kesantunan Leech dalam Rahardi (2005: 59-66)

(29)

38

antara lain ialah maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, dan maksim kesimpatian.

a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila dalam bertutur orang berpegang pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur. Demikian pula perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak menguntungkan pihak lain akan dapat diminimalkan apabila maksim kebijaksanaan ini dipegang dan dilaksanakan dalam bertutur. Menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. Contoh:

(22) Pemilik rumah: “Ayo, dimakan hidangannya! Anggap saja rumah sendiri!”

Tamu : “Wah, menarik sekali hidangannya.”

Pemaksimalan keuntungan bagi mitra tutur ditunjukan oleh si pemilik rumah. Tuturan Ayo, dimakan hidangannya! Anggap saja rumah sendiri! disampaikan kepada mitra tutur sekalipun hanya sekadar basa-basi. Walaupun basa-basi seperti itu, sang tamu tidak akan serta-merta menganggap rumah si pemilik rumah sebagai rumahnya sendiri. Tuturan si pemilik rumah disampaikan dengan maksud tertentu. Maksud

(30)

39

tuturan itu ialah agar sang tamu merasa lebih leluasa dalam memakan hidangan dari pemilik rumah.

b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati mengharapkan para peserta pertuturan dapat saling menghormati. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Dengan melaksanakan maksim kedermawanan, penutur akan dianggap memiliki kesantunan. Salah satu contoh wujud dari maksim ini adalah membantu orang lain. Orang yang tidak suka membantu orang lain dan tidak suka bekerja sama akan dikatakan tidak sopan. Tuturan (23) pada contoh berikut dapat memperjelas pernyataan ini.

(23) Kakak : “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak, kok yang kotor.”

Adik : “Tidak usah, Kak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok.” Dari tuturan yang disampaikan si Kakak di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan untuk mencucikan pakaian kotornya si adik. Kerja sama semacam ini dapat dianggap sebagai realisasi maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati dalam hidup bermasyarakat. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerja sama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman. Tuturan si Kakak tadi menunjukan kesantunan dalam pertuturan. Hal itu menunjukan bahwa si Kakak melaksanakan maksim kedermawanan.

(31)

40

c. Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)

Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Maksim ini mengharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Sering kali kita dapati seseorang yang suka mengejek orang lain. Orang yang suka mengejek orang lain dalam kegiatan bertutur akan dianggap tidak sopan. Dianggap tidak sopan karena tindakan mengejek merupakan wujud pelanggaran terhadap maksim penghargaan. Tuturan (24) berikut ini menjadi contoh maksim penghargaan.

(24) Siswa : “Pak, saya sudah mengumpulkan tugas dari bapak tadi pagi.” Guru : “Iya, tadi saya sudah mengkoreksinya dan hasilnya bagus.” Tuturan siswa (24) ditanggapi dengan baik oleh gurunya. Bahkan tanggapan guru disertai dengan pujian atau penghargaan. Penghargaan tersebut ditunjukan pada tuturan hasilnya bagus. Dengan demikian, tanggapan guru dianggap berperilaku santun terhadap siswa karena memenuhi maksim penghargaan. Namun jika tanggapan guru tidak menghargai dan bahkan memarahi siswa maka dapat dikatakan guru tidak memiliki perilaku santun.

d. Maksim Kesederhanaan atau Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

Dengan maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong apabila dalam kegiatan pertuturan selalu memuji diri sendiri. Dalam budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati menjadi alat ukur kesantunan seseorang. Orang bisa dikatakan santun apabila

(32)

41

memiliki sikap kesederhanaan dan kerendahan hati. Dengan maksim ini orang akan merendahkan hati dengan menjelekan dirinya sendiri.

e. Maksim Permufakatan atau Maksim Kecocokan (Agreement Maxim)

Maksim permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan. Maksim ini menekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, mereka dapat dikatakan bersikap santun. Umur, jabatan, dan status sosial penutur dan mitra tutur menjadi penentu untuk melakukan maksim ini. Biasanya para peserta tutur sudah memahami satu sama lain.

f. Maksim Kesimpatisan (Sympath Maxim)

Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tutur Indonesia, sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap orang lain ini di dalam komunikasi kesehariannya. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat. Kesimpatisan terhadap pihak lain sering ditunjukan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya.

(33)

42 E. Kerangka Berpikir

KAJIAN IMPLIKATUR PADA WACANA KOLOM POJOK “MANG USIL” DALAM KORAN KOMPAS EDISI BULAN AGUSTUS 2014

Wacana

Bahasa Wacana Kolom Pojok

Fungsi Bahasa Konteks Wacana Implikatur Konvensional Implikatur Percakapan Prinsip Percakapan Ragam Bahasa Inferensi Implikatur

Kajian Implikatur Grice (dalam Mulyana, 2005: 11) Praanggapan

Prinsip Kerja Sama

Prinsip Kesantunan Unsur-Unsur Internal Wacana Unsur-Unsur Eksternal Wacana Referensi

Referensi

Dokumen terkait

Dalam industry pembangkitan sistem pendinginan melibatkan 3 komponen penting yaitu kondensor yang bekerja secara langsung dengan fluida kerja, lalu cooling tower sebagai

Selama sakit klien merasa tidak nyaman karena klien sering merasakan rasa nyeri pada kaki kanannya Klien juga mengatakan kaki kanannya terasa panas dan kesemutan.. P :

Intervensi Integrated Neuromuscular Inhibition Technique (INIT) dan Infrared Lebih Baik Dalam Menurunkan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius

NPL pada penelitian ini menunjukan arah positif dikarenakan jumlah NPL pada BPR di Provinsi Bali masih pada batas terkendali dan bisa ditoleransi oleh Bank Indonesia

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

Secara definitif dan teknis, resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta,tulisan tangan pada kop resep resmi kepada pasien, format dan

 Peserta didik bertanya jawab dengan guru tentang kisah keteladanan Nabi Musa a.s.  Peserta didik juga menyimak

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga