• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan

2.1.1. Defenisi Pengetahuan

Menurut Notoadmodjo (2003), pengetahuan atau (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan pengalaman seseorang dalam melakukan penginderaan terhadap suatu rangsangan tertentu.

Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekadar menjawab pertanyaan “What”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu (Notoadmodjo, 2005).

2.2. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Berbasis Isi (KBI)

Seperti yang tercantum dalam Keputusan Mendikbud No. 56/U/1994, Kurikulum Berbasis Inti (KBI) didasarkan pada masalah internal pendidikan tinggi di Indonesia saat itu, yaitu belum adanya tatanan yang jelas dalam pengembangan perguruan tinggi. Di dalam Kepmendikbud No. 56/U/1994 ini turut disebutkan bahwa kurikulum berdasarkan pada tujuan untuk menguasai isi ilmu pengetahuan dan penerapannya (content based). Namun, pada situasi global seperti saat ini, dimana percepatan perubahan terjadi di segala sektor, maka akan sulit untuk menahan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Disebabkan hal itu, telah ditetapkan konsep perobahan kurikulum pendidikan tinggi yang telah dituangkan dalam Kepmendiknas No. 232/U/2000 dan No. 045/U/2002, yang mana pembentukannya lebih banyak didorong oleh masalah-masalah global atau eksternal.

Konsep KBK menunjukkan perbedaan dalam banyak hal dengan KBI yang mana KBK lebih didasarkan pada rumusan kompetensi yang harus dicapai atau dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi yang sesuai atau mendekati kompetensi

(2)

yang dibutuhkan oleh masyarakat pemangku kepentingan atau stakeholders (competence based curriculum) sementara KBI berdasarkan pada tujuan untuk menguasai isi ilmu pengetahuan dan penerapannya (content based). Luaran hasil pendidikan tinggi bagi KBI yang berupa kemampuan minimal penguasaan pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai dengan sasaran kurikulum suatu program studi telah diganti dengan kompetensi seseorang untuk dapat melakukan seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu melalui sistem KBK. Luaran hasil pendidikan tinggi ini yang penilaiannya pada sistem KBI dilakukan oleh penyelenggara pendidikan tinggi sendiri, dalam konsep KBK yang baru penilaian selain dilakukan oleh perguruan tinggi juga dilakukan oleh masyarakat pemangku kepentingan.

Dari segi tahapan penyusunan kurikulum, sistem KBI didasarkan pada tujuan pendidikan dan daripada tujuan pendidikan inilah yang kemudian akan segera dijabarkan dalam mata kuliah yang kemudian dilengkapi dengan bahan ajarnya (silabus) untuk setiap mata kuliah. Sejumlah mata kuliah ini akan disusun ke dalam semester-semester di mana penyusunan mata kuliah tersebut ke dalam semester biasanya berdasarkan urutan tingkat kerumitan dan kesulitan ilmu yang dipelajari. Dalam hal ini jarang dipertimbangkan apakah lulusannya nanti relevan dengan kebutuhan masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders) atau tidak. Untuk sistem KBK, penyusunan kurikulumnya dimulai dengan langkah-langkah berikut: (1) penyusunan profil lulusan, yaitu peran dan fungsi yang diharapkan dapat dijalankan oleh lulusan nantinya di masyarakat; (2) penetapan kompetensi lulusan berdasarkan profil lulusan yang telah diancangkan; (3) penentuan bahan kajian yang terkait dengan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi program studi; (4) penetapan kedalaman dan keluasan kajian (SKS) yang dilakukan dengan menganalisis hubungan antara kompetensi dan bahan kajian yang diperlukan; (5) merangkai berbagai bahan kajian tersebut ke dalam mata kuliah; (6) menyusun struktur kurikulum dengan cara mendistribusikan mata kuliah tersebut dalam semester; (7) mengembangkan rancangan pembelajaran; dan secara simultan (8) memilih metode pembelajaran yang tepat untuk mencapai kompetensinya.

(3)

Pola pembelajaran pada sistem KBI hanya terpusat pada dosen (TCL) yang mana sebagian besar berbentuk tatap muka (lecturing) yang bersifat searah. Pada saat mengikuti kuliah atau mendengarkan ceramah, mahasiswa akan kesulitan untuk mengikuti atau menangkap makna esensi materi pembelajaran, sehingga kegiatannya sebatas membuat catatan yang kebenarannya diragukan. Pola proses pembelajaran dosen aktif dengan mahasiswa pasif ini efektifitasnya rendah dan tidak menumbuhkembangkan proses partisipasi aktif dalam pembelajaran. Oleh karena itu, proses pembelajaran pada sistem KBK didorong jadi berpusat pada mahasiswa (SCL) dengan memfokuskan pada tercapainya kompetensi yang diharapkan. Hal ini berarti mahasiswa harus didorong untuk memiliki motivasi dalam diri mereka sendiri, kemudian berupaya keras mencapai kompetensi yang diinginkan.

(4)

Tabel 2.1. Perbedaan Antara Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Non-Kurikulum Berbasis Kompetensi

PERBEDAAN DARI SEGI

NON-KBK KBK

Basis Kurikulum Berbasis Isi (Content Based Curriculum) Berbasis Kompetensi (Competency Based Curriculum) Luaran Pendidikan Tinggi Kemampuan minimal sesuai sasaran kurikulumnya Kompetensi yang dianggap mampu oleh masyarakat

Penilai Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi sendiri Perguruan Tinggi dan pengguna lulusan

Cara Menyusun Mulai dari isi

keilmuannya

Mulai dari penetapan profil lulusan dan kompetensi

Pembelajaran Teacher Centered

Learning, (TCL) dengan titik berat pada transfer of knowledge

Student Centered

Learning (SCL)

diarahkan pada pembekalan method of

inquiry and discovery (Direktorat Akademik, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2008)

2.3. Resep

2.3.1. Defenisi Resep

Resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada apoteker, farmasis pengelola apoteker atau farmasis pengelola apotek untuk memberikan obat jadi atau meracik obat dalam bentuk sediaan tertentu

(5)

sesuai dengan keahliannya, takaran dan jumlah obat sesuai dengan yang diminta, kemudian menyerahkannya kepada yang berhak atau pasien (Jas, 2009).

2.3.2. Ukuran lembaran Resep

Lembaran resep umumnya berbentuk empat persegi panjang, ukuran ideal lebar 10-12 cm dan panjang 15-20 cm (Jas, 2009).

2.3.3. Jenis-jenis Resep

a. Resep standard (Resep Officinalis), yaitu resep yang komposisinya telah dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standard lainnya. Penulisan resep sesuai dengan buku standard

b. Resep magistrales (Resep Polifarmasi), yaitu resep yang sudah dimodifikasi atau diformat oleh dokter, bisa berupa campuran atau tunggal yang diencerkan dalam pelayannya harus diracik terlebih dahulu

c. Resep medicinal, yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek dagang maupun generik, dalam pelayanannya tidak mengalami peracikan, buku referensi : Organisasi Internasional untuk Standarisasi (ISO), Indonesia Index Medical Specialities (IIMS), Daftar Obat di Indonesia (DOI) , dan lain-lain

d. Resep obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama generik dalam bentuk sediaan tertentu. Dalam pelayanannya bisa atau tidak mengalami peracikan (Jas, 2009).

2.4. Penulisan Resep

2.4.1. Pengertian Penulisan Resep

Secara definitif dan teknis, resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta,tulisan tangan pada kop resep resmi kepada pasien, format dan kaedah penulisan sesuai dengan peraturan dan per undang-undangan yang berlaku yang mana permintaan tersebut disampaikan kepada

(6)

farmasis atau apoteker di apotek agar diberikan obat dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu sesuai permintaan kepada pasien yang berhak.

Dengan kata lain:

1. Penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan dokter dalam memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep dan diajukan secara tertulis kepada apoteker di apotek agar obat diberikan sesuai dengan yang tertulis. Pihak apotek berkewajiban melayani secara cermat, memberi informasi terutama yang menyangkut dengan penggunaan dan mengkoreksinya bila terjadi kesalahan dalam penulisan. Hal ini demi menjamin pemberian obat lebih rasional, artinya tepat, aman, efektif dan ekonomis.

2. Penerapan ilmu pengetahuan dan keahlian seorang dokter di bidang farmakologi dan terapetik secara rasional kepada masyarakat umumnya khususnya pasien dapat mewujudkan akhir kompetensi dokter dalam medical care (Jas, 2009).

2.4.2. Individu yang Berhak dalam Penulisan Resep

Antara individu yang berhak menulis resep adalah dokter, dokter gigi yang hanya terbatas pada pengobatan gigi dan mulut serta dokter hewan yang hanya terbatas pada pengobatan untuk hewan (Anief, 2000).

2.4.3. Latar Belakang Penulisan Resep

Obat dibagi dalam beberapa golongan demi keamanan penggunaannya. Secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu obat bebas (OTC = Other of the counter) dan ethical (obat narkotika, psikotropika, dan keras) yang kedua-duanya harus dilayani dengan resep dokter. Jadi, sebagian obat tidak bisa diserahkan langsung kepada pasien atau masyarakat, tetapi harus melalui resep dokter (on medical prescription only). Sistem distribusi obat nasional menekankan peran dokter sebagai medical care dan alat kesehatan ikut mengawasi penggunaan obat oleh masyarakat, apotek sebagai organ distributor terdepan berhadapan

(7)

langsung dengan masyarakat atau pasien dan apoteker yang berperan sebagai pharmaceutical care dan informan obat serta melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek. Di dalam sistem pelayanan masyarakat, kedua profesi ini harus berada dalam satu kelompok yang solid dengan tujuan yang sama yaitu melayani kesehatan dan menyembuhkan pasien (Jas, 2009).

2.4.4. Tujuan Penulisan Resep

Penulisan resep bertujuan untuk memudahkan dokter dalam pelayanan kesehatan di bidang farmasi selain meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat. Secara umumnya, rentang waktu buka instalasi farmasi atau apotek lebih panjang dalam pelayanan farmasi dibandingkan praktek dokter, maka dengan wujudnya penulisan resep diharapkan akan memudahkan pasien dalam mengakses obat-obatan yang diperlukan sesuai dengan penyakit yang dihidapinya. Melalui penulisan resep, peran dan tanggungjawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada masyarakat dapat ditingkatkan karena tidak semua golongan obat dapat diserahkan kepada masyarakat secara bebas. Pemberian obat juga lebih rasional dengan adanya penulisan resep dibandingkan dengan dispensing di mana dokter bebas memilih obat secara tepat, ilmiah dan selektif. Penulisan resep juga dapat membentuk suatu pelayanan yang berorientasi kepada pasien (patient oriented), dan penghindaran material oriented. Dalam masa yang sama, resep berperan juga sebagai rekam medis (medical record) yang dapat dipertanggungjawabkan, maka sifatnya adalah rahasia (Jas, 2009).

2.4.5. Kerahasiaan dan Kode Etik Penulisan Resep

Resep menyangkut sebagian dari rahasia jabatan kedokteran dan kefarmasian. Oleh karena itu, tidak boleh diberikan atau diperlihatkan kepada yang tidak berhak. Resep bersifat rahasia yang harus dijaga oleh dokter dengan apoteker karena resep menyangkut penyakit penderita, khususnya beberapa penyakit di mana penderita tidak ingin orang lain mengetahuinya. Selain kerahasiaan resep yang harus dijaga, terdapat kode etik dan kaidah penulisan resep yang diperlukan bagi menjaga hubungan dan komunikasi kolegalitas yang

(8)

harmonis di antara profesional yang berhubungan, antara lain: medical care, pharmaceutical care dan nursing care (Jas, 2009).

Menurut Syamsuni (2007) dan Jas (2009), resep asli harus disimpan di apotek dan tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain kecuali yang berhak, yaitu:

1. Dokter yang menulisnya atau yang merawatnya 2. Pasien atau keluarga pasien yang bersangkutan 3. Paramedis yang merawat pasien

4. Apoteker pengelola apotek yang bersangkutan

5. Aparat pemerintah serta pegawai (kepolisian, kehakiman, kesehatan) yang ditugaskan untuk memeriksa

6. Petugas asuransi untuk kepentingan klem pembayaran

2.4.6. Format Penulisan Resep

Menurut De Vries et all (1998), Syamsuni (2007), dan Jas (2007), resep terdiri dari enam bagian:

1. Inscriptio: Nama dokter, nomor izin praktek dokter, alamat, nomor telefon (jika ada), kota/tempat, serta tanggal penulisan resep. Untuk resep obat narkotika, hanya berlaku untuk satu kota propinsi. Format inscriptio suatu resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan resep pada praktek pribadi

2. Invocatio: permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = recipe” artinya ambillah atau berikanlah, sebagai kata pembuka komunikasi dengan apoteker di apotek. Tanda R/ ditulis pada bagian kiri setiap penulisan resep

3. Prescriptio atau ordonatio, yaitu nama obat dan kekuatannya, jumlah serta bentuk sediaan yang diinginkan. Sangat dianjurkan untuk menulis nama generik (nama umum). Kekuatan obat adalah jumlah obat yang terkandung dalam setiap tablet dan supositoria (milligram) atau dalam larutan (mililiter). Harus digunakan singkatan yang dipakai secara internasional yaitu g untuk gram dan ml untuk mililiter. Penggunaan desimal dalam angka jangan digunakan dan kalau perlu

(9)

tuliskan kata lengkap, bukan singkatan. Sebagai contoh tulislah levotiroksin 50 mikrogram, jangan 0,050 miligram atau 50 mcg

4. Signatura, yang merangkumi tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu pemberian harus jelas demi menjamin keamanan penggunaan obat dan keefektifan terapi.

5. Subscriptio, yaitu tanda tangan atau paraf dokter penulis resep berguna sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut

6. Pro (peruntukan), dicantumkan nama dan umur pasien, terutama untuk obat narkotika juga harus dicantumkan alamat pasien (untuk pelaporan ke Dinas Kesehatan setempat)

(10)

2.4.7. Pola Penulisan Resep

Gambar 2.1. Pola Penulisan Resep

(Jas, 2009)

(Jas, 2009)

Dr……….. SIP. No………

Alamat/Phone/Hp……….. Jam Praktek:…………

Medan, tanggal………

R/ Remedium Cardinal (obat utama, kausalita)

− obat untuk terapi utama S. ---paraf

R/ Remedium Adjuvantia

− Obat penunjang obat utama, mengatasi simptomatik penyakit tertentu: Analgetika, analgetika-antipiretika, antiinflamasi, pemberian vitamin B6 pada kasus TBC.

− Kombinasi untuk mengatasi resistensi, efek optimal − Obat untuk mengatasi efek samping

S. ---paraf R/ Robansia

− Obat memacu metabolisme (vitamin, enzim pencernaan)

− Suplement (mineral, amino esensial) − Tonikum

− Stimulansia S. --- paraf

Pro: Nama Pasien Umur:

(11)

2.4.8. Contoh Resep

Gambar 2.2. Contoh Resep

(Jas, 2009) Dr Maju Tarigan

SIP. No 01/MenKes/II/02

Alamat praktek: Jl. Kapten Muslim No. 224-A Medan No Telepon: 06581901234 Jam Praktek:17.00-20.00 Wib

Medan, 3 Maret 2010 R/ Claneksi F. syr. Fl. I S 3 dd Cth. I ---paraf R/ Toplexil elixir Fl. I S 4 dd Cth. 1 ½ ---paraf

R/ Vit. B Complex tab. No. XX S 2 dd tab. I --- paraf Pro: Andalusia Umur: 8 tahun INSCRIPTIO INVOCATIO PRESCRIPTIO SIGNATURA SUBSCRIPTIO PRO

(12)

2.4.9. Tanda-tanda pada Resep 1. Tanda Segera

Dilakukan bila dokter ingin resepnya dibuat dan dilayani segera. Tanda segera atau tulisan peringatan dapat ditulis sebelah kanan atas atau bawah blanko resep yaitu:

Cito! : segera

Urgent : penting sekali

Statim : penting sekali

PIM (Periculum in mora) : berbahaya bila ditunda

Urutan yang didahulukan adalah PIM, Urgent, Statim dan Cito!.

2. Tanda resep dapat diulang

Jika dokter menginginkan agar resepnya dapat diulang, dapat ditulis dalam resep di sebelah kanan atas dengan tulisan iter (iteratie) dan berapa kali resep boleh diulang. Misalnya tertulis iter 1x, artinya resep dapat dilayani 2 x. Bila iter 2 x, artinya resep dapat dilayani 1+2 = 3 x. Hal ini tidak berlaku untuk resep narkotika yang harus ditulis resep baru.

3. Tanda resep tidak dapat diulang

Jika dokter menghendaki agar resepnya tidak boleh diulang tanpa sepengetahuannya, maka dituliskan di sebelah atas blanko resep tanda N.I (ne iteratur = tidak dapat diulang) (ps. 48 WG ayat (3); SK Menkes No. 280/Menkes/SK/V/1981). Antara resep yang tidak boleh diulang adalah resep yang mengandung obat-obatan narkotik, psikotropik dan obat keras yang telah ditetapkan oleh pemerintah/ Menkes Republik Indonesia.

4. Tanda dosis sengaja dilampaui

Tanda seru (!) diberikan di belakang nama obat jika dokter sengaja memberikan obat dosis maksimum dilampaui.

(13)

5. Resep yang mengandung narkotik

Resep yang mengandung narkotik tidak boleh ada tanda iterasi yang berarti dapat diulang; tidak boleh ada m.i (mihiipsi) yang berarti untuk dipakai sendiri; tidak boleh ada u.c (usus cognitus) yang berarti pemakaiannya diketahui. Resep dengan obat narkotik harus disimpan terpisah dari resep obat lainnya (Jas, 2009).

2.4.10. Persyaratan Menulis Resep dan Prinsipnya Syarat-syarat dalam penulisan resep mencakupi:

1. Resep ditulis dengan jelas dengan tinta secara lengkap di kop resep serta tidak ada keraguan dalam pelayanannya dan pemberian obat. 2. Satu lembar kop resep hanya digunakan untuk satu pasien

3. Signatura ditulis dalam singkatan latin dengan jelas, jumlah takaran sendok pada signatura bila genap ditulis angka romawi, tetapi bila angka pecahan ditulis latin. Sebagai contoh: Cth. I atau Cth. ½, Cth 1½

4. Menulis jumlah wadah atau menulis numeru (nomor) selalu genap, walaupun dibutuhkan satu setengah botol, harus digenapkan menjadi Fls. No. II atau Fls. II saja

5. Paraf atau tandatangan dokter yang bersangkutan harus ditulis setelah signatura untuk menunjukkan keabsahan atau legalitas dari resep tersebut terjamin

6. Jumlah obat yang dibutuhkan ditulis dalam angka Romawi. 7. Nama pasien dan umur harus ditulis dengan jelas

8. Khusus untuk peresepan obat narkotika, harus ditandatangani oleh pihak dokter bersangkutan dan dicantumkan alamat pasien dan resep tidak boleh iter (diulangi) tanpa resep dokter

9. Resep hanya berlaku di satu propinsi dan satu kota

10. Tidak menyingkat nama obat dengan singkatan yang tidak umum (untuk kalangan sendiri) serta menghindari material oriented

(14)

11. Tulisan yang sulit dibaca dihindari karena hal ini dapat mempersulit pelayanan

12. Resep merupakan rekam medis bagi dokter dalam praktek dan bukti pemberian obat kepada pasien yang diketahui oleh farmasis di apotek maka kerahasiannya wajib dijaga (Jas, 2009).

2.4.11. Prinsip Penulisan Resep

Dari segi penulisan obat boleh ditulis dengan nama paten atau dagang, generik, resmi atau kimia sementara karakteristik nama obat ditulis harus sama dengan yang tercantum pada label kemasan. Resep harus ditulis tangan dengan tinta dikop resep resmi dan dokter penulis resep harus menentukan bentuk sediaan dan jumlah obat yang akan diberikan kepada pasien. Signatura seharusnya ditulis dalam singkatan bahasa latin (Jas, 2007).

2.4.12. Menulis Resep

Resep ditulis pada kop format resep resmi dan harus menepati ciri-ciri yang berikut:

1. Penulisan resep sesuai dengan format dan kaidah yang berlaku, bersifat pelayanan medik dan informatif

2. Penulisan resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang berarti ambillah atau berikanlah

3. Nama obat, bentuk sediaan, dosis setiap kali pemberian dan jumlah obat kemudian ditulis dalam angka Romawi dan harus ditulis dengan jelas

a. Penulisan resep standar tanpa komposisi, jumlah obat yang diminta ditulis dalam satuan mg, g, IU atau ml, kalau perlu ada perintah membuat bentuk sediaan (m.f. = misce fac, artinya campurlah, buatlah)

(15)

b. Penulisan sediaan obat paten atau merek dagang, cukup dengan nama dagang saja dan jumlah sesuai dengan kemasannya

4. Dalam penulisan nama obat karakter huruf nama obat tidak boleh berubah, misal:

Codein, tidak boleh menjadi Kodein

Pharmaton F., tidak boleh menjadi Farmaton F. 5. Signatura ditulis dengan jelas, tutup dan paraf

6. Pro atau peruntukkan obat dan umur pasien ditulis, misalnya Tn. Amir, Ny. Supiah, Ana (5 tahun)

7. Untuk dua sediaan, besar dan kecil. Bila dibutuhkan yang besar, tulis volume sediaan sesudah bentuk sediaan, misalnya 120 ml

8. Untuk sediaan bervariasi, bila ada obat dua atau tiga konsentrasi, sebaiknya tulis dengan jelas, misalnya: pediatric, adult, dan forte (Jas, 2009).

2.4.13. Permasalahan dalam Menulis Resep

Banyak permasalahan yang timbul dalam penulisan resep, karena hal ini menyangkut dengan pelayanan kesehatan yang bersifat holistik, yang melibatkan profesi farmasis dan perawat, antara lain:

1. Zat aktif obat tersebut tidak boleh diberikan begitu saja sebagai obat, terlebih dahulu harus diberikan dalam bentuk sediaan. Oleh karena itu, kita harus mengenal dan memahami secara mendalam berbagai jenis dan bentuk sediaan obat

2. Masalah farmaseutikal dari bentuk sediaan harus diinformasikan termasuk kebaikan dan keburukan dalam pemberian

3. Bentuk sediaan yang diberikan harus sesuai dengan rute pemberian dan kondisi pasien

4. Obat sebagai komoditas yang spesifik dan bersifat dimensional, artinya satu aspek sebagai alat kesehatan dan aspek lainnya sebagai komoditas ekonomi yang dapat diperjualbelikan. Jadi para dokter tidak boleh terjebak material oriented, harus patient oriented. Oleh

(16)

karena itu peredarannya sangat diperhatikan dan telah diatur menurut undang-undang

5. Penulisan resep bukan pada kop resep resmi, padahal obat yang ditulis tersebut mencakup daftar yang harus diawasi penggunaannya 6. Penulisan resep pada kop yang tidak sesuai format umum yang telah

disepakati sehingga menghilangkan ciri khas resep dokter

7. Bila dokter memberikan informasi penggunaan obat suppositoria melalui rektum atau anus, jangan sekali-kali disebut melalui dubur karena dapat terjadi kesilapan pendengaran, yakni didengar oleh pasien berupa bubur, akhirnya penggunaan obat menjadi salah dan menyebabkan kerugian bagi pasien

8. Dalam pemilihan obat dalam bentuk sediaan krim atau ointment (salap) seperti Gentamycin cream atau salap harus dipahami sifat fisika bentuk sediaan krim maupun salap (Unguenta) karena krim merupakan pembawa yang terdiri dari campuran air dan lemak atau minyak dengan penyabunan, berupa emulsi tipe O/W (oil in water), artinya fase minyak di dalam air sehingga dapat diencerkan dengan air. Dengan demikian sediaan krim dapat menyerap eksudat cair dan enzim basah, sedangkan salap tidak dapat (Jas, 2007).

Gambar

Tabel 2.1. Perbedaan Antara Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Non- Non-Kurikulum Berbasis Kompetensi
Gambar 2.1. Pola Penulisan Resep
Gambar 2.2. Contoh Resep

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sedimen yang berada di Desa Tanjung Momong Kecamatan Siantan Kabupaten Kepulauan Anambas dengan melihat dari jenis fraksi

Maksud dan tujuan pengendalian kualitas adalah untuk spesifikasi produk yang telah ditetapkan sebagai standar dan dapat terlihat pada produk akhir, yang tujuannya agar barang

Krakatau Steel (persero) Tbk dari tahun 2012 sampai dengan 2018 memiliki nilai negatif yang artinya hasil tersebut berada dibawah angka 0 (nilai cut off pada model zmijewski)

Hasil perawatan setelah 3bulan kontrol pasca operasi, menunjukkan kondisi perkembangan yang hampir sama, baik yang menggunakan CHA maupun β-TCP, keduanya

SKPD : DINAS KESEHATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN Kebutuhan Dana/ Pagu indikatif

Dari seluruh kajian yang berkaitan dengan pembaharuan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pada Sekolah Menengah Kejuruan untuk peningkatan kualitas sumber daya

“…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003