• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of PENGUKURAN KINERJA AKTIFITAS SUPPLY CHAIN PADA INDUSTRI MINUMAN JUS DENGAN SCOR (STUDY KASUS PT. API)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of PENGUKURAN KINERJA AKTIFITAS SUPPLY CHAIN PADA INDUSTRI MINUMAN JUS DENGAN SCOR (STUDY KASUS PT. API)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUKURAN KINERJA AKTIFITAS SUPPLY CHAIN PADA

INDUSTRI MINUMAN JUS DENGAN SCOR

(STUDY KASUS PT. API)

Puji Rahayu 1), Lien Herliani Kusumah 2)

1),2)Program Studi Magister Teknik Industri, Universitas Mercu Buana

Jl. Meruya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11650 Email : puji.umt16@gmail.com

Abstrak . Kinerja perusahaan bisa diukur dalam dua perspektif, financial dan non financial. Kondisi saat ini, PT API sebagai manufaktur minuman siap minum jus (RTD) lebih terfokus hanya pada pengukuran finansial. Kelemahan kinerja financial kurang mampu mengukur kinerja operasi. Rantai pasokan adalah salah satu operasi yang paling penting sebagai salah satu pengukuran kinerja non financial. Tujuan dari penelitian ini untuk mengukur kinerja rantai pasokan dari PT API dengan menggunakan SCOR sebagai kerangka pengukuran kinerja. Dari data quantitative, didapat nilai pengukuran supply chain PT. API adalah 61.85, yang artinya kinerja Supply chain di PT. API masih belum termasuk kategori dengan performance baik atau masih pada level average. Di samping model SCOR, penelitian ini menggunakan data qualitative dengan tools Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menganalisis metrik hirarki dan menentukan bobot kinerja dari tiap indikator. AHP digunakan sebagai penentu tingkat kepentingan dalam penetapan strategi tiap KPI. Nilai-nilai pengukuran indikator kinerja yang diperoleh, akan di benchmark dengan industri sejenis untuk melihat indikator yang masih membutuhkan perbaikan. Hasil dari benchmark menghasilkan nilai gap untuk metrik POF 5.52%, OFCT 1 hari, COGS 4.27% dan CTCCT 19 hari. Untuk peningkatan kinerja supply chain kedepannya maka PT API harus berfokus pada perbaikan KPI yang masih terdapat gap.

Kata kunci: AHP, Industri MinumanSCOR, RTD Juice, Supply chain performance

1. Pendahuluan

Industri jus RTD (ready to drink) di Indonesia berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun data menunjukkan untuk industri jus RTD, supply lebih besar dibandingkan demand. Proyeksi supply demand 2013-2017 berturut turut disajikan sebagai berikut, tahun 2013 supply 663.34ML demand 656.85ML, tahun 2014 supply 721.07ML demand 706.93ML, tahun 2015 supply 780.49ML demand 757.23ML, tahun 2016 supply 841.18ML demand 807.42ML, tahun 2017 supply 902.68ML demand 856.86ML. Nilai supply yang selalu diatas demand menjadi salah satu indikator ketatnya persaingan industri jus RTD di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi PT. API yang saat ini baru menguasai sekitar 3.54% dari total nilai industri jus RTD yang mencapai 1.5 Triliun rupiah untuk kategori kemasan plastik. Jumlah perusahaan yang menekuni bisnis minuman jus siap minum di Indonesia hingga akhir tahun 2012 mencapai 299 perusahaan, tetapi hanya 211 perusahaan yang masih aktif beroperasi. Dari sejumlah itu, hanya 156 perusahaan yang telah memiliki pabrik minuman jus sendiri dan sisanya 5 perusahaan merupakan perusahaan pemegang merek lokal dan 50 perusahaan adalah pemegang merek impor [1].

PT. Amanah Prima Indonesia (PT API) termasuk salah satu perusahaan minuman jus RTD yang memproduksi berbagai macam jenis jus buah-buahan dengan target market utama untuk industri hotel, restoran, kafe, dan catering (horeca). Saat ini untuk pasar horeca di Indonesia PT API telah menjadi salah satu market leader pemasok jus. Melihat kepada posisi PT API diantara industri sejenis, maka PT API bertekad untuk dapat meningkatkan market share penjualannya ditengah era pasar bebas dan persaingan yang semakin ketat di industri minuman jus RTD. Hal ini bisa dicapai dengan cara meningkatkan daya saing perusahaan agar perusahaan tidak hanya sekedar mampu bertahan, tapi juga menjadi salah satu market leader dalam industri minuman jus RTD di pasar nasional.

(2)

saja mengakibatkan pengukuran kinerja dari perspektif lainnya bisa terabaikan. Hal ini dapat membuat pihak managemen hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek saja, dan cenderung mengabaikan kelangsungan hidup perusahaan untuk jangka panjang [2]. Secara praktisnya, pengukuran kinerja financial yang biasanya tertuang dalam bentuk laporan keuangan perusahaan, hanya berorientasi terhadap hasil akhir saja (result oriented), tidak dapat menggambarkan bagaimana kinerja secara business process oriented. Pengukuran kinerja non financial akan memberikan gambaran bagaimana kinerja secara business process oriented bisa terukur. Saat ini perusahaan tidak memiliki indikator non financial yang menggambarkan bagaimana kinerja business process nya. Hal ini menjadi kendala bagi perusahaan dalam meningkatkan kinerja, terutama kinerja non financialnya. Salah satu fungsi non financial perusahaan yang belum dilakukan pengukuran terhadap kinerjanya adalah supply chain management (SCM).

Pengukuran kinerja adalah aspek penting agar SCM berhasil dan pengukuran kinerja yang efektif diperlukan bagi SCM [3]. Kurangnya pengukuran kinerja yang memadai adalah salah satu hambatan utama untuk mencapai SCM yang efisien [4].

Pengukuran kinerja dalam konteks supply chain kini menjadi sangat penting. Alasannya jelas, organisasi mulai mencari cara untuk meningkatkan operasi kinerja mereka melalui integrasi yang lebih baik dari operasi seluruh rantai berikutnya dan fungsi dipisahkan dalam rantai nilai. Kemampuan untuk mengukur kinerja operasi yang dapat dilihat sebagai satu kebutuhan untuk perbaikan, dan perusahaan berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka [5].

Ada beberapa model yang digunakan dalam pengukuran kinerja supply chain, salah satu diantaranya adalah Supply Chain Operational Reference (SCOR). Model SCOR dirancang oleh Supply Chain Council (SCC). Model SCOR juga akan digunakan perusahaan untuk dapat mengetahui dimana posisi suatu organisasi terhadap pesaingnya, serta menemukan arah perbaikan bagi penciptaan keunggulan bersaing.

SCOR adalah kerangka hirarkis dengan KPI pada setiap levelnya. Adopsi KPI membantu organisasi menerapkan managemen secara ilmiah dan memungkinkan proses administrasi menjadi lebih efisien. Selain itu, SCOR mensetup sistem secara hirarkis dan menyediakan KPI yang sesuai pada setiap level SCOR [6].

Dari paparan diatas, maka fokus utama pada penelitian ini adalah menggunakan SCOR model untuk melakukan pengukuran dan analisis kinerja supply chain dengan menggunakan performance atribut level 1 sebagai KPI basic serta melakukan penetapan strategy supply chain dengan melakukan benchmark untuk mendorong peningkatan kinerja supply chain perusahaan. State of the Art dari penelitian ini adalah melakukan perhitungan data secara kuantitatif dan data kualitatatif untuk metrik yang sama, namun untuk tujuan penggunaan yang berbeda.

Adapun susunan penelitian terdiri atas tiga bagian utama, dimana pada bagian pertama berisi gambaran ringkas latar belakang penelitian dan berfokus pada permasalahan pengukuran kinerja supply chain menggunakan SCOR, memberikan tinjauan teori yang digunakan untuk penelitian, serta menjelaskan metodologi penelitian. Pada bagian kedua, menguraikan hasil analisis kualitatif dan atau kuantitatif dengan penekanan pada jawaban atas permasalahan. Pembahasan juga dikembangkan dengan hasil-hasil penelitian berikut referensi yang mendukung. Dan bagian ketiga, berisi berbagai simpulan yang di ambil berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.

Kajian Teori

Supply Chain Operation Reference Model (SCOR Model)

(3)

1. Performance: berisi standard metrik untuk menggambarkan performansi proses dan mendefinisikan tujuan strategis.

2. Processes: berisi deskripsi standard dari proses managemen dan hubungan antar proses

3. (Best) Practices: berisi praktek managemen terbaik yang menghasilkan kinerja proses secara signifikan.

4. People: Definisi standard dari ketrampilan yang harus dimiliki pada supply chain

Model SCOR pada dasarnya merupakan model proses yang mengintegrasikan tiga unsur utama dalam managemen, yaitu Bussiness Process Reengineering (BPR), Benchmarking, dan Best Practice Analysis (BPA) kedalam kerangka lintas fungsi rantai pasok [8]. SCOR membagi proses-proses rantai pasok menjadi lima proses inti, yaitu plan, source, make, delivery dan return. Pengunaan model SCOR dalam merancang sistem pengukuran kinerja supply chain berdasarkan proses, membuat perusahaan akan mampu mengevaluasi kinerja aktivitas supply chain nya secara holistik untuk melakukan monitoring dan controlling, serta mengkomunikasikan tujuan perusahaan ke fungsi bisnis yang terkait aktivitas supply chain. Terdapat 4 level tahapan pemetaan SCOR [8], yaitu:

1. Level 1, Mendefinisikan ruang lingkup dan isi dari SCOR Model.Selain itu, pada tahap ini juga ditetapkan target-target performance perusahaan untuk bersaing.

2. Level 2, merupakan tahap konfigurasi, pada tahap ini Perusahaan bisa membentuk konfigurasi saat ini (as-is) maupun yang diinginkan (to-be).

3. Level 3, merupakan tahap dekomposisi proses-proses yang ada pada rantai pasok menjadi elemen-elemen yang mendefinisikan kemampuan perusahaan untuk berkompetisi.

4. Level 4, merupakan tahap implementasi yang memetakan program-program penerapan secara spesifik serta mendefinisikan perilaku-perilaku untuk mencapai competitive advantage dan beradaptasi terhadap perubahan kondisi bisnis.

Performance SCOR terdiri dari dua jenis unsur yaitu performance atribut (atribut kinerja) dan metrik. Sebuah atribut kinerja adalah pengelompokan metrik yang digunakan untuk mengekspresikan strategi. Atribut itu sendiri tidak bisa diukur, digunakan untuk mengatur arah strategis. Metrik mengukur kemampuan rantai pasokan untuk mencapai atribut-atribut strategis [8]. Setiap metrik dari SCOR model berasosiasi secara tepat pada salah satu dari atribut kinerja, seperti tersaji pada Tabel 1.

1. Supply Chain Reliability (RL) berkaitan dengan keandalan

2. Supply Chain Responsiveness (RS) berkaitan dengan kecepatan waktu respon setiap perubahan 3. Supply Chain agility (AG) berkaitan dengan keflesibelan di dalam menghadapi setiap perubahan 4. Supply Chain Cost (CO) berkaitan dengan biaya-biaya di dalam Supply chain

5. Efisiensi (AM) dalam pengelolaan asset berkaitan dengan nilai suatu barang Tabel 1. Asosiasi antara Performance atribut dengan Metrik level 1 SCOR model

Metrik Kinerja Level 1

Atribut Kinerja

External Internal

Reliability Responsiveness Agility Cost Asset

1. Perfect Order Fulfillment √ - - - -

2. Order Fullfillment Cycle time - √ - - - 3. Upside Supply chain Fexibility - - √ - - 4. Upside Supply chain Adaptability - - √ - - 5. Downside Supply Chain

Adaptability - - √ - -

6. Supply Chain Management Cost - - √ - -

7. Cost of Good Sold - - - √ √

8. Cash to Cash Cycle time - - - - √

9. Return Supply Chain Fixed Asset - - - - √ 10. Return on working Capital - - - - √

Analytical Hierarchi Process (AHP)

(4)

sesuai untuk evaluasi atribut-atribut kualitatif dan kuantitatif baik bagi pengukuran secara financial maupun non financial dan bagaimana atribut tersebut ditempatkan sesuai dengan skala kepentingannya [5]. Model pendukung keputusan ini menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria menjadi sebuah hierarki [9]. Penguraian masalah yang kompleks kedalam bentuk hierarki membuat permasalahan menjadi lebih terstruktur dan sistematis, seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur hirarki AHP

Metodologi

Penelitian ini merupakan pendekatan studi kasus dengan model kuantitatif. Menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer sebagai data kualitatatif diperoleh dengan teknik wawancara, survey lapangan, dan penyebaran kuesioner kepada 7 orang responden ahli. Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder sebagai data kuantitatif diperoleh dari laporan departemen PT API yang melakukan fungsi supply chain perusahaan (purchasing, warehouse, distribusi, marketing), internet, literature, dan penelitian penelitian sebelumnya. Data primer hasil kuesioner 7 orang responden diolah dengan tool AHP untuk menentukan prioritas kriteria supply chain performance (RL, RS, AG, CO, AM) yang akan digunakan sebagai penetapan strategy supply chain untuk performance atribut metrik level 1 SCOR. Data sekunder hasil laporan PT API digunakan untuk perhitungan nilai kinerja untuk tiap metrik atau KPI supply chain, yang pada akhirnya digunakan untuk memperoleh nilai kinerja keseluruhan supply chain PT API. Tahapan analisis data adalah sebagai berikut:

1. Perhitungan data sekunder untuk tiap metrik level 1 SCOR/KPI supply chain, berdasarkan definisi dan perhitungan tiap metrik berdasarkan SCC, adalah sebagai berikut:

a. Perfect Order Fulfillment (POF), adalah presentase order terkirim lengkap dan tepat waktu.

𝑃𝑂𝐹 =[𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑁𝑢𝑚𝑏𝑒𝑟 𝑜𝑓 𝑂𝑟𝑑𝑒𝑟][𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑟𝑓𝑒𝑐𝑡 𝑂𝑟𝑑𝑒𝑟] 𝑥 100% (1) b. Order Fulfillment Cycle time (OFCT), adalah waktu antara pelanggan memesan sampai

dengan pesanan diterima oleh pelanggan.

𝑂𝐹𝐶𝑇 =[𝑆𝑢𝑚 𝑎𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 𝐶𝑇 𝑓𝑜𝑟 𝑎𝑙𝑙 𝑜𝑟𝑑𝑒𝑟𝑠 𝑑𝑒𝑙𝑖𝑣𝑒𝑟𝑒𝑑][𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑁𝑢𝑚𝑏𝑒𝑟 𝑜𝑓 𝑂𝑟𝑑𝑒𝑟] 𝑥100% (2) c. Upside Supply chain flexibility (USCF), adalah jumlah hari yang dibutuhkan (proses Plan, Source,Make, Delivery) untuk mencapai peningkatan tidak terencana secara berkelanjutan sebanyak 20% dari jumlah produk yang dikirim. (3)

d. Upside Supply chain Adaptability (USCA), adalah persentase kenaikan jumlah maksimum terkirim yang dapat dipertahankan (sustainable) dan dapat dicapai dalam 30 hari.

USCA = Upside (Source Adaptability + Make Adaptability + deliver Adaptability ) (4)

e. Downside Supply chain Adatability, adalah pengurangan kuantitas yang dipesan dalam 30 hari sebelum pengiriman tanpa persediaan atau biaya tambahan.

DSCA = Downside (Source Adaptability + Make Adaptability + deliver Adaptability) (5)

f. Supply Chain Management Cost (SCMC), adalah biaya langsung dan tak langsung untuk proses perencanaan, sourcing, delivery dan return.

(5)

g. Cost of Good Sold (COGS), biaya yang terkait dengan pembelian bahan baku dan menghasilkan barang jadi.

𝐶𝑂𝐺𝑆 = 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑚𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙 + 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎 + 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 (7)

h. Cash to Cash Cycle time (CTCCT), waktu yang dibutuhkan bagi investasi untuk mengalir kembali ke perusahaan setelah dibelanjakan bahan baku.

𝐶𝑇𝐶𝐶𝑇 = 𝐼𝑛𝑣𝑒𝑛𝑡𝑜𝑟𝑦 𝑑𝑎𝑦𝑠 𝑜𝑓 𝑠𝑢𝑝𝑝𝑙𝑦 + 𝐴𝑣𝑒𝑟𝑎𝑔𝑒 𝑑𝑎𝑦 (𝐴𝑐𝑐 𝑃𝑎𝑦𝑎𝑏𝑙𝑒 + 𝐴𝑐𝑐 𝑅𝑒𝑐𝑒𝑖𝑣𝑎𝑏𝑙𝑒) (8)

i. Return Supply Chain Fix Asset (RSCFA), adalah tingkat pengembalian investasi yang dialokasikan pada asset tetap supply chain.

𝑅𝑆𝐶𝐹𝐴 =𝑆𝐶 𝑟𝑒𝑣𝑒𝑛𝑢𝑒−𝐶𝑂𝐺𝑆−𝑆𝐶 𝑐𝑜𝑠𝑡

𝑆𝐶 𝐹𝑖𝑥 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 (9)

j. Return on Working Capital (ROWC), besarnya investasi relatif kepada posisi modal kerja perusahaan yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan dari rantai pasok.

𝑅𝑂𝑊𝐶 = 𝑆𝐶 𝑟𝑒𝑣𝑒𝑛𝑢𝑒−𝐶𝑂𝐺𝑆−𝑆𝐶 𝑐𝑜𝑠𝑡

𝐼𝑛𝑣𝑒𝑛𝑡𝑜𝑟𝑦+𝐴𝑐𝑐 𝑅𝑒𝑐𝑒𝑖𝑣𝑎𝑏𝑙𝑒−𝐴𝑐𝑐 𝑃𝑎𝑦𝑎𝑏𝑙𝑒 (10)

2. Normalisasi data sekunder kemudian dihitung kinerja keseluruhaaan supply chain

3. Membuat hirarki dari performance atribut SCOR (RL, RS, AG, CO, AM) dan metrik level 1 sebagai KPI (POF, OFCT, USCA, USCF, DSCA, SCMC, COGS, CTCCT, RSCFA, ROWC) 4. Menentukan tingkat kepentingan KPI untuk tiap performance atribut dengan AHP dengan

mengolah data hasil kuesioner dari 7 orang responden expert.

5. Menetapkan strategy untuk tiap KPI berdasarkan tingkat kepentingannya (Superior, Advantage, Parity)

6. Benchmark nilai dari tiap KPI dengan perusahaan sejenis pada kategori best in class, dengan menggunakan SCOR card.

7. Identifikasi nilai KPI yang belum mencapai target sesuai dengan nilai penetapan strateginya. 8. Analisa penyebab masalah untuk KPI yang masih terdapat gap antara nilai aktual dengan nilai

dari hasil penetapan strategi yang ingin dicapai.

2. Pembahasan

Berdasarkan tahapan analisis diatas diperoleh hasil pengolahan data sekunder dan data primer. Hasil pengolahan data sekunder untuk mendapatkan nilai pengukuran kinerja bagi ke 10 metrik level 1 performance atribut dengan menggunakan rumus dan definisi pada nomor (1) sampai dengan nomor (10) hasil tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil perhitungan data sekunder KPI supply chain

No. KPI Notasi

Hasil

Perhitungan Satuan Normalisasi

Hasil Normalisasi (%)

Normalisai Terbobot

1. POF 92.48% % N/A 92.48 0.265

2. OFCT 7.53% % N/A 7.53 0.022

3. USCF 5 Days 1/5𝑥100% 20 0.057

4. USCA 85% % N/A 85 0.244

5. DSCA N/A % N/A N/A 0.000

6. SCMC 36.43 % N/A 36.43 0.104

7. COGS 40.95 % N/A 40.95 0.117

8. CTCCT 149 Days 1/149𝑥100% 0.6 0.002

9. RSCFA 41.81 % N/A 41.81 0.120

10. ROWC 24.20 % N/A 24.20 0.069

(6)

nilai keseluruhan kinerja supply chain PT API. Untuk mendapatkannya maka dilakukan pengalian hasil normalisasi dan bobot untuk tiap tiap KPI. Diperoleh total hasil keseluruhan pengukuran kinerja supply chain PT API adalah 61.81 dari skala 100.

Tahapan analisis berikutnya adalah membentuk hirarki dari performance atribut SCOR, selanjutnya dilakukan pengolahan data primer hasil kuesioner responden 7 orang expert di PT API. Data diolah dengan menggunakan AHP untuk menentukan tingkat kepentingan dari ke 9 KPI dan tingkat kepentingan dari 5 performance atribut supply chain. Diperoleh bobot untuk tiap KPI performance atribut SCOR dapat dilihat pada Gambar 2.

Adapun hasil normalisasi terbobot untuk tiap KPI disajikan pada Tabel 3. Normalisasi terbobot digunakan sebagai penentu tingkat kepentingan tiap KPI. Untuk tiap performance atribut akan direpresentasikan oleh KPI dengan nilai normalisasi terbobot yang paling besar, sebagai contoh untuk performance atribut Agility yang memiliki 3 KPI dibawahnya yaitu USCA, DSCA, dan USCF, diambil KPI USCF dengan bobot terbesar yang akan merepresentasikan performance atribut agility, karna diasumsikan sebagai KPI dengan tingkat kepentingan terbesar.

Gambar 2. Susunan Hirarki dan hasil perhitungan matriks berpasangan dengan AHP Tabel 3. Nilai pembobotan KPI dengan Normalisasi terbobot

KP

I POF OFC T

USC A

USC F

DSC A

SCM C

COG S

CTCC T

RSCF A

ROW C

Tota l

W 0.34

2 0.319 0.235 0.467 0.298 0.779 0.221 0.534 0.257 0.015 0.95

1 N

W

0.36

0 0.336 0.048 0.096 0.061 0.006 0.017 0.042 0.019 0.016 1

(7)

Gambar 3. Supply Chain SCOR Card

3. Simpulan

Dengan menggunakan SCOR model diperoleh hasil empiris perhitungan overall performance supply chain PT API adalah 61.82, nilai performance tersebut mengindikasikan bahwa kinerja supply chain PT API masih dalam kategori rata-rata (Average). Dari SCOR card yang digunakan, diketahui bahwa hasil gap yang diperoleh sesuai dengan penetapan strateginya kemudian benchmark menghasilkan gap untuk tiap KPI adalah POF 5.52% , OFCT 1 day, COGS 4.27% dan CTCCT 19 days. PT API harus berfokus pada improvement ke 4 KPI tersebut. Improvement bisa dilakukan jika dilakukan study untuk mengidentifikasi akar masalah supply chain. Penelitian selanjutnya diharapkan melakukan study lebih jauh lagi untuk menentukan akar masalah supply chain di PT API juga memberikan rekomendasi solusi berdasarkan best practice SCOR model. Juga kedepannya pengembangan KPI dari SCOR model bisa lebih dimanfaatkan sebagai acuan penyusunan KPI yang lebih bisa mengukur kinerja supply chain secara taktis dan operasional.

Daftar Pustaka

[1]. Corpora, PT Corinthian Infopharma. "Study of Industry and Market of Juice in Indonesia, 2012/2013." Publication of CIC Consulting Group, Jakarta, Indonesia (2013).

[2]. Kurien, Georgy P., and Muhammad N. Qureshi. "Study of performance measurement practices in supply chain management." International Journal of Business, Management and Social Sciences 2.4 (2011): 19-34.

[3]. Gunasekaran, Angappa, Chaitali Patel, and Ercan Tirtiroglu. "Performance measures and metrics in a supply chain environment." International journal of operations & production Management 21.1/2 (2001): 71-87.

[4]. Lai, Kee-hung, E. W. T. Ngai, and T. C. E. Cheng. "Measures for evaluating supply chain performance in transport logistics." Transportation Research Part E: Logistics and Transportation Review 38.6 (2002): 439-456.

[5]. Kocaoğlu, Batuhan, Bahadır Gülsün, and Mehmet Tanyaş. "A SCOR based approach for measuring a benchmarkable supply chain performance." Journal of Intelligent Manufacturing 24.1 (2013): 113-132.

[6]. Cho, Dong Won, et al. "A framework for measuring the performance of service supply chain management." Computers & Industrial Engineering 62.3 (2012): 801-818.

[7]. Zhou, Honggeng, et al. "Supply chain integration and the SCOR model." Journal of Business Logistics 32.4 (2011): 332-344.

[8]. Council, Supply Chain. "Supply chain operations reference (SCOR) model version 10.0." The Supply Chain Council, Inc. SCOR. The Supply Chain Reference (binder) (2010).

[9]. Saaty, Thomas L. "Decision making with the analytic hierarchy process." International journal of services sciences 1.1 (2008): 83-98.

[10]. Bolstorff, Peter, and Robert G. Rosenbaum. Supply chain excellence: a handbook for dramatic improvement using the SCOR model. AMACOM Div American Mgmt Assn, 2007.

Suppy Chain Score Card - 2016

Dimensi Performance SCOR level 1 Metrik STRATEGY Actual

Atribute (KPI)

Reliability POF S 92.48% 92% 96% 98% 5.52%

Responsiveness OFCT A 3 days 6 days 4 days 2 days 1 day

Agiity USCF A 5 days 80 days 62 days 40 days +75 days

Cost COGS P 54.27% >50% 43-49% <43% 4.27%

Asset Management CTCCT P 149 days 130 days 110 days 90 days 19 days

SC External Facing

BENCHMARK

Parity Advantage Superior GAP

Gambar

Tabel 1. Asosiasi antara Performance atribut dengan Metrik level 1 SCOR model
Gambar 1. Struktur hirarki AHP
Tabel 3. Nilai pembobotan KPI dengan Normalisasi terbobot
Gambar 3. Supply Chain SCOR Card

Referensi

Dokumen terkait

Dampak yang dirasakan Suku Laut di Tanjung Gundap pada saat sekarang ini, mereka sudah merasa nyaman dengan tinggal di daratan dan dapat dengan leluasa beraktifitas

Proses keperawatan adalah suatu pendekatan untuk pemecahan masalah yang memampukan perawat untuk mengatur dan memberikan asuhan keperawatan. Proses keperawatan mengandung

Berdasarkan hasil uji parsial yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Kesadaran Wajib Pajak (X2), Pelayanan (X3), dan Pengawasan (X4) berpengaruh positif

dan balok dengan menggunakan model penemuan terbimbing siklus I alatnya berupa butri soal tes tertulis untuk silus I, (5) data keberanian bertanya siswa dalam

Proses awal sistem kerja EMG ini dimulai pada bagian elektroda di permukaan kulit tubuh yang menangkap dan menghantarkan sinyal elektris yang dihasilkan oleh otot,

Upaya  memperbaiki  kerangka  normatif  UU  No.  26  Tahun  2000  yang  kurang  lengkap,  berbeda  dan  tidak  memenuhi  standar  hukum  internasional,  menjadi 

Skripsi berjudul &#34;Laskar Putri tndonesia: Penggabungan dengan Laskar Wanita Indonesia dan Peranannya dalam Revolusi Fisik di Yogyakarta (1948-1949)&#34; ini telah

Untuk memelihara konsistensi memperhatikan batas-batas secara visual legislatif, Pemerintah, dalam hal ini untuk pemanfaatan setiap zona yang Menteri Kelautan dan