• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: pengobat tradisional, inspannings-verbintenis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kata kunci: pengobat tradisional, inspannings-verbintenis"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Wakhid Utbah Aftabuddin

Program Diploma Pelayaran Universitas Hang Tuah Surabaya

Abstract: Treatment of traditional medicine possesses the legal consequence, so that the expert of traditional medicine can commit preventative or preventive actions. Therefore, the significant issues to research are how the legal relationship between patients and the expert of traditional medicine is and how the legal liability for the expert of traditional medicine when he/she does wrong to cause patients aggrieved. Type of the research is the doctrinal legal research with the conceptual approach that is supported with primary legal materials, secondary legal materials such as books, journals, etc. The analysis uses normative-qualitative method. The results show that the legal relationship between patients and the expert of traditional medicine is inspannings-verbintenis. The patients and the expert of traditional medicine are legally in the same position, but the legal liability for the expert of traditional medicine is enacted in an act on consumer protection within aspects of civil law and criminal law. The dispute can be solved through the court or out of the court. This is a form of legal remedy the aggrieved consumers may carry out.

Keywords:expert of traditional medicine, inspannings verbintenis

Abstrak: Pelaksanaan pengobatan tradisional memiliki konsekuensi hukum yang patut diketahui oleh para pengobat, sehingga mereka dapat melakukan tindakan-tindakan yang bersifat pencegahan atau preventif. Oleh karena itu, muncul masalah yang menarik untuk diteliti, yaitu bagaimana hubungan hukum antara pasien dan pengobat tradisional dan bagaimana pertanggungjawaban hukum bagi pengobat tradisional apabila melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pasien. Tipe penelitian ini adalah doctrinal

legal research dengan conceptual approach yang didukung deengan bahan hukum primer

yaitu peraturan perundang-undangan serta bahan hukum sekunder seperti buku, jurnal, dan lain-lain. Metode analisis yang digunakan adalah normatif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan hukum antara pasien dengan pengobat tradisional adalah inspannings-verbintenis. Kedudukan pasien dengan pengobat tradisional sama secara hukum, namun pertanggungjawaban hukum bagi pengobat tradisional diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam lingkungan hukum perdata dan hukum pidana. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui mekanisme yang telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yakni melalui mekanisme penyelesaian sengketa di dalam pengadilan atau di luar pengadilan. Ini merupakan bentuk upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang merasa dirugikan.

(2)

Pendahuluan

Salah satu paradigma yang cukup pupuler dalam dunia kesehatan adalah kesehatan untuk semua “health for all” yang dapat dimaknai bahwa pelayanan jasa publik di bidang kesehatan hendaknya harus dapat diakses oleh setiap masyarakat dari segala macam lapisan yang ada. Dinamika ini berkem-bang dan semakin mendorong tumbuh dan berkembangnya beragam alternatif pelayanan kesehatan. Pengobatan tradisi-onal yang dikenal pula sebagai jasa pengobatan tradisional dari para pengobat tradisional atau disingkat Battra, sebagai pelayanan kesehatan “jalan lain” calon pasien untuk mengobati penyakit atau berkonsultasi mengenai suatu penyakit sampai pada hal-hal lain yang bersifat supranatural atau batin.

Pengaturan tentang pengobatan tradisional yang juga dikenal sebagai Battra ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 16 yang disebutkan bahwa pelayanan peng-obatan tradisional adalah pengpeng-obatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan ketrampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Orang yang melakukan pelayanan pengobat tradisi-onal itu disebut pengobat tradisitradisi-onal. Selanjutnya Keputusan Menteri Kesehat-an Nomor: 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional membagi pengobatan tradisi-onal menjadi empat kelompok, terdiri atas: Pengobatan tradisional (Battra) Ramuan, Battra Ketrampilan, Battra Supranatural dan Battra dengan Pende-katan Agama. Pengobatan tradisional

merupakan pengobatan yang mengguna-kan cara, alat atau bahan yang tidak termasuk dalam standar pengobatan ke-dokteran dan dipergunakan sebagai atau pelengkap pengobatan kedokteran ter-sebut1.

Hal yang unik memperlihatkan bahwa pasien yang menggunakan peng-obatan tradisional lebih banyak diban-dingkan dengan yang datang ke dokter. Sebagaimana survei yang dilakukan oleh National Health Interview Survey (NHIS) tahun 2007, hampir 40% orang dewasa dan 12% anak-anak di Amerika Serikat menggunakan Complementary and

Alter-native Medicine (CAM). Kondisi di

Eropa penggunaannya bervariasi antara lain 23 % di Denmark dan 49% di Prancis. Sebanyak 90 % pasien di Taiwan mendapat terapi konvensional dikombi-nasikan dengan pengobatan tradisional Cina dan di Australia sekitar 48,5% masyarakatnya menggunakan terapi tradi-sional. Apabila ditinjau dari segi jenis penyakit, penggunaan terapi tradisional pada penyakit kanker bervariasi antara 9% sampai dengan 45% dan penggunaan terapi tradisonal pada pasien penyakit saraf bervariasi antara 9% sampai 56%. Penelitian di Cina menunjukkan bahwa 64% penderita kanker stadium lanjut menggunakan terapi tradisional.

Ada berbagai faktor yang mempe-ngaruhi seseorang memilih pengobatan tradisional, yaitu: faktor sosial, faktor ekonomi, faktor budaya, faktor psiko-logis, faktor kejenuhan terhadap pelayan-an medis/pengobatpelayan-an konvensional, fak-tor manfaat dan keberhasilan, fakfak-tor

1

(3)

pengetahuan, dan faktor persepsi tentang sakit dan penyakit (Foster & Anderson, 19862; Turana, 2003; Dharmojono, 20013). Menurut Profil Kesehatan Indonesia dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan bahwa pada tahun 2008, angka kesakitan pen-duduk secara nasional sebesar 33,24%, dari jumlah tersebut sebesar 65,59% memilih berobat sendiri dengan meng-gunakan obat-obatan modern dan tradisi-onal, sisanya sebesar 34,41% memilih berobat jalan ke Puskesmas, praktek dokter dan fasilitas kesehatan lainnya. Hal ini menunjukkan minat masyarakat terhadap pengobatan tradisional ini cukup tinggi (Depkes RI, 2009)4.

Hubungan sosial antara pengobatan tradisional dengan pasien yang bisa men-jadi perhubungan hukum antar keduanya, dipandang dari kepentingan masing-masing pihak. Hubungan hukum ini bisa mewujud sebagai permasalahan apabila terdapat perbuatan yang dianggap me-rugikan dalam pelaksanaan pengobatan tradisional. Hal ini sebagaimana pembe-ritaan di media massa tentang “Seorang Pemuda Tewas Saat Jajal Pengobatan alternatif”.5 Sehubungan dengan hal ter-sebut, pengobat tradisional patut menge-tahui tentang konsekwensi hukum dalam pelaksanaan pengobatan tradisional, se-hingga dapat melakukan

2

G. M. Foster, & B. G Anderson, 1986,

Antropologi Kesehatan, Jakarta: UI Press.

3

Dharmojono, 2001, Menghayati Teori & Praktek Akupunktur & Moksibasi, Jakarta: Trubus Agriwidya.

4

Depkes RI, 2009, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta.

5

Republika online, “Seorang Pemuda Tewas Saat Jajal Pengobatan Alternatif”: http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/ 13/03/08/ mjbsbo-seorang-pemuda-tewas-saat-jajal-pengobatan-alternatif, Tulisan ini diakses pada 7 Februari 2014.

tindakan yang bersifat pencegahan atau preventif.

Oleh karena itulah kiranya perlu diteliti dan dikaji mengenai hubungan hukum antara pasien dan pengobat tra-disional dan pertanggungjawaban hukum bagi pengobat tradisional apabila melaku-kan perbuatan yang menimbulmelaku-kan kerugi-an pasien. Penelitikerugi-an ini diharapkkerugi-an dapat memberikan pemahaman teoritis tentang tindak pidana dalam bidang kesehatan dan dapat memberikan kontribusi dan solusi kongkrit bagi para legislator ber-hubungan dengan pertanggungjawaban hukum dalam pengobatan tradisi-onal.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, berfokus pada penelitian terhadap substansi hukum yang berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum pengobat tradisional dengan cara pemijatan urat dan syaraf. Tipe penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah doctrinal legal research. Peneliti-an ini menggunakPeneliti-an pendekatPeneliti-an konsep-tual (conceptual approach). Oleh karena-nya peneliti harus membangun suatu konsep untuk dijadikan acuan dalam penelitiannya khususnya yang ber-hubungan dengan pertanggungjawaban hukum pengobat tradisional dengan cara pemijatan urat dan syaraf. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

(4)

inter-net, makalah seminar nasional, jurnal, dokumen, dan bahan hukum lain yang mempunyai kaitan dengan bahan hukum penelitian ini. Bahan hukum yang ter-kumpul dianalisis secara normatif-kuali-tatif dengan jalan menafsirkandan meng-konstruksikan pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan peraturan perun-dang-undangan. Normatif karena peneliti-an ini bertitik tolak dari peraturpeneliti-an-per- peraturan-per-aturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif berarti anali-sis bahan hukum yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan informasi baru.

Pembahasan

Pertanggungjawaban Hukum

Suatu konsep berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Sese-orang dikatakan secara hukum bertang-gungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang ber-lawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent adalah karena perbuatannya sendiri yang mem-buat orang tersebut harus bertanggung-jawab. Pada kasus ini subyek

resposibi-lity dan subyek kewajiban hukum adalah

sama6.

Tanggung jawab merupakan suatu keseharusan bagi seseorang untuk melak-sanakan apa yang telah diwajibkan ke-padanya.7 Tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan se-orang tentang perbuatannya yang berkait-an dengberkait-an etika atau moral dalam

6 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at,

2006,

Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

7

Andi Hamzah, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

kukan suatu perbuatan.8 Pertanggung-jawaban hendaknya mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.9

Pertanggungjawaban pidana berhu-bungan erat perbuatan pidana. Seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melaku-kan tindak pidana. Sehingga untuk men-jatuhkan pidana hendaknya unsur “tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pida-na” harus dipenuhi. Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana merupakan pembahasan secara objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan pembahasan subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan ada-nya kesalahan (kesengajaan dan kealpa-an).

Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu per-janjian (hubungan hukum perper-janjian), maka berdasarkan undang undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu.10 Sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang

8

Soekidjo Notoatmojo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

9

Titik Triwulan dan Shinta Febrian, 2010,

Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta.

10

(5)

karena salahnya telah menimbulkan keru-gian bagi orang lain.

Pelayanan Kesehatan Tradisional

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menggunakan istilah pengobatan tradisional, sedangkan dalam Undang-Undang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menggunakan istilah pelayanan kesehatan tradisional. Masya-rakat lebih mengenal istilah pengobatan tradisional dibandingkan pelayanan kese-hatan tradisional. Sehingga pelayanan ke-sehatan tradisional sering dikatakan pengobatan tradisional. Pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang selanjutnya disebut Undnag-Undang Kesehatan digunakan istilah pelayanan kesehatan tradisional. Definisi Pelayanan kesehatan tradisional dalam Pasal 1 butir 16 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah:

“Pelayanan Kesehatan Tradisional adalah pengobatan dan/atau pera-watan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan ke-terampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di ma-syarakat.”

Hukum Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada Pasal 1 angka 1 menegaskan bahwa per-lindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada kon-sumen. Perlindungan konsumen mempu-nyai arti yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk

men-dapatkan barang dan jasa sampai akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu.

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum‟ diharapkan sebagai benteng un-tuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlin-dungan konsumen. Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU-PK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhati-an, teristimewa karena keberadaan per-ekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.11

Hubungan Pengobat Tradisional de-ngan Konsumen

Batasan konsumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah konsumen se-bagai pemanfaat jasa pengobatan tradisi-onal. Seseorang yang berobat adalah se-bagai konsumen pemanfaat jasa kesehat-an, dan jasa yang diberikan adalah tinda-kan pengobatan terhadap diri individu sebagai konsumen. Penggunaan istilah konsumen bukan sebagai pasien dalam didasari alasan bahwa istilah pasien ada-lah merupakan hal yang umum dalam dunia kedokteran konvensional, sebagai-mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang menyebutkan:

“Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah ke-sehatannya untuk memperoleh pe-layanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”.

11

(6)

Undang-undang tersebut menyebut-kan pula kriteria dokter, prosedur pe-nanganan dan etika dalam pelayanan medis, sehingga dengan kriteria ini tidak terpenuhi pada pengobatan tradisional. Hal ini menekankan bahwa pasien hanya digunakan dalam pengobatan konvensi-onal (kedokteran) dan bukan pada peng-obatan tradisional.

Penelaahan terhadap hubungan hu-kum antara pasien dengan pengobat tra-disional maka perlu ditinjau mengenai eksistensi dari pengobat tradisional dan pasien dalam pelayanan kesehatan. Peng-obat tradisional merupakan bagian dalam pelayanan kesehatan sebagaimana Pasal 1 butir 16 Undang-Undang Kesehatan. Pasal 59 ayat 1 menyebutkan Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa:

“Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional ter-bagi menjadi: a. pelayanan kesehat-an tradisional ykesehat-ang menggunakkesehat-an keterampilan”

Hal ini menunjukkan, berdasarkan Undang-Undang kesehatan pengobatan tradisional disebutkan dan diakui keber-adaannya sebagai bagian dalam pelayan-an kesehatpelayan-an nasional. Hal ini dipertegas dalam Pasal 59 ayat 2 dan 3 sebagai beri-kut:

“(2) Pelayanan kesehatan tradisi-onal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertang-gungjawabkan manfaat dan ke-amanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kese-hatan tradisional sebagaimana di-maksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Peraturan Pemerintah sebagaimana yang dimaksud Pasal 59 ayat 3 Undang-Undang Kesehatan tersebut hingga saat ini masih belum diterbitkan. Tuntutan di-terbitkannya Peraturan Pemerintah ini telah disampaikan oleh Pengurus Pusat Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia (Aspetri) kepada Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum pada Senin, 3 Mei 2010. Salah satu usulan Aspetri ada-lah mengharapkan pemerintah c.q Ke-menterian Kesehatan segera menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional sehingga dapat dijadikan acuan dalam penyusunan Perda di tingkat pemerintah daerah.12 Tuntutan Aspetri sangat beralasan mengingat se-cara khusus sese-cara khusus Penyeleng-garaan Pengobatan Tradisional selama ini mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003. Sedangkan dengan Undang-Undang Kesehatan diterbitkan pada tahun 2009 dan oleh karenanya penting untuk memperkuat Kepmenkes Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional melalui Peraturan Pemerintah yang baru.

Penjelasan tentang pengobat tradi-sional berdasarkan Undang-Undang Ke-sehatan dan Kepmenkes Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, secara hukum

12

Laporan Singkat, Dewan Perwakilan Rakyat RI, Komisi IX DRP RI. Tulisan diakses pada http://www.dpr.go.id/complorgans/commission/co mmission9/report/K9_laporan_RDPU_dgn_Peng urus_Pusat_Asosiasi_Pengobat_Tradisional_Ram uan_Indonesia_Tgl_3_Mei_2010.pdf. Lihat juga dalam

(7)

pengobat tradisional diakui keberadaan-nya sebagai bagian dalam pelayanan ke-sehatan nasional. Walaupun demikian, kedudukan hukum pengobat tradisional sebagai tenaga kesehatan dari analisa pe-nulis masih lemah. Kepmenkes Penye-lenggaraan Pengobatan Tradisional tahun 2003 memang telah menyebutkan dan mengakui keberadaan pengobat tradisi-onal. Hanya saja tidak terdapat kejelasan kedudukan hukum pengobat tradisional pada tingkat yang lebih tinggi, baik Per-aturan Pemerintah atau undang-undang. Dalam Undang-Undang Kesehatan, peng-obat tradisional tidak disebutkan sebagai tenaga kesehatan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yang selanjutnya disebut PP Tenaga Kesehatan juga tidak menyebutkan pengobat tradisi-onal sebagai tenaga kesehatan.

Kedudukan hukum pengobat tradi-sional sebagai tenaga kesehatan semakin lemah apabila mengacu pada Pasal 3 PP Tenaga Kesehatan yang menyebutkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Ijasah dari lembaga pendidikan bagi pengobat tra-disional, berdasar ragam klasifikasi dari pengobat tradisional, sulit untuk dapat dipenuhi, mengingat belum adanya lem-baga pendidikan, maupun profesi yang memiliki legalitas mengeluarkan ijasah tersebut.

Kedudukan hukum pengobat tradi-sional lebih relevan sebagai pelaku usaha. Hal ini mengacu pada Pasal 1 angka (3) UUPK maka pengertian pelaku usaha, objek dari hubungan pelaku usaha dan konsumen sekilas hanyalah barang ber-wujud, sedangkan jasa adalah barang yang tidak berwujud. Tetapi karena

pasien juga merupakan konsumen dalam bidang jasa kesehatan, maka tentulah ada pihak yang bertindak sebagai pelaku usaha. Pengobat tradisional yang men-jalankan kegiatan dengan tujuan untuk mengobati atau menyembuhkan orang yang sakit dapat dikatakan sebagai pelaku usaha yang bergerak dalam bidang pelayanan jasa kesehatan, secara tradisi-onal, dengan tak menutup kemungkinan untuk mencari manfaat ekonomis juga.

Analisa penulis terdapat perbedaan karakteristik dari pengobat tradisional di-tinjau dari sisi ekonomi sebagai pelaku usaha. Nilai ekonomis yang melandasi tergantung pada prinsip “pengabdian dan kemanusiaan” secara individual pelaku usaha (pengobat tradisional) yang ber-sangkutan. Kenyataan menunjukkan banyak pengobat tradisional yang menen-tukan tarif sesuai dengan „tindakan” jasa pelayanan kesehatan yang dilakukan, akan tetapi tidak jarang pula terdapat pengobat tradisional yang tidak menentu-kan tarif, dan jasa yang diberimenentu-kan meru-pakan bagian dari nilai pengabdian dan kemanusiaan. Fakta inilah yang tidak se-cara serta merta kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Undang-Undang Perlin-dungan Konsumen tidak dapat begitu saja diberlakukan dalam hubungan konsumen/ pemakai (pasien) dengan pelaku usaha (pengobat tradisional). Hal ini dikarena-kan adanya kemiripan pola hubungan antara konsumen/pemakai (pasien) dengan pelaku usaha (pengobat tradisi-onal) dengan pola hubungan pasien dengan dokter pada pelayanan kesehatan konvensional terutama adanya prinsip “pengabdian dan kemanusiaan”. Seba gai-mana diungkapkan Lubis bahwa:

(8)

dengan pasien hanya merupakan bentuk perikatan medik, yaitu per-janjian “usaha” (inspanning

ver-bintenis) tepatnya perjanjian usaha

kesembuhan (teraupetik), bukan perikatan medik “hasil” (resultaat

verbintenis), disamping itu profesi

dokter dalam etika kedokteran masih berpegang pada prinsip “pengabdian dan kemanusiaan”, se -hingga sulit disamakan antara pasien dengan konsumen pada umumnya.13

Hubungan pasien dengan pengobat tradisional adalah suatu Perikatan Ber-usaha (inspannings-verbintenis) yaitu adanya upaya menyembuhkan atau me-mulihkan kesehatan pasien. Upaya dalam jasa ini, pengobat tradisional tidak boleh dan tidak mungkin dapat memberikan garansi kepada pasiennya, dan tidak dapat dipersalahkan begitu saja apabila hasil usahanya itu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pasien umumnya hanya dapat menerima saja segala sesuatu yang dikatakan pengobat tradisional tanpa dapat bertanya apapun. Semua keputusan sepenuhnya berada ditangan pengobat tradisional. Dengan semakin meningkat-nya kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya, maka pola hubungan demikian ini juga mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada saat ini secara hukum pengobat tradisional adalah partner dari pasien yang sama atau sederajat kedu-dukannya, pasien mempunyai hak dan kewajiban tertentu seperti halnya peng-obat tradisional.

Pertanggungjawaban Hukum bagi Pengobat Tradisional Apabila

13

M. Sofyan Lubis, 2008, Konsumen dan Pasien, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.

kan Perbuatan yang Menimbulkan Kerugian Pasien

Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur perlindungan terhadap konsumen dalam lingkup hu-kum perdata dan huhu-kum pidana. Hal ini memang ditujukan untuk meningkatkan posisi tawar konsumen dalam bertran-saksi dengan pelaku usaha. Pertanggung-jawaban pelaku usaha secara perdata terjadi apabila tuntutan ganti kerugian oleh konsumen atas kerugian yang terjadi sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik mau-pun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besarnya ter-bagi dalam dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang ber-dasarkan perbuatan melanggar hukum. Ini merupakan bentuk pertanggungja-waban yang dapat dituntut pada seorang pelaku usaha secara perdata apabila terbukti melakukan kerugian pada kon-sumen.

Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang di-dasarkan pada wanprestasi dengan tun-tutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum. Apa-bila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan konsumen) terikat suatu perjanji-an. Dengan demikian, pihak ketiga (bu-kan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.

(9)

perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua belah pihak secara sukarela tunduk berdasarkan per-janjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, dan apa yang telah diperjanjikan tersebut, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Di samping ketentuan yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, ketentuan ganti kerugian yang ber-sumber dari hukum pelengkap juga harus mendapat perhatian, seperti ketentuan tentang wanprestasi dan cacat tersembu-nyi serta ketentuan lainnya. Ketentuan-ketentuan ini melengkapi Ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan ketentuan ini hanya dapat dikesam-pingkan jika para pihak menjanjikan lain. Ganti kerugian yang diperoleh ka-rena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak terpenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan dalam perjanjian. Bentuk-bentuk wanprestasi ini dapat berupa:

a) tidak melakukan apa yang disang-gupi akan dilakukannya;

b) melaksanakan apa yang dijanjikan-nya, tetapi tidak sebagaimana dijanji-kan;

c) melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan-nya.14

14

Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Cet. 19, Jakarta: PT. Intermasa.

Pengajuan gugatan berdasarkan wanprestasi dapat menggunakan dasar Pasal 1243 KUHPerdata. Pengertian da-lam pasal tersebut menyatakan bahwa se-seorang dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi apabila ia memiliki janji kepada seseorang, namun ia tidak meme-nuhi prestasi seperti yang telah dijanji-kannya karena lalai. Jadi, untuk menen-tukan kapan seseorang telah melalaikan kewajibannya dapat dilihat dari isi per-janjian. Apabila terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pengobat tradisional, ma-ka pertanggungjawabannya menjadi tang-gung jawab pengobat tradisional tersebut. Upaya mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi ini, korban (konsumen pe-manfaat jasa pengobatan tradisional) harus membuktikan bahwa memang be-nar telah terjadi perikatan yang lahir dari perjanjian antara dirinya dengan pengobat tradisional.

Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi), tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara produsen dan konsumen, sehingga tuntutan ganti keru-gian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara pro-dusen dengan konsumen. Dengan demi-kian, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian. Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum.

(10)

dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti bahwa ganti kerugian yang dianut dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah ganti kerugian subjektif.

Pengobat tradisional berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat digugat untuk dimintai pertanggungjawabannya dengan membayar ganti rugi atas per-buatan melawan hukum yang meng-akibatkan kerugian kepada korbannya (konsumen pemanfaat jasa pengobatan tradisional). Hal ini terjadi apabila unsur-unsur perbuatan melawan hukum dari pengobat tradisional disini harus terpe-nuhi dan dapat dibuktikan. Pelaku usaha dalam hal ini adalah tenaga pengobat tradisional berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerugian konsumen akibat mengkonsum-si jasa pengobatan. Apabila perjanjian tidak terpenuhi, wanprestasi atau perbuat-an melawperbuat-an hukum, maka dapat dituntut dengan ganti rugi. Penetapan besarnya ganti rugi bukan merupakan sesuatu yang mudah dapat dipastikan, terutama dalam bidang jasa pelayanan kesehatan.

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka untuk mene-tapkan kerugian karena telah terjadinya suatu wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dalam suatu transaksi pengobatan tradisional, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsu-men telah Konsu-mengatur tentang bentuk ganti kerugian. Bentuk ganti kerugian berda-sarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat berupa: pertama, pe-ngembalian uang muka atau kedua penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya dan ketiga perawatan kesehatan dan atau pemberian

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Pada umumnya ganti kerugian yang diberikan kepada atau dituntut oleh pihak yang menderita kerugian biasanya dalam bentuk uang. Besarnya biaya atau uang yang dituntut dapat ditetapkan berdasar-kan karakteristik peraturan perundang-undangan. Undang-Undang dapat menen-tukan jumlah maksimum biaya yang di-berikan atau berdasarkan pertimbangan putusan hakim dengan melihat dan mencermati kondisi kerugian yang timbul karena kesalahan atau kelalaian salah satu pihak.

Undang-undang Perlindungan Kon-sumen cukup banyak mengandung keten-tuan-ketentuan pidana, termasuk di dalamnya diatur mengenai pertanggung-jawaban pelaku usaha secara pidana. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 61 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa tuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.

Ketentuan memberi makna bahwa badan usaha (badan hukum atau bukan badan hukum, perusahaan swasta atau publik, koperasi dan sebagainya dapat diajukan sebagai terdakwa dalam suatu perkara pidana, disamping mereka yang bekerja sebagai pengurusnya. Jadi, per-tanggungjawaban pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurus-nya apabila dapat dibuktikan unsur-unsur kesalahannya.

(11)

Ayat (2), dan Pasal 18. Begitu pula dalam Pasal 62 Ayat (2) menetapkan bahwa pelanggaran atas Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan f, diancam pidana penjara maksimum 2 (dua) tahun penjara atau denda maksi-mum Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sedangkan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha dan/atau pengurus yang mengakibatkan konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau meninggal maka diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku diatur dalam Pasal 62 Ayat (3).

Dalam ketiga ayat tersebut di atas terlihat bahwa ancaman hukuman pidana penjara atau denda dapat dijatuhkan pada setiap pelaku usaha yang bersalah. Anca-man pidana penjara dan denda merupa-kan bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh setiap pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran.

Pelaku usaha dan atau pengurusnya masih dapat dijatuhi hukuman tambahan atas tindak pidana sebagai disebut di atas berdasarkan Pasal 63 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Menurut keten-tuan pidana dalam Undang-undang Per-lindungan Konsumen, pengobat tradisi-onal sebagai pelaku usaha dapat memper-tanggungjawabkan tindakannya secara pidana apabila memang telah terbukti melakukan pelanggaran. Ancaman pida-nanya dapat berupa, hukuman pidana penjara atau dengan membayar denda yang dijatuhkan sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Terhadap kegiatan peng-obatan tradisional dapat dilakukan perin-tah penghentian apabila memang terbukti telah menimbulkan kerugian pada konsu-men, serta izin usahanya dapat dicabut.

Penyelesaian Sengketa dalam Peng-obatan Tradisional

Pasal 23 Undang-Undang Perlin-dungan Konsumen menyatakan bahwa apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha distributor menolak dan/ atau tidak memberikan tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen di-berikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan penyelesaian yang timbul melalui lembaga yang ber-tugas menyelesaikan sengketa konsumen, atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedu-dukan konsumen.

Hal ini menunjukkan UUPK mem-berikan alternatif penyelesaian melalui badan di luar sistem peradilan yang di-sebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), selain melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen.15 Masalah penyelesaian seng-keta dalam UUPK diatur dalam Bab X yang terdiri dari empat pasal, yang di-mulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 48. Jika kita baca rumusan yang diberi-kan dalam pasal-pasal tersebut, dan bebe-rapa ketentuan yang diatur dalam Bab XI UUPK tentang BPSK.

Kesimpulan

Hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan penulis dapat disim-pulkan bahwa hubungan hukum antara pasien dengan pengobat tradisional ada-lah suatu Perikatan Berusaha (

inspan-nings-verbintenis) yaitu adanya upaya

menyembuhkan atau memulihkan kese-hatan pasien. Hubungan hukum ini dapat

15

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003.

(12)

terjadi karena adanya perjanjian dan Undang-undang. Syarat sahnya perjanjian mengacu pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata meliputi: adanya kata se-pakat diantara para pihak, kecakapan para pihak dalam hukum, suatu hal tertentu, dan kausa yang halal. Peran Informed

consent demikian penting dalam

perjanji-an sebagaimperjanji-ana diatur dalam Kepmenkes Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional pada Pasal 15. Secara teoritis kedudukan pasien dengan pengobat tradisional sama secara hukum, namun karena kurangnya pemahaman hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, pelang-garan-pelanggaran masih sering terjadi dan menimbulkan potensi pihak pasien yang dirugikan. Pasien umumnya hanya dapat menerima saja segala sesuatu yang dikatakan pengobat tradisional tanpa dapat bertanya apapun. Semua keputusan sepenuhnya berada ditangan pengobat tradisional.

Pertanggungjawaban hukum bagi pengobat tradisional apabila melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pasien telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam lingkungan hukum perdata dan hukum pidana. Pelaku usaha yang telah melaku-kan kesalahan atau kelalaian terhadap konsumen atau pelanggaran terhadap undang-undang dapat mempertanggung-jawabkan tindakannya secara perdata maupun pidana. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan posisi tawar konsumen dalam bertransaksi dengan pelaku usaha, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang karena telah ada undang-undang yang mengaturnya. Penyelesaian sengke-ta dapat dilakukan melalui mekanisme yang telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yakni melalui mekanisme penyelesaian sengketa di

dalam pengadilan atau di luar pengadilan. Ini merupakan bentuk upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang merasa dirugikan, mereka dapat mengaju-kan gugatan ke pengadilan atau menyele-saikan sengketannya di luar pengadilan.

Saran yang disampaikan dalam pe-nelitian ini adalah perlunya tambahan muatan pengaturan dalam Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang-Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai pela-yanan kesehatan tradisional, serta hu-bungan antara pengobat tradisional dengan konsumen secara tegas. Hal lain adalah perlu diterbutkannya Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional sehingga dapat dijadikan acu-an dalam penyusunacu-an Perda di tingkat pemerintah daerah.

Daftar Bacaan

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa‟at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang

Hukum, Sekretariat Jenderal &

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Depkes RI, 2009, Sistem Kesehatan

Nasional, Jakarta.

Dharmojono, 2001, Menghayati Teori &

Praktek Akupunktur & Moksibasi,

Jakarta: Trubus Agriwidya.

Foster, G. M. & B. G Anderson, 1986,

Antropologi Kesehatan, Jakarta: UI

Press.

Hamzah, Andi, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Lubis , M. Sofyan, 2008, Konsumen dan

Pasien, Liberty Yogyakarta,

Yogyakarta.

Miru, Ahmadi & Sutarman Yodo, 2011,

Hukum Perlindungan Konsumen.

Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Nasution, AZ, 2002, Hukum

Perlindungan Konsumen, cet.2,

Jakarta: Diapit Media.

Notoatmojo, Soekidjo, 2010, Etika dan

(13)

Jakarta.

Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Cet. 19, Jakarta: PT. Intermasa.

Triwulan, Titik dan Shinta Febrian, 2010, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani,

2003. Hukum Tentang

Perlindungan Konsumen, Gramedia

Pustaka Utama.

Laporan Singkat Dewan Perwakilan Rakyat RI, Komisi IX DRP RI.

Tulisan diakses pada

http://www.dpr.go.id/complorgans/ commission/commission9/report/K9 _laporan_RDPU_dgn_Pengurus_P usat_Asosiasi_Pengobat_Tradision al_Ramuan_Indonesia_Tgl_3_Mei_

2010.pdf. Lihat juga dalam

http://www.dpr.go.id/complorgans/ commission/commission9/report/K9 _laporan_RDPU__Komisi_Ix_DPR _RI__dgn__Ketua_PDUI,_Ketua__ Aspetri,_Ketua__Persana,_Ketua_ _Aimi__dan_Ketua__PPA_Kosmeti ka_Indonesia__Tgl__25__Januari_ _2011.pdf

Republika online, “Seorang Pemuda Tewas Saat Jajal Pengobatan Alternatif”:http://www.republika.co

.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/ 13/03/08/

mjbsbo-

seorang-pemuda-tewas-saat-jajal-pengobatan-alternatif, Tulisan ini

diakses pada 7 Februari 2014. Yuda Turana, “Seberapa Besar Manfaat

Pengobatan?”,http://www.medikaho listik.com/medika.html?xmodule=d

ocument_detail& xid=61&ts

=1362672726&qs=health, Tulisan

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan akan dilaksanakannya Evaluasi Dokumen Kualifikasi dan Pembuktian Kualifikasi untuk paket pekerjaan Pengadaan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) OTSUS, dengan ini

Data Keuangan Pajak sesuai dokumen penawaran yaitu : NPWP, SPT Tahun 2013, Pajak Bulanan PPh pasal 25 atau pasal 21 / pasal 23 atau PPN bulan Mei, Juni dan Juli 2014 , atau

artinya kita menghadap suatu hal sebagai hal artinya kita menghadap suatu hal sebagai hal yang menampakkan diri dan kita tidak melihat yang menampakkan diri dan kita tidak

Satu kajian sistematik telah dijalankan di Negeri Perak, Riau, Aceh, dan Sumatera Utara, Indonesia dari Mei-Jun 2007, November 2007 dan Mac 2008 untuk

Dengan melihat permasalah yang telah diuraikan diatas dijadikan landasan pijakan alasan penulis untuk mengkaji bagimana perana rekrutmen politik di Partai Demokrasi

Teknik pengumpul data dalam penelitian ini adalah 1) Teknik observasi langsung yang merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung

”Hak isteri kepada suami adalah memberi makan kepada isterinya apabila ia makan, memberi pakaian kepadanya jika dia berpakaian, tidak memukul pada muka dan tidak berbuat jelek

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui penambahan tepung tulang ikan bandeng yang sesuai sehingga dihasilkan susu kedelai yang memiliki kandungan