• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ramai Sesaat Senyap Kemudian Partisipasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ramai Sesaat Senyap Kemudian Partisipasi"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Ramai Sesaat, Senyap Kemudian:

Partisipasi Petani Gunungkidul dalam Pengembangan Sumber Energi Terbarukan1

Gunawan(1)

1. Jurusan Sosiologi dan Antropologi-Fakultas Ilmu Sosial, Universitas

Negeri Semarang, Gd. C7 Lt.1 Sekaran-Gunungpati-Semarang. Penulis Korespondensi: email goensaja@gmail.com

Abstrak

Pada tahun 2006 pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan untuk mengembangkan sumber bahan bakar alternatif guna mengatasi krisis energi, kerusakan lingkungan, dan kemiskinan. Jarak pagar (jathropha curcas) adalah salah satu Jenis tanaman yang dikembangkan. Jarak pagar diperkenalkan kepada petani sebagai sumber bahan bakar dan ditanam melalui berbagai proyek di berbagai pulau di Indonesia. Namun tidak sampai satu dekade, proyek-proyek tersebut mulai sunyi dari perbincangan. Partisipasi petani untuk menanam jarak pagar akhirnya surut.

Data dalam tulisan ini dikumpulkan melalui penelitian kulitatif di dua desa, yaitu Sumberwungu, dan Purwodadi, kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana pasang surut minat petani dalam penanaman jarak pagar. Tulisan ini menguraikan tiga hal, pertama menguraikan pasang surut perbincangan jarak pagar sebagai sumber energi hijau di Indonesia; kedua menguraikan

(2)

partisipasi petani dalam proyek jarak pagar dalam relasi sosial sehari-hari petani; dan ketiga menguraikan proses transformasi pengetahuan petani terhadap jarak pagar dari tanaman liar menjadi komoditi pertanian baru, yaitu sumber bahan bakar.

keyword: jarak pagar, komoditi, transformasi, pemaknaan,

Abstract

At the year of 2006, the Indonesia government declared policy to develop alternatives fuel resources in order to overcome energy crisis, environmental degradation, and poverty. Jatropha curcas is one of plant that being developed and introduced to farmer as the fuel sources thus being planted in a lot of islands in Indonesia through various projects. However, no more than a decade, the projects have silent in discourse, farmer’s participation to plant the jatropha curcas finally subsided.

The data in this paper was collected through qualitative research in two villages, Sumberwungu and Purwodadi, District of Gunungkidul, Special Region of Yogyakarta. The paper tries to discribe how does the rise and fall of farmer’s interest to plant jathropa. This paper explains three things, first, discribing the raise and fall of jatropha curcas discourse as a green energy sources in Indonesia; second, discribing the farmer’s participation on jatropha curcas project in their daily social relation; and the third, discribing the cognitive transformation process within farmers from jatropha curcas as a wild plant to a new agriculture commodity as fuel.

(3)

A. Pendahuluan

Jarak pagar (Jatropha curcas Linn), konon tanaman ini disebarkan oleh pelaut-pelaut Portugis dari Amerika Tengah dan Mexico melalui Cape Verde kemudian menyebar ke Afrika dan Asia hingga akhirnya banyak tumbuh di wilayah tropis dan sub tropis. Potensinya untuk sumber bahan biofuel2 sudah diketahui sejak lama. Pada perang dunia kedua, jarak pagar sudah digunakan sebagai pengganti bahan bakar mesin diesel di Madagaskar, Benin, dan Cape Verde (Brittaine, 2010). Di Indonesia, pohon jarak kadang hanya disebut dengan “jarak”. Penyebutan itu seringkali menimbulkan salah pengertian karena ada dua jenis pohon jarak yang biasa dikenal, yaitu jarak kepyar atau dikenal dengan sebutan kastor, kaliki (riniscus communis) dan jarak pagar (jatropha curcas Linn). Jarak pagar juga dikenal sebagai obat. Getahnya yang berwarna putih pada masa lalu lazim digunakan untuk antiseptik, obat luka, dan obat kumur saat gusi berdarah, sedangkan bijinya menjadi obat pencahar yang manjur (Kloppenburg, n/a). Selain itu biji jarak pagar juga dipakai untuk penerangan rumah. Jarak pagar pernah menjadi tanaman yang sangat populer di wilayah Asia, seperti Indonesia, Philipina, dan India, Myanmar serta di Afrika, seperti Mozambigue, Kenya, Tanzania, dan Ethiophia. Tanaman ini mulai ditanam secara masif karena bijinya dipromosikan dapat menjadi sumber biofuel. Pengembangan tanaman Jarak pagar diharapkan dapat menyelesaikan persoalan klasik di negara dunia ketiga yaitu krisis energi, kemiskinan, dan pengangguran (Amir, 2008). Jarak pagar merupakan tanaman yang dapat tumbuh di lahan yang kering dan tandus. Biji jarak pagar tidak termasuk sebagai tanaman yang dapat dimakan, sehingga penggunaan untuk sumber bahan bakar tidak akan bersaing dengan kebutuhan pangan dan tidak akan mengancam ketahanan pangan.

(4)

Studi terhadap proyek jarak pagar yang dilakukan dari perspektif ilmu sosial menunjukkan bahwa proyek jarak pagar tidak hanya persoalan teknis menanam dan mengolah hasil bijinya, namun memiliki demensi sosial politik yang berkelindan dalam relasi sosial antara petani dengan pihak pihak yang berkepentingan dengan pengembangan biofuel (Amir, 2008; Fatimah, 2009; Hunsberger 2010). Namun studi studi yang telah dilakukan menunjukkan proses introduksi jarak pagar kepada petani sebagai proses yang berlangsung satu arah. Persoalan produksi biofuel dilihat sebatas pada bentuk respon petani serta implikasi yang harus ditanggung petani akibat respon yang dilakukannya. Peristiwa introduksi tanaman jarak pagar dilihat seolah-olah sebagai peristiwa linear dan statis. Padahal proses introduksi pohon jarak pagar merupakan peristiwa yang sangat dinamis. Partisipasi petani dalam pengembangan jarak pagar bertalian erat dengan relasi sosial sehari-hari mereka, di dalam relasi itu terjadi proses produksi dan reproduksi pemaknaan yang membentuk perilaku tertentu dalam merespon apa yang terjadi. Dalam pengembangan jarak pagar, lahan dan tenaga kerja yang dibutuhkan adalah milik petani, selain itu juga terdapat aspek-aspek yang turut menentukan apa saja yang kemudian dilakukan petani. Aspek pengetahuan tentang sistem pertanian (tenaga kerja, musim, tanah, tanaman, hama), dan aspek sosial lainya seperti rasa aman dan jaminan pemenuhan kebutuhan hidup merupakan faktor penting yang turut menentukan sejauh mana partisipasi petani terhadap munculnya material baru yaitu jarak pagar.

(5)

dengan proyek jarak pagar serta relasi-relasi sosial yang terintegrasi dengan sistem kognitif pertanian mereka.

Introduksi jarak pagar sebagai sumber biofuel sesungguhnya merupakan proses mentransformasikan obyek fisik menjadi obyek simbolik sehingga tanaman tersebut memiliki makna bagi petani dan kemudian petani tertarik dan berpartisipasi untuk menanamnya. Pada saat itulah aspek kebudayaan memiliki peran vital, ketika terjadi proses transformasi yang berupa substansi material ke dalam makna-makna simbolik yang direlasikan dengan hal-hal lain misalnya kemiskinan, pengangguran, dan ramah lingkungan. Kebudayaan memiliki peran penting dalam proses konstruksi tersebut karena kebudayaan merupakan seperangkat mekanisme kontrol untuk mengatur tingkah laku (Geertz, 1973).

B. Jejak-Jejak Budidaya dan Pemanfatan Jarak di Indonesia

Terdapat dua jenis pohon jarak yang dikenal di Indonesia, yaitu jarak kepyar (riniscus communis) yang juga dikenal dengan sebutan kastor, kaliki. Jenis kedua adalah jarak pagar (jatropha curcas Linn) yang di beberapa daerah juga dikenal dengan sebutan jarak budeg, jarak gundul, jarak pager, jarak pandak, jarak wates, dan jarak cina, Buah jarak kepyar dapat dimanfaatkan untuk bahan tambahan industri cat vernis, plastik, farmasi, dan kosmetika. Minyak yang dihasilkan tidak cocok digunakan sebagai bahan bakar, tetapi dapat digunakan untuk pelumas. Di Indonesia, jarak kepyar sudah lebih dahulu dibudidayakan dari pada jarak pagar. Pada tahun 1880 sebanyak tiga persen dari seluruh areal tanaman palawija khususnya di Jawa, ditanami dengan jarak kepyar untuk memenuhi permintaan pasar di Eropa sebagai akibat sampingan dari perkembangan industri (Boomgaard, 2004:169) Penelusuran Boomgaard menemukan catatan bahwa pada 1834 bungkil atau ampas sisa perasan biji jarak lazim digunakan untuk pupuk tanaman pertanian seperti tembakau, bawang, dan sayuran terutama di daerah Banten, Cianjur, Priangan, Dieng, Karesidenan Kedu, Madiun, dan Madura (Boomgaard, 1999)

(6)

yang dirancangnya pada tahun 1893. Mesin rancanganya yang sekarang disebut dengan mesin diesel awalnya digerakkan dengan bahan bakar dari minyak kacang. Namun oleh perjalanan waktu bahan bakar fosil menjadi sumber bahan bakarnya. Penggunaan biofuel sebagai alternatif sumber bahan bakar yang menjadi fenomena global di paruh awal tahun 2000 sesungguhnya bukanlah hal baru. Pada skala Global, penggunaan biofuel sudah dilakukan oleh Brazil dan Amerika sejak abad ke-17 dengan memroduksi etanol yang kemudian diikuti dengan produksi biodiesel. Produksi etanol di Brazil mulai meningkat pada tahun 1970an melalui program Proálcool. Program ini merupakan program untuk mengatasi peningkatan jumlah import minyak yang mencapai puncaknya tahun 1979 (Worldwatch Institute, 2007). Pertumbuhan kebutuhan biofuel baik di Brazil, Amerika, dan Uni Eropa semakin meningkat pada tahun 2000an, salah satu pemicunya adalah ratifikasi negara-negara di dunia terhadap Protokol Kyoto sebagai upaya dalam mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan Global (Wilkinson, 2009). Salah satu peristiwa penting yang turut mendorong terjadinya ledakan wacana sumber biofuel di tingkat global adalah uji coba yang dilakukan oleh perusahaan otomotif Daimler Chrysler pada tahun 2005. Perusahaan itu melakukan uji coba penggunaan minyak jarak pada mobil produksinya di India. Uji coba tersebut merupakan salah satu bagian dari program pengembangan biofuel berbasis jarak pagar di India

(7)

diikuti oleh IPB, dan BPPT. Setelah itu berbagai instansi pemerintah dan BUMN mulai ikut terlibat, seperti BPPT, Pertamina, PLN, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) serta pemerintah daerah seperti Pemprov Nusa Tenggara Timur, Pemprov. Nusa Tenggara Barat, Pemkab. Purwakarta dan Pemkab. Indramayu. Saat itulah hiruk pikuk pengembangan jarak pagar dimulai.

Wacana pengembangan jarak pagar di Indonesia mengalami situasi pasang surut yang cukup drastis. Berdasarkan penelusuran melalui pemberitaan surat kabar nasional Kompas menunjukkan bahwa tahun 2004-2006 adalah periode paling ramai dalam wacana pengembangan jarak pagar di Indonesia. hal ini ditandai dengan seringnya liputan tentang pengembangan dan potensi jarak pagar sebagai sumber biofuel. Namun liputan yang merujuk pada jarak pagar semakin berkurang setelah tahun 2006 dan hilang dari pemberitaan mulai tahun 2012. (Affif, 2014)

(8)

terbitnya deklarasi pada bulan Oktober 2005 tentang gerakan nasional penanggulangan kemiskinan dan krisis BBM melalui penanam jarak pagar sebagai bentuk Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Pada tahun 2007 pemerintah Indonesia melalui Mendagri mencanangkan program Desa Mandiri Energi (DME) dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap kebutuhan energi minyak bumi. Konsep Desa mandiri energi adalah mendorong desa-desa miskin dan terisolasi agar dapat menemukan sumber energi alternatif selain minyak bumi untuk mencukupi kebutuhan sumber energinya secara mandiri3. Desa-desa yang terpilih untuk program Desa Mandiri Energi kemudian menjadi desa binaan kementrian terkait dan perusahaan swasta.

Jarak pagar semakin popular di kalangan petani yang berada di daerah kering dan tandus. Petani mengetahui Jarak pagar sebagai tanaman yang dapat menjadi sumber bahan bakar, dapat tumbuh di lahan yang tandus dan tidak perlu perawatan intensif. Wilayah-wilayah dengan kondisi tanah tidak subur, curah hujan rendah, dan tidak dapat ditanami tanaman pangan menjadi sasaran untuk areal budidaya tanaman Jarak pagar. Berdasarkan catatan Puslitbangbun (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan), pada tahun 2006 terdapat 14,2 juta ha lahan yang sesuai dengan kriteria untuk pengembangan jarak pagar. Lahan tersebut adalah lahan yang dikategorikan sebagai lahan yang tidak produktif bagi tanaman petanian khususnya padi dan palawija. Hasil pendataan Tim Departemen Pertanian mencatat bahwa terdapat lahan seluas 49,5 juta ha yang sesuai untuk pengembangan tanaman jarak pagar, tersebar di seluruh Indonesia. (Mulyani 2008).

Penelusuran melalui sumber media massa menunjukkan bahwa apa yang diperbincangan dalam pengembangan jarak pagar juga mengalami perubahan. Pada tahun 2004 – 2007 perbincangannya didominasi oleh optimisme keberhasilan pengembangan jarak pagar pada waktu yang akan datang sebagai solusi terhadap krisis energi dan kemiskinan. Pemberitaan

(9)

tekait dengan jarak pagar berisi tentang pencanangan pengembangan jarak pagar baik oleh pemerintah maupun perusahaan swasta dengan luasan yang cukup fantastis. Pabrik-pabrik yang mulai dibangun, keberhasilan yang dicapai dari uji coba penggunaan minyak jarak sebagai bahan bakar. Namun pada tahun 2008 - 2012 pemberitaan tentang jarak pagar berisi tentang hal yang sebaliknya, yaitu tentang dampak buruk bagi kelestarian ekologi, kegagalan dari program pengembangan jarak pagar, ketidakjelasan nasib petani terhadap apa yang diperoleh dari tanaman jarak pagar, hingga kasus-kasus penggelapan dana dan korupsi dana pengembangan jarak pagar.

Pemerintah Indonesia yang pada tahun 2005 gencar memromosikan tanaman jarak pagar melalui berbagai program dan kebijakan sekarang tidak terdengar gaungnya. Proyek jarak pagar yang dikembangkan di beberapa tempat macet tidak jelas kelanjutannya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang semula aktif mendampingi masyarakat untuk mengembangkan jarak pagar juga tidak lagi melanjutkan aktivitasnya. Jarak pagar sudah hilang dari perbincangan, namun demikian tidaklah hilang sama sekali. Pengembangan jarak pagar masih berlangsung dalam skala terbatas yang dilakukan di pusat-pusat penelitian saja. Di tingkat petani, meskipun perbincangan jarak pagar tidak lagi ramai, tetapi beberapa diantara mereka masih ada yang membiarkan tanaman itu tetap hidup.

C. Paradoks Jarak Pagar

(10)

antara pertanian untuk produksi pangan dan biofuel karena tidak seperti sumber biofuel dari kelapa sawit, jagung, dan tebu. Jarak pagar tidak termasuk dalam jenis tanaman yang dapat dimakan sehingga tidak bersaing dengan kebutuhan pangan. Lahan yang digunakan untuk menanam jarak pagar adalah lahan yang kurang subur sehingga tidak mengganggu lahan untuk tanaman pangan.

Namun pengembangan jarak pagar sebagai sumber biofuel tidak luput dari kontroversi. Euforia pengembangan jarak pagar yang terjadi di berbagai belahan dunia telah memicu banyak kritik, karena dampak negatif yang muncul (Ariza-Montobbio, 2010; Hunsberger, 2010; Amir, 2008; Boras et al, 2010). Pengembangan produksi biofuel telah menjadi salah satu faktor penting yang memicu terjadinya kenaikan harga pangan akibat penggunaan bahan pangan sebagai sumber biofuel (Food and Agriculture Organization, 2008). Meskipun jarak pagar tidak termasuk dalam kategori sumber bahan pangan, namun pada prakteknya penanaman jarak pagar dalam skala besar dapat menimbulkan persaingan dalam hal penggunaan lahan. Klaim bahwa budidaya pohon jarak pagar dapat meningkatkan tingkat ekonomi dan pendapatan serta menyerap tenaga kerja pada masyarakat yang tinggal di daerah kering ternyata kini hanya isapan jempol. Produksi biofuel dari jarak pagar nyatanya lebih menguntungkan petani kaya dan perusahaan dari pada petani kecil karena mereka memiliki sumber modal yang lebih kuat. Akibatnya terjadi pemusatan penguasaan lahan oleh petani kaya dan perusahaan sehingga petani kecil termarginalisasi. Lahan-lahan dikuasai oleh industri-industri besar dan menimbulkan pemiskinan dan bentuk-bentuk konflik perebutan lahan dan tenaga kerja. (Franco et al 2010; Fernandes et al, 2010; Hunsbergers, 2010; Ariza-Montobbio, 2010).

D. Partisipasi Petani di Gunungkidul

(11)

laku dijual, dan kebetulan di desa mereka ada yang mengajaknya menanam maka para petani mulai ikut-ikutan menanamnya. Mereka merasa yakin bahwa biji jarak akan tumbuh dengan baik, dan menghasilkan uang karena pohon jarak liar saja bisa tumbuh dengan baik, apalagi kalau ditanan di tempat yang baik dan dirawat.

Model pengembangan jarak pagar di Gunungkidul ada dua macam, yaitu model perkebunan monokultur dan tumpangsari4. Model perkebunan monokultur dilakukan oleh perusahaan swasta dengan menyewa atau membeli lahan dari masyarakat untuk ditanami jarak pagar. Pengelolaan perkebunan dilakukan oleh tenaga kerja yang dibayar oleh perusahaan. Proyek jarak pagar dari pemerintah juga ada yang menerapkan model tersebut terutama di lahan milik negara untuk membuat demplot sumber bibit. Model penanaman tumpangsari dilakukan oleh masyarakat. Mereka menanam jarak pagar di tepi lahan dan diantara tanaman jati dan akasia, sekaligus sebagai pagar dari tanaman pangan.

Para petani di di Desa Sumberwungu, Kecamatan Tepus mulai menanam jarak karena adanya ajakan dari perusahaan. PT Titan adalah salah satu nama perusahaan yang masih diingat beberapa petani sebagai perusahaan yang memperkenalkan jarak pagar kepada mereka. Perusahaan tersebut memiliki kantor pusat di Jakarta. Perusahaan tersebut digerakkan oleh pengusaha lokal yang memang memiliki hubungan kerabat, bisnis, dan politik dengan birokrat di Jakarta. Nama perusahaan “Titan” berasal dari singkatan “Titus Bertani”. Titus dikenal sebagai nama pemilik perusahaan tersebut.

Suwage, staf kesra di Desa Sumberwungu, mengisahkan bahwa pada saat proyek jarak pagar berlangsung, dia berperan dalam mendistribusikan biji jarak kepada petani yang berminat menanam jarak pagar. Saat itu dia menjabat sebagai Kaur Kesra di pemerintahan desa. Dia ditunjuk oleh perusahaan menjadi koordinator tingkat desa yang tugasnya adalah mendistribusikan bibit kepada petani. Dia juga menjadi pengumpul untuk pembelian biji jarak pagar dari para petani. Pada saat itu perusahaan berjanji

(12)

akan membeli bijinya dengan harga Rp. 3000/kg. Janji itu menarik minat petani untuk menanam jarak pagar, apalagi jarak pagar tidak perlu perawatan khusus. Wilayah Gunungkidul merupakan wilayah dengan kondisi geografis yang kering dan tandus. Tanahnya didominasi lapisan karts dengan kontur berbukit-bukit. Lahan pertanian yang subur sangat langka, sehingga banyak lahan-lahan yang dibiarkan saja tidak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, tetapi untuk tanaman keras, jati (tectona grandis), sengon (Albizzia chinensis), mahoni (Swietenia macrophylla) dan akasia (Acacia Spec.). Luasan lahan yang dimiliki masyarakat juga sangat terbatas. Rata-rata petani mengerjakan lahan 1000-1500 m2. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengerjakan lahan luas, yaitu para perangkat desa yang mendapatkan lahan garapan berupa tanah pelungguh/bengkok sebagai bentuk upah dari jabatan mereka. Melalaui pendekatan personal Suwage mulai mendistribusikan bibit jarak kepada petani yang memiliki lahan yang tidak dimanfaatkan untuk tanaman pangan dan tanaman keras. Pendekatan dilakukan dengan cara informal yaitu pada saat bertemu dan berbincang-bincang dengan masyarakat. “Alasmu kana kae mbok ditanami jarak wae, wong isih selo tandurane, suk tak wenehi bibite, sapa ngerti suk payu rak lumayan hasile”. “hutanmu itu ditanami jarak pagar saja, kan tanamannya masih jarang, besok saya kasih bibitnya, siapa tahu besok laku kan hasilnya lumayan…” demikian yang dia katakan untuk mengajak para petani agar mau menanam jarak pagar. Petani yang berminat lalu diberi biji jarak sebagai bibit sesuai dengan luas lahan yang akan ditanami jarak pagar. Suwage kemudian mencatat luas lahan yang yang didaftarkan oleh petani kemudian mengajukan permohonan bibit ke perusahaan. Selain berupa biji, perusahaan juga memberikan benih jarak pagar yang disemai pada polybag dan sudah tumbuh sekitar 30 cm.

(13)

Suwage sangat bersemangat menanam jarak. Sebagai staf desa, dia ingin memberi contoh kepada warganya agar ikut menanam jarak, karena dapat memberikan keuntungan yang besar. Suwage tidak hanya menanam di lahan miliknya. Dia juga menanami lahan pelungguh staf desa lainnya serta tanah kas desa yang tidak dimanfaatkan untuk tanaman pangan atas seijin penggarapnya tanpa menyewa. Dia hanya bilang kalau besok memang ada hasilnya maka akan diperhitungkan bagiannya. Pada saat itu dia mengeluarkan dana dari kantongnya sendiri hingga lebih dari satu juta rupiah untuk membayar ongkos tenaga kerja penanaman. Bibit jarak yang ditanamnya bukan hanya yang berasal dari perusahaan, tetapi dia juga mencarinya dari biji jarak pagar liar di hutan.

Keikutsertaan petani dalam penanaman jarak disebabkan karena adanya staf perangkat desa yang terlibat di dalamnya. Para petani mengira bahwa proyek tersebut merupakan program pemerintah yang harus didukung. Para petani hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh petani lainnya. Mereka mendaftarkan luas lahan yang akan ditanami jarak pagar kepada staf pemerintahan desa, kemudian bibit, pupuk beserta sejumlah insentif untuk ongkos tenaga penanaman akan diterima oleh petani. Tidak ada yang mengontrol apakah bibit itu ditanam dengan baik atau tidak. Seorang petani menceritakan bahwa ada sebagian petani yang betul-betul menanam bibit yang diterima sesuai dengan yang dianjurkan, namun ada juga yang asal-asalan karena kondisi lapisan tanahnya berbatu.

(14)

pertanian sedang tinggi, yaitu bersamaan dengan panen jagung. Petani lebih memprioritaskan mengerjakan yang lainnya daripada mengurus jarak pagar. Memanen jarak pagar ternyata cukup memakan waktu kerena untuk memetik buahnya dalam satu tandan harus dipilih mana buah yang sudah tua dan mana yang belum. Tanaman jarak pagar yang masih ada kini kondisinya tidak terawat dan diterlantarkan saja, tidak berbuah bahkan banyak yang kering dan mati. Beberapa yang masih hidup tetap dibiarkan karena dirasa tidak menggangu tanaman lain. Suwage, sebagai koordinator yang bertugas menampung biji jarak, belum pernah melakukan pembelian dari petani. Akhirnya aktivitas Suwage sebagai koordinator berangsur-angsur menurun hingga berhenti. Perusahaan tidak lagi menghubungi atau berkoordinasi. Sampai sekarang tidak jelas kelanjutannya. Mesin pengepres biji jarak yang diberikan oleh Dinas Perindustrian dan Koperasi akhirnya mangkrak di belakang balai desa sebelum sempat digunakan.

Desa lain yang menjadi proyek penanaman jarak pagar adalah Desa Purwodadi. Proyek jarak pagar dikerjakan oleh pemerintah kabupaten di bawah koordinasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun). Di bawah koordinasi pemerintah desa, para petani diorganisasi dalam kelompok petani penanam jarak pagar berdasarkan letak lahan yang akan ditanami jarak pagar. Terdapat 34 kelompok dengan anggota kelompok berkisar antara 30-40 orang.

(15)

urip…”. (“lha cuma pohon jarak saja kok ditanam beserta tanahnya, menjadikan berat saat dipikul. Dicabut saja pasti ya tumbuh…”). Ternyata benar, jarak pagar tetap bisa tumbuh meskipun ditanam dari bibit yang sudah dicabut dari polybag-nya. Selain mendapatkan bibit, petani juga mendapatkan uang insentif untuk pembuatan lubang tanam, pengangkutan, dan penanaman. Selain itu petani masih mendapatkan pupuk untuk pemupukan awal. Giyar, salah seorang petani, mengatakan bahwa besarnya uang insentif adalah Rp. 1000,- per bibit. Saat itu dia menerima uang Rp. 1.250.000. Uang tersebut dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, karena saat pembuatan lubang tanam dan penanaman dia kerjakan bersama istrinya. Beberapa petani lain berkisah bahwa dia menerima uang hanya sekedar untuk lewat saja karena uang tersebut habis untuk upah tenaga kerja.

Pada perkembangannya ternyata jarak pagar tidak seperti yang diharapkan. Bibit dan benih yang ditanam awalnya tumbuh dengan baik, namun buahnya sedikit. Beberapa petani ada yang sempat memanen tetapi hanya mendapatkan 1-2 kg saja sehingga mereka malas membawanya ke penampung di tingkat desa. Padahal menurut skema proyek, hasil panen biji jarak pagar akan ditampung oleh pengurus kelompok tingkat desa lalu setelah terkumpul akan diproses menjadi minyak jarak di pabrik yang sudah dibangun. Pengurus kelompok di tingkat desa akan membeli biji tersebut. Namun ternyata jarak pagar yang ditanam tidak kunjung berbuah. Mereka merasa heran, mengapa jarak pagar yang liar tanpa perawatan dapat tumbuh dan berbuah lebat, tetapi ketika ditanam dan diharapkan buahnya justru tidak berbuah. Rasa heran itu mengiringi semakin pudarnya popularitas jarak pagar di mata petani.

E. Jarak Pagar dan Pengetahuan Petani

(16)

diambil hasilnya sebagaimana jagung, ketela atau tanaman pertanian lainnya. Karakter fisik tanaman jarak pagar berbeda dengan karakter tanaman musiman yang sudah biasa dibudidayakan oleh petani. Jarak pagar merupakan tanaman tahunan. Pada musim hujan, pohon akan tumbuh baik, daun hijau disertai dengan munculnya bunga dan buah. Namun sebaliknya pada musim kemarau, daunnya akan gugur, hanya tinggal pangkal pohonnya yang tumbuh. Ketika jarak pagar dikenalkan sebagai tanaman yang dibudidayakan, karakternya tidak sejalan dengan sistem kognitif petani bahwa tanaman budidaya yang baik adalah tanaman yang daunnya selalu hijau dan lebat. Sejauh ini petani mengenal jarak pagar sebagai tanaman liar yang hanya sebagai pagar ladang. Dengan demikian, proses introduksi jarak pagar menghadapi kesenjangan sistem pemaknaan kultural sebagai salah satu jenis tanaman pertanian. Petani memiliki memiliki kategorisasi-kategorisasi tertentu terhadap tanaman yang ditanamnya. Kategorisasi tersebut merupakan bentuk pemaknaan terhadap tanaman itu, dan berimplikasi pada perilaku sosial mereka dalam menentukan cara memandang, bersikap, dan bertindak.

(17)

pagar diperlakukan sebagaimana halnya memperlakukan tanaman kayu yaitu ditanam dan dibiarkan saja tumbuh sendiri. Padahal secara teknis jarak pagar membutuhkan perawatan intensif seperti pemangkasan dan pemupukan.

Penanaman jarak pagar menggunakan lahan yang berada tepi-tepi ladang. Padahal lokasi tersebut biasanya ditanami dengan tanaman yang daunnya dapat digunakan untuk pakan ternak terutama pada saat musim kemarau, seperti lamtoro (leucaena leucochepala), gamalina (glirisedia sepium), dan turi (sesbania grandiflora). Tanaman tersebut merupakan tanaman yang dimanfaatkan daunnya untuk pakan ternak. Ketika proyek jarak pagar berlangsung, lokasi pinggir-pinggir ladang dimanfaatkan untuk menanam jarak maka dapat mengurangi areal untuk menanam pakan ternak.

(18)

Ketika pada kenyataanya jarak pagar telah gagal menjadi tanaman komoditi yang dibudidayakan petani, namun tidak menjadikan jarap pagar dimusnahkan atau diganti dengan tanaman lain. Para petani masih membiarkan jarak pagar tetap hidup meskipun dalam kondisi tidak terawat. Jara pagar masih tampak tumbuh di pinggir-pinggir jalan utama sebagai pagar pembatas ladang. Di beberapa tempat tampak subur dan berbuah banyak, tetapi sudah tidak dipanen bijinya karena tidak ada pembelinya. Patani memiliki beberapa alasan mengapa jarak pagar itu tidak dimusnahkan. Pertama karena keberadaan jarak pagar tidak mengganggu tanaman pangan. Kedua, para petani merasa tanaman tersebut telah ditanam dengan susah payah, bahkan membutuhkan banyak biaya dan tenaga. Ketiga, jarak pagar tetap dibiarkan tumbuh terutama yang berada di tepi jalan utama, hal itu ditujukan untuk memberikan bukti kepada pemerintah bahwa para petani sudah menjalankan proyek dengan baik. Kegagalan proyek jarak pagar bukanlah kesalahan petani. Dengan demikian maka pemerintah akan mempercayai mereka sehingga akan ada proyek lain yang akan masuk ke desa itu. Keempat, para petani masih memiliki harapan bahwa suatu saat jarak pagar akan kembali bangkit dan akan ada pasarnya, jika itu terjadi maka para petani langsung mendapatkan keuntungan karena sudah memiliki pohon jarak pagar tanpa perlu menanamnya dari awal. Saat ini jarak pagar di mata petani Gunungkidul menjadi tanaman yang mati suri. Saat ini sedang berhibernasi, dan akan bangkit lagi pada musim atau konsisi yang memungkinkan untuk kembali bangun.

F. Kesimpulan

(19)

tanah berkapur bukan lahan untuk diolah secara intensif, tetapi digunakan untuk menanam kayu dengan intensitas kebutuhan tenaga kerja yang rendah. Oleh karena itu, jarak pagar diperlakukan sebagaimana tanaman lain yang tumbuh di tempat itu, seperti jati, akasia, dan sengon yang ditanam, dibiarkan, kemudian tumbuh sendiri dan tinggal memetik hasilnya.

Proses introduksi jarak pagar sebagai sumber biofuel mengalami ketidaksesuaian makna dengan sistem kognitif petani terkait jenis tanaman produktif dan dibudidayakan. Ketidaksesuaian tersebut merupakan bentuk transformasi nilai dan pemaknaan yang terjadi sebagai proses interaksi sosial dalam berkomunitas. Klaim besar bahwa jarak pagar adalah tanaman yang bernilai ekonomis, ramah lingkungan telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lain ketika berada di hadapan petani. Partisipasi petani menanam jarak pagar bukan didasari pada apa yang diintroduksikan oleh perusahaan ataupun pemerintah, tetapi didasari oleh konstruksi yang terbangun dalam relasi sosial mereka. Petani mau menanam jarak karena yang mengajak adalah salah satu perangkat desa. Pada umumnya perangkat desa adalah termasuk orang yang disegani di lingkungannya sehingga apa yang dikatakannya cenderung untuk dipatuhi. Pada sisi lain, euforia jarak pagar juga dapat dilihat sebagai bagian dari kolektifitas masyarakat. Kalau ada yang menanam jarak kemudian seseorang tidak ikut menanam maka orang itu akan dianggap “ora lumrah” (tidak umum) karena tidak sama dengan temannya. Jika dapat melakukan seperti yang dilakukan orang lain maka, entah gagal ataupun berhasil, dia juga akan merasakan seperti yang yang dirasakan orang lain. Jarak pagar sebagai substansi material telah bertransformasi menjadi substansi simbolik dan memiliki makna tertentu ketika berada dalam relasi sosial. Oleh karena itu, bisa jadi kegagalan proyek jarak pagar terjadi karena adanya proses transformasi yang senjang ketika makna dikonstruksi ulang dalam konteks sosial yang berbeda.

(20)

Afiff, Suraya. 2014. Engineering the Jatropha Hype in Indonesia. Sustainability 6, 1686-1704; doi:10.3390/su6041686

Amir, S. et al. 2008. Cultivating Energy, Reducing Poverty: Biofuel development in an Indonesian Village. Perspectives on Global Development and Technology, 7:2 113-132.

Ariza-Montobbio, P. et al. 2010. The Political Ecology of Jatropha Plantations for Biodiesel in Tamil Nadu, India. Journal of Peasant Studies, 37: 4, pp 875 — 897.

Boomgaard, P. 1999.“Maize and Tobacco in Upland Indonesia, 1600-1940” dalam Tania Li (ed) Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and Production. Harwood Academic Publishers, Canada.

Boomgaard, Peter. 2004. Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa 1795-1880. Terjemahan Monique Susman. Djambatan, Jakarta,

Brittaine, R., Lutaladio, M. 2010. Jatropha: a Smallholder Bioenergy crop. The Potential for Pro-poor Development. Integrated Crop Management, vol. 8. IFAD, Rome.

Borras Jr., Saturnino M., McMichael, Philip and Scoones, Ian. 2010. The Politics of Biofuels, Land and Agrarian Change: editors' introduction', Journal of Peasant Studies, 37: 4, 575 — 592

FAO. 2008. The Sate of Food and Agriculture. Rome.

(21)

Union biofuels policy: frictions with experiences in Germany, Brazil and Mozambique. Journal of Peasant Studies. 37: 4, 661 — 698

Fernandes, Bernardo Mançano, Welch, Clifford Andrew and Gonçalves, Elienaí Constantino. 2010. Agrofuel policies in Brazil: paradigmatic and territorial disputes, Journal of Peasant Studies, 37: 4, 793 — 819

Fatimah, Yuti Ariani. 2009. Opening the Indonesian Bio-Fuel Box: How Scientists Modulate the Social. International Journal of Actor-Network Theory and Technological Innovation, Volume 1 (2) pp 1-12

Hunsberger, Carol. 2010. The politics of Jatropha-based biofuels in Kenya: convergence and divergence among NGOs, donors, government officials and farmers. The Journal of Peasant Studies 37: 4, 939–962.

Gaul, Mirco. 2012. Evaluating the Performances of Rural Energy Service Pathways and their Impacts on Rural Livelihoods An analysis model tested on Jatropha-based energy services in Sumbawa, Indonesia. PhD dissertation, Technische Universitat Berlin.

Geertz, Clifford. 1973 The Interpretation of Culture: Selected Essays. Basic Books Inc. USA.

Jongschaap, R. E. E., Corr´e, W. 2007. Claims and Facts on Jatropha curcas L., Global Jatropha curcas Evaluation. Breeding and Propagation Programme, Plant Research International Wageningen UR.

Kloppenburg, J.M.C. (N/A) <http://www.semarang.nl/jamu/articles.php? lng=nl&pg=506 > (accessed 11 Juni 2013)

Mulyani Anny. 2008. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 30, No.

(22)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

A témához kapcsolódó vizsgált dimenziók 2012-ben is a következők voltak: baráti kapcsolatok mennyiségi és minőségi vizsgálata; társas támogatottság rokoni

~ Integrated fine mesh water filter ~ Garden hose adapter A3/4” ~ High-pressure hose 6 m ~ Detergent suction hose with filter ~ Trigger gun with Quick Connect ~ Vario-power spray

• Pembayaran terkait operasional kantor (antara lain: honor terkait operasional kantor, bahan makanan, penambah daya tahan tubuh (hanya diberikan kepada pegawai yang bekerja di

Limbah pewarna yang dihasilkan dari industri tekstil merupakan salah satu yang paling sulit untuk dikelola karena pada pewarna terdapat beberapa jenis sumber sintetik

Hasil penelitian tentang pengaruh literasi keuangan terhadap perilaku konsumtif merupakan bukti ilmiah akan pentingnya pengelolaan keuangan terhadap siswa SMK. Hal

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi dengan judul “Pola Penggunaan Antibiotika pada