• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat nelayan Perkotaa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat nelayan Perkotaa"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Perkotaan Melalui Penataan

Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pekanbaru

Dicki Hartanto, MM

Dosen Pendidikan Ekonomi FTK UIN Suska Riau

A. Pendahuluan

Sebagaimana yang kita pahami bersama laju perpindahan penduduk ke perkotaan tidak dapat dihindarkan terus berlangsung. Bahkan di Indonesia sendiri mobilitas penduduk menuju daerah perkotaan meningkat dengan pesat dan diperlihatkan dari angka pertumbuhan penduduk kota yang sangat tinggi, utamanya terjadi pada periode tahun 1980-1990 (7,85 persen per tahun). Tingkat pertumbuhan penduduk kota turun tajam menjadi 2,01 pada periode 1990-2000, tetapi dilihat persentase penduduk yang tinggal di kota tampak semakin meningkat dengan pesat. Sensus Penduduk Indonesia menunjukkan, persentase penduduk kota di Indonesia pada tahun 1980 hanya sebesar 22,38 persen, angka tersebut telah meningkat menjadi 35,91 persen pada tahun 1990. Sepuluh tahun kemudian (2000), persentase penduduk kota di Indonesia telah mencapai sebesar 42,43 (BPS, 1982, 1992 dan 2001) (Romdiati dan Noveria, 2004).

Sedangkan Pekanbaru sendiri sejak tahun 2010 telah menjadi kota ketiga

berpenduduk terbanyak di Pulau Sumatera, setelah Medan dan Palembang. Laju pertumbuhan

ekonomi Pekanbaru yang cukup pesat, menjadi pendorong laju pertumbuhan penduduknya.

Salah satunya disebabkan banyaknya perpindahan penduduk ke Kota Pekanbaru ini. Dari data

penduduk tahun 2010 maka jumlah penduduk Kota Pekanbaru sudah mencapai 897.767 jiwa

dan bila dibandingkan penduduk tahun 1990 yang hanya

398.694 jiwa, maka peningkatan jumlah penduduknya lebih dari 100%. Diperkirakan awal tahun 2013 ini sudah melebihi 1 juta jiwa.

Sebagai bagian dari pengembangan pembangunan daerah, maka kota merupakan pusat pembangunan sektor formal, sehingga kota dipandang sebagai daerah yang lebih menjanjikan bagi masyarakat desa. Kota bagaikan mempunyai kekuatan magis yang mampu menyedot warga desa, sehingga terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota. Kondisi tersebut di atas dikenal dengan teori faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor) dalam urbanisasi. Akan tetapi kota tidak seperti apa yang diharapkan kaum migran. Tenaga kerja yang banyak tidak bisa sepenuhnya ditampung sektor formal. Lapangan kerja formal yang tersedia mensyaratkan kemampuan dan latar belakang pendidikan tertentu yang sifatnya formal, sehingga tenaga kerja yang tidak tertampung dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya memilih sektor informal. Fakta yang dapat dilihat adalah adanya ketidakmampuan sektor formal dalam menampung tenaga kerja, serta adanya sektor informal yang bertindak sebagai pengaman antara pengangguran dan keterbatasan peluang kerja, sehingga dapat dikatakan adanya sektor informal dapat meredam kemungkinan keresahan sosial sebagai akibat langkanya peluang kerja (Noor Effendy, 2000:46).

(2)

sesuai dengan ciri-ciri dari sektor informal yaitu mudah dimasuki, fleksibel dalam waktu dan tempat, bergantung pada sumber daya lokal dan skala usaha yang relatif kecil. Fenomena ini disatu sisi bisa membantu pemerintah terutama dalam mengurangi jumlah angkatan kerja yang menganggur akibat tidak memperoleh pekerjaan, namun disisi lain tentu juga akan menimbulkan masalah dalam melakukan penataan bagi kawasan perkotaan.

Munculnya fenomena tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta saja, melainkan juga terjadi di kota Pekanbaru dan banyak kabupaten/kota lain juga yang ada di Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak diimbangi oleh peningkatan kebutuhan tenaga kerja di sektor formal juga menjadi salah satu sebab bertambahnya sektor informal. Semakin banyak para pedagang kaki lima di pusat-pusat keramaian kota menjadikan pemandangan kota bertambah tidak sedap dipandang lagi.

Untuk itu pemberdayaan masyarakat perkotaan melalui penataan pedagang kaki lima (PKL) juga seharusnya mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah daerah, terutama dalam rangka menciptakan kawasan yang tertata baik, sekaligus diharapkan dapat mempertahankan kembali citra ‘Adipura’ yang selalu diperoleh Kota Pekanbaru selama ini. P

emberdayaan sektor informal dalam ini tentunya ditujukan pada kelompok pedagang kaki

lima yang merupakan bagian dari masyarakat yang membutuhkan penanganan/pengelolaan

tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas

sumberdaya yang mereka miliki yang pada gilirannya diharapkan akan mampu mendorong

peningkatan pendapatan/profit usaha sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap

penerimaan pendapatan daerah dari sektor retribusi daerah.

B. Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.

Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996), manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.

Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.

Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat.

(3)

Dalam kerangka pikir inilah upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996).

Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri.

C. Pemberdayaan Sektor Informal Melalui Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Di dalam UU. Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan. Adapun usaha kecil tersebut meliputi : usaha kecil formal, usaha kecil informal dan usaha kecil tradisional. Usaha kecil formal adalah usaha yang telah terdaftar, tercatat dan telah berbadan hukum, sementara usaha kecil informal adalah usaha yang belum terdaftar, belum tercatat dan belum berbadan hukum, antara lain petani penggarap, industri rumah tangga, pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima dan pemulung. Sedangkan usaha kecil tradisional adalah usaha yang menggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan secara turun temurun dan/atau berkaitan dengan seni dan budaya.

Dalam UU. Nomor 9 Tahun 1995 juga ditetapkan beberapa Kriteria Usaha Kecil, antara lain (1) memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak 1 (satu) milyar rupiah; (3) milik warga negara Indonesia; (4) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar; (5) berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Usaha Kaki Lima adalah bagian dari Kelompok Usaha Kecil yang bergerak di sektor informal, yang oleh istilah dalam UU. No. 9 Tahun 1995 di atas dikenal dengan istilah “Pedagang Kaki Lima”. Konsepsi sektor informal mendapat sambutan yang sangat luas secara internasional dari para pakar ekonomi pembangunan, sehingga mendorong dikembangknnya penelitian pada beberapa negara berkembang termasuk Indonesia oleh berbagai lembaga penelitian pemerintah, swasta, swadaya masyarakat dan universitas. Hal tersebut terjadi akibat adanya pergeseran arah pembangunan ekonomi yang tidak hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi makro semata, akan tetapi lebih kearah pemerataan pendapat. Swasono (1987) mengatakan bahwa adanya sektor informal bukan sekedar karena kurangnya lapangan pekerjaan, apalagi menampung lapangan kerja yang terbuang dari sektor informal akan tetapi sektor informal adalah sebagai pilar bagi keseluruhan ekonomi sektor formal yang terbukti idak efisien. Hal ini dapat menunjukan bahwa sektor informal telah banyak mensubsidi sektor formal, disamping sektor informal merupakan sektor yang efisien karena mampu menyediakan kehidupan murah.

(4)

Employment Programme (WEP). Program bertujuan untuk mencari strategi pembangunan ekonomi yang tepat, yang mampu mengatasi masalah ketenagakerjaan didunia ketiga (negara berkembang), sebagai akibat adanya suatu kenyataan bahwa meskipun membangun ekonomi telah dipacu namun tingkat pengangguran dinegara berkembang tetap tinggi. Melalui program tersebut telah dilakukan penelitian tentang ketenagakerjaan di Colombia, Sri Langka dan Kenya (Moser 1978, dalam Chandrakirana dan Sadoko, 1995).

Pada tahun 1972, International Labor Organization (ILO) menerbitkan laporan hasil penelitian ketenagakerjaan di Kenya, yang antara lain menyimpulkan bahwa inti permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi di Kenya bukanlah pengangguran semata, melainkan juga akibat banyaknya pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang memadai (dibawah garis kemiskinan), serta rendahnya tingkat produktivitas dan menfaatan (under utilization) tenaga kerja. Dalam kondisi yang demikian Interntional Labor Organization (ILO) menemukan adanya kegiatan ekonomi yang selama ini lolos dari pencacahan, pengaturan dan perlindungan pemerintah, tetapi yang mempunyai makna ekonomi dengan karakteristik kompetitif, padat karya, mamakai input dan teknologi lokal, serta beroprasi atas dasar pemilikan sendiri oleh masyarakat lokal. Kegiatan-kegiatan seperti inilah yang kemudian dinobatkan sebagai sektor informal. Disimpulkan pula bahwa untuk memecahkan masalah ketenagakerjaan di Kenya, pengembangan kegiatan-kegiatan informal tidak boleh diabaikan (Mosher, 1978 dalam Chandrakirana dan Sadoko, 1995).

Sektor informal itu sendiri, pertama kali diperkenalkan Keith Hart seorang peneliti dari Universitas Manchester di Inggris (Harmono, 1983) yang kemudian muncul dalam penerbitan ILO (1972) sebagaimana disebutkan di atas. Lebih lanjut ILO dalam Sudarsono (1982) memberikan definisi tentang sektor informal sebagai sektor yang mudah dimasuki oleh pengusaha pendatang baru, menggunakan sumber-sumber ekonomi dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan teknologi padat karya dan teknologi yang disesuaikan dengan keterampilan yang dibutuhkan, tidak diatur oleh pemerintah dan bergerak dalam pasar penuh persaingan.

Sedangkan menurut Moser, 1978 dalam Chandrakirana dan Sadoko (1995) bahwa sektor informal merupakan kegiatan ekonomi yang selama ini lolos dari pencacahan, pengaturan dan perlindungan pemerintah, tetapi mempunyai makna ekonomi dengan karakteristik kompetitif, padat karya, memakai input dan teknologi lokal, serta beroperasi atas dasar pemilikan sendiri oleh masyarakat lokal, serta beroperasi atas dasar pemilikan sendiri oleh masyarakat. Menurut Rachbini dan Hamid (1994), sektor informal berfungsi sebagai penyedia barang dan jasa terutama bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah yang tinggal dikota-kota. Pelaku sektor ini pada umumnya berasal dari desa-desa dengan tingkat pendidikan dan keterampilan rendah serta sumber-sumber terbatas.

Pada dasarnya suatu kegiatan sektor informal harus memiliki suatu lokasi yang tepat agar dapat memperoleh keuntungan (profit) yang lebih banyak dari tempat lain dan untuk mencapai keuntungan yang maksimal, suatu kegiatan harus seefisien mungkin. Richardson (1991) berpendapat bahwa keputusan-keputusan penentuan lokasi yang memaksimumkan penerimaan biasanya diambil bila memenuhi kriteria-kriteria pokok :

1. Tempat yang memberi kemungkinan pertumbuhan jangka panjang yang menghasilkan keuntungan yang layak.

2. Tempat yang luas lingkupnya untuk kemungkinan perluasan unit produksi.

Jadi jelasnya bahwa pengertian sektor informal mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, artinya bahwa kegiatan yang paling besar dijalankan oleh penduduk berpendapatan rendah.

Di Indonesia, sudah ada kesepakatan tentang 11 ciri pokok sektor informal sebagai berikut :

1. Kegiatan usaha tidak terorganisasi dengan baik karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal.

2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha.

3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja.

(5)

5. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu sub-sektor ke lain sub-sektor. 6. Teknologi yang digunakan bersifat primitif.

7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil.

8. Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.

9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan one-man enterprise dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga.

10.Sumber dana modal usaha yang umumnya berasal dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan yang tidak resmi.

11.Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat desa-kota berpenghasilan rendah dan kadang-kadang juga yang berpenghasilan menengah (Hidayat, 1987).

Secara umum, pedagang dapat diartikan sebagai penyalur barang dan jasa-jasa perkotaan (Rais dalam Umboh, 1990). Adapun menurut McGee yang dikutip Young (1977) mendefinisikan pedagang kaki lima adalah “The People who offer goods or services for sale from public places, primarily streetes and pavement”. Sedangkan Manning dan Tadjudin Noer Effendi (1985) menyebutkan bahwa pedagang kaki lima adalah salah satu pekerjaan yang paling nyata dan penting dikebanyakan kota di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin. Menurut Breman (1988), pedagang kaki lima merupakan usaha kecil yang dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah (gaji harian) dan mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini termasuk dalam sektor informal, di mana merupakan pekerjaan yang tidak tetap dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak terikat pada aturan hukum, hidup serba susah dan semi kriminil pada batas-batas tertentu.

Dari pengertian/batasan tentang pedagang kaki lima sebagaimana dikemukakan beberapa ahli di atas, dapat dipahami bahwa pedagang kaki lima merupakan bagian dari kelompok usaha kecil yang bergerak di sektor informal. Secara khusus, pedagang kaki lima dapat diartikan sebagai distribusi barang dan jasa yang belum memiliki ijin usaha dan biasanya berpindah-pindah. Menurut Sethurahman (1985) bahwa istilah pedagang kaki lima biasanya untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil, tetapi akan menyesatkan bila disebut dengan “perusahaan” berskala kecil karena beberapa alasan, antara lain :

1. Mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan rendah (kebanyakan para migran). Jelaslah bahwa mereka bukanlah kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukanlah pengusaha seperti yang dikenal pada umumnya.

2. Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri.

3. Pedagang kaki lima di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses evaluasi daripada dianggap sebagai perusahaan yang berskala kecil dengan masukan-masukan (input) modal dan pengolahan yang besar.

Selanjutnya menurut definisi International Labour Organization (ILO), pedagang kaki lima didefinisikan sebagai sektor yang mudah dimasuki oleh pendatang baru, menggunakan sumber-sumber ekonomi dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan teknologi padat karya, keterampilan yang dibutuhkan diperoleh di luar bangku sekolah, tidak dapat diatur oleh pemerintah dan bergerak dalam pasar persaingan penuh (Hadji Ali, 1985).

Menurut Wirosardjono (1985) pengertian pedagang kaki lima adalah kegiatan sektor marginal (kecil-kecilan) yang mempunyai ciri sebagai berikut :

1. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun penerimaannya. 2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan

oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering dikategorikan “liar”).

3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan dasar hitung harian.

(6)

5. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan atau keterikatan dengan usaha-usaha yang lain.

6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.

7. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga secara luas dapat menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga kerja.

8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha yang mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.

9. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan dan sebagainya.

10.Sebagai saluran arus barang dan jasa, pedagang kaki lima merupakan mata rantai akhir sebelum mencapai konsumen dari satu mata rantai yang panjang dari sumber utamanya yaitu produsennya (Ramli, 1984).

Berdasarkan barang atau jasa yang diperdagangkan, menurut Karafi dalam Umboh (1990), pedagang kaki lima dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1). Pedagang minuman; 2). Pedagang makanan; 3). Pedagang buah-buahan; 4). Pedagang sayur-sayuran; 5). Pedagang daging dan ikan; 6). Pedagang rokok dan obat-obatan; 7). Pedagang buku, majalah dan surat kabar; 8). Pedagang tekstil dan pakaian; 9). Pedagang kelontong; 10). Pedagang loak; 11). Pedagang onderdil kendaraan, bensin dan minyak tanah; 12). Pedagang ayam, kambing, burung dan 13). Pedagang beras serta; 14). Penjual jasa.

D. Peran Pemerintah Dan Masyarakat Dalam Pemberdayaan Pedagang kaki Lima Kaitannya dengan pemberdayaan sektor informal, khususnya pedagang kaki lima, maka hal penting yang perlu diberdayakan adalah faktor pengelolaan sumber daya yang dimiliki oleh kelompok pedagang kaki lima itu sendiri untuk mendorong peningkatan pendapatan/ keuntungan (profitabilitas) usaha mereka. Secara teoritis, beberapa pendapat mengemukakan bahwa terdapat sejumlah komponen utama yang menentukan suatu usaha produktif dari kelompok masyarakat dapat bertumbuh dan berkembang dengan efektif, yaitu (1) modal kerja; (2) teknologi tepat guna; (3) model manajemen usaha; (4) pengembangan keterampilan menyangkut pemanfaatan modal kerja, teknologi dan manajemen usaha; 5) ethos kerja, semangat dan disiplin kerja, dan sebagainya (Turang, 1995).

Pemerintah Pekanbaru sendiri melalui Perda No. 11 Tahun 2011 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima sudah berupaya mengatur upaya dalam melakukan penataan dan pembinaan dengan berbagai upaya seperti dilakukannya bimbingan dan penyuluhan sesuai apa yang tertuang dalam perda Bab IV Pasal 7 bahwa untuk kepentingan pembangunan usaha dan peningkatan kesejahteraan Pedagang Kaki Lima Walikota berkewajiban memberikan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan.

Namun dengan semakin berkembangnya kota, langkah-langkah yang dapat dilakukan berdasarkan kerangka perda tersebut masih belum cukup memadai. Semakin terbatasnya lapangan pekerjaan di daerah kota, semakin banyaknya migran ke kawasan kota akibat dari semakin tumbuh dan berkembangnya kota menyebabkan pedagang kaki lima dianggap jadi pilihan tepat untuk dapat hidup di wilayah kota. Untuk itu pemerintah kota/kabupaten yang ada di masing-masing propinsi harus menyusun kerangka penataan pedagang kaki lima ini melalui upaya pemberdayaan yang melibatkan partisipasi bukan hanya pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten / kota, namun juga melibatkan masyarakat, pengusaha dan segenap komponen masyarakat lainnya.

(7)

tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan

a. fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota di wilayahnya; dan

b. pembinaan dan supervisi pemberdayaan PKL yang dilaksanakan oleh bupati/ walikota. (2) Pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan melalui: a. kerjasama antar daerah kabupaten/kota; dan

b. kemitraan dengan dunia usaha.

Pasal 40

Bupati/Walikota melakukan pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) antara lain melalui:

(1) Menteri dapat memfasilitasi kerjasama PKL antar provinsi.

(2) Gubernur memfasilitasi kerjasama pemberdayaan PKL antar kabupaten/kota di wilayahnya. (3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kerjasama antar daerah.

Bagian Kedua

Kemitraan Dengan Dunia Usaha Pasal 42

(1) Bupati/Walikota dalam melakukan pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b antara lain dapat dilakukan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan/CSR (Corporate Social Responsibility).

(2) Pemberdayaan PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi oleh Pemerintah sesuai dengan bidang usaha berdasarkan data PKL.

(3) Bentuk kemitraan dengan dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: a. penataan peremajaan tempat usaha PKL;

b. peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan;

c. promosi usaha dan event pada lokasi binaan; dan

d. berperan aktif dalam penataan PKL di kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib, bersih, indah dan nyaman.

(8)

mengoptimalkan produktivitasnya, maka kualitas sumber daya manusia (SDM) perlu dikembangkan/ ditingkatkan dengan memberikan pendidikan dan pelatihan/keterampilan yang mmadai dan sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang dilakukan manusia itu sendiri (Soeroto, 1986). Asumsi ini berlaku pula bagi kelompok pedagang kaki lima (PKL) yang melakukan aktivitas disektor informal, terutama dibidang ekonomi kerakyatan.

Untuk lebih memahami konsep pengembangan kualitas SDM, berikut dikemukakan beberapa pendapat para ahli, antara lain : menurut Mangum, dalam Soeroto (1986) bahwa sumber daya manusia adalah semua kegiatan manusia yang produktif dan semua potensinya untuk memberikan sumbangan produktif kepada masyarakat. Zainun (1993) mengartikan dengan daya yang bersumber pada manusia, yang dapat berupa tenaga (energi) ataupun kekuatan (power). Tenaga dan kekuatan yang bersumber dari manusia itu dapat berupa ide, ilmu pengetahuan, endapan pengalaman, dan lain-lain yang berupa potensi fisik, moral dan intelektual yang berwujud dalam bentuk pendidikan, keterampilan, kesehatan, dan lain-lainnya.

Notoatmodjo (1992) mengemukakan bahwa berbicara masalah sumber daya manusia dapat dilihat dari dua aspek, yaitu menyangkut kuantitas dan kualitas, kuantitas menyangkut jumlah sumber daya manusia (penduduk) sedangkan kualitas menyangkut mutu sumber daya manusia tersebut. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia juga menyangkut dua aspek, yakni aspek fisik (kualitas fisik), dan aspek non fisik (kualitas non fisik) yang menyangkut kemampuan bekerja, berpikir, dan keterampilan-keterampilan lain. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat diarahkan kepada dua aspek tersebut. Upaya untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia pada kedua aspek tersebut inilah yang dimaksudkan dengan pengembangan sumber daya manusia.

Sinungan (1987) menyimpulkan bahwa sumber daya manusia adalah pemanfaatan potensi yang ada pada kemampuan manusia itu sendiri dalam melakukan pekerjaan dengan baik dan dengan tingkat keterampilan yang sesuai dengan isi kerja yang akan mendorong kemajuan setiap usaha yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan pencapaian tujuan usaha bisa terselenggarakan dengan baik, efektif dan efisien.

Dengan demikian, aspek pengembangan SDM yang berhubungan dengan pendidikan dan latihan/keterampilan, Hidayat (1980) mengemukakan bahwa meningkatnya kualitas sumber daya manusia, yang antara lain meliputi pengetahuan dan keterampilan akan menimbulkan inisiatif-inisiatif dan meningkatkan produktifitas. Hampir senada dengan itu, Todaro (1983) mengemukakan bahwa pengetahuan dan keterampilan memungkinkan orang untuk bekerja lebih baik. Dengan bekerja keras, seseorang dapat meningkatkan produktivitasnya, maka akan meningkat pula pendapatan/penghasilan (profit) usaha mereka, sehingga memiliki kemampuan untuk merealisasikan kewajiban sebagai warga negara seperti membayar pajak, retribusi dan kewajiban lainnya yang pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan pemerintah daerah dari sisi PAD.

Selain pendidikan dan latihan, dalam setiap usaha, modal usaha sangat besar peranannya dalam meningkatkan pendapatan atau keuntungan (profit) usaha. Hal ini ditegasikan oleh Turang, (1995) bahwa diantara sejumlah komponen utama yang menentukan suatu usaha produktif dari kelompok masyarakat dapat bertumbuh dan berkembang dengan efektif, salah satunya adalah modal kerja; selain teknologi tepat guna; model manajemen usaha; pengembangan keterampilan menyangkut pemanfaatan modal kerja, teknologi dan manajemen usaha; ethos kerja, semangat dan disiplin kerja. Artinya bahwa tanpa modal usaha yang memadai, setiap usaha akan mengalami kesulitan dalam melakukan proses usahanya, baik memproduksi barang-barang maupun melakukan transaksi jual-beli barang, karena hal demikian tidak mungkin dilakukan tanpa adanya modal usaha.

(9)

Dengan demikian pemberian modal kerja (modal untuk berusaha) akan dapat mendorong pengembangan usaha PKL sehingga dapat meningkatkan pendapatan yang pada gilirannya akan memenuhi kewajiban untuk membayar retribusi daerah sebagai sebagai salah satu komponen penerimaan PAD.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pendidikan dan latihan serta modal usaha belum secara otomatis dapat menjamin suatu usaha mampu meningkatkan profit usahanya tanpa didukung dengan suatu cara-cara atau manajemen pengelolaan usaha yang baik, dalam arti memenuhi suatu tingkat efisiensi dan efektivitas pengelolaan usaha tersebut.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan sektor informal yang berkaitan dengan : pengelolaan unsur manusia (pendidikan dan latihan), unsur uang (modal usaha) dan cara-cara berusaha yang baik, baik secara simultan maupun secara parsial berpengaruh positif terhadap pendapatan atau penghasilan (profit usaha) pedagang kaki lima dan pada gilirannya diharapkan akan dapat memberikan kontribusi pada penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya di Kota Pekanbaru.

Berikut berbagai lokasi Penataan PKL di beberapa kota di Indonesia yang bisa menjadi gambaran guna memberdayakan ekonomi masyarakat perkotaan, selain juga tetap memperhatikan keindahan dan keteraturan kota :

Solo

Balikpapan

(10)

Jakarta

E. Kesimpulan dan Rekomendasi

Keberadaan pedagang kaki lima sering dikaitkan dengan dampak negatif bagi lingkungan perkotaan, dengan munculnya kesan buruk, kotor, kumuh dan juga tidak tertib. Hal ini ditunjukkan oleh penempatan sarana perdagangan yang tidak teratur dan tertata serta sering menempati tempat yang sesuai dengan peruntukannya seperti trotoar jalan, tempat parkir dan lain sebagainya. Namun adanya kebutuhan terhadap hadirnya pedagang kaki lima oleh masyarakat mendorong keberadaan para pedagang kaki lima pun semakin banyak dan berkembang di berbagai sudut kota. Sebagian besar masyarakat terutama yang kelas bawah masih membutuhkan mereka untuk memenuhi kebutuhan yang terjangkau dan dapat dibeli oleh masyarakat.

Hingga dapat disumpulkan bahwa menjamurnya jumlah PKL bukan semata-mata karena keinginan para pedagang tadi untuk memperoleh pendapatan (push factors), tetapi lebih karena tuntutan pasar yang membutuhkan jasa PKL (pull factors). Disamping itu jenis usaha ini juga memberikan dampak ikutan yang menguntungkan (positive spillovers) seperti mengurangi beban pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja, membantu proses daur ulang beberapa jenis sampah, serta menjadi alternatif terbaik bagi kelompok berdaya beli rendah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pedagang kaki lima mempunyai sisi positif, disamping sisi negatifnya. Hal ini merupakan dilema bagi pemerintah kota dalam mengatasi menjamurnya pedagang kaki lima. Disatu sisi keberadaan pedagang kaki lima dapat menyerap tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal sehingga dapat mengurangi beban pemerintah dalam mengatasi pengangguran. Namun pada sisi lainnya, keberadaan pedagang kaki lima memberikan kesan kotor, kumuh dan tidak tertib terhadap lingkungan perkotaan yang tidak diinginkan oleh pemerintah kota dalam penataan kota.

Dalam upaya melakukan penataan kota maka Pemerintah Kota Pekanbaru dapat menyempurnakan langkah yang dilakukan selama ini dengan melakukan : pendataan PKL, pendaftaran PKL; penetapan lokasi PKL; pemindahan PKL dan penghapusan lokasi PKL; dan peremajaan lokasi PKL. Dalam hal pemberdayaan PKL dapat dilakukan dengan langkah : peningkatan kemampuan berusaha; fasilitasi akses permodalan; fasilitasi bantuan sarana dagang; penguatan kelembagaan; fasilitasi peningkatan produksi; pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi; dan pembinaan dan bimbingan teknis.

Pemberdayaan sektor informal yang berkaitan pedagang kaki lima dapat dilakukan dengan : pengelolaan unsur manusia (pendidikan dan latihan), unsur uang (modal usaha) dan cara-cara berusaha yang baik, baik secara simultan maupun secara parsial berpengaruh positif terhadap pendapatan atau penghasilan (profit usaha) pedagang kaki lima dan pada gilirannya diharapkan akan dapat memberikan kontribusi pada penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya di Kota Pekanbaru.

Sumber Bacaan

(11)

Bintarto, 1989. Interaksi Desa Kota, Jakarta, Ghalia Indonesia

Budihardjo, Eko, ed., 1997, Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Jakarta, Djambatan.

Car , Stephen, 1995, Public Space, Australia : Cambridge University Press

Daldjoeni, 1998, Geografi Desa Dan Kota, Jakarta, Alumni.

Danim, Sudarwan, Prof,Dr., Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung, Pustaka Setia, 2002

Darmawan Edy, 2003, Teori dan Kajian Ruang Publik Kota, Semarang, BP UNDIP,

Dewan Riset Nasional dan Bappenas (1995). Pengembangan Sektor Informal Pedagang Kaki

lima di Perkotaan, Dewan Riset Nasional dan Bappenas bekerjasama dengan Puslitbang

Ekonomi dan Pembangunan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Djakti, Dorodjatun Kuntjoro. 1986. Kemiskinan Di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Effendi, Tadjuddin Noer, 1993, Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan, Yogyakarta, Tiara Wacana

Evers, Hans Dieter dan Rudiger Korff (2002). Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan

Kekuasaan dalam Ruang-Ruang Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hakim, Rustam, 1993, Unsur Perancangan Dalam Arsitektur Lansekap, Jakarta , Bumi Aksara.

Jhingan, M.L. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta, Raja Grafindo Persada,2003

Ibrahim, Jabal Tarik, 2003, Sosiologi Pedesaan, Malang, UMM Press

Manning, Chris dan Tadjuddin Noer Effendi. 1996. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor

Informal di Kota. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Poerwadarminta, WJS. 1995. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Rachbini, Didik, J dan Abdul Hamid. 1994. Ekonomi Informal Perkotaan Gejala Involusi

Gelombang Kedua, Jakarta : LP3ES

Santoso, Slamet, 2004, Dinamika Kelompok, Jakarta, Bumi Aksara

Todaro, Michael P., 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Ketujuh, terjemahan,

Jakarta, Penerbit Erlangga

Wiryomartono, A. Bagoes R, 1995, Seni Bangunan dan Seni Binakota Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat berijtihad, para sahabat telah menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun belum dirumuskan dalam suatu disiplin ilmu.[7] Ijtihad mereka dilakukan

Wilayah Kabupaten Blitar yang berada di daerah pesisir meliputi :  Wilayah Kecamatan Bakung dengan desa pantai yang terdiri dari Desa Bululawang, Desa. Sidomulyo dan

Berdasarkan hasil penelitian ini, metode bradford merupakan metode yang paling baik untuk digunakan dalam analisis gelatin dalam sampel tablet, karena semua sampel

Perasaan adalah faktor utama dalam latar belakang terciptanya karya musik Rest in Peace Brother .Perasaan yang timbul akibat kehilangan seorang sahabat yang selalu

Perbedaan dengan penelitian terdahulu terdapat variabel independen preferensi resiko audit yang digunakan, sedangkan pada penelitian saat ini menggunakan varibel independen

Perusahaan atau produsen penghasil green skincare yang menunjukkan dukungan pada kondisi lingkungan mempengaruhi penilaian individu dalam preferensi melakukan kegiatan

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada materi Persiapan Kemerdekaan Dan Perumusan Dasar Negara kelas V di MI Darul Ulum Rejosari terdiri dari dua