• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR HIPP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR HIPP"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 HUBUNGAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR HIPPAM DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

PAKIS KABUPATEN MALANG TAHUN 2015

The Relationship Between Bacteriological Quality of HIPPAM Water with Diarrhea In Toddler At Public Health Service of Pakis Malang 2015

Ristiawan, Mela

Program Studi S1 Kesehatan Lingkungan STIKES Widyagama Husada (melaristiawan@gmail.com, 08563246044)

Diare adalah keadaan dimana terjadi pola perubahan BAB lebih dari biasanya (lebih dari 3 kali sehari) disertai perubahan konsistensi tinja lebih encer atau lebih lunak dari biasanya. Tahun 2013 angka kejadian penyakit diare balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis sebanyak 645 kasus sedangkan Tahun 2014 sebanyak 1055 kasus. Variabel bebas penelitian ini kualitas bakteriologis air HIPPAM dan variabel luarnya perilaku pengasuh terdiri atas perilaku mencuci botol susu (dot), mencuci tangan, penggunaan jamban dan memasak air. Penelitian bertujuan untuk membuktikan hubungan kualitas bakteriologis air HIPPAM dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten Malang.

Desain penelitian cross sectional dan dianalisa dengan uji chi square. 36 responden diambil dengan teknik random sampling. Pengukuran kualitas bakteriologis air HIPPAM menggunakan uji MPN coli dan pengukuran variabel luar (perilaku pengasuh) menggunakan kuesioner.

Analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara kejadian diare pada balita dengan kualitas bakteriologis air HIPPAM (p-value = 0,361), perilaku pengasuh (p-value 0,326), penggunaan jamban (p-value 0,830) dan variabel mencuci tangan pakai sabun (p-value 0,175). Sedangkan ada hubungan antara perilaku mencuci botol susu (dot) dengan kejadian diare pada balita p-value 0,006. Perilaku memasak air tidak dapat dihubungkan dengan kejadian diare balita karena keseluruhan responden telah memenuhi syarat. Kesimpulan penelitian ini, tidak ada hubungan antara kualitas bakteriologis air HIPPAM dengan kejadian diare balita. Meskipun tidak terdapat hubungan antara keduanya tetapi terdapat 38,89 % yang kualitasnya tidak memenuhi syarat. Maka disarankan agar pengasuh memasak air sebelum dikonsumsi dan mencuci botol terlebih dahulu.

Referensi : 34 referensi (2002 – 2015)

(2)

2 ABSTRACT

Diarrhea is a condition where there is a pattern defecation change more than usual (more than 3 times a day) with a change in stool consistency more liquid or softer than usual.There are 645 cases of toddler diarrhea in 2013 and 1055 cases toddler diarrhea in 2014. The independent variable is bacteriological quality of HIPPAM water and the external variables studied in this experiment are the behavior of caregivers consisting of washing milk bottles (pacifier), wasing hand, use of latrines and cooking water. The study aimed to prove the relationship between bacteriological quality of HIPPAM water with diarrhea in toddler at Pakis Public Health Service.

This study used cross sectional design with chi square analysis. 36 samples were taken by random sampling technique. The measurements bacteriological quality of HIPPAM water using MPN coli test and measurement external variables (behavior caregiver) using a questionnaire.

The results of the bivariate analysis showed no relationship between the incidence of diarrhea in toddler with bacteriological quality of HIPPAM water (p-value = 0.361), the behavior of caregivers (p-(p-value 0.326), use of latrines (p-(p-value 0.830), and hand washing with soap variable (p-value 0.175). There is a relationship between the behavior of washing milk bottles (pacifier) with the incidence of diarrhea in toddler p-value 0.006. While behavior of cooking water can not be associated with the incidence of diarrhea toddler because all respondents have qualified. The conclusion of this study, there was no relationship between the bacteriological quality of HIPPAM water with diarrhea case in toddlers. Although there was no relationship between the two but there are 38,89 % is not qualified. It is recommended that caregivers boil the water before consuming it and wash the bottle first.

References: 34 references (2002 – 2015)

(3)

3 PENDAHULUAN

Air merupakan salah satu komponen yang diperlukan dalam kehidupan manusia, oleh karena itu diperlukan upaya untuk menjaga kualitas air agar aman dikonsumsi (Soedarto, 2013). Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (Menkes dalam Sarudji, 2010). Menurut Permenkes Nomor 492/ Menkes/ Per/ IV/ 2010 air minum dapat diselenggarakan oleh kelompok masyarakat. Provinsi Jawa Timur telah membentuk asosiasi penyelenggara air minum berbasis masyarakat yaitu HIPPAM (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum).

Air HIPPAM selain harus terpenuhi kuantitasnya juga harus terpenuhi kualitasnya (Dirjen PP dan PL, 2011). Pengelolaan air minum skala perdesaan yang dibentuk melalui Badan Pengelola HIPPAM di Kabupaten Malang, sampai dengan saat ini terus mengalami peningkatan cakupan pelayanan. HIPPAM yang terakhir dibuat pada Tahun 2015 terletak di Desa Pajaran Kecamatan Poncokusumo. HIPPAM di Desa Pajaran Kecamatan Poncokusumo secara kuantitas telah memenuhi kebutuhan air minum masyarakat Desa Pajaran. Namun secara kualitas belum memenuhi persyaratan Kepmenkes mengenai air minum. Dimana kandungan bakteri coli dalam air minum tersebut seharusnya 0 kol/100 ml. Air HIPPAM di Desa Pajaran yang diambil pada Bulan November 2015 setelah diperiksa di Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Malang memperoleh hasil 240 kol/100 ml air (Labkes, 2015). Hasil ini

menunjukkan kualitas bakteriologis air HIPPAM tidak memenuhi syarat Permenkes Nomor 492/ Menkes/ Per/ IV/ 2010 karena melebihi 0 kol/100 ml.

Bakteri coliform dapat dibedakan atas 2 grup yaitu : (1) Fecal coliform misalnya Escherichia coli, dan (2) Non-fecal coliform misalnya Enterobacter aerogenes. Bakteri yang paling banyak digunakan sebagai indikator sanitasi adalah E. coli karena bakteri ini adalah bakteri yang terdapat pada usus manusia dan umumnya bukan patogen penyebab penyakit. Tetapi apabila di dalam air tersebut terdeteksi adanya E. coli yang bersifat fecal, apabila dikonsumsi terus-menerus dalam jangka panjang maka akan berdampak pada timbulnya penyakit seperti radang usus, diare, infeksi pada saluran kemih dan saluran empedu. Jadi, adanya E. coli dalam air minum menunjukkan bahwa air minum itu pernah terkontaminasi kotoran manusia dan mungkin dapat mengandung patogen usus, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, standar air minum mensyaratkan jumlah E. coli harus 0 koloni/100 ml (Prayitno, 2009).

(4)

4 Perilaku pemeliharaan

kesehatan (health maintenance) adalah perilaku atau usaha – usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan jika sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari tiga aspek, antara lain : perilaku pencegahan penyakit, perilaku peningkatan kesehatan dan perilaku gizi (makanan dan minuman) (Kholid, 2014).

Kadaruddin dkk (2014) menyebutkan bahwa perilaku ibu dalam mencuci botol minum, merebus air dan mencuci tangan pakai sabun berhubungan dengan kejadian diare pada balita. Segala aktivitas anak dibantu oleh orang tua khususnya ibu. Jumlah kejadian penyakit diare meningkat apabila perilaku ibu jelek. Sebaliknya perilaku ibu baik maka baik pula kesehatan balita.

Penyakit diare hingga saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari meningkatnya angka kesakitan dari tahun ke tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal setiap tahun karena diare, 8 dari 10 kematian tersebut pada 423/ 1000 penduduk dan tahun 2010 411/ 1000 penduduk. Kematian diare pada balita 75,3 per 100.000 balita dan semua umur 23,2 per 100.000 penduduk semua umur. Proporsi diare sebagai penyebab kematian nomor 1 pada bayi postneonatal

(31,4 %) dan pada anak balita (25,2 %) (Kemenkes RI, 2011).

Kejadian diare pada balita di Kabupaten Malang Tahun 2013 tercatat sebanyak 17.173 kasus sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 16.383 kasus. Kejadian diare balita di Kabupaten Malang terlihat mengalami penurunan. Namun, di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis angka kejadian penyakit diare justru meningkat. Pada Tahun 2013 angka kejadian penyakit diare balita sebanyak 645 kasus sedangkan Tahun 2014 sebanyak 1055 kasus. Pada setiap akhir tahun angka kejadian penyakit diare balita di wilayah kerja Puskesmas Pakis menunjukkan angka kejadian diare balita yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan wilayah kerja Puskesmas lain. Di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis terdapat 2 Desa yang hampir seluruh penduduknya menggunakan air HIPPAM untuk dikonsumsi setiap hari. Penggunaan air HIPPAM ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kejadian diare pada balita.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti Hubungan Kualitas Bakteriologis Air Hippam (Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum) Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten Malang Tahun 2015.

(5)

5 Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten

Malang Tahun 2015

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten Malang Desember 2015 – Februari 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita konsumen air HIPPAM yang masih menggunakan botol dot sebagai wadah minum dan tinggal menetap di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten Malang tahun 2015. Sampel penelitian ini adalah pengasuh yang terpilih pada penarikan sampel dengan menggunakan teknik random sampling dengan besar sampel 36. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dan uji petik air HIPPAM dengan seperangkat alat uji petik air untuk pemeriksaan kualitas bakteriologis. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat dengan uji chi square. Penyajian data dalam bentuk tabel disertai narasi.

HASIL

Umur pengasuh balita yang paling banyak adalah 20 – 30 tahun dengan persentase 41,67 %, selanjutnya 31 - 40 tahun sebanyak 38,89 %, disusul 51 – 60 sebesar 11,11 % dan yang paling sedikit umur 41 - 50 dengan persentase 8,33 %. Tingkat pendidikan pengasuh balita yang paling dominan adalah SMP/ sederajat dengan persentase 36,11 % disusul SMA/ sederajat sebesar 33,33 %, SD/ sederajat sebesar 19,44 %, tidak bersekolah sebanyak 8,33 % dan PT sebanyak 2,78 %. 86,11 % pengasuh merupakan ibu rumah tangga, 11,11 % pembantu rumah tangga dan 2,78

% merupakan wiraswasta. 75 % pengasuh balita merupakan ibu kandung sedangkan 11,11 % merupakan pembantu rumah tangga dan nenek balita, sedangkan 2,78 % sisanya merupakan tetangga balita tersebut. Umumnya pembantu rumah tangga, nenek dan tetangga sudah mengasuh balita tersebut minimal dari Bulan Agustus 2015.

Sebesar 52,78 % balita berjenis kelamin perempuan dan laki – laki 47,22 %. umur balita yang paling banyak antara 7 - 24 bulan dengan persentase 50 %. Umur 25 - 42 bulan dengan persentase 44,44 % dan yang paling sedikit adalah kelompok umur > 42 bulan dengan persentase 5,56 %.

Balita yang tidak mengalami sakit diare dengan persentase 22,22 % balita sedangkan balita yang tidak sakit diare sebanyak 77,78 %. Mayoritas kualitas bakteriologis air HIPPAM memenuhi syarat dengan persentase 61,11 % sedangkan kualitas air HIPPAM yang tidak memenuhi syarat bakteriologis 38,89 %. Perilaku mencuci botol oleh 36 pengasuh sebesar 94,44 % memenuhi syarat dan 5,56 % tidak memenuhi syarat. Persentase perilaku mencuci tangan pengasuh sebesar 58,33 % memenuhi syarat sedangkan 41,67 % tidak memenuhi syarat. Disambung perilaku penggunaan jamban 77,78 % memenuhi syarat dan 22,22 % tidak memenuhi syarat. Sedangkan untuk perilaku memasak air seluruh pengasuh memenuhi syarat. Dari 36 pengasuh terdapat 52,78 % yang perilakunya memenuhi syarat dan 47,22 % tidak memenuhi syarat.

(6)

6 oleh balita yang tidak sakit diare.

Sedangkan dari 14 rumah yang kualitas bakteriologis airnya tidak memenuhi syarat, 2 rumah dihuni tidak terdapat hubungan antara kualitas bakteriologis air HIPPAM dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten Malang Tahun 2015.

Dari 34 perilaku mencuci botol responden yang memenuhi syarat, 6 diantaranya sakit diare dan 28 sisanya tidak sakit diare. Sedangkan seluruh responden yang perilakunya tidak memenuhi syarat mengalami sakit diare. Nilai p-value 0,006 atau < 0,05 sehingga dinyatakan ada hubungan antara perilaku mencuci botol pengasuh dengan kejadian diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis Tahun 2015.

Uji chi square antara perilaku penggunaan jamban dengan kejadian diare balita menunjukkan bahwa dari 28 responden yang perilaku penggunaan jambannya memenuhi syarat terdapat 6 balita yang sakit diare dan 22 lainnya tidak sakit diare. Sedangkan dari 8 responden yang perilaku penggunaan jambannya tidak memenuhi syarat terdapat 2 balita yang sakit diare dan 6 sisanya tidak sakit diare. Nilai p dari uji chi square antara 2 variabel tersebut menghasilkan nilai p-value 0,830 atau > 0,05 sehingga dinyatakan tidak ada hubungan antara keduanya.

Terdapat 21 responden yang perilakunya memenuhi syarat. Dari 21 responden yang perilakunya memenuhi syarat, 3 diantaranya sakit

diare dan 18 lainnya tidak sakit diare. Sedangkan dari 15 perilaku responden yang tidak memenuhi syarat, 5 diantaranya terdapat balita yang sakit diare dan 10 sisanya tidak sakit diare. Nilai p-value dari uji kedua variabel tersebut 0,175 atau > 0,05 sehingga dinyatakan tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut.

Terdapat 19 responden yang telah berperilaku sehat dan 17 responden belum berperilaku sehat. Dari responden yang telah berperilaku sehat, 3 diantaranya terdapat balita yang sakit diare dan tidak terdapat hubungan antara perilaku sehat pengasuh dengan kejadian diare pada balita.

PEMBAHASAN

Umur pengasuh balita yang paling sedikit berada pada kelompok 41 – 50 tahun dengan persentase 8,33 %. Wijaya (2012) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara umur pengasuh dengan kejadian diare pada balita. Faktor umur merupakan bagian dari penentu perilaku pengasuh, namun faktor umur pengasuh bukan sebagai penentu utama baik atau buruknya perilaku ibu dalam bertindak mencegah kejadian diare balita.

(7)

7 sekolah. Menurut Mugiati dalam

Bintoro (2010), semakin tinggi tingkat pendidikan maka kualitas penduduk akan semakin baik. Wijaya (2012) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu balita dalam berperilaku dan berupaya secara aktif guna mencegah terjadinya diare pada balitanya.

Sebanyak 86,11 % pengasuh balita merupakan ibu rumah tangga. Mayoritas pengasuh merupakan ibu rumah tangga maka kegiatan untuk mengasuh balita menjadi tidak terbatas. Menurut Wijaya (2012) jenis pekerjaan ibu tidak ada hubungannya dengan kejadian diare pada balita.

Mayoritas balita diasuh oleh ibu kandungnya secara langsung (75%) sedangkan paling sedikit diasuh oleh tetangganya (2,78%). Hal ini dapat diartikan bahwa kesempatan balita memperoleh asuhan yang lebih baik lebih besar karena mendapat asuhan oleh ibunya secara langsung.

Proporsi balita berjenis kelamin laki – laki lebih sedikit jika dibanding perempuan dengan persentase masing – masing balita 47,22 % laki – laki dan 52,78 % perempuan.

Mayoritas berada pada kelompok umur 7 – 24 bulan dengan banyak disebabkan oleh infeksi bakteri. Reaksi usus untuk melawan racun dan peradangan oleh bakteri lebih cepat. Bakteri E. coli menyebabkan peradangan pada selaput usus kecil dan merangsang pengeluaran cairan. Bakteri ini juga

mengeluarkan racun (bahan kimia) yang merangsang lapisan usus kecil untuk mengeluarkan cairan tanpa menyebabkan peradangan. Radang usus ataupun racun bakteri yang mengganggu kemampuan absorbsi usus dapat meningkatkan kecepatan makanan melewati usus dan mengurangi waktu yang tersedia untuk menyerap air (Shanty, 2011).

Proporsi kualitas bakteriologis air HIPPAM yang memenuhi syarat sebesar 61,11 % dan yang tidak memenuhi syarat sebesar 38,89 %. Setelah diuji dengan chi square, nilai p – value 0,361 dimana p - value > 0,05 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kualitas bakteriologis air HIPPAM dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten Malang. Meskipun terdapat 38,89 % kualitas bakteriologis air HIPPAM tidak memenuhi baku mutu dan berisiko menyebabkan penyakit diare pada balita, namun 92,44 % perilaku pengasuh dalam mencuci botol susu (dot) sudah baik. Perilaku seluruh pengasuh dalam memasak air juga sudah sangat baik terbukti sudah 100 % pengasuh telah memasak airnya sampai mendidih terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Oleh karena itu, kejadian diare balita akibat adanya bakteri E.coli pada air HIPPAM dapat dicegah.

(8)

8 merupakan faktor protektif terhadap

kejadian diare pada balita. CDC (2009) juga menyatakan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi sebagian/ keseluruhan bakteri E. coli dalam air yang akan dikonsumsi adalah dengan merebusnya. Sehingga kejadian diare pada balita karena bakteri E.coli dalam air HIPPAM dapat dicegah dengan melakukan kedua perilaku diatas.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Aini (2015) dengan judul Hubungan Kualitas Air Minum Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Banyuasin Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 80 responden yang menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara kualitas bakteriologis air minum dengan kejadian diare pada balita (p – value 0,764).

Hasil wawancara dengan responden mengenai perilaku sehat pengasuh yang disyaratkan harus memenuhi keempat perilaku diatas menunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden (52,78%) telah berperilaku sehat. Namun hasil uji chi square menunjukkan hasil p-value 0,326 atau > 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Selain karena nilai p-valuenya, dari keempat perilaku turunannya hanya terdapat satu perilaku yang menunjukkan ada hubungan dengan kejadian diare pada balita yaitu perilaku mencuci botol susu (dot) dengan nilai p-value 0,006.

1. Perilaku Mencuci Botol Susu (dot) Dot yang juga dikenal sebagai dummy, soother, atau pacifier adalah pengganti putting susu ibu yang

biasanya terbuat dari karet atau plastik. Non nutritive sucking seperti halnya botol, sudah lama dikenal dalam sejarah umat manusia, penggunaannya merupakan usaha orang tua untuk memberikan sesuatu yang dapat menenangkan dan memberikan rasa nyaman untuk anaknya. Botol secara universal seakan menjadi simbol perlengkapan perawatan anak, penggunaannya sangat luas di seluruh dunia (IDAI dalam Setyowati, 2014).

Menurut Andini dalam Setyowati (2014), menjaga kesehatan anak dapat dilakukan melalui langkah sederhana dengan membersihkan botol susunya secara rutin dan menyimpan botol susu ditempat yang tepat. Hal ini memang sebuah langkah sederhana, namun mampu memberi dampak besar bagi kesehatan anak. Karena itu, jika hendak memberi susu melalui botol harus diperhatikan kebersihannya.

Hasil dari uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku mencuci botol susu dengan kejadian diare pada balita, pernyataan ini dibuktikan dengan nilai p-value hasil uji adalah 0,006. Proporsi responden yang telah memenuhi persyaratan mencuci botol susu (dot) dalam penelitian ini sebesar 92,44 %. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Setyowati (2014) yang menunjukkan hasil ada hubungan antara perilaku ibu dalam menyajikan botol susu dengan kejadian diare pada balita.

2. Perilaku Penggunaan Jamban

(9)

9 jamban harus membuat jamban dan

keluarga tersebut harus buang air besar di jamban.

Selebihnya Kemenkes (2011) menjelaskan bahwa banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu dengan membuangnya dijamban.

Terdapat 22,22 % responden tidak memenuhi syarat perilaku penggunaan jamban. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan jamban dengan kejadian diare pada balita. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Sucipto (2002). Hasil penelitian Sucipto menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara ketersediaan ataupun pemanfaatan jamban keluarga dengan kejadian diare pada anak balita.

Studi yang dilakukan oleh Wagner dan Lanoix, pola penyebaran bakteri secara horizontal pada tanah sampai sejauh 11 meter (Sarudji, 2010). Menurut Irianto dkk Sinthamurniwaty (2006), tempat pembuangan tinja yang tidak saniter akan memperpendek rantai penularan penyakit diare. Meskipun begitu, Joko (2010) menyatakan konstruksi sistem penyediaan air minum dan pemeliharaan lingkungan yang baik memperkecil kemungkinan pencemaran yang terjadi. Sehingga meskipun terdapat tinja yang tidak dibuang secara saniter, bakteri E.coli pada tinja tersebut tidak akan mencemari air HIPPAM dan menyebabkan penyakit diare pada balita karena konstruksi sistem

penyediaan air minum dan pemeliharaan lingkungannya baik. 3. Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun

Mencuci tangan menjadi kebiasaan penting yang dapat mencegah penularan penyakit diare (Taosu dan Azizah, 2013). Kemenkes RI (2011) menyatakan bahwa mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi anak dan sebelum makan mempunyai dampak dalam kejadian diare.

Responden yang tidak memenuhi syarat perilaku cuci tangan sebesar 41,67 %. Hasil uji chi square menunjukkan hasil p-value 0,175. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara perilaku mencuci tangan dengan kejadian diare pada balita. Hasil penelitian ini, sejalan dengan hasil penelitian Adriliadesiani terhadap 83 responden dengan nilai p value 0,143.

Meskipun 41,67 % perilaku responden dalam mencuci tangan tidak memenuhi syarat, tidak terdapat hubungan antara keduanya karena seluruh responden telah memasak air sampai mendidih sebelum dikonsumsi. Memasak air merupakan faktor protektif kejadian diare pada balita (Sinthamurniwaty, 2006). Selain itu sebesar 92,44 % responden telah melakukan cuci botol susu (dot) dengan baik dan benar, hal ini dapat mengurangi dan mencegah risiko kejadian penyakit diare karena terbukti mencuci botol susu (dot) berhubungan dengan kejadian diare dengan p-value 0,006. 4. Perilaku Memasak Air

(10)

10 cara pemanasan (Depkes RI dalam

Cita, 2014). CDC (2009) menghimbau untuk mengurangi sebagian/ keseluruhan bakteri E. coli dalam air yang akan dikonsumsi adalah dengan merebusnya. Perlu diketahui merebus air untuk dikonsumsi harus sampai mendidih dan paling tidak ditunggu selang minimal 1 menit baru dimatikan kompornya. Dirjen PP dan PL (2011) juga menyatakan pendapat yang sama, bahwa untuk mencegah kuman infeksius masuk ke tubuh manusia adalah dengan minum air yang sudah matang dengan memasak air itu sampai mendidih terlebih dahulu. Seluruh responden dalam penelitian ini (100 %), telah melakukan pengolahan air dengan memasaknya sampai mendidih terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Hasil penelitian Sinthamurniwaty (2006), menunjukkan bahwa perilaku memasak air minum sebelum diminum merupakan faktor protektif terhadap terjadinya diare.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian ini, dari 36 sampel air HIPPAM di sambungan rumah responden yang diteliti, sebesar 61,11 % memenuhi syarat sedangkan 38,89 % tidak memenuhi syarat. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara kualitas bakteriologis air HIPPAM dengan

kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten Malang Tahun 2015 dengan nilai p-value 0,361. Namun dari 38,89 % kualitas air HIPPAM tidak memenuhi syarat maka disarankan agar masyarakat melakukan perilaku sehat dalam kehidupan sehari – hari dengan mencuci botol susu dengan baik dan benar serta tetap membiasakan diri untuk selalu menggunakan jamban dengan benar, mencuci tangan pakai sabun dan selalu memasak air sampai medidih sebelum diminum.

(11)

11 DAFTAR PUSTAKA

Adriliadesiani, D. 2012. Faktor – faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Desa Penyarang Kabupaten Ketapang. Skripsi Kep. Jakarta : STIK Sint Carolus.

Aini, N. 2015. Hubungan Kualitas Air Minum Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Banyuasin Kecamatn Loano Kabupaten Purworejo. Skripsi SKM. Semarang : Universitas Diponegoro.

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta : Rineka Cipta.

Bintoro, B, R, T. 2010. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar. Skripsi SKM. Surakarta : Universitas Muhammadiyah. Cita, R, S. 2014. Hubungan Sarana

Sanitasi Air Bersih dan Perilaku Ibu Terhadap Kejadian Diare Pada Balita Umur 10 – 59 Bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013. Skripsi SKM. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah.

CDC (The Centers For Disease Control and Prevention). 2009. A Guide to Drinking Water Treatment and Sanitation. America. Dilihat pada 1 Desember 2015 (http://www.cdc.gov/healthy water/drinking/travel/

backcountry_water_treatment .html)

Depkes RI. 2011. Buku Saku Petugas Kesehatan. Jakarta : Percetakan Negara.

Dewi, V, N, L. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta : Salemba Medika.

Dirjen PP dan PL Kemenkes RI. 2011. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare. Jakarta : Percetakan Negara. Joko, T. 2010. Unit Air Baku dalam

Sistem Penyediaan Air Minum. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Kadaruddin, Arsyad, DS dan Rismayanti. 2014. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada Bayi Di Wilayah, Kerja Puskesmas Pallangga Kabupaten Gowa. Makassar : Universitas Hasanuddin.

Kemenkes RI. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Jakarta : Percetakan Negara.

Kholid, A. 2014. Promosi Kesehatan Dengan Pendekatan Teori Perilaku, Media dan Aplikasinya. Jakarta : Rajawali Pers.

Kusumo, P, D. 2012. Gangguan Immunodefisiensi Primer (PID). Percetakan Fakultas Kedokteran. Jakarta : Universitas Kristen Indonesia.

Labkes. 2015. Hasil Pemeriksaan Air HIPPAM. Malang : Percetakan Laboratorium Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Malang.

(12)

12 Aplikasi. Jakarta : Salemba

Medika.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat). 2012. Melongok Suksesnya Asosiasi HIPPAM Prov Jawa Timur. Indonesia. Dilihat pada 3 November 2015 (http://new.pamsimas. org/index.php?option=com_k 2&view=item&id=232:melon gok-suksesnya-asosiasi- hippam-prov-jawa-timur&Itemid=149)

Perda Kabupaten Malang. 2003. Persyaratan Kualitas Air Minum (Perda No.15 Tahun 2003). Malang : Percetakan Pemerintah Daerah Kabupaten Malang

Permenkes RI. 2010. Persyaratan Kualitas Air Minum (Permenkes RI No. 492/MENKES/PER/IV/2010) . Jakarta : Percetakan Negara. Prayitno, A. 2009. Uji Bakteriologi Air Baku dan Air Siap Konsumsi dari PDAM Surakarta Ditinjau dari Jumlah Bakteri Coliform. Skripsi Program Studi Biologi. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sarudji, D. 2010. Kesehatan Lingkungan. Bandung : Karya Putra Darwati.

Setyowati, L. 2014. Hubungan Antara Perilaku Ibu Dalam Menyajikan Botol Susu Dengan Tingkat Kejadian Diare Pada Balita di Desa Wandanpuro Kecamatan Bululawang. Skripsi

Keperawatan. Malang : Universitas Brawijaya.

Setyowati, M. 2014. Tingkat Pengetahuan Tentang Higienitas Botol Susu Pada Ibu Yang Memiliki Bayi Dan Balita Usia 6 Bulan – 2 Tahun di Desa Soka, Miri, Kabupaten Sragen Tahun 2014. Karya Tulis Ilmiah Amd.Keb. Surakarta : STIKES Kusuma Husada. Shanty, M. 2011. Penyakit Saluran

Pencernaan : Pedoman Menjaga & Merawat Kesehatan Pencernaan. Jogjakarta : Kata Hati.

Sinthamurniwaty. 2006. Faktor – faktor Risiko Kejadian Diare Akut Pada Balita. Tesis M.Epid. Semarang : Universitas Diponegoro. Sucipto, E. 2002. Hubungan Antara

Ketersediaan Dan

Pemanfaatan Sarana Air Bersih Dan Jamban Keluarga Dengan Kejadian Diare Pada Anak Balita di Puskesmas Sonokidul Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora Tahun 2002. Tesis M.K.M. Semarang : Universitas Diponegoro.

Soedarto. 2013. Lingkungan dan Kesehatan. Jakarta : Sagung Seto.

Suyono dan Budiman. 2010. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC.

(13)

13 2013: 1-6. Surabaya :

Universitas Airlangga.

Umiati. 2010. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali Tahun 2009. Skripsi SKM. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta. Undang – Undang RI. 2009.

Kesehatan (UU RI No 36). Jakarta : Percetakan Negara. Wijaya, Y. 2012. Faktor Risiko

Kejadian Diare Balita di Sekitar TPS Banaran Kampus UNNES. UNNES Journal of Public Health Vol.1 Januari 2012. Semarang : Universitas Negeri Semarang.

Referensi

Dokumen terkait

pada penjelasan warga Negara Indonesia adalah dalam pasal 4 huruf (I) “Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang tidak jelas status kewarganegaraan ayah ibunya”,

Pemberian pelayanan informasi tentang data obat, data supplier, data konsumen, data golongan serta pembuatan laporan yang dalam kenyataannya masih menggunakan

Guru perlu mengerti tentang pentingnya peta konsep dalam proses belajar dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali tentang apa saja yang mereka

Karena nilai permeabilitas tanah lempung jauh lebih kecil dari tanah pasir, maka proses konsolidasi membutuhkan waktu yang relative lebih lama dibandingkan waktu

Sedangkan penggunaan metode ozonisasi dimaksudkan untuk mengurangi jenis bakteri yang ada di dalam limbah tersebut, sehingga jenis bakteri yang tersisa / terseleksi diharapkan

Selaku Kepala SMA Yuppentek 1 Tangerang yang telah memberikan kesempatan, motivasi, arahan, bimbingan dan semangat untuk studi yang dengan rasa kekeluargaan yang sangat mendalam

2.1 Ringkasan Sebut Harga hendaklah menjadi sebahagian daripada Borang Sebut Harga ini dan hendaklah menjadi asas Jumlah Harga Sebut Harga. 2.2 Harga-harga dalam Ringkasan Sebut

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sehingga peneliti menempatkan diri sebagai human instrument yang memegang peranan kunci (Biklen dan Bogdan,1982: