• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Dewi Indasari

Staf Pengajar UP. MPK Politeknik Negeri Sriwijaya Jln. Srijaya Negara Bukit Besar Palembang Telp. 082179541298

ABSTRACT

The ministry of religion in Indonesia, has walked through all the circumstances up and down. From times to times, authority and power of the ministry of religion based on the value of Islam and the fact found around the civilization. In this chance both power and authority are limited societyby various policy and constitution roles, instead of undergoing many challenges from the controller and groups of society in order to positionate this ministry becomes weak. There are some, historical phases of the ministry of religion begun from Islam which came to Ind, the era of Islam kingdoms, cobonization era, and the era of post-freedom to era.

ABSTRAK

Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surutnya.Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Dan pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perudang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah. Adapun fase-fase bersejarah pengadilan agama diawali dari masuknya Islam ke Indonesia, masa kerajaan-kerajaan Islam, masa penjajahan dan masa pasca kemerdekaan hingga era reformasi.

Kata Kunci : Qadla Asy-Syar’i, Wali al-amri, Tahkim, Regerings Reglement (RR), Indische Staats Regeling (IS), Kailkoyo Kooto Hooin, Sooryo Hooin, Kompilasi Hukum Islam (KHI)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Berbicara tentang perjalanan peradilan agama yang telah dilalui dalam rentang waktu yang demikian panjang berarti berbicara tentang masa lalu yakni sejarah Peradilan Aama. Hal ini dianggap penting untuk rencana melangkah kemasa yang akan datang.Peradilan Agama telah tumbuh dan melembaga di bumi nusantara ini sejak agama Islam dianut oleh penduduk yang berada di wilayah ini, berabad-abad lamanya sebelum kehadiran penjajah. Tumbuh dan berkembangnya Peradilan agama itu adalah karena kebutuhan dan kesadaran hokum sesuai dengan keyakinan mereka (Sjadzali, 1994:42).

Namun diakui bahwa data sejarah Peradilan Agama tidak mudah mendapatkannya seperti yang dikatakan, para ahli mengakui bahwa sumber rujukan Peradilan Agama sangatlah minim karena sengaja dilewatkan oleh para cerdik pandai masa lalu yang mungkin belum menganggap penting.

Untuk mengetahui bagaimana fase-fase bersejarah perkembangan Peradilan Agama dari awal masuknya islam ke Indonesia, masa kerajaan Islam, masa penjajahan dan masa pasca kemerdekaan hingga era reformasi, mari kita kaji dalam tulisan ini.

PEMBAHASAN

Sebelum melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hokum Islam sebagai hokum yang

berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang-undangan Negara.Kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melakukan hokum Islam dalam wilayah hukumnya masing-masing. Kerajaan Islam Pasai yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam yang pertama yang kemudian di ikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten (Amrullah, 1996:55). Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam seperti Tidore dan Makasar, Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah dan akhirnya berhasil menaklukan kerajaan kesil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaraan Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.

(2)

1.Peradilan Agama pada Awal Masuknya Islam hingga Kerajaan-kerajaan Islam

Para pakar dan ahli hokum sejarah sepakat bahwa sistem Peradilan Agama di Indonesia sudah dikenal sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke 7 M. Pada masa itu hokum Islam mulai berkembang di wilayah nusantara bersama-sama hokum adat, kendati demikian dalam perjalanannya keberadaan peradilan agama mengalami pasang surut. Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan yaitu Peradilan Perdata dan Peradilan Padu. Materi hokum Peradilan Perdata bersumber dari ajaran Hindu dan ditulis dalam Papakem, sedangkan Peradilan Padu menggunakan hokum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam prakteknya, Peradilan Perdata menangani persoalan-persoalan yang berhubungan dengan wewenang raja.Keberadaan dua peradilan ini berakhir setelah raja Mataram menggantikan dengan sistem Peradilan Serambi yang berasaskan Islam.Penggantian ini bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah kerajaan Mataram.Karena itu para ahli sejarah sependapat bahwa sistem peradilan agama di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Mataram.

Peradilan Agama sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraan kenegaraan pernah mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I. Amangkurat I pernah menutup Peradilan Agama dan menghidupkan kembali Peradilan Perdata. Setelah masa ini, Peradilan Agama eksis kembali, Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah

kitab hokum Islam “Shirath al-Mustaqim” yang

ditulis Nurudin ar-Ramiri, kitab ini menjadi rujukan para hakim di Indonesia.

Peradilan Agama (qadlo Asy-Syar’i) di Indonesia sudah ada pada masa-masa periode Tahkim yaitu pada awal masuknya Islam ke Indonesia dimana kondisi masyarakat belum mengetahui banyak masalah-masalah hokum Islam, sedangkkan lembaga Peradilan Agama terbentuk dalam periode Taudiyah Ahlul Hadli

Wal’Aqdi. Keadaan yang demikian ini Nampak

pada masa kerajaan Islam di nusantara dengan bentuk-bentuk lembaga peradilan yang memberlakukan hokum Islam yang pelaksanaannya di serambi-serambi masjid oleh hakim-hakim yang menjalankan hokum Islam terhadap perkara-perkara perdata, perkawinan dan kekeluargaan sehingga pada saat itu penampungan perkara perdata sudah ada tempatnya yang pasti (Depag, 1985:8).

Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim disuatu wiayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa dapat bertahkim kepada

seseorang yang dianggap memenuhi syarat atau pemuka agama. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masalah hokum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana seperti had (ketentuan hokum yang sudah positip bentuk hukumnya) dan ta’zir (ketentuan hokum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat). Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradillan dapat dilakukan oleh ahlu al-hadly wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yaitu para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan (Ramulyo, 2004:30).

Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat.Sidang-sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut dengan “Pengadilan Serambi”.Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di Indonesia yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu atau hakim sebagai bagian dari yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.Peradilan dan lembaga peradilan pada masa ini masih sangat sederhana, demikian juga para pegawainya biasanya diangkat oleh para pejabat setempat.Pengadilan Agama yang diselenggarakkan oleh para pejabat (penghulu) yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat dan begitu pula dengan sidang-sidang yang berlangsung di serambi masjid.Sejak pengadilan serambi masjid tersebut belum ada, muncul pengadilan yang secara resmi menangani urusan perdata, yaitu melayani dan menangani rakyat di Jawa.Baru kemudian pengadilan agama berada dan muncul di bawah pengadilan colonial yaitu

“Landraad” (pengadilan negeri).Hanya Landraad

inilah yang berwenang untuk memerintahkan suatu pelaksanaan bagi keputusan Pengadilan Agama dalam bentuk “Executor

Verklaring”(pelaksanaan putusan) (Basyir,

1992:9-11).

(3)

banyak orang yang ingin meng hindari diri dari Landraad dan tetap menginginkan dan menggunakan lembaga peradilan agama yang mana rakyat sudah menganggap sebagai lembaga yang sah dan dapat diterima.

2. Peradilan Agama pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Ketika VOC berada di Indonesia, hokum Islam tetap berlaku dimana masyarakat bangsa Indonesia masih diberikan kebebasan dalam melaksanakan hokum Islam dengan seluas-luasnya selama tidak menganggu kepentingan-kepentingan VOC di Indonesia. VOC pernah akan memberlakukan hokum Belanda di Indonesia guna memperlancar hubungan mereka dalam perniagaan dengan negara-negara lain, namun gagal total dikarenakan mendapat reaksi keras dari kelompok masyarakat lain, kejadian tersebut menjadika rasa enggan mereka untuk ikut campur terhadap hokum Islam, bahkan VOC kemudian membuat alternatif lain yaitu dengan membentuk peradilan lain untuk bangsa pribumi dengan cara memberlakukan hokum Islam disetiap peradilan orang-orang pribumi dan mengumpulkan materi-materi sebagai hokum Islam, hal ini tertuang dalam sebuah resolusi (dar indische regering) Peraturan resmi yang mengatur eksistensi Peradilan Agama di bumi nusantara ini adalah keputusan raja Belanda No.24 tertanggal 19 Januari 1882, dimuat dalam Stb. 1882 No. 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Para pakar hokum sependapat bahwa lahirnya keputusan raja tersebut adalah merupakan hasil dari teori “receptio in

complexu” oleh Van Den Berg.Kemudian teori itu

digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck

Hurgronje, dan diganti dengan teori “receptie.”

Menurut nya teori receptio in complex adalah merupakan suatu kesalahan besar kolonial Belanda, yakni pengadilan agama diberi keluasan memberlakukan hokum Islam secara keseluruhan adalah keliru, yang benar adalah hokum Islam baru dapat diterima apabila telah diterima oleh hokum adat mereka.

Snouck Hurgronje kemudian mengkritik dengan menyatakan bahwa sebenarnya para pejabat kolonial Belanda masih sangat kurang sekali akan arti dari pengadilan agama di Indonesia dan keberadaannya. Dengan datangnya Snouck Hurgronje tersebut membawa akibat yang tidak diinginkan oleh masyarakat yang beragama Islam khususnya dan dampaknya terlihat dalam kehiduppan beragama terutama lembaga-lembaga pendidikan, lembaga peradilan.Lembaga-lembaga keagamaan (peradilan) tidak dapat bergerak secara leluasa disebabkan di dalamnya telah dicampuri oleh pemerintah Hindia Belanda.Pikiran Snouck Hurgronje tersebut

dikembangkan oleh Cornelis van Vollenhoven (1874-1933), dia yang perkenalkan het indisch Adattrect (hokum adat Indonesia). Istilah “hokum adat” nya sendiri diciptakan oleh Snouck Hurgronje kemudian dikembangkan oleh Van Vollenhoven.Mereka berdua inilah melakukan perubahan pasal-pasal RR(Stb 1885 No.2) yang mengatur pelaksanaan undang-undang agama bagi bumi putera. Awal mulanya yang diubah adalah pasal 75 RR melalui Stb.Bld 1906 No.364 (Stb Hindia Belanda 1907 No.204). Istilah

“undang-undang agama” diganti dengan

“peraturan yang berkenaan dengan agama dan kebiasaan”, pasal 78 dan pasal 109 masih

dibiarkan dengan bunyi “undang-undang agama”.

Lalu Stb 1919 No.286 (Stb Hindia Belanda 1919 No.621) kata-kata “memperlakukan peraturan yang berkenaan dengan agama” dari pasal 78 dan pasal 109 tetap tidak dirubah.

Dengan rumusan ini maka berarti hokum islam tidak berlaku lagi di Indonesia kecuali telah diterima oleh hokum adat. Berdasarkan Stb 1937 No 638 pengadilan agama di Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan hanya berwenang menangani hokum perkawinan saja hal ini dirumuskan dalam pasal 2a. Ketentuan tersebut mulai berlaku 1 April 1937. Perkara-perkara selain tersebut dalam pasal 2a Stb 1882 No.15 jo Stb 1917 No.116 menjadi wewenang pengadilan negeri, ketentuan ini tidak berubah dan tetap berlaku pada masa pemerintahan Jepang berdasarkan peraturan peralihan yang dituangkan dalam UU No.1 Tahun 1942. Peradilan Agama hanya berubah nama menjadi “Kaikoyo Kootoo

Hooin” untuk Mahkamah Islam Tinggi dan

Sooryo Hooin untuk Pengadilan agama.

Menurut secara internal keberadaan Peradilan Agama pada zaman kerajaan dan penjajahan Belanda membawa dampak positif bagi fundamental peradilan islam/syariah di Indonesia, karena pada zaman inilah keberadaan peradilan agama kemungkinan menjadi peradilan yang modern dan mandiri untuk menciptakan kepastian hokum berdasarkan syariat agama, sedangkan secara eksternal keberadaan peradilan agama pada zaman ini, pemerintah Hindia Belanda berupaya memecah belah umat muslim. Hal ini tidak berhasi dikarenakan Peradilan Agama merupakan suatu wadah kaum muslim yang bersengketa dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan kolonial Belanda.

(4)

keraton yang membantu tugas raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Sejak tahun 1970 an perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan diambil dari alumni IAIN dan perguruan tinggi Agama (Arifin, 1996:82).

3.Peradilan Agama Setelah Kemeerdekaan a. Periode 1945-1957

Pada awal tahun 1946 tepatnya tanggal 3 Januari 1946 dibentuklah Kementerian Agama.Kementerian ini dimungkinkan berkonsolidasi atas seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional.Berlakunya UU No.22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud-maksud untuk mempersatukan administrasi nikah talak dan rujuk di seluruh Indonesia di bawah pengawasan Departemen Agama sendiri. Pada masa ini Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi yang telah ada tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan, selang tiga bulan berdirinya Departemen Agama yang dibentuk melalui Keputusan Pemerintah No.1/SD, pemerintah mengeluarkan penetapan No.5/SD tanggal 25 Maret 1946 yang memindahkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari Departemen Kehakiman kepada Departemen Agama dan sejak saat itulah Peradilan Agama menjadi bagian dari Departemen Agama.

Setelah Pengadilan Agama diserahkan pada Departemen Agama, masih ada sementara pihak yang berusaha menghapuskan keberadaan peradilan agama.Usaha pertama dilakukan melalui UU No.19 Tahun 1948, usaha kedua melalui UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang Susunan Kekuasaan Peradilan Sipil. Usaha-usaha yang mengarah pada penghapusan Peradilan Agama ini menggugah minat untuk lebih memperhatikan Pengadilan Agama, Selanjutnya Pengadilan Agama di bawah tanggung jawab Jawatan Urusan Agama, penetapan pengadilan agama di bawah Departemen Agama merupakan langkah yang sangat menguntungkan sekaligus sebagai pengamanan, karena meskipun Indonesia telah merdeka namun pengaruh teori receptive yang berupaya untuk meng-eliminir Peradilan Agama masih tetap hidup, hal ini terbukti dengan lahirnya UU No.19 Tahun 1948 (Sjadzali, 1994:46).

b. Periode 1957-1974

ada empat hal yang perlu kita ketahui dengan kelahiran PP dan UU yaitu PP No.29/1957, PP No.45/1957, UU No.19/1970 dan penambhan kantor dan cabang dari peradilan agama. Kemudian tanggal 31 oktober 1964 disahkannya UU No.19 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut UU ini

PeradilanNegara RI menjalankan dan melaksanakan hokum yang mempunyai fungsi pengayoman yang dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun tidak lama UU ini diganti dengan UU No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok-Pokok Kehakiman karena sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan. Dalam Undang-undang baru ini ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, dan ditegaskan pula bahwa sejak tahun 1945-1966 ke empat lingkungan peradilan diatas bukanlah kekuasaan yang merdeka secara utuh melainkan disana sini masih mendapatkkan intervensi dari kekuasaan lain (Amrullah, 1996:137).

3. Periode 1974-1989

Pada masa kurang lebih 15 tahun yakni menjelang disahkannya UU No.1/1974 tentang perkawinan sampai menjelang lahirnya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama. Ada dua hal yang menonjol dalam perjalanan peradilan agama di Indonesian

1. Tentang proses lahirnya UU No.1/1974 tentang perkawinan dengan peraturan pelaksanaannya PP No.9/1974

2. Tentang lahirnya PP No.28/1977 tentang perwakafan tanah milik, sekarang telah diperbaharui UU No.41/2004

Terlepas dari itu semua harus diakui bahwa UU No1/1974 ini sangat berarti dalam perkembangan peradilan agama di Indonesia karena selain menyelamatkan keberadaan peradilan agama itu sendiri sejak disahkan UU No.1/1974 tentang perkawinan jo PP No.9/1975 tentang peraturan pelaksanaannya maka terbit pula lah ketentuan hokum acara di peradilan agama biar pun baru sebagian kecil saja. Ketentuan Hukum Acara yang berlaku di lingkungan peradilan agama baru disebutkan secara tegas sejak diterbitkannya UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama.Hukum Acara yang dimaksud diletakkan pada Bab IV yang terdiri dari 37 pasal. Pada tanggal 27 Desember 1989 UU No.7/1989 tentang peradilan agama disahkan oleh DPR yang kemudian diikuti dikeluarkannya Inpres No 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Ramulyo, 2004:43)

4. Kompilasi Hukum Islam

(5)

nya Kompilasi Hukum Islam berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diantaranya : Untuk dapat berlakunya hokum (Islam) di Indonesia yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hokum maupun oleh masyarakat.

1. Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah dan sudah menyebabkkan beberapa hal yaitu (1) Ketidak seragaman dalam hal menentukan apa-apa yang disebut hokum Islam, (2) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’ah itu, (3) Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam UUU 1945 dan perundang-undangan lainnya.

2. Dalam sejarah Islam, pernah di tiga negara hokum Islam diberlakukan sebagai perundang-undangan Negara yaitu (1) Di India pada masa raja An- Rijeb yang membuat dan memberlakukan perundang-undangan yang terkenal dengan fatwa alamfirli, (2) Kerajaan Turki Usmani yang terkenal dengan Majalah Ahkam Al-Adliyah, (3) Indonesia yaitu Subang dimana Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan.

Gagasan ini disepakati dan dibentuklah Tim Pelaksana Proyek yang ditunjuk dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Rid an Mentri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No.25 tahun 1985 tertanggal 25 Maret 1985. Akhirnya keluar Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 memerintahkan kepada Mentri Agama RI untuk menyebarluaskan KOmpilasi Hukum Islam yang terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, Buku III tentang Hukum Perwakafan, intruksi ini di ikuti oleh Keputusan menteri Agama No. 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 (Amrullah, 1996:12).

4. Peradilan Agama pada Era Reformasi Dalam Peradilan Satu Atap

Pada era reformasi terjadi perubahan secara besar-besaran pada lembaga peradilan khususnya peradillan agama, dimana peradilan agama harus menundukkan diri kepada UU satu atap yaitu UU No.5/2004 tentang Mahkamah Agung RI dan UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun hal terjadi lagi perubahan UU No.4/2004 diganti dengan UU No.48/2009 tentang Kekuasaan kehakiman sementara itu UU No.5/2004 diubah menjadi UU No.3/2009 tentang Mahkamah Agung

Demikian pula dikeluarkannya dan berlakunya UU No.3/2006 tentang Perubahan atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama.Dengan

tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, Negara dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur dan berkeadilan. Bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan keadilan, namun hal ini terjadi perubahan kembali yaitu dikeluarkannya UU No.3/2006 masih perlu disempurnakan kembali yaitu dengan mengadakan perubahan kedua yakni UU No.50/009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. Demikian juga terdapat penambahan pasal 52a yaitu tentang Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian ru’yat hilal penentuan awal bulan pada tahun Hijriah yakni kewenangan baru peradilan agama.Dengan bersumber pada UU No.14/1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No.5/2004 tentang Perubahan atas UU No.14/1985 tentangMahkamah Agung.

Adapun berlakunya UU No.50/2009 no. 22 tentang Perubahan Kedua atas UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama adalah : Pasal 1 dalam UU ini yang dimaksud dengan (1) Pengadilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. (2) Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama (3) Hakim adalah hakim pada pengadilan agama dan hakim pada pengadilan tinggi agama (4) Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada Kantor Urusan Agama (5) Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita pengganti pada pengadilan agama.

(6)

Prolegmas 2008 (http://aryokarlan.blogspot.com.di akses tanggal 27 Oktober 2011).

KESIMPULAN

Peradilan agama telah tumbuh dan melembaga di bumi nusantara ini sejak agama islam dianut oleh penduduk yang berada di wilayah ini berabad-abad sebelum kehadiran penjajah. Adapun fase-fase perkembangan Peradilan Agama di Indonesia adalah sebagai berikut :

1.Peradilan Agama pada awal masuknya Islam hingga kerajaan-kerajaan Islam, dimana terjadinya qadla Asy-Syiar (Peradilan Agama) di Indonesia sudah terjadi pada masa-masa Tahkim, sedangkan lembaga Peradilan Agama terbentuk dalam periode Tauliyah Ahlul Hadli Wal-Aqdi, lalu Tauliyah dari Imamah yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of outhority

2.Pada masa kolonial Belanda, peraturan resmi yng mengatur eksistensi Peradilan agama di bumi nusantara ini adalah keputusan Raja Belanda No.24 tertanggal 19 januari 1882 dimuat dalam Stb 1882 No.1552 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, ini merupakan hasil dari teori receptio in complexu oleh Van Den Berg, kemudian teori ini digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje dan menggantikannya dengan teorireceptive. Pikiran Snouck Hurgronje tersebut dikembangkan oleh Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933), dia memperkenalkan het indisch adatrech (hokum adat Indonesia). 3.Setelah kemerdekaan, pemerinah mengeluarkan

penetapan No.5/SD tanggal 25 Maret 1946 yang memindahkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tertinggi dari Departemen Kehakiman kepada Departemen Agama. Dalam rentang waktu 1957-1974 lahir PP dan UU

yakni PP No.29/1957, PP No.45/1957, UU No.19/1970 dan Penambahan kantor dan cabang kantor peradilan agama, lalu dalam masa kurang lebih 15 tahun disahkannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan lahir pula UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama, dan diikuti penyusunan Kompilasi Hukum Islam.

4. Pada era reformasi, Peradilan Agama harus menundukkan diri kepada UU satu atap yaitu UU No.5/2004 tentang Mahkamah Agung dan UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga terdapat penambahan pasal 52a yaitu pengadillan agama memberikan itsbat kesaksian ru’yat hilal. Dalam pembahasan RUU tentang perbank-an syari’ah yang kemudian ditetapkan menjadi UU No.21/2008 telah terjadi hubungan kerja yang intens antara Mahkamah Agung c.q. Ditjen Badan Peradilan Agama dengan Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, Timur, Tinjauan dan Kajian Sejarah Peradilan Agama serta Implementasinya Ahmad, Azhar Basyir, 1992, Kuliah Hukum

Indonesia.

Ahmad, Amrullah, 1996, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:Gema Insani Pers.

Busthanul Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta:Gema Insani Pers.

Ditbinbapera, 1985, Jakarta:Departemen Agama Idris, Ramulyo, 2004, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta:Sinar Grafika

Munawir, Sjadzali, 1994, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Bandung:Rosdakarya

Referensi

Dokumen terkait

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa sejarah masuknya agama Islam di Humbang Hasundutan terjadi pada tahun 1930, sementara perkembagannya terjadi pada tahun 1950-an dan membawa

Dimasa orde Baru ini, jurisdiksi dari pengadilan agama telah diperluas yang mencakup semua kasus dalam hukum keluarga Islam, yaitu perkawinan, perceraian, rujuk, kewarisan,

Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, berhak mendapatkan bantuan hukum dari Advokat Piket pada Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang ada di Pengadilan Agama setempat yang

Pada masa orde baru pendidikan agama Islam tidak dapat berkembang, sehingga dengan adanya reformasi pendidikan diharapkan pendidikan Islam mampu berkembang di

Pernikahan yang dilakukan oleh para pemohon sebelumnya adalah pernikahan menurut agama Islam yang belum diurus administrasi pernikahannya di Kantor Urusan Agama

Pelaksanaan praktik mahasiswa di ke 18 pengadilan agama tersebut berdasarkan MOU antara Fakultas Syari’ah dengan Pengadilan Tinggi Agama Padang. Walapun pengadilan

Pelaksanaan praktik mahasiswa di ke 18 pengadilan agama tersebut berdasarkan MOU antara Fakultas Syari’ah dengan Pengadilan Tinggi Agama Padang. Walapun pengadilan

Berdasarkan telaah kajian pustaka tersebut maka perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah terletak pada kompetensi absolut Pengadilan Agama tentang perkara zakat,