• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembaharuan Hukum Perdata Hak untuk Dilu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembaharuan Hukum Perdata Hak untuk Dilu"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM

“HAK UNTUK DILUPAKAN”

DISUSUN OLEH

Nastitya Fionny Brilliyanti

4301170035

2-8 / 24

D-III Kebendaharaan Negara

POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...2

KATA PENGANTAR...3

BAB 1 PENDAHULUAN...4

1.1 Latar Belakang...4

1.2 Rumusan Masalah...4

1.3 Tujuan Penulisan...4

BAB 2 PEMBAHASAN...5

2.1 Hak untuk Dilupakan...5

2.2 Contoh Kasus...6

2.3 Hak untuk Dilupakan di Eropa...7

2.4 Hak untuk Dilupakan di Indonesia...8

2.5 Lemahnya Hak untuk Dilupakan di Indonesia...9

2.6 Upaya Pembaharuan Hukum berdasarkan Perbandingan dengan Uni Eropa...11

2.6.1 Ketidakadilan antara Hak untuk Dilupakan dan Hak untuk Berpendapat...11

2.6.2 Penghapusan Hingga Akarnya...12

2.6.3 Kurangnya Ketentuan Mengenai Penggunaan Hak untuk Dilupakan...12

2.6.4 Luasnya Penghapusan Konten dan Kepentingan Politik...13

BAB 3 PENUTUP...14

3.1 Kesimpulan...14

3.2 Pesan dan Saran...14

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas segala nikmat, taufik dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Upaya

Pembaharuan Hukum Hak untuk Dilupakan” yang diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata dengan baik tanpa ada halangan yang berarti.

Makalah ini telah saya selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya sampaikan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini.

Diluar itu, saya sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati , saya selaku penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Demikian yang bisa saya sampaikan. semoga makalah dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Tangerang Selatan, 04 April 2018

(4)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hakikatnya internet hadir dengan tujuan positif. Karena itu, untuk menjamin keamanan dalam berinternet diperlukan payung hukum. Itulah yang menjadi latar belakang dibentuknya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, yaitu untuk mengatur tata penggunaan internet agar tidak chaos.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE merupakan Undang-Undang (UU) yang didalamnya mengatur segala hal tentang teknologi informasi yang berlaku di Indonesia. UU ini mulai dirancang pada tahun 2003 oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) sampai pada akhirnya lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Seiring dengan berjalannya waktu, pergerakan internet di Indonesia pun semakin pesat. Hal ini dapat dibuktikan dari peningkatan pengguna internet di indonesia, yang pada 2010 jumlahnya hanya sekitar 42 juta, menjadi 143 juta pada tahun 2017 lalu. Akibatnya, tidak sedikit hal-hal yang belum tercantum di dalam peraturan ataupun peraturan yang dirasa perlu penyesuaian. Sifat hukum yang dinamis tidak mengelakan bahwa suatu perundangundangn dapat diperbaharui. Begitu pula dengan undang-undang ITE, yang setelah 8 tahun akhirnya mengalami perubahan yaitu menjadi Undang Undang Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam meski UU tersebut baru saja di revisi UU, nyatanya belum sepenuhnya maksimal. Masih ada hal yang perlu diatur lebih jelas didalamnya, salah satunya adalah mengenai Right to be Forgotten atau Hak untuk Dilupakan pada Pasal 26 ayat (3) dan (4).

1.2 Rumusan Masalah

A. Bagaimana perbandingan Hak untuk Dilupakan di Uni Eropa dan di Indonesia? B. Mengapa dibutuhkan pembaruan hukum tentang Hak untuk Dilupakan di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan

(5)
(6)

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Hak untuk Dilupakan

The right to be forgotten atau hak untuk dilupakan sudah menjadi perbincangan di Uni Eropa sejak tahun 2006. Ia memberikan hak kepada setiap individu untuk meminta mesin pencari menghapus tautan berkaitan dengan data pribadi mereka. Menurut Mantelero Alessandro, profesor Hukum Perdata dari Italia, yang melatar belakangi Right to be Forgotten atau Hak untuk Dilupakan adalah konsep otonomi individu, dimana individu berhak untuk menentukan sendiri arah hidup mereka secara otonom, tanpa terus-menerus dikenai stigma atau gangguan sebagai akibat dari tindakan tertentu yang dilakukan di masa lalu.

Namun, perkembangan teknologi internet saat ini menghasilkan kemampuan untuk merekam dan menyebarluaskan informasi tentang seseorang tanpa disadari orang tersebut. Penyebarluasan informasi melalui mesin pencari atau media sosial dapat bersifat masif atau permanen dengan berbagai dampaknya terhadap kepentingan pribadi atau pihak lain.

Lalu, muncul lah pemikiran untuk menciptakan mekanisme hukum yang memungkinkan penghapusan informasi atau akses informasi digital yang tidak relevan lagi dengan seseorang. Atas dasar pemikiran ini, terciptalah regulasi tentang the right to be forgotten atau Hak untuk Dilupakan.

Hak untuk dilupakan akan sangat menguntungkan seseorang yang terjerat kasus hukum dan telah divonis bebas dikarenakan tidak terbukti secara sah atau korban ‘fitnah’, karena :

a. Berdasarkan Asas perlindungan Hak Asasi Manusia dan Asas Persamaan di depan Hukum atau Equality Before the Law, yaitu seseorang boleh mengajukan penghapusan konten atau data yang tidak sesuai tentang dirinya yang dipublikasikannya dimasa lalu misalnya seseorang yang tidak terbukti bersalah oleh putusan pengadilan.

(7)

2.2 Contoh Kasus

Mario Costeja Gonzales, seorang warga negara Spanyol, terlilit utang jaminan sosial pada tahun 1998 yang membuat properti miliknya harus dijual paksa. Lelang atas aset itu pun diumumkan di salah satu koran di Spanyol bernama La Vanguardia.

Beberapa tahun kemudian, La Vanguardia mengarsipkan koran-koran terbitannya dalam format digital di internet, termasuk laman yang memuat iklan baris penjualan rumah Costeja yang kemudian di index oleh Google.

Saat urusan lelangnya telah selesai, Mario ingin melupakan masalah hutang yang sudah menimpanya. Tetapi, setiap ia mengetik namanya sendiri di mesin pencari Google, selalu muncul berita mengenai lelang rumahnya itu.

Lalu, Costeja menghubungi Badan Perlindungan Data Spanyol atau Agencia Aspanola de proteccion de Datos (AEPD). Costeja meminta AEPD agar memerintahkan La Vanguardia juga Google menghapus data pelelangan asetnya itu. Ia merasa terganggu dengan munculnya iklan baris itu ketika ia mencari namanya di Google. Costeja meminta iklan itu dihapus. Ia merasa itu tak lagi relevan untuk muncul karena sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu dan telah merusak reputasi dan privasinya.

Setelah lima bulan menunggu, keluhan Costeja mendapat jawaban dari AEPD. Permintaan penghapusan dari surat kabar La Vanguardia ditolak, namun permintaan penghapusan pencarian di Google diterima. Ternyata Google menolak menghapus tautan iklan itu dan membawa perkara ini ke Pengadilan Tinggi Spanyol atau Audiencia Nacional dengan dasar bahwa Google tidak boleh melakukan penyensoran atas materi yang telah dipublikasikan oleh Koran. Google juga menjelaskan bahwa Google.inc yang berlokasi di Amerika Serikat berdalih ia tidak terikat dengan aturan Data Protection Directive Uni Eropa. Sedangkan Google Spanyol sebagai anak perusahaannya, tidak bertanggung jawab atas mesin pencari.

(8)

Dalam putusannya, CJEU menjelaskan bahwa Google dan mesin pencari lainnya secara sistematis mengkompilasi dan memberikan taut yang hal ini membuktikan bahwa mesin pencari memiliki kontrol atas data pribadi seseorang. Karena itu, menurut CJEU, mesin pencari harus mendengarkan dan juga terkadang wajib memenuhi permintaan seseorang saat orang tersebut meminta penghapusan link ke artikel surat kabar atau situs lain yang berisi informasi usang atau tidak menyenangkan tentang diri mereka sendiri. CJEU juga memberikan penjelasan bahwa data atau informasi mengenai seseorang yang dianggap perlu diketahui oleh publik, maka ketentuan diatas tidak berlaku dan pihak penyelenggara mesin pencarian tidak perlu melakukan penghapusan atas data tersebut.

Kasus di atas dianggap penting karena konsep Right to be Forgotten diaplikasikan untuk pertama kalinya dalam sebuah kasus nyata. Walapun konsepnya sudah ada lebih dari 40 tahun, Right to be Forgotten baru diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan Uni Eropa pada 27 April 2016, melalui Regulation 2016/679 atau dikenal dengan sebutan General Data Protection Regulation.

2.3 Hak untuk Dilupakan di Eropa

European Parliament atau Parlemen Eropa dan Council of the European Union atau Dewan Uni Eropa akan menerbitkan General Data Protection Regulation atau Umumnya dikenal dengan singkatan GDPR. Tujuan nya adalah guna menciptakan harmonisasi pengaturan mengenai perlindungan data pribadi di seluruh negara anggota Uni Eropa.

GDPR telah dibuat sejak 2016 lalu, namun baru akan berlaku Mei mendatang, aturan tentang perlindungan data pribadi yang berlaku di Uni Eropa sejak tahun 1995 yang terdapat pada Directive 95/46/EC akan tetap valid sebelum GDPR berlaku efektif.

Pada Pasal 17 GDPR memuat ketentuan tentang right to be forgotten. Pasal 17 ayat (1) GDPR memuat pemberian hak kepada pemilik data pribadi untuk meminta data mengenai dirinya yang berada di bawah kendali penyelenggara sistem elektronik untuk dihapus atas dasar salah satu poin di bawah ini:

1. Data yang bersangkutan tidak lagi diperlukan guna mencapai tujuan awal penggunaan data tersebut oleh pihak penyelenggara sistem elektronik,

2. Pemilik data pribadi mencabut persetujuan yang sebelumnya diberikan kepada penyelenggara sistem elektronik sehubungan dengan penggunaan data mengenai dirinya, atau

(9)

Tetapi, Right to be Forgotten di GDPR memiliki batasan. Penyelenggara sistem elektronik tidak harus menghapus data yang dimohonkan selama dapat dibuktikan bahwa pemprosesan data atau informasi mengenai seseorang memenuhi salah satu alasan dalam Pasal 17 ayat (3) GDPR sebagai berikut:

1. Dalam rangka menjalankan hak kebebasan berekspresi; 2. Demi kepentingan umum di bidang kesehatan; atau

3. Untuk kepentingan kegiatan pengarsipan yang berhubungan dengan kepentingan umum, penelitian atau statistik.

Perlu digarisbawahi pula, ada beberapa ketentuan khusus untuk menghapus informasi tersebut, yaitu jika informasi tersebut tidak akurat (inaccurate), tidak relevan (irrelevant), tidak memadai (inadequate), atau berlebihan (excessive). Ketentuan lainnya adalah bahwa “right to be forgotten” tidak bersifat absolut atau mutlak.

Dengan demikian, tidak setiap informasi yang diminta untuk dihapus bisa memenuhi kriteria right to be forgotten. Maka dari itu, prinsip ini tidak bisa diterapkan secara umum begitu saja, namun harus melalui peninjauan kasus per kasus dengan mempertimbangkan hak publik atas informasi dan hak bagi media untuk berekspresi.

2.4 Hak untuk Dilupakan di Indonesia

November 2016, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau DPR RI mengesahkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 yang berisi revisi terhadap Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 atau yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang ITE. Salah satu revisi tersebut adalah melembagakan pasal tentang hak untuk dilupakan atau right to be forgotten pada pasal 26 ayat 3 dan 4, Yang berbunyi:

(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal itu memberi empat petunjuk dasar tentang hak untuk dilupakan, yaitu:

1. Permohonan penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan.

(10)

3. Apabila telah terdapat penetapan pengadilan yang mengabulkan permohonan penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, Penyelenggara Sistem Elektronik yang memegang kendali atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dimohonkan, wajib melakukan penghapusan.

4. Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.

Pasal 26 ayat (3) dan (4) Undang Undang No. 19 tahun 2016 mewajibkan seluruh Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menjalankan penetapan pengadilan terkait Hak untuk Dilupakan ini. Berdasarkan Pasal 1 ayat (6) a Undang Undang No. 19 tahun 2016, yang dimaksud sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik adalah:

Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa cakupan Hak untuk Dilupakan di Indonesia menjadi luas karena bukan hanya pada mesin pencari yang harus melakukan penghapusan

2.5 Lemahnya Hak untuk Dilupakan di Indonesia

Indonesia menjadi negara Asia pertama yang menerapkan konsep Right to be Forgotten atau Hak untuk Dilupakan. Meski begitu, aturan mengenai Hak untuk Dilupakan di Indonesia masih belum kompleks dan belum ada peraturan penjelasnya. Hak untuk Dilupakan akan sangat berpotensi pada penyalahgunaan.

Jika melihat Pancasila sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

indonesia” maka rasanya belum sepenuhnya cocok dengan peraturan mengenai Hak

(11)

menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Berkaitan dengan hak-hak tersebut, perlu kita ketahui bahwa dalam menggunakan hak kita, kita tidak boleh mencederai hak orang lain. Sebab di setiap hak asasi masing-masing dari kita dibatasi oleh hak asasi orang lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu

masyarakat demokratis.”

Peraturan ini juga rawan bertabrakan dengan Asas Peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tetang Kekuasaan Kehakiman. Didalam peraturan ini tidak diatur dengan jelas mengenai prosedur nya sehingga akan mencederai asas sederhana. Lalu, Putusan yang mengandalkan penafsiran hakim akan menimbulakan ketidakpastian hukum dan dapat dikhawatirkan menyebabkan ketidakadilan dalam putusannya. Jika Penyelenggara Sistem Elektronik keberatan untuk menghapus data, mereka harus melakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung yang mana akan memakan waktu dan biaya yang banyak sehingga akan mencederai asas cepat dan biaya ringan.

Ada beberapa kelemahan dan kekurangan lain yang belum diatur dengan jelas mengenai Hak untuk Dilupakan, antara lain :

a. Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengatur mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan. Akan tetapi belum jelas apakah Perubahan UU ITE akan menentukan standar mekanisme itu. Mungkinkah hal tersebut akan diserahkan sepenuhnya ke Penyelenggara Sistem Elektronik?

b. Siapa saja yang dituntut untuk menghilangkan konten yang dimaksud di dunia maya ? Berdasarkan UU ITE, penyelenggara konten yang dimaksud meliputi seluruh pengendali data di internet, seperti search engine dan media digital, termasuk media sosial dan blog pribadi. Namun, bagaimana denggan search engine dan media non-Indonesia yang berbeda yurisdiksi? Apakah masih berlaku ?

(12)

d. Bagaimana menghapuskan informasi yang telanjur tersebar secara global? Karena sampai saat ini belum ada hukum internasional yang mengatur hal ini dan tidak ada sinkronisasi hukum antarnegara tentang hal yang sama.

Dan mungkin masih ada kelemahan lain dalam pasal tersebut yang luput dari pemikiran penulis. Beberapa media nasional telah menyampaikan kekhawatiran mereka soal ‘penyensoran’ ini. Pemerintah dan penegak hukum perlu melakukan pembaharuan hukum dengan memperjelas penggunaan hak untuk dilupakan. Jika tidak, hak untuk dilupakan hanya akan menambah pekerjaan rumah, bukannya memberikan solusi keamanan dan kenyamanan berinternet.

2.6 Upaya Pembaharuan Hukum berdasarkan Perbandingan dengan Uni Eropa

2.6.1 Ketidakadilan antara Hak untuk Dilupakan dan Hak untuk Berpendapat

Hak untuk Dilupakan di Indonesia yang terdapat pada Pasal 26 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 dibuat sangat sederhana.

Jika melihat Pancasila sila ke-5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia” maka rasanya belum sepenuhnya cocok dengan peraturan mengenai Hak untuk Dilupakan dalam pasal 26 ayat (3) dan (4) UU 19/2016, karena dalam peraturan tersebut lebih condong pada pemberian hak kepada individu untuk menuntut penghapusan informasi mengenai individu tersebut, dan tidak terlalu mengindahkan tentang hak masyarakat untuk mendapat informasi serta hak masyarakat untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Minimnya pengaturan Hak untuk Dilupakan berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum, dan pihak penyelenggara sistem elektronik kemungkinan besar menjadi pihak yang paling merasakan kerugiannya. Hal tersebut tentunya akan tidak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 J ayat (2) yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban

umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Dimana dalam pasal tersebut menjelaskan

(13)

Jika melihat aturan Hak untuk Dilupakan berdasarkan Pasal 17 GDPR, didalamya tidak hanya tertuju pada pemilik data, namun mengatur sedemikian rupa agar penerapannya berimbang dan tidak melanggar hak dan kepentingan pihak lain. Selain itu, aturan check and balance ini dijabarkan dengan jelas, sehingga mengurangi potensi penyalahgunaan Hak untuk Dilupakan. Untuk itu, diperlukan kembali pembaharuan hukum mengenai hal tersebut supaya tercipta keselarasan antara Hak untuk dilupakan, Hak pribadi, Hak kebebasan berpendapat dan Hak untuk mendapat informasi dan terwujud sebuah keadilan dalam kehidupan masyarakat.

2.6.2 Penghapusan Hingga Akarnya

Permasalahan selanjutnya yang diusulkan untuk diubah adalah mengenai penghapusan datanya. Di indonesia, penghapusan konten langsung oleh penyelenggara sistem elektronik yang memegang kendali atas konten tersebut, tidak hanya pada mesin pencari. Hal tersebut dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi hak media untuk berekspresi. Sedangkan penerapan Hak untuk Dilupakan di negara-negara Uni Eropa hanya sebatas penghapusan di mesin pencari dan konten tersebut tetap ada di sumber asalnya. Sehingga akan menciptakan keadilan antar kedua belah pihak, Dimana data tentang individu yang menggugat akan sulit untuk diakses orang dan disisi lain hak media untuk berekspresi masih tetap ada karena berita tersebut masih ada di web sumbernya.

2.6.3 Kurangnya Ketentuan Mengenai Penggunaan Hak untuk Dilupakan

(14)

2.6.4 Luasnya Penghapusan Konten dan Kepentingan Politik

Lanjut, perbedaan penerapan Hak untuk Dilupakan yang lain adalah soal luasnya cakupan informasi atau dokumen elektronik yang dapat dimohonkan penghapusan oleh seseorang. Dalam revisi UU ITE, konten yang dapat dimohonkan penghapusan tak hanya mengenai konten yang berkaitan dengan data pribadi, namun lebih luas dari hal itu. Apapun informasi atau dokumen elektronik sepanjang dinilai tidak relevan, maka yang bersangkutan dapat meminta penghapusan sesuai dengan penetapan pengadilan.

Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM (PSDHAM) ELSAM, Wahyudi Djafar, memberikan padangannya terhadap revisi UU ITE, menurutnya aturan tentang Hak untuk Dilupakan tidak dilengkapi dengan syarat dan prosedur yang memadai.

Menurut Wayhudi, penghapusan dara pribadi harusnya dibatasi dengan penentuan jenis-jenis data pribadi yang sah untuk kemudian dilakukan penghapusan. Wahyudi berpendapat sejumlah pra syarat pun tidak terlihat dalam rumusan UU ITE hasil revisi. Dengan begitu, munculnya pasal yang mengatur hak penghapusan informasi terkesan aturan tersebut sarat dengan kepentingan politik. Apalagi, pembahasan RUU ITE antara Komisi I DPR dengan Pemerintah dilakukan secara tertutup.

Belum ada pemahaman yang kuat tentang data-data yang masuk kategori data pribadi atau data yang bisa diakses publik. Sehingga akan menyulitkan masyarakat untuk mengakses rekam jejak kontestan politik yang akan mereka pilih, sebab ada potensi mereka juga akan menghilangkan sebagian rekam dan akan menghapus ingatan masyarakat umum atas tindakan tidak terpuji yang telah dilakukan. Meskipun secara hukum terbebas dari sanksi pidana, namun secara moral dan etika telah melakukan tindakan tercela, atau melanggar nilai-nilai yang hidup di masyarakat. misalnya hak asasi manusia, lingkungan hidup, korupsi, dan lain lain. Tentunya hal ini juga dianggap dapat mengakibatkan kurangnya efek jera pada seseorang yang melakukan suatu kasus hukum.

(15)

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pemaparan analisa diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwasannya internet telah menjadi salah satu bagian penting dalam hidup manusia. Hal ini sejalan dengan semakin banyaknya pengguna internet di Indonesia sekarang. Dan, UU ITE hadir menjadi payung hukum untuk menjamin keamanan dalam berinternet.

Dalam perkembangannya, UU ITE mengalami revisi, salah satunya pada pasal 26 tentang Right to be Forgotten atau Hak untuk dilupakan, yaitu hak seseorang agar datanya dihapus dari jagat maya jika dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan dalam perkembangan sebuah kasus. Namun, dalam pasal tersebut nampaknya masih banyak hal yang rancu atau belum diatur secara rinci sehingga dapat menimbulkan multitafsir oleh masyarakat dan juga dianggap mencederai Hak untuk berekspresi dan Hak untuk mendapat informasi. Dikhawatirkan hal tersebut akan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab menyebabkan kekacauan di masyrakat.

Untuk itu, diperlukan kembali pembaharuan hukum mengenai hal tersebut supaya tercipta keselarasan antara Hak untuk dilupakan, Hak pribadi, Hak kebebasan berpendapat dan Hak untuk mendapat informasi dan terwujud sebuah keadilan dalam kehidupan masyarakat sebagai penerapan amanat Pancasila sila ke-5, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.”

3.2 Pesan dan Saran

Suatu peraturan memang tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu, perlu pembaharuan lagi pada revisi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 pasal 26 ayat 3 dan 4. Pemerintah harus melakukan pembaharuan hukum dengan melakukan kajian mendalam lagi terhadap pasal-pasal tersebut dan mensingkronisasikan dengan peraturan lainnya supaya tidak bertabrakan dan dapat mengikuti perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia.

(16)

3.3 Daftar Pustaka

Republik Indonesia. 2016. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Sudibyo, Agus. The Right to be Forgotten dalam UU ITE.

http://mediaindonesia.com/read/detail/74778-the-right-to-be-forgotten-dalam-uu-ite (diakses 24 Maret 2018)

Hukum Online. Right To Be Forgotten dalam UU ITE.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt585783c080c40/right-to-be-forgotten-dalam-uu-ite (diakses 23 Maret 2018)

Hukum Online. Mengenal ‘Right To Be Forgotten’.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt586219e8e529d/mengenal-iright-to-be-forgotten-i-oleh--mohammad-iqsan-sirie- (diakses 27 Maret 2018)

Daily Social. Hak Untuk Dilupakan: Manfaat Perlindungan dan Potensi

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis laju pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa setelah pemekaran (Tahun 2008) laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Labuhanbatu Utara terus meningkat yakni sebesar

Cara alami agar kulit putih dalam 1 hari pada prinsipnya adalah menghilangkan lapisan kulit bagian luar dimana terdapat sel – sel mati yang dapat menghambat pertumbuhan sel kulit

Menimbang, bahwa setelah membaca, meneliti dan mempelajari dengan seksama berkas perkara dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara ini, turunan resmi putusan Pengadilan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Hipotesis pertama ditolak yang berarti tidak ditemukannya pengaruh CSR terhadap nilai

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah Program Kreatifitas Mahasiswa bidang Pengabdian

Pada penelitian ini biji pepaya disiapkan untuk proses ekstraksi dengan pelarut etanol sehingga diperoleh ekstrak yang mengandung senyawa fenolik sebagai

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN KADER KESEHATAN TENTANG DESA SIAGA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS.. KECAMATAN SALEM KABUPATEN BREBES

Keterkaitan dengan masa studi mahasiswa ini adalah semua mahasiswa yang telah menyelesaikan stduinya dengan tepat waktu akan mendapatkan balasan yang baik pula seperti halnya