BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, -walaupun tidak seluruhnya, -dalam keadaan yang tidak memerlukan desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhanya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan lingkungan atau manusia lain. Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu di perlukan suatu pertanggung jawaban dari pelaku yang berbuat sampai ada ketidakseimbangan. Dan pertanggung jawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidak enakan masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima limpahan dalam mempertanggung jawabkan perbuatanya pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”. Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggung jawabkan perbuatanya yang dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum. Pernyataan ini dikehendaki berlakunya oleh kehidupan sosial dan agama. Kalau ada orang yang melanggar pernyataan ini baik dengan ucapan maupun dengan kegiatan anggota fisiknya, maka ia akan dikenakan sanksi. Hanya saja yang dapat dirasakan berat adalah sanksi hukum pidana, karena merupakan pelaksanaan pertanggung jawaban dari kegiatan yang kerjakan dan wujud dari sanksi pidana itu sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh masyarakat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Apakah pengertian hukum pidana ?
Bagaimana sifat hukum pidana ?
Apakah fungsi dari hukum pidana ?
Apa saja sumber hukum pidana ?
Apa saja ruang lingkup hukum pidana ?
Bagaimana sistem hukuman pidana ?
Apa yang dimaksud hukum acara pidana ?
Apasaja yang termasuk dalam tindak pidana umum dan contoh kasusnya?
1.3 TUJUAN PENULISAN MAKALAH
BAB II
PEMBAHASAN
2.1PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Merumuskan hukum pidana ke dalam rangakaian kata untuk dapat memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah sangat sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah penger-tian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi awal tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut:
W.L.G. Lemaire
Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objek tif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin.
Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:
1. Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan;
3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk pen-jatuhan dan penerapan pidana.
Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam arti luas
Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;
2. Dalam arti sempit
Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objek tif (ius poenale). Dengan kata lain ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.
W.F.C. van Hattum
Moeljatno
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Van Kan
Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbul-kan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht). Pompe
Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu. Hazewinkel-Suringa
Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya dian-cam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.
Adami Chazawi
Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:
1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu
2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;
menentukan, menja-tuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,bahwa hukum pidana adat pun yang tidak
dibuat oleh negara atau political authority masih mendapat tempat dalam pengertian hukum pidana. Hukum adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum adat di Indonesia sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, dengan demikian maka perumusan hukum pidana adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan memper-hatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keha-rusan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertang-gungjawabkan, serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyi-dikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan. Perumusan ini men-cakup juga hukum (pidana) adat, serta bertujuan mengadakan keseim-bangan di antara pelbagai kepentingan atau keadilan.
dan bijaksana, yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh meno-lak memberi keadilan.
Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat diambil gambaran tentang hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya meru-pakan hukum yang mengatur tentang:
1. Untuk melakukan suatu perbuatan;
2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;
3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik);
4. Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.
2.2 PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut : 1. Hukum pidana dalam arti objek tif dan hukum pidana dalam arti subjektif.
2. Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil Menurut van Hattum:
a. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan ter-hadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagai-mana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
b. Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana.
3. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd) :
a. Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.
4. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus (bijzonder deel)
a. Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana yang diatur di dalam Buku I KUHP yang menga-tur tentang Ketentuan Umum;
b. Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.
5. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus bijzonder strafrecht)
van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedang-kan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang ter-tentu saja misalnya bagi anggota Angkatan Besenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.
6. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui ber-laku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.
berdasarkan pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284 KUHP.
Dengan demikian sistem hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang berupa hukum adat.
7. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana lokal (plaatselijk strafrecht)
Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum pidana nasional. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana lokal dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Pemerintahan Kota.
Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap pelanggar dalam peraturan daerah itu secara mutlak harus dilaku-kan oleh pengadilan. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-alat kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
a. Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetu-juan London (8-8-1945) yang menjadi dasar bagi Mahkamah Militer Internasional di Neurenberg untuk mengadili pen-jahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;
b. Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain menge-nai korban perang yang luka dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan. 2.3 SIFAT HUKUM PIDANA
Hukum pidana mempunyai dua unsur pokok yang berupa norma dan sanksi, dengan fungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap orang di dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan untuk menjamin ke-tertiban hukum, maka hubungan hukum yang ada dititikberatkan kepada kepentingan umum.
Pompe menyatakan bahwa yang dititikberatkan oleh hukum pidana dalam pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah kepentingan umum, kepentingan masyarakat. Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menimbulkan pula dijatuhkannya pidana, di situ bukanlah suatu hubungan koordinasi antara yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan itu bersifat subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk memperhatikan kepentingan rakyat. Hazewinkel-Suringa tegas mengatakan bahwa hukum pidana itu termasuk hukum publik. Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan masyarakat hukum. Adalah tugas hukum pidana untuk memungkinkan manusia hidup bersama. Di situ terjadi hubungan antara pelanggar hukum publik hukum pidana dalam hal dapatnya dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan pada umumnya tetap ada walaupun dilakukan dengan persetujuan orang yang menjadi tujuan perbuatan itu, dan penuntutannya tidak tergantung kepada mereka yang dirugikan oleh perbuatan yang dapat dipidana itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa hukum pidana tidak memperhatikan kepentingan orang pribadi. Orang pribadi itu dapat menjadi pihak penuntut perdata dalam perkara pidana khususnya dalam hal ganti kerugian.
Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat dike-tahui berdasarkan: 1. Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya itu telah mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari korbannya;
2. Penuntutan menurut hukum pidana itu tidak digantungkan kepada keinginan dari orang yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.
3. Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan barang menjadi menjadi penghasilan negara.
kepentingan-kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan hukum pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seo-rang individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan diserah-kan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentinan umum. Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan, penuntutan seorang penipu tidak tergantung kepada kehendak orang yang ditipu, melainkan kewe-nangan instansi Kejaksaan sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai kekecualian, ada beberapa tindak pidana yang hanya dapat diajukan ke pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang diganggu kepen-tingannya, misalnya tindak pidana penghinaan dan perzinahan.
Namun ada beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa hukum pidana bersifat hukum publik, seperti Van Kan, Paul Scholten, Logeman, Lemaire dan Utrecht. Para ahli ini berpendapat, bahwa hukum pada pokoknya tidak mengadakan kaedah-kaidah (norma) baru, melain-kan norma hukum pidana itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya dan juga sudah ada sanksinya. Hanya pada suatu tingkatan ter-tentu, sanksi tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat yang disebut sebagai sanksi (hukuman) pidana. Alasan lainnya yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka ialah, bahwa justru tidak selalu penguasa wajib menun-tut suatu tindak pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada "penga-duan" dari pihak yang dirugikan atau yang terkena tindak pidana, hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik.
2.4 FUNGSI/TUJUAN HUKUM PIDANA
Tirtaamidjaya menyatakan maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat.Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami pertentangan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat menimbulkan kerugian atau mengganggu kepentingan orang lain. Agar tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu kepentingan orang lain dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut maka hukum memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya.
Berkenaan dengan tujuan hukum pidana (Strafrechtscholen) dikenal dua aliran tujuan dibentuknya peraturan hukum pidana, yaitu:
Menurut aliran klasik (de klassieke school/de klassieke richting) tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa (Negara). Peletak dasarnya adalah Markies van Beccaria yang menulis tentang "Dei delitte edelle pene" (1764). Di dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur dengan undang-undang yang harus tertulis. Pada zaman sebelum pengaruh tulisan Beccaria itu, hukum pidana yang ada sebagian besar tidak tertulis dan di samping itu kekuasaan Raja Absolute dapat menyelenggarakan pengadilan yang sewenang-wenang dengan menetapkan hukum menurut perasaan dari hakim sendiri. Penduduk tidak tahu pasti perbuatan mana yang dilarang dan beratnya pidana yang diancamkan karena hukumnya tidak tertulis. Proses pengadilan berjalan tidak baik, sampai terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat seperti di Perancis dengan kasus Jean Calas te Toulouse (1762) yang dituduh membunuh anaknya sendiri bernama Mauriac Antoine Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah ayahnya. Di dalam pemeriksaan Calas tetap tidak mengaku dan oleh hakim tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana mati dan pelaksanaannya dengan guillotine. Masyarakat tidak puas, yang menganggap Jean Calas tidak ber-salah membunuh anaknya, sehingga Voltaire mengecam putusan pengadilan itu, yang ternyata tuntutan untuk memeriksa kembali perkara Calas itu dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang menyata-kan Mauriac mati dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena putusan itu, dan selanjutnya pemuka-pemuka masyarakat seperti J.J. Rousseau dan Montesquieu turut menuntut agar kekuasaan Raja dan penguasa-penguasanya agar dibatasi oleh hukum tertulis atau undang-undang. Semua peristiwa yang diabadikan itu adalah usaha untuk melindungi individu guna kepentingan hukum perseorangan.
mendorong dilakukan kejahatan (etiologi kriminil) serta pidana yang bermanfaat, baik bagi orang yang me-lakukan kejahatan maupun bagi masyarakat sendiri (politik kriminil).
2. Aliran modern
Aliran modern (de moderne school/de moderne richting) menga-jarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masya-rakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan tujuan tersebut, perkem-bangan hukum pidana harus memperhatikan kejahatan serta kea-daan penjahat. Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain adalah tingkah laku orang perseorangan dan atau masyarakat ada-lah salah satu ilmu yang memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana. Pengaruh kriminologi sebagai bagian dari social science menimbulkan suatu aliran baru yang menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar ter-lindungi kepentingan hukum masyarakat.
Berikut ini disebutkan pula beberapa pendapat yang dikemuka-kan tentang fungsi/tujuan hukum pidana:
Menurut Sudarto fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Fungsi yang umum
Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat;
2. Fungsi yang khusus
Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memper-kosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan sebagai „mengiris dagingnya sendiri atau seba-gai „pedang bermata dua , yang bermakna bahwa‟ ‟
subsidair, artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha lain kurang memadai.
Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum publik hukum pidana berfungsi:
1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebutKepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam, yaitu:
a. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dan lain sebagainya;
b. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappe-lijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu-lintas di jalan raya, dan lain sebagainya;
c. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya ke-pentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara saha-bat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara-negara dan wakilnya, dan sebagainya.
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara men-jalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum
Dalam mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi pihak yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penangkapan, penahanan, pemerik-saan sampai kepada penjatuhan sanksi pidana kepada pelakunya. Kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu kekuasaan yang berupa hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan pidana yang menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya ini hanya dimiliki oleh negara dan diatur di dalam hukum pidana itu sendiri terutama di dalam hukum acara pidana, agar negara dapat men-jalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dengan sebaik-baiknya.
Kekuasaan negara yang sangat besar dalam rangka menegakkan dan melindungi kepentingan hukum itu dapat membahayakan dan menjadi bumerang bagi warganya, negara bisa bertindak sewe-nang-wenang jika tidak diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sehingga pengaturan hak dan kewajiban negara mutlak diperlukan.
Menurut Jan Remmelink hukum pidana (seharusnya) ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyarakat saling bergantung, kepen-tingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dan dilindungi olehnorma-norma. Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian terbesar sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma tidak diataati, akan muncul sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh dan kehilangan status atau penghargaan sosial. Namun jika me-nyangkut hal yang lebih penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum negara yang melengkapi penataan sosial, dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada pelanggar norma tersebut. Ini semua tidak dikatakan dengan melupakan bahwa penjatuhan pidana dalam prakteknya masih juga merupakan sarana kekuasaan negara yang tertajam yang dapat dike-nakan kepada pelanggar. Menjadi jelas bahwa dalam pemahaman di atas hukum pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi sosial.
Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma-norma dan pengertian-pengertian yang diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku yang dapat dipidana. Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi, hukum pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan.
merupakan suatu ultimum remidium. Setiap ancaman pidana ada keberatannya, namun ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.
2.5 SUMBER HUKUM PIDANA
Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata dan untuk keperluan itu, para ahli hukum pidana telah memikirkan agar hukum pidana dapat “pasti” dan “adil” sehingga timbullah bentuk-bentuk hukum pidana yang dirumuskan dalam undang-undang dan atau kitab undang-undang (kodifikasi). Namun hal ini tidak berarti hukum pidana yang ada di setiap negara di dunia, berbentuk undang-undang dan kodi-fikasi. Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon hampir seluruhnya tidak mengenal hukum pidana dalam bentuk kodifikasi dan hanya sebagian kecil negara-negara itu yang mempunyai kodifikasi hukum pidana.
Sumber hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan menemukan hukum. Tempat untuk menemukan hukum, disebut dengan sumber hukum dalam arti formil. Menurut Sudarto sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis
Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama aslinya adalah Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch indie (W.v.S), sebuah Titah Raja (Koninklijk Besluit) tanggal 15 Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP atau W.v.S.v.N.I. ini merupakan copie (turunan) dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda, yang selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun 1886 tidak seratus persen sama, melainkan diadakan penyimpangan-penyimpangan menurut kebutuhan dan keadaan tanah jajahan Hindia Belanda dulu, akan tetapi asas-asas dan dasar filsafatnya tetap sama.
KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17-8-1945 mendapat perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1942 (Undang-undang Pemerintah RI, Yogyakarta), Pasal 1 berbunyi: “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2 menetapkan, bahwa peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”.
Ini berarti bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP kita adalah Bahasa Belanda.
Staat-blad 1945 No. 135 tentang ketentuan-ketentuan sementara yang luar biasa mengenai hukum pidana Pasal 570.
Sudah tentu perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kedua pemerintahan yang saling bermusuhan itu tidak sama, sehingga hal ini seolah-olah atau pada hakekatnya telah menimbulkan dua buah KUHP yang masing-masing mempunyai ruang berlakunya sendiri-sendiri. Jadi boleh dikatakan ada dualisme dalam KUHP (peraturan hukum pidana). Guna melenyapkan keadaan yang ganjil ini, maka dikeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 (L.N. 1958 No. 127) yang antara lain menyatakan bahwa UU R.I. No. 1 Tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian perubahan-perubahan yang diadakan oleh Pemerintah Belanda sesudah tanggal 8 Maret 1942 dianggap tidak ada.
KUHP itu merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan demikian di dalam lapangan hukum pidana telah ada unifikasi. Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-peraturan pidana yang diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-peraturan pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya.
2. Hukum pidana adat
Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja) maka sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana tertulis tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.
3. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan)
Belanda. W.v.S. Hindia Belanda (W.v.S.N.I.) ini yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918 itu adalah copy dari W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh karena itu M.v.T. dari W.v.S. Belanda tahun 1886 dapat digunakan pula untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal yang tersebut di dalam KUHP yang sekarang berlaku.
Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu perbuatan, Konsep KUHP Baru bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1ayat (1) Konsep. Namun berbeda dengan asas legalitas yang dirumuskan di dalam KUHP (WvS) selama ini, Konsep memperluas perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi berlakunya "hukum yang hidup" di dalam masyarakat. Dengan demikian, di samping sumber hukum tertulis (UU) sebagai kriteria/patokan formal yang utama, Konsep juga masih memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tidak ada bandingnya (persamaannya) atau tidak telah diatur di dalam undang-undang.
Diakuinya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat adalah untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak ter-tulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersang-kutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipi-dana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi yang berupa “Pemenuhan Kewajiban Adat” setempat yang harus dilaksanakan oleh pembuat tindak pidana. Hal ini berarti bahwa standar, nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat ter-tentu. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menja-min pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
KUHP Baru menyebut-kan, untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini. Ketentuan ini meru-pakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu.
Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa embrio atau cikal-bakal dari pokok pemikiran tetap diakuinya eksistensi/berlakunya hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai salah satu sumber hukum pidana itu sebenarnya sudah cukup lama dan tersebar di beberapa produk legislatif, antara lain dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang No. 1 Drt. 1951
" ... bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum…..… Bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas,maka…... terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang…... tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas."
2. UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat (1)
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;
Pasal 25 ayat (1)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan per-undang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili;
Pasal. 28 ayat (1)
Selanjutnya disebutkan, bahwa dengan bertolak dari kebijakan perundang-undangan nasional seperti dikemukakan di atas (undang No. 1 /Drt/ 1951 dan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman), dapat dikatakan bahwa perluasan asas legalitas secara materiil di dalam konsep sebenarnya bukanlah hal baru, tetapi hanya melanjutkan dan mengimplementasikan kebijakan/ide yang sudah ada. Bahkan kebijakan/ ide perumusan asas legalitas secara material pernah pula dirumuskan sebagai "kebijakan konstitusional" di dalam Pasal 14 ayat (2) UUDS'50 yang berbunyi: "Tiada seorang jua pun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya."
Dalam pasal tersebut digunakan istilah "aturan hukum" (RECHT) yang tentunya lebih luas pengertiannya dari sekadar aturan "undang-undang" (WET), karena dapat berbentuk "hukum tertulis" maupun "hukum tidak tertulis".
2.6 RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana itu ada empat (4), ialah :
1. Asas Teritorialiteit (teritorialiteits beginsel)atauasaswilayahnegara.
2. Asas Personaliteit (personaliteitsbeginsel) disebutjugadenganasaskebangsaan, asasnationalitetakitifatauasassubjektif (subjektionsprinsip).
3. AsasPerlindungan (bescbermingsbeginsel) ataudisebutjugaasasnasionalitas pasif (pasief nationaliteitsbeginsel).
4. AsasUniversaliteit (universaliteitsbeginsel) atauasaspersamaan. 2.7 SISTEM HUKUMAN HUKUM PIDANA
Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofd straffen) 1. Hukuman Mati
Tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih diberlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.
2. Hukuman Penjara
3. Hukuman Kurungan
hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran.Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda.Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan di luar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan di mana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian.
4. Hukuman Denda
Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan.Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.
5. HukumanTutupan
Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.
b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)
Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain:
1. Pencabutan beberapa hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim. 2.8 HUKUM ACARA PIDANA
Hukum acara Pidana yang disebut juga hukum Pidana formal mengatur cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material. Penyelenggaraannya berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, tentang hukum acara pidana. Ketentuan-ketentuan hukum acara pidana itu ditulis secara sistematik dan teratur dalam sebuah kitab undang-undang hukum, berarti dikodifikasikan dalam kitab undang-undang hukum acara Pidana (KUHAP), KUHAP itu diundangkan berlakunya sejak tanggal 31 Desember 1981 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76, tambahan lembaran Negara No. 3209.
kepentingan umum. Ketentuan-ketentuan KUHAP yang terdiri dari 286 pasal, menurut pasal 2-nya menyatakan bahwa KUHAP berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum. Maksudnya, ruang lingkup berlakunya KUHAP ini mengikuti asas-asas hukum pidana dan yang berwenang mengadili tindak-tindak pidana berdasarkan KUHAP hanya peradilan Umum, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang itu. Untuk melaksanakan KUHAP perlu diketahi beberapa hal penting antara lain ialah :
a. Asas praduga tidak Bersalah (presumption of innacence)
Dalam pasal 8 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dinyatakan bahwa “ setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang mengatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap” berdasarkan asas praduga tidak bersalah ini, maka bagi seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti dari hakim Pengadilan, maka ia masih tetap memiliki hak-hak individunya sebagai warga negara. b. Koneksitas
Perkara Koneksitas yaitu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama antara seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh Peradilan Umum dan seorang atau lebih yang hanya dapat diadili oleh peradilan militer. Menurut pasal 89 ayat 1 dinyatakan bahwa “ Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan-peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan menteri pertahanan dan keamanan dengan persetujuan menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka kewenangan dalam mengadili perkara koneksitas ada pada peradilan umum. Tetapi kewenangan peradilan umum tidak mutlak tergantung kepada kerugian yang ditimbulkan dari adanya tindak pidana itu. c. Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pelaksanaan putusan perkara pidana dalam tingkat pertama yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa dalam melaksanakan putusan (eksekusi) itu ketua pengadilan melakukan tugas pengawasan dan pengamatan. Dalam pasal 277 ayat 1 KUHAP dinyatakan bahwa “ pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu Ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan Pidana perampasan kemerdekaan”.
TindakPidanaUmummerupakankeseluruhantindakpidana yang termasukdandiaturdalam KUHP danbelumdiatursecaratersendiridalamUndang-undangkhusus, seperti :
1. Makar
2. Kejahatanterhadapmartabatpresidendanwakilpresiden
3. Kejahatanterhadapnegarasahabatdanterhadapkepalanegarasahabatdanwakilnya 4. Kejahatanterhadapmelakukankewajibandanhakkenegaraan
5. Kejahatanterhadapketertibanumum 6. Perkelahiantanding
7. Kejahatan yang membahayakankeamananumumbagi orang ataubarang 8. Kejahatanterhadappenguasaumum
9. Pemalsuan
10.Kejahatanterhadapasal-usulperkawinan
11. Kejahatankesusilaan (Pemerkosaan, Pelecehanseksualdanpencabulan) 12.Meninggalkan orang yang perluditolong
13.Penghinaan 14.Membukarahasia
Contoh Kasus 1 :
SIDOARJO, KOMPAS.com –
Masih ingat dengan dr Edward Armando, ‘Raja Aborsi’ yang praktik di Jalan Dukuh Kupang Timur X/4, Surabaya? Pria yang pernah mendekam di Medaeng itu kembali ditangkap polisi.
Dokter Edward Armando (66), diringkus jajaran Polres Sidoarjo, Selasa lalu dengan sangkaan kembali melakukan praktik aborsi ilegal. Pasien dr Edward diperkirakan lebih dari 2.000 orang.
“Diperkirakan, sejak praktik mulai Januari 2008 lalu hingga jelang ditangkap, pasien yang telah ditanganinya mencapai 2.000 orang lebih,” ujar Kepala Polres Sidoarjo AKBP M Iqbal didampingi Kasat Reskrim AKP Ernesto Saiser, di Mapolres Sidoarjo, Kamis (3/2/2011) kemarin.
Dalam pengakuannya kepada polisi, dr Edward menerima pasien di tempat praktiknya antara 20-25 orang setiap pekan. Dia tidak pernah mematok tarif tertentu. Tarif aborsi akan dipungutnya setelah dirinya mengetahui kondisi ekonomi calon pasiennya. Jika si pasien menyatakan dirinya orang tidak mampu, maka dr Edward memungutnya maksimal Rp 500.000.
“Karena mereka (para pasien) mengaku tidak kuat ke dokter spesialis, maka saya menolongnya,” ucap Edward.
Meski begitu, polisi menyebut dr Edward memungut tarif antara Rp 1,5 juta - Rp 4 juta. Diduga, tarif sebesar itu karena calon pasien tidak langsung berhubungan dengan dr Edward, tetapi melalui anak buahnya yang berperan sebagai calo aborsi kandungan. “Saya hanya ingin menolong orang kok, tidak korupsi,” kilah dr Edward soal praktik aborsi yang dijalankannya.
Sepak terjang dr Edward di dunia aborsi memang sudah dikenal cukup lama. Sejak mendirikan tempat praktik pada 1995, ia menerima ribuan pasien. Ia pernah dua kali diperingatkan Departemen Kesehatan, bahkan tiga kali diringkus polisi dan divonis penjara satu tahun. Namun, semua itu tak membuatnya kapok.
ekonomi. “Mereka datang dengan alasan sudah tidak ingin punya anak, dengan menjalani KB (keluarga berencana), namun tetap hamil. Disambati (seperti itu ya saya tolong,” kilah dr Edward.
Saat diringkus jajaran Satreskrim Polres Sidoarjo, Edward diketahui baru saja mengaborsi sekitar 10 pasien, lima pasien di pagi hari dan lima lainnya di siang hari. Salah satunya bernama Heny Kusumawati, mahasiswi sebuah akademi kebidanan di Malang.
Warga Desa Sukosewu RT 3/RW 1, Kecamatan Gandusari Blitar itu menggugurkan kandungannya yang berusia dua bulan, di tempat praktik dr Edward, Selasa pukul 15.45 WIB.
Selain menetapkan dr Edward sebagai tersangka, polisi akhirnya juga menetapkan Heny Kusumawati, Rendy Saputra (pacar Heny dan mahasiswa PTS di Malang), serta Eddy Suparlina, warga Pandugo II/7, Kelurahan Penjaringan Sari, Rungkut, Surabaya, sekitar awal Januari lalu. Korban tewas dengan kondisi luka pendarahan begitu tiba dan hendak dirawat di RS DKT Sidoarjo.
Dari sinilah polisi curiga. Sebab, korban ditinggal begitu saja, saat ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa. “Dari sini kami kemudian meringkus Nining Dwi Hariyanti, yang mengantar korban ke RS DKT Sidoarjo,” jelas AKP Ernesto Saiser.
Nining, warga Perum Sidoarjo Indah Permai blok B/7, Sidoarjo lalu dibekuk polisi. Di depan penyidik, Nining mengaku bahwa dirinya hanya diminta mengantar korban ke RS DKT oleh adiknya, Nunung Saja Rahayu, warga Perum Taman Pinang Indah Blok D-4/18, Sidoarjo. “Dan ternyata diketahui korban baru aborsi dengan bantuan Nunung alias Atik,” imbuh Ernesto.
Atik sendiri baru diringkus polisi pada Kamis, pukul 14.00 WIB, saat dalam pelariannya bersama sang suami, Ahmad Suwadi alias Eko, di kawasan Dae Lamando, Kalimantan Tengah. Pasutri itu diringkus saat hendak menjual mobil yang dibawanya dari Sidoarjo. “Informasinya, mobil itu dijual untuk buka usaha selama pelarian mereka,” tandas Ernesto.
Lalu bagaimana praktik Atik bisa mengarah ke praktik dr Edward? Terungkap jika korban Suparlina sempat mendatangi praktik dr Edward. Karena usia kandungan Suparlina lebih dari tiga bulan, dr Edward menolak mengaborsi kandungannya. Saat itulah, keluarga korban mendapatkan nama Atik dan nomer teleponnya dari anak buah dr Edward, yakni Abdul Munip, usai ditolak oleh dr Edward.
Sumber Berita : Kompas.com, Jumat, 4 Februari 2011
Contoh Kasus 2 :
Guru Ngaji di Riau Berulang Kali Cabuli 4 MuridPerempuan
Liputan6.com, Riau - Empat bocah perempuan di Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak, Riau, mengalami kenyataan pahit ketika ingin belajar membaca kitab suci Alquran.
Kabid Humas Polda Riau Kombes Guntur Aryo Tejo membenarkan kejadian tersebut. Dia menyebut kasus pencabulan itu sudah dilaporkan salah satu orangtua korban ke Mapolsek setempat.
"(Kasus itu) Dalam penyidikan Mapolsek setempat. Pelaku yang guru ngaji itu akan diproses sesuai aturan berlaku berdasarkan laporan salah satu orangtua korban," kata mantan Kapolres Pelalawan ini, Selasa (17/1/2017) siang.
Guntur menyebutkan, terungkapnya pelecehan seksual yang dilakukan pelaku ketika salah satu anak berinisial FZ mengadu kepada orangtuanya usai pulang mengaji dari rumah pelaku.
Ketika itu, korban terlihat murung saat pulang mengaji. Orangtuanya kemudian bertanya tentang kondisi sang anak. FZ kemudian mengaku telah mendapat perlakuan tak senonoh, mulai dari dicium bibirnya hingga sampai ke alat vitalnya.
"Pengakuan korban, tiga temannya yang juga mengaji di rumah pelaku juga mendapatkan perlakuan serupa," kata Guntur.
Tak terima, orangtua korban langsung melapor ke Mapolsek setempat atas tindakan cabul guru ngaji yang dimaksud. Keterangan para korban diambil dan mereka divisum. Hasil visum menunjukkan adanya hal yang tak wajar pada bagian vital tubuh korban.
"Pelaku kemudian dilakukan penyidikan dan akan dijerat dengan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan Perempuan," kata Guntur.
Contoh Kasus 3 :
Wanita Hamil Ketagihan Mencuri di Minimarket Waralaba
Liputan6.com, Palembang - Kondisi berbadan dua tak membuat Dian Susilawati (31) berhenti berbuat kriminal. Untuk kesekian kalinya, wanita yang sedang hamil 6 bulan itu mencuri barang di minimarket waralaba di Jalan Angkatan 45 Kelurahan Lorok Pakjo Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel).
Warga Komplek Sako Pusri di Jalan Cengkeh, Kecamatan Sako, Palembang, itu tertangkap setelah mencuri tujuh botol minyak kayu putih. Ia mendatangi minimarket waralaba seorang diri pada Minggu sore, 9 April 2017.
Pelaku berpura-pura belanja dan mengambil tujuh botol minyak kayu putih berukuran 60 ml dan 120 ml. Barang curian itu langsung disimpan di dalam tas jinjingnya.
Untuk menghilangkan kecurigaan, ibu tiga anak itu juga mengambil beberapa bungkus mi instan dan membayarnya ke kasir. Pelaku langsung keluar dan hendak pulang menaiki mobil angkutan kota (angkot).
Karyawan minimarket lalu meminta bantuan warga sekitar untuk mengamankan ibu hamil ini. Mereka membawanya ke Polsek Ilir Barat 1 Palembang.
Dari pengakuan pelaku, ia terpaksa mencuri karena terdesak tidak punya uang. Rencananya, barang curiannya tersebut akan dijual lagi seharga Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per botol.
"Uang bulanan dari suami tidak cukup, jadi saya terpaksa mencuri untuk kebutuhan hari-hari," kata dia saat diinterogasi di Polsek Ilir Barat 1 Palembang, Rabu, 12 April 2017.
Dian mengaku sudah sering mencuri barang jualan di minimarket waralaba. Karena mendapat untung yang lumayan, pelaku ketagihan untuk mencuri.
Kapolsek Ilir Barat I Kompol Handoko Sanjaya menyayangkan pencurian yang dilakukan wanita hamil itu. Namun, pihaknya tetap menjalankan hukum yang berlaku karena pelaku terbukti mencuri.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting, yaitu :
1. Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP)
2. Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)
Berlakunya hukum pidana menurut waktu, mempu-nyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu dapat dilihat dari Pasal 1 KUHP.
Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi pe-nentuan tentang sampai dimana berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Berlakunya hukum pidana menurut tempat ini dapat dibedakan menjadi empat asas yaitu: asas teritorialitateit, asas personaliteit, asas perlindungan atau asas nasionaliteit pasif, dan asas universaliteit. Ketentuan tentang asas berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan.
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
J.M. van Bemmelen.1979. Hukum Pidana 1, Bandung: Binacipta
P.A.F. Lamintang. 1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru
http://aslanilmukuliah.blogspot.com/2010/01/pendahuluan-hukum-pidana.html