• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemuliaan Manusia dalam Terang Teks Suci

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kemuliaan Manusia dalam Terang Teks Suci"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Kemuliaan Manusia dalam Terang Teks Suci dan Perspektif Matematik Analitik

Pada dasarnya Anak Adam atau manusia itu mulia (Inggris: nobble, honorable, precious; Arab: kariim). Kenapa? Karena karena Rabb yang Maha Suci dan Maha Tinggi (SWT) benar-benar memuliakannya[1]. Penegasan ini dapat kita temukan dalam teks suci (17:70)[2]. Dalam hal ini tentunya kita berbicara pada tataran potensial. Pada tataran aktual, derajat kemuliaan manusia boleh dikatakan tak-terhingga: dapat lebih mulia dari pada malaikat yang diperintahkan untuk “sujud” pada Adam AS (2:34), tetapi dapat juga lebih rendah dari binatang ternak karena karena tidak menggunakan hati-mata-telinga secara benar (7:179)[3].

Teks suci (17:70) juga menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak bersifat kolektif atas dasar gender, kesukuan atau pengelompokan sosial-budaya, tetapi bersifat individual berdasarkan nilai ketakwaan individu seseorang. Banyak teks suci mengenai takwa tetapi untuk keperluan tulisan ini istilah ini dapat disederhanakan sebagai kualitas-batiniah seseorang dilihat dari kesesuaiannya dengan tujuan penciptaan manusia yaitu mengemban fungsi ganda sebagai hamba dan sebagai khalifah-Nya (19:93; 2:30). Fungsi kekhalifahan jelas mencerminkan kemuliaan manusia.

Dalam konteks ini layak dicermati teks suci lain yang mengingatkan bahwa seseorang dapat mempertahankan kemuliaannya hanya jika ia mampu menjaga hubungan horizontal dengan sesama dan hubungan vertikal dengan Rabb. Tanpa berpegang kepada keduanya maka ia akan ditimpa kehinaan sebagaimana tersirat dalam kutipan berikut:

Mereka diliputi oleh kehinaan di mana saja mereka berada kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Mereka mendapat murka dari Allah dan (selalu) diliputi kesengsaraan (QS 3:112).

Empat Kategori Manusia

Teks suci (3:112) mengisyaratkan dua faktor yang menentukan kemuliaan seseorang: hubungan vertikal dan hubungan horizontal yang baik atau positif. Atas dasar ini kita dapat menyusun empat kategori manusia ditinjau dari aspek kemuliaan: (1) kategori yang memiliki hubungan vertikal maupun horizontal positif, (2) kategori yang memiliki hubungan vertikal positif tetapi hubungan horizontal negatif, (3) kategori yang memiliki hubungan vertikal maupun horizontal negatif; dan (4) kategori yang memiliki hubungan vertikal negatif tetapi hubungan horizontal positif.

Hubungan antara kedua faktor kemuliaan itu sangat erat. Hal ini terlihat dari faktra quranik bahwa perintah beriman (hubungan vertikal) hampir selalu diikuti oleh perintah kebajikan (hubungan horizontal). Demikian eratnya hubungan itu sehingga menimbulkan kesan bahwa kebajikan merupakan “bukti” dari keimanan seseorang. Teks suci Surat ke-107, misalnya, menuduh seorang yang (seolah-olah) salat sebagai pendusta agama semata-mata karena mengabaikan orang miskin.

(2)

terbuka memiliki hubungan negatif secara vertikal maupun horizontal. Kelompok ini dicontohkan oleh Kaum Kuffar Quraisy dalam era Rasul SAW.

Bagaimana dengan Kategori-4? Individu pada kategori ini bisa saja dermawan (filantropis) tetapi amalannya hanya didasarkan pada, meminjam istilah Schuon, kebajikan alamiah (natural virtue), bukan kebajikan spiritual (spiritual virtue) sehingga tidak efektif dari perspektif qurani:

… the natural virtues have no effective value save on the condition of being integrated into the supernatural virtues…. Natural virtue does not in fact exclude pride, that worst of illogicalities and that of preeminent vice; supernatural virtue alone –rooted in God—excludes that vice, in the eye of Heaven, cancels all the virtues. (Schuon,1988:52-52)[4]

Koordinat Kartesian

Untuk memperoleh gambaran visual mengenai derajat kemuliaan seseorang kita dapat menggunakan sistem koordinat Kartesian dimana Sumbu-X mewakili hubungan horizontal dan Sumbu-Y mewakili hubungan vertikal. Dalam sistem ini, empat kategori manusia sebagaimana dibahas sebelumnya dapat diilustrasikan oleh Gambar 1:

• Bagian pojok kanan-atas atau Kuadran 1: kedudukan bagi Kategori 1 yang memiliki hubungan horizontal maupun vertikal bernilai positif. Dalam terang teks suci (3:112) kita dapat mengatakan bahwa hanya individu dalam Kuadran ini yang layak berlabel mulia. • Bagian pojok kiri-atas atau Kuadran II: kedudukan bagi Kategori 2 yang hubungan

vertikalnya positif (berdasarkan pengakuan yang bersangkutan) tetapi hubungan horizontalnya negatif. Seperti dibahas sebelumnya, termasuk dalam Kuadran ini adalah golongan munafik.

• Bagian pojok kiri-bawah atau Kuadran 3: kedudukan Kategori 3 yang hubungan horizontal maupun hubungan vertikalnya negatif. Seperti disinggung sebelumnya, termasuk dalam Kuadran ini adalah kaum kafir (2:6).

(3)

Individu dalam Kuadran 4 yang agaknya dirujuk oleh teks suci (18:103-4). Menurut teks ini, mereka beranggapan telah berkarya positif di muka bumi ini tetapi hasilnya di akhirat tidak diperhitungkan:

Katakanlah (Muhammad), “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling rugi perbuatannya?” (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.

Upaya dan Rahmat

(4)

Dalam Kuadran 1, di mana kedudukan kemuliaan terletak, hubungan antara kemuliaan dengan upaya maupun rahmat bersifat langsung dan positif; artinya, semakin besar upaya (rahmat), semakin mulia. Untuk memperjelas masalah ini kita dapat merujuk pada Gambar 2. Pada gambar ini tampak individu A memiliki koordinat x0 dan y0 atau A(x0,y0). Ini dapat dibaca bahwa A

melakukan upaya sebesar x0 dan memperoleh anugerah rahmat sebesar y0. Secara matematis,

ukuran tunggal dari kedua dimensi ini adalah resultan OA yang dalam konteks kita kali ini dapat ditafsirkan sebagai ukuran kemuliaan individu A.

Pada gambar yang sama kita lihat Resultan OB untuk individu B dan Resultan OC untuk individu C yang masing-masing lebih panjang dari pada Resultan OA: OA<OB dan OA<OC. Hal ini mengilustrasikan bahwa B maupun C lebih mulia dari pada A karena alasan yang berbeda; yang pertama karena upaya yang lebih besar, yang kedua karena rahmat yang lebih besar.

Pada Gambar 1 kita mengasumsikan dampak upaya (X) dan rahmat (Y) terhadap kemuliaan sama besar. Jika jarak (x0-x1) = jarak (yo,y1), maka derajat kemuliaan A dan B, yang diukur

masing-masing oleh jarak Resultan OA dan OB, juga sama. Apakah benar demikian? Wallahualam. Walaupun demikian kita patut menduga jawabannya tergantung pada perspektif kita. Bagi yang cenderung memberi penekanan pada upaya maka asumsi itu bias; bagi yang menekankan aspek rahmat asumsi itu juga bias.

(5)

qurani mengenai kasus ini? Hemat penulis, kedua perspektif ini memperoleh dukungan teks suci: alquran tampaknya menuntut sikap berimbang dan tidak menganjurkan penekanan berlebihan. Secara pribadi penulis menganggap dua unsur itu penting walaupun cenderung melihat unsur rahmat lebih menentukan.

Kemuliaan sebagai Fungsi Ikhlas

Bagi yang cenderung berpandangan seperti Jiriki, individu C dianggap lebih mulia dari pada B. Dalam hal ini ukurannya adalah perbandingan atau rasio antara Sumbu-Y dan Sumbu-X atau (y/x) relatif kecil. Sebaliknya, bagi yang cenderung berpandangan seperti Tariki C lebih mulia dari pada B karena rasio itu relatif besar.

Secara visual, dalam Gambar 3 rasio (y/x) tercermin dari besarnya sudut @. Pada gambar itu kita lihat (@1 <@0<@2) dimana @0, @1 dan @2 masing-masing merupakan sudut yang dibentuk oleh

titik P0, P1 dan P1. Dalam perspektif Tariki fakta ini mengindikasikan bahwa individu P0 lebih

mulia dari pada P1 tapi kurang mulia dibandingkan P1.

Kalau kita meneruskan perspektif Tariki dan menggunakan istilah qurani yang sesuai, maka kita dapat membaca sudut @ pada Gambar 3 sebagai unsur ikhlas. Ikhlas tergolong akhlak mahmudah (perilaku baik) yang maknanya secara singkat tersirat dalam pernyataan “Sesungguhnya salatku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam“ (6:162). Kita juga dapat menemukan kata yang sama dalam banyak teks lain termasuk alam (39:2-3) dan (98:5).

(6)

Gambar 3

Derajat Kemuliaan sebagai Fungsi Tangen

Dalam Gambar 3 kita lihat sudut @ atau “sudut ikhlas” (jika kita boleh menggunakan istilah ini) dibentuk oleh rasio (y/x). Sebenarnya ada cara lain untuk mengukur besarnya rasio itu yaitu fungsi tangen dalam istilah Trigonometri. Cara ini tampaknya lebih “mencerahkan” sebagaimana akan segera kita lihat.

Secara teoretis, fungsi tangen (y = tan @) mengandung semua nilai riil (R) kecuali 900 atau π/2 untuk Kuadran I, atau (π/2x +n π) untuk setiap Kuadran. Gambar 4 menyajikan gambaran fungsi y= tan @ untuk Kuadran 1 menggunakan ukuran radian (phi). Asimtot y dalam Kuadran I adalah (phi/2) atau (11/7).

Dari Gambar 4 kita dapat menyimak beberapa “pelajaran”:

(7)

• Jika @ sama dengan 900 atau π/2 maka fungsi tangen menjadi tak-terdefinisikan atau tak terhingga. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai keharusan adanya unsur upaya (X) selama kita hidup di dunia-bawah-sini. Tetapi hal yang sama dapat juga ditafsirkan bahwa kehidupan di dunia-atas-sana tidak perlu ada upaya (X) tetapi kemuliaan atau kenikmatan-hakiki sedemikian tinggi sehingga tak-terdefinisikan.

Gambar 4: y = tan(@)

(8)

khusus-dari-khusus (khawasul-khawas). Kelompok ini telah meraih puncak keikhlasan yang dalam bahasa qurani dikenal sebagai mukhlAshin, bukan mukhlshin; orang-orang yang meraih keikhlasan sedemikian murninya sehingga tidak lagi menyadari bahwa mereka ikhlas. Wallahualam....@

(9)

[2] Angka pertama menunjukkan nomor Surat Al-Quran, yang kedua nomor ayatnya. Pembaca sangat disarankan untuk mencermati semua ayat yang dikutip dalam tulisan ini untuk

mengoreksi pemahaman penulis yang mungkin saja keliru.

[3] Dalam pernyataan matematis rentang ini dapat dinyatakan sebagai --~<y<+~.

[4] Frihjof Schuon, To Have A Center, World Wisdom Books. Tulisan mengenai dimensi kebajikan dapat dilihat dalam https://uzairsuhaimi.blog/2016/10/22/dimensi-kebajikan/.

(*) Diadaptasi dari Schuon (2005:245, 250), Prayer Fashions Man, World Wisdom.

[contact-form][contact-field label='Name' type='name' required='1'/][contact-field label='Email' type='email' required='1'/][contact-field label='Website' type='url'/][contact-field

Gambar

Gambar 3
Gambar 4: y = tan(@)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konstruksi karakter nasionalisme pada film Soegija, Analisis Isi untuk Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan

Melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan pemeriksaan pajak, dalam hal ini pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini adalah seksi-seksi

bahwa penggunaan media pembelajaran akan meningkatkan pemahaman dari peserta didik, sehingga akan meningkatkan hasil belajar yang berupa nilai yang telah dicapai. Walaupun

&#34;Dari dalam gelap akan terbit terang!&#34;, Ia juga yang membuat terang­Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah

Sebagaimana yang dinyatakan Alkitab bahwa kita semua adalah mencerminkan kemuliaan Tuhan (2 Kor. 3:18), demikianlah hendaknya hidup kekristenan memanncarkan kemuliaan

Sebab pengertian obyektifnya pasti akan memberi kesaksian bahwa Tuhan yang disembah adalah Tuhan yang jahat, Tuhan yang lemah dan Tuhan yang tidak adil, sebab orang yang

Syekh ‘Abd al-Shamad al-Falimbānī sangat memerintahkan seorang murid agar memiliki adab dengan memuliakan gurunya, karena dalam hal menuntut ilmu, yang diharapkan

Adapun arti penting analisis lingkungan (cuplikan tanah) ini dilakukan adalah untuk memantau sedini mungkin berapa aktivitas 14C, terutama pada daerah yang