MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI
KAPUAS HULU DI WILAYAH PERBATASAN
NEGARA YANG TERTINGGAL
1oleh
Dr. Erdi, M.Si;2
A. Pendahuluan
Paling tidak terdapat tiga (3) isu penting dari tulisan ini, yakni konservasi, kawasan perbatasan dan kemiskinan, dimana ketiga isu ini melekat dengan Kabupaten Kapuas Hulu. Ketiga isu ini kemudian menjadikan Kabupaten Kapuas Hulu memiliki sumberdaya alam berlimpah, tetapi tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat, karena kabupaten ini eksis sebagai kabupaten tertinggal, tidak saja dari aspek strukur tetapi juga infrastruktur.
Sejak tahun 2003 yang lalu, Penetapan Kapuas Hulu sebagai kabupaten konservasi dilakukan melalui SK Bupati Nomor 144 Tahun 2003, di masa kepemimpinan Abang Tambul Husin yang kemudian tetap dilanjutkan oleh penerusnya A.M. Nasir. Sebagai kabupaten konservasi, daerah memiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi kemudian pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengelola berbagai kekayaan alam yang dimiliki. Akibat dari kewenangan yang terbatas ini, pemerintah daerah tidak memiliki tidak saja sumber pendapatan yang cukup untuk pembiayaan pembangunan, tetapi juga tidak tidak mampu mengatur masyarakat untuk tidak ikut
1 Paper ini telah dimuat di Harian Pontianak Post dalam dua kali
pemuatanpada Koran 3, halaman 17 dan bersambung ke halaman 23. Pemuatan pertama pada hari Selasa 13.01.2015 dengan judul “Konservasi
Kapuas Hulu” dan kedua pada hari Rabu, 14.01.2015 dengan judul
“Sebagai Bentuk Keberpihakan”.
2 Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Tanjungpura.
mengelola kekayaan alam tersebut di tengah kemiskinan yang dialami oleh masyarakatnya.
Sebagai Kabupaten Konservasi, Kapuas Hulu yang memiliki dua taman nasional, yaitu Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) dan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) serta terdapat banyak hutan dan danau lindung yang tidak
dapat digarap oleh pemerintah dan masyarakat
sebagaimana ketentuan UU No 5 tahun 1980 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Secara keseluruhan total luas kawasan
konservasi di kabupaten ujung Kalbar ini mencapai sekitar 2.528.274 juta hektar dari luas Kabupaten, yakni 2.984.200 Ha, atau 81,97% adalah areal hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Dengan kondisi ini, tentu Kapuas Hulu membutuhkan dukungan, tidak saja moral, tetapi juga pendanaan untuk tetap dapat mempertahankan kabupaten konservasi. Pendanaan itu diarahkan untuk memerdekakan daerah dan masyarakat dari kesmikinan dan keterisolasian.
Kondisi yang menggambarkan Kabupaten Kapuas Hulu adalah sebagai daerah dengan geografis yang terisolir dan terpencil; daerah perbatasan antar negara yang kaya sumber tetapi sebagian penduduk berstatus keluarga miskin; memiliki daerah dengan status pedalaman dan rawan bencana alam, terutama banjir dan longsor. Secara keseluruhan, profil di atas menggambarkan bahwa kondisi masyarakat yang bermukim di kawasan tertinggal di Kabupaten Kapuas Hulu adalah masyarakat miskin yang tertinggal yang hidup dalam kelimpahan sumberdaya alam.
Kabupaten Kapuas Hulu terdiri dari 278 Desa dan 4 Kelurahan serta 456 Dusun. Sebanyak 192 Desa masih berkategori Desa Teringgal; sementara 86 Desa lagi sudah maju. Klasifikasi 192 Desa Tertinggal dan 86 Desa Maju ini berdasarkan Keputusan Bupati Kapuas Hulu Nomor 203 tahun 2013 tentang Penetapan Desa Tertinggal dan Desa Maju di Kabupaten Kapuas Hulu.
2010 sekitar 24 ribu jiwa, tahun 2011 mencapai 25 ribu dan tahun 2012 melonjak mencapai 36 ribu sebagai akibat perubahan angka kedalaman kemiskinan oleh pemerintah.
Dengan sedikit perubahan indokator penentu kemiskinan, jumlah penduduk miskin di daerah ini semakin bertambah. Selama ini penyerapan tenaga kerja di Kapuas Hulu terkonsentrasi pada sektor pertanian, kehutanan dan perkebunan dengan kapasitas daya tampung tenaga kerja yang sangat terbatas. Selain itu, tidak adanya perbaikan akses dari dan ke daerah penghasil menyebabkan mobilitas produk pertanian semakin tersendat dan dengan biaya tinggi.
Oleh karena itu, dukunggan pembiayaan dari Provinsi dan Pusat untuk pembangunan di kabupaten konservasi ini menjadi tidak dapat dielakkan bilamana status sebagai kabupaten konservasi ingin tetap diteruskan, sebagai konsekwensi terbatasnya ruang gerak pemerintah daerah pada kawasan konservasi (lihat Suryanto, 2005 dan Kissinger dkk, 2013).
Kabupaten Kapuas Hulu berada di urutan tiga sebagai kabupaten dengan jumlah desa tertinggal terbanyak di Kalimantan Barat, setelah Kabupaten Sintang dan Landak. Di dalam desa tersebutlah bermukim penduduk miskin, yang hidup sangat sederhana dan tidak berdaya sehingga tetap
harus menjadi tanggung-jawab pemerintah dalam
penanggulangannya.
Jumlah penduduk miskin juga menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2010 yang lalu jumlah penduduk miskin tersebut sekitar 24 ribu, namun pada tahun 2011 mencapai 25 ribu dan tahun 2012 mencapai 36 ribu. Peningkatan jumlah penduduk miskin tersebut dikarenakan beberapa faktor. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak ada penyerapan tenaga kerja.
Dimensi kemiskinan tidak hanya faktor makanan (pangan) saja, tetapi juga faktor non makanan. Salah satunya adalah faktor rumah tinggal. Logika yang dibangun adalah tak akan mungkin orang mau tinggal di rumah reot, gubuk dan bambu bilamana tidak dalam keadaan terpaksa. Keaadan terpaksa dimaksud adalah karena kemiskinan. Lebih jauh, kemiskinan yang dialami oleh masyarakat ternyata adalah faktor ketertinggalan daerah yang membuat kehidupan masyarakat menjadi mengalami biaya tinggi. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi untuk mengatasi ketertinggalan tersebut.
B. Program Usulan ke KPDT
Untuk mewujudkan kabupaten Kapuas Hulu eksis sebagai kabupaten konservasi, dibutuhkan dukungan dari pusat dan provinsi dalam memberdayakan masyarakat dan daerah untuk keluar dari status miskin. Salah satunya adalah mengusulkan Program pembangunan daerah kepada Kementerian Pembangunan Daerah Terpencil.
Program ini disusun dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi Kabupaten Kapuas Hulu, yang kemudian melahirkan sebanyak 4 program prioritas. Keempat program
ini membutuhkan pembiayaan sebesar Rp
2.401.000.000.000,00 yang teralokasi ke dalam 5 (lima) tahun anggaran; dengan skim pembiayaan:
a. Sebesar 20% atau sebesar Rp 230 milyar yang dialokasian
melalui APBD Kabupaten Kapuas Hulu, sehingga untuk keempat program prioritas membutuhkan sebesar Rp 46 milyar per tahun.
b. Sebesar 30% atau sebesar Rp 345 milyar yang dialokasian
melalui APBD Provinsi Kalimantan Barat, sehingga untuk keempat program prioritas membutuhkan alokasi dari APBR Provinsi dana sebesar Rp 69 milyar per tahun.
c. Sebesar 50% atau sebesar Rp 1,826 T dialokasian melalui
Adapun keempat program prioritas tersebut secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pengembangan Ekonomi Lokal
Program ini, dalam kontek KPDT disebut Persepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT). Program ini membutuhkan dana sebesar Rp 120 Milyar rupiah. Prioritas utama dalam pengembangan ekonomi local adalam mengembangkan ekonomi
daerah terpencil dengan didasarkan pada
pendayagunaan potensi sumberdaya lokal (sumberdaya manusia, sumberdaya kelembagaan, serta sumberdaya fisik). Fokus percepatan dilakukan dengan:
(1) meningkatkan kemampuan dan keterampilan
masyarakat;
(2) memperkuat modal sosial yang ada dalam masyarakat;
(3) memacu tumbuhnya pusat kegiatan ekonomi baru,
dengan memperhatikan produk unggulan daerah;
(4) membuka akses masyarakat pada usaha mikro,
kecil, dan menengah kepada permodalan, pasar, informasi, dan teknologi;
(5) membentuk jaringan kegiatan ekonomi local
dengan pusat-pusat pertumbuhan;
(6) menjalin kerjasama antar daerah dalam kegiatan ekonomi lokal; dan
(7) melakukan penguatan kelembagaan pemerintahan daerah dan masyarakat.
2. Pemberdayaan Masyarakat
Program ini, dalam kontek KPDT disebut Persepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daeah Tertinggal (P2SEDT) dengan sasaran penerima adalah kelompok masyarakat
yang bergerak di sektor informal. Program ini
membutuhkan dana sebesar Rp 1,150 Triliun. Program ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk berperan aktif di dalam mengatasi
ditujukan kepada peningkatan kemampuan kapasitas dan kapabilitas institusi local melalui:
(1) pemenuhan kebutuhan sosial dasar masyarakat; (2) kemampuan dan keterampilan masyarakat; dan (3) pengelompokan permukiman untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas penyediaan pelayanan umum, khususnya untuk komunitas adat terpencil.
3. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan
Program ini, dalam kontek KPDT disebut Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal (P4DT) dan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT), dengan sasaran pembinaan dan penguatan kelembagaan kelompok penerima bantuan, khususnya kelompok masyarakat
yang bergerak di sektor informal. Program ini
membutuhkan dana sebesar Rp 200 milyar. Strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia pemerintah dan masyarakat di daerah terpencil.
4. Pengurangan Keterisolasian Daerah
Program ini, dalam kontek KPDT disebut Program Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) dan Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal dan Khusus (P4DTK). Kedua program imi membutuhkan pendanaan sebesar Rp 931 milyar dalam
waktu 5 (lima tahun) dengan skim anggaran
sebagaimana tersebut di atas. Program ini diarahkan untuk membuka keterisolasian daerah terpencil agar
mempunyai keterkaitan dengan daerah maju,
meningkatkan mobilisasi masyarakat, modal, dan faktor-faktor produksi lainnya guna menunjang pengembangan ekonomi lokal. Program pengembangan prasarana dan sarana akan difokuskan pada:
(2) meningkatkan ketersediaan prasarana dan sarana
ekonomi antara lain sarana telekomunikasi,
transportasi dan listrik masuk desa;
(3) menyerasikan sistem transportasi di daerah terpencil kedalam satu kesatuan sistem yang terpadu dengan daerah maju;
(4) memperluas jaringan informasi dan teknologi; dan (5) mengembangkan prasarana perdesaan khususnya
prasarana pertanian dan transportasi penghubung dengan kawasan perkotaan.
C.Penutup
Renstra PDT di Kabupaten Kapuas Hulu ini merupakan arahan yang bersifat makro untuk jangka menengah dalam pengentasan daerah tertinggal yang mengacu kepada
RPJMD Kabupaten Kapuas Hulu 2012 – 2017; tetapi periode
implementasi dimulai tahun 2015 - 2020 dengan
memperhatikan STRANAS PPDT, RAN PPDT, STRADA PPDT Provinsi, RAD PPDT Provinsi, serta RENSTRA SKPD.
Renstra Pembangunan Daerah atau Desa Tertinggal di Kabupaten Kapuas Hulu ini merupakan dokumen induk yang membutuhkan perencanaan detil program ke dalam kegiatan dan anggaran. Oleh karena itu, keenam program KPDT seperti tersebut dalam 4 pilihan program membutuhkan perencanaan detil. Sementara para pihak melakukan penyiapan pendanaan bagi implementasi program sesuai dengan skim yang telah dibuat.
Pembiayaan daerah melalui APBD lebih diarahkan untuk pembangunan non fisik (95%) dan untuk fisik sebesar (5%), sedangkan pembangunan fisiknya dialokasikan melalui APBD Provinsi (30%) dan Pusat 50% hingga 80%.
Barat atau sebesar Rp 69 milyar per tahun; dan sebesar 50% (Rp 1,826 T) dialokasian melalui APBN yang terhubung dengan berbagai kementerian melalui KPDT, atau sebesar Rp 365,2 milyar per tahun.
Pembiayaan dari non pemerintah atau yang lebih sering
disebut pendanaan cororate social responsibility (CSR) lebih
diarahkan untuk memperkuat program penguatan
kemasyarakatan sehingga daat dialokasikan pada program No. 1 (pengembangan ekonomi lokal) dan No. 2 (pemberdayaan masyarakat).
Semoga kabupaten ini tetap eksis menjadi kabupaten konservasi untuk memberi andil dalam pembangunan berkelanjutan dalam kontek pengurangan emisi gas rumah kaca. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia melalui tiga kabupaten konservasi tersebut bertindak lokal untuk global sebagai konsekwensi satu dunia seperti dimaksud Peter Singer
(2002) dan Erdi (2003) dengan “From Places for Planet”. Amin!
D. Referensi
Erdi, Chandra Panjiwibowo, Imran Rachman dan Wisnu
Rusmantoro. 2003. From Place to Planet: Local
Problematique of Clean Development Mechanism in the Forestry Sector. Pelangi. Jakarta
Kissinger, Gabrielle; Caitlin Patterson and Henry Neufeldt. 2013. Payment for Ecosystem Service Schemes: Project-level Insights on Benefits for Ecosystem and the Poor. World Agroforestry Center. Nairobi, Kenya.
Singer, Peter. 2002. One World: The Ethics of Globalization. Yale University. New Heaven.
Suyanto, S; Beria Leimona, Rizki Pandu Permana dan F.J.C.
Chandler. 2005. Review of the Development