• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Bantuan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Indonesia dalam Sistem Hukum di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Bantuan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Indonesia dalam Sistem Hukum di Indonesia"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum, yang mana hal ini terdapat dalam UUD 1945

pasal (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.1Oleh karena itu, negara

hukum dan hak asasi manusia memiliki keterkaitan dan hubungan yang sangat erat serta tidak

dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Menurut Julius Stahl, konsep Negara

Hukum yang disebutnya dengan istilah rechsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu:

1. Perlindungan Hak Asasi Manusia

2. Pembagian Kekuasaan

3. Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang

4. Peradilan Tata Usaha Negara2

Dalam negara hukum (rechtsstaat) negara mengakui dan melindungi hak asasi

manusia setiap individu, sehingga semua orang yang memiliki hak untuk diperlakukan sama

dihadapan hukum (equality before the law). Persamaan dihadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak statis, artinya kalau ada persamaan dihadapan hukum maka harus

diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment). Kalau seorang yang mampu (the have) mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya, sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu (the have not) juga dapat meminta pembelaan datri seorang atau lebih pembela hukum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum untuk membela kepentingannya dalam suatu

perkara hukum. Tidak adil bilamana orang yang mampu saja yang dibela oleh advokat dalam

1

Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat 3. 2

(2)

menghadapi masalah hukum, sedangkjan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan karena

tidak sangggup membayar uang jasa seorang advokat.3

Karakteristik negara hukum terlihat jelas karena adanya ketegasan pemisahan

kekuasaan sehingga terlihat bahwa pemerintahan dijalankan dengan hukum dan bukan oleh

perorangan penguasa.4 Negara berkewajiban untuk dapat mewujudkan terselenggaranya

peradilan yang adil dengan menjamin terciptanya suatu keadaan dimana setiap orang

memiliki hak untuk mendapatkan keadilan (justice for all).5

Bantuan hukum merupakan suatu media yang dapat digunakan oleh semua orang

dalam rangka menuntut haknya atas adanya perlakuan yang tidak sesuai dengan kaedah

hukum yang berlaku. Hal ini didasari oleh arti pentingnya perlindungan hukum bagi setiap

insan manusia sebagai subyek hukum guna menjamin adanya penegakan hukum. Bantuan

hukum itu bersifat membela masyarakat terlepas dari latar belakang, etnisitas, asal usul,

keturunan, warna kulit, ideologi, keyakinan politik, kaya miskin, agama, dan kelompok orang

yang dibelanya. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang tidak mampu

untuk membayar jasa penasihat hukum dalam mendampingi perkaranya. Meskipun ia

mempunyai fakta dan bukti yang dapat dipergunakan untuk meringankan atau menunjukkan

kebenarannya dalam perkara itu, sehingga perkara mereka pun tidak sampai ke pengadilan.

Padahal bantuan hukum merupakan hak orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar

(probono publico).

Adanya ketidak mampuan masyarakat secara finansial untuk menuntut haknya sesuai

dengan prosedur hukum, menuntut untuk diadakannya suatu kebijaksanaan sehingga dapat

mengajukan suatu perkara perdata dengan tidak terbentur oleh biaya, khususnya dalam

3

Arief sidharta, Butiran-butiran pemikiran dalam hukum memperingati 70 tahun. hal 238 4

Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005), hal. 21.

5

FransHendraWinarta, Pro Bono Publico: HakKonstitusional Fakir Miskinuntuk Memperoleh Bantuan Hukum,

(3)

berperkara perdata, oleh karena itu diperlukan suatu prosedur untuk mengajukan perkara

secara cuma-cuma / tidak perlu membayar panjer perkara (prodeo). Sehingga bagi pihak yang kurang mampu, dapat mengajukan gugatan secara cuma-cuma yang disebut dengan

berperkara secara prodeo. Hal tersebut sesuai dengan asas trilogi peradilan yaitu peradilan cepat, sederhana dan murah.6

Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan yang sangat besar dalam

penyelenggaraan negara Republik Indonesia di bidang bantuan hukum, namun sulit untuk

menyajikan suatu sistem penyelenggaraan negara khususnya sistem perundang-undangan

bidang bantuan hukum secara tepat guna. Hal tersebut terjadi karena terdapat beberapa

peraturan yang mengatur tentang bantuan hukum, selain itu tidak semua kondisi telah diatur

dalam peraturan perundang-undangan dan juga sering terdapat kebutuhan untuk mengatur

hal-hal yang bersifat teknis. Kendati pengaturan hal teknis dalam suatu peraturan menjadi

kebutuhan terkadang tidak mampu diakomodasi dari pendelegasian wewenang tentang

bantuan hukum sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang

Bantuan Hukum beserta peraturan pelaksanaannya. Bantuan hukum merupakan tugas dan hak

konstitusional bagi setiap warga negara. Jaminan dan perlindungan tersebut pencerminan

asas equality before the law yang telah dijamin dalam Pasal 5, 6, dan 7 Universal Declaration of Human Right.7International Convernant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada Pasal 16 dan Pasal 26 dapat dirujuk sebagai dasar normatif perlindungan atas hak memperoleh

perlindungan hukum dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi, kemudian dipertajam

dengan Pasal 13 ayat (3) ICCPR mengenai syarat pemberian bantuan hukum, yaitu harus

berorientasi kepada keadilan dan ketidak mampuan membayar Advokat,8Basic Principles on

6

Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Edisi kelima, Liberty Yogyakarta, hal 16

7 Universal Declaration of Human Right

(1948) 8

Mohammad Mahfud MD., Sunaryati Hartono, Sidharta, Bernard L. Tanya, dan Anton F. Susanto,

(4)

the Role of Lawyers,9 dan juga terdapat pada UUD 1945. UUD 1945 Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dasar pertimbangan

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen terakhir, menyatakan segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya didepan hukum, fakir miskin memiliki hak

konstitusi untuk diwakili dan dibela oleh Advokat atau pembela umum secara litigasi dan

non-litigasi (bantuan hukum) sama seperti orang yang mampu mendapatkan jasa hukum

Advokat (legal service).10Setiap orang memiliki hak-hak untuk mendapat perlakuan dan perlindungan yang adil dengan persamaan dihadapan hukum, maka oleh karenanya untuk

setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta pembelakangan yang diderita

olehnya, ia berhak pula mendapatkan hukum, Kebenaran dan Keadilan, sesuai dengan asas

Negara Hukum.11

Jaminan setiap orang untuk mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum

sebagai pencerminan asas equality protection the law,12 dan asas equal justice under the law13

yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28d ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama

dihadapan hukum.

Negara menjamin pula hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk

diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

9

Frans Hendra Winarta, Op.Cit.,hal. 4 10

Syafruddin Kalo, Kuliah Hukum Pidana Pascasarjana USU, Rabu, 23 Oktober 2013. 11

Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan (Jakarta: PTElex Media Komputindo, 2000), hal. 29.

12

Equality protection the law adalah perlindungan yang sama oleh hukum. 13Equal justice under the law

(5)

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun

sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28i ayat (1).

Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya prinsip ini

berarti negara mengakui adanya hak-hak dalam ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik

bagi para fakir miskin, maka secara konstitusional orang miskin berhak untuk diwakili dan

dibela baik didalam maupun diluar pengadilan (acces to legal counsel) sama seperti orang yang mampu membayar atau yang mendapat jasa hukum. Bantuan hukum bagi si miskin

termuat dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Jadi bantuan hukum adalah hak dari orang yang

tidak mampu yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum.14

Pendelegasian wewenang dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi juga

harus jelas karena pendelegasian wewenang mengenai bantuan hukum tersebut tidak dapat

hanya berupa delegasi blanko yang memungkinkan eksekutif membuat berbagai peraturan

dengan dalih sebagai peraturan pelaksana.15

Jaminan terhadap hak dan kewajiban ditegaskan dan dijadikan landasan bagi

pembentukan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang

kemudian disebut dengan UU Bantuan Hukum. UU BanKum ini menjadi salah satu bentuk

pelaksanaan hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama

dihadapan hukum, sekaligus sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk memberikan

bantuan hukum bagi orang miskin.16 Selain itu, jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum telah diatur pula dalam UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia di dalam Pasal

17,18,19,dan 34. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak

14

Syafruddin Kalo, Op. Cit.

15

Victor Imanuel W. Nalle, 2013, Kajian Pembentukan dan Uji Materiil Peraturan Kebijakan di Indonesia, hal. 5.

16

(6)

Sipil dan Politik (Kovenan Hak-hak Sipol - International Covenant on Civil and Political Right).Pasal 16 dan Pasal 26 Konvensi itu menjamin akan persamaan kedudukan di depan hukum (equity before the law) dimana semua orang berhak untuk perlindungan dari hukum serta harus dihindarkan adanya diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin,

bahasa, agama, pandangan politik berbeda, nasional atau asal muasal kebangsaan, kekayaan,

kelahiran atau status yang lain-lainnya.17

Negara dalam pemberian perlindungan hukum kepada warganya dapat dilihat dalam

penjelasannya yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada

warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara

hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan

kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Adapun aturan pelaksanaan program bantuan hukum di Indonesia diantaranya adalah:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan

Hukum.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2013 tentang syarat tata

cara pemberian bantuan hukum dan penyaluran dana bantuan hukum.

4. Permenkumham Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013.

5. Permen No. 3 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Verifikasi Dan Akreditasi Lembaga

Bantuan Hukum Atau Organisasi Kemasyarakatan.

Lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum menambah daftar peraturan

undangan yang memuat tentang bantuan hukum, meskipun memang peraturan

perundang-undangan yang bersifat lex speciali baru ada setelah hadirnya Undang-Undang ini. Kendala

17

(7)

atas implementasi perundang-undangan yang terjadi sebelum lahirnya Undang-Undang

Bantuan Hukum adalah tidak adanya jaminan di dalam UUD 1945 dan di dalam KUHAP

bagi orang mampu maupun bagi orang yang tidak mampu untuk membayar atau memperoleh

pembelaan. Meskipun Undang-Undang Advokat mengakui konsep bantuan hukum, namun

tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum secara

mendalam.18

Terdapat berbagai penafsiran dalam beberapa Undang-Undang. Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum juga diatur dalam Pasal 22 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang menyebutkan bahwa Advokat wajib

memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Secara lebih spesifik aturan ini termuat juga dalam Kode Etik Perhimpunan Advokat

Indonesia (PERADI) Pasal 7 point h menyatakan bahwa Advokat mempunyai kewajiban

untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu. PERADI sendiri membentuk satu unit layanan bernama PBH PERADI, yang

menerapkan kewajiban 50 jam per-tahun untuk setiap Advokat memberikan bantuan hukum

pro bono. Terkait dengan bantuan hukum pro bono, negara menjadikan Pos Bantuan Hukum sebagai wadah untuk bantuan hukum bagi orang tidak mampu.

Pelaksanaan bantuan hukum juga terdapat perbedaan pendapat tentang Sistem Pro bono maupun Sistem bantuan hukum, sekalipun sama-sama merupakan strategi untuk memberikan pelayanan hukum (legal services) bagi masyarakat miskin dan rentan. Sistem probono bukanlah penganti dari sistem bantuan hukum, tetapi ikut mendukungnya dengan

keterlibatan para Advokat sebagai salah satu pemberi layanan. Sistem bantuan hukum tidak

meniadakan kewajiban pro bono Advokat. Hal ini telah menjadi isu hukum di sebagian kalangan Advokat karena eksistensi Lembaga Bantuan Hukum dan Organisasi

18

(8)

Kemasyarakatan yang memenuhi standar Pelaksana Bantuan Hukum dapat merekrut

paralegal, dosen, mahasiswa Fakultas Hukum dalam memberikan nasihat atau Bantuan

Hukum kepada masyarakat secara litigasi maupun non-litigasi yang diakui dalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dimana ketentuan Pasal 4

ayat (3) meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan

tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum. Advokat sebagian

besar memandang bahwa seharusnya Undang-Undang Advokat tidak boleh dimaksudkan

sebagai sarana legalisasi dan legitimasi, yang boleh tampil di depan pengadilan hanya

Advokat karena hal demikian telah diatur dalam Pasal 56 ayat (2) KUHAP. Namun hukum

acara yang berlaku mencantumkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan

menggunakan istilah penasihat hukum. Ketentuan hanya Advokat sebagai penasihat litigasi

telah mengalami perubahan.

Secara konsepsional, bantuan hukum dalam sistem peradilan terbatas pada charity

(undangan kegiatan amal/gratis sebagai wujud kepedulian) dalam kerangka pemerataan

keadilan. Konsep yang demikian menjadikan besarnya alokasi anggaran menjadi indikator

utama apakah bantuan hukum telah berhasil atau tidak. Anggaran tersebut dikelola oleh

pemerintah dan merupakan kebijaksanaan sosial. Kebijaksanaan yang diharapkan agar

pemerintah mampu melindungi dan sekaligus bahwa hak asasi manusia telah dilaksanakan

yakni melalui bantuan pembiayaan keuangan kepada orang miskin untuk membayar jasa

Pemberi Bantuan Hukum. Penetapan besaran anggaran bantuan hukum yang dialokasikan

dikhawatirkan menimbulkan kepentingan tertentu dimana anggaran untuk proses nonlitigasi

lebih kecil dari pada proses litigasi, hal ini bisa memancing Pemberi Bantuan Hukum yang

nakal untuk menyerap secara maksimal anggaran dengan mengesampingkan proses

(9)

Sebagai turunan dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

adalah Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian

Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, bantuan hukum ini tidak mengatur

secara jelas apakah bantuan tersebut dapat diterima oleh kasus yang ancaman atau dendanya

kecil yaitu kurang dari satu juta rupiah, sedangkan jika merujuk pada KUHAP seharusnya

diberikan pada orang tidak mampu dengan ancaman 5 tahun atau lebih. Perlindungan hukum

terhadap orang miskin juga dikhawatirkan tertanamnya sikap perlindungan negatif, yaitu

dalam arti Penerima Bantuan Hukum akan melakukan tindakan semaunya karena merasa

dilindungi jika nanti terlibat kasus hukum.

Bantuan hukum sering diartikan masyarakat sebagai suatu tindakan belas kasihan di

bidang hukum kepada fakir miskin sebagaimana diungkap dalam Konferensi yang ke-3 dari

Law Asia di Jakarta pada tanggal 16 sampai dengan 19 Juli 1973 bahwa ada kecenderungan

umum yang melihat bantuan hukum kepada orang miskin hanya merupakan belas kasihan

tetapi bukan sebagai hak asasi manusia, dimana orang miskin dapat membela dirinya secara

hukum dan menyampaikan semua keluhannya untuk kemudian mendapatkan ganti rugi

bantuan hukum janganlah dilihat dari sudut yang sempit.19

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka penulis dapat merumuskan

permasalahan yaitu :

1. Bagaimana Sistim Bantuan Hukum Di Indonesia ?

2. Bagaimana Sistim Bantuan Hukum Kedepannya Dan Bantuan Hukum Mana Yang Harus

Diperbaiki ?

C. Tujuan Penelitian

19

(10)

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang penulis telah kemukakan diatas,

maka tujuan yang akan dicapai bagi perkembangan ilmu hukum ialah :

1. Untuk mengetahui sistim bantuan hukum di Indonesia.

2. Untuk mengetahui sistim bantuan hukum kedepannya, yang dimaksud adalah tantangan

dan hambatan apa saja yang terjadi pada poses pemberian bantuan hukum di indonesia

dan untuk mengetahui kebijakan hukum mana saja yang harus diperbaiki.

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat akedemis

Hasil penelitian hukum in semoga dapat memberikan manfaat bagi dunia

akedemis yang berkaitan tentang pemberian perlindungan bantuan hukum bagi

masyarakat miskin di indonesia.

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat

Indonesia pada umumnya, serta memberikan kontribusi pemikiran bagi praktis hokum

dan pembuat kebijakan terkait, khususnya sebagai tambahan referensi bagi

masyarakat yang ingin memperoleh perlindungan bantuan hukum di Indonesia dalam

menghadapi suatu perkara hukum.

E. Metode peneelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam upaya pengumpulan data atau bahan

dalam rencana penelitian ini adalah metode penelitian normative yaitu penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, data sekunder yaitu data

yang diperoleh dari bahan pustaka.

(11)

Berdasrarkan penelitian yang bersifat normatif diatas, penelitian yang digunakan

dalam tulisan ini yaitu Pendekatan dalam aspek hukum di indonesia dalam menangani

bantuan hukum bagi masyarakat miskin di indonesia yang tercantum dalam Undang –

undang Tentang Bantuan Hukum.

Menggunakan pendekatan Komparatif yang dimana pendekatan ini dilakukan

dengan melihat peraturan hukum ataupun putusan pengadilan di suatu Negara dengan

peraturan hukum di Negara lain, namun haruslah mengenai hal yang sama, dilakukan

agar memeperoleh kesesuaian di antara peraturan hukum atau putusan pengadilan

tersebut.

2. Jenis dan sumber data

Di dalam penelitian ini, Jenis data yang diperlukan adalah :

Data sekunder yaitu data yang telah diolah dan merupakan data yang diperoleh

dari bahan kepustakaan hukum yang terkait dengan masalah penelitian, antara lain

mencakup dokumen-dokumen, buku-buku, dan sebagainya. Data sekunder tersebut

berbentuk bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier yang akan dijelaskan sebagai berikut.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yaitu badan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat, yang mengatur pelaksanaan bantuan hukum yang beracara secara

Cuma-Cuma (prodeo) oleh lembaga-lembaga bantuan hukum.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang erat kaitannya dengan

bahan hukum primer dan pada dasarnya memberikan penjelasan secara teoritis

(12)

menjelaskan secara teoritis bahan hukum primer, seperti pendapat para ahli yang

terdapat dalam literatur yang digunakan serta dokumen yang diperlukan.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier ini pada dasarnya memberikan penjelasan atas berbagai

istilah yang digunakan, baik yang terdapat dalam peraturan-peraturan sebagaimana

dikemukakan, maupun istilah asing yang digunakan oleh para ahli. Bahan hukum

tersier ini dapat berupa kamus umum, baik kamus bahasa indonesia, bahasa inggris,

bahasa belanda maupun bahasa hukum.

Adapun sumber data yang dalam penelitian ini :

1) Penelitian kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan (Library Research) merupakan penelitian yang dilakukan terhadap buku-buku karya ilmiah, undang-undang, dan

peraturan-peraturan terkait lainnya. Bahan penelitian kepustakaan ini diperoleh penulis dari

:

- Perpustakaan Fakultas ukum Universitas Kristen Satya Wacana.

- Perpustakaan Pusat Universitas Kristen Satya Wacana.

- Buku – buku serta bahan kuliah yang penulis miliki.

A. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam skripsi ini terbagi ke dalam 3 bab, antara lain :

BAB I : Bab ini akan diuraikan mengenai

A. Latarbelakang masalah

(13)

C. Tujuan penelitian

D. Manfaat penelitian

E. Metode penelitian

F. sistematika penulisan dan daftar bacaan.

BAB II : Bab ini akan dijabarkan mengenai pelaksanaan dan penerapan bantuan

hukum bagi masyarakat miskin di indonesia dengan undang – undang yang

berlaku di Negara Republik Indonesia mengenai bantuan hukum

BAB III : Bab ini terdiri dari dua sub bab, yaitu kesimpulan penulis berdasarkan

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui Apakah Kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran Reciprocal Teaching lebih baik dari pada siswa

Bahan-bahan yang digunakan dalam campuran aspal porus terlebih dahulu diuji kinerja dari masing-masing bahan agregat kasar, agregat halus maupun pengujian terhadap Aspal

Ketika form input tidak diisi dengan angka apapun, kemudian proses perhitungan tetap dilakukan dengan meng-klik tombol hitung, proses perhitungan tetap berjalan

Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zulfikar (2013) yang menyatakan bahwa temuan audit tidak berpengaruh terhadap kinerja yang

Pengeringan yang dilakukan pada buah mahkota dewa bertujuan mengurangi kadar air dalam bahan, sehingga air yang tersisa tidak dapat digunakan sebagai media hidup

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisa regresi parsial dan , yang mana berganda, yang mana pada analisapastial hanya

provinsi, negara dan internasional; melakukan komitmen kerjasama dengan berbagai pihak(https://w.. Tentunya, bagi Indonesia, REDD+ memiliki arti penting mengingat

3.1.4 Memperagakan bunyi kata, frasa dan kalimat ahasa Arab yang diperdengarkan 3.1.5 Menunjukkan gambar sesuai bunyi kata,E. frasa dan kalimat bahasa Arab