Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi syarat-syarat gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Denis Silvia
NIM. 1111044100079
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULRAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Keluarga/ Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1436 H.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh AIPJ (Australia Indonesia Patnership For
Justice) menunjukan bahwa, masih banyak warga negara Indonesia yang belum mempunyai
identitas hukum seperti akte/buku nikah, dengan alasan terlalu mahal biayanya, lokasi
layanan terlalu jauh, tidak tahu cara memperoleh identitas hukum, dan proses terlalu rumit,
menanggapi permasalahan tersebut bagaimanakah pelaksanaan bantuan hukum di Pengadilan
Agama Depok. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan serta layanan Posbakum sebagai salah bantuan hukum bagi masyarakat tidak
mampu di wilayah Pengadilan Agama Depok dan mengetahui respon dari masyarakat.
Peneliti mengguanakan metode pendekatan yuridis sosiologis, dengan jenis penelitian
deskriptif analisis yang menggambarkan dan memaparkan secara sistematika tentang objek
penelitian dan kemudian dilakukan analisis. Dalam rangka mengumpulkan mengelola dan
menyajikan bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengumpulan data melalui studi
pustaka dan wawancara pihak terkait, setelah itu dilakukan dengan cara membandingkan
hasil studi pustaka dengan penelitian lapangan.
Dari penelitian ini, dapat diketahui bahwa Posbakum melayani masyarakat yang tidak
mampu, dengan berbagai jasa yang tersedia diantaranya konsultasi, advis hukum, pembuatan
dokumen hukum yang diperlukan di persidangan. Posbakum Pengandilan Agama Depok
telah berhasil melayani para pengguna jasa pada tahun 2011 sebanyak 534 orang, tahun 2012
sebanyak 960 orang, dan tahun 2014 sebanyak 853 orang. Dengan adanya Posbakum
masyarakat merasa gembira dan senang karena mendapatkan bantuan dan kepastian hukum
secara gratis.
Kata Kunci : Bantuan Hukum, Administratif, Masyarakat Tidak Mampu, Pengadilan Agama.
Pembimbing: Drs. H. Wahyu Widiana, MA.
i
يحرلا نمحرلا ها مسب م
Segala puja dan piji Syukur hanya milik Allah SWT yang selalu
memberikan kemudahan, petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya kepada Penulis
dalam menyusun dan menyelesaikan skipsi ini tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi akhir
zaman Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabat.
Skripsi dengan judul “Bantuan Hukum Administratif Bagi Masyarakat
Tidak Mampu Di Pengadilan Agama” disusun guna memenuhi syarat dalam meraih gelar Syarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini, Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
skripsi ini. Dan dalam perjalanan penyusunan skrisi ini, Penulis telah
banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu dalam
kesempatan ini perkenankanlah Penulis menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih yang dalam dan tak terhingga kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
ii Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. H. Wahyu Widiana, MA. Dosen pembimbing skripsi yang
telah banyak meluangkan waktu untuk bimbingan, pengarahan
serta saran-saran bagi skripsi Penulis untuk menjadi lebih baik dan
telah banyak memberikan Penulis pengetahuan baru dalam
berbagai hal selama bimbingan.
4. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. Dosen pembimbing akademik yang telah
banyak memberikan ilmu pengetahuan, serta membantu penulis
dalam memberikan nasehat-nasehat dan masukan kepada Penulis.
5. Drs. Entoh Abd Fatah. Pansek Pengadilan Agama Depok yang
telah membantu Penulis dalam memperoleh data-data yang di
perlukan dalam penelitian.
6. Seluruh Dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum,
terima kasih atas ilmu dan bimbingannya. Seluruh Staf Akademik,
Program Studi, dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam
upaya memperlancar penyelesaian skripsi ini.
7. Yang tercinta dan tersayang Ibunda Ejah dan Ayahanda Acu
Sulaeman, terima kasih atas kesabaran, keikhlasan, cinta dan kasih
sayang yang tidak pernah habis, do’a, dukungan moril dan materil
iii
8. Kepada sahabat-sahabatku Tria Farhanah, S. SI., Nitta Yuni
Mardianti, S.Sos., Ganissufi Kautsar S.Psi., dan sahabat-sahabat di
Yellow Castle yang telah memberikan do’a, semangat untuk penulis dalam menghadapi kesulitan, semoga menjadi kenangan
yang tidak terlupakan.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan PA dan AKI angkatan 2011, yang
telah berbagi ilmu dan berjuang bersama untuk meraih ridho Allah
di kampus tercinta ini, Sahabat PMII, KBPA, KKN Chanvas
hari-hari dengan kalian menjadi kenangan bagi Penulis yang tidak bisa
terlupakan.
10.Arif Sasongko, S.H,. dan Alfa Noor Hawarizmi, S.H. Atas
pengalaman ilmu-ilmu yang berharga di Posbakum Pengadilan
Agama Depok.
Akhirnya hanya kepada Allah jualah penulis berharap, semoga segala
amal baik diterima oleh-Nya dan semoga skripsi skipsi ini dapat bermanfaat
bagi diri penulis dan pembaca.
Ciputat, Mei 2015
iv
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 9
D. Review Studi Terdahulu 10
E. Metode Penelitian 12
F. Teknik Penulisan 15
G. Sistematika Penulisan 16
BAB II BANTUAN HUKUM
A. Bantuan Hukum di Indonesia 18
B. Pengertian Bantuan Hukum 22
C. Tujuan dan Ruang Lingkup Bantuan Hukum 27
D. Negara Menjamin Bantuan Hukum 34
BAB III POS BANTUAN HUKUM DI PENGADILAN AGAMA
A. Awal Mula Pos Bantuan Hukum dan
v
PERMA No 1 Tahun 2014 55
BAB IV PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM ADMINISTRATIF
BAGI MASYARAKAT TIDAK MAMPU OLEH POSAKUM
DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
A. Pelaksanaan Posbakum Pengadilan Agama Depok 59
B. Pelayanan Posbakum Pengadilan Agama Depok 65
C. Bantuan Hukum Prodeo dan Sidang Di Luar Gedung
Pengadilan 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 80
B. Saran-Saran 82
DAFTAR PUSTAKA 84
1 A. Latar Belakang Masalah
Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macam hubungan antara
anggota masyarakat, yakni hubungan yang di timbulkan oleh
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat itu. Dengan banyak dan aneka ragamnya
hubungan itu, para anggota masyarakat memerlukan aturan-aturan yang
dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan itu tidak terjadi
kekacauan dalam masyarakat. Untuk menjamin kelangsungan dan
keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat, diperlukan
aturan-aturan hukum.1
Hukum merupakan bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi
sistem sosial ini adalah untuk mengintegrasikan kepentingan anggota
masyarakat sehingga terciptanya suatu keadaan yang tertib. Hal ini
mengakibatkan tugas hukum adalah mencapai keadilan, yaitu keserasian
antara nilai kepentingan hukum.2
Tujuan dari hukum itu sendiri menurut pendapat Purnadi Purba
Caraka dan Soejono Suekanto, dalam buku mereka Perihal Kaedah Hukum
1
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pusaka, 1987), h. 40.
2
pada dasarnya menegaskan bahwa tujuan hukum adalah untuk mencapai
kedamaian hidup antara pribadi dan juga untuk mencapai keadilan.3
Hukum menurut Prof. Subekti S.H., hukum mengabdi pada tujuan
negara yang dalam pokoknya adalah mendatangkan kemakmuran dan
kebahagianan pada rakyatnya, dengan menyelenggarakan keadilan dan
ketertiban yang merupakan syarat-syarat pokok untuk mendatangkan
kemakmuran dan kebahagianan.4
Negara Hukum Indonesia menurut UUD 1945 (pasal 27 ayat (1);
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahana dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada pengecualinya.5 Pasal tersebut tidaklah menbeda-bedakan antara
warga yang satu dengan warga yang lainnya semuanya sama dihadapan
hukum. Tanpa kecuali termasuk warga yang kurang mampu yang juga
mempunyai hak untuk dapat memperoleh bantuan hukum.6
UUD 1945 dan prinsip-prinsip persamaan di hadapan hukum dan
perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat, yang merupakan petunjuk
bahwa negara wajib memperhatikan masalah bantuan hukum bagi warga
3
Aridwan halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab edisi kedua, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h. 71
4
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, h. 41 5
UNDANG-UNDANG DASAR 1945 6Soerjono Soekamt, dkk., “
negaranya.7 Demikian pula hak untuk didampingi advokat dijamin sistem
hukum Indonesia.8
Bantuan hukum diyakini dapat memberikan kesamaan dan jaminan
terhadap seluruh masyarakat dalam menikmati perlindungan dihadapan
hukum dan dari sesuatu perbuatan yang tidak adil. Bantuan hukum
merupakan penyempurnaan dari jaminanan sosial, dan menjadi sistem yang
melengkapi perlindungan terhadap hak asasi manusia.9
Gagasan atau konsep bantuan hukum dimana-mana umumnya sama,
memeberikan pelayanana hukum kepada orang yang tidak mampu
membayar pengacara tanpa memandang agama, asal, suku maupun
keyakinan politik masing-masing.10
Merujuk pada pasal 57 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman dan pasal 60 UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama,
Posbakum dibentuk di setiap pengadilan untuk membantu pencari keadilan
yang tidak mampu. Bantuan hukum itu diberikan secara cuma-cuma.11
Pada proses pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
tentang syarat dan tata cara pemberian dan penyaluran dana bantuan hukum,
kategori penerima bantuan hukum termasuk isu klausal yang sering
7
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, BantuanHukum Akses Masyarakat Marjinal Terhadap Keadilan, (Jakarta: Sentralisme Production, 2007), h. xi
8
Ibid., h. 93 9
Ibid., h. xi 10
Ibid., h. 6
menimbulkan perdebatan. Norma hukumnya merujuk pada kualifikasi
“Penerima Bantuan Hukum” menurut UU No. 16 Tahun 2011 Tentang
Bantuan Hukum.12
Ketika UU No. 16 Tahun 2011 memutuskan (sentralisasi) pemberian
bantuan hukum, nasib Pos-Pos Bantuan Hukum yang sudah ada di
pengadilan menjadi tidak jelas, Peraturan Perundang-Undangan bidang
Kekuasaan Kehakiman mengharuskan pembentukan Pos Bantuan Hukum di
semua pengadilan untuk semua tingkatan. Mahkamah Agung sebelumnya
telah menerbitkan Surat Edaran No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Bantuan Hukum.13
Setelah itu pada tahun 2014, Mahkamah Agung menerbitkan peraturan
MA (PERMA) No. 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan
Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan. Secara prodeo
(cuma-cuma). Dengan terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di
Pengadilan, maka SEMA No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian
Bantuan tidak berlaku lagi.14
Ruang lingkup layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di
pengadilan yang diatur di PERMA No. 1 Tahun 2014 terdiri dari layanan
12Msy, “Pemerintah
Diingatkan Tentang Pasal 56 KUHP”, artikel ini diakses pada 30 April 2012 dari http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9e125114dd95/pemerintah-diingatkan-tentang-pasal-56-kuhap.
13 Ibid.
14Ash, “MA Terbitkan Perma Bantuan Hukum Prodeo”, a
pembebasan perkara, penyelenggaraan sidang di luar gedung pengadilan dan
penyediaan Posbakum pengadilan. Meskipun dari ruang lingkup bantuan
hukum tidak berbeda jauh, dua produk hukum MA itu memiliki sejumlah
perbedaan.15
Sama pentingnya, sebagaimana pemerintah membantu masyarakat
tidak mampu dalam memperoleh akses peradilan agama karena, keberadaan
mereka di daerah yang terpencil dengan adanya sidang keliling, perkara
yang diajukan secara prodeo atau cuma-cuma bagi masyarakat yang tidak
mampu, dengan adanya Pos Bantuan Hukum yang merupakan bantuan
hukum resmi yang didirikan oleh MA, yang akan ada nantinya di setiap
pengadilan, dan hal-hal tersebut telah diatur dengan salah satu peraturan
yakni PERMA No. 1 Tahun 2014.
Keberadaan Pos Bantuan Hukum yang telah direncanakan akan berada
di setiap pengadilan belum terlaksana, menarik bagi peneliti membahas dan
mengetahui lebih mendalam tentang bantuan hukum bagi masyarakat yang
tidak mampu di pengadilan agama yang nantinya akan tersebar di seluruh
pengadilan agama di Indonesia, serta sangatlah penting adanya bantuan
hukum bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, kosultasi, pembuatan
surat gugatan dan lain-lain, yang tidak mudah didapatkan, apalagi bagi
masyarakat yang kurang mampu. Berbeda jika mereka pergi ke
kantor-kantor pengacara yang tentunya memerlukan biaya.
15
Seperti yang telah dipaparkan di atas Pos Bantuan Hukum diberikan
kepada orang yang tidak mampu secara ekonomis dan /atau tidak memiliki
akses informasi dan konsultasi, dalam pasal 22 PERMA No. 1 Tahun 2014,
dibuktikan dengan melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu, Surat
Keterangan Tunjangan Sosial, surat sejenis lainnya, atau surat pernyataan
tidak mampu membayar jasa advokat.
Hasil penelitian dan analisis yang dilakukan oleh AIPJ (Austalia
Indonesia Patnership for Justice) dalam rumah tangga 30% termiskin di
Indonesia menunjukan bahwa: 16
55% pasangan tidak memiliki akte/buku nikah
75% anak-anak mereka tidak punya akte kelahiran.
Akte/buku nikah orang tua diperlukan sebagai syarat untuk
mendapatkan akte kelahiran anak yang mencantumkan nama ayah dan nama
ibu.
Alasan orang tidak memiliki identitas hukum:17
Terlalu mahal 41%
Lokasi layanan terlalu jauh 15%
Tidak tahu caranya memperoleh identitas hukum 12%
Proses terlalu rumit 9%
16
Australia Indonesia Partnership For Justice, Studi Dasar AIPJ Tentang Identitas Hukum Jutaan Orang Tanpa Indentitas Hukum Di Indonesia, h. 61
17
Adapun dampak dari masyarakat yang tidak memilik identitas hukum,
maka masyarakat akan sulit untuk mendapatkan akses pada pendidikan,
kesehatan, bantuan sosial, dan perlindungan hukum, dari hasil penelitian
tesebut menunjukan yang ternyata masih banyak orang yang belum
memiliki identitas hukum.
Dengan banyak permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat,
selain itu seperti percerain, waris, hadhonah, dan lain sebagainya yang
menjadi kewenangan absolut peradilan agama, baik masyarakat mampu atau
tidak mampu, belum tentu mengetahui bagaimana proses beracara di
pengadilan, dan memperoleh haknya tersebut, disini bagaimana peradilan
agama memberikan bantuan hukum, khususnya bagi masyarakat yang tidak
mampu dalam menyelesaikan perkara atau permasalahannya dan hal-hal
yang dibutuhkan untuk mendukung penyelesaian perkara tersebut.
Karena pentingnya masalah ini dan untuk wawasan, kemudian dari
latarbelakang di atas, penulis tertarik untuk membahas masalah lebih jauh
dan mendalam terkait tentang layanan bantuan hukum bagi masyarakat tidak
mampu di pengadilan agama khususnya penerapan di Pengadilan Agama
Depok, maka penulis merumuskannya dalam bentuk skripsi dengan judul
“BANTUAN HUKUM ADMINISTRATIF BAGI MASYARAKAT
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini penulis merasa perlu untuk membatasi
penulisan agar arah dan penulisan skripsi tersebut tidak meluas serta jelas
dan tegas, maka penulis membatasi pada Posbakum sebagai bantuan hukum
bagi masyarakat yang tidak mampu di peradilan agama sesuai dengan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dan PERMA
No. 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi
Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan Agama. Khususnya dalam skripsi
ini adalah di Pengadilan Agama Depok periode tahun 2011 sampai tahun
2014.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam skripsi ini adalah bagaimana praktek Pos
Bantuan Hukum di Pengadilan Agama Depok, dengan dilandasi sebagai
acuan hukum pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum, serta PERMA No. 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian
Layanan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat di Peradilan.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas penulis dapat merumuskan
masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat tidak
b. Bagaimana respon masyarakat pencari keadilan di Pengadilan
Agama Depok terhadap bantuan hukum?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan Penelitian
Dalam Penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai
berikut:
a. Mengetahui pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat tidak
mampu oleh Posbakum di Pengadilan Agama Depok.
b. Mengetahui respon masyarakat pencari keadilan di Pengadilan Agama
Depok terhadap bantuan hukum.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan menambah wawasan dan pengetahuan
tentang implementasi Undang- Undang No. 16 Tahun 2011 dan SEMA No.
1 Tahun 2010 jo. PERMA No. 1 Tahun 2014 terhadap Pos Bantuan Hukum
di Pengadilan Agama Depok sebagai salah satu bantuan hukum bagi
masyarakat tidak mampu.
a. Bagi pembaca
Hasil dari penelitian tersebut dapat diharapkan bagi pembaca untuk
mengetahui menambah wawasan dan informasi tambahan serta masukan
yang bermanfaat diantaranya tentang pelaksanaan Pos Bantuan Hukum di
peradilan agama dan dengan pengetahuan tersebut diharapkan bisa membagi
b. Bagi Fakultas.
Menambahan sebagai tambahan referensi dan tambahan pemikiran
keilmuan sehingga dapat bermanfaat untuk dunia akademisi, bagi kalangan
pelajar dan mahasiswa serta dapat menambah wawasan intelektual dan
referensi. Juga untuk memperkaya koleksi dalam lingkup penelitian di
bidang Hukum Keluarga konsentrasi Peradilan Agama.
c. Bagi masyarakat umum.
Penulisan skripsi ini diharapkan bagi masyarakat umum dapat
memberikan penjelasan dan menjadi refleksi betapa pentingnya
pengetahuan dan wawasan tentang bantuan hukum, serta diharapkan dapat
memberi sumbangsih pemikiran yang manfaat dalam menjawab
perkembangan hukum di Indonesia.
D. Review Studi Terdahulu.
Penulis melakukan review terdahulu sebelum menentukan judul
skripsi, dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada
kaitannya dengan bantuan hukum atau Pos Bantuan Hukum (Posbakum)
diantaranya:
Pertama, telah dibahas mengenai POS BANTUAN HUKUM DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT (STUDI IMPLEMENTASI
SEMA N0: 10 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN
BANTUAN HUKUM), oleh : Andy Saputra (108044100047), skripsi
tersebut membahas tentang implementasi SEMA No. 10 Tahun 2010 di
kepada proses pelaksanaan seleksi penerima jasa bantuan hukumya serta
pemberian jasa pembuatan surat gugatan atau permohonan. Objek penelitian
tersebut tertuju kepada Penerapan SEMA No. 10 Tahun 2010 di Posbakum
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Kedua, telah dibahas mengenai TINJAUAN YURIDIS POS
BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA
(ANALISIS SEMA:10 TAHUN 2010 TENTANG POS BANTUAN
HUKUM), Oleh: Jainul Amidin (107044100235), fokus penelitian di
tujukan pada tinjauan yuridis mengenai lahirnya SEMA No. 10 Tahun 2010
dengan rumusan orang yang berhak menerima jasa bantuan hukum serta
mekanisme pembentukann, pelaksanaan, dan proses mendapatkan jasa
bantuan hukum dari Posbakum. Objek penelitiannya yakni Posbakum di
pengadilan agama.
Dari review yang penulis lakukan, jelas sekali perbedaannya dengan
dengan skripsi yang akan penulis teliti, di dalam skripsi yang akan penulis
teliti yakni penulis akan menjabarkan tentang bantuan hukum bagi
masyarakat tidak mampu di pengadilan agama implementasi SEMA No. 10
Tahun 2010 jo. PERMA No. 1 Tahun 2014 yang mana akan fokus penelitian
ini terhadap penerapan objek penelitian yang penulis akan teliti yakni Pos
Bantuan Hukum di Pengadilan Agama Depok sebagai bantuan hukum bagi
E. Metode Penelitian.
1. Metode pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis
adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan
fenomena yang terjadi di lapangan.18
Sebagaimana penelitian tersebut maka untuk melihat bagaimana dasar
bantuan hukum tersebut dipraktikan. Dengan demikian hukum bukan hanya
di pandang sebagai atau kaedah prilaku saja, malainkan juga merupakan
sebuah proses sosial, lembaga sosial.19
Dengan metode penelitian hukum empiris sosiologis ini, asumsi
dasarnya yang dibangun adalah bahwa kemungkina besar terdapat
perbedaan antara hukum positif tertulis dengan hukum yang hidup di
masyarakat. Hukum yang hidup adalah hukum yang berlaku dan
dilaksanakan oleh masyarakat yang merupakan fakta sosial.20
Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang
diangkat maka dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode deskriptif berupa kata-kata tertulis atau atau lisan dari
orang-orang atau prilaku orang-orang.21
18
Soejono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), h. 26.
19
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum, (Tangerang: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 47.
20
Ibid., h. 47-48. 21
2. Jenis Penelitian
Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode
deskriptif analisis yang menggambarkan dan memaparkan secara
sistematika tentang apa yang menjadi objek penelitian dan kemudian
dilakukan analisis.22
Metode deskriptif, yaitu suatu metode yang diarahkan untuk
memecahkan masalah faktual dengan cara memaparkan atau
menggambarkan apa adanya hasil penelitian.23
3. Data penelitian
Dalam rangka mengumpulkan dan mengelola dan mengkaji
bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengumpulan data sebagai
berikut:
a. Data Primer
Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama yakni data
pada Pos Bantuan Hukum Pengadilan Agama Depok sebagai salah satu
bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan agama
yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan melakukan
wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dan data-data
yang beraitan dengan penelitian permohonan bantuan hukum di
22 ibid. 23
Pengandilan Agama Depok, dan data-data perkara yang masuk
sebelum dan sesudah diberlakukannya PERMA No. 1 Tahun 2014.
b. Data Sekunder
Data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil
penelitian yang berwujud laporan, buku harian, Peraturan
Undang-Undangan, data resmi dari instansi pemerintah, dari pengadilan,
buku-buku literatur, kerangka ilmiah, makalah umum dan bacaan lain yang
berkaitan dengan judul penelitian.24
4. Teknik Pengumpulan Data.
Dalam rangka mengumpulkan, mengelola dan menyajikan
bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengumpulan data dengan
cara sebagai berikut:
a. Studi pustaka melalui pustaka ini dikumpulkan data yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini yaitu literatur-literatur,
buku-buku pustakaan, tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam
pembahasan yang relevan dengan pokok masalah yang dijadikan
sumber dalam karya ilmiyah ini.
b. Penelitian lapangan melaui penelitian ini, didapatkan data-data
mengenai pelaksanaan Pos Bantuan Hukum, serta melakukan
wawancara dengan pihak-pihak yang mengerti dan menguasai
24
tentang Pos Bantuan Hukum yang berada di Pengadilan Agama
Depok
c. Pengolahan Data
Analisis dan pengolahan data dilakukan dengan cara
membandingkan hasil studi pustaka dengan penelitian lapangan,
kemudian dilakukan analisis yang dituangkan dalam bentuk
permasalahan, selanjutnya dapat ditarik kesimpulan dan diberikan
saran-saran untuk perbaikan.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis yang perbandingan atau evaluasi yang menilai apakah
pelaksanaan bantuan hukum oleh Pos Bantuan Hukum di Pengadilan
Agama Depok sesuai dengan peraturan yang berlaku.
F. Teknik Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi
pokok penelitian penelisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca
dalam mempelajari tata urutan penulis ini, maka penulis dalam menggunkan
teknik penulisan ini berdasarkan buku “Pedoman Penulisan Skripsi”
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan
G. Sistematika Penulisan.
Agar mendapatkan gambaran yang jelas mengenai materi pokok
penulisan dan memudahkan serta terarah juga sistematis bagi para pembaca
dalam mempelajari tata urutan penulisan skripsi ini, maka penulis
mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab dengan sistematika
sebagai berikut:
Bab pertama, Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan Masalah, tujuan dan manfaat penelitian, rivew
study terdahulu, metode penelitian, teknik penulisan, dan sistematika
penulisan.
Bab kedua, Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia, pengertian
Bantuan Hukum, Tujuan Bantuan Hukum, dan pembahasan tersebut yang
berkaitan dengan dasar hukum UU No. 16 Tahun 2011 dan PERMA No. 1
Tahun 2014.
Bab ketiga, penulis akan membahas tentang Pos Bantuan Hukum
yang merujuk kepada PERMA No. 1 Tahun 2014, dimulai dari Pengertian
Pos Bantuan Hukum, Sejarah Pos Bantuan Hukum, Dasar Pos Bantuan
Hukum, dan proses layanan Pos Bantuan Hukum sebagai salah satu bantuan
hukum bagi masyarakat tidak mampu.
Bab keempat, bab ini merupakan bab yang utama dalam penulisan
pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan
Agama Depok,
Bab kelima, terdiri dari penutup, berisi tentang kesimpulan yang
memeparkan isi bab awal hingga akhir dan berisi saran-saran.
Daftar Pustaka
18 A. Bantuan Hukum di Indonesia.
Pada zaman penjajahan Belanda, bantuan hukum dilakukan oleh
para advokat dan procureur. Seorang advokat adalah seorang pembela dan
penasehat, sedangkan seorang procureur adalah ahli dalam hukum acara
(perdata), yang memberikn jasa-jasanya dalam mengajukan perkara-perkara
di peradilan dan mewakili orang-orang yang berperkara di muka
pengadilan.1
Sesuai dengan ketentuan di dalam R.O. yaitu Reglement op de
rechterlijke en het beleid der justitie yakni suatu firman raja, maka oleh
reglement op de rechtsvordering (RV) dan reglement op de strafvordering
(SV) telah diberikan peraturan-peraturan tentang tugas dan peranan pembela
dan pengacara di dalam proses di muka pengadilan untuk golongan Eropa.2
Di zaman penduduk Jepang, badan-badan peradilan untuk golongan
Eropa sudah dihapuskan dan bersamaan dengan itu pula,
peraturan-peraturan hukum acara perdata dan pidana di peradilan (RV dan SV) tidak
1
Soebekti, Ethika Bantuan Hukum Dalam Pemberian Bantuan Hukum Oleh Fakutas Hukum Negeri, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1976), h. 23
2
berlaku lagi, yang tersisa hanyalah hukum acara yang berlaku dahulu untuk
golongan bumiputera (orang Indonesia).3
Sejak Indonesia merdeka, Pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan berbagai macam Peraturan Perundang-Undangan, yang
berkenaan dengan bantuan hukum, yakni sebagai landasan dalam
mengawali proses di persidangan.
Peraturan perundang-undangan tersebut di antaranya adalah sebagai
berikut;4
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946.
Pada tahun 1946 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1
Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Di dalam Undang-Undang
tersebut telah diatur tentang kedudukan advokat dan orang yang memberikan
bantuan hukum.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 Tentang Mahkamah Agung
Pada Tanggal 9 Mei 1950, Undang-Undang No. 1 Tahun 1950
Tentang Mahkamah Agung mulai berlaku, peraturan tersebut mengatur
tentang susunan kekuasaan dan jalan pengadilan Mahkamah Agung
Indonesia. Dalam pasal 42, kata pembela merupakan istilah yang diberikan
kepada pemberi bantuan hukum.
3 Ibid.
4
Menurut Undang-Undang tersebut, Mahkamah Agung memiliki
kekuasaan untuk melakukan pengawasan tertinggi atas jalanya peradilan
(pasal 12) dan tingkah laku perbuatan pengadilan-pengadilan dan para
hakim di pengadilan itu diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung.
Pengawasan tertinggi juga dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap para
pemberi bantuan hukum atau para advokat/pengacara dan notaris.5
3. Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951.
Undang-Undang tersebut mengatur tentang tidakan–tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara
pengadilan sipil. Serta menentuka kembali atas berlakunya HIR “Herziene
Inladsh reglament” dalam Negara Indonesia yakni sebagai pedoman dalam
hukum acara pidana sipil.
4. Herziniene Inlands Reglament (HIR)
Di dalam HIR, sebagaimana peraturan yang berkaitan hubungannya
dengan tugas dan kewajiban advokat, procureur, dan para pemberi bantuan
hukum di persidangan diatur dalam beberapa pasal sebagi berikut;
Pasal 123 HIR memberikan kemungkinan kepada pihak berperkara
untuk diwakili oleh orang lain yang diberi kuasa dengan surat.
Pasal 237 HIR. Memungkinkan, bahwa orang yang hendak
berperkara, baik sebagai sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, akan
5
tetapi tidak mampu membayar biaya perkara, boleh mendapatkan izin
untuk berperkara tanpa biaya.
Bantuan hukum di Indonesia lebih mudah dilacak sejak didirikannya
Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia (LBHI) di Jakarta tanggal 20
Oktober 1970 yang didukung Ali Sadikin (Gubernur DKI). Pada tanggal 13
Maret 1980, LBH dikukuhkan menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI). Dua puluh tahun sebelum itu, organisasi sosial Tjandra
Naya yang berdiri pada tahun 1950 di Jakarta, secara sederhana telah
mengawali dan merintis bantuan hukum di Indonesia, meskipun baru
sebatas bantuan hukum bagi warga keturunan Tionghoa. 6
Pada tahun 1968 Prof Ting Swang Tiong, mengusulkan kepada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk mendirikan Biro Konsultan
Hukum, usulan tersebut mendapatkan respon yang baik dari Universitas. Di
Universitas Pajajaran Bandung, Prof. Mochtar Kusuma Atmadja juga
mendirikan Biro Bantuan Hukum.
Pendirian Lembaga Bantuan Hukum didasari oleh realitas kepentingan
sosial, yakni ketiadaan pendampingan hukum bagi masyarakat miskin di
pengadilan, keinginan tersebut muncul yang disampaikan oleh Adnan
Bayung Nasution, pada Kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)
ke-3, LBH Jakarta didirikan pada tahun 1970 sebagai proyek percobaan
Peradin yang mulai beroperasi.
6
YLBHI atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang
bertujuan untuk mengorganisasi dan merupakan naungan bagi LBH-LBH
sebagai proyek Pradin, Kemudian YLBHI menyusun garis-garis program
yang akan dilaksanakan bersama di bawah satu koordinasi sehingga
diharapkan kegiatan bantuan hukum dapat dikembangkan secara Nasional
dan lebih terarah serta menjadikan itu sebagai suatu gerakan perubahan
sosial.7
Sejak tahun 1999 praktek kepengacaraan di lingkungan peradilan
agama telah ada, praktek tersebut hanya ditunjukan untuk memberikan jasa
pelayanan dan bantuan hukum dalam bidang Hukum Perdata Islam, dan
praktek kepengacaraan di lingkungan peradilan agama telah diatur dalam
UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.8
B. Pengertian Bantuan Hukum
Meskipun bantuan hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai
tanggung jawab negara namun pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara
7
Alpon Kurnia Palma, “Sistem Bantuan Hukum di Indonesia”, dalam Muhammad Yasin, Herlambang Perdana, ed., Pedoman Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), h. 464.
8
Indonesia adalah Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak
azasi manusia bagi setiap individu termasuk hak atas bantuan hukum.9
Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga negara
merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi
negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak azasi
warga negara akan membutuhkan akses terhadap keadilan (access to justice)
dan kesamaan dihadapan hukum (equality before the law) jaminan atas hak
konstitusi tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga
dibentuklah Undang-Undang Bantuan Hukum yang dijadikan dasar untuk
menjamin warga negara khususnya bagi orang atau sekelompok orang
miskin untuk mendapatkan akses keadilan (access to justice) dan kesamaan
dihadapan hukum.10
Acces to justice, akses terhadap keadilan erat kaitannya dengan
bantuan hukum sebagaimana pula dikenal dalam bahasa Ingris dengan
istilah legal aid atau legal services. Kedua istilah tersebut mengandung
makna sebagai jasa hukum yang diberikan oleh advokat atau pengacara
kepada kalangan masyarakat pencari keadilan.11
9
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peran Peradilan Agama dalam Pengembangan Access to justice di Indonesia, (T,tp: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2012), h. 20.
10
Ibid., h.20
11
Lebih dari itu, accses to justice dengan segala bentuknya merupakan
representasi dari hak mendapatkan akses keadilan bagi setiap orang. Dengan
kata lain, hak tersebut menjadi dasar bagi adanya pengakuan semua orang
sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law).12
Menurut Zulaidi (Anwar dan Adang, 2009:246) bantuan hukum
berasal dari istilah legal assistence dan legal aid.” Legal aid biasanya
digunakan untuk bantun hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa
dibidang hukum kepada orang yang terlibat dalam suatu perkara secara
cuma-cuma atau gratis bagi mereka yang tidak mampu (miskin). 13
Sedangkan pengertian legal assistance dipergunakan untuk
menunjukan pengertian bantuan hukum oleh para advokat yang
mempergunakan honorarium. Menurut Uli Parulian istilah bantuan hukum
mengalami perkembangan yaitu dari istilah legal assistence menjadi legal
aid.14
Bantuan hukum pada umumnya atau legal aid, diartikan sebagai
bantuan hukum (baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum, maupun
yang berupa menjadi kuasa dari pada seseorang yang berperkara) yang
diberikan kepada orang yang tidak mampu keadaan ekonominya, sehingga
12
Ibid., h.13-14.
13
Alpon Kurnia Palma, “Sistem Bantuan Hukum di Indonesia”, dalam Muhammad Yasin, Herlambang Perdana, ed., Pedoman Bantuan Hukum di Indonesia, h. 468.
14
Faris Vareryan Libert Wangge, “Bantuan Hukum Cuma-Cuma Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011”, artikel ini di akses pada 06 Agustus 2012 dari
ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seorang pembela atau
pengacara.15
Menurut Frans Hendra Winarta, bantuan hukum adalah konsep untuk
mewujudkan persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan
pemberian jasa hukum dan pembelaan (accses to legal counsel) bagi semua
orang dalam rangka keadilan untuk semua orang (justice for all).16
Lokakarrya Bantuan Hukum Tingkat Nasional pada tahun 1978,
mengertikan bantuan hukum sebagai kegiatan pelayanan hukum yang
diberikan kepada golongan yang tidak mampu (miskin) baik secara
perorangan maupun kepada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak
mampu secara kolektif.17
Undang-Undang Bantuan Hukum No. 16 Tahun 2011, yang
merupakan peraturan yang dijadikan landasan bantuan hukum di Indonesia,
dalam pasal 1 (a), yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah jasa
hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum.
Dalam Undang-Undang Bantuan Hukum penerima jasa bantuan
hukum adalah orang atau sekelompok orang miskin yang menghadapi
15
Santoso Poedjosoebroto, “Pemberian Bantuan Hukum oleh Fakultas Hukum Negeri dan Pelaksanaan Tugas Peradilan”. Dalam Pemberian Bantuan Hukum oleh Fakutas Hukum Negeri, (Jakarta: departemen penerangan RI, 1976), h. 61.
16
Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Di Indonesia, Hak di Dampingi Penasehat Hukum bagi Semua Warga Negara, h. 57.
17
masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik di luar
pengadilan maupun di dalam pengadilan.
Miskin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak berharta
atau serba kekurangan (penghasilannya sangat rendah).18 Dan yang
dimaksud dengan orang miskin menurut Undang-Undang Bantuan Hukum
adalah orang yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan
mandiri. Hak dasar adalah hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan,
layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan, atau tidak
mampu secara ekonomi yang dapat dibuktikan.19 Sebagaimana yang
dimaksud dalam PERMA No. 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian
Layanan Hukum Bagi Masyarakat Yang Tidak Mampu Di Pengadilan.20
Bantuan hukum adalah pemberian layanan hukum di pengadilan bagi
masyarakat yang tidak mampu di pengadilan, meliputi pembebasan biaya
perkara, sidang di luar gedung pengadilan, dan Posbakum pengadilan di
lingkungan peradilan umum, pengadilan agama, dan peradilan tata usaha
negara.21
Dengan memuat dasar hak setiap orang yang tersangkut perkara untuk
memperoleh bantuan hukum dan negara menanggung biaya perkara bagi
18
KBBI v1.1.
19
Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
20
PERMA No. 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan.
21
pencari keadilan yang tidak mampu, maka Mahkamah Agung mengeluarkan
SEMA No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum,
dimana SEMA ini mengatur lebih rinci mengenai bagaimana bantuan
hukum di peradilan dilaksanakan. Lalu SEMA tersebut digantiakan dengan
PERMA No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum
Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan .
C. Tujuan dan Ruang Lingkup Bantuan Hukum
Bantuan hukum memiliki tujuan yang berbeda-beda dari waktu ke
waktu bahkan dari satu negara ke negara lainya. Sejarah telah mencatat
bahwa bantuan hukum telah ada sejak zaman romawi.
Pada setiap zaman, arti dan tujuan pemberian bantuan hukum sangat
erat hubungannya dengan nilai-nilai moral, pandangan politik dan filsafah
hukum yang berlaku. Pada awalnya bantuan hukum bertujuan untuk
mendapatkan pengaruh dari masyarakat. Kemudian berubah menjadi sikap
kedermawanan (charity) untuk membantu kaum miskin.22Bahkan ruang
lingkup bantuan hukumpun masih sangat luas, meliputi sektor ekonomi,
sosial agama, dan adat.
Bersamaan dengan meletusnya Revolusi Prancis dan Amerika, tujuan
bantuan hukum mulai beranjak dari kedermawanan menjadi hak, karena
pada fase ini konsep bantuan hukum sudah dihubungkan dengan cita-cita
22
negara kesejahteraan dengan menggunakan alat hukum dan hak asasi
manusia.23
Tujuan hukum menurut Metzger (Zaidun, 1996) di negara
berkembang mengambil pemaknaan yang sama dengan negara barat, bahwa
bantuan hukum yang efektif adalah syarat yang esensial untuk berjalannya
maupun integritas peradilan yang baik, dan bantuan hukum menjadi
tuntutan bagi rasa perikemanusian.24
Tokoh bantuan hukum Indonesia yakni Adnan Buyung Nasution
berpendapat, bantuan hukum di Indonesia mempunyai tujuan dan ruang
lingkup yang lebih luas dan lebih jelas arahnya, arti dan tujuan program
bantuan hukum tersebut tercantum dalam anggaran dasar lembaga bantuan
hukum, yang intinya adalah sebagai berikut:25
“Disamping memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat yang
membutuhkannya, lembaga bantuan hukum berambisi untuk mendidik
masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dengan tujuan menumbuhkan
dan membina kesadaran akan hak-hak sebagai subyek hukum. Lembaga
23 Ibid.
24
Matzger menambah alasan lain adalah: untuk membangun suatu kesatuan system hukum nasional,b. untuk pelaksanaan yang lebih efektif dari peraturan-peraturan kesejahtraan social; c. untuk keuntungan si miskin; d. untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab yang lebih besar dari pejabat-pejabat pemerintahan atau birokrasi kepada masyarakat; e. untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat yang lebih luas kedalam proses pemerintahan; f. untuk memperkuat propesi. Di kutip dalam buku, pedoman bantuan hukum di Indonesia (Jakarta: yayasan obor Indonesia, 2014), h. 470.
25
bantuan hukum juga berambisi turut serta mengadakan pembaharuan hukum
dan perbaikan pelaksanaan hukum di segala bidang.”
Pernyataan di atas menuntukan bahwa ruang lingkup bantuan hukum
itu ternyata, tidak hanya memberi pelayanan bantuanan hukum saja akan
tetapi, mengadakan pendidikan hukum bagi masyarakat, serta mengadakan
pembaharuan hukum dan perbaikan pelaksaan hukum.
Gagasan bantuan hukum ini mula-mulanya timbul dalam anggaran
dasar lembaga bantuan hukum. Pada akhirnya tujuan dari program bantuan
hukum itu adalah untuk meningkatan kesadaran hukum warga masyarakat,
agar mereka menyadari hak-haknya sebagai manusia maupun sebagai warga
negara.26
Sebagian besar masyarakat kita tidak tahu dan tidak sadar bahwa
mereka mempunyai hak-hak dan kepentingannya dijamin oleh hukum.
mereka tidak tahu ada lorong-lorong hukum yang memberikan jalan untuk
mendapatkan dan memperjuangkan hak-haknya. Selain itu ada juga
memang masyarakat yang sudah tahu dan mengerti akan adanya pembela
diri. Tapi mereka enggan atau sungkan dan tidak mempunyai keberanian
moril untuk memperjuangkannya.27
26
Adnan Buyung Nasution (1976:35,36) di kutip dalam buku Soerjono Suekamto, dkk, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Galia Indonesia, 1983), h. 17
27
Secara umum, bantuan hukum dan advokat pengacara adalah
membantu yang mempunyai perkara dalam memperoleh hak-haknya dalam
proses penegakan hukum, baik di jalur pengadilan (litigation) maupun di
luar pengadilan (non litigation). 28 karena bantuan hukum merupakan hak
asasi manusia semua orang dan merupakan tanggung jawab negara, maka
hak tersebut tidak dapat dikurangi, dibatasi apalagi diambil oleh negara,
setiap orang yang terampas haknya dapat menerima bantuan hukum.
Bantuan hukum sesungguhnya merupakan hak konstitusional warga
negara, di mana negara wajib mengadakan bantuan hukum bagi masyarakat,
konstitusi menjamin hak setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang
sama di muka hukum, termasuk hak untuk mengakses keadilan melalui
pemberian bantuan hukum.
sebagaimana telah disebutkan dan dikatakan dengan jelas di dalam
Peraturan Undang-Undangan seperti;
1. Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut;
“Segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.”
Pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut;
28
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.”
Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Berikut;
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”
2. Pasal 35 di dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagai
berikut;
“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.
Di dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum, sebagai dasar bantun hukum di Indonesia, diberikan kepada setiap
orang atau kelompok orang orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak
dasar secara layak dan mandiri yang ruang lingkupnya meliputi masalah
hukum perdata, pidana, dan tata usaha negara baik di luar pengadilan
maupun di dalam pengadilan berhak didampingi oleh advokat yang
membantu dalam menyelesaikan perkara.
Dalam pasal 4 Undang-Undang No. 16 Tahun 2011;
1) Bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang
2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik
litigasi maupun non litigasi.
3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan /atau
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima
bantuan hukum.
Serta tujuan hukumnya terdapat dalam pasal 3 sebagai berikut;
Penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan untuk;
a. Menjamin dan memberikan hak bagi penerima bantuan hukum untuk
mendapatkan akses keadilan;
b. Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan
prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;
c. Menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan
secara merata diseluruh wilayah negara Republik Indonesia; dan
d. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Adapun dalam PERMA No. 1 Tahun 2014, berbeda dengan
Undang-Undang, di mana ruang lingkup bantuan hukum bagi masyarakat tidak
mampu di pengadilan sebagai berikut: pertama, layanan pembebasan biaya
perkara yakni di mana negara menanggung semua biaya proses berperkara
Kedua, sidang di luar gedung pengadilan yang dilakukan oleh
pengadilan dilaksanankan secara tetap, berkala, sidang tersebut dilakukan di
suatu tempat di mana tempat tersebut masih dalam wilayah hukumnya.
Ketiga, Posbakum yang dibentuk di setiap pengadilan tingkat pertama,
yang memperikan pelayanan bagi orang yang berperkara berupa informasi,
konsultasi, dan advis hukum serta pembuatan dokumen hukum yang
diperlukan.
Tersurat dalam PERMA No. 1 Tahun 2014 pasal 4 sebagai berikut;
Ruang lingkup bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu di
pengadilan terdiri dari;
1) Layanan pembebasan biaya perkara
2) Pelayanan sidang di luar gedung pengadilan dan
3) Penyediaan Posbakum di pengadilan.
Serta tujuan dari bantuan hukum yang terdapat dalam PERMA No. 1
Tahun 2014 pasal 3 sebagai berikut:
Tujuan layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan
adalah untuk;
a. Meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat
b. Meningkatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat yang sulit
atau tidak mampu menjangkau gedung pengadilan akibat
keterbatasan biaya, fisik dan geografis;
c. Memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak mampu
mengakses konsultasi hukum untuk memperoleh informasi,
konsultasi, advis, dan pembuatan dokumen dalam menjalani proses
hukum di pengadilan;
d. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang
hukum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan terhadap
hak dan kewajibannya; dan
e. Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.
D. Negara Menjamin Bantuan Hukum
Perjuangan bantuan hukum selalu dituntut adanya rekayasa untuk
memihak kepada rakyat miskin yang lemah dan buta hukum.29YLBH
Indonesia berperan dalam menginisisasi terbitnya UU Bantuan Hukum, saat
dilaksanankan pertemuan puncak bantuan hukum yang dibuka secara resmi
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 April 2006.30
29
Adnan Buyung Nasution, “Hukum dan Kendala Pemerataan Keadilan”, dalam Artidjo Alkostar, ed., Perkembangan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta : CV. Rajawali, 1985), h. 190.
30
Alpon Kurnia Palma, “Sistem Bantuan Hukum di Indonesia”, dalam
Sejak saat itu, advokasi kebijakan untuk mendorong penyusunan
bantuan hukum dan pemasukannya sebagai salahsatu RUU prioritas dalam
Program Legislasi Nasional (Proglegnas) terus dilakukan.31Tanggung jawab
negara untuk menjamin pemberian bantuan hukum di Indonesia merupakan
sebuah perjalanan yang cukup panjang.
Pada tanggal 2 November 2011 Presiden mengesahkan UU Bantuan
Hukum. Pengesahan UU No. 16 Tahun 2011 itu menjadi babak baru dalam
pemberian bantuan hukum di Indonesia. Pemberian bantuan hukum yang
awalnya hanya dijalankan secara swasta oleh lembaga bantuan hukum
(LBH) dan organisasi kepengacaraan berdasarkan prinsip pro bono32yang
diatur dalam UU tentang advokat dan Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun
2008, bertransformasi menjadi tanggung jawab negara. 33
Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 (pasal 2) dan
penjelasannya, bantuan hukum dilaksanakan berdasarkan pada asas-asas
sebagai berikut; asas keadilan;34 persamaan kedudukan di dalam hukum;35
31
Alpon Kurnia Palma, “Sistem Bantuan Hukum di Indonesia”, dalam Muhammad Yasin, Herlambang Perdana, ed., Pedoman Bantuan Hukum di Indonesia, h.477.
32
Istilah pro bono adalah pemberian layananan/bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu.
33
Alpon Kurnia Palma, “Sistem Bantuan Hukum di Indonesia”, dalam
Muhammad Yasin, Herlambang Perdana, ed., Pedoman Bantuan hukum di Indonesia, h.476
34
Asas keadilan adalah menempatkan hak dan kewajiaban setiap orang secara proporsional, patut, benar, baik dan tertib.
35
keterbukaan;36efisiensi;37 efektifitas;38 dan akuntabilitas39. Beberapa asas
tersebut merupakan asas pelaksanaan Undang-Undang Bantuan Hukum.
Di dalam penyelenggaraan bantuan hukum (pasal 6, dan 7) pemberian
bantuan hukum dalam Undang-Undang di selenggarakan oleh menteri40 dan
dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum berdasarkan undang-undang
ini41. Menteri berwenang untuk melakukan verifikasi dan akreditasi
terhadap lembaga bantuan hukum yang nantinya akan memberikan bantuan
hukum serta menerima subsidi berdasarkan Undang-Undang .
Adapun lembaga bantuan hukum sebagai memberi bantuan hukum
(pasal 10) berkewajiban untuk, melaporkan program bantuan hukum kepada
menteri, melaporkan setiap pengguna anggaran negara yang digunakan
untuk pemberian bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang,
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bantuan hukum bagi advokat,
paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang di rekrut sebagai mana
pasal 9 huruf a; menjaga kerahasiaan data, informasi dan /atau keterangan
36
Asas keterbukaan adalah memberiakn akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi secara lengkap, benar jujur, dan tidak memihak dalam mendapatkan jaminan keadilan atas dasar hak secara konstitusional.
37
Asas efisiensi adalah memaksimalkan pemberian bantuan hukum melalui penggunaan sumber anggaran yang ada.
38
Asas efektivitas adalah menentukan pencapaian tujuan pemberian bantuan hukum secara tepat.
39
Asas akuntabilitas adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan bantuan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
40
Mentri adalah mentri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum dan hak asasi manusia.
41
yang diperoleh dari penerima bantuan hukum berkaitan dengan perkara
yang sedang ditanganinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang
dan; menberikan bantuan hukum berdasarkan syarat dan tata cara yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai, kecuali
ada alasan yang sah secara hukum.
Hak dan kewajiban penerima bantuan hukum terdapat dalam (pasal
12), adapun hak peneriama bantuan hukum, mendapatkan bantuan hukum
hingga masalahnya selesai dan/atau perkaranya telah mempunyai hukum
tetap, selama beneriama bantuan hukum yang bersangkutan tidak mencabut
serat kuasa, mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan standar bantuan
hukum dan/atau kode etik advokat, dan mendapatkan informasi dan
dokumentasi yang berkaitan dengan pelaksanaan bantuan hukum sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
Penerima bantuan hukum berkewajiban (pasal 13) sebagai berikut:
menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar
kepada penerima bantuan hukum, membantu kelancaran pemberian bantuan
hukum.
Adapun syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum (pasal 14)
sebagai pemohon bantuan hukum harus memenuhi syarat-syarat:
a. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi
sekurang-kurangnya identitas permohonan dan uraian singkat mengnai
b. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara, dan
c. Melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau
pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon bantuan hukum.
Jika pemohon bantuan hukum tidak mampu menyusun permohonan
secara tertulis, pemohon secara tertulis, pemohon dapat diajukan secara
lisan. Tata cara pemberian bantuan hukum terdapat dalam (pasal 15), yakni
pemohon bantuan hukum permohonan bantuan hukum kepada pemberi
bantuan hukum, maka dalam waktu paling lama 3 (hari) kerja setelah
permohonan bantuan hukum dinyatakan lengkap harus memberikan
jawaban menerima atau menolak permohonan tersebut, dalam hal
permohonan diterima, pemberi bantuan hukum memberikan bantuan hukum
berdasarkan surat kuasa khusus dari penerima bntuan hukum, dalam hal
permohonan ditolak, pemberi bantuan hukum mencantumkan alasan
penolakan.
Peranan bantuan hukum diperlukan dan digunakan untuk
penyelenggaraan bantuan hukum yang sesuai dengan Undang-Undang
Bantuan Hukum ini yakni dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan pemerintah wajib mengalokasikan dana
penyelenggaraan bantuan hukum tersebut pada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum dan hak asasi
Undang-Undang No. 16 tahun 2011 adalah Undang-Undang Bantuan
Hukum yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum
yang telah diseleksi, verifikasi, dan akreditasi, yakni lembaga bantuan
hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan hukum
40
A. Awal Mula Posbakum dan Perkembangannya
Persoalan bantuan hukum di Indonesia merupakan salah satu
persoalan yang hingga saat ini masih cukup memprihatinkan dan belum
dapat terpecahkan secara memuaskan. Masih banyak para pencari keadilan
yang tidak mampu secara ekonomi tidak dapat menikmati haknya untuk
dapat memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma.1
Dalam tatanan normatif, tentunya pemerintah mempunyai kebijakan
hukum untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi para
pencari keadilan yang tidak mampu, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28
D (1), pasal 56 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekeuasaan
Kehakiman, pasal 68 B dan 68 C UU No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan
Umum, pasal 60 B dan 60 C UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan
Agama dan pasal 144 C dan 144 D UU No. 51 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang tersebut menunjukan bahwa setiap orang yang
bersangkutan perkara berhak memperoleh bantuan hukum serta negara
1
dalam hal ini menanggung biaya perkaranya bagi pencari keadilan yang
tidak mampu.
Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang tentang
Bantuan Hukum yakni Undang-Undang No. 16 Tahun 2011, dalam upaya
memenuhi access to justice, dalam rangka mengatasi persoalan hukum dan
pemberian bantuan hukum secara optimal bagi pencari keadilan.
Salah satu bentuk respon positif dari lahirnya Undang-Undang
tersebut adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia merumuskan tiga
kebijakan penting yang berkaitan dengan access to justice, yakni
pembebasan biaya perkara, sidang keliling, dan Pos Bantuan Hukum
(Posbakum).
Sebelumnya, pada Agustus 2010 Mahkamah Agung telah mengambil
langkah signifikan dalam mendorong upaya agar akses masyarakat miskin
dan marginal dapat ditingkatkan. Langkah strategis yang ditempuh
Mahkamah Agung adalah menyempurnakan mekanisme bantuan hukum
pada pengadilan.2
Langkah tersebut antara lain adalah dikeluarkannya Surat Edar
Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman
Pemberian Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan.
Pembebasan biaya perkara, sidang di luar gedung pengadilan, dan
2
pembentukan Posbakum menurut ketentuan SEMA No. 10 Tahun 2010
adalah tiga bentuk bemberian layanan hukum bagi masyarakat yang tidak
mampu di pengadilan.
Posbakum di pengadilan adalah layanan yang dibentuk oleh dan ada
pada setiap Pengadilan tingkat pertama untuk memberikan layanan hukum
berupa informasi, konsultasi, dan advis hukum, serta perbuatan dokumen
hukum yang dibutuhkan sesuai dengan Peraturan Undang-Undang yang
mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Tata Usaha Negara.3
Posbakum ternyata sudah lama eksis keberadaannya. Yakni pada awal
tahun 1976, Yan Apul sebagai Sekretaris Peradin pada waktu itu, adalah
orang yang menggagas perlu adanya advokat pemberi bantuan hukum
secara cuma-cuma di pengadilan.
Gagasan Yan Apul, bermula dari kepusingan menyalurkan anak
didiknya di sekolah kursus advokat. Hingga suatu waktu, Apul pergi ke PN
Jakatra Barat, bersama dengan adanya kunjungan Ketua Asosiasi Advokat
dari Jepang.4 Siang itu ketika melihat sejumlah tahanan di giring ke
Pengadilan, advokat dari Jepang menanyai Apul tentang ketidak didampingi
sejumlah tahanan tersebut oleh pengacara, dengan berdiskusi bersama Jaksa
3
PERMA No. 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan.
4
Agung, hingga akhirnya Yan Apul mendirikan Pos-Pos Bantuan Hukum di
pengadilan. Maka lahirlah Posbakum, dengan nama yang dipakai hingga
kini.
Adapun dana Posbakum saat itu, dibantu oleh Departemen
Kehakiman, sebagian lagi di dapat dari klien, dan dalam perkembangannya,
Posbakum tersebut tidak hanya menangani perkara pidana saja, Posbakum
juga menyediakan layanan konsultasi dan penangan perkara perdata, dari
penanganan perkara perdata tersebut ternyata, advokat yang bertugas di
Posbakum pengadilan negeri dapat menghidupi diri.
Berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan bahwa ternyata Pos
Bantuan Hukum cuma-cuma tersebut tidak geratis yang dibanyangkan,
sehubungan sejak lembaga peradilan di dalam administrasi keuangannya di
satu atapkan ke Mahkamah Agung.
Posbakum merupakan pranata baru di pengadilan agama.
Keberadaanya merupakan implementasi dari amanat pasal 60 C ayat 1
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, yang mewajibkan pembentukan
Posbakum pada setiap Peradilan Agama/Mahkamah syar’Iyah untuk pencari
keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.5 Pada
tahun 2010, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung
Republik Indonesia melakukan persiapan dan perencanaan untuk pendirian
5
Posbakum. Posbakum di peradilan agama mulai beroperasi pada tahun
2011.
Walaupun berdasarkan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 itu
Posbakum harus ada di setiap peradilan agama, namun implementasinya
dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2011 Posbakum ada di 46 Peradilan
Agama, Tahun 2012 Posbakum meningkat menjadi 69 di Peradilan Agama,
tahun 2013 Posbakum tidak beroperasi sebagai akibat dari adanya UU No.
16 Tahun 2011 dimana penyelenggaraan dan anggaran Posbakum dari
Mahkamah Agung kepada Menkum HAM belum berjalan, dan tahun 2014
Pobakum bertambah menjadi 74 Posbakum.
Pada tahun 2011, peradilan agama memperoleh anggaran untuk
Posbakum sebesar Rp. 4.182,500.000 anggaran tersebut dialokasikan untuk
46 Peradilan Agama /Mahkamah Syar’iyah seluru Indonesia sebagai proyek
percontohan (pilot project) Posbakum yang mulai aktif berjalan sejak Maret
2011. Target layanan Posbakum PA pada tahun 2011 sebanyak 11.553.
hingga akhir Desember 2011 terjadi peningkatan tajam menjadikan
peningkatan sebesar 300% yaitu dengan jumlah 34.647 jasa layanan.6
Penyelenggaraan Posbakum pada tahun 2011 di 46 peradilan agama
yang dibiayai oleh DIPA dinilai berhasil. Pejabat Jendral pada pengadilan
agama melakukan kunjungan hampir ke semua pengadilan agama
penyelenggara Posbakum dan mendapatkan apresiasi dari para pencari
6
keadilan. Laporan secara nasional yang di himpun oleh Badilag menunjukan
adanya kebutuhan yang besar dari masyarakat yang tidak mampu terhadap
Posbakum.7
Adapun DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Angaran) yang diserahkan
kepengadilan adalah biaya untuk melaksanakan layanan hukum bagi
masyarakat tidak mampu dipengadilan yang dibebankan kapada negara
melalui Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan setelah itu diserahkan
dana tersebut kepada Direktorat Jenderal Peradilan Agama.
Purwosusilo merinci, pada tahun 2012, Posbakum di 69 peradilan
agama diberikan target 11.553 jasa layanan dengan anggaran Rp. 4,249
miliar. Hasilnya, ke 69 Posbakum berhasil memberikan 55. 860 jasa
layanan, dengan serapan anggaran mencapai Rp. 3, 272 miliar.8
Di tahun 2013, penyelenggaraan dan anggaran bantuan hukum yang
diselenggarakan oleh dan berada Mahkamah Agung dialihkan kepada
Kementrian Hukum dan Hak Azasi manusia sebagai implementasi dari
Undang-Undang No. 16 Tahun 2011.
7
Wahyu Widiana, “Posbakum Oh Posbakum”, artikel ini diakses pada 1 Mei 2012 dari http://badilag.net/index.php?option=com&view=artkel&id=10832&caid=170& itemid=101
Rencana awalnya bantuan hukum oleh Kementerian harus sudah
mulai berjalan pada tahun 2013, ternyata banyak hal teknis yang belum
selesai.
Dan terakhir pada tahun 2014 Posbakum bertambah 5 menjadi 74
Posbakum.9 Dan dari jumlah Posbakum pengadilan agama yang bertambah
maka layanan yang telah dicapai secara Nasional sebanyak 82,145 layanan
dari data laporan tahun 2014 Mahkamah Agung Republik Indonesia.10
Dengan jumlah anggaran sebesar 4, 3 Miliar dan target 43.152 jam
layanan.11
B. Posbakum di Pengadilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2014.
1. Pembentukan Posbakum Pengadilan.
Dimana sebelumnya telah dibahas bahwa SEMA No. 10 tahun 2010
tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, telah diganti dengan PERMA
No. 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi
Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan yang berasaskan kepada keadilan,
sederhana, cepat, dan biaya ringan, non diskriminasi, transparansi,
akuntabilitas, evektifitas dan efisiensi, bertanggungjawab dan, propesional.
9
Hermansyah, “tahun 2014, Posbakum Bertambah 5 menjadi 74” , artikel ini di akses pada dari http://www,badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/tahun-2014-posbakum-bertambah-5-menjadi-74-111.
10
Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2014, h. 116