• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rakut Si Telu: Studi Sosiologis terhadap Rakut Si Telu sebagai Identitas Sosial bagi Masyarakat Karo Diaspora Yogyakarta"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Empat

4.Rakut Si Telu Sebagai Pembentuk Identitas Sosial.

Pada bagian ini penulis akan menganalisa temuan berdasarkan teori yang dipakai. Temuan yang ditemukan penulis seperti Konsep diri orang Karo, Pemahaman jemaat GBKP Yogyakarta terhadap rakut si telu, pelaksanaan peradatan di Yogyakarta, arisan masyarakat Karo serta perpulungen jabu-jabu. Komponen-komponen ini ditemukan penulis selama penelitian. Dan hal diatas dijadikan jemaat GBKP Yogyakarta sebagai ruang atau tempat dimana rakut si telu menjalankan fungsi dan tujuannya sebagai perekat kehidupan masyarakat Karo di dalam perantauan.

Rakut si telu sebagai pembentuk identitas sosial berarti fungsi-fungsi dan peran

kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru terlihat di Yogyakarta sebagai pembentuk identitas

(2)

Bagan di atas merupakan kajian sosiologis terhadap teori identitas yang dipakai dan dihubungkan dengan temuan yang diperoleh oleh penulis. Proses pembentukan identitas dalam masyarakat Karo di GBKP Yogyakarta dapat dilihat pada bagan di atas. Jalinan interaksi simbolik menjadi hal yang sangat penting didalam proses pembentukan identitas. Disusul dengan situasi masyarakat Karo di GBKP Yogyakarta dalam melaksanakan peradatan dan usaha-usaha yang mereka lakukan demi mempertahankan budaya Karo yang terintegrasikan didalam rakut si telu/sangkep nggeluh.

Orang Karo Sebagai Aktor

Sistem Sosial Peradatan Suku Karo

Situasi Masyarakat Karo Di GBKP

Yogyakarta Sumber Interaksi

Pelaksanaan Rakut Si Telu

Interaksi Simbolik Bahasa, Karakter,

Sangkep Nggeluh

(3)

4.1. Identifikasi Diri Tentang Orang Karo Sebagai Pembentuk Awal Identitas Sosial.

Realitas adanya suatu masyarakat tidak bisa terlepas dari suatu proses ataupun kemampuan untuk mengenali suatu konsep diri dan tindakan diri seseorang. Dengan adanya realitas itu seseorang akan mulai mengenali dirinya melalui tindakannya berdasarkan realitas lingkungan yang mengikutinya. Realitas-realitas itu memampukan seseorang memiliki pengalaman atau refleksi tentang keadaan dirinya dan siapa dirinya. Sehingga konsep diri seseorang bisa jadi ditentukan oleh keadaan lingkungan yang menjadi konteks individu melakukan suatu tindakan sosial.

Individu secara sadarnya akan menemukan atau mengidentifikasi dirinya untuk tetap bertahan dalam situasi dan sistem sosial yang individu ikuti dan yang diterapkannya. Dengan memiliki kemampuan mengidentifikasi dirinya dan orang lain, individu mampu bertahan dan tetap menunjukkan siapa dirinya. Oleh sebab itu Konsep diri dan dirinya menjadi suatu objek kajian sosial yang tidak terlepas dari makna dirinya. Sehingga kekuatan individu berawal dari mereka yang mampu melakukan tindakan sosial berdasarkan dirinya dan konsep diri yang sudah melekat dalam dirinya.

(4)

meninggalkan karakteristik dirinya sebagai orang Karo yang berbudaya dan orang Karo yang memiliki fungsi sosial. Secara mendasar, bagaimana orang Karo bisa menkonsepkan dirinya sebagai orang Karo. Dalam bab dua membagi Konsep diri menjadi dua hal yaitu “i” dan “me”

Konsep tentang diri terdiri dari "i" dan "me" membawa perhatian terhadap hubungan antara persepsi dan tindakan yang dipandu oleh pikiran. "i" adalah aspek agen-aktor dari diri sendiri yang memulai tindakan untuk membawa konsekuensi atau niat yang diinginkan. "i" adalah perseptif-pengamat aspek diri yang melihat aksi, melihat lingkungan, melihat hubungan dan memandu aktivitas "me" untuk mencapai tujuan akhir. "i" bukan hanya persepsi individu, namun karena juga mengandung pengetahuan sosial tentang komunitas atau budaya dimana individu tersebut hidup.1 Berdasarkan teori di atas diatas Masyarakat Karo dihubungkan dengan persepsi dan tindakan yang mengikutinya.

Dalam Perspektif “i” masyarakat Karo ditandai dengan merga/beru yang mereka miliki dan yang mereka dapati dari orang tua mereka. Merga dan beru ini merupakan identitas awal masyarakat Karo dan ini dijadikan sebagai pengetahuan yang sudah melekat dalam diri masyarakat Karo.Selain itu perspektif “i” dalam diri masyarakat Karo mengenal tutur ( budaya kekerabatan/perkenalan dalam suku Karo) artinya memiliki pengetahuan tentang budaya Karo dan mengenal sangkep nggeluhnya.

Dan hal itu melekat dalam diri individu Karo. dan pengetahuan akan budaya Karo atau dalam hal ini sangkep nggeluhnya dikonsepsikan dalam pikirannya sebagai hal yang menentukan sikap individu Karo untuk bertindak dalam ruang publiknya bersama masyarakat Karo.2 Persepsi tentang orang Karo harus dimulai dengan suatu perspektif bahwa orang Karo ialah masyarakat

1

Burke and Stets,” Identity of Theory”, 19-20.

2

(5)

yang sangat membutuhkan orang lain terutama kepada sesama orang Karo, hal ini berkaitan tentang masyarakat Karo merantau pasti akan menjunjung tinggi dan melaksanakan budayanya sebagai media pertahanan diri terhadap perkembangan zaman yang ada.

Masyarakat Karo harus memiliki pemahaman dan pengetahuan terhadap merga atau tutur (mengenal sangkep nggeluhnya) dengan mereka memahami kedua hal ini masyarakat Karo akan bisa menjalankan kehidupannya sebagai orang Karo yang berbudaya, sebab kedua hal di atas menjadi hal yang mendasar di dalam orang Karo, dan dengan mengenal merga dan

sangkep nggeluhnya masyarakat Karo akan tahu bagaimana untuk bersikap seperti menghormati

kalimbubunya, memiliki hubungan dekat dengan senina/sembuyak serta menyayangi

anakberunya.

Kemudian perspektif “i” di dalam diri orang Karo juga terlihat dari kemampuan mereka

yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sosial mereka tentang komunitas orang Karo dan budaya orang Karo itu sendiri. Budaya Orang Karo yang dimaksud ialah mengenal bagaimana proses peradatan perkawinan/kematian, pelaksanaan runggu (musyawarah), komunitas/arisan orang Karo dan ertutur (bersikap ramah dan sopan kepada masyarakat Karo) sebab hal ini ternyata tidak terlepas dari kehidupan jemaat GBKP Yogyakarta sebagai masyarakat Karo.

(6)

misalnya dalam hal peradatan perkawinan, kematian, arisan dalam komunitas Karo dan

perpulungen jabu-jabu (ibadah keluarga) di GBKP Yogyakarta.

Kemudian konsep diri yang ditawarkan Peter Burke dan Jan Stets dalam perspektif “me”.

Mereka mengemukakan bahwa konsep diri “i” ialah fase dari diri "me”, “me” memulai tindakan yang kemudian berada di bawah arahan, kontrol, dan bimbingan dari "i”3. Jika dilihat dalam

mengidentifikasi orang Karo, secara umum “me” yang dimaksud disini ialah bagaimana orang

Karo bertindak berdasarkan konsep diri (saya) yang sudah melekat dalam dirinya. Konsep diri orang Karo yang sudah melekat itu ialah orang Karo yang memiliki merga, yang menjalankan adat-istiadat dan mengenal dan memahami sangkep nggeluh atau yang sering disebut rakut si telu. Sehingga “me” merupakan tindakan atas konsep yang sudah identifikasikan. Berarti secara

sosial, bahwa “me” adalah orang Karo yang melakukan konsep diri yang melekat dalam persepsi

orang Karo tersebut. Sehingga orang karo dalam hal “me” ialah orang yang memiliki aksi sosial

berbasis budaya Karo dan memiliki fungsi sosialnya didalam masyarakat.

me” disini ialah adalah orang Karo yang memiliki peran dalam rakut si telu.Orang Karo

yang memiliki peran dalam rakut si telu itu ialah yang menghormati kalimbubu, bersaudara atau

senina/sembuyak dan menyayangi anak berunya dan pada hakekatnya Itulah fungsi sosial orang

Karo. Orang Karo Diaspora terkhususnya di Yogyakarta memaknai dirinya sebagai kumpulan orang Karo yang tetap membawa konsep awalnya sebagai orang Karo yang berbudaya, bermerga dan tetap melaksanakan tinggi adat istiadat dan rakut sitelu. Hal ini menjadi 3 dasar orang Karo Diaspora yang untuk tetap menjadi orang Karo. Kemudian bagaimana orang Karo tetap menjalankan peran mereka sebagai rakut si telu yang menjadi identitas sosial orang Karo di Yogyakarta.

3

(7)

Konsep diri orang Karo yang telah dikonsepkan diatas baik perspektif “i” dan “me” mengarah kepada konsep budaya orang Karo yang disebut rakut si telu. Hal ini ditandai dengan konsep diri “i” yang memiliki merga, memahami adat istiadat dan memiliki peran sosial di dalam kehidupannya sebagai orang Karo. Konsep diri “me” terlihat dari bagaimana aksi sosial yang

berdasarkan konsep diri “i” yang melekat di dalam orang Karo itu sendiri. Ketiga konsep dasar

orang Karo diatas merupakan suatu peran yang harus membutuhkan rakut si telu sebagai pelaku sosial dalam mempertahankan ketiga hal tersebut. Rakut si telu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan orang Karo.

Itu sudah dimiliki oleh tiap-tiap individu orang Karo. tanpa memiliki merga orang Karo tidak bisa mempunyai peran mereka di rakut si telu. Sebab dengan adanya merga orang Karo mampu diklasifikasikan sebagai kalimbubu, senina dan anak beru. Sehingga merga menjadi suatu instrument yang sangat penting didalam rakut si telu. Kemudian konsep diri kedua yaitu orang Karo yang memahami budaya dan adat istiadat. Di dalam adat-istiadat orang Karo, rakut si

telu menjadi tiang budaya bagi masyarakat Karo. mereka lah yang mampu menjalankan budaya

dan adat istiadat orang Karo, tanpa mereka adat-istiadat orang Karo tidak berjalan dengan baik. Bahkan tidak dianggap sah jika rakut si telu tidak lengkap.

Hal ini menandakan bahwa orang Karo memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Serta memiliki hubungan emosional secara praktik budaya dan fungsi sosialnya. Polarisasi semacam ini sama seperti konsep ketiga yaitu yang memiliki peran sosial dalam masyarakat Karo. Dimana orang Karo harus menjalankan fungsi sosial mereka sebagai pelaku sosial yang memiliki peran didalam rakut si telu. Penjelasan tentang bagaimana penerapan rakut si telu akan

dibahas dalam penjelasan berikutnya untuk mendukung konsep “i” dan “me” yang menjadi dasar

(8)

4.2. Bahasa, karakter diri, sangkep nggeluh sebagai simbol interaksi dalam jemaat GBKP Yogyakarta.

Simbol berkaitan dengan tanda-tanda, biasanya dilihat dari situasi dimana tanda tersebut disimpulkan oleh individu yang merasakan simbol tersebut. Sehingga simbol dan tanda sebenarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja, mereka memiliki jalinan sosial antara tanda simbol. Dimana tanda merupakan konsep umum dari simbol. Makna tanda akan memiliki implikasi terhadap identitas seseorang. 4 Tanda dan simbol tidak bisa dilepaskan begitu saja sebab kedua hal ini saling mengikat dan berhubungan. Tanda merupakan bentuk dari simbol yang melekat dalam diri seseorang. Sehingga hal itu menjadi kekuatan simbolik bagi suatu individu. Tanda dan simbol itu terlihat dari bagaimana bahasa, karakter diri dan pemahaman budaya tentang sangkep

nggeluh yang dialami dan dirasakan oleh jemaat GBKP Yogyakarta.

Berdasarkan pengamatan dan penelitian penulis, bahwa ada tiga hal yang menjadi simbol interaksi di dalam jemaat GBKP Yogyakarta. Simbol-simbol ini berupaya untuk tetap mempertahankan dan mendukung jemaat GBKP Yogyakarta dari sistem-sistem interaksi. Sistem interaksi itu seperti aturan-aturan gereja, peradatan karo yang terjadi dan interaksi yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari jemaat GBKP di Yogyakarta. Ketiga hal itu tersebut ialah bahasa, karakter diri dan sangkep nggeluh.

Pertama bahasa, pada umumnya jemaat di GBKP Yogyakrta masih fasih berbahasa Karo, beberapa narasumber sangat fasih dalam berbahasa Karo, selain itu ibadah minggu juga menggunakan bahasa. Hal ini menandakan bahwa bahasa Karo masih menjadi kekuatan diri yang masih dipegang dan dipergunakan. Tidak hanya orang tua, anak-anak yang ada di Gereja

4

(9)

GBKP Yogyakarta juga bisa berbahasa Karo. Ini menandakan juga orang tua masih mengajarkan bahasa Karo sebagai bahasa budaya yang tidak boleh ditinggalkan. Hal ini terlihat ketika ibadah berlangsung, komunikasi antar jemaat di dalam gereja dan dilluar gereja ketika selesai beribadah. Mereka masih menggunakan bahasa Karo sebagai alat untuk berkomunikasi.

Bahasa menjadi aspek mendasar dikarenakan itu merupakan simbol dan tanda yang muncul. Tanda ini langsung terhubung kepada objek, pikiran dan tindakan seseorang seperti apa yang dijelaskan Peter Burke dan Jan Stets dalam bukunya identity of theory. Dan ditambahkan lagi bahwa seorang individu mengenal siapa dirinya dalam suatu budaya dan komunitas. Melalui bahasa individu akan mampu bertahan dalam struktur sosial dan sistem sosial yang diikutinya. Terhubung ke objek berarti bahasa menjadi pusat untuk berinterkasi dimana dalam hal ini jemaat GBKP Yogyakarta mempertahankan bahasa Karo sebagai kekuatan mendasar bagi membangun pola komunikasi dengan orang lain. kemudian hal ini berkaitan dengan bagaimana bahasa memberikan pengalaman langsung bagi jemaat GBKP Yogyakarta. Sebab dengan fasih berbahasa Karo, sesamanya juga akan memiliki penghargaan yang lebih bagi dirinya. Karena memang bahasa menjadi sumber utama masyarakat Karo berinteraksi secara budaya.

(10)

kandung siapa yang akan menjadi sangkep Nggeluh mereka.5 Dengan cara begitu mereka mampu mempertahankan budaya Karo di tengah perantauan. Ini menjadi strategi orang Karo di Yogyakarta untuk bisa tetap memahami rakut si telu didalam kehidupan sosial mereka.

Mereka tidak hanya memahami rakut si telu sebagai suatu warisan budaya saja, melainkan pemahaman mereka sudah sampai kepada tataran sosial yaitu rakut si telu menjadi kekuatan sosial mereka untuk tetap bisa bertahan hidup dan bersosialisasi dengan orang Karo. Artinya mereka mengangkat sangkep nggeluh bukan hanya untuk memenuhi kewajiban norma budaya yang mengharuskan memiliki sangkep nggeluh tetapi mereka menganggap itu menjadi kebutuhan mendasar sebagai orang Karo yang merantau. Sebab sangkep nggeluh lah yang nantinya akan menjadi keluarga terdekat mereka. Sehingga bukan sebagai tuntutan budaya melainkan untuk memperkuat rasa kekeluargaan di tanah rantau.

Ada jemaat yang kemalangan atau yang mengalami kesusahan baik secara ekonomi dan persoalan lainnya. Kalimbubu, senina dan anak beru yang telah diangkat oleh jemaat tersebut pada umumnya memiliki kewajiban untuk membantu jemaat tersebut. Biasanya jika terjadi hal demikian jemaat yang bersangkutan akan datang terlebih dahulu kepada senina ( orang yang satu merga dengannya jika itu laki-laki) sebab posisi senina ialah mendengarkan curhatan dan kesusahan dari orang lain. Kemudian mereka akan datang kepada anak beru dari jemaat yang bersangkutan untuk memohon agar diberitahu kepada kalimbubu jemaat yang bersangkutan agar dapat dibicarakan. Sebab kalimbubu memiliki fungsi untuk memberi saran, solusi dan berhak untuk membantu jemaat yang bersangkutan. Demikinalah proses sangkep nggeluh yang terjadi.

5

(11)

ini menandakan bahwa orang Karo sangat dekat sekali dengan sangkep nggeluhnya dan mereka tidak bisa hidup secara utuh tanpa bantuan dari orang lain terkhusus dari sangkep nggeluhnya.

Ketiga, identitas awal orang Karo diaspora Yogyakarta terlihat dari ciri orang Karo disana yang sudah mulai demokratis sosialis. Artinya, orang Karo tidak hanya hidup dan memperhatikan orang Karo saja, melainkan sudah berbicara tentang bagaimana menolong sesama manusia. identitas ini menjadi penting dikarenakan, orang Karo pada umumnya memiliki kebiasaan yang pandai bersaudara dan mengambil hati orang lain.6 Tidak hanya itu,orang Karo sudah terbiasa hidup dengan polarisasi yang sudah ada di peradatan suku Karo, yang dimana didalamnya sangat menjunjung nilai persaudaran, kemanusiaan dan budaya yang tinggi. Sehingga sifat demokratis sosialis sangat kelihatan. Itu saya alami sendiri kita sampai di GBKP Yogyakarta, beberapa jemaat yang kebetulan bertemu dengan saya, langsung menawarkan tempat tinggal danmembantu proses penelitian saya. 7

Keempat, identitas awal orang Karo diaspora sampai kepada karakteristik orang Karo itu sendiri. Karakteristik orang Karo pada umumnya ialah tekun, pekerja dan tidak mudah menyerah. Itu terlihat dari keberhasilan orang Karo yang merantau di Yogyakarta. Baik secara materi dan secara kehidupan sosial mereka bersama masyarakat. Mereka sangat ramah, mudah bergaul dan rendah hati. Ini menjadi penanda bahwa orang Karo dengan identitas sangat melekat dalam dirinya. Dengan prinsip memiliki kesamaan nasib pergi merantau dan pernah hidup susah, dan pernah ditolong sehingga menyebabkan hal itu mereka lakukan kepada orang Karo merantau

6

Lihat pada bagian II tentang Karakteristik dan sifat orang Karo. Wawancara dengan Jekonia Tariga Pt. Em. Madison Ginting & Ibu Rosdiana B.Sc. Halaman 34.

7

(12)

juga. Sikap tolong menolong, memikirkan orang lain sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa bahasa, karakter diri, dan sangkep nggeluh merupakan simbol interaksi bagi jemaat GBKP Yogyakarta. Simbol-simbol ini membuat jemaat dapat bertahan dari sistem interaksi yang mereka jalankan. Dan bisa dikatakan juga bahwa ketiga unsur di atas ialah sumber interaksi yang akan bisa memunculkan sistem interaksi. Sistem interaksi ini terlihat di peradatan dalam masyarakat Karo. Seperti apa yang dikatakan Peter Burke dan Jan Stets dalam bukunya identity of theory bahwa sumber interaksi berfungsi untuk mempertahankan pengetahuan/budaya terhadap sistem interaksi yang terjalin di dalam kehidupan jemaat GBKP Yogyakarta.

Mungkin saja kalau orang Karo yang tinggal di tanah Karo masih beranggapan bahwa

rakut si telu akan selalu hidup dan menjadi dasar bersama untuk kehidupan mereka. Tetapi disini

(13)

4.3. Rakut Si Telu Sebagai Pembentuk Identitas Sosial di Jemaat GBKP Yogyakarta.

Rakut si telu digambarkan sebagai berikut.

Kalimbubu Senina/Sembuyak

Sukut

Anak beru

Gambar segitiga itu atau sering dikatakan sebagai tiga kaki tungku. Dimana kalimbubu dengan senina berada di posisi kiri dan kanan sedangkan anak beru berada dibagian bawah. Dan di tengah itu merupakan sukut atau pemilik pesta. Kalau adat perkawinan berarti pengantin dan orangtuanya sedangkan kalau kematian, keluarga yang ditinggalkan. Sukut dikelilingi oleh rakut si telu. Hal didasari oleh pengertian bahwa orang Karo membutuhkan ketiganya untuk bisa menjalankan peradatan tersebut. masing-masing kelompok tersebut melakukan tugasnya dengan baik dan benar sesuai dengan apa yang sudah menjadi bagian dari mereka.

Di dalam sistem interaksi ini tidak ada yang berada di dalam posisi paling tinggi dan rendah semua sama dalam pengertian bahwa mereka merupakan sistem kekerabatan yang tak terpisahkan hanya saja yang membedakan mereka ialah tugas dan tanggung jawab mereka ketika peradatan berlangsung. Kalimbubu memiliki tanggung jawab sebagai kelompok pemberi dara bagi keluarga. Dalam hal ini kalau diilihat dalam keadaan penulis, yang termasuk dalam kalimbubu penulis ialah saudara laki-laki dari ibu penulis (paman).

Kalimbubu juga memiliki sebutan sebagai dibata ni idah (Tuhan yang kelihatan). Konsep

(14)

kalimbubu memiliki tugas mengawal keseluruhan acara yang ada dalam peradatan suku Karo. Mengawal berarti memastikan kepada sukut bahwa acara bisa berjalan sesuai dengan apa yang sudah disepakati. Selain itu kalimbubu juga memiliki fungsi sebagai pemberi saran, memberi nasehat dan sebagai juru damai ketika ada perselisihan.

Fungsi kalimbubu sebagai pemberi saran ialah mereka bertanggung jawab mendengarkan kesusahan yang dialami oleh anak berunya sehingga kelompok ini bertanggungjawab untuk memberikan saran serta memberikan solusi bagi persoalan yang sedang dihadapi. Kelompok ini sangat penting dalam peradatan suku Karo. Sebab mereka sangat dibutuhkan. Kalimbubu juga memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam peradatan karena memang mereka sangat diperlukan sebagai wakil dari pihak perempuan yang akan menikah kalau berdasarkan adat perkawinan. Tanpa kelompok kalimbubu ini acara peradatan suku Karo tidak bisa dilaksanakan

Berarti kalimbubu bisa diartikan sebagai orang yang dihormati dan di segani dalam masyarakat Karo. Sebab kedudukan mereka sangat diharapkan di dalam peradatan suku Karo. Kemudian dari sisi mana kalimbubu bisa dijadikan sebagai pembentuk identitas sosial dalam masyarakat Karo Yogyakarta terkhususnya dalam masayarakat Karo yang beribadah di GBKP Yogyakarta. Dapat menjadi pembentuk identitas sosial karena fungsi-fungsi budaya bahkan sosial dari kelompok ini banyak memberikan kemudahan, pertolongan dan membuat jemaat GBKP Yogyakarta ataupun masyarakat Karo yang berada di dalam posisi ini dengan sadarnya untuk membantu orang lain dan turut membuat hubungan persaudaraan semakin dekat. Di dalam kedudukan kalimbubu ini, masyarakat Karo pada umumnya akan berada di dalam posisi yang sangat penting.

(15)

sebagai orang bertindak atau yang memiliki aksi diri dalam ruang interaksi dan menciptakan pola interaksi sebagai sarana untuk bertindak. Agen berhubungan dengan apa yang dimaksud dengan peran. Peran sering dikaitkan dengan bagaimana berhubungan orang lain dan semacam tingkah laku dari seseorang. Tetapi agen juga berbicara tentang hubungan, perilaku. Sama halnya yang dilakukan oleh pihak kalimbubu, kalimbubu tidak hanya sebagai kelompok yang dianggap paling penting di dalam peradatan suku Karo. Mereka juga dikaitkan sebagai pemerhati keluarga terdekatnya.

Dari sisi sosialnya kalimbubu akan berusaha menolong keluarga terdekatnya, sebab keluarga terdekatnya juga akan bersikap sebagaimana mestinya. Kemudian kalimbubu juga erat kaitannya sebagai juru damai di dalam permasalahan yang terjadi di Keluarga orang Karo. Ketika ada permasalahan antar sanak keluarga, kalimbubu menjadi tempat untuk mengadu dan diharapkan bisa menyelesaikannya. Kalimbubu memakai kekuatan perannya sebagai orang yang dianggap bijaksana. Oleh sebab itu permasalahan yang terjadi kalau kalimbubu mengetahuinya. Sebisanya masalah itu akan terselesaikan dengan adil dan damai.

Selanjutnya dari hubungan berelasi dengan kalimbubu. Biasanya orang yang dianggap kalimbubu keluarga tidak bisa sembarangan berbicara kepada kalimbubu, artinya orang-orang harus bersikap ramah, sopan santun dan tahu tata krama. Hal ini diterapkan demi menjaga hubungan keluarga dengan pihak kalimbubu. Sebab kalimbubu dalam setiap peradatan apapun kehidupan lainnya dibutuhkan sehingga tidak bisa dan diharapkan tidak boleh mengalami perselisihan kepada pihak kalimbubu keluarganya.

(16)

atapun perlu mengalami keteraturan. Sebab di kelompok kalimbubu diharapkan menjadi orang yang paling bijaksana dan bersikap adil kepada orang lain. Sebab penghargaan kepada pihak kalimbubu sangat tinggi diberikan. Oleh sebab itu kalimbubu harus bisa mengatur tatanan kehidupan dan membantu orang lain secara kemanusiaan sebab posisi mereka sangat baik untuk melakukan perubahan-perubahan sosial yang significan.

Senina/Sembuyak. Senina pada umumnya dikaitkan dengan kelompok yangn bertanggung

jawab terhadap seluruh upacara adat sukut (pemilik pesta). Sebab senina artinya satu pendapat atau satu kata. Atau dengan kata lain senina/sembuyak adalah penyambung lidah keluarga ketika peradatan berlangsung. Mereka turut mendamping keluarga yang akan melaksanakan peradatan. Sehingga senina diambil dari orang yang satu merga dengan pemilik pesta meski tidak saudara kandung. Misalnya merga barus yang menikah, yang bertanggungjawab dalam pesta peradatan ialah yang satu merga dengan penulis (dapat dilihat dari submerga pada bagian III tentang merga).

Kemudian senina juga memiliki fungsi sebagai teman sharing tentang apa yang menjadi pergumulan jika dikaitkan dengan pesta peradatan, pemilik pesta akan berdiskusi dengan seninanya untuk menanyakan bagaimana persiapan pesta dan apa saja yang akan dipersiapkan untuk melancarkan acara tersebut. Kemudian sembuyak, kelompok ini merupakan yang satu merga dengan pemilik pesta tetapi berasal dari keturunan yang sama atau kandung (laki-laki). Jika di dalam posisi pesta kedudukan mereka hampir sama dengan senina karena memiliki fungsi dan peran hampir sama sebagai pengatur dan bertanggungjawab atas peradatan yang akan dilakukan.

(17)

dilakukan saudaranya. Jika dilihat dari tugas mereka ini, pemilik pesta diharapkan harus bersikap peduli dan menjunjung tinggi persaudaraan kepada kelompok ini, sebab mereka adalah wakil mereka ketika peradatan mau dilakukan baik adat perkawinan, kematian dan lain sebagainya. Sebab mereka adalah keluarga terdekat dari pemilik pesta.

Oleh sebab itu kelompok ini menjadi pembentuk identitas sosial dikarenakan mereka ialah orang yang akan menjadi pendamping keluarga ketika mengalami kesusahan atau pun akan melaksanakan peradatan. Kelompok mereka inilah yang mendampingi dan akan mengatur segala persiapannya. Kalau dikaitkan dengan kehidupan pada umumnya kelompok ini menjadi kelompok yang paling dekat dengan keluarga yang akan melaksanakan pesta. Oleh sebab itu menjadi kelompok ini berarti menjadi orang yang selalu ada buat orang lain. Dengan kata lain kelompok senina ini bisa bisa menjadi pembentuk identitas dikarenakan mereka memiliki fungsi selain di atas sebagai pendamping keluarga atau bisa dikatakan sebagai malaikat yang bertanggungjawab untuk membantu dan selalu ada buat keluarga yang mengangkat mereka sebagai senina/sembuyak dalam keluarganya.

(18)

Selain itu mereka berkewajiban memberi kabar/undangan ketika akan dilaksanakan peradatan kepada keluarga terdekat, undangan pelaksanaan peradatan harus sampai kepada kerabat dan tidak boleh tidak disampaikan sebab orang Karo pada umumnya sangat sensitive kalau tidak di undang langsung. Dan tugas anak beru lainnya ialah menjadwalkan pertemuan keluarga, ketika aka ada perihal yang akan disampaikan kepada keluarga terdekat mereka juga bertanggungjawab untuk menyampaikannya Dan menjadi juru damai kalimbubunya. Jika terjadi perselisihan antara kalimbubu dengan orang lain, anak beru berkewajiban menjadi juru damai. Karena anak beru merupakan saudara terdekat dari kalimbubunya.

Kelompok ini bisa dikatakan adalah tim sukses di dalam menyelesaikan adat yang akan sedang berlangsung. Karena begitu pentingnya peran mereka dalam struktur peradatan masyarakat Karo, pada umumnya masyarakat Karo akan menyayangi anak beru mereka karena merekalah yang akan mempersiapkan dari persiapan acara hingga sampai acara selesai. Kelompok ini bisa menjadikan dirinya sebagai pembentuk identitas karena kelompok ini menawarkan suatu sistem kekerabatan sosial yang sangat baik. Mereka membuat kekerabatan suku Karo begitu erat. Begitulah kehidupan orang Karo sangat erat dan saling memperhatikan sesamanya.

Oleh sebab itu ketiga unsur ini selalu akan bersinggungan dengan kehidupan masyarakat Karo. Dimana ada kegiatan masyarakat Orang Karo, kemalangan, perkawinan bahkan perselisihan ketiga unsur ini pasti ada sebagai suatu sistem kekerabatan yang menolong.

(19)

peran. Peran sering dikaitkan dengan bagaimana berhubungan orang lain dan semacam tingkah laku dari seseorang.

Tetapi agen juga berbicara tentang hubungan, perilaku.8 Berarti agen melaksanakan peran mereka demi menciptakan interaksi dan mempertahankan pola interaksi yang sudah ada. Sehingga pola interaksi tetap bisa terjaga. Hal inilah yang dilakukan sangkep nggeluh yang ada di Yogyakarta. Mereka mempertahankan rakut si telu dengan tetap melaksanakan peran dan tugas mereka didalam sangkep nggeluh yang mereka miliki. Sehingga rakut si telu dapat dikategorikan sebagai agen dan fungsi mereka dapat dikatakan sebagai peran sebagaimana yang dimaksud Burke dan Stets.

Ini menandakan orang karo sangat berhubungan satu dengan lainnya. Sehingga dapat dikatakan rakut si telu menjadi sumber interaksi didalam konteks bermasyarakat. Selain itu mereka menjadi jalinan sosial yang sudah terstruktur dalam kehidupan orang Karo meski tidak secara organisatoris melainkan secara budaya terlebih kepada kesadaran diri dalam tiap individu orang Karo. Oleh sebab itu pada umumnya orang Karo sudah bisa memposisikan dirinya sebagai apa, dan tugasnya apa dalam suatu peradatan suku Karo. semua jalinan ketiga kelompok sosial ini berjalan begitu seterusnya. Sehingga memang dibutuhkan kedewasaan diri ketika berada diantara salah satu kelompok sosial tersebut. Dari penjelasan diatas, ketiga kelompok sosial diatas tidak hanya dipandang sebagai suatu struktur budaya saja, melainkan ialah suatu perekat sosial didalam suku Karo.

Kelompok sosial harus digeserkan maknanya sebagai identitas sosial dalam masyarakat Karo. Identitas sosial berarti, tugas, fungsi dan peran ketiga kelompok sosial ini tidak hanya sebatas di peradatan saja melainkan dalam kehidupan lainnya seperti kehidupan keluarga,

(20)

kehidupan tetangga dan kehidupan beragama. Maknanya harus sampai ditahap ini. Sehingga kehidupan masyarakat suku Karo terjalin dengan baik.

Kita tidak hanya menghormati kalimbubu sangat ada peradatan, kita tidak hanya berempati dengan senina ketika ada masalah dengan kalimbubu atau orang lain, kita tidak hanya menyayangi anak beru ketika mau melaksanakan adat. Semua didasari karena ketiga kelompok sosial.budaya ini menjadi kebutuhan dasar bersama yang di hidupi dalam sektor-sektor kehidupan yang lebih luas. Sehingga rakut si telu menjadi kekuatan sosial yang mampu mempertahankan sistem sosial yang sudah terjalin diantara ketiga kelompok tersebut. Dengan kata lain ketiga kelompok tersebut menjadi landasan masyarakat suku Karo dimanapun berada

Menurut Lee Freeze dan Peter Burke dalam teori person, identitiy and social interaction

seseorang bisa memiliki jalinan komunikasi dengan orang lain ketika sumber identitas seseorang terletak di jaringan peran, status, dan norma subkultur orang tersebut. Jaringan yang menyediakan struktur interaksi interpersonal dengan begitu individu bisa menemukan, mendefinisikan, dan mengidentifikasi orang. Orang-orang berhubungan dengan lingkungan mereka sebagian karena tanda-tanda sosial didalam lingkungan sekitarnya.9 Jaringan peran, status dan norma itu terjalin dalam kehidupan orang Karo pada umumnya termasuk yang ada di Jemaat GBKP Yogyakarta.

Interaksi Interpersonal yang dikemukakan oleh Lee Freeze dan Peter J. Burke berkaitan dengan apa yang ingin dibangun oleh masyarakat Karo diaspora dalam hal ini jemaat GBKP Yogyakarta dalam melakukan interaksi kepada sesama orang Karo. Interaksi yang dibangun oleh

9

(21)

masyarakat Karo Yogyakarta khususnya jemaat GBKP Yogyakarta terlihat pada apa yang mereka lakukan seperti tetap melakukan pelaksanaan runggu, peradatan perkawinan/kematian dan arisan komunitas Karo.Hal ini dinamakan interaksi interpersonal dan hal dibawah ini dijadikan sebagai sumber interaksi.

Di dalam penjelasan teori Burke dan Stets tentang sumber interaksi ialah suatu tempat dimana orang dan kelompok melaksanakan proses interaksi. Dimana ada proses interaksi antara individu dengan individu. Dan dimana sumber itu membantu dan mendukung proses interaksi tersebut dengan simbol interaksi yang ada seperti tanda, simbol, sumber dan respon. Ini terlihat dari beberapa kegiatan/peradatan suku Karo yang ada dan masih dilakukan oleh jemaat GBKP Yogyakarta.10

Sumber ini berfungsi untuk mempertahankan pengetahuan ataupun informasi yang sudah ada dari sistem-sistem interaksi. Sebab sistem interaksi akan menghasilkan banyak informasi dan pengetahuan dari berbagai interaksi yang sudah dihasilkan sehingga diperlukan suatu pertahanan diri bagi pengetahuan dan informasi yang sudah ada. Sumber Informasi dihasilkan melalui lingkungan ataupun situasi sosial yang sedang terjadi. Informasi didapatkan melalui interaksi intensif yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain.11 Runggu, Perpulungen

Jabu-Jabu dan arisan masyarakat Karo menjadi sumber interaksi. Sebab didalam kegiatan

tersebut proses interaksi, bentuk interaksi dan sistem interaksi terlihat sebagai jalinan rakut si telu sebagai identitas masyarakat Karo Yogyakarta.

4.3.1. Runggu ( Musyawarah).

10Burke and Stets, “ Identity of Theory”, 6. 11

(22)

Runggu adalah suatu musyawarah yang biasa dilakukan oleh masyarakat Karo. Dalam

runggu biasa diidentikan dengan percakapan antar keluarga yang bersangkutan (sukut) dalam hal

ini yang ingin melakukan adat perkawinan/kematian atau yang ingin melakukan runggu. Biasanya runggu berisikan tentang musyawarah yang bermufakat dan menghargai perbedaan pendapat. Runggu bisa dilakukan ketika sangkep nggeluh sudah hadir dan lengkap seperti

kalimbubu, senina dan anak beru. Dalam penelitian penulis, jemaat GBKP runggun Yogyakarta

masih melakukan runggu sebagai suatu ruang bersama untuk mempertemukan sangkep nggeluh yang dimiliki oleh suatu keluarga yang ingin melaksanakan pesta adat Karo.

Di dalam runggu, musyawarah di pimpin oleh anak beru dari pihak keluarga. Anak beru akan menanyakan kepada pihak keluarga kalau pihak kalimbubu, senina/sembuyak, anak beru sudah hadir atau belum. Jika belum hadir dari salah satu sangkep nggeluhnya musyawarah belum bisa dilakukan. Sebab mereka harus hadir di dalam pengambilan keputusan. Hal ini menegaskan bahwa keterikatan ketiga unsur ini sangat erat. Mereka tidak bisa dipisahkan karena saling berhubungan.

(23)

Kemudian semua yang telah di musyawarahkan dan telah disepakati tidak bisa di ganggu gugat oleh siapapun sebab kesepakatan di dalam runggu sangat dihormati. Sebelum musyawarah selesai, senina/sembuyak dari keluarga yang terkait menanyakan kepada keluarga tersebut apakah masih ada yang perlu dipersiapkan atau sudah cukup. Ketika bagi keluarga sudah cukup, akan dipersilahkan kepada kalimbubu jika masih ingin bertanya atau memberikan nasehat ataupun saran. Tak kala juga kalimbubu akan menanyakan kepada keluarga mengenai pendanaan. Jika mengalami kendala dalam pendanaan biasanya kalimbubu dan anak beru akan berinisiatif untuk melunasi kekurangan dana tersebut.

Runggu ini tidak dilupakan oleh jemaat GBKP Yogyakarta karena musyawarah ini

sangat demokratis, ramah lingkungan dan menjunjung sekali pendapat antar tiap individu orang Karo. Sehingga peran rakut si telu terlihat di runggu . Runggu menjadi model komunikasi yang dibangun, di dalam runggu biasanya hal yang dibicarakan cukuplah serius sehingga ditata dengan begitu baik.

Model interaksi semacam ini menunjukkan interaksi interpersonal jemaat GBKP Yogyakarta sanga kelihatan menjunjung tinggi hasil musyawarah dibandingkan dengan keputusan dari suatu keluarga. Karena menjadi orang Karo adalah menjadi suatu keharusan untuk menerapkan norma budaya salah satunya adalah pelaksanaan runggu sebagai langkah awal untuk membangun suatu percakapan dan hasilnya rencana pelaksanaan peradatan.

(24)

dari keluarga yang ingin melaksanakan adat tersebut. Pola interaksi semacam ini sangat menentukan bagaimana sistem interaksi yang dibangun.

Sistem interaksi ini terlihat ketika rakut si telu dipertemukan dalam nuansa adat yang berlangsung. Kemudian bagaimana relasi rakut si telu tersebut diperhadapkan dengan kehidupan sehari-hari. Sebab pola komunikasi yang dibangun tentu tidak sekaku atau terstruktur ketika di dalam peradatan dimana ada juru bicara yang mengatur kelompok sosial mana saja yang berbicara terlebih dahulu. Di dalam kehidupan sosial proses interaksi mereka berada dalam posisi yang lebih santai dan lebih bersahabat.

4.3.2. Arisan orang Karo

Arisan orang Karo yang ada di Yogyakarta dan diikuti oleh jemaat GBKP Runggun Yogyakarta terdiri dari arisan merga, arisan berdasarkan kampung halaman, arisan merga silima

sinuan buluh. Arisan ini dibentuk bertujuan untuk tetap mempertahankan pola komunikasi yang

(25)

Kemudian arisan antar sub merga yang sama. Ini biasanya bersifat kekuatan submerga. Biasanya bertemu untuk membicarakan tentang keadaan keluarga masing-masing. Sehingga jika mengalami kekurangan dan membutuhkan bantuan biasanya arisan ini membantu apa yang bisa meringankan beban dari salah satu keluarga. Sebab arisan submerga dianggap menjadi suatu arisan keluarga besar yang memiliki asal ibu yang sama.

Anggapan itu dihidupkan agar kedekatan menjadi lebih dekat. Sehingga tidak ada jarak antara keluarga satu dengan lainnya. Karena sudah dianggap sebagai saudara kandung, berarti tidak ada alasan untuk tidak saling membantu. Sehingga sangat jelas terlihat bahwa kekuatan sub

merga yang sama memberikan dampak kepada interaksi yang dibangun. Sehingga interaksi yang

dibangun juga bisa berasal dari emosional submerga. Karena memiliki submerga sama harus memiliki rasa kebersamaan. Disinilah terletak bagaimana kekuatan orang karo sebagai penjunjung tinggi rasa persaudaran.

Kemudian arisan merga silima sinuan buluh. Arisan ini merupakan kumpulan dari kelima merga yang diikuti oleh jemaat GBKP Yogyakarta. Arisan ini cukup besar karena meliputi kelima merga yang ada di suku Karo. Di Yogyakarta arisan ini membahas secara luas bagaimana perkembangan komunitas tersebut. Dan bisa dijadikan sebagai wadah mengevaluasi diri, hal-hal apa saja yang menjadi kekurangan selama ini. Sehingga arisan ini memiliki kebermanfaatan yang positif bagi orang Karo yang mengikuti arisan tersebut. Biasanya arisan ini berkumpul semua

sangkep nggeluh yan ada di orang karo Yogyakarta. Sehingga jalinan komunikasi yang terjadi

(26)

Kemudian misalnya ada dari salah satu anggota dari arisan tersebut sudah lama tidak hadir, maka arisan merga tersebut wajib untuk mengetahui alasan mengapa anggota arisan tersebut tidak hadir, biasanya pengurus arisan dan kerabat dekat anggota yang tidak aktif juga hadir untuk menanyakan langsung persoalan apa yang sedang terjadi sehingga menyebabkan ketidakaktifan dari anggota arisan tersebut. Di dalam proses pelaksanaan Arisan, misalnya arisan merga barus yang menjadi anak beru dalam arisan tersebut ialah sub merga yang sama dengan barus, kemudian mereka mempersiapkan segala hidangan yang sudah disampaikan oleh pihak keluarga. Sehingga arisan tidak hanya berbicara tentang sukacita anggota arisan saja melainkan apa yang menjadi persoalan dari anggota arisan tersebut.

4.3.3. Perpulungen Jabu-jabu dan Ibadah Minggu

Perpulungen Jabu-Jabu ( Ibadah keluarga) yang terbagi menjadi 3 sektor yaitu Korinti yang dilaksanakan tiap hari senin pukul 19.00-21.00 Wib, kemudian tiap hari selasa sektor Filipi pada pukul yang sama dan tiap hari Rabu Sektor Galatia pada pukul yang sama. Kemudian ada pelayanan Kaum Bapa ( mamre) dan Kaum Ibu ( moria) yang dilaksanakan setiap hari minggu selesai Ibadah Minggu dimulai pada pukul 10.00-12.00 Wib. Perpulungen Jabu-jabu juga merupakan bagian dari interaksi interpersonal yang dibangun oleh jemaat GBKP runggun Yogyakarta. Karena di dalam PJJ ini, jemaat melakukan interaksi yang meski bernuansa rohani karena PJJ ini merupakan ibadah keluarga yang menjadi bagian dari pelayanan keluarga yang ada di Gereja.

(27)

arisan, anak beru dari keluarga yang melaksanakan perpulungen jabu-jabu langsung dengan kesadaran dirinya untuk menyiapkan hidangan yang telah dipersiapkan keluarga yang terkait. Oleh sebab itu ketiga unsur tersebut memang bersinergi dengan gereja. Selain persekutuan, mereka membahas tentang program pelayanan, jemaat yang kurang aktif. Biasanya mereka akan membahas itu.

Sama seperti dengan arisan, ketua wilayah biasanya akan memulai percakapan tentang apakah ada jemaat yang tergabung dalam persekutuan ini kurang aktif. Jika ada pengurus PJJ akan berdikusi dengan sangkep nggeluhnya yang hadir di dalam PJJ tersebut, kalau tidak ada mereka akan mengunjungi sangkep nggeluhnya supaya bertanya langsung tentang jemaat gereja yang kurang aktif. Budaya sangkep nggeluh dan runggu tetap masuk di dalam ruang bergereja di karenakan memang budaya Karo semacam ini sangat dibutuhkan di dalam mengelola pelayanan gereja. Tanpa adanya komunikasi dengan sangkep nggeluh dan runggu, keteraturan dalam segi menghargai dan menghormati orang lain kurang terlaksana dengan baik. Sebab masyarakat Karo dan jemaat GBKP pada umumnya sangat memegang teguh budaya Karo dan menghormati

sangkep nggeluhnya sebagai suatau kekerabatan sosial bagi kehidupan jemaat GBKP Yogyakarta

khususnya.

(28)

Usaha semacam ini membuktikan bahwa mereka peduli dengan orang lain. Ingin tau tentang orang lain. Sistem yang dibangun semacam ini bisa saja tanpa disadari oleh jemaat tersebut. Inilah yang disebut dengan interaksi sosial. Menurut hemat penulis, hal ini dilakukan dengan rangka untuk mempertegas bahwa mereka selalu membutuhkan ruang dan media komunikasi dengan orang lain. Ini menjadi simbol bahwa orang Karo menunjukkan kedekatan dan rasa persaudaraan mereka. Ini harus dijalani secara terus menerus sehingga nantinya bisa memberikan kontribusi yang baik dari hasil interaksi.

Berdasarkan dari berbagai interaksi interpersonal yang dibangun. Jemaat GBKP Yogyakarta menyadari benar bahwa interaksi sangatlah penting didalam mempertahankan suatu kebudayaan atau norma budaya yang ada didalam suku Karo. Jemaat sadar bahwa salah satu untuk mempertahankan kebudayaan suku Karo adalah dengan membangun suatu pola interaksi dan membangun sistem interaksi. Dengan melakukan hal itu mereka akan terbiasa dalam situasi sosial yang bersifat kekaroan. Sebab internalisasi budaya dan kehidupan akan selalu ada sehingga untuk menanggulangi pengikisan akan budaya sendiri, diperlukan suatu wadah, media dan pola interaksi untuk mempertahankan apa yang sudah menjadi identitas yang ada di dalam diri orang Karo.

Interaksi interpersonal yang dibangun sudah menjadi kewajiban jemaat GBKP Yogyakarta untuk menjaga identitas mereka sebagai orang Karo yang memiliki kebiasaan mempertahankan budaya ramah kepada orang lain, menolong sesama dan berkumpul bersama dalam komunitas suku Karo. Kenyataan semacam ini mengarahkan orang Karo untuk selalu terbuka dengan orang lain, dan berbicara apa adanya dengan orang lain. tak terlepas dari itu

rakut si telu menjadi dasar mereka membangun interaksi yang ada. Dengan siapa mereka

(29)

Sehingga ketika sudah mengetahui dengan siapa mereka berbicara, interaksi yang dibangun pasti memiliki perbedaan. Ada interaksi yang dibangun berdasarkan rasa menyegani (

kalimbubu)sehingga tidak etis kalau tidak melakukan percakapan. Ada juga berdasarkan kepada

ada rasa empati (senina) kepada orang lain sehingga rasanya perlu melakukan interaksi,supaya bisa mengetahui apa yang sedang terjadi dengan orang lain. kemudian terakhir ada rasa komunikasi yang dibangun berdasarkan menyayangi (anak beru) antar satu dengan lain sehingga interaksi harus sudah dibangun berdasarkan persaudaraan yang sudah terjalin.

5. Sistem Interaksi Rakut Si Telu di Jemaat GBKP Yogyakarta

Dalam kehidupan Jemaat GBKP Yogyakarta, kehidupan merantau sudah menjadi bagian hidup yang mereka harus jalani sehingga untuk mempertahankan kehidupan dan tidak melepaskan diri kehidupan kekaroan mereka. Mereka berinisiatif untuk mengangkat sangkep nggeluh atau yang disebut sebagai rakut si telu secara simbolik. Hal ini disebabkan karena minimnya keluarga kandung yang mereka miliki di tanah perantuan oleh sebab itu agar tetap ada ikatan budaya dan persaudaraan, mereka mengangkat sangkep nggeluh mereka berdasarkan dengan kedekatan merga, bebere, asal kampung, dan kemudian pertalian persaudaraan yang mungkin ada dari kampung, karena kedekatan selama merantau.

(30)

sudah diangkat memiliki fungsi yang sama dengan sangkep nggeluh yang berasal dari keturunan yang sama.

Dimensi kedekatan dan kepedulian ini bisa terjadi karena pola interaksi yang dilakukan selalu berkelanjutan dan tidak putus. Seperti di dalam runggu, arisan merga, arisan asal kampung, dan arisan merga silima sinuan buluh dan kegiatan gerejawi. Hal ini tentunya menyebabkan varian interaksi bertambah dan tali persaudaraan semakin kuat

Selain itu di dalam jemaat GBKP Yogyakarta, orang Karonya juga mengalami perkawinan campuran, dimana pria karo maupun perempuan karo menikah dengan orang Jawa, Batak, Makassar dan lain sebagainya. Untuk itu dilakukan pengangkatan merga/beru bagi mereka yang telah menikah orang Karo. Hal ini bertujuan untuk tetap melaksanakan norma budaya yang ada di dalam suku Karo. Bahwa siapa baru masuk ke dalam kehidupan orang Karo harus diberi tanda/simbol seperti merga/beru agar mereka bisa melaksanakan dan memiliki kedudukan yang sama dalam sistem kekerabatan dan sistem peradatan. Melalui pemberian

merga/beru seseorang bisa dikatakan sebagai orang Karo.

(31)

masyarakat Karo tentunya kefasihan berbahasa Karo nantinya akan bisa didapati karena pola interaksi yang terus menerus dilakukan.

5.5.1. Pelaksanaan Peradatan yang umumnya dilakukan Jemaat GBKP Yogyakarta.

Pada umumnya masyarakat Karo yang tergabung dalam GBKP Yogyakarta masih melaksanakan peradatan baik perkawinan dan kematian. Tetapi pelaksanaan peradatan perkawinan dan kematian dari segi kualitas tidak seperti yang ada di tanah Karo yang begitu detail dan berkualitas. Di Yogyakarta pada umumnya mereka melaksanakan peradatan secara sederhana sesuai dengan kesanggupan masyarakat karo dan ketersediaan sangkep nggeluhnya. Dalam pelaksanaan peradatan, pihak kalimbubu akan menerima mahar yang telah disepakati oleh pihak laki-laki kepada perempuan.

Peradatan dilakukan di aula pertemuan, kemudian keluarga terkhusus sangkep nggeluh

(kalimbubu, senina/sembuyak,anak beru) posisi duduknya berbeda dalam artian. Pihak laki-laki

berada di sebelah kiri aula. Susunanya pojok kiri pertama di isi oleh teman kerja, tetangga dan kerabat diluar sangkep nggeluh pihak laki-laki, kemudian di susul lagi kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru paling ujung dekat dapur.

(32)

Anak beru tua inilah yang akan memimpin runggu ataupun dialog antara sangkep

nggeluh laki-laki dan perempuan. Mereka biasa membahas tentang kepastian mahar/ jika

perkawinan yang akan diberikan, kalau kematian dinamakan utang adat. kemudian membahas urutan pemberian ucapan selamat ataupun wejangan/nasihat jika itu perkawinan, kalau kematian pengucapan turut berduka cita. Urutan ucapan sukacita/dukacita biasanya terlebih dahulu kerabat/tetangga, kemudian di susul kalimbubu, senina/sembuyak dan anakberu. Pemberian ucapan sukacita maupun dukacita ini dilaksanakan sebagai ungkapan bahwa peradatan itu sangat mahal harganya, oleh sebab itu ketika ada peradatan baik sukacita dan dukacita mereka tetap memberikan ucapan selamat ataupun kata penghiburan.

Selain itu fungsi kalimbubu selanjutnya ketika dalam konteks perkawinan ialah mereka akan menerima pertama kali mahar kemudian disusul oleh pihak senina dan anak beru. Dan

senina/sembuyak mendampingi keluarga yang melaksanakan peradatan hingga acara selesai.

Proses pendampingan ini dilakukan kepada keluarga yang melaksanakan peradatan. Ini dilakukan sebagai bukti bahwa mereka adalah saudara kandung dari pemilik peradatan. Pendampingan berupa menanyakan kepada keluarga tentang pendanaan, kemudian keadaan pesta apakah memiliki kekurangan atau tidak. Hal ini menandakan bahwa rakut si telu sangat menentukan keberhasilan dari sebuah acara.

(33)

kehidupan keluarga mereka. Dan bagaimana peradatan yang mereka lakukan kalau secara budaya sangkep nggeluh mereka tidak hadir. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Karo termasuk jemaat GBKP Yogykarta membutuhkan sesamanya di dalam pelaksanaan peradatan suku Karo dan kehidupannya.

Oleh sebab itu di dalam mempersiapkan pelaksanaan peradatan dalam suku Karo, sangkep nggeluh inilah yang dipanggil untuk turut membantu pelaksanaan peradatan. Apalagi jika pelaksanaan terjadi perantauan tentu terjadi sangat sederhana dan tidak seperti yang terjadi kampung halaman sebab keterbatasan saudara kandung dan pengetahuan yang terbatas tentang peradatan menyebabkan pelaksanaan dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang ada di dalam masyarakat Karo.

Pengetahuan dan pengalaman individu semacam inilah yang dimaskud Burke dan Stets dalam buku identity of theory tentang simbol interaksi, dimana makna, tanda, simbol dan respon menjadi pengetahuan dan pemahaman akan gejala sosial yang terjadi. gejalanya ialah bahwa masyarakat Karo membutuhkan sangkep nggeluhnya agar kehidupan berbudaya dan sehari-hari mereka diperhatikan oleh sesama orang Karo. Dan penentuan siapa yang akan menjadi

kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru ditentukan dari merga yang akan melaksanakan

peradatan.

Kemudian masyarakat karo yang tidak selamanya menjadi kalimbubu, suatu saat mereka akan berada di dalam posisi senina ataupun anak beru. Sebagai contoh: Jika yang menikah adalah merga barus berebere ginting. Yang akan menjadi kalimbubunya ialah yang merga

ginting dan yang menjadi senina adalah yang satu submerga (bukan saudara kandung) kemudian

(34)

perempuan yang memiliki merga yang sama dengan barus. Dan sebaliknya itu akan berputar terus. Sehingga masyarakat karo akan pernah selalu ada di posisi rakut si telu tersebut.

6. Situasi Budaya Jemaat GBKP Yogyakarta.

Situasi sosial yang ada di dalam kehidupan orang Karo diaspora ialah bahwa secara umum mereka memahami dan melaksanakan kebudayaan itu berdasarkan apa yang menjadi pengetahuan mereka saja dikarenakan mereka sudah lama meninggalkan kampung halaman. Oleh sebab itu mereka membutuhkan suatu sistem sosial yang berisikan tindakan sosial yang diisi dengan kegiatan-kegiatan suku Karo yang pada dasarnya dipelopori oleh tetua orang Karo yang sudah lama di Yogyakarta yang memahami dan mengerti benar tentang budaya orang Karo beserta sistem peradatan yang sebenarnya. Karena keterbatasan itulah jemaat GBKP Yogyakarta dan masyarakat Karo pada umumnya melaksanakan peradatan sesuai dengan kesanggupan mereka.

Pada dasarnya rakut si telu memberikan kebebasan yang terbatas, artinya bahwa masyarakat Karo diaspora pasti akan berada dalam peran sosial yang berganti-gantian oleh sebab itu diharapkan ketika proses sosial berjalan masyarakat Karo benar-benar menjalankan kewajibannya dengan baik. Dan ini dirasakan oleh masyarakat Karo diaspora. Karena tidak selamanya menjadi kalimbubu yang harus dihormati. Tetapi akan berada didalam posisi senina dan anak beru. Polarisasi peran budaya itu akan dinikmati dan dilaksanakan secara bergantian tergantung kepada si pemilik pesta yang memiliki hubungan sosial dengan kerabat dan masyarakat Karo diaspora.

(35)

yang sangat sistematis. Misalnya ada istilah rebu ( berpantangan berbicara). Misalnya menantu tidak bisa berbicara langsung kepada mertuanya. Karena itu dianggap tidak sopan dan melanggar nilai budaya kesopanan dalam budaya Karo. Sehingga dibutuhkan perantara untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Tetapi di jemaat GBKP Yogyakarta mulai diperbolehkan sebatas hanya untuk bertanya kabar dan bersalaman saja, sebatas tegur sapa. Misalnya di dalam sangkep nggeluh kan memiliki subklennya jika itu tidak terpenuhi semuanya. Hanya yang mewakili tiap kelompok sosial saja. Dikarenakan tidak semua subklen bisa ditemukan. Untuk mengantisipasinya harus dicari perwakilan dalam tiap kelompok sosial yang ada.

Agar tetap ada norma budaya Karo yang melekat. Masyarakat Karo diaspora sudah mulai melakukan diskusi dan pertemuan dalam hal membicarakan tentang budaya, kekaroan dan budaya Karo. Agar norma budaya bisa tetap ditransfer secara simultan dan berkelanjutan. Upaya ini agar sistem sosial, tindakan sosial dan norma budaya selalu ada di dalam diri mereka sebagai orang Karo. Hal ini memberi kekuatan bahwa rakut si telu terkhususnya memiliki kepentingan yang sangat menentukan peradaban masyarakat Karo yang ada di Yogyakarta. Oleh sebab itu rakut si telu tidak ditampilkan sebagai warisan budaya saja melainkan menjadi perekat sosial yang berbasis etnik. Entitas semacam ini, merujuk kepada rakut si telu sebagai identitas sosial yang sangat diperlukan oleh masyarakat Karo diaspora.

Kekhawatiran mengenai keberlangsungan masyarakat Karo disini ialah bagaimana dengan anak cucu mereka nantinya apakah mereka nanti akan mengenal, memahami bahkan menyukai budaya mereka sendiri. Oleh sebab itu budaya karo terkhususnya rakut si telu sudah diperkenalkan kepada mereka. Misalnya melalui nyanyian karo, ikut serta dalam perpulungen

(36)

dengan anak dan sanak saudara mereka. Hanya dengan hal ini, mereka bisa mentransfer budaya Karo yang mereka miliki. Karena itu sudah menjadi kebutuhan bersama yang harus dipenuhi. Sehingga hal itu harus diajarkan dan diwariskan.

Dengan begitu mereka akan mengetahui siapa sangkep nggeluh mereka kalau mereka memahami siapa keluarga terdekat mereka. Karena sangkep nggeluh menjadi keluarga kedua dari tiap individu Karo. mereka menjadi wadah untuk berdiskusi, meminta pertolongan. Oleh sebab itu rakut si telu dipahami sebagai identitas sosial. Identitas sosial berarti rakut si telu sebagai pilihan yang memampukan mereka hidup secara baik dalam budaya dan kehidupan sehari-hari. Di dalam fungsi-fungsi rakut si telu banyak menebarkan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat membentuk harmoni sosial dan meningkatkan persaudaraan yang sangat mendalam bagi sesama karo. Oleh sebab itu sudah menjadi keharusan bagi masyarakat Karo Yogyakarta dan jemaat GBKP Yogyakarta untuk memiliki sangkep nggeluh meski tidak kandung demi mempertahankan budaya karo yang selalu memiliki kekerabatan yang baik dimana pun mereka berada. Dan sebagai pertahanan diri dan perwujudan eksistensi orang Karo yang sebagai suku yang menjunjung tinggi persaudaraan dalam tiap-tiap segi kehidupan.

(37)

Referensi

Dokumen terkait

Pada penulisan ilmiah ini penulis membahas penggunaan PHP dalam membangun suatu aplikasi web yang bertujuan untuk memasarkan suatu produk, dalam hal ini printer dan cash

 Bila diinvestasikan di saham dengan tingkat keuntungan 20%/ tahun akan menjadi Rp38

Puji syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah yang di limpahkan oleh kehadirat Allah SWT, tuhan semesta alam yang telah melimpahkan segala rahmat serta karunia yang

Kantor yang berhasil menciptakan kesan yang baik merupakan promosi secara tidak langsung, dan sebagai hasilnya dapat menambah relasi / hubungan

Pengukuran variabel yang digunakan pada penelitian terdahulu pertama menggunakan skala likert tujuh poin, dan dengan menggunakan model persamaan structural (SEM) untuk menguji

Pengaruh perlakuan dosis bahan organik, pupuk biosulfo dan jenis tanah terhadap berat umbi kering bawang merah pada Alfisol, Entisol dan Vertisol.. KESIMPULAN DAN SARAN

POKJA PENGADAAN BARANG I Gedung Komplek Sekretariat Daerah Kabupaten Klaten Jalan Pemuda Nomor 294, Telp. Keputusan Bupati Klaten

“ Dato Karama ” tahun 1645 M-1709 M, dengan menggunakan perahu layar bersama rombongannya berjumlah lima puluh orang beserta keluarganya. 2) Dato Karama dalam berdakwah