• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sengketa Laut China Selatan Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sengketa Laut China Selatan Selatan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

ASEAN sebagai peredam konflik sangat tergantung pada komitmen bersama

anggotanya dengan tidak mengingkari kesepakatan secara regional. Sebagaimana kita

ketahui bahwa sejak asosiasi regional ini berdiri, praktis tidak pernah terjadi konflik

terbuka di antara negara-negara yang bertetangga dengan ASEAN. Berbeda dengan

situasi sebelum ASEAN terbentuk, berbagai ketegangan, konflik maupun konfrontasi

mewarnai kawasan ini. Dalam hal ini ASEAN mempunyai pengalaman dalam menata

hubungan bertetangga baik di antara sesama anggotanya. Akan tetapi, berakhirnya

Perang Dingin dan berkurangnya peranan kekuatan militer asing di wilayah ini

mempengaruhi hubungan di antara sesama anggota ASEAN. Berkurangnya jaminan

keamanan negara-negara besar di kawasan telah mendorong negara-negara ASEAN

untuk meningkatkan pertahanannya masing-masing. Apabila negara-negara besar

yang terlibat dalam Perang Dingin kini mengurangi pembelanjaan senjata secara

besar-besaran, namun situasi yang terjadi di Asia Pasifik, terutama negara-negara

dunia ketiga, seperti negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, justru sebaliknya.

Peran ASEAN sebagai peredam konflik akan menjadi semakin penting ketika

para anggota ASEAN saling mengingatkan bahwa komitmen terhadap Treaty of Amity

in Southeast Asia (TAC) yang telah dicanangkan bersama beberapa tahun lalu tetap

menjadi langkah bagi penyelesaian konflik secara damai. Tujuannya agar mampu

memanfaatkan peluang yang muncul dari isu yang berkaitan dengan masalah

keamanan dengan mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik di kawasan.

Dalam hal ini ASEAN harus tetap menjalankan diplomasi pencegahan (preventive

diplomacy) dalam lingkungannya sendiri untuk mencegah konflik yang akan muncul

(2)

(confidence building measures) yang mempertemukan kepentingan-kepentingan

keamanan di kawasan juga perlu ditingkatkan terus agar tercipta perimbangan

kepentingan di antara anggotanya. Di samping itu peran ASEAN sebagai peredam

konflik sangat tergantung pada iktikad baik dan komitmen bersama anggotanya

dengan tidak mengingkari kesepakatan secara regional. Dalam menghadapi masalah

klaim di Laut Cina Selatan misalnya, ASEAN harus tampil sebagai "an honest

broker" peredam konflik. Keterlibatan beberapa negara ASEAN dalam sengketa Laut

Cina Selatan, menjadi semakin penting dilakukannya perundingan damai secara

terus-menerus. Terutama ketika harus berhadapan dengan Cina yang mengklaim seluruh

wilayah di Laut Cina Selatan.

Secara demikian, usaha kerja sama akan menciptakan hubungan baik dan

mengurangi rasa curiga di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Usaha-usaha kerja sama untuk menyelesaikan sengketa akan dapat menurunkan tingkat

potensi konflik menuju identifikasi dan usaha pemanfaatan peluang-peluang kerja

sama dalam menciptakan keamanan, stabilitas dan perdamaian di kawasan. Selain itu,

mekanisme upaya lokakarya tentang Laut Cina Selatan yang selama ini berlangsung

dapat menjadi sarana untuk meningkatkan saling percaya dan proses untuk meluaskan

common ground beberapa isu politik dan keamanan di Laut Cina Selatan. Sehingga

pada akhirnya ikut memperkuat peran ASEAN sebagai peredam konflik pada masa

(3)

1.2 Tujuan Penulisan

Karya ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah

Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang serta mengkaji

lebih dalam mengenai contoh kasus sengketa internasional yakni sengketa Laut China

Selatan dan upaya dalam menyelesaikan kasus tersebut. Melalui makalah yang

berjudul Sengketa Laut China Selatan dengan harapan semoga makalah ini dapat

menjadi salah satu bahan referensi sekaligus sumber pengetahuan sebagai media

penambah wawasan.

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah bentuk geografi dari Laut China Selatan?

2. Apa yang menjadi latar belakang terjadinya sengketa Laut China Selatan? 3. Seberapa pentingnya Laut China Selatan bagi Negara yang bersengketa? 4. Apa dampak dari sengketa Laut China Selatan bagi NKRI?

5. Bagaimanakah prospek manajemen penyelesaian konflik pada Laut China Selatan? 6. Kontribusi apa yang dapat di berikan oleh Indonesia dalam menyikapi sengketa

Laut China Selatan?

7. Bagaimanakah peran ASEAN dalam penyelesaian mengenai sengketa Laut China

Selatan?

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Bentuk Geografi Laut China Selatan

Laut China Selatan adalah laut tepi, bagian dari samudera pasifik, mencakup daerah

dari Singapura ke Selat Taiwan sekitar 3.500.000 km². Merupakan badan laut terbesar

(4)

ratusan. Laut ini biasa disebut sebagai laut selatan di daratan tiongkok, sejumlah negara,

khususnya Filipina menyebutnya Laut Luzon dikarenakan negara tersebut keberatan

dengna sebutan Laut China Selatan dengan alasan kawasan tersebut seolah-olah dikuasai

China.

Biro hidrografi internasional (International Hydrographic Bureau) mendefinisikan laut

ini terbentang di arah barat daya timur laut, yang batas sebelahnya 3º lintang selatan

antara Sumatera selatan dan Kalimantan (selat karimata), dan batas utaranya ialah selat

taiwan dari ujung utara taiwan kepesisir fujian di daratan China. Negara-negara dan

wilayah yang berbatasan dengan laut ini diantaranya adalah Republik rakyat China,

Makau, Hong Kong, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura, Kamboja,

dan Vietnam. Di laut ini, ada lebih dari 200 pulau dan karang yang diidentifikasi,

kebanyakan darinya di daerah kepulauan Spratly. Kepulauan Spratly tersebar seluas

810-900km yang meliputi beberapa 175 fitur insuler yang diidentifikasi, yang terbesarnya

menjadi kepulauan Taiping yang panjangnya 1,3 km dan dengan ketinggian 3,8 m.

2.2 Latar Belakang Sengketa Laut China Selatan

Sejarah konflik Laut China Selatan sudah terjadi berabad-abad, namun ketegangan

baru memuncak akhir-akhir ini dan memicu kekhawatiran akan menjadi daerah sengketa

yang berdampak global. Sengketa ini terkait kedaulatan atas wilayah laut dan Paracel dan

Spratly, dua kepulauan yang diklaim seluruhnya atau sebagian oleh sejumlah negara.

Bersamaan dengan pulau-pulau tersebut, ada puluhan singkapan berbatu, atol, gumuk

pasir dan karang, seperti Scarborough Shoal, yang tidak berpenghuni. China mengklaim

bagian terbesar dari wilayah-wilayah yang didefinisikan oleh "garis sembilan-dash" yang

membentang ratusan mil ke selatan dan timur dari provinsi paling selatan mereka ,

Hainan. Beijing mengatakan haknya berdasarkan sejarah 2.000 tahun lalu di mana rantai

(5)

Sejarah konflik Laut China Selatan menguat pada 1947. Saat itu China mengeluarkan

peta untuk merinci klaim tersebut. Peta ini menunjukkan dua kelompok pulau tersebut

jatuh sepenuhnya dalam wilayahnya. Klaim tersebut mengacu jika Taiwan dianggap

sebagai bagian dari Republik Cina. Vietnam yang turut serta dalam konflik ini,

mengatakan China tidak pernah mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau sebelum tahun

1940-an. Vietnam mengatakan telah aktif memerintah di Paracel dan Spratly sejak abad

ke-17 - dan memiliki dokumen untuk membuktikannya. Penuntut utama lain di daerah ini

adalah Filipina, yang menggunakan kedekatan geografis dengan Kepulauan Spratly

sebagai dasar utama klaim untuk bagian dari pengelompokan. Baik Filipina dan China

mengklaim Scarborough Shoal (dikenal sebagai Pulau Huangyan di Cina). Malaysia dan

Brunei juga mengklaim adanya wilayah di Laut Cina Selatan yang jatuh dalam zona

ekonomi eksklusif mereka, seperti yang didefinisikan oleh UNCLOS. Brunei tidak

mengklaim salah satu pulau yang disengketakan, namun Malaysia mengklaim sejumlah

kecil pulau di Spratly.

Sejarah konflik Laut China Selatan tidak akan tercipta jika Paracel dan Spratly tidak

memiliki cadangan sumber daya alam di sekitar mereka. Telah ada eksplorasi kecil yang

memperkirakan adanya kekayaan mineral yang sangat banyak di wilayah ini. Laut China

Selatan juga merupakan jalur pelayaran utama dan rumah untuk tempat memancing yang

memasok mata pencaharian masyarakat di seluruh wilayah. Masalah paling serius yang

pernah terjadi dalam sejarah konflik Laut China Selatan melibatkan Vietnam dan China.

Beberapa warga China merebut Pulau Paracels dari Vietnam pada 1974, membunuh lebih

dari 70 orang tentara Vietnam. Pada 1988, kedua belah pihak bentrok di Spratlys, ketika

Vietnam kehilangan 60 orang pelautnya. Filipina juga terlibat dalam beberapa

pertempuran kecil dengan tentara China, Vietnam dan Malaysia. Ketegangan terbaru

(6)

China membangun kehadiran militernya di Spratlys. Pada awal 2012, kedua negara

menuduh satu sama lain dari intrusi di Scarborough Shoal.

Sejarah konflik Laut China Selatan memasuki babak baru pada bulan Juli 2012 China

secara resmi menciptakan kota Sansha, sebuah badan administrasi dengan kantor

pusatnya di Paracel untuk mengawasi wilayah Cina di Laut Cina Selatan - termasuk

Paracel dan Spratly. Baik Vietnam dan Filipina memprotes langkah ini. Klaim yang tidak

terverifikasi menyatakan bahwa angkatan laut China sengaja mensabotase dua operasi

eksplorasi Vietnam pada akhir 2012 menyebabkan protes besar anti-China di jalan-jalan

di Hanoi dan Ho Chi Minh. Vietnam juga salah satu dari sejumlah negara yang menolak

untuk cap paspor edisi baru Cina yang mencakup peta yang menunjukkan daerah yang

disengketakan di Laut China Selatan sebagai wilayah China. Pada Januari 2013, Manila

mengatakan pihaknya menuntut China ke pengadilan PBB di bawah naungan Konvensi

PBB tentang Hukum Laut, untuk menantang klaim di Laut Cina Selatan. Pada bulan Mei

tahun 2014, pengenalan oleh China dari rig pengeboran ke perairan dekat Kepulauan

(7)

Peta sengketa wilayah laut china selatan

2.3 Pentingnya Laut China Selatan bagi Negara yang bersengketa

Sebuah kawasan atau negara di belahan bumi ini akan menjadi primadona bagi

kawasan lain manakala kawasan atau negara tersebut mempunyai aspek strategis yang

bisa mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terhadap kepentingan kawasan

dan negara tertentu. Demikian halnya dengan kasus Laut China Selatan, ada dua aspek

yang membuat Laut China Selatan menjadi penting bagi Negara manapun yakni :

1. Letaknya yang strategis, secarageografis Laut China Selatan dikelilingi 10 negara

pantai (RRC dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura,

Indonesia, Brunei, dan Filipina). Luas perairan tersebut mencakup teluk silam yang

dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia serta teluk Tonkin yang dibatasi

Vietnam dan RRC. Kawasan Laut China Selatan merupakan kawasan bernilai

(8)

yang strategis sebagai jalur pelayaran perdagangan (SLOT) dan jalur komunikasi

internasional (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Hal ini telah merubah jalur laut China selatan menjadi salah satu rute perairan

tersibuk di dunia, karena lebih dari setengah perdagangan dunia berlayar melewati

Laut China Selatan setiap tahunya.

2. Potensi ekonomi dan pentingnya geopolitik termasuk kandungan kekayaan alam

yang ada di dalamnya telah menyebabkan terjadinya konflik klaim wilayah antara

China dan sebagian negara anggota ASEAN yang berada dekat dengan wilayah Laut

China Selatan. Menurut data kementrian geologi dan sumber daya mineral RRC

memperkirakan bahwa wilayah Spratly mempunyai cadangan minyak dan gas alam

17,7 miliar ton (1.60 x 1010 kg), lebih besar dibanding kuait, negara yang menempati

ranking ke4 yang mempunyai cadangan minyak terbesar dunia. Sementara

kandungan gas alam di Laut China Selatan merupakan sumber hidrokarbon yang

paling melimpah. Sebagian besar hidrokarbon kawasan Laut China Selatan di

eksplorasi oleh Brunei, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Perkiraan menurut United States Geological Survey menunjukkan bahwa sekitar

60-70% dari hidrokarbon di Laut China Selatan adalah gas alam, sementara itu

penggunaan gas alam di wilayah tersebut diproyeksikan akan tumbuh sebesar 5%

pertahunnya selama dua dekade mendatang, diperkirakan bisa mencapai sebanyak 20

triliun kaki kubik (Tcf) pertahun lebih cepat dari bahan bakar lainnya.

2.4 Dampak sengketa Laut China Selatan bagi NKRI

Bagi Indonesia meskipun bertatus Non Claimant States, namun apabila tidak ada

solusi yang tepat jangka pendek maupun panjang maka akan berdampak terhadap

ketahanan nasional. Karena apabila ditelaah hakikat Ketahanan Nasional adalah keuletan

dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemampuan untuk menghadapi tantangan,

(9)

Negara dalam perjuangan mencapai tujuan nasional. Oleh sebab itu, Ketahanan Nasional

merupakan landasan konseptual berupa pengaturan dan penyelenggaraan keamanan dan

kesejahteran yang meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa dan Negara.

Sengketa wilayah di Laut China Selatan bagi Indonesia apabila tidak terselesaikan

dengan baik bisa mengaruh pada sengketa mendalam dengan Cina, seperti halnya

Vietnam dan Philipina yang sudah melibatkan kekuatan militer meskipun dalam skala

kecil. Hal senada bisa terjadi kepada Indonesia karena sengketa langsung akan terjadi

jika Cina memaksakan ingin menguasai Laut China Selatan sesuai yang diklaimnya akan

menyangkut salah satu wilayah kedaulatan NKRI yakni kepulauan Natuna yang secara

langsung menyangkut dua aspek ketahanan nasional, yakni Geografi dan Sumber

Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya.

2.5 Prospek manajemen penyelesaian konflik pada Laut China Selatan

Konflik secara umum merupakan perbedaan kepentingan yang melibatkan dua pihak

atau lebih. Demikian halnya pertikaian dan sengketa wilayah antara China dan Claimant

states di Laut China Selatan yang selama ini terjadi karena adanya disintegrasi

kepentingan antar kedua pihak yang bertikai, ada beberapa kemungkinan solusi sengketa

Laut China Selatan yakni sebagai berikut:

1. Penggunaan kekuatan militer, Clausewitz mengungkapkan bahwa perang adalah

tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menundukkan musuh agar mau mengikuti

keinginan kita. Dari pernyataan tersebut kemudian timbullah suatu pertanyaan,

apakah akan terjadi perang untuk kasus Laut China Selatan? Secara matematis

kekuatan militer China jauh diatas bai dari aspek kuantitas dan kualitas dibanding

dengan 5 negara (4 claimants states dan 1 non claimant states) meskipun anggaran

pertahanan dan kekuatan militer mereka digabungkan. Apabila China menggunakan

kekuatan militer untuk memaksakan kehendak penguasaan sebagian besar wilayah

(10)

melibatkan Amerika Serikat sebagai salah satu negara super power yang mempunyai

kepentingan strategis secara ekonomi, politik, dan militer di kawasan Laut China

Selatan. Aspek ini membuat China ada di posisi yang tidak menguntungkan, hal ini

diyakini menjadi salah satu pertimbangan bahwa China tidak akan menggunakan

kekuatan militer menyerang Claimant states di Laut China Selatan untuk

menyelesaikan sengketa wilayah.

2. Penyelesaian secara hukum dan upaya politik serta diplomatik melalui ASEAN frame

work merupakan cara yang paling tepat saat ini untuk sengketa Laut China Selatan.

Prinsip ASEAN untuk sengketa Laut China Selatan adalah tidak menjadikan aksi

saling mengklaim itu sebagai ajang rivalitas dan saling menghantam antar beberapa

kekuatan, namun harus dicarikan solusi damai yang mengikat bagi semua pihak.

Oleh karena itu kerangka ASEAN dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan

harus mengedepankan langkah-langkah sebagai berikut:

A. Secara hukum, sengketa Laut China Selatan sebenarnya murni masalah hukum

dan seyogyanya solusi masalahya secara hukum juga. PBB sebenarnya sudah

mempunyai UNCLOS 1982 sebagai landasan penyelesaian sengketa Laut China

Selatan, namun disadari penyelesaian sengketa lewat metode ini bukanlah hal

yang mudah karena akan menyangkut prinsip kedaulatan masing-masing negara

yang bertikai. Meskipun penuntasan sengketa melalui legal frame work ini

membutuhkan waktu yang cukup panjang dan sulit di capai karena kuatnya posisi

China di PBB, namun langkah ini harus terus menerus diupayakan ASEAN

sebagai solusi permanen jangka panjang yang komprehensif agar terwujudnya

penyelesaian sengketa di Laut China Selatan melaui jalur hukum dapat terwujud. B. Secara politik dan diplomatik, upaya ini merupakan solusi yang menyentuh akar

permasalahan penyelesaian sengketa Laut China Selatan. ASEAN yang dianggap

(11)

kepentingan yang bertikai diharapkan bisa menyelesaikan konflik klaim wilayah

Laut China Selatan.

2.6 Kontribusi Indonesia dalam menyikapi sengketa Laut China Selatan

Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara sebenarnya tidak terlibat secara

langsung di dalam konflik perebutan wilayah di Laut Cina Selatan tersebut. Akan tetapi,

Asia Tenggara merupakan lahan strategis bagi Indonesia yang memiliki sejumlah potensi

regionalitas di dalam keanggotaan ASEAN. Dengan demikian, apabila stabilitas regional

di dalam ASEAN terancam akibat konflik di kawasan Laut Cina Selatan, tentu akan

berpengaruh bagi Indonesia. Apabila konflik ini tidak juga segera diselesaikan,

diperkirakan akan menimbulkan sebuah chaos yang semakin memuncak. Sehingga,

walaupun Indonesia bukan merupakan aktor yang langsung terlibat di dalam sengketa

wilayah ini. Akan tetapi, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi aktor kunci guna

memberikan peran secara konstruktif dalam upaya penyelesaian masalah konflik di Laut

Cina Selatan secara damai. Indonesia menyadari bahwa instabilitas di kawasan

berpeluang sebagai goncangan tersendiri bagi keutuhan internal ASEAN. Apabila

keempat negara anggota ASEAN yang memiliki konflik klaim wilayah di kawasan Laut

Cina Selatan tetap bersikukuh mempertahankan kepentingan masing-masing negara,

maka eksistensi ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara akan dipertanyakan.

Oleh karena itu, inisiasi Indonesia untuk mengambil langkah aktif dan reaktif terhadap

konflik ini tentu didukung oleh anggapan bahwa Indonesia adalah pihak yang netral.

Indonesia dilihat mampu memahami kerumitan konflik ini karena faktor geografis antara

Indonesia dengan Laut Cina Selatan tidak terlampau jauh. Upaya yang dapat Indonesia

lakukan adalah melalui jalur diplomasi yang kemudian lebih dikenal sebagai langkah

(12)

Langkah tersebut senada dengan yang di ungkapkan oleh Menteri Luar Negeri

Indonesia RI, Marty Natalegawa saat menyampaikan Pernyataan Pers Tahunan

Kementeriaan Luar Negeri RI 2014 di Jakarta. Menurut dia, pemerintah Indonesia

memiliki keyakinan bahwa kekuatan diplomasi menjadi solusi dalam mewujudkan situasi

damai dan harmonis di kawasan Asia. “Termasuk dalam penyelesaian konflik di laut Cina

Selatan”. Marty menyatakan bahwa melalui forum ASEAN maupun forum lainnya,

Indonesia akan selalu menggunakan kekuatan diplomasi untuk berkontribusi mewujudkan

perdamaian, keamanan dan kemakmuran di dunia internasional. Mekanisme diplomasi

preventif memberikan pengaruh yang cukup baik dalam penyelesaian konfilik secara

damai. Negara-negara terkait menyadari bahwa konfrontasi militer hanya akan

berdampak buruk bagi semua pihak. Sebagai negara yang memprakarsai pola diplomasi

dalam menyelesaikan konflik di kawasan Laut Cina Selatan, partisipasi Indonesia diakui

dunia internasional sebagai pihak aktif dalam mencari celah konsolidasi politik dan

menyerukan arti penting kawasan Laut Cina Selatan yang tidak hanya dianggap

signifikan bagi negara-negara yang berada diwilayah sekitarnya melainkan turut

dirasakan demikian bagi dunia internasional. Semua pihak terus berharap, semoga

Konflik dilaut cina selatan dapat teratasi dengan baik tanpa harus menelan korban,

Dengan demikian, situasi politik dapat berjalan kondusif dan Indonesia dapat terus

menanamkan kewibawaanya dimata Internasional. Negara-negara yang berkonflik perlu

meniru langkah Indonesia dalam menyelesaikan masalah perbatasannya dengan Pilipina,

tidak perlu menggunakan diplomasi kapal perang.

2.7 Peran ASEAN dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan

Menyadari betapa rumitnya penyelesaian sengketa Laut China Selatan, maka ASEAN

(13)

1. Memperkuat skope, kapasitas dan ketentuan kepemimpinan bagi setiap anggota yang

akan menjabat sebagai ketua ASEAN, sesuai dengan aturan rotasi jabatan yang telah

ditentukan agar setiap pergantian ada penekanan upaya berkelanjutan untuk

menuntaskan masalah penting bersama yang sedang dihadapi khususnya solusi

konstruktif masalah sengketa Laut China Selatan.

2. Memaksimalkan fungsi mekanisme kerja lembaga internal ASEAN yang sudah

disepakati khususnya di bidang maritim seperti ADMM (ASEAN Defence Maritime

Meeting), AMM (ASEAN Maritime Forum) dan mengimplementasikan dilapangan

terkait bidang maritim. Sedangkan melalui forum ARF (ASEAN Regional Forum)

diharapkan bisa menghasilkan suatu konsensus kuat yang bisa memperkuat posisi

ASEAN khususnya untuk penyelesaian sengketa di LCS.

3. Memepertimbangkan untuk melibatkan kekuatan luar yang mempunyai pengaruh

kuat seperti Amerika, Jepang, India agar terlibat aktif dalam kegiatan ADMM dan

AMM bersama ASEAN. Hal ini dilakukan sebagai upaya penyeimbang dengan

kekuatan China.

4. Memperkuat upaya meningkatkan kerjasama bilateral secara terus menerus dengan

tujuan pemanfaatan bersama secara simbiosis mutualisme potensi sumberdaya alam

yang ada di wilayah sengketa baik antara sesama anggota ASEAN maupun antar

masing-masing anggota yang bersengketa dengan China.

Salah satu upaya yang telah dilakukan ASEAN berikutnya yakni ASEAN Political

Security Community (APSC) Blueprint, yang disusun dalam rangka pencapaian

Komunitas Politik ASEAN. Hal ini dilakukan untuk mempercepat kerjasama politik

keamanan di ASEAN untuk mewujudkan perdamaian di kawasan Asia Tenggara,

termasuk dengan masyarakat internasional yang lain. Dalam cetak biru tersebut

disebutkan tindakan yang akan diambil dalam rangka konflik klaim wilayah Laut China

Selatan. Poin yang merujuk kepada hal terebut adalah poin A.2.3. Ensure full

(14)

memiliki isi inti bahwa ASEAN sebagai organisasi kerjasama regional yang solid akan

bisa mewadahi kepentingan dan menyelesaikan konflik yang klaim wiayah di LCS.

ASEAN sebelumnya telah memprakarsai penyelesaian konflik ini tahun 2002 di Kamboja

dengan penanda tanganan DOC (Declaration of Conduct) yang merupakan dokumen

pengatur pedoman saling menguntungkan yang harus disepakati oleh semua pihak yang

berkepentingan di LCS. Munculnya DOC adalah upaya ASEAN untuk menyikapi

terjadinya beberapa insiden antar Claimant States di LCS. Namun harus diakui DOC ini

bukan perjanjian yang mengikat bagi yang menandatanganinya, oleh karena itu

memerlukan upaya komprehensif untuk merealisasikannya, hal ini lah yang tertuang

dalam APSC Blueprint.

Konferensi tingkat tinggi ASEAN di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 6 April

2012 belum menghasilkan apapun. Proses pengelolaan sengketa yang melibatkan China

dan empat negara ASEAN (Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei) itu kini memasuki

tahapan penting dengan adanya rencana menyusun Code of Conduct (CoC) yang nantinya

akan disepakati oleh semua negara anggota ASEAN di China. Namun ASEAN belum

menemukan titik pandang yang sama mengenai bagaimana perumusan CoC agar dapat

dilakukan. Negara-negara ASEAN terbelah dalam menundukkan posisi oleh peran China.

Di satu pihak, sebagian negara ASEAN berpendapat bahwa China harus dilibatkan sejak

awal dalam proses perumusan CoC. Sebagian anggota lain, khususnya Filipina dan

Vietnam, bersikukuh ASEAN harus menyatukan posisi terlebih dahulu sebelum

menyodorkan draf CoC untuk dinegosiasikan dengan China. Pihak China tampaknya

berpandangan bahwa perumusan CoC tidak akan efektif tanpa melibatkan mereka sejak

awal. Sikap ini mencerminkan posisi Beijing yang enggan merundingkan CoC setelah

ASEAN memiliki posisi bersama mengenai masalah ini. Bagi China, keterlibatan sejak

awal dalam merumuskan CoC, terutama pada saat negara-negara ASEAN masih memiliki

(15)

mengherankan ketika presiden Hu Jintao, dalam lawatannya ke Kamboja meminta

bantuan Kamboja agar ASEAN tidak terburu-buru dalam menyelesaikan rancangan CoC.

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai kapan China harus dilibatkan, ASEAN belum

menyepakati mengenai fungsi dan elemen-elemen apa saja yang perlu dimasukkan

kedalam CoC.

Filipina masih bersikukuh bahwa harus ada kejelasan terlebih dahulu mengenai

wilayah-wilayah mana saja yang disengketakan dan yang tidak. Sementara sebagian

negara ASEAN lainnya berpendapat permintaan Filipina itu sulit dilakukan mengingat

sengketa atas kedaulatan dan yuridiksi di Laut China Selatan mustahil diselesaikan dalam

waktu singkat. Oleh karena itu, CoC sebaiknya dirumuskan tidak untuk menyelesaikan

sengketa teritorial, tetapi untuk merumuskan sebuah mekanisme yang dapat mendorong

kerja sama, membangun sikap saling percaya, mencegah konflik dan mengelola krisis,

serta menanggulangi insiden di laut.

Negara-negara ASEAN perlu menyadari bahwa perbedaan yang berlarut-larut di

antara mereka akan melemahkan posisi dan memperburuk citra ASEAN. Perbedaan

pendapat mengenai bentuk dan waktu keterlibatan China dalam penyusunan CoC telah

melahirkan spekulasi mengenai besarnya pengaruh China dalam melanggengkan

perbedaan pendapat di tubuh ASEAN. Keputusan Kamboja, sebagai tuan rumah KTT

ke-20 ASEAN, untuk tidak memasukkan soal laut china selatan ke dalam agenda resmi KTT

dilihat sebagai hasil dari pengaruh dan tekanan China terhadap negara itu. Dengan kata

lain, apabila ASEAN tidak dapat menyatukan sikap sesegera mungkin, spekulasi yang

menyatakan bahwa China berkemampuan dan berkepentingan untuk menekan ASEAN

akan mendapat pembenaran. Ketidak mampuan ASEAN merumuskan posisi bersam

mengenai CoC juga akan melahirkan kritik bahwa keinginan ASEAN untuk memiliki

suara yang sama sebagai satu komunitas dalam komunitas global bangsa-bangsa (ASEAN

(16)

harapan. Hal ini tentu saja berdampak pada keinginan ASEAN untuk tetap memainkan

peran sentral di kawasan Asia Timur, khususnya dalam mengelola hubungan dengan

negara-negara besar.

Mengikuti kehendak Kamboja untuk melibatkan China dari awal dalam merancang

CoC, yang notabene merupakan keinginan RRC, akan melemahkan kredibilitas dan

independensi ASEAN sebagai sebuah komunitas regional. ASEAN tidak perlu tunduk

kepada tekanan negara besar manapun dalam memutuskan apa yang menjadi

kepentingannya di kawasan. ASEAN tidak perlu terpengaruh pada posisi Beijing yang

keberatan apabila ASEAN menyatukan posisinya terlebih dahulu sebelum memasuki

meja perundingan dengan China. Sebab, seperti yang diamanatkan oleh Bali Concord III,

ASEAN harus berusaha sekuat mungkin untuk berbicara dengan satu suara. Namun,

harus diakui pula adalah tidak realis apabila pandangan dan posisi China diabaikan sama

sekali dalam proses ini. Pada akirnya, berhasil atau tidaknya CoC menjadi sebuah

kenyataan akan bergantung pada kesediaan Beijing juga. Oleh karena itu, ASEAN harus

mencari bentuk konsultasi yang wajar dengan Beijing dalam proses merancang CoC

tanpa harus melepaskan hak ASEAN untuk merumuskan posisi bersama terlebih dahulu.

Hal itu antara lain dapat dilakukan melalui jalur tidak resmi (second track) atau jalur

setengah resmi lainya. Misalnya dengan dapat memulai dengan memprakarsai

penyelenggaraan sebuah konferensi setengah resmi mengenai Laut China Selatan yang

melibatkan para pejabat dan pakar dari negara-negara ASEAN dan China. Kebuntuan

diplomatik kadang kala dapat dipecahkan justru melaluipertemuan-pertemuan tidak resmi

(17)

BAB III PENUTUP

3.1. Simpulan

Sejarah konflik Laut China Selatan sudah terjadi berabad-abad. Sengketa ini terkait

kedaulatan atas wilayah laut dan Paracel dan Spratly, dua kepulauan yang diklaim

seluruhnya atau sebagian oleh sejumlah negara. Bersamaan dengan pulau-pulau tersebut,

ada puluhan singkapan berbatu, atol, gumuk pasir dan karang, seperti Scarborough Shoal,

yang tidak berpenghuni. China mengklaim bagian terbesar dari wilayah-wilayah yang

didefinisikan oleh "garis sembilan-dash" yang membentang ratusan mil ke selatan dan

timur dari provinsi paling selatan mereka, Hainan. Beijing mengatakan haknya

berdasarkan sejarah 2.000 tahun lalu di mana rantai Kepulauan Paracel dan Spratly

dianggap sebagai bagian integral dari bangsa China. Hal ini tentu menimbulkan protes

dari berbagai negara yang berada di sekitar area Laut China Selatan (Filipina, Malaysia,

Brunei, Kamboja, dan Vietnam). Kelima negara tersebut menghendaki bahwa pembagian

laut china selatan adalah sesuai dengan ketentuan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dari

masing-masing wilayah teritorial masing-masing negara, sehingga sengketa ini

menimbulkan masalah yang berkepanjangan. ASEAN sebagai organisasi persatuan dari

negara-negara Asia turut ikut campur dalam menyelesaikan sengketa tersebut dengan

melakukan berbagai pertemuan antar negara, serta hubungan-hubungan diplomasi dengan

(18)

resmi, Indonesia sebagai salah satu anggota dari ASEAN seyogyanya ikut berpartisipasi

guna membantu menyelesaikan sengketa Laut China Selatan tersebut dengan

berkontribusi dalam memberikan saran-saran tertentu, contohnya adalah dengan

mengadakan pertemuan semi resmi dengan pejabat-pejabat dari berbagai negara untuk

bernegosiasi, karena dalam banyak hal mengenai permaslahan sengketa yang terjadi di

Dunia, jalan kesepakatan sering muncul dalam pertemuan-pertemuan semi resmi.

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala.2002. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional Edisi Revisi

Jakarta : Grafindo Persada

Csabafi, Anthony.1971. The Concept of State Jurisdiction in International Space Law

California : The Hague

Parthiana, I Wayan.2002.Hukum Perjanjian Internasional

Bandung : Mandar Maju

Siregar, Hasnil Basri.1998.Hukum Organisasi Internasional

Medan : Universitas Sumatera Utara Press

Suherman, Ade Maman.2003.Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi

Jakarta : Ghalia Indonesia

Wikipedia.2014.Laut China Selatan

Wikipedia : (di unduh. 13 Desember 2014)

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan trend suhu dan kelembaban udara pada Gambar 7 di daerah lahan pertanian lahan gambut di Desa Pelalawan memenuhi syarat tumbuh untuk tanaman padi dan jagung..

Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Dari kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian sama pengertiannya

bahwa penetapan batas Desa/Kelurahan dalam satu Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a telah disepakati oleh Desa Cijantra Kecamatan Pagedangan dan Kelurahan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerapkan teori nilai konsumsi untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pilihan konsumen mengenai produk ramah

Penelitian yang ditulis oleh Shella Puspita Mayasari, dkk yang berjudul “ Identifikasi Opsi Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Petani Apel di Kota batu” berkesimpulan

Pemberian pregabalin 150 mg preoperatif mempunyai nilai NRS lebih kecil dibandingkan dengan gabapentin 600 mg pada pembedahan modifikasi radikal mastektomi dan juga jumlah

Melalui proses filtrasi dengan alat gelas ini memungkinkan dilakukan recovery cairan ionik dan digunakan kembali (re-use) sebagai pelarut hidrolisis untuk sampel tandan kosong

Dengan demikian, usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan ke dalam pemikiran tentang Islam atau tentang agama lainnya pada saat ini, adalah ditujukan untuk