• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN HUKUM DI BIDANG KETAHANAN PANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN HUKUM DI BIDANG KETAHANAN PANG"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN HUKUM DI BIDANG KETAHANAN PANGAN Oleh : Siska Windu Natalia, SH

Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Pertama Sekretariat Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Pangan merupakan salah satu komoditas strategis di suatu Negara yang pemenuhannya menjadi masalah sensitif bagi masyarakat. Ketersediaan akan pangan, distribusi serta akses pangan menjadi salah satu kewajiban Pemerintah dalam memastikan terpenuhinya hak warga negara akan pangan. Ketahanan pangan menjadi tujuan Pemerintah yang diwujudkan dalam berbagai kebijakan yang diambil. Pengambilan kebijakan Pemerintah akan pangan tersebut dapat berbentuk kebijakan tertulis melalui peraturan perundang-undangan. Penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan akan pangan diharapkan menjadi alat yang tepat untuk mencapai tujuan negara dalam mewujudkan Ketahanan Pangan.

Kata Kunci:

Pangan, ketahanan pangan, ketersediaan pangan, distribusi, akses pangan, kebijakan, peraturan perundang-undangan.

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama selain sandang dan papan, dimana pemenuhan terhadap kebutuhan akan pangan menjadi salah satu hak asasi manusia, yang di Indonesia dijamin dan diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 khususnya Pasal 28A dan Pasal 28C ayat (1) demi terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas. Pangan menjadi komoditas yang penting dan kompleks, dimana pemenuhan kebutuhan akan pangan menjadi hal yang krusial dalam kehidupan manusia yang harus dipenuhi oleh Negara dan masyarakat secara bersama-sama.

(2)

kebijakan dalam bentuk regulasi di bidang pangan,khususnya untuk mencapai ketahanan pangan.

Permasalahan pangan di Indonesia seperti menjadi warisan turun temurun dari zaman Orde Baru. Pada tahun 1980-an Indonesia pernah meriah penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO) atas keberhasilannya mencapai swasembada beras,. Namun beberapa tahun setelah itu Indonesia harus mengimpor beras dari beberapa negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Pada tahun 2013, Indonesia mendapatkan penghargaan dari FAO yaitu Recognition For Outstanding Achievement In Fighting Hunger And Undernourishment. Penghargaan ini diberikan atas keberhasilan Indonesia menurunkan proporsi tingkat kelaparan dari 19,9 persen pada periode 1990-1992 menjadi 8,6 persen pada periode 2010-2012. Indonesia telah berhasil menurunkan angka penduduk yang menderita kelaparan dari 37 juta orang di tahun 1990 hingga 21 juta orang di tahun 2012 atau baru mencapai 43,8 persen1.

Di tingkat internasional, konsep ketahanan pangan (food security) diperkenalkan oleh FAO dalam rangka menghadapi tuntutan pemenuhan ketahanan pangan masyarakat.

Pendefinisian ketahanan pangan (food security) berubah dalam tiap konteks, waktu dan tempat. Lebih dari 200 definisi ketahanan pangan (FAO 2003 dan Maxwell 1996) dan sedikitnya ada 450 indikator ketahanan pangan (Hoddinott 1999).

Pada tahun 1996, World Food Summit mengemukakan bahwa ketahanan pangan ada saat semua orang, setiap waktu, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap makanan yang cukup, aman, dan bergizi yang memenuhi kebutuhan makanan dan preferensi makanannya untuk kehidupan yang aktif dan sehat2.

Ketahanan pangan mencakup faktor ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Faktor ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar masyarakat dapat memperoleh pangan dalam jumlah, kualitas dan keberlanjutan yang cukup dengan harga yang terjangkau. Sedangkan Faktor konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya.

1http://id.beritasatu.com/agribusiness/fao-nilai-indonesia-mampu-turunkan-tingkat-kelaparan/63068,

diakses tanggal 9 Agustus 2017

2http://www.fao.org/forestry/13128-0e6f36f27e0091055bec28ebe830f46b3.pdf, diakses tanggal 9

(3)

2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kebijakan hukum di bidang ketahanan pangan Indonesia saat ini.

3. Metode

Penelitian ini dilakukan dengan metode pustaka yaitu mengambil berbagai data terkait dari peraturan perundanag-undangan dan literatur.

4. Hasil dan Pembahasan

Kebijakan hukum di bidang ketahanan pangan saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan). Pada UU Pangan terdapat tiga istilah penting yaitu kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Dan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Selain UU Pangan, kebijakan tentang ketahanan pangan secara luas tercermin dari berbagai peraturan perundang-undangan terkait pangan dan pertanian.

a. UU 19/2013 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Petani (substansi mengenai asuransi bagi petani)

b. UU 30/2010 tentang Hortikultura (komoditas hortikultura sebagai sumber pangan) c. UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

(substansi untuk mengurangi laju konversi lahan sawah)

d. UU 18/2009 tetang Peternakan dan Kesehatan Hewan qsebagaimana telah diubah dengan UU …. (ternak sebagai salah satu sumber pangan, pengaturan mengenai impor produk peternakan)

e. UU 18/2004 tentang Perkebunan

(4)

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan kondisi eksternal dan internal, demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan beberapa peraturan perundang-undangan lain. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mendelegasikan beberapa pengaturan dalam:

a. Peraturan Pemerintah sebanyak 3 (tiga) Peraturan Pemerintah; b. Peraturan Presiden sebanyak 1 (satu) Peraturan Presiden; c. Peraturan Menteri sebanyak 2 (dua) Peraturan Menteri; dan d. Peraturan Daerah sebanyak 2 (dua) Peraturan Daerah.

Pada tahun 2015 peraturan perundang-undangan amanat UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang sudah ditetapkan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, sedangkan peraturan perundang-undangan yang lain masih dalam tahap penyusunan oleh kementerian/lembaga terkait.

Peraturan Perundang-undangan amanat UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang belum ditetapkan sampai pada tahun 2016 sebagai berikut:

a. Rancangan Peraturan Presiden tentang Badan Pangan Nasional

Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Badan Pangan Nasional (Rperpres BPN) merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang diprakarsai oleh Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian.

Menteri Pertanian telah menyampaikan draf RPerpres BPN ke Menteri PAN dan RB melalui Surat Nomor 04/OT.010/M/1/2016 tanggal 13 Januari 2016.

Draft RPerpres tersebut merupakan hasil pertemuan antara Deputi Kelembagaan dan Tata Laksana Kementerian PAN-RB dengan Sekjen Kementerian Pertanian.

RPerpres BPN merupakan tindak lanjut dari Pasal 129 UU Pangan, yang isinya meliputi:

1) Bab I Kedudukan, Tugas, dan Fungsi;

BPN adalah lembaga pemerintah non-kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, dan mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan.

(5)

a) perumusan dan penetapan kebijakan pangan nasional;

b) koordinasi perumusan kebijakan ketersediaan, distribusi, stabilisasi harga, kerawanan, gizi, penganekaragaman konsumsi, dan keamanan pangan; c) pengendalian ketersediaan dan distribusi pangan nasional;

d) pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pemerintah; e) pengendalian stabilisasi pasokan dan harga pangan;

f) penetapan kebijakan tarif pangan; g) pengendalian kerawanan pangan;

h) penyaluran bantuan pangan untuk masyarakat berpendapatan rendah; i) pengawasan pemenuhan persyaratan gizi pangan;

j) pengembangan dan pemantapan penganekaragaman dan pola konsumsi pangan;

k) pengawasan penerapan standar keamanan pangan; l) pembinaan dan supervisi di bidang pangan;

m) dukungan yang bersifat substantive pada seluruh unsur organisasi di lingkungan Badan Pangan Nasional;

n) pembinaan dan penyelenggaraan dukungan administrasi kepada seluruh unit di lingkungan Badan Pangan Nasional; dan

o) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Badan Pangan

Nasional. 2) Bab II Organisasi;

Badan Pangan Nasional terdiri atas: a) Kepala;

b) Sekretariat Utama;

c) Deputi Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan; d) Deputi Kerawanan Pangan dan Gizi; dan

e) Deputi Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan; f) Inspektorat;

g) Unsur Pendukung (Pusat yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala melalui Sekretaris Utama);

h) Jabatan Fungsional. 3) Bab III Kelompok Ahli;

Kelompok ahli dapat dibentuk dalam rangka perumusan kebijakan nasional di bidang pangan, yang mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala BPN dalam penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pangan.

(6)

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi Kepala BPN berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, perdagangan, perindustrian, sosial, perikanan, kesehatan, dan penanganan daerah tertinggal serta menteri/kepala lembaga lain yang terkait.

5) Bab V Eselonisasi, Pengangkatan, dan Pemberhentian; 6) Bab VI Pendanaan;

7) Bab VII Ketentuan Peralihan; 8) Bab VIII Ketentuan Lain-Lain; 9) Bab IX Ketentuan Penutup.

b. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan

Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Label dan Iklan Pangan merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang diprakarsai oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). RPP Label dan Iklan Pangan saat ini sedang dalam tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di Kementerian Hukum dan HAM.

RPP Label dan Iklan Pangan merupakan tindak lanjut dari UU Pangan yaitu: a) Pasal 102 ayat (4);

b) Pasal 103;

c) Pasal 106 ayat (3); d) Pasal 107; dan e) Pasal 112.

Isi RPP Label dan Iklan Pangan meliputi:

a) Bab I Ketentuan Umum yang memuat definisi dan pengertian yang terdapat dalam RPP Label dan Iklan Pangan;

b) Bab II Label Pangan yang memuat ketentuan mengenai:

 Penggunaan label pada kemasan pangan yang memuat paling sedikit keterangan mengenai : (i) nama produk; (ii) daftar bahan yang digunakan; (iii) berat bersih atau isi bersih; (iv) nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; (v) halal bagi yang dipersyaratkan; (vi) tanggal dan kode produksi; (vii) tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; (viii) nomor izin edar bagi pangan olahan; dan (ix) asal usul bahan pangan tertentu.

(7)

kedaluwarsa bagi pangan segar asal ikan; dan/atau (vii) nomor izin edar atau nomor lain yang disamakan.

 Penggunaan label pada kemasan pangan yang memiliki kondisi tertentu wajib mencantumkan keterangan mengenai: (I) kalim; (ii) kandungan gizi; (iii) peruntukkan; (iv) cara penggunaan; (v) cara penyimpanan; (vi) allergen; (vii) bahan tambahan pangan; (viii) pangan produk rekayasa genetik; (ix) pangan organik; (x) iradiasi pangan; (xi) standar nasional Indonesia; (xii) asal usul bahan; dan/atau (xiii) peringatan.

 Ketentuan lebih lanjut mengenai pencantuman keterangan yang wajib dicantumkan pada label pangan olahan ditetapkan oleh kepala lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan. Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai pencantuman keterangan yang wajib dicantumkan pada Label Pangan Segar ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sesuai bidang tugas dan kewenangannya.

c) Bab III Iklan Pangan yang memuat ketentuan mengenai:

 Iklan pangan harus memuat keterangan atau pernyataan mengenai Pangan dengan benar, tidak menyesatkan dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat, dan sesuai dengan informasi padal label.

 Publikasi iklan dapat dilakukan pada media periklanan sebagai media cetak, media elektronik, media luar ruang; dan/atau media lainnya.

 Iklan harus memuat pernyataan tentang pesan bagi masyarakat untuk berhati-hati dalam memilih dan mengonsumsi pangan.

d) Bab IV Pembinaan yang memuat ketentuan mengenai:

 Pembinaan terhadap pelaku usaha, pengawas, dan masyarakat terkait penerapan ketentuan label dan iklan pangan olahan dilaksanakan oleh kepala lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.

 Dalam hal Pangan Olahan merupakan pangan siap saji, pembinaan terhadap Pelaku Usaha, pengawas, dan masyarakat terkait penerapan ketentuan Label dan Iklan Pangan dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, bupati/walikota.

(8)

penerapan ketentuan Label dan Iklan Pangan dilaksanakan oleh kepala lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dan bupati/walikota secara sendiri atau bersama-sama.

 Pembinaan terhadap Pelaku Usaha, pengawas, dan masyarakat terkait penerapan ketentuan Label dan Iklan Pangan Segar dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, gubernur, bupati/walikota, sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

e) Bab V Pengawasan yang memuat ketentuan mengenai:

 Pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan Label dan Iklan Pangan Olahan, dilaksanakan oleh kepala lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, yang mencakup mencakup pengawasan dalam rangka pencegahan dan pengawasan dalam rangka penegakan hukum.

 Pengawasan terhadap persyaratan Label dan Iklan Pangan Segar, dilaksanakan oleh lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pangan.

 Pengawasan terhadap pencantuman keterangan tentang halal pada Label dan Iklan Pangan Segar dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

 Pengawasan terhadap pencantuman keterangan tentang halal pada Label dan Iklan Pangan Olahan dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berkoordinasi dengan kepala lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.

f) Bab VI Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif; g) Bab VII Peran Serta Masyarakat;

h) Bab VIII Ketentuan Peralihan; dan i) Bab IX Ketentuan Penutup.

(9)

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Keamanan Pangan merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang diprakarsai oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). RPP Keamanan Pangan saat ini sedang dalam tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi di Kementerian Hukum dan HAM.

Isi RPP Keamanan Pangan meliputi:

a) Bab I Ketentuan Umum yang memuat definisi dan pengertian yang terdapat dalam RPP Keamanan Pangan, dan ruang lingkup penyelenggaraan keamanan pangan;

b) Bab II Penyelenggaraan Keamanan Pangan yang memuat ketentuan mengenai:

 Sanitasi pangan

 Sanitasi Pangan dilakukan dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, Penyimpanan Pangan, Pengangkutan Pangan, dan/atau Peredaran Pangan.

 Persyaratan Sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit berupa: penghindaran penggunaan bahan yang dapat mengancam Keamanan Pangan di sepanjang Rantai Pangan; pemenuhan persyaratan Cemaran Pangan; pengendalian proses di sepanjang Rantai Pangan; penerapan sistem ketertelusuran bahan; dan pencegahan penurunan atau kehilangan kandungan Gizi Pangan.

 Persyaratan Sanitasi diatur dalam pedoman cara yang baik yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, atau Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

 Bahan Tambahan Pangan

 Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan Bahan Tambahan Pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan dan/atau bahan yang dilarang digunakan sebagai Bahan Tambahan Pangan.

(10)

siap saji, batas maksimal Bahan Tambahan Pangan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

 Pangan Produk Rekayasa Genetik

 Pangan Produk Rekayasa Genetik wajib mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan yang ditetapkan oleh Kepala Badan setelah mendapat rekomendasi dari Komisi..

 Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode Rekayasa Genetik Pangan dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan.

 Iradiasi Pangan

 Iradiasi Pangan wajib menggunakan fasilitas iradiasi yang telah memiliki izin pemanfaatan sumber radiasi pengion dan bahan nuklir dari kepala lembaga yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan tenaga nuklir.

 Izin pemanfaatan sumber radiasi pengion dan bahan nuklir diberikan setelah memenuhi persyaratan: kesehatan; teknik dan peralatan; konstruksi bangunan/fasilitas; penanganan limbah dan penanggulangan bahaya zat radioaktif; keselamatan kerja; dan kelestarian lingkungan.

 Standar kemasan pangan

 Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan dalam Kemasan wajib menggunakan bahan Kemasan Pangan yang tidak membahayakan kesehatan manusia.

 Setiap Orang dilarang membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan, dan dikecualikan terhadap Pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.

(11)

 Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan

 Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan wajib memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan melalui penerapan sistem jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.

 Standar Keamanan Pangan mencakup ketentuan Sanitasi Pangan, Bahan Tambahan Pangan, Pangan Produk Rekayasa Genetik, Iradiasi Pangan, Kemasan Pangan, dan penggunaan bahan lainnya.

 Standar Mutu Pangan mencakup karakteristik dasar sesuai dengan jenis Pangan dalam keadaan normal yang didasarkan pada kriteria organoleptik, fisik, komposisi, dan/atau kandungan Gizi Pangan.

 Standar Mutu Pangan dapat ditetapkan melalui penyusunan SNI oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, atau Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.

 Dalam hal Pangan yang mempunyai tingkat risiko Keamanan Pangan yang tinggi, standar Mutu Pangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, atau Kepala Badan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing menetapkan ketentuan Mutu Pangan di luar SNI.

 Penerapan sistem jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan dan/atau skala usaha.

(12)

 Pemberian sertifikat jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 Setiap Orang yang memproduksi Pangan untuk diedarkan harus melakukan pendaftaran sarana produksi kecuali petani, peternak, dan nelayan.

 Setiap Pangan Olahan yang diproduksi di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebelum diedarkan wajib memiliki izin edar, kecuali Pangan Olahan tertentu yang diproduksi oleh industri rumah tangga, yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota.

 Setiap orang yang memproduksi Pangan Olahan siap saji untuk diperdagangkan harus menggunakan sarana produksi yang memiliki sertifikat untuk menjamin Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota.

 Setiap Pangan Segar asal tumbuhan yang diedarkan di wilayah Republik Indonesia baik yang diproduksi di dalam negeri maupun impor yang diperdagangkan dalam kemasan berlabel wajib memiliki izin edar yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, atau Bupati/Walikota.

 Persyaratan untuk mengimpor pangan meliputi : (i) Pangan telah diuji, diperiksa, dan/atau dinyatakan memenuhi persyaratan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan oleh pihak yang berwenang di Indonesia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat; (ii) Pangan yang telah diuji oleh pihak yang berwenang di negara asal yang telah menjalin kesepakatan saling pengakuan dengan pihak yang berwenang di Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak perlu diuji atau diperiksa; (iii) Pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan/atau pemeriksaan; dan (iv) Pangan telah mendapat persetujuan pemasukan.

 Jaminan Produk Halal bagi yang Dipersyaratkan

 Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan terhadap Pangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(13)

 Pengawasan terhadap persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan untuk Pangan Segar dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, Gubernur dan/atau Bupati/Wali Kota.

 Pengawasan terhadap persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan untuk Pangan Olahan dilaksanakan oleh Kepala Badan.

 Pengawasan terhadap persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan untuk Pangan Olahan industri rumah tangga dilaksanakan oleh Kepala Badan dan/atau Bupati/Wali Kota secara sendiri atau bersama.

 Pengawasan terhadap persyaratan Keamanan Pangan, Mutu Pangan, dan Gizi Pangan untuk untuk Pangan Olahan Siap Saji dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan atau Bupati/Wali Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing.

d) Bab IV Kejadian Luar Biasa dan Kedaruratan Keamanan Pangan yang memuat ketentuan mengenai:

 Setiap Orang yang mengetahui adanya dugaan keracunan Pangan yang dialami lebih dari satu orang harus melaporkan kepada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

 Dalam hal dugaan keracunan Pangan terdapat di wilayah pelabuhan, bandar udara, dan pos pemeriksaan lintas batas, setiap orang yang mengetahui adanya dugaan keracunan Pangan yang dialami lebih dari satu orang wajib melaporkan kepada kantor kesehatan pelabuhan setempat.

 Fasilitas Pelayanan Kesehatan memberikan laporan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada menteri menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan Kepala Badan dalam waktu paling lama 1x24 jam sejak laporan diterima.

 Kepala kantor kesehatan pelabuhan wajib segera melaporkan kepada menteri menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dengan tembusan kepada Kepala Badan, Gubernur, Bupati/Walikota dalam waktu paling lama 1x24 jam sejak laporan diterima.

 Bupati/Walikota atau Kepala kantor kesehatan pelabuhan melakukan upaya pencegahan meluasnya KLB Keracunan Pangan berkoordinasi dengan Kepala Badan meliputi pertolongan pada korban, penyelidikan epidemiologi, dan pencegahan.

(14)

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

 Masalah Keamanan Pangan dapat merupakan Kedaruratan Keamanan Pangan yang ditetapkan berdasarkan kriteria: beredarnya Pangan yang sangat membahayakan kesehatan; beredarnya informasi Keamanan Pangan yang menyesatkan di masyarakat; terjadinya masalah Keamanan Pangan akibat bencana.

 Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Kepala Badan atau Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing segera melakukan tindakan penanganan cepat terhadap Kedaruratan Keamanan Pangan. e) Bab V Sanksi Administratif

 Sanksi administratif dapat berupa: denda; penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; ganti rugi; dan/atau pencabutan izin.

f) Bab VI Peran Serta Masyarakat; g) Bab VII Ketentuan Penutup.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi

Peraturan Pemerintah yang telah ada sekarang sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Sedangkan peraturan pemerintah mengenai label dan iklan pangan serta peraturan pemerintah mengenai keamanan dan mutu pangan sedang dalam tahap penyusunan.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 mengamanatkan untuk ditindaklanjuti dengan: (i) 4 (empat) Peraturan Presiden; (ii) 11 (sebelas) Peraturan Daerah Peraturan Gubernur, dan/atau Peraturan Bupati/Walikota; (iii) 15 (lima belas) Peraturan Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah, dengan rincian seperti tertera pada tabel.

NO PASAL AYAT AMANAT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG

(15)

1 2 3 4 PERATURAN PRESIDEN

1. 4 Jenis Pangan Pokok Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Presiden sebagai Cadangan Pangan Pemerintah

2. 11 2 Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden

3. 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah Diatur dengan PeraturanPresiden

4. 36 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan pengendalian diatur dengan PeraturanPresiden PERATURAN DAERAH, PERATURAN GUBERNUR, DAN/ATAU PERATURAN BUPATI/WALIKOTA

1. 16 3 Dalam hal Pemerintah tidak menetapkan harga pembelian, pembelian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan harga pembelian untuk Cadangan Pangan Pemerintah Desa yang ditetapkan oleh Gubernur

2. 16 4 Dalam hal Gubernur tidak menetapkan harga pembelian , pembelian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan harga pembelian untuk Cadangan Pangan Pemerintah Desa yang ditetapkan oleh bupati/wali kota 3. 17 1 Bupati/wali kota menetapkan Jenis dan Jumlah

Pangan Pokok Tertentu sebagai Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b 4. 19 3 Dalam hal Pemerintah tidak menetapkan harga

pembelian, pembelian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan harga pembelian untuk Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh Gubernur 5. 19 4 Dalam hal Gubernur tidak menetapkan harga

(16)

NO PASAL AYAT AMANAT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

1 2 3 4

pembelian untuk Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh bupati/wali kota

6. 20 1 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota

7. 23 3 Dalam hal Pemerintah tidak menetapkan harga pembelian, pembelian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan harga pembelian untuk Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi yang ditetapkan oleh Gubernur

8. 24 1 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi diatur dengan peraturan daerah provinsi 9. 43 3

huruf b

Program kesiapsiagaan Krisis Pangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan ditetapkan oleh : b. Gubernur, untuk Program kesiapsiagaan Krisis Pangan Provinsi

10. 43 3 huruf

c

Program kesiapsiagaan Krisis Pangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan ditetapkan oleh : c. bupati/wali kota, untuk Program kesiapsiagaan Krisis Pangan Kabupaten/Kota 11. 70 2 Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan pangan

pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya

PERATURAN MENTERI/KEPALA LEMBAGA PEMERINTAH

(17)

NO PASAL AYAT AMANAT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

1 2 3 4

2. 8 4 Ketentuan mengenai batas waktu simpan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah 3. 27 3 Ketentuan mengenai pola pangan harapan

dan/atau ukuran lainnya diatur dengan Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah

4. 28 2 Standar Mutu produk Pangan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga terkait

5. 39 4 Penambahan jenis dan komposisi zat gizi pada Pangan tertentu yang diedarkan dan persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan

6. 43 3 huruf

a

Program kesiapsiagaan Krisis Pangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan ditetapkan oleh : a. Kepala Lembaga Pemerintah, untuk Program kesiapsiagaan Krisis Pangan Nasional

7. 43 7 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan dan rincian kajian diatur dengan Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah 8. 44 5 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penyusunan program kesiapsiagaan Krisis Pangan diatur dengan Peraturan Kepala Lembaga

Pemerintah

9. 60 5 Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian dan tata cara pengembangan infrastruktur distribusi pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur

dengan Peraturan Menteri yang

(18)

NO PASAL AYAT AMANAT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

1 2 3 4

10. 60 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian pengembangan sarana distribusi pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri yang

menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang perhubungan

11. 62 2 Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian dan tata cara perwujudan kelancaran dan keamanan distribusi pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang perdagangan

12. 64 4 Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang perdagangan 13. 67 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi

administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan

Pemerintahan di bidang perdagangan

14. 70 1 Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan Pangan Pemerintah diatur dengan PeraturanKepala Lembaga Pemerintah berdasarkan hasil rapat koordinasi tingkat menteri/ kepala lembaga 15. 73 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

(19)

Pada tahun 2017, belum ada peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi yang ditetapkan, selain itu Peraturan Pemerintah ini juga belum dapat dioperasionalkan karena belum terbentuk Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan sesuai amanat UU Pangan dan PP ini, sehingga fungsi Lembaga Pemerintah tersebut masih dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian yang dalam hal ini oleh Badan Ketahanan pangan. Dalam pelaksanaannya Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian tidak dapat secara maksimal karena kurangnya koordinasi.

Terkait Cadangan Pangan Pemerintah, PP Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi mengamanatkan untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden/Keputusan Presiden yang memuat:

1. Jenis pangan pokok tertentu sebagai CPP (Pasal 4); 2. Penugasan BUMN di bidang pangan (Pasal 11 ayat (2)); 3. Tata cara penyelenggaraan CPP (Pasal 12).

Dalam Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada Perusahaan Umum (Perum) Bulog dalam rangka Ketahanan Pangan Nasional, telah diatur mengenai penugasan Bulog untuk melakukan pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah terhadap jenis pangan pokok beras, jagung, dan kedelai.

Pasal 2:

(1) Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional, Pemerintah menugaskan badan usaha milik negara untuk menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen.

(2) Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas jenis pangan pokok: a. beras;

b. jagung; c. kedelai; d. gula;

e. minyak goreng; f. tepung terigu; g. bawang merah; h. cabe;

i. daging sapi;

j. daging ayam ras; dan k. telur ayam.

(20)

untuk jenis pangan pokok beras, jagung, dan kedelai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c.

(4) Untuk jenis pangan pokok selain yang ditugaskan kepada Perum BULOG sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melalui Menteri dapat menugaskan kepada badan usaha milik negara diluar Perum BULOG atau kepada Perum BULOG dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara dan berdasarkan Keputusan Rapat Koordinasi.

(5) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 3:

(1) Perum BULOG dalam melaksanakan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) melakukan:

a. pengamanan harga pangan ditingkat produsen dan konsumen; b. pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah;

c. penyediaan dan pendistribusian pangan;

d. pelaksanaan impor pangan dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam huruf

a, huruf b, dan huruf c sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. pengembangan industri berbasis pangan; dan f. pengembangan pergudangan pangan.

(2) Perum BULOG dalam menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen untuk jenis pangan pokok beras, melakukan:

a. pengamanan harga beras ditingkat produsen dan konsumen; b. pengelolaan cadangan beras Pemerintah;

c. penyediaan dan pendistribusian beras kepada golongan masyarakat tertentu;

d. pelaksanaan impor beras dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. pengembangan industri berbasis beras, termasuk produksi padi/gabah, pengolahan gabah dan beras; dan

f. pengembangan pergudangan beras. Pasal 4:

(21)

a. besaran jumlah Cadangan Pangan Pemerintah yang akan dikeIola oleh Perum BULOG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b; b. besaran jumlah Cadangan Beras Pemerintah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b.

(2) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan HPP.

(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Koordinasi.

Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal

Penganekaraman konsumsi pangan merupakan upaya untuk memantapkan atau membudayakan pola konsumsi pngan yang beranekaragam dan seimbang serta aman dalam jumlah dan komposisi yang cukup guna memenuhi kebutuhan gizi untuk mendukung hidup sehat, aktif dan produktif.Indikator untuk mengukur tingkat keanekaragaman dan keseimbangan konsumsi pangan masyarakat adalah dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) yang ditunjukkan dengan nilai 95 dan diharapkan dapat dicapai pada tahun 2015. Perpres ini merupakan kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal yang ditargetkan selesai pada tahun 2015.

Perpres 22 Tahun 2009 ini telah ditindaklanjuti oleh 24 provinsi melalui Peraturan Gubernur maupun Instruksi Gubernur, namun tindak lanjut tersebut belum menjabarkan secara rinci program atau usaha yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam upaya percepatan diversfikasi. Nantinya diharapkan Peraturan Gubernur dan Instruksi Gubernur yang dibentuk sebagai tindak lanjut Perpres 22 Tahun 2009 ini dapat lebih operasional sehingga dapat dilaksanakan.

(22)

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum (Perum) BULOG Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional

Perpres ini ditetapkan untuk mengantisipasi dampak kondisi iklim ekstrem yang dapat mengganggu penyerapan produksi gabah dan beras dalam negeri, memperkuat dan mempercepat persediaan beras, serta stabilisasi harga beras pada tingkat konsumen dan produsen. Perpres ini ditetapkan tanggal 24 Februari 2017 dan diundangkan tanggal 28 Februari 2017. Beberapa ketentuan dalam Perpres Nomor 48 Tahun 2016 diubah yaitu disisipkan 6 (enam) pasal di antara Pasal 17 dan Pasal 18 yaitu:

a. Pasal 17A, yang melimpahkan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 7 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (1) huruf b dan ayat (2), dan Pasal 11 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Perpres Nomor 48 Tahun 2016 kepada Menteri Pertanian khusus untuk komoditas gabah dan beras. Pelimpahan kewenangan tersebut dilakukan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan.

b. Pasal 17B, kebijakan pengadaan pangan melalui pembelian gabah dan beras dalam negeri mengacu pada Harga Pemeblian Pemerintah (HPP) sebagaimana diatur dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Menteri Pertanian diamanatkan untuk membuat ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian gabah dan beras dalam negeri dengan kualitas di luar ketentuan dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2015.

c. Pasal 17C, Menteri Pertanian bertanggung jawab dalam hal penyelesaian administrasi dan pembayaran yang ditimbulkan dari penugasan selama jangka waktu 6 )enam) bulan tersebut.

d. Pasal 17D, dalam pelaksanaan pelimpahan kewenangan tersebut, Menteri Pertanian berkoordinasi dengan Menko Perekonomian.

e. Pasal 17E, peraturan pelaksanaan dari Perpres tersebut harus ditetapkan oleh Menteri Pertanian paling lama 7 (tujuh) hari terhitung Perpres tersebut diundangkan. f. Pasal 17F, Menetri Pertanian melaporkan hasil pelaksanaan Perpres tersebut

kepada Presiden atau sewaktu-waktu bila diperlukan.

Pelimpahan kewenangan berdasarkan Perpres Nomor 48 Tahun 2016 dari Menteri Perdagangan kepada Menteri Pertanian untuk jangka waktu 6 (enam) bulan berdasarkan Perpres 20 Tahun 2017meliputi:

a. Penetapan HPP gabah dan beras (Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3)); b. Fleksibilitas pembelian harga gabah dan beras (Pasal 5 ayat (4)); c. Harga Ecerean Tertinggi (HET) beras (Pasal 5 ayat (5));

(23)

e. Penggunaan Cadangan Pangan Pemerintah atau Cadangan Beras Pemerintah untuk Operasi Pasar Umum dan Khusus (Pasal 8 ayat (1) huruf b dan ayat (2)); f. Usulan alokasi anggaran untuk kompensasi dan margin penugasan kepada Perum

BULOG (Pasal 11 ayat 2, ayat (3), dan ayat (4).

Untuk menindaklanjuti Perpres Nomor 20 Tahun 2017, Menteri Pertanian telah menetapkan:

a. Peraturan Menteri Pertanian Selaku Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor 03/Permentan/PP.200/3/2017 tentang Perubahan Ketiga Atas Pertauran Menteri Pertanian Selaku Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor 71/Permentan/PP.200/12/2015 tentang Pedoman Harga Pembelian Gabah dan Beras Diluar Kualitas oleh Pemerintah;

b. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/PP.200/3/2017 tentang Penyerapan Gabah Di Luar Kualitas Dalam Rangka Penugasan Pemerintah;

c. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/PP.200/5/2017 tentang Operasi Pasar Menggunakan Cadangan Beras Pemerintah Dalam Rangka Stabilisasi Harga.

5. Kesimpulan

Peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan ditetapkan oleh Pemerintah terkait ketahanan pangan secara kuantitas telah cukup banyak, tetapi secara kualitas perlu pengkajian mendalam karena pangan merupakan masalah kompleks yang penanganannya melibatkan berbagai sektor.

6. Saran

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga, pemerintah daerah harus mengetahui dengan pasti apa saja yang merupakan sektor basis maupun sektor non basis serta sektor-sektor mana sajakah yang memiliki

Di dalam perusahaan tersebut pasti terjadi interaksi kepemimpinan lintas budaya yang nyata antara manajer asing ( expatriates manager ) dan bawahan lokal mereka.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana sejarah kedatangan Orang Sakai di Jembatan II RW 09 Dusun Buluh Manis Desa Petani, bagaimana kehidupan Orang Sakai

Pada perdagangan hari ini kami perkirakan harga Surat Utang Negara masih akan bergerak terbatas pada awal perdagangan jelang lelang perdagangan Surat Utang Negara pada

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai diagnostik urinalisis lekosit esterase terhadap kultur urin (gold standard) untuk mendiagnosa Infeksi Saluran

Untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang yang sedang melaksanakan pendidikan tentang perawatan yang dilakukan

Sasaran dari penelitian ini adalah nelayan Krendet yang ada di daerah Pantai Waru Kecamatan Paranggupito Kabupaten Wonogiri agar dalam pengoperasian Krendet