TUGAS MATA KULIAH PEMULIAAN TANAMAN
PEMULIAAN TANAMAN BAWANG MERAH DENGAN MOTODE
KONVENSIONAL DAN NON KONVENSIONAL
JEANNE ISBEANNY LFH
Dosen Pengampu:
Ir. Junaidi, M.Si
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura penting di Indonesia yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk tanpa memperhatikan tingkat sosial. Komoditas ini mempunyai prospek yang sangat cerah, mempunyai kemampuan untuk menaikan taraf hidup petani, nilai ekonomis yang tinggi, merupakan bahan baku industri, dibutuhkan setiap saat sebagai bumbu masak, berpeluang ekspor, dapat membuka kesempatan kerja, dan merupakan sumber kalsium dan fosfor yang cukup tinggi (Direktorat Bina Produksi Hortikultura, 1999).
Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 propinsi di Indonesia. Di Indonesia, daerah yang merupakan sentra produksi bawang merah adalah Cirebon, Brebes, Tegal, Kuningan, Wates (Yogyakarta), Lombok Timur dan Samosir (Sunarjono dan Soedomo 1989). Konsumsi rata-rata bawang merah untuk tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38 kg/kapita/bulan. Estimasi permintaan domestik tersebut pada tahun 2004 mencapai 915.550 ton (konsumsi 795.264 ton, benih ekspor dan industry 119.286 ton). (Litbang, 2008).
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Holtikultura (DJH) menyebutkan bahwa produksi bawang merah di Indonesia dari tahun 2006 - 2010 selalu mengalami peningkatan yaitu sebesar 794.929 ton, 802.810 ton, 853.615 ton, 965.164 ton, 1.048.934 ton. Akan tetapi, sepanjang tahun 2010 impor bawang merah di Indonesia tercatat sebesar 73.864 ton dan dalam tiga bulan pertama tahun 2011, impor bawang merah di Indonesia mencapai 85.730 ton. Hal itu membuktikan bahwa kebutuhan akan bawang merah di dalam negeri masih tinggi dibandingkan ketersediaannya. Dengan demikian, produktivitas bawang merah dalam negeri perlu ditingkatkan. Kebutuhan pasar dunia akan bawang merah ini sangat tinggi, begitu pula kebutuhan nasional. Tetapi produksi di Indonesia sangat terbatas, bahkan beberapa jumlah harus diimpor. Karena meskipun iklim, musim dan lahan di Indonesia mendukung untuk budidaya, kebanyakan petani tinggal di dataran rendah, sedangkan tumbuhan bawang umumnya merupakan tumbuhan dataran tinggi (Rismunandar, 1989; Samadi dan Cahyono, 1999).
Saat ini ketersediaan bibit bawang merah mengalami kesulitan karena keterbatasan varietas lokal yang ada, karena petani lebih memilih untuk mengembangkan varietas asal impor, seperti varietas impor Ilokos dan Tanduyung yang ukurannya lebih besar, kandungan airnya lebih banyak serta warnanya lebih pucat, sementara aromanya jauh lebih rendah dibandingkan bawang merah varietas lokal. Meski demikian, bawang merah varietas ini dinilai lebih tahan terhadap serangan hama bawang sehingga banyak ditanam petani (Basuki, 2005). Tersedianya varietas lokal yang beragam memberikan banyak pilihan kepada petani, di samping dapat mengurangi penggunaan benih impor. Penggunaan benih bawang merah impor untuk konsumsi oleh petani sangat berpotensi menularkan patogen yang terbawa benih ke wilayah Indonesia, karena bawang tersebut tidak dihasilkan lewat proses serifikasi benih. Sementara di dalam negeri tersedia cukup banyak varietas lokal dengan karakter berumbi besar dan berdaya hasil tinggi (Sinaga, 2013).
Penggunaan benih bermutu merupakan salah satu faktor yang menentukan peningkatan produktivitas bawang merah. Bawang merah umumnya diproduksi dengan menggunakan umbi sebagai bahan tanam atau sumber benih. Penyediaan benih bermutu secara kuantitas sangat terbatas setiap tahunnya sekitar 15–16%/ tahun (Direktorat Jenderal Hortikultura 2010). Kebutuhan benih banyak dipe-nuhi dari umbi konsumsi atau benih impor. Penggunaan benih secara terus menerus oleh petani juga menyebabkan semakin menurunnya mutu umbi karena akumulasi penyakit tular benih termasuk virus, layu Fusarium yang berakibat kepada munurunnya produktivitas tanaman (Permadi 1995).
pemuliaan tanaman, sehingga dapat diperoleh kultivar – kultivar dataran rendah dengan penampakan yang menarik, ukuran besar, masa panen yang singkat, tahan penyakit, dan lain – lain (Pike, 1989). Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mendeskrisikan teknik pemuliaan tanaman bawang merah.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari makalah ini sebagai berikut:
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Sejarah Bawang Merah
Berdasarkan sejarahnya, tanaman bawang merupakan berasal dari Syiria, beberapa ribu tahun yang lalu sudah dikenal umat manusia sebagai penyedap masakan. Sekitar abad VIII tanaman bawang merah ini mulai menyebar ke wilayah Eropa Timur, Eropa Barat dan Spanyol, kemudian menyebar luas ke 8 dataran Amerika, Asia Timur dan Asia Tenggara (Singgih, 1991). Abad XIX bawang merah telah menjadi salah satu tanaman komersial di berbagai negara di dunia. Negara-negara produsen bawang merah antara lain adalah Jepang, USA, Rumania, Italia, Meksiko dan Texas (Rahmat, 1994).
1.2. Klasifikasi Bawang Merah
Rahayu dan Berlian (1999) menjelaskan bahwa bawang merah (Allium cepa, grup Aggregatum) merupakan komoditas holtikultura yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini umumnya ditanam dua kali dalam satu tahun. Sementara itu klasifikasi bawang merah berdasarkan taksonominya adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio : Spermatophyta, Subdivisio : Angiospermae, Kelas : Monocotyledonae, Ordo : Liliales, Family : Liliaceae, Genus : Alium, Spesises : Alium ascalonicum L.
1.3. Morfologi Bawang Merah
Akar tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam tanah. Jumlah perakaran tanaman bawang merah dapat mencapai 20-200 akar, 5-2 mm diameter, akar cabang tumbuh dan terbentuk antara 3-5 akar (AAK, 2004). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut “discus” yang berbentuk seperti cakram, tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya akar dan mata tunas 7 (titik tumbuh), diatas discus terdapat batang semu yang tersusun dari pelepah - pelepah daun dan batang semua yang berbeda di dalam tanah berubah dan fungsi menjadi umbi lapis. Daun berbentuk silindris kecil memanjang antara 50-70 cm, berlubang dan bagian ujungnya runcing, berwarna hijau muda sampai tua, dan letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya relatif pendek.
Tangkai bunga keluar dari ujung tanaman (titik tumbuh) yang panjangnya antara 30-90 cm, dan di ujungnya terdapat 50-200 kuntum bunga yang tersusun melingkar (bulat) seolah berbentuk payung. Tiap kuntum bunga terdiri atas 5-6 helai daun bunga yang berwarna putih, 6 benang sari berwarna hijau atau kekuning-kuningan, 1 putik dan bakal buah berbentuk hampir segitiga.
Buah berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul membungkus biji berjumlah 2-3 butir. Bentuk biji pipih, sewaktu masih muda berwarna bening atau putih, tetapi setelah tua menjadi hitam. (Wibowo, 1994). Adapun menurut Singgih (1994) menyatakan bahwa berdasarkan warna umbi, maka bawang merah dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Kelompok yang umbinya merah tua, seperti kultivar Medan, Sri Sakate, Maja dan Gurgur. b. Kelompok yang umbinya kuning muda pucat, seperti kultivar Sumenep.
2.4 Varietas Bawang Merah
Menurut Maskar (2007), terdapat beberapa varietas bawang merah yang dianjurkan antara lain varietas Bima Brebes, medan, Keling, Meja Cipanas, Bauji, Super Philip, Kramat -1, Kramat -2, Kuning, Tiron, dan sebagainya. Sedangkan untuk kebutuhan bawanggoreng dianjurkan varietas Lokal palu dan Sumenep. Adapun keterangan secara lebih rinci beberapa varietas yang ada sebagai berikut:
a. Bima Brebes
Varietas ini memiliki umbi yang berwarna merah muda, berbentuk lonjong, agak kecil dengan bobot susut 22%, umur panen 60 hari, mampu menghasilkan 10 ton/ha dalam sekali panen dan banyak di tanam di daerah Brebes karena varietas ini sangat cocok ditanam di dataran rendah. Namun bawang varietas ini sangat peka terhadap penyakit busuk daun.
b. Medan
Varietas ini dapat ditanam baik di dataran tinggi maupun rendah, saat ini banyak ditanam di daerah Sumatera Utara. Bawang merah varietas Medan mempunyai umur panen 70 hari setelah tanam, dengan bobot susut 25%, produksi rata – rata 7 ton/hektar umbi kering, satu rumpun terdiri daru 6-12 anakan, mudah berbunga. Adapun karakteristiknya sebagai berikut: umbi berwarna merah, berbentuk bulat dengan ujung runcing, serta tahan terhadap busuk umbi, namun peka terhadap penyakit busuk ujung daun.
c. Keling
Keling merupakan varietas local yang banyak di tanam di Majalengka. Produksinya dapat mencapai 8 ton/ha umbi kering dengan suust bobot sebesar 15%, dapat dipanen pada umur 70 hari. Keeling memiliki umbi muda berbentuk bulat, cukup tahan terhadap busuk umbi, tetapi peka terhadap penyakit busuk ujung daun.
d. Jenis Lokal Palu
BAB III
PEMULIAAN TANAMAN BAWANG MERAH
Perbaikan varietas bawang merah pada umumnya dilakukan melalui penggabungan sifat-sifat tanaman induk bawang merah yang memiliki keunggulan tertentu. Sifat unggul yang dimiliki bawang merah seperti tahan penyakit, tipe pertumbuhan dengan tinggi tanaman dan jumlah tahan penyakit, tipe pertumbuhan dengan tinggi tanaman dan jumlah anakan sedang, umur tanaman genjah, ukuran umbi yang besar, warna umbi merah tua, serta bentuk umbinya bulat sesuai preferensi konsumen adalah tipe bawang merah yang ideal. Penggabungan sifat induk tanaman tersebut dilaksanakan melalui kegiatan persilangan dan seleksi tanaman. Beberapa sifat penting harus dimiliki tanaman induk adalah kemampuan berbunga dan kemampuan membentuk biji, sehingga tanaman tersebut dapat disilangkan baik secara alami maupun buatan (Permadi 1995).
Upaya perbaikan bawang merah selain dapat ditempuh melalui pemuliaan tanaman secara konvensional, yaitu melalui persilangan dengan penggabungan sifat-sifat tanaman yang diharapkan, juga dapat ditempuh dengan cara non-konvensional melalui mutasi, poliploidisasi dan/atau rekayasa genetik.
3.1 Pemuliaan Bawang Merah secara Konvensional 3.1.1 Perbanyakan vegetative dengan Umbi
Perbanyakan vegetative dengan menggunakan umbi merupakan metode yang paling umum digunakan oleh para pembudidaya bawang merah. Namun, bibit dari umbi seringkali memiliki kelemahan yaitu adanya pathogen virus yang dibawa dari induk, akumulasi patogen dari induk akan diturunkan pada setiap generasi sehingga dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas bawang merah. Bawang merah biasanya dapat diperbanyak dengan menggunakan umbi lapis (Bulb). Bulb merupakan umbi yang tersusun atas lapisan-lapisan yang membungkus bagian yang disebut cakram, dari cakram inilah nantinya muncul individu baru sebagai keturunannya.
Gambar 1. Umbi Lapis Bawang Merah Sumber: Prasdiantana, 2014 3.2.2 True Shallot Seed
Teknik produksi TSS (bulb to seed)
Teknologi produksi TSS dengan perlakuan vernalisasi umbi benih, aplikasi zat pengatur tumbuh BAP, aplikasi boron, dan penggunaan serangga penyerbuk lebah madu local (Apis cerana) dapat meningkatkan pembungaan, memperbaiki viabilitas serbuk sari dan menghasilkan produksi benih TSS (Rosliani et al. 2012, Palupi et al. 2015). Spesifikasi teknis dari teknologi produksi TSS adalah vernalisasi umbi benih selama 4 minggu pada suhu 100C dan BAP 37,5 ppm yang diaplikasikan dengan cara perendaman umbi benih selama 1 jam, Boron 3 kg/ha diaplikasikan dengan cara penyiraman tiga kali pada umur 3, 5 dan 7 MST, dan introduksi lebah madu Apis cerana pada waktu kuntum bunga mekar. Penggunaan naungan plastik putih transparan pada produksi TSS selain untuk melindungi bunga dan kapsul (istilah buah pada genus Allium) yang terbentuk juga untuk meningkatkan kebernasan biji/ TSS. Produksi TSS yang diperoleh untuk varietas Bima Brebes adalah 1–1,5 g per rumpun atau setara dengan 150–225 kg/ha (Rosliani et al. 2012, Palupi et al. 2015), sedangkan pada varietas Trisula yang ditanam massal pada bedengan untuk 700 m2 dihasilkan 9,7 kg TSS atau setara dengan 135 kg/ha (Rosliani, 2013).
Teknik produksi umbi mini (seed to mini bulb)
yang akan diproduksi oleh petani penangkar hingga dilepas sebagai benih untuk umbi konsumsi. Teknologi produksi umbi mini dengan sistem tabela dirasakan akan lebih mudah diadopsi oleh penangkar benih karena relatif praktis dibandingkan dengan sistem transplanting yang telah dikenalkan pada varietas Tuk Tuk. Spesifikasi teknis dari teknologi produksi umbi mini (Rosliani et al. 2014) adalah komposisi media arang sekam, kompos pupuk kandang matang, dan tanah (1:1:1), penggunaan pupuk SP-36 yang dicampurkan pada media tanam dan pupuk susulan NPK (16:16:16) dengan dosis 100 kg/ha (10 g/m) yang diberikan pada umur tanaman 30 dan 60 hari setelah semai, cara penanaman benih TSS yang disebar merata pada larikan yang berjarak 5 cm dengan kerapatan 2 3 g/m2, serta penggunaan naungan plastik putih transparan (PE) untuk melindungi semaian TSS dari terpaan air hujan.
Dengan berkembangnya inovasi sistem perbenihan bawang merah asal TSS, maka diharapkan akan diperoleh beberapa manfaat seperti tersedianya alternative sumber benih bawang merah bermutu secara mudah, massal dan berkesinambungan, mendorong terwujudnya swasembada benih bawang merah, terbukanya peluang industri benih untuk para penangkar benih, dan produktivitas bawang merah yang meningkat diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani.
3.1.3 Persilangan
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi bawang merah sekurang-kurangnya 30% produksi nasional adalah mengadakan perbaikan secara genetic yaitu menggabungkan sifat-sifat baik dari beberapa bawang local dengan bawang yang berasal dari luar negeri. Cara ini dilakukan dengan persilangan-persilangan dan dari persilangan akan diperoleh keragaman genetic secara luas, yang pada akhirnya selain diperoleh beberapa klon-klon unggul juga beberapa klon sebagai induk tetua. Metode persilangan yang digunakan adalah metode satu arah dan 2 arah tergantung tujuan dari masing - masing persilangan.
- Prosedur kerja:
1. Sebelum tanaman disilangkan, dilakukan kastrasi yaitu dengan cara membuang pollen dari jam 6-siang, pekerjaan ini dilakukan semenjak bunga mulai mekar pertaman sampai habis keseluruhan.
2. Selanjutnya dilakukan persilangan, yaitu dengan memindahkan polen-polen yang kita kehendaki sebagai penjantan dengan menggunakan kuas-kuas halus kemudian dioles-oleskan.
3. Polen-polen dari hasil pengambilan yang dijadikan pejantan setiap pengambilan disimpan pada Petridis disimpan pada suhu rendah dengan suhu kamr 100C.
4. Polen-polen yang akan dipakai sebagai pejantan sebelum dilakukan penyerbukan di keluarkan dari ruang dingin agar pecah dari gumpalan-gumpalan.
3.1.3 Introduksi
Salah satu cara untuk memperluas keragaman genetik adalah melakukan introduksi tanaman. Namun tidak semua sumber genetik hasil introduksi dapat berkembang dengan baik di Indonesia, sehingga diperlukan adanya persilangan-persilangan dengan jenis lokal. Demikian juga hasil persilangan antara spesies yang berbeda belum menjamin diperoleh hasil yang diharapkan, sehingga agar diperoleh kultivar bawang merah yang mempunyai nilai produksi tinggi maka langkah awal dalam pemuliaan bawah merah adalah melakukan introduksi tanaman dari beberapa daerah di Indonesia, varietas yang digunakan adalah bima brebes, Bauji, Cokol Ijo, Singkil Gajah, Philipina, Timor, Bethok, Tiron, Kuning, Maja, Bangkok Warsa, dan Bombay (Soedomo, 1989).
Tabel 1. Varietas bawang merah
Kultivar
Asal koleksi
Asal mula tanaman
Ilokos
Tegal, Jawa Tengah
Philipina
Bima Brebes
Brebes, Jawa Tengah
Bima, Lombok
Bauji
Tulungagung, Jawa Timur
Tulungangung
Cokol Ijo
Kendal, Jawa Tengah
Kendal
Singkil Gajah
Ciledug, Cirebon
. Sumatera Barat
Philipina
Tegal, Jawa Tengah
Philipina
Timor
Brebes, Jawa Tengah
. Pulau Timor
Bethok
Nganjuk, Jawa Timur
. Nganjuk
Tiron
Bantul, Jogyakarta
Bantul
Kuning
Brebes, Jawa Tengah
Brebes
Maja
Kec. Maja,Majalengka
. Maja
BangkokWarso
Tegal, Jawa Tengah
Thailand
Bombay
Brebes, Jawa Tengah
India
Tahap berikutnya adalah seleksi massa dari varietas intoduksi tersebut. Pelaksanaan dari seleksi massa adalah:
a. Dari populasi dasar yang ditanam → dipilih individu-individu terbaik berdasarkan fenotipe yang sesuai dengan kriteria seleksi
b. Biji dari individu terpilih dipanen → di campur
b. Diambil sejumlah biji secara acak → ditanam pada satu petak → Dipilih individu-individu terbaik sesuai dengan kriteria seleksi
a. Biji dari individu terpilih dipanen → dicampur
b. Diambil sejumlah biji secara acak → ditanam pada satu petak → dipilih individu-individu terbaik sesuai dengan kriteria seleksi
c. Demikian seterusnya sampai diperoleh suatu populasi yang seragam dengan sifat-sifat sesuai dengan kriteria seleksi yang telah ditentukan
Adapun bagan alur proses introduksi tanaman bawang merah secara umum sebagai berikut:
Tahapan-tahapan dari seleksi massa sendiri adalah sebagai berikut :
Setelah seleksi dilakukan akhirnya diperoleh kultivar unggul yang dapat ditanam
langsung ataupun digunakan sebagai tetua dalam hibridisasi.
FI yang dihasilkan mempunyai
karakteristik:
tanaman yang cukup tinggi
,persentase tumbuh yang tinggi
,jumlah anakan
banyak
,diameter umbi cukup besar
,umur panen normal yaitu 60 hari
, dantahan penyakit.
Setelah diperoleh klon, klon tersebut diseleksi dengan metode seleksi massa seperti tahap
pertama sampai mendapatkan varietas unggul yang dapat dibudidayakan secara vegetatif.
Dari sekian varietas bawang merah yang ada termasuk varietas introduksi belum didapatkan
varietas yang tahan terhadap penyakit di atas kecuali varietas Sumenep yang relatif tahan
terhadap penyakit “Otomatis” tetapi tidak tahan terhadap penyakit “Alternaria”. Namun
varietas ini tidak mampu berbunga dan belum diketahui cara merangsang bunganya, serta
berumur panjang walaupun mempunyai kualitas terbaik untuk bawang goreng (Permadi,
1992).
3.2 Pemuliaan Tanaman Secara Non-Konvensional
3.2.1 Mutasi
dan Poliploidisasi
Kultivar-kultivar unggul dapat diperoleh melalui pemuliaan tanaman, diantaranya
mutasi dan prosedur transgenik. Pemuliaan dengan mutasi dapat dilakukan dengan kolkisin
pada jaringan meristem (Suryo, 1995). Kolkisin (C
22H
25ON) merupakan suatu alkaloid
berwarna putih yang diperoleh dari umbi tanaman
Colchichum autumnale
L. (Familia
Apabila kolkisin digunakan pada konsentrasi yang tepat maka jumlah kromosom akan
meningkat, sehingga tanaman bersifat poliploid. Tanaman yang bersifat poliploid umumnya
memiliki ukuran morfologi lebih besar dibandingkan tanaman diploid. Dengan demikian
kualitas tanaman yang diberi perlakuan diharapkan lebih baik dibandingkan tanaman diploid.
Umumnya kolkisin akan bekerja efektif pada konsentrasi 0,01-1%. Untuk jangka waktu 6-72
jam, namun Setiap jenis tanaman memiliki respon yang berbedabeda (Eigsti dan Dustin,
1957; Suryo, 1995).
Individu poliploid merupakan suatu organisme yang memiliki kromosom lebih dari
dua set (2n) atau diploid. Sedangkan poliploidi adalah peristiwa organisme memiliki
kromosom lebih dari dua set, dan poliploidisasi merupakan usaha-usaha untuk menghasilkan
organisme atau individu poliploid (Suryo,1995). Menurut Erniawati (2007), poliploidisasi
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas tanaman. tanaman poliploid biasanya
memiliki banyak kelebihan dibandingkan tanaman diploidnya, antara lain:
penampakan mor'ologi lebih kekar
daun lebih lebar
sel-sel lebih besar
lebih tahan terhadap perubahan lingkungan
produksinya lebih tinggi
Adapun Crowder (1996), mengungkapkan kelebihan tanaman poliploid memiliki arti
penting dalam proses evolusi. jenis dan kultivar baru yang mempunyai tingkat ploidi berbeda
dapat dikembangkan. Sedangkan kekurangan tanaman poliploid antara lain adanya si'at
semi-sterilisasi sehingga gamet tidak viabel dan dapat menurunkan hasil biji.
Gambar 2. Kiri: Bawang merah tanpa kolkisin (control); kanan: bawang merah dengan
kolkisin (perlakuan)
Suminah
et al.,
(2002) telah melakukan penelitian mengenai pemuliaan tanaman
menggunakan metode mutasi dengan cara pemberian senyawa kolkisin 1% pada tanaman
bawang merah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi variasi bentuk,
ukuran, dan jumlah kromosom Allium ascalonicum L. akibat pemberian kolkisin 1%.
Poliploidi yang terbentuk dapat dikelompokkan menjadi tetraploid, pentaploid, heksaploid,
oktaploid, dan nonaploid akibat pemberian kolkisin 1%.
Dalam dunia pertanian, peningkatan keanekaragaman genetik akibat mutasi,
rekombinasi serta separasi dan segregasi selama meiosis merupakan sumber plasma nutfah
untuk pemuliaan tanaman. Keanekaragaman ini dapat terjadi secara spontan dengan laju yang
rendah atau dapat diinduksi oleh pengaruh kimia dan fisik dengan mematahkan kromosom
atau mengubah perilakuannya selama pembelahan meiosis atau mitosis (Crowder, 1986).
Keanekaragaman ini memungkinkan untuk mengetahui banyak karakter gen, sehingga
aberasi dan poliploidi mempunyai nilai tinggi dalam penemuan kultivar unggul. Tanaman
poliploid biasanya lebih kuat dari pada tanaman diploid, ukuran daun, batang, bunga, buah,
dan inti sel lebih besar, kandungan vitamin dan protein bertambah, tekanan osmotic
tanaman. Teknik kultur jaringan juga memberi peluang untukterbentuknya individu dengan
karakter unggul melalui induksi variasi somaklonal atauteknik rekayasa genetika.
Perbanyakan tanaman bawang merah secara in vitrotelah dilakukan pada
Allium cepa
dan
Allium ascalonicum
[suhendra, 2014].
Gambar 3. Kultur Jaringan tanamanBawang Merah.
Zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin berperan penting dalam regenerasi tanaman
secara umum, auksin mampu menginduksi proliferasi dan pertumbuhan kalus, sedangkan
sitokinin lebih berperan memacu regenerasi pemanjangan dan pertumbuhan tunas [3].
Regenerasi tanaman melalui eksplan kalus dipengaruhi oleh auksin dan sitokinin pada kalus
yang menentukan arah diferensiasi. Kombinasi NAA dan kinetin dapat menginduksi
munculnya mata tunas pada eksplan kalus
tanaman Ipomoea obscura
[10]. Peningkatan
konsentrasi kinetin pada media dapat menghambat waktu muncul tunas pada eksplan kalus
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Pemuliaan tanaman bawang merah dapat diakukan dengan metode konvesnional
maupun non konvensional
DAFTAR PUSTAKA
Gunadi, N. dan Suwandi. 1989. Pengaruh dosis dan waktu aplikasi pemupukan fosfat pada tanaman bawang merah kultivar Sumenep I. Pertumbuhan dan hasil. Bull. Penel. Hort. XVIII (2): 98-106.
Hidayat, A. dan R. Rosliani. 2003. Pengaruh jarak tanam dan ukuran umbi bibit bawang merah terhadap hasil dan distribusi ukuran umbi bawang merah. Lap. Hasil Penel. Balitsa Lembang. Hidayat, A. 2004. Budidaya bawang merah. Beberapa hasil penelitian di Kabupaten Brebes. Makalah
disampaikan pada Temu Teknologi Budidaya Bawang Merah. Direktorat Tana. Sayuran dan Bio Farmaka, Brebes, 3 September 2004.
Hidayat, A. dan R. Rosliani. 1996. Pengaruh pemupukan N, P dan K pada pertumbuhan dan produksi bawang merah kultivar Sumenep. J. Hort 5 (5): 39-43.
Hidayat, A., R. Rosliani, N. Sumarni, T.K. Moekasan, E. S. Suryaningsih dan S. Putusambagi. 2004.
Pengaruh varietas dan paket pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil bawang merah. Lap. Hasil Penel. Balitsa-Lembang.
Hilman, Y. dan Suwandi. 1990. Pengaruh penggunaan pupuk nitrogen dan fosfat pada bawang merah. Kerjasama Balai Penelitian Hortikultura dengan Petrokimai Gresik.
Marid E. E. and M. R. Vega. 1971. Duration of weed control ad wild competition and the effect on yield. Phil. Agric. 55: 216-220.
Muhammad, H., S. Sabihan, A. Rachim, H. Adijuirana. Penentuan batas kritis sulfat untuk bawang merah di tanah Vertisol, Inexprosal dan Entisal di Kabupaten Jeneponto. J. Hort. 11(2): 110-118.
Nazaruddin. 1999. Budidaya dan pengaturan panen sayuran dataran rendah. Penebar Swadaya. Nurmalinda dan Suwandi. 1995. Potensi wilayah pengembangan bawang merah. Teknologi produksi
bawang merah. Puslitbang Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Rahmat Rukman. 1994. Bawang merah, budidaya dan pengolahan pasca panen. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Rismunandar. 1986. Membudidayakan lima jenis bawang. Penerbit Sinar Baru Bandung.
Singgih Wibowo. 1991. Budidaya bawang putih, bawang merah, bawang Bombay. PT. Penebar Swadaya Jakarta.
Stallen, M. P. K. and Y. Hilman. 1991. Effect plant density and bulb size on yield and quality of shallot. Bul. Penel. Hort. XX Ed. Khusus (1) 1991.
Sumarna, A. 1992. Pengaruh ketinggian dan frekuensi pemberian air terhadap pertumbuhan dan produksi bawang merah. Bull. Penel. Hort. XXIV(1): 6-15.
Sunarjono, H. dan P. Soedomo. 1989. Budidaya bawang merah (A. ascalonicum L.). Penerbit Sinar Baru Bandung.
Sutarya, R. dan G. Grubben. 1995. Pedoman bertanam sayuran dataran rendah. Gadjah Mada University Press. Prosea Indonesia – Balai Penel. Hortikultura Lembang.