BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan apakah agama itu seharusnya tidak berbentuk institusi atau sebaliknya, masalah utama dari masalah ini mungkin primer untuk teologi atau filsafat. Namun karena sosiologi agama menghadapi kenyataan yang sangat jelas bahwa agama sebagai institusi sosial, maka sosiologi wajib memberikan penerangan yang masuk akal dengan caranya sendir mengapa hal yang demikian itu terjadi .
Jawaban atas soal di atas dalam garis besarnya sama dengan jawaban atas soal : mengapa hidup bersama membentuk sekian banyak institusi ? Misalanya dalam bentuk perkawinan, pendidikan anak dalam departemen pendidikan, kekuasaan lembaga eksekutif, lembaga yudisial dan seterusnya. Kenyataan yang ada dapat dikatan seluruh kegiatan dimula dari kelahiran sampai dengan kematian tidak lolos dari peraturan-peraturan yang di lembagakan. Demikian pula kehidupan beragama sebagai fakta sosial ternyata juga tidak luput dari mekanisme institusional. Namun pertanyaan belum terjwab : mengapa agama secara de facto adalah suatu institusi sosial
B. Rumusan Masalah
Untuk mengkaji masalah tersebut secara terperinci kita ambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa itu Institusi keagamaan ? Mengapa agama menjadi Institusi sosial 2. Bagaimana proses institusionalisasi agama
3. Unsur Institusi keagamaan
C. Tujuan
1. Menjelaskan mengenai institusi keagamaan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Institusi dan Lembaga Sosial
Lembaga sosial merupakan terjemahan langsung dari istilah asing yaitu social-institution. Akan tetapi belum ada kesepakatan mengenai istilah Indonesia yang dengan tepat menggambarkan social-institution. Kontjaraningrat mengartikan social institution sebagai pranata sosial, dimana yang dimaksud pranata sosial adalah suatu sistem atau tata kelakuan hubungan yang berpusat kepada aktivitas untuk memenuhi kompleksitas kebutuhan khusus dalam kehidupan manusia. Istilah yang lain adalah bangunan sosial yang dianggap lebih jelas menggambarkan social institution, tetapi tepat atau tidaknya istilah tersebut tidak akan dipersoalkan disini.
Disini akan digunakan istilah lembaga sosial karena selain sering digunakan pengertian lembaga lebih menunjukkan suatu bentuk, sekaligus mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan yang menjadi ciri social institution. Institusi atau lembaga sosial keagaman merupakan salah satu faktor pembangun peradaban dunia, sehingga lembaga keagamaan sangat menarik untuk dikaji mulai dari sejarah munculnya, ideologi, tujuan dan peranan dalam masyarakat. Lembaga agama di Eropa telah melahirkan “dunia baru” dalam bingkai semangat prostestanisme yang kemudian melahirkan kapitalisme dan modernisasi, sebagai mana yang telah di bahas oleh Max Weber dalam buku etika protestan dan semangat kapitalisme. Di Indonesia sendiri lembaga-lembaga keagaman tersebut, membangun nasionalisme bangsa dalam semangat anti kapitalisme asing dan imperialisme kolonial Belanda.
Jika kita tarik dalam teori Emile Durkheim tentang fakta sosial, lembaga agama bersifat abstrak atau non material artinya lembaga agama hanyalah sekumpulan norma dan nilai agama yang melembaga dan terinternalisasi dan mendarah daging dalam masyarakat. Lembaga-Lembaga keagamaan ini kemudian memanifestasikan dirinya dalam bentuk material yang menghasilkan organisasi-organisasi keagamaan, pondok pesantren atau sekolah, rumah sakit, bank dan lain-lain.
Namun agar lebih paham mengenai social institution ada baiknya kita melihat definisi-definisi sosiolog tentang sosial institution. Adapun beberpara definisi lembaga sosial menurut beberapa sosiolog adalah sebagai berikut:
1. Robert Maciver dan Charles H.
Lembaga sosisal adalah sebagai tata cara/prosedur yang telah di ciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok kemasyarakatan yang dinamakanya Asosiasi.
2. Summer
Adalah perbuatan, cita cita,sikap dan perlengkapan kebudayaan,bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan masyarakat.
3.SoerjonoSoekanto
Lembaga sosial adalah himpunan norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat
Jadi dari berbagai pendapat para sosiolog tadi, dapat kita simpulkan bahwa lembaga sosial merupakan wadah dari sekumpulan norma yang mengatur anggotanya dalam rangka mewujudkan tujuan yang telah disepakati bersama
B. Definisi Agama
Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation/kewajiban, berikut ini merupakan beberapa definisi agama
1. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepadaTuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
2. Emile Durkheim
Dari definisi tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa agama ekspresi kolektif nilai-nilai kemanusiaan yang terdiri dari dimensi sakralitas dan ritualitas yang menjadi pedoman atau norma dan nilai dalam hidup. Institusi religius ialah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasii yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hokum untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia supra-empiris.
Jawaban mengapa agama secara de facto adalah institusi sosial, jikalau dalam institusi sosial non keagamaan orang menginginkan tercapainya secara pasti kebtuhan sosial dasar, maka dalam institusi keagamaan orang menginginkan tercapainya kebutuhan dasar yang berkeenan dengan kepentingan dunia supra-empiris. Bagi manusia religius kepentingan akhirat merupakan kepentingan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Itu semua harus dapat dicapai dengan pasti, karena itu semua dijadikan norma satu-satunya dan segala-galanya.
C. Komponen-Komponen Agama
Adapun komponen-komponen sebagai syarat terbentuknya agama adalah sebagai berikut
1. Emosi keagamaan, yaitu suatu sikap yang tidak rasional yang mamapu menggetarkan jiwa, misalnya sikap takut bercampur percaya.
2. Sistem keyakinan yaitu sistem yang terwujud dalam suatu pemikiran atau gagasan manusia seperti keyakinan akan sifat-sifat Tuhan wujud alam gaib, kosmologi, masa akhirat, roh nenek ,moyang, dewa-dewa dan sebagainya.
3. Upacara keagamaan adalah ritual-ritual keagamaan yang berupa bentuk ibadah kepada Tuhan dewa-dewa dan roh nenek moyang.
4. Tempat ibadah adalah tempat sebagai wadah untuk melakukan ritual misalnya masjid, pura, wihara, kuil, klenteng, dan gereja.
5. Umat yakni anggota yang memiliki kesatuan sosial yang mengidentifikasi sebagai satu kelompok sosial.
.
D. Proses Terbentuknya Institusi Keagamaan
masyarakat. Adapun proses terbentuknya lembaga keagaamaan dapat di uraikan sebagai berikut:
a. Proses pelembagaan (instituonalization) yakni suatu proses yang di lewati oleh suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan.
b. Norma norma yang internalized artinya proses norma norma kemasyarakatan tidak hanya berhenti sampai pelembagaan saja, tetapai mendarah daging dalam jiwa anggota anggota masyarakat.
Semua agama cenderung melestarikan eksistensinya dan kemanfaatannya bagi masyarakat dalam bentuk organisasi. Agama adat yang tidak mengenal dengan jelas oknum pendirinya tidak luput dari usaha ke arah itu. Apalagi agama modern yang mempunyai pendiri yang terang namanya dan asal usulnya, Para ahli
Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu “sifat sakral atau suci” dari agama dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
1. Sifat Sakral dari Agama
Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap sakral, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang sakral. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan sakralnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai mana.
Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat sakral daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifat “sakral” seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat “sakral” dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen demikian, “kesakralan” merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa “kesakralan” suatu obyek itu tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian sifat “sakral” itu oleh masyarakatnya.
2. Ritual Agama
Selain daripada melibatkan sifat “sakral”, suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan dan.
F. Fungsi dan Tujuan Institusi Keagamaaan
Adapun tujuan maupun fungsi lembaga keagamaan baik dari segi manifest maupun laten adalah sebagai berikut :
1. Memperkuat spiritualitas dan menekan iduvidualitas yang cenderung egoistik.
2. Memperkuat solidaritas dalam masyarakat dan mengembangkan sikap saling membantu.
3. Sebagai tindakan preventif mencegah perilaku amoral dalm masyarakat
4. Pemenuhan kebutuhan religious dan penghayatan ketuhanan
G. Institusi Keagamaan di Indonesia
Di Indonesia sendiri terdapat dua lembaga keagaman yang besar yaitu
Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Muhammadiyah (lahir 1914, didirikan oleh KH Ahmad Dahlan) adalah lembaga yang lahir dari inspirasi pemikir-pemikir modern seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida (yang sangat
rasional) sekaligus pemikir salaf (yang literalis) seperti Ibn Taymiah, Muhammad bin Abdul Wahab. Wacana pemikiran modern misalnya membuka pintu ijtihad, kembali kepada Quran dan Sunah, tidak boleh taqlid, menghidupkan kembali pemikiran Islam. Sedang wacana salaf adalah bebaskan takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC).
Sehingga Muhammadiyah sangat bersemangat dengan tema TBC. Yang menjadi masalah, banyak dari kategori TBC tersebut justru diamalkan di kalangan NU, bahkan dianggap sebagai sunah. Karena sifatnya yang dinamis, praktis dan rasional, Muhammadiyah banyak diikuti oleh kalangan terdidik dan masyarakat kota.
NU (Nahdhatul Ulama, didirikan antara lain oleh KH Hasyim Asy’ari, 1926), lahir untuk menghidupkan tradisi bermadzhab, mengikuti ulama. Sedikit banyak kelahiran Muhammadiyah memang memicu kelahiran NU. Berbeda dengan Muhammadiyah, pengaruh NU sangat nampak di kalangan pedesaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Institusi religius ialah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasii yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hokum untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia supra-empiris. Jawaban mengapa agama secara de facto adalah institusi sosial, jikalau dalam institusi sosial non keagamaan orang menginginkan tercapainya secara pasti kebtuhan sosial dasar, maka dalam institusi keagamaan orang menginginkan tercapainya kebutuhan dasar yang berkeenan dengan kepentingan dunia supra-empiris. Bagi manusia religius kepentingan akhirat merupakan kepentingan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Itu semua harus dapat dicapai dengan pasti, karena itu semua dijadikan norma satu-satunya dan segala-galanya.
DAFTAR PUSTAKA
Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: P.T.RajaGrafindo.
https://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_sosial
https://www.facebook.com/GerakanIslamCinta/videos/322255494635817/