• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volume 15, Nomor 1, Juni 2017 | JURNAL HUKUM ISLAM 3728 1 10 20180130

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Volume 15, Nomor 1, Juni 2017 | JURNAL HUKUM ISLAM 3728 1 10 20180130"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Status Hukum Anak di Luar Perkawinan dalam Hukum

Islam dan Implementasinya dalam Perkembangan

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

(Studi Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010)

Sabilal Rosyad STAIKAP Pekalongan sabil_fahnisan@yahoo.com

ABSTRACT

This study discusses legal status –viewed in Islamic law- of a child born outside of legitimate marriage and its implementation in the development of Indonesian legislation (Study of Constitution Court Decree No. 46/PUU-VIII/2010). This research focuses on questioning a problematic decree of Constitution Court No. No. 46/PUU-VIII/2010 on legal status of a child born outside of legitimate marriage in a pluralistic Indonesian legal system. This study offers a breakthrough in responding to Constitution Court decree on a controversial legal status of a child born outside of legitimate marriage. Despite the decree, a protection of the child’s civil rights is still a grey area. This is caused by the fact that Indonesian legal system has not put a definite ruling to regulate a legal status of the child especially in granting him/her an equal civil right as a child to his/her biological father.

Keywords: status, a child born outside of legitimate marriage, Constitution Court Decree

ABSTRAK

(2)

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010). Pokok perma-salahan dalam penelitian ini adalah menyoal problem Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait status hukum anak di luar perkawinan di tengah pluralitas sistem hukum nasional Indonesia. Studi ini menawarkan suatu terobosan baru dalam menyikapi hasil putusan MK terkait dengan status hukum anak di luar perkawinan yang masih kontroversial di masyarakat. Meskipun dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ternyata perlindungan hukum terhadap anak di luar perkawinan, terutama perlindungan mengenai hak-hak keperdataannya masih belum ada kepastian. Hal ini disebabkan karena keberadaan pengaturan anak di luar perkawinan di dalam peraturan perundang-undangan belum memberikan dasar yang kuat bagi anak di luar perkawinan untuk dapat diakui kedudukannya sebagai bagian dari anak yang mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya.

Kata Kunci : Status, Anak di Luar Perkawinan, Putusan MK

1. Pendahuluan

Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusannya Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 27 Pebruari 2012 mengenai pengakuan anak atau status anak diluar perkawinan mendapat pengakuan hukum perdatanya kepada bapak biologisnya, dan dalam diktumnya me-review ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menjadi;

(3)

Terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadikan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengalami perubahan yang sangat signifikan, khususnya pasal 43 ayat (1) tersebut di atas, karena Undang-undang tersebut belum diamandemen, sehingga adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 merupakan salah satu putusan yang mendapatkan perhatian publik secara luas. Karena putusan ini menyinggung permasalahan penting dalam institusi keluarga di agama Islam, yaitu terkait dengan keabsahan nasab (keturunan) dan hak-hak perdata seorang anak. Bahkan sesaat setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dibacakan tanggal 17 Pebruari 2012 langsung mendapat sambutan yang beragam, baik yang menyetujui putusan tersebut dan menolaknya.

Kontroversi tentang putusan Mahkamah kostitusi dimulai sejak beberapa menit setelah dibacakan putusan itu oleh ketua MK. Detik. Com beberapa menit setelah putusan dibacakan, memuat berita bahwa pro kontra masyarakat menyikapi putusan Mahkamah konstitusi anak di luar nikah mulai bermunculan. Sehari setelah itu Harian Republika mengeluarkan berita berjudul, “KUA khawatir putusan MK ini justru masyarakat berzina”. (Republika, Sabtu 18 Februari 2012, hlm 11).

(4)

Berdasarkan latar belakang tersebut terlihat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Status Anak di luar Perkawinan menimbulkan kontroversial dan persoalan baru dalam tata hukum Indonesia yang perlu pengkajian mendalam. Pokok masalah dalam penulisan ini adalah eksistensi Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tekait status hukum anak di luar perkawinan di tengah pluralitas sistem hukum nasional Indonesia.

2. Kritik Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, menyatakan, bahwa :

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ".

(5)

sebagai ayahnya bukan hanya semata-mata karena adanya perkawinan tetapi juga berdasarkan hubungan darah anak dengan seorang laki-laki yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan atau teknologi atau bukti lain yang sah menurut hukum. Merupakan suatu ketidakadilan jika seorang laki-laki yang telah melakukan suatu hubungan dengan seorang perempuan terlepas dari tanggung jawab. Apalagi selama ini anak yang dilahirkan di luar perkawinan mendapat stigma yang tidak baik di tengah masyarakat. Seorang anak yang seperti itu mesti mendapat perlindungan hukum dari negara walaupun status perkawinan orang tuanya masih dipersengketakan. Menurut hemat penulis pertimbangan ini sangat logis dan bertujuan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan yaitu perlindungan anak di luar perkawinan agar mendapat jaminan kehidupan dan tidak mendapatkan stigma negatif dalam per-gaulannya. Tetapi menurut penulis, ada tiga poin penting yang perlu dikritisi terkait putusan Mahkamah Konstitusi yaitu, pertama, tentang arti kata di luar perkawinan. kedua, arti kata hubungan darah. Ketiga, makna kata hubungan perdata.

a. Makna Kata di luar Perkawinan dalam Putusan MK

Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi point 3.13. di atas, yang makna hukumnya agar tidak terjadi diskriminasi antara anak yang lahir di luar perkawinan dengan anak sah. Mahkamah Konstitusi tidak menjelaskan cakupan makna kata di luar perkawinan, dimana dalam putusan itu disebutkan bahwa "anak yang dilahirkan di luar perkawinan" mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya dan seterusnya mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

(6)

anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari suatu perkawian yang sah. Sedangkan perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaannya itu. Perkawinan tersebut kemudian dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bertolak dari ketentuan di atas, maka kalimat “anak di luar perkawinan” terkesan menimbulkan makna ganda. Pada satu pihak bisa diartikan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu adalah anak yang dilahirkan tanpa adanya perkawinan yang sah dari orang tuanya, sehingga anaknya sering disebut anak di luar perkawinan. Disamping itu di pihak lain mengartikan bahwa anak tersebut dilahirkan dari perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama akan tetapi tidak dicatatkan dicatatan sipil.

Menurut hemat penulis, Anak luar perkawinan dalam pandangan hukum nasional Indonesia tidak bisa dimaknai secara global, karena terkait dengan UU Nomor 1 tahun 1974, anak luar perkawinan memuat dua pengertian yang secara prinsip berbeda. Pengertian pertama, Anak yang dilahirkan dari hubungan seorang laki-laki yang telah terikat hubungan perkawinan secara agama dengan seorang perempuan, tetapi tidak memiliki legalitas disebabkan perkawinan tersebut tidak dicatatkan sesuai dengan ketetuan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian kedua, Anak yang lahir tanpa pernikahan yang sah, hanya disebabkan hubungan biologis antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan yang sesuai dengan agama dan kepercayaannnya masing-masing.

(7)

rangka menjaga nasab atau keturunan inilah ajaran agama Islam mensyariatkan nikah sebagai cara yang dipandang sah untuk menjaga dan memelihara kemurnian nasab.

Islam memandang bahwa kemurnian nasab sangat penting, bahkan menjaga nasab (hifz al-nasl), dalam teori maqasid asy-syari'ah dikategorikan sebagai sebagai maslahah yang bersifat dlaruri, artinya, sesuatu yang mesti ada demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia (Al-Ghazali, 1412: 250). Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan. karena hukum Islam sangat terkait dengan struktur keluarga, baik hukum perkawinan, maupun kewarisan dengan berbagai derivasinya yang meliputi hak perdata dalam hukum Islam, baik menyangkut hak nasab, hak perwalian, hak memperoleh nafkah dan hak mendapatkan warisan, bahkan konsep kemahraman dalam Islam sebagai akibat hubungan persemendaan atau perkawinan.

Perdebatan tentang dualisme status perkawinan menjadi penyebab adanya dualisme status anak di luar perkawinan, yaitu antara sahnya sebuah perkawinan melalui catatan sipil atau melalui hukum agama. Ketidaktegasan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam mengatur hal ini menurut hemat penulis menjadi sumber penyebabnya. Rumusan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(8)

karena tiga hal, pertama, nasab melalui perkawinan sah, kedua, nasab melalui perkawinan fasid, ketiga, nasab anak dari senggama syubhat. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqhu Al-Islamiy wa Adillatuh mengatakan : Adapun sebab-sebab ditetapkannya nasab terhadap bapak biologisnya adalah dengan pernikahan yang shahih, pernikahan yang fasid, dan senggama syubhat (Wahbah Zuhaili, 1997 : 7255).

Di luar tiga cara ini nasab anak kepada ayah kandungnya tidak bisa dibentuk, walaupun menurut sebagian ulama terhadap konsep istilhaq atau pengakuan seseorang atas seorang anak, al-qiyafah atau metode menetapkan keturunan melalui perkiraan dan bahkan ada cara qur’ah atau undian dalam menelusuri nasab seorang anak, namun ketiga cara ini masih sangat debatable dan tidak disepakati oleh para ulama.

Pada bagian lain Wahbah Zuhaili juga mengatakan :

جاوﺰﻟا

(9)

Pada bagian lain, Wahbah al-Zuhaily juga menyatakan :

Perkawinan menurut adat yang tidak terdaftar pada lembaga resmi telah dinyatakan sah secara hukum agama. Oleh sebab itu, pelbagai ketentuan hukum Islam yang lain berupa kewajiban memberikan nafkah, adanya hubungan nasab anak-anak (terhadap kedua orang tuanya) dan lain-lain juga harus terealisasikan. (Wahbah Zuhaili, 1997 : 2853).

Berdasarkan ketentuan hukum di atas, maka status anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan prosedur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat (2) dalam perspektif hukum Islam adalah anak sah yang mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya dan dengan ibunya serta keluarga ibunya. Karena, secara teknis dalam hukum Islam, cara penetapan nasab dilihat dari ada atau tidaknya perkawinan. Jika telah nyata terjadi perkawinan, meskipun dalam nikah fasid (nikah yang rusak karena syarat dan rukunnya tidak sempurna, atau karena status hukumnya diperdebatkan), atau dalam perkawinan adat yakni pernikahan yang dilaksanakan dengan akad khusus tanpa didaftarkan di instansi perkawinan, nasab anak yang dilahirkan dapat ditetapkan dengan ayah biologisnya

Selanjutnya apabila cakupan makna kata anak yang dilahirkan di luar perkawinan ini berarti juga mencakup seluruh anak yang lahir sebagai akibat perzinaan, perselingkuhan samen leven (kumpul kebo) dan jenis-jenis kontak seksual dalam bentuk hubungan khusus yang lain, maka di sinilah letak masalah besar yang banyak dipertanyakan berbagai pihak termasuk oleh para ulama, dan menurut pendapat penulis hal ini akan menimbulkan kerancuan dalam beberapa aspek hukum, seperti asal usul anak, hukum perwalian nikah, kewarisan dan lain sebagainya.

(10)

meskipun secara biologis berasal dari benih laki-laki yang menzinai ibunya. Alasan mereka bahwa nasab itu merupakan karunia dan nikmat, sedangkan perzinaan itu merupakan tindakan pidana (jarimah) yang sama sekali tidak layak mendapatkan balasan nikmat, melainkan balasan berupa hukuman, baik rajam, maupun dera seratus kali dan pembuangan (Ahmad Asy-Syarbasi, 1977 : 118). selain itu alasan kuatnya adalah sabda nabi dalam sebuah hadis:

ﻦﻋ

Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : anak itu bagi yang meniduri istri (secara sah) yaitu suami, sedangkan bagi pezina ia hanya berhak mendapatkan batu”. (HR. Muslim)

Berdasarkan hadits di atas, para ulama dari berbagai madzhab sepakat bahwa perzinahan sama sekali tidak mempengaruhi terhadap terbentuknya nasab antara anak dengan ayah biologisnya yang menzinahi ibunya, sehingga berimplikasi terhadap aspek yuridis diantaranya adalah lelaki yang secara biologis adalah ayah kandungnya berkedudukan sebagai ajnabi (orang lain) yang tidak berkewajiban memberi nafkah, tidak saling mewarisi, bahkan jika anak itu perempuan, ayah biologisnya tidak boleh khalwah (berduaan) dengannya, serta ayah biologis tersebut tidak bisa menjadi wali dari anak perempuan itu. Karena antara keduanya secara syariat tidak ada hubungan sama sekali (Al-Jaziri,tth : 356). Bahkan seorang laki-laki yang berzina diperbolehkan menikahi pasangan zinanya, juga diperbolehkan menikahi ibu kandung atau anak kandung perempuan pasangan zinanya. Begitu pula sebaliknya, perempuan yang berzina diperbolehkan menikah dengan ayah kandung laki-laki pasangan zinanya atau anak laki-laki pasangan zinanya (Nawawi, 2010 : 486).

(11)

karenanya dalam rangka menjaga kemurnian nasab, Islam men-syariatkan nikah dan melarang perzinahan, konsep adopsi (tabany) yang menghilangkan nasab anak dengan ayah kandungnya, bahkan seorang ayah tidak diperbolehkan mengingkari keturunannya dan bagi seorang wanita dilarang menisbahkan seorang anak kepada seorang ayah yang bukan ayah kandungnya. Sebab, hukum Islam banyak keterkaitan dengan struktur keluarga. Diantaranya adalah hukum perkawinan, hubungan kemahraman, hukum kewarisan, dan hukum perdata yang lain.

Pengakuan hubungan perdata anak di luar perkawinan dengan ayah biologisnya pada prinsipnya bertujuan untuk mendapatkan kemaslahatan yaitu perlindungan terhadap anak di luar pekawinan. Akan tetapi menurut hemat penulis, jika dipaksakan dalam konteks anak yang lahir di luar ikatan perkawinan, maka kemaslahatan yang ingin dicapai adalah maslahah mauhumah (maslahah yang bersifat asumtif) karena menabrak nash, sementara kemaslahatan yang nyata (maslahah haqiqiyah) adalah kemaslahatan yang sesuai dengan nash.

Menurut al-Ghazali, kedudukan maslahah sebagai hujjah memang dibenarkan, namun jika berdiri sendiri sebagai sebuah metode masih diragukan (ia menyebut sebagai al-usul al-mawhumah). Maka dari itu, maslahah yang dibicarakan al-Ghazali harus kembali dan disandarkan serta dipahami dari nusus asy-syar'iyyah atau ijma'. Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan bahwa maslahah yang tidak selaras dengan tujuan syari'ah harus ditolak, karena maslahah ditujukan untuk mempertahankan maqasid asy-syari'ah (Al-Ghazali, 1971 : 159).

b. Hubungan Darah dalam Putusan MK

(12)

hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya (Putusan MK No. 46/PUU-VII/2010, hlm. 37).

Jika makna kata hubungan darah dalam putusan ini maksudnya nasab sebagaimana dalam konteks hukum Islam, maka tidak mungkin nasab hanya dibentuk melalui pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun setelah melalui tes darah atau tes DNA ternyata memang benar-benar ada kesesuaian antara gen seorang anak dengan gen seorang bapak. Sebab menurut hukum Islam, nasab hanya bisa dibentuk dan ditetapkan melalui akad nikah. Baik dalam akad nikah yang sah, akad nikah yang fasid, maupun melalui proses hubungan badan secara syubhat (Wahbah Zuhaili, 1997 : 6265).

Untuk cara yang disebutkan terakhir, tampaknya di zaman modern seperti saat ini sangat sulit terjadi. Dengan demikian, apa yang disebutkan oleh Pasal 99 huruf b Kompilasi Hukum Islam, yaitu hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut, tampaknya sudah sangat tepat. Pasal ini menyebutkan tentang proses bayi tabung bisa dianggap sebagai cara menetapkan status anak sah yang memiliki hubungan nasab, jika sperma dan sel telur dalam proses embriologi melalui bayi tabung itu berasal dari suami istri yang sah. Jadi menurut penulis, tes darah dan tes DNA semata-mata tidak bisa dijadikan dasar penetapan hubungan darah atau nasab antara anak dengan bapak biologisnya, jika dari awal tidak ada akad nikah.

(13)

c. Hubungan Perdata dalam Putusan MK

Dalam hukum Islam, hubungan perdata meliputi empat aspek penting, yaitu : nasab, nafkah, wali dan waris. Keempat cakupan hubungan perdata Islam ini tidak bisa ditetapkan hanya melalui ilmu pengetahuan teknologi mutakhir seperti tes darah dan tes DNA, melainkan harus melalui akad nikah. Dengan adanya akad nikah yang sah, akad nikah yang fasid atau melalui proses hubungan badan secara syubhat, maka tanggung jawab seseorang ayah untuk memberikan nafkah, untuk memiliki hak perwalian, dan memiliki hak waris bisa ditetapkan. Oleh sebab itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya, menurut logika hukum penulis hal ini tidak secara otomatis bisa diaplikasikan selama tidak ada akad nikah yang mendahuluinya.

3. Konstribusi Hukum Islam atas Peraturan Perundang-Undangan Indonesia tentang Perlindungan anak yang lahir di luar perkawinan

Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Komitmen yuridis negara untuk melindungi warga negaranya khususnya perlindungan terhadap anak, lebih lanjut dijalankan dalam Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa : setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

(14)

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ( UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1, angka 2).

Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa perlindungan anak mencakup dua hal, yaitu : 1) menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya; 2) melindungi anak dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan kata lain, perlindungan anak pada hakikatnya ialah pemenuhan hak-hak anak dan perlindungannya dari hal-hal yang merugikan anak, baik berupa kekerasan, diskriminasi, atau perbuatan salah lainnya.

Dalam perspektif hukum Islam Konsep perlindungan anak ialah upaya memelihara, menjaga dan melindungi anak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, lahir maupun batin, dan per-lindungannya dari hal-hal yang membahayakan diri, jiwa, dan hartanya, sebagai salah satu wujud pelaksanaan memelihara keturunan (hifz an-nasl), yang menjadi salah satu tujuan penetapan hukum Islam (maqasid al-syari’ah).

Dengan maqasid al-syari’ah, Islam mementingkan terjaganya lima hal dasar (al-kulliyat al-khams), yaitu selain agama, jiwa, akal, harta, juga keturunan yang menjadi tema sentral dalam penulisan ini. Dalam rangka menjaga keturunan (hifz an-nasal) inilah agama Islam melarang segala bentuk perzinaan serta menganjurkan nikah untuk melangsungkan keturunan umat manusia agar tidak punah dan mempunyai hubungan kekerabatan yang sah dan jelas.

(15)

Jika pendapat al-syatibi tersebut dijadikan dasar dalam menilai tujuan hukum perlindungan anak di luar perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa hukum perlindungan anak termasuk kategori tujuan hukum yang bersifat dlaruriyyat (primer), yang menyangkut hifz an-nasal (memelihara keturunan). Dengan kata lain perlindungan anak merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang tua dan keluarga khususnya, dan menjadi hak yang layak didapatkan oleh seorang anak demi terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila perlindungan itu tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan.

Persoalan hifz an-nasal (memelihara keturunan) dalam kajian hukum di Indonesia menjadi menarik dan penting untuk diperhatikan, khususnya setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang sangat kontroversial terkait status anak di luar perkawinan. Hilangnya hubungan perdata sang anak dengan ayah biologisnya berakibat pada tidak adanya hak-hak keperdataan lainnya. Oleh karenanya Islam memandang bahwa hifz an-nasal (memelihara keturunan) sangat penting, karena hukum Islam sangat terkait dengan struktur keluarga, baik hukum perkawinan, maupun kewarisan dengan berbagai derivasinya yang meliputi hak perdata dalam hukum Islam, baik menyangkut hak nasab, hak perwalian, hak memperoleh nafkah dan hak mendapatkan warisan, bahkan konsep kemahraman dalam Islam akibat hubungan persemendaan atau perkawinan.

(16)

bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya karena ketidakjelasan status anak di muka hukum. Akibatnya, anak tidak bisa menuntut hak nafkah, warisan dan perwalian.

Setelah diputuskannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012, maka terjadi perubahan status hak keperdataan anak di luar perkawinan yang menimbulkan beberapa akibat hukum diantaranya adalah kewajiban tanggung jawab seorang laki-laki yang dapat dibuktikan memiliki hubungan darah dengan sang anak, seorang ayah biologis sudah tidak bisa mengelak lagi atas kewajiban hukum untuk memelihara dan mendidik anak dengan alasan ketiadaan ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya.

Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari Lembaga Negara, memiliki tanggung jawab untuk menjamin perlindungan anak dalam memeluk agama, dan hak-hak lain yang diperlukan oleh anak, terutama hak keperdataanya kepada kedua orang tuanya. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, sangatlah tepat lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut di atas. Prinsip persamaan derajat yang dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ini menurut hemat penulis telah sesuai dengan prinsip kemaslahatan umum (masalihu al-‘ammah) yang melindungi jiwa anak (hifz an-nafs) sebagai generasi penerus kehidupan manusia (hifz an-nasl).

4. Problem Implementasi Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010

(17)

untuk mendapatkan hak-hak keperdataannya, untuk itu perlu ditindaklanjuti dengan putusan-putusan pengadilan sebagai hukum yurisprudensi yang mampu memberikan kepastian hukum bagi anak di luar perkawinan tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 hanya bersifat in abstracto bukan in konkrito. Maksudnya adalah hasil Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya bersifat maklumat (pengumuman) atau deklarator bukan bersifat eksekutor. Artinya, bahwa pihak yang bersangkutan tidak serta merta terus berlaku hukum baginya, tetapi berkewajiban untuk meneruskan perkaranya kepada pengadilan, baik pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama non Islam, melalui pihak ibunya ataupun keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh kekuatan hukum dari ayah biologis-nya lewat ibu biologisbiologis-nya, karena hasil putusan pengadilan itulah yang bersifat in konkrito, yaitu yang mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan kepada pihak-pihak yang diputuskan melalui juru sitanya.

Problematika dalam mengimplementasikan Putusan Mah-kamah Konstitusi tentang status anak di luar perkawinan seperti dalam kasus penolakan gugatan pemberian hubungan perdata antara anak yang bernama Mohammad Iqbal Ramadlan dengan ayah biologisnya yaitu Moerdiono dan permohonan itsbat nikah perni-kahan antara Machica Muhtar dengan Moerdiono sebagai gugatan kasasi oleh Machica Muhtar ke Mahkamah Agung dengan Nomor Perkara 329K/AG/2014.

(18)

Machica Muhtar dengan almarhum Moerdiono dilangsungkan pada 20 Desember 1993 atau setelah berlakunya UU Perkawinan 1974. Meskipun berhukum sah menurut hukum Islam namun tidak dicatatkan pada kantor urusan agama, maka pernikahan tersebut tidak termasuk kategori perkawinan yang bisa diajukan itsbat nikah.

Sesuai dengan huruf a angka 22 Penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pengadilan Agama hanya diberi kewenangan untuk menerima permohonan perkara itsbat nikah yang pelaksanaan perkawinannya diseleng-garakan sebelum berlakunya UU Perkawinan 1974 dan/atau perkawinannya dilaksanakan menurut peraturan yang lain.dengan demikian, perkawinan sirri Machica Muhtar dan Moerdiono yang dilaksanakan setelah pemberlakuan UU Perkawinan 1974 tersebut tidak dapat disahkan.

(19)

5. Ta’zir dan Wasiat Wajibah sebagai Sebuah Tawaran dan Solusi

Setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ternyata perlindungan hukum terhadap anak di luar perkawinan, terutama perlindungan mengenai hak-hak keperdataannya masih belum ada kepastian, karena keberadaan pengaturan anak di luar perkawinan di dalam peraturan perundang-undangan belum memberikan dasar yang kuat bagi anak di luar perkawinan untuk dapat diakui kedudukannya sebagai bagian dari anak yang mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya.

(20)

Berdasarkan pada rumusan Pasal 43 Ayat (1) dan (2) di atas, dapat diketahui bahwa pembentuk Undang-Undang, khususnya UU Perkawinan belum berani secara tegas mengatur keberadaan anak di luar perkawinan di dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga akibatnya hubungan keperdataan antara anak di luar perkawinan dengan ayah biologisnya sampai saat ini belum jelas. Sikap pembentuk Undang-Undang Perkawinan masih gamang dan bahkan terkesan setengah hati untuk mengakui keberadaan kedudukan anak di luar perkawinan di dalam hukum keluarga Indonesia. Di samping itu, kesulitan dan sensitifnya pengaturan mengenai anak di luar perkawinan dapat pula dilihat dari berbagai pandangan yang berbeda di dalam menyikapi terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Dua hal inilah yang memberikan pertanda bahwa mengatur mengenai anak di luar perkawinan dirasa masih sangat sulit dan sensitif. Putusan Mahkamah Konstitusi masih memerlukan pengaturan lebih lanjut yang dituangkan di dalam suatu putusan pengadilan berupa yurisprudensi.

(21)

dipedomani, sehingga anak di luar perkawinan tersebut di dalam upaya mencapai keadilan dapat terwujud melalui suatu lembaga resmi yang responsif.

Etine Portalis, seorang perencana KUH. Perdata Prancis Code Civil Tahun 1804 mengembangkan pendapatnya bahwa hukum yang ada itu tidak lengkap. Undang-Undang tidak mungkin lengkap. Undang-Undang hanya merupakan suatu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktik hukum oleh hakim (H. Supandi, Majalah Hukum Tahun XXIX No. 346, IKAHI, Jakarta, September 2014, hlm. 10).

Oleh karenanya, seorang hakim dituntut profesionalismenya untuk memungut norma-norma hukum yang masih tercecer tersebut, kemudian diterapkan di dalam kasus konkret yang di dalam praktek disebut hakim melakukan penemuan hukum, seperti halnya dengan cara merespon Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut bukan terpaku pada aturan hukum yang rigid, sehingga setapak demi setapak akan terbangun adanya hukum yurisprudensi melalui putusan-putusan hakim, atau hukum doktrin, agar gejolak yang muncul dalam masyarakat tidak terlalu besar.

(22)

nikah mut’ah) berhak mendapatkan nafkah dan pembagian sebagian harta peninggalan bapak biologisnya melalui washiyat wajibah.

Dengan ditetapkannya Fatwa MUI tersebut telah terjadi pembaruan hukum Islam di Indonesia. Dengan demikian, maka dalam hukum keluarga Islam kontemporer kita dapati beberapa ketentuan hukum : pertama, bahwa setiap ayah wajib bertanggung jawab atas biaya penghidupan anaknya; kedua, bahwa apabila ayah meninggal dunia, maka tanggung jawab ayah atas anaknya tersebut berlanjut menjadi pewarisan, ketiga bahwa apabila anak terhalang menerima warisan karena sesuatu sebab di luar kesalahannya, maka sang ayah wajib membuat wasiat untuk anaknya, keempat, apabila sang ayah karena sebab apapun tidak membuat wasiat, maka penguasa (hakim) berwenang menetapkan berlakunya wasiat wajibah bagi anaknya. Kelima, ayah biologis wajib memenuhi kebutuhan hidup anaknya, keenam, bahwa ayah biologis wajib memberi bagian dari harta peninggalannya kepada anaknya melalui wasiat wajibah; dan ketujuh, bahwa pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir atas lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkan untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

(23)

dan mengadilinya. Ketiga, hukum acara apa yang harus digunakan. Keempat, siapakah yang berwenang mengajukan perkara ta’zir ini ke pengadilan dalam sistem peradilan pidana.

Memberi kewajiban atas ayah biologisnya mencukupi kebutuhan hidup anak dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui washiyat wajibah juga berarti memberi hak bagi anak mendapat jaminan kebutuhan hidup dari ayah biologisnya dan jaminan mendapat bagian dari harta ayahnya ketika sang ayah meninggal dunia. Hubungan hak dan kewajiban antara dua person dalam sistem hukum perdata merupakan bagian dari hubungan perdata. Dengan demikian, maka pengadilan agama melalui proses peradilan perdata dapat mengabulkan gugatan anak di luar perkawinan atas harta ayah biologisnya dengan menjatuhkan ta’zir berupa kewajiban memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. Dengan demikian, apabila ternyata sang ayah tidak membuat wasiat untuk anaknya, maka pengadilan agama dapat menetapkan bahwa sebagian dari harta ayahnya harus diberikan kepada anaknya berdasarkan wasiat wajibah.

6. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Kritik hukum Islam terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 bahwa penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi ini harus dilihat dari dua perspektif, sesuai dengan klasifikasi definisi anak di luar perkawinan, yaitu apakah anak yang sah secara materiil, tetapi tidak sah secara formil (dari perkawinan yang sah namun tidak dicatatakan) ataukah anak yang tidak sah secara materiil, juga tidak sah secara formil (dari kehamilan yang tanpa ikatan perkawinan yang sah).

(24)

(kemaslahatan umum) yang melindungi hak-hak keperdataan anak (hifz an-nasl) sebagai bagian dari tujuan penetapan hukum Islam (maqasid asy-syari’ah).

c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 belum sepenuhnya bisa menyelesaikan persoalan anak di luar perkawinan, terutama perlindungan mengenai hak-hak keperdataannya. Kepastian hukumnya perlu diatur di dalam peraturan pelaksana.

Daftar Pustaka

Ahmad Asy-Syarbasi. Yas’alunaka fi> Ad-Di>n wa Al-Haya>h, Beirut: Da>r Al-Jayl, (1977).

al-Imam Nawawi. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, Beirut : Da>r al-Fikr, (2010).

Al-Jaziri. Al-Fiqh Ala> Madza>hib Al-Arba’ah, Beirut : Da>r al-Fikr, (tt).

Al-Syatibi. al-muwa>faqat fi Us}

u>

l al-Syari>’at, Beirut : Maktabah al-A>s}riyyah, (2002)

As-Siharanfuri. Badzlu Al-Majhu>d fi> Halli Abi Dawu>d, Beirut: Da>r Al-Kutub Al-Ilmiyyah, (Tt).

Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 11 Tahun 2012 Tanggal 10 Maret 2012 M/18 Rabiul Akhir 1433 H Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.

Frans Magnis Suseno. Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta : Gramedia, (1987).

H. Supandi. Peran Hakim Agung, Metode Berfikir Yuridis dan Konsep Keadilan dalam Spirit Reformasi, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXIX No. 346, IKAHI, Jakarta, September, (2014).

(25)

https://docs.google.com/file/d/0B5DxaF_9ujxbNlNmZmo2NmxRT 2M/edit, diakses 12 Maret 2016

Muhammad ibn Muhammad Ghazali. Mustasyfa min Ilmi al-Ushul, Kairo : Al-Amiriyah, (1412).

Muhammad ibn Muhammad Al-Gazali. Syifa>' al-G}

ali>

l bayanal-Syibh wa al-Mukhi>l wa Masa>likit-Ta'li>l, Baghdad : al-Irsyad, (1971).

Philippe Nonet dan Philip Selznick. Hukum Responsif, Bandung : Nusamedia, (2013).

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010

(26)

Referensi

Dokumen terkait

a) BAZNAS Kabupaten Jepara mendapatkan kepercayaan dan dukungan yang baik dari Pemerintah Daerah. Dengan melibatkan pemerintah dalam penyusunan program dan memberikan

Dengan hormat kami informasikan bahwa dalam rangka implementasi kurikulum 2013 di tahun anggaran 2014, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Kebijaksanaan Salomo 7:25-26: Kebijaksanaan adalah pernafasan kekuatan Allah, dan pancaran murni dari kemuliaan Yang Maha Kuasa. Karena itu tidak ada sesuatupun yang bernoda

Perencanaan penilaian hasil belajar PPKn terdapat sepuluh indikator, yaitu guru memiliki dokumen, guru mencantumkan kompetensi dasar yang dinilai dalam kisi-kisi,

Sejarah awal pendidikan Islam mencatat bahwa kuttab terbagi atas dua karakteristik, yaitu: pertama , kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan

Merujuk pada penelitian sebelumnya yaitu Gokulakrishnan (2013) menyatakan minyak atsiri nilam mampu memberikan perlindungan 100% selama 280 menit, selain itu penelitian Ridwan

berghei sebesar 30,198% (Hapsari, 2012) sedangkan secara in vitro konsentrasi inhibitory concentration 50 (IC50) terhadap P. Berdasarkan temuan kebiasaan masyarakat di atas,

Tindak lanjut : Dilakukan penyidikan tindak pidana Kepabeanan, diduga melanggar Pasal 102 huruf (a) UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dengan Tersangka ZE selaku Nahkoda