BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Pertimbangan Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010
Penulis akan memaparkan dalam bab-bab ini adalah tentang pertimbangan dari
Pemerintah, DPR, dan MK tentang Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang berisi
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat dan isi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan harus dibaca sebagai berikut :
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Anak Luar Kawin tersebut
dilatarbelakangi oleh permohonan dari Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.
Mochtar Ibrahim (Pemohon I) dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono
(Pemohon II yaitu anak dari Pemohon I) yang diajukan ke MK pada tanggal 14 Juni
2010. Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan dalam Duduk Perkara dimana
kedudukan para Pemohon diuraikan sebagai berikut :
1. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga Negara Indonesia
2. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UUMK menyatakan Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
3. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi untuk permohonan uji materil ini. Syarat kesatu adalah kualifikasi untuk
bertindak sebagai Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Pasal 51 ayat (1) UU
MK. Syarat kedua adalah bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon tersebut dirugikan dengan berlakunya suatu Undang-Undang.
4. Bahwa telah dijelaskan terdahulu, Pemohon adalah warga Negara Indonesia yang
merupakan “Perorangan Warga Negara Indonesia”, sebagaimana dimaksud
dengan Pasal 51 ayat (1) UUMK.
5. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang
menyatakan : “ perkawinan adalah sah, apabila menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu ”, sehingga oleh karenanya pernikahan yang
telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah dikuatkan dengan
Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana
tercantum dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs,
tanggal 18 Juni 2008.
6. Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional
Pemohon sebagai warga Negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan.
7. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka anak Pemohon hanya
mempunyai hubungan keperdataan ke ibunya, dan hal yang sama juga dianut
dalam Islam. Hanya saja hal ini menjadi tidak benar, jika norma hukum UU
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, karena berpijak pada sah
atau tidaknya suatu perkawinan menurut norma hukum. Dengan berlakunya Pasal
43 ayat (1) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon selaku ibu
dan anaknya untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahannya serta status
hukum anaknya dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat
(1) UUD 1945.
8. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan “ setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Merujuk pada ketentuan UUD 1945 ini maka Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) UU Perkawinan tidaklah senafas dan sejalan serta telah merugikan hak
konstitusional Pemohon sekaligus anaknya.
9. Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyebabkan kerugian
terhadap hak konstitusional Pemohon dan anaknya yang timbul berdasarkan Pasal
28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yakni hak untuk
mendapatkan pengesahan terhadap pernikahan sekaligus status hukum anaknya
pemohon. Sebagai sebuah peraturan PerUndang-Undangan, maka Pasal 2 ayat (2)
dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mempunyai kekuatan mengikat dan wajib
ditaati oleh segenap rakyat.
10.Bahwa berdasarkan semua uraian tersebut, jelas menunjukan bahwa Pemohon
memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan dalam duduk perkara diatas, maka
Pemohon memohon ke Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan
sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan uji Materiil Pemohon untuk
seluruhnya, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.
2. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945;
3. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan,
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat
hukumnya.1
Menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
dianggap merugikan hak-hak konstitusional pemohon sebagai warga Negara Indonesia
yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku”. Lebih lanjut Pasal 43 ayat
(1) UU Perkawinan menyatakan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”
1
Ketentuan ini melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga
Negara Indonesia memiliki hak yang setara dengan warga Negara Indonesia lainnya
dalam membentuk keluarga dan melaksanakan perkawinan tanpa dibedakan dan wajib
diperlakukan sama di hadapan hukum.
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.” Ketentuan ini melahirkan norma konstitusi bahwa anak
Pemohon juga memiliki hak atas status hukumnya dan diperlakukan sama di hadapan
hukum.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.” Ketentuan ini mengandung makna bahwa setiap
warga Negara Indonesia berhak memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil dan diperlakukan sama di hadapan hukum.
1.1 Pertimbangan Pemerintah
a. Terhadap ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang a quo
Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan
bahwa Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan telah bertentangan dengan Pasal 28 B
Ayat (1) dan Ayat (2),dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, karena pencatatan
perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga Negara
melainkan sebaliknya yakni melindungi warga Negara dalam membangun
terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya. Tidak ada keterkaitan antara
pencatatan perkawinan baik di Kantor Urusan Agama maupun Kantor Catatan
Sipil dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan materi muatan norma yang
di mohonkan pengujiannya oleh para Pemohon.
b. Terhadap ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Bahwa Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menurut Pemerintah
bertujuan memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap hubungan
keperdataan antara anak dan ibunya serta keluarga ibunya, karena suatu
perkawinan yang tidak dicatat dapat diartikan bahwa peristiwa perkawinan
tersebut tidak ada, sehingga anak yang lahir diluar perkawinan yang tidak
dicatat menurut Undang-Undang a quo dikategorikan sebagai anak yang lahir
diluar perkawinan yang sah, karenanya menjadi tidak logis apabila
Undang-Undang memastikan hubungan hukum seorang anak yang lahir dari seorang
perempuan, memiliki hubungan hukum sebagai anak dengan laki-laki yang
tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Sehingga Pasal 43 Ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B
Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dapat dipenuhi,
seiring dengan tujuan dari ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang a quo
itu sendiri.
1.2 Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Menurut DPR, alasan para Pemohon yang tidak dapat mencatatkan
perkawinannya oleh karena prinsip UU Perkawinan yang berasaskan
monogami adalah sangat tidak berdasar, karena sebenarnya Pemohonlah yang
tidak dapat memenuhi persyaratan poligami sebagaimana diatur dalam UU
Perkawinan. Oleh karena itu sesungguhnya persoalan para Pemohon bukan
persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan hukum
yang tidak dipenuhi oleh para Pemohon. Sehingga pada akhirnya akan
berimplikasi pada hak-hak keperdataan yang timbul dari akibat perkawinan
termasuk anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat yaitu implikasi
terhadap pembuktian hubungan keperdataan ayah dengan anaknya, dimana
anak yang lahir dari perkawinan yang tidak di catat tersebut, tentu hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya.
b. Terhadap ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
Menurut DPR ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan tidak
bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 28D Ayat
(1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan justru menjamin
terwujudnya tujuan perkawinan, serta memberikan perlindungan dan
kepastian hukum terhadap status keperdataan anak termasuk hubungan anak
dengan ibu serta keluarga ibunya. Maka apabila ketentuan Pasal 43 Ayat (1)
UU Perkawinan ini dibatalkan justru akan berimplikasi terhadap kepastian
hukum atas status keperdataan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
1.3 Pertimbangan Mahkamah Konstitusi
Menurut Mahkamah, terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian yang
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk
pengujian.
a. Terhadap ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang- Undang a quo
Bahwa menurut Mahkamah Konstitusi berdasarkan Penjelasan Umum
angka 4 huruf b UU Perkawinan tentang asas-asas atau prinsip-prinsip
perkawinan, ternyata bahwa factor yang menentukan sahnya perkawinan
adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama. Sedangkan kewajiban
pencatatan perkawinan oleh Negara melalui peraturan perUndang-Undangan
hanya merupakan kewajiban administratif.
b. Terhadap ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
Menurut Mahkamah pokok permasalahan hukum mengenai anak yang
dilahirkan diluar perkawinan adalah terletak pada makna hukum dari frasa
“yang dilahirkan diluar perkawinan.” Mahkamah juga memandang perlunya
membahas permasalahan tentang sahnya anak guna memperoleh jawaban
dalam prespektif yang lebih luas. Untuk itu Mahkamah mengkaji lebih lanjut
bahwa secara ilmiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa
terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan
seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan tehnologi yang
menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak
karena hubungan seksual diluar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan
ibunya saja dan membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual
tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan
dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai
bapaknya.
Menurut Mahkamah selanjutnya dengan terlepas dari soal
prosedur/administrasi perkawinannya, status anak yang dilahirkan harus
mendapat perlindungan dan kepastian hukum yang adil, termasuk terhadap
anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih
dipersengketakan, sehingga menurut pendapat Mahkamah Pasal 43 Ayat (1)
UU Perkawinan menyatakan, “ Anak yang lahir diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat.
Pertimbangan Pemerintah dan DPR terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang a quo, tidak sependapat dengan anggapan Pemohon yang menyatakan Pasal 2
ayat (2) UU Perkawinan telah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, karena pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan
membatasi hak asasi Warga Negara melainkan melindungi Warga Negara. Alasan
Pemohon yang tidak dapat mencatatkan perkawinannya oleh karena prinsip UU
Perkawinan yang berasaskan monogami adalah sangat tidak berdasar karena sebenarnya
pemohon yang tidak dapat memenuhi persyaratan poligami sebagaimana diatur dalam
UU Perkawinan, sehingga pada akhirnya akan berimplikasi terhadap pembuktian
yang tidak dicatat tersebut, tentu hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu
dan keluarga ibu.
Menurut Pemerintah dan DPR, ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan justru menjamin terwujudnya tujuan
perkawinan, serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap status
keperdataan anak termasuk hubungan anak dengan ibu serta keluarga ibu.
Sedangkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi, ketentuan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang a quo menurut Mahkamah Kontitusi berdasarkan Penjelasan Umum
angka 4 huruf b UU Perkawinan tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan,
ternyata bahwa factor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang
ditentukan oleh agama. Sedangkan kewajiban pencatatan perkawinan oleh Negara
melalui peraturan perUndang-Undangan hanya merupakan kewajiban administratif.
Pokok pikiran utama yang melandasi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan pada dasarnya adalah “tidak tepat dan tidak
adil jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang
menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya
sebagai seorang ayah dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak
terhadap laki-laki tersebut sebagai ayahnya” pokok pikiran ini seolah-olah menjadi alasan
yang mendasar bahwa seorang laki-laki yang menghamili seorang perempuan yang
kemudian melahirkan anak, dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut akan melepaskan
tersebut di-review, ayah biologis tersebut dipaksa oleh hukum untuk mempertanggung
jawabkan segala perbuatan yang dilakukannya.
Sementara itu, anak diluar kawin masih berhak atas pelindungan anak, hal ini
telah ditetapkan pada UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
Undang-Undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara
terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus
berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik
fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan
kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial,
tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta
berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan perdata antara anak luar
kawin dengan ayah biologisnya, adanya hak dan kewajiban antara anak luar kawin dan
ayah biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris, dan lain sebagainya. Hal ini tentunya
berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan
tehnologi seperti halnya tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar
anak luar kawin tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah
biologisnya tersebut.
Adanya putusan Mahamah Konstiusi tentang anak luar kawin tersebut terdapat
pandangan yang berbeda-beda dari pihak KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia),
NU, MUI.
KPAI menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang berimplikasi ayah
biologis harus bertanggung jawab atas anak di luar kawin. Wakil Ketua KPAI
menegaskan dalam kasus tersebut tidak ada anak haram namun yang haram adalah
hubungan orang tua tanpa perkawinan. Penulis setuju dengan pendapat dari KPAI
tersebut, karena seorang anak yang dilahirkan itu belum mempunyai dosa dan wajib
mendapat perlindungan hukum, apabila hubungan orang tua tanpa perkawinan bukan
berakibat bahwa anak itu anak haram melainkan hubungan orang tua tanpa perkawinan
tersebut yang seharusnya dinilai kurang baik dan tidak seharusnya dilakukan, karena akan
berpengaruh terhadap kehidupan anak nantinya.
Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa mengakui putusan MK
terkait dengan uji materi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan sangat baik ditinjau dari sisi
kemanusiaan dan administrasi Negara, tetapi niat baik itu malah menjerumuskan pada
akhirnya. Sebelum diuji materi, Pasal 43 Ayat (1) menyebutkan anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.
Sementara setelah diuji materi menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mengajukan tuntutan ke Pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya
melalui ibu biologisnya.2
Argumentasi yang melandasi keputusan ini, antara lain bahwa setiap anak adalah
tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah
atau di luar itu. Anak juga berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama
dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak. Anak yang
dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah, menurut jumhur ulama tidak bisa
dinasabkan kepada ayah biologisnya. Konsekuensinya, anak yang lahir di luar
perkawinan, tidak memiliki hak waris dan perwalian dari ayah biologisnya. Kalau si anak
hasil hubungan di luar kawin ini menikah dan ayah biologisnya menjadi wali, maka tidak
sah pernikahannya. Oleh karena itu, Muslimat NU mendorong agar dilakukan koordinasi
antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Mahkamah Konstitusi, Majelis
Ulama Indonesia, dan ormas Islam untuk mencari jalan keluar yang tepat dalam
penataannya. Agar terdapat sinergi antara hukum syariat dan hukum legal formal
kenegaraan. Karena menimbulkan banyak kesulitan bagi anak sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat serta menimbulkan kekacauan nasab.
Berdasarkan pandangan NU diatas, penulis beranggapan bahwa pendapat dari
Ketua Umum Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa, berdasarkan Putusan MK No
46/PUU-VIII/2010, agar terdapat sinergi antara hukum syariat dan legal formal
kenegaraan dperlukan adanya koordinasi dari berbagai pihak supaya dapat dicari jalan
2 Muslimat NU: Putusan MK Soal Anak Luar Nikah Bisa Menjerumuskan,
keluar dalam penataannya, dan pergaulan bebas yang dapat menjerumuskan pada
perbuatan zina wajib dicegah supaya tidak berakibat banyak kesulitan bagi anak.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan tidak akan mencabut fatwa tentang
kedudukan anak hasil perzinaan dan kedudukan mereka dalam hukum Islam. MUI tetap
berpendirian anak di luar kawin tidak dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah
kandungnya. Syariat Islam mengatakan bahwa anak hasil zina hanya memiliki hubungan
dengan ibunya. Pandangan MUI itu tidak akan berubah kecuali Mahkamah Konstitusi
dapat memberikan bukti lain berdasarkan hukum syariat Islam.
Anggapan dari Pihak MUI tersebut, bahwa putusan MK tersebut telah menjadikan
lembaga perkawinan yang tidak dicatatkan dalam KUA menjadi kurang relevan apalagi
sekadar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak
hasil perkawinan yang sah tersebut. Hal ini di nilai sangat menurunkan derajat kesucian
dan keluhuran lembaga perkawinan. Bahkan, pada tingkat ekstrem dapat muncul
pendapat tidak dibutuhkan lagi lembaga perkawinan, karena orang tidak perlu harus
menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum anak. MUI sepakat
bahwa anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan, tetapi belum dicatatkan pada KUA
maupun Kantor Catatan Sipil (seperti perkawinan di bawah tangan) harus dipersamakan
dengan anak dalam ikatan perkawinan yang telah dicatat. Putusan MK No.
46/PUU-VIII/2010 sepanjang memaknai pengertian “hubungan perdata” antara anak hasil zina
dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya dan keluarganya adalah juga
hubungan nasab, waris, wali, dan nafqah, maka putusan MK itu bertentangan dengan
Ma‟ruf mengatakan, untuk melindungi hak-hak anak hasil zina tidak dilakukan dengan
memberikan “hubungan perdata” kepada laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya.
Melainkan dengan menjatuhkan „ta‟zir‟ kepada laki-laki tersebut berupa kewajiban
mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut atau memberikan harta setelah ia meninggal
melalui „wasiat wajibah‟. Kemudian, untuk menghilangkan diskriminasi terhadap anak
hasil zina adalah tidak mengaitkannya dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya,
melainkan dengan melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa anak hasil zina tidak
menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan
kelahirannya.
Dengan melihat pandangan dari KPAI, NU, MUI terdapat pro dan kontra setelah
adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang telah memberikan perlindungan
terhadap anak luar kawin sehingga ada jaminan kelangsungan hidup bagi anak yang
bersangkutan, karena ada kewajiban perdata yang dibebankan tidak hanya kepada ibu dan
keluarga ibu, akan tetapi juga pada ayah dan keluarga ayah.
Dari hasil penelitian diatas dapat dikemukakan bahwa dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1)
UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat dan isi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menjadi :
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Putusan ini telah menimbulkan pertimbangan yang berbeda-beda dari pihak
kontra dari pihak KPAI, NU, MUI perihal Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang
menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang isinya telah dirubah menjadi
seperti diatas.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya memiliki implikasi positif dan
negatif. Dampak positifnya adalah Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya
hubungan keluarga anak luar kawin dengan ayah biologisnya, adanya hak dan kewajiban
antara anak luar kawin dan ayah biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain
sebagainya. Hal ini berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti : tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan
bahwa benar anak diluar kawin tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki
sebagai ayah biologisnya tersebut. Dalam hal ini terbuka kesempatan bagi para anak
diluar kawin untuk mendapatkan hak nafkah, waris dan lain sebagainya.
Dampak negatifnya putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 dinilai melanggar ajaran Islam dan tatanan Hukum Islam. Hukum Islam
menyatakan bahwa, status anak diluar kawin disamakan statusnya dengan anak zina, oleh
karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut: 3
a) Tidak ada hubungan keluarga dengan ayahnya. Anak itu hanya mempunyai
hubungan keluarga dengan ibunya. Ayahnya tidak wajib memberikan nafkah
kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang
timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
3
b) Tidak ada saling mewaris dengan ayahnya, karena hubungan keluarga merupakan
salah satu penyebab kerwarisan.
c) Ayah tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar kawin. Apabila anak diluar kawin
itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia
tidak berhak dinikahkan oleh ayah biologisnya.
C. Analisis
1.1 Implikasi Yuridis Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Anak Luar Kawin
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan tehnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah temasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”
menimbulkan kontroversi baik dari kalangan ahli hukum maupun ahli agama.
Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010,
anak-anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya punya hubungan hukum dengan
ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana tersebut oleh Pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan. Hal ini membawa konsekuensi, anak yang lahir diluar perkawinan
secara hukum negara tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya.
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan harus dibaca bahwa anak yang lahir di luar
perkawinan mempunyai hubungan hukum dengan ayah dan keluarga ayahnya, tidak
lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu sepanjang terbukti bahwa anak luar kawin
tersebut adalah anak biologis dari ayahnya. Dengan demikian tanpa adanya
pengakuan dari seorang ayah kepada anak luar kawin secara normatif sudah
mempunyai hubungan keuarga dengan ayah maupun keluarga ayah, sepanjang
terbukti adanya hubungan biologis ini. Oleh karena itu lembaga pengakuan anak
tidak lagi berfungsi, karena secara normatif akan terjadi hubungan keperdataan
antara ayah dengan anak luar kawinnya.
Hal ini berbeda dengan pengaturan sebelum Putusan Mahkamah
Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin akan mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan ayah jika ayah melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin
yang bersangkutan. Dengan demikian anak luar kawin yang diakui dengan sah
mempunyai hubungan keluarga dari orang yang mengakuinya. Adanya hubungan
keluarga, adalah dengan adanya pengakuan anak yang telah memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan, menetapkan adanya hubungan keluarga antara anak yang
diakui dengan orang yang mengakuinya.
Menurut Pasal 283 KUHPerdata, tidak setiap anak yang lahir diluar
perkawinan dapat dilakukan pengakuan. Dalam KUHPerdata dikenal anak luar
kawin yaitu :
Ialah anak yang lahir di luar perkawinan, dimana kedua orang tuanya tidak
ada halangan untuk melangsungkan perkawinan.
b) Anak sumbang
Ialah anak yang lahir di luar perkawinan, dimana kedua orang tuanya ada
hubungan darah yang dekat.
c) Anak zina
Ialah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, dimana kedua orang tuanya
ada hubungan untuk melangsungkan perkawinan karena salah satu atau
kedua orang tuanya dalam ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain.
Dari tiga jenis anak luar kawin tersebut, menurut Pasal 272 KUHPerdata
hanya anak alami saja yang dapat disahkan maupun diakui (dengan pengecualian
Pasal 273 KUHPerdata). Sedangkan KUHPerdata menyaratkan pula bahwa anak luar
kawin selain anak zina atau sumbang ( kecuali jika anak sumbang telah memperoleh
dispensasi dari Presiden ), akan mempunyai hubungan keluarga dengan ayah
biologisnya jika dilakukan pengakuan.
Undang-Undang Perkawinan tidak membedakan tiga kriteria anak
tersebut. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan
pengertian tentang apa yang dimaksud dengan anak luar kawin. Dengan berpegang
pada rumusan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan, maka dapat dirumuskan bahwa
yang termasuk anak luar kawin adalah anak yang tidak memenuhi kriteria sebagai
Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti
tentang pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan yang terdapat
dalam Hukum Perdata Umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang
kriteria anak sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum
Islam, yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah :
1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
2. Hasil pembuahan suami isteri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh
isteri tersebut
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kriteria anak luar kawin adalah :
1) Anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah
2) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari laki-laki dan perempuan diluar
rahim dimana keduanya tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, atau
3) Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh
wanita bukan istri tersebut.
Menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, anak luar kawin
ini hanya akan mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibu. Dengan
demikian sebagaimana telah dipaparkan diatas bahwa tidak secara otomatis anak luar
kawin akan mempunyai hubungan dengan ayah biologisnya. Agar supaya hubungan
kekeluargaan tercipta, maka diperlukan pengakuan anak oleh ayah biologisnya.
Pengakuan anak akan dapat terealisir jika ibu menyetujuinya. Oleh karena itu tidak
Namun pasca Putusan Mahkamah Konsttusi No 46/PUU-VIII/2010,
hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ibu dan ayah serta keluarga ibu dan
ayah tercipta secara otomatis dalam pengertian tanpa diperlukan pengakuan dari
ayahnya sepanjang terbukti ada hubungan biologis, maka implikasinya adalah anak
luar kawin dapat menjadi pewaris baik dari ibu dan keluarga ibu serta ayah dan
keluarga ayah.
Selain itu, supaya ada hubungan keluarga dengan ayah dan keluarga ayah
harus dibuktikan secara biologis bahwa anak tersebut adalah anak dari ayah yang
bersangkutan. Tidak menjadi masalah jika ayah mau membuktikan adanya hubungan
biologis tersebut. Misalnya dengan tes DNA, ayah mau melakukan tes DNA tidak
akan menjadi masalah sehingga jika terbukti, akan dapat dipakai sebagai lampiran
untuk membuktikan bahwa ada hubungan biologis antara keduanya, sehingga
memenuhi syarat yang di tetapkan dalam Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010. Jika
ayah tidak mau membuktikan dengan tes DNA tersebut, ini yang menjadi masalah,
karena ibu harus mengumpulkan banyak bukti untuk membuktikan bahwa anak
tersebut merupakan anak dari ayah yang bersangkutan dengan cara mengumpulkan
bukti-bukti diantaranya dari berbagai saksi dan ibu itu harus berani bersumpah
didepan hakim Pengadilan Agama bahwa anak tersebut benar-benar anak dari hasil
hubungan dengan laki-laki yang bersangkutan, sehingga keyakinan hakim
berdasarkan bukti yang telah didapat dalam memutuskan suatu perkara dengan
berbagai kebijakan merupakan suatu hal yang penting dalam sebuah proses
bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan hidup si anak mulai dari
pendidikan, pemeliharaan maupun pewarisan.
Sekalipun anak luar kawin sebagai implikasi dari Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut kemungkinan menjadi ahli waris ibu dan ayah serta keluarga ibu
dan ayah, tentu saja bagian yang diterima anak luar kawin akan berbeda dengan
bagian yang diterima anak anak sah. Ketentuan bagian waris anak luar kawin
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 863 KUHPerdata dapat diberlakukan bagi
mereka yang tunduk pada KUHPerdata :
1. Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami
atau istri, maka anak-anak luar kawin mewarisi 1/3 bagian dari bagian yang
seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah.
2. Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri,
tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas (ibu, bapak,
nenek, dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka
anak-anak yang diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan. Namun, jika hanya
terdapat saudara dalam derajat yang lebih jauh, maka anak-anak yang diakui
tersebut mendapat 3/4.
Berdasarkan uraian diatas, maka pasca putusan Mahkamah Konstitusi No
46/PUU-VIII/2010 setiap anak luar kawin yang memenuhi persyaratan yang dituntut
Mahkamah Konstitusi ( ada hubungan biologis anak luar kawin dengan ayah
biologisnya), maka otomatis akan menjadi ahli waris kedua orang tua biologisnya
Menurut Pasal 866 : “ Jika sorang anak luar kawin meninggal dunia lebih
dahulu, maka sekalian anak dan keturunannya yang sah, berhak menuntut bagian
yang diberikan kepada mereka menurut Pasal 863 dan Pasal 865. Apabila anak luar
kawin yang meninggal dunia tidak mempunyai keturunan maupun suami atau istri,
maka warisan itu untuk orang tua yang telah mengakuinya, hal ini terdapat di
didalam Pasal 870 KUHPerdata.
Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 tidak memberikan
kedudukan yang sama antara anak luar kawin dengan anak sah, yakni sebagai ahli
waris dari kedua orang tuanya dan keluarga orang tuanya, namun ada perbedaan
bagian yang diterimanya sebagaimana tersebut dalam Pasal 863 KUHPerdata.
Menurut hukum adat waris Jawa, anak yang lahir diluar perkawinan itu hanya
menjadi waris terhadap harta peninggalan ibunya saja serta didalam harta
peninggalan kerabat atau famili dari pihak ibu. Menurut hukum adat Jawa yang
bersifat parental bahwa kewajiban untuk membiayai penghidupan dan pendidikan
seorang anak luar kawin yang diakui ayahnya dan anak tersebut belum dewasa juga
dibebankan pada ayah anak itu. Pembagian warisan anak luar kawin terhadap harta
kekayaan ayah biologisnya menurut hukum waris adat Jawa biasanya diselesaikan
dengan cara kemanusiaan yaitu pemberian secara kerelaan atau atas dasar belas
kasihan (parimirma).4
Dalam Hukum Islam yang tertuang dalam Pasal 186 KHI, dinyatakan bahwa
anak luar kawin hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibu dan
keluarga ibu. Ini berarti bahwa menurut KHI, anak luar kawin tidak mungkin
4 Dwi Anti Faulina, Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat Jawa, www.
menjadi ahli waris dari ayah maupun keluarga ayah. Sedangkan apabila ayahnya
ingin memberikan warisan kepadanya maka dengan cara wasiat, dimana dalam
ketentuan wasiat berlaku yaitu wasiat tidak boleh melebihi 1/3 harta warisan.
Menurut pendapat penulis dengan adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010
tersebut memberikan perlindungan terhadap anak luar kawin untuk mendapat
pengakuan dari ayah biologis dan keluarga ayah biologis serta dapat tercukupi
kebutuhan hidup, dan dapat menjadi ahli waris dari pihak ayah biologis maupun
keluarga ayahnya. Tetapi dengan Putusan MK tersebut jangan beranggapan bahwa
putusan itu melegalkan perzinaan maupun perkawinan yang tidak dicatatkan dalam
KUA, melainkan putusan tersebut tidak menyetujui adanya hal seperti itu melainkan
memberikan perlindungan kepada anak luar kawin supaya dalam kehidupan
masyarakat dapat diakui sama halnya dengan anak sah tanpa adanya perbedaan
status, karena disini anak bukan penyebab utama dari persoalan yang ditimbulkan
oleh kedua orang tuanya, sehingga anak luar kawin berhak mewaris dari harta kedua
orang tuanya.
1.2 Tindakan Yang Dilakukan Oleh Negara Sehubungan dengan adanya Putusan MK N0 46/PUU-VIII/2010
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
bertentangan dengan UUD Republik Indonesia sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan tehnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa Pasal
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan tehnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah dengan ayahnya. Berkaitan dengan itu
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
tersebut hendaklah dibaca :
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Jadi pada intinya bahwa MK memutuskan anak luar kawin secara otomatis
akan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya sepanjang bisa
dibuktikan, dengan ibu dan kedua keluarga orang tua biologisnya.
Putusan ini mesti harus ditindak lanjuti oleh Negara sebagai lembaga yang
memberikan perlindungan kepada anak. Tindakan yang perlu dilakukan oleh Negara
yakni merevisi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dan juga Pasal 100 KHI, agar dapat
mengcover putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Disamping itu, Negara mestinya
harus membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur proses administrasifnya,
sehingga jelas apa yang harus dilakukan baik oleh orang tua maupun anak luar
kawin agar tercipta hubungan antara orang tua dan anak luar kawinnya.
Perlu diingat pula bahwa ada kewajiban Negara untuk memberikan
perlindungan hukum pada anak, termasuk didalamnya anak luar kawin. Hal ini telah
ditetapkan pada UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Undang-Undang
pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara
terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus
berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak,
baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk
mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa
yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan
nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan
negara.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak
dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik
tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif,
Undang-Undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak
berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu
peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia
usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang
menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat dan isi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menjadi :
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi memutuskan ketentuan Pasal 43 ayat
(1) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan bertolak
dari pandangan, bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang
menentukan sahnya perkawinan dan pencatatan merupakan kewajiban
administratif yang diwajibkan berdasarkan Undang-Undang.
Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya” harus dibaca,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Sehubungan dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi seperti
halnya diatas, maka yang dilakukan oleh orang tua untuk membuktikan asal-usul
anak adalah ibu bisa minta penetapan ke Pengadilan tentang asal-usul anak
sebagaimana tersebut dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan
yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.” Bila akte
kelahiran tersebut tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan
asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Dengan demikian maka jika terbukti ada hubungan biologis antara ayah
dengan anak, maka secara normatif berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi,
ada tanggung jawab ayah biologis terhadap anak baik dalam hal sandang, pangan,
nafkah, maupun pendidikan. Atas dasar itu, dapat diajukan gugatan pada ayah
biologisnya guna pemenuhan kebutuhan tersebut.
Karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak secara serta merta
dilaksanakan dalam praktek (karena belum ada Peraturan Pemerintah yang
melaksanakan putusan tersebut), maka agar dapat merealisasikan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut dengan melalui lembaga Pengakuan Anak
meskipun secara normatif tidak diperlukan. Hal ini mengingat bahwa
pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan pun secara administratif dalam
prakteknya masih diperlukan pengakuan anak.5
5