Pandangan Tokoh Perempuan Terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 17 Februari 2012
( Studi Kasus di Pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang )
Dr. Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag. dan Didin Chonyta Tohir S.HI
ABSTRAK
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46 PUU VIII/2010 menyatakan, “ Pasal
43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”
Putusan tersebut telah direspon oleh MUI dengan mengeluarkan fatwa tentang “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya”. Di dalam fatwa tersebut, dijelaskan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali
nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, hanya
mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Terdapat pertentangan antara Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Fatwa MUI
tersebut. Mahkamah Konstitusi berdasarkan undang-undang yang berlaku di
Indonesia, sedangkan fatwa MUI lebih mengedepankan fiqh. Jika dicermati, baik
putusan Mahkamah Konstitusi maupun Fatwa MUI mengandung kelemahan, kurang
komperhensif di dalam memandang permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi
yang dilahirkan di dalam perkawinan yang tidak dicatatkan. Sedangkan fatwa MUI
mengabaikan ketentuan undang-undang di Indonesia seperti undang-undang
perlindungan anak dan undang-undang anti diskriminasi.
Meskipun masalah tersebut sangat terkait dengan perempuan, tetapi masih
relative sedikit perempuan yang mengemukakan pandangannya terhadap masalah
tersebut. Sebab itu penelitian ini membahas masalah tersebut dari sudut pandang
tokoh perempuan, yaitu pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang. Rumusan
masalahnya adalah, pertama, bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan
Aisiyah Kota Malang tentang pencatatan perkawinan pada pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan No.1 tahun 1974 yang dikukuhkan oleh putusan MK 46/PUU-VIII/2010,
tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?.
Kedua, bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang
tentang hak-hak isteri dalam perkawinan yang tidak dicatat atau nikah siri ? ketiga,
bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang
hubungan keperdataan ( nafkah, nasab dan waris) anak yang dilahirkan di luar
perkawinan sebagaimana putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU
Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?
Makalah ini menyimpulkan bahwa fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tentang
Kedudukan Anak hasil Zina dan Perlakuan terhadapnya, memiliki spirit yang sama
dengan Putusan MK yaitu melindungi anak dari penelantaran. Perbedaannya adalah
pada poin nasab anak. Rekomendasi yang diajukan adalah dalam poin nasab,
berdasarkan kemaslahatan anak dan watak hukum Islam yang selalu menghindari
madlarat dan masyaqah, MUI harus memihak kepada kepentingan anak. Jenis
penelitian adalah yuridis empiris, sumber data adalah pengurus Muslimat NU dan
Aisiyah Kota Malang dengan system purposive random sampling, yaitu empat orang
Muslimat NU dan empat orang pengurus Aisiyah.
Penelitian ini menyimpulkan, pertama Semua informan mendukung putusan
Mahkamah Konstitusi tentang kewajiban pencatatan perkawinan. Pencatatan
berguna untuk ketertiban dan jaminan hukum. Kedua, Kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan, semua mendukung keputusan MK sepanjang dimaknai
anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan, yaitu mempunyai hubungan
keperdataan, yang berupa nafkah, nasab, wali dan waris. Ketiga, Kedudukan anak di
luar perkawinan atau anak zina, tidak memiliki hubungan nasab, wali waris dari
ayahnya dan keluarga ayahnya. Semua informan setuju dengan fatwa MUI. Anak zina
hanya mempunyai hak nafkah dan wasiyat wajibah dari ayah biologisnya. Dengan
demikian, semua informan tidak setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang
memberikan hubungan keperdataan kepada anak yang lahir di luar perkawinan, baik
dalam nikah sirri maupun zina.
Keywords: Putusan Mahkamah Konsitusi, NU, Muhamadiyah
A. KONTEKS PENELITIAN
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17
Februari 2012, karena adanya permohonan uji materi Undang-undang Perkawinan
Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1), telah memicu kontroversi di antara
tokoh-tokoh masyarakat, ada kelompok yang mendukung, bahkan sangat
mengapresiasi dan ada kelompok yang protes dengan memberi catatan yang cukup
mendasar. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPA I) dan Ketua Komisi
Nasional (Komnas) Perempuan merupakan kelompok yang mendukung dan
mengapresiasi putusan tersebut. 1 Sedangkan organisasi masyarakat Islam dan
khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan kelompok yang memrotes
dengan memberi catatan substansial2. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bisa
1
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 43 ayat(1)Undang-undangN0.1tahun1974tentangPerkawinan.
http://www.komnasperempuan.or.id/2012/02/pernyataan-sikap-komnas -perempuan-terhadap-putusan-mahkamah-konstitusi-tentang-pasal-43-ayat-1-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ Diakses pada tanggal 10-11-2012; Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Aris Merdeka Sirait mengapresiasi putusan MK, http://www.indopos.co.id/index.php/berita-utama/41-banner-berita-utama/1879-telantarkan-anak-luar-nikah-penjara-mengancam
2 Rais Am PBNU KH. Sahal Mahfudh menginstruksikan kepada panitia Munas Alim Ulama NU 2012
dikatakan sangat revolusioner dalam konteks Hukum Keluarga Islam di Indonesia.
Sebab dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, kedudukan anak yang
dilahirkan di luar perkawinan menjadi berubah secara diametral dari Hukum
Keluarga Islam di Indonesia, yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Demikian pula fiqih, yang merupakan
bahan baku penyusunan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
mendapatkan tantangan yang serius dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut.
Isi putusan Mahkamah Konstitusi yang sangat menghentak tersebut adalah
tentang pencatatan perkawinan dan kedudukan anak yang dilahirkan di luar
perkawinan. Dua hal yang berhubungan langsung dengan hukum perkawinan Islam,
dan terutama posisi perempuan dalam hukum perkawinan Islam. Meskipun demikian,
dari publikasi mass media, belum banyak perempuan yang menyuarakan pendapatnya
mengenai putusan tersebut. Lebih banyak laki-laki yang menyuarakan pandangannya,
meskipun sesungguhnya putusan tersebut lebih merupakan problem perempuan.
Sebab itu, penelitian ini akan meneliti pandangan tokoh perempuan, yaitu pengurus
Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang terhadap putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010, tanggal 17 Februari 2012, tentang Uji Materi Undang-undang Perkawinan
Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1) yang menjadi kontroversi di masyarakat.
Apakah mereka mendukung, menolak atau mengajukan pandangan lain.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang
pencatatan perkawinan pada pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974
yang dikukuhkan oleh putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU
Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?
Konstitusi (MK) mengenai status hukum anak luar nikah yang dinilai bertentangan dengan syariat Islam. (NU online 3/4/2012) http://lbm.lirboyo.net/kontroversi-putusan-mk-tentang-anak-di-luar-nikah/ ; Fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012 tentang “Kedudukan Anak Hasil Zina
2. Bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang hak-hak isteri dalam perkawinan yang tidak dicatat atau nikah siri ?
3. Bagaimana pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang
hubungan keperdataan ( nafkah, nasab dan waris) anak yang dilahirkan di luar
perkawinan sebagaimana putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil
UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang
tentang pencatatan perkawinan pada pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun
1974 yang dikukuhkan oleh putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil
UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?
2. Mengetahui pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang
tentang hak-hak isteri dalam perkawinan yang tidak dicatat atau nikah siri ?
3. Mengetahui pandangan pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang
tentang hubungan keperdataan ( nafkah, nasab dan waris) anak yang dilahirkan di
luar perkawinan sebagaimana putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji
Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Pembaharuan hukum keluarga Islam dalam masyarakat modern adalah sebuah
keniscayaan. Sebab jika tidak dilakukan pembaharuan, maka tentu akan
mengalami gap antara das solen dan das sein. Antara realitas masyarakat,
pranata hukum dan tujuan syariah. Dalam rangka melaksanakan pembaharuan
tersebut, dibutuhkan penelitian tentang kondisi masyarakat yang terkait
dengan hukum keluarga. Penelitian ini akan memberi kontribusi teoritis dalam
mendesain pembaharuan hukum Islam. Dengan penelitian akan diketahui
dinamika yang terjadi di masyarakat terkait dengan hukum keluarga Islam.
Hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan oleh Mahkamah Agung dengan
perangkat peradilannya dan Direktorat Jendral Bimas Islam untuk membuat
kebijakan dalam rangka meningkatkan pelayanan yang terkait dengan hukum
perkawinan.
E. DEFINISI OPERASIONAL
1. Pandangan: sikap seseorang yang terbentuk atas dasar pandangan hidupnya,
pengetahuannya dan pengalamannya. Pandangan seseorang terhadap suatu
masalah terbentuk karena pemahaman yang mendalam terhadap masalah
tersebut, dan akan mempengaruhi pilihan-pilihannya dan tindakannya.
2. Pengurus Mulimat NU: pengurus Muslimat Nahdlatul ‘Ulama. Sebuah organisasi perempuan yang besar di Indonesia yang merupakan organisasi
keagamaan perempuan, yang mana ideologi dan amaliah keagamaannya
mengikuti ‘ulama NU. Muslimat NU memiliki aktifitas di berbagai bidang, seperti keagamaan, pendidikan, kesehatan, penerbitan, ekonomi dan lain-lain.
3. Pengurus Aisyiyah: Organisasi perempuan keagamaan Aisyiyah adalah
organisasi yang besar, sebanding dengan Muslimat NU. Ideologi dan amaliah
keagamaannya mengikuti ulama Muhammadiyah. Organisasi ini juga
memiliki aktifitas di berbagai bidang, seperti keagamaan, pendidikan,
kesehatan, ekonomi, penerbitan dan lain-lain.
F. PENELITIAN TERDAHULU
1. Lina Nur Anisa, Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 46/PUU-VIII/2010
Tentang Kedudukan Anak Di Luar Nikah (Studi pandangan Hakim
Pengadilan Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Malang).Tesis pada
Sekolah Pascasarjana UIN Maliki, Program Studi Ahwal Syakhsyiyyah.
Fokus penelitiannya adalah, “Bagaimana pandangan Hakim PA dan MUI
lahir di luar perkawinan adalah anak yang lahir dari perkawinan siri, bukan
anak hasil zina. Mereka memiliki hak-hak sebagaimana anak sah.
2. Ali Wafa, Memaknai Anak di Luar Perkawinan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi.3Rumusan masalah penelitian ini meneliti makna “Anak di Luar
Perkawinan” dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Jenis penelitian normative yuridis. Kesimpulan penelitian adalah bahwa yang dimaksud “Anak di luar Perkawinan” dalam putusan MK adalah anak yang terlahir dari perkawinan siri atau yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
3. Drs. H. Syamsul Anwar, SH., MH dan Drs. Isak Munawar, M.H. “Nasab
Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih dan
Perundang-undangan”4 Penelitian yuridis normative, rumusan masalahnya
adalah, “Bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dalam perkawinan poligami di bawah tangan” Kesimpulan penelitian adalah bahwa status hukum anak yang dilahirkan dalam perkawinan poligami di bawah tangan tidak
termasuk dalam pengertian anak yang lahir di luar perkawinan. Karena anak
ini menurut UU Perkawinan N0.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) adalah anak
sah.
Penelitian-penelitian yang sudah disebutkan di atas memiliki titik
singgung dengan penelitian ini, yaitu tema besarnya adalah Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010. Namun tinjauan ketiga penelitian diatas
dengan penelitian ini adalah berbeda. Disebabkan penelitian ini akan
mengeksplorasi pandangan tokoh perempuan secara komperhensif terkait materi
putusan MK tersebut. Yaitu tentang bagaimana kedudukan perkawinan di bawah
3 http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20.Memaknai Anak Di luar Perkawinan dalam
tangan atau siri, apa hak-hak isteri dalam perkawinan siri dan bagaimana
kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan menurut pandangan tokoh
perempuan di kota Malang.
G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Pembahasan dalam penelitian ini diorganisasikan ke dalam bab dan sub
bab, untuk menjadikan pembahasan sistematis, jelas dan focus.
Bab 1, Pendahuluan, terdiri dari beberapa sub bab, yaitu konteks
penelitian, rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat penelitian, definisi
operasional, penelitian terdahulu dan sistematika pembahasan. Bab satu
merupakan desain dari seluruh pembahasan.
Bab 2, Kajian Teori. Memaparkan teori-teori yang terkait dengan focus
penelitian, yang akan dijadikan dasar dan arah di dalam memahami dan
menganalisis data lapangan. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab. Yaitu,
Deskripsi Putusan Mahkamah Konstitusi, Sahnya Perkawinan versus Pencatatan
Perkawinan, Anak di luar Perkawinan versus Anak Zina
Bab 3, Metode Penelitian yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu Jenis
Penelitian, Pendekatan Penelitian, Sumber data, Metode Pengumpulan data dan
Metode Analisis data.
Bab 4, Paparan Data dan Temuan Penelitian
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Putusan MK
Adalah Macica Muchtar alias Hj. Aisyah binti H. Ibrahim Mochtar menikah di bawah
tangan (siri) dengan Drs. Moerdiono, menteri sekretaris Negara pada zaman orde
baru, pada tahun 1992. Pada waktu itu, Moerdiono sudah beristeri. Dengan demikian
status perkawinannya adalah poligami di bawah tangan. Dari perkawinan tersebut
lahir seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadlan. Perkawinan ini
tidak berlangsung lama, pada tahun 1998 mereka bercerai. Selanjutnya Moerdiono
tidak mengakui perkawinannya tersebut dan menolak mengakui anaknya. Disebabkan
perkawinannya di bawah tangan, maka Macica tidak bisa menuntut secara hukum
mengenai keberadaan perkawinannya, status anaknya, maupun hak nafkah untuk
dirinya dan anaknya. Banyak jalan yang sudah ditempuh unuk memperjuangkan
suaminya melanggar Undang-undang Perlindungan Anak, ke Komnas Perempuan
dan akhirnya pada tahun 2008 ia mengajukan uji materi ke Mahkamak Konstitusi5.
Uji materi yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi oleh Macica Muchtar
adalah dengan mengemukakan bahwa dengan adanya pasal 2 ayat (2) dan pasal 43
ayat (1), Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya, UUP)
hak-hak dasarnya dan anaknya sebagai warga Negara dirugikan. Pasal 2 ayat (1) UUP berbunyi, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” sedangkan ayat (2) berbunyi, “tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 43
ayat (1) berbunyi, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Hak dasar Macica dan anaknya yang dirugikan adalah berdasarkan Undang-undang Dasar RI 1945 (UUD ’45) pasal 28 B ayat (1) yang berbunyi, “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, dan pasal 28 B ayat (2) yang berbunyi, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan
pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.6
Dengan berlakunya pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UUP tersebut,
maka hak-nya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah serta hak anak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi; hak pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
dan perlakuan yang sama di depan hukum, sebagaimana disebutkan dalam UUD RI ’45, menjadi hilang. Akibatnya status perkawinannya dengan Moerdiono yang dilakukan secara sah sesuai syariat Islam, dianggap tidak sah. Demikian pula anak
yang lahir dari perkawinan itu, dianggap tidak sah. Dengan hilangnya status sah
5
Macica Mochtar http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/m/machica_mochtar/ diakses pada 1 juli 2013. Macica 8 Tahun Berjuang Demi Hak Anak, http://video.kapanlagi.com/hot-news/machicamochtar-8-tahunberjuang-demi-hakanak.html
6
perkawinannya tersebut, maka ia dan anaknya tidak memiliki hubungan perdata, baik
nasab, nafkah maupun waris dengan Mordiono.
Terhadap uji materi pasal 2 ayat (2) UUP tentang pencatatan perkawinan, MK
mengemukakan jawaban berdasarkan penjelasan umum angka 4 huruf b UUP bahwa,
pertama, pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sah-nya perkawinan; kedua, pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan undang-undang. Kewajiban-kewajiban administrasi tersebut dapat dilihat dari dua
perspektif, yaitu dari perspektif Negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam
rangka memenuhi fungsi Negara untuk memberikan jaminan perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang
merupakan tanggung jawab Negara dan harus dilakukan sesuai prinsip Negara hukum sebagaimana yang dimuat dalam pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) UUD RI ’457
.
Sekiranya pencatatan tersebut dianggap pembatasan, maka pembatasan tersebut dipandang tidak bertentangan dengan UUD RI ’45, karena pembatasan dimaksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain. Kedua, pencatatan secara administrative yang dilakukan oleh Negara
dimaksudkan agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting yang berimplikasi
terjadinya akibat hukum yang sangat luas, dan dikemudian hari perkawinan itu dapat
dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik. Dengan argument
tersebut, MK berpendapat bahwa pasal 2 ayat (2) UUP tidak bertentangan dengan UUD RI ’458
.
Adapun terhadap uji materi pasal 43 ayat (1) UUP MK mengabulkan dengan
putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17
Februari 2012. Amar putusan tersebut berbunyi9 :
7
UUD NKRI 1945 pasal 28 I ayat (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Dan ayat (5) Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
8 Putusan MK ha. 33-34.
9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 17 Februari 2012, Tentang Uji
“ Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya ”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan
laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai
hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus
dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ”
Berdasarkan putusan MK tersebut, anak yang dilahirkan di luar perkawinan,
yang semula menurut pasal 43 ayat (1) UUP hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibu saja, mempunyai jalan untuk mendapatkan hak-hak
perdata dari ayah biologis, asalkan dapat membuktikan kebenarannya melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi, misalnya dengan tes DNA atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Keputusan tersebut
berdasarkan argument bahwa secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan
hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui
hubungan seksual maupun cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang
menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu tidak tepat dan tidak adil
manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena
tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadi
kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang
bapak. Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan yang
didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang
laki-laki adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara
bertimbal balik yang subyek hukumnya adalah anak, ibu dan bapak. Dengan
demikian hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata
karena adanya ikatan perkawinan akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian
adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak10.
B. Sahnya Perkawinan Versus Pencatatan Perkawinan
Sahnya perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan di
dalam pasal 2 ayat (1), “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal tersebut dijelaskan di
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)11 pasal 5, “perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan”. Penjelasan tentang rukun perkawinan menurut hukum Islam, yang merupakan dasar sah-nya suatu perkawinan dijelaskan di dalam
pasal 14 yaitu, adanya calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan
Kabul. Dengan demikian sah-nya suatu perkawinan berdasarkan adanya lima rukun
tersebut, yang mana pencatatan tidak termasuk di dalamnya. Perkawinan sudah
dinyatakan sah menurut hukum Islam tanpa adanya pencatatan.
Adapun kedudukan pencatatan perkawinan sebagaimana disebutkan di dalam
pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan, di dalam KHI pasal 5 disebutkan secara
10 Putusan MK hal. 35-36.
11Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum keluarga Islam yang meliputi bidang perkawinan,
eksplisit merupakan suatu keharusan demi menjamin ketertiban perkawinan
masyarakat Islam, bahkan ditegaskan di dalam pasal 6 ayat (2), bahwa perkawinan
yang tidak dicatat, tidak memiliki kekuatan hukum. Pencatatan perkawinan dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 2 tahun
1946 jo Undang-undang No. 32 tahun 1954, sebab itu, perkawinan harus
dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah dan hanya dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah12.
Meskipun peraturan perundangan sudah tegas mewajibkan pencatatan
perkawinan, namun masih banyak masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah
tangan alias tidak dicatat. Sebagian besar adalah mereka yang poligami sebagaimana
kasus Moerdiono-Macica tersebut diatas dan perkawinan di bawah umur13. Hal ini
merupakan problem yang rumit, apalagi poligami dan perkawinan di bawah umur
sering berakhir dengan perceraian14. Sebagai akibatnya banyak janda dan anak yang
lahir dari perkawinan tersebut yang dirugikan karena tidak mendapat jaminan hukum.
Jika banyak janda dan anak yang terlantar, tidak mendapat jaminan hukum, maka
akan berakibat pada pertumbuhan dan perkembangan yang tidak positif. Anak bisa
tumbuh, berkembang dengan baik hanya dalam keluarga yang baik. Maka bisa
dibayangkan beban hidup yang ditanggung oleh ibu dalam mengasuh dan
membesarkan anaknya seorang diri. Hal itu masih ditambah dengan pandangan
masyarakat yang negative terhadap perkawinan di bawah tangan.
Mayoritas ahli hukum menyatakan bahwa sah-nya perkawinan dan pencatatan
perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 bisa
berjalan seiring atau tidak mengandung problem dalam pelaksanaannya15. Namun
12 Lihat KHI pasal 6 dan 7.
13 Belum ada sanksi hukum bagi kejahatan perkawinan, http://puslitbang 1,
balitbangdiklat.kemenag.go.id/index.php?option=c diakses tanggal 1 juli 2013.
14
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat.Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Hal.23
15 Abdul Manan,. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
jika dicermati lebih dalam, sesungguhnya dalam dua ketentuan tersebut muncul
kejanggalan. Misalnya akan muncul pertanyaan, bagaimana suatu perkawinan yang
dipandang sah menurut undang-undang bisa tidak diakui sendiri ketidak-sah-annya
oleh undang-undang yang sama. Sebab perkawinan yang dilaksanakan menurut
syariat Islam atau adat dipandang sah menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974, namun sekaligus juga diingkari ke-sah-annya menurut
pasa 2 ayat (2), dan tidak memiliki kekuatan hukum, karena tidak dicatat. Salah
seorang hakim mahkamah konstitusi dalam menetapkan putusan perkara ini,
mengemukakan pandangan yang berbeda (councuring opinion), yaitu Farida
Indriyati. Menurut Indriyati dua pasal tersebut saling menghalangi satu sama lain.
Dalam pelaksanannya pasal 2 ayat (1) terhalang pelaksanaannya oleh ayat 2 dan
sebaliknya ayat (2) juga terhalang oleh ayat (1). Kondisi ini disebabkan tidak
sinkronnya antara norma agama dan norma hukum. Sahnya suatu perkawinan
berdasarkan norma agama, sedang perlindungan hukum harus berdasarkan
pencatatan. Perlindungan hukum tidak bisa dilaksanakan tanpa adanya akte nikah,
yang mana hanya bisa diperoleh dengan melaksanakan pernikahan di depan Pegawai
Pencatat Nikah. Sebab itu, Indriyati mengharapkan adanya sinkronisasi norma-norma
agama dan hukum16. Dikarenakan kondisi tidak sinkron ini merugikan perempuan
dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Kerugian tersebut berupa
perkawinannya dipandang tidak sah, yang mengakibatkan kedudukan anaknya juga
tidak sah, yang oleh karena itu, anak tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah.
Kerugian lebih lanjut adalah isteri tidak memiliki hak terhadap harta bersama.
C. Anak Di Luar Perkawinan Versus Anak Zina
Anak di Luar Perkawinan Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih dan Perundang-undangan” hal. 9-10. http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20NASAB%20ANAK%20DI%20LUAR%20PER KAWINAN.pdf diakses tanggal 1 juli 2013.
16 Putusan MK, dalam concurring opinion putusan MK hal. 40-45. Didukung oleh Komnas Perempuan
dalam Pernyataan Sikap Komnas Perempuan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal43ayat(1)Undang-undangN0.1tahun1974tentangPerkawinan.
Apa pengertian anak yang dilahirkan di luar perkawinan di dalam putusan MK dan di
dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi anak zina, yaitu anak yang
kelahirannya tanpa perkawinan ke dua orang tuanya? ataukah hanya anak yang
dilahirkan dalam perkawinan yang tidak dicatat saja? Pengertian anak yang dilahirkan
di luar perkawinan ini menjadi polemic diantara ahli hukum. Putusan MK memberi
kesan kepada ormas Islam dan MUI17, bahwa pengertian anak yang dilahirkan di luar
perkawinan itu termasuk anak zina. Sebab itu MUI segera mengeluarkan fatwa
tentang kedudukan Anak Zina. Yang intinya menyatakan bahwa anak zina tidak
memiliki hubungan nasab dengan laki-laki yang menjadi sebab kelahirannya dan
keluarganya. Anak zina hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya. Dengan kata lain, ormas Islam dan MUI memaknai anak yang dilahirkan di
luar perkawinan itu, adalah anak yang dilahirkan di dalam perkawinan yang tidak
dicatat atau dibawah tangan18. Mereka menyatakan bahwa putusan MK tersebut
secara implicit menuju kepada legalisasi zina19. Sebaliknya Mahfud MD, ketua MK
pada waktu itu, memberi penjelasan bahwa dasar terpenting dalam putusan MK
adalah, semua orang yang berbuat, dia harus bertanggung jawab. Laki-laki yang
menjadi sebab kelahiran seorang anak, harus bertanggung jawab terhadap hidup dan
kehidupan anak tersebut, tanpa memperhatikan bagaimana status perkawinannya20.
Jadi, anak zina juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah yang menjadi sebab
kelahirannya dan keluarga ayahnya.
17Mukti Arto, “Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010”
http://badilag.net/data/ARTIKEL/DISKUSI%20HUKUM.pdf diakses pada 1juli 2013 dan 17Drs. H.
Syamsul Anwar, SH., MH dan Drs. Isak Munawar, M.H. “Nasab Anak di Luar Perkawinan Paska
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Pebruari 2012 Menurut Teori Fikih dan Perundang-undangan” hal. 9-10.
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL%20NASAB%20ANAK%20DI%20LUAR%20PER KAWINAN.pdf diakses tanggal 1 juli 2013.
18 Jumni Nelly, , Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional.
Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum Uin Suska Pekanbaru, Riau., hal. 54.
19
Putusan MK tentang Anak Luar Nikah, Legalkan Zina http://www.itoday.co.id/politik/putusan-mk-tentang-anak-di-luar-nikah-legalkan-zina, diakses 3 juli 2013dan Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, tidak legalkan perzinahan http://id.berita.yahoo.com/mk-putusan-nomor-46-puu-viii-2010-tidak-085210375.html
20
Selain itu, menurut hakim konstitusi Indriyati dalam councoring opinion-nya, jika perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan syariat Islam atau di bawah tangan
dipandang sah menurut undang-undang, maka seturut dengan itu, anak yang
dilahirkan dalam perkawinan di bawah tangan juga harus dipandang anak sah.
Dengan demikian yang dimaksud anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu bukan
anak yang lahir dalam perkawinan, melainkan anak zina, yaitu anak yang lahir tidak
dalam perkawinan. Sejalan dengan Indriyati, Syamsul Anwar menyatakan, bahwa UUD NKRI 1945 pasal 29 B ayat (1) menyatakan, “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Berdasarkan pasal 29 B ayat (1) tersebut, kata kunci yang harus diperhatikan adalah “melalui perkawinan yang sah”. Adapun perkawinan yang sah harus dirujuk kepada UUP No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1), yaitu “ perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Anwar
menegaskan bahwa berdasarkan undang-undang, setiap orang memiliki hak untuk
mendapatkan keturunan dengan jalan perkawinan yang sah. Tidak melegalkan
memperoleh keturunan dengan jalan kumpul kebo atau zina. Dengan demikian bisa
disimpulkan bahwa yang dimaksud anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah
anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan, bukan anak yang lahir tanpa
perkawinan. Polemic ini menjadi panas, sebab di dalam UUP No. 1 tahun 1974 tidak
ada penjelasan yang eksplisit tentang pengertian anak yang dilahirkan di luar
perkawinan21.
Putusan MK didukung oleh ketua KPAI, Aris Merdeka Sirait, dengan menyatakan, “ jadi putusan MK kemarin memberikan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah. Dan ini tentu akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya, nah .. itukan merugikan anaknya. Di dalam konvensi
PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan
itu harus diberikan oleh Negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya
21 Abdul.Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional”22
. KPAI menyatakan hamper 50 juta anak di
Indonesia yang tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab, antara lain
karena pernikahan tidak sah atau kawin siri. Angka ini hampir separoh dari total
jumlah anak di bawah usia 5 tahun. Sebab itu Aris Merdeka Sirait sangat mendukung
putusan MK, yang bisa dijadikan landasan advokasi untuk anak di luar pernikahan
untuk memperoleh hak keperdataannya.
D. KONFRONTASI FATWA MUI DAN PUTUSAN MK
Posisi ulama harus berada di garis terdepan di dalam menjaga moral masyarakat dan
menegakkan ajaran Islam. Sebab itu, melalui fatwa tersebut, MUI telah
melaksanakan perannya sebagai penjaga moral ummat dengan menutup pintu zina.
Butir kedua, tentang Ketentuan Hukum dalam fatwa MUI menyatakan:
1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali
nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan
kelahirannya.
2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris,
dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang
dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.
4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang
berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah
(hifzh al-nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki
pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan
mewajibkannya untuk:
22
Komnas Pa: 249 Anak Kasus Perceraian Tak Diakui Ayahnya
a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;
b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat
wajibah. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan
hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang
mengakibatkan kelahirannya23.
Spirit dari fatwa tersebut adalah menjaga nasab yang merupakan prinsip
ajaran Islam.serta menutup rapat-rapat pintu zina. Bagi ummat Islam, sesungguhnya
tidak mengherankan, ketentuan-ketentuan dalam fatwa MUI tentang anak hasil zina
yang tampak keras, bahkan mengesankan tidak manusiawi tersebut. Sebab ajaran
Islam merupakan zona bebas zina. Tidak ada celah sekecil apapun yang bisa
mengizinkan atau mengakibatkan zina. Semua pintu yang bisa menyebabkan
terjadinya zina ditutup rapat-rapat. Hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan
hanya diizinkan melalui satu pintu, dan satu-satunya, yaitu perkawinan. Sebab itu
memang ajaran Islam tidak mengenal hubungan nasab lewat jalan zina. Larangan zina
di dalam al-Qur’an surat al-Isra’(17):3224, tidak sekedar diungkapkan dengan kalimat,
“janganlah kamu berzina”, tetapi “ janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya
zina itu perbuatan keji dan sejelek-jeleknya jalan”. Zina juga merupakan perbuatan
jarîmah hudûd, dimana hukumannya sudah dijelaskan di dalam al-Qur’an, yaitu seratus kali cambuk bagi yang masih bujang, belum menikah baik laki-laki maupun
perempuan25, dan rajam, dilempar batu sampai mati bagi yang sudah menikah atau
janda dan duda.26 Seturut dengan larangan zina, ajaran Islam juga melarang
23 fatwa MUI No. 11 tahun 2012 tanggal 10 Maret 2012 tentang “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan
Perlakuan Terhadapnya”
24 ًلي س ءاس ً شحاف اك هَن انِزلا اوب قت ا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. Dan suatu jalan yang buruk “ (QS. Al-Isra : 32).
ج ئام ا نم حا َلك ا جاف يناَزلا يناَزلا Qur’an surat al-Nûr(24):2.
26
khalwat27, menganjurkan menjaga pandangan dan menutup aurat28. Di sisi lain, ajaran
Islam sangat menganjurkan perkawinan. Sangat banyak ayat al-Qur’an yang
menganjurkan perkawinan, bahkan perkawinan dipandang sebagai salah satu tanda
kekuasaan Allah SWT. Yang di dalamnya terwujud kehidupan yang tenang, saling
mencintai dan mengasihi.29 Perkawinan dalam hadist dipandang sebagai sunnah para
Nabi, bagi yang tidak menyukai sunnah Nabi, dianggap tidak termasuk golongan
Nabi30. Hukum keluarga di dalam fiqh (baca: hukum Islam) mengatur perkawinan
dengan sangat rinci, mulai dari ketentuan memilih pasangan, melamar, rukun dan
syarat perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, talak, ‘iddah, ruju’, pengasuhan
anak, waris dan hal-hal yang sangat detil terkait dengan topik-topik tersebut.
Hikmah dilarang zina sudah begitu jelas, sehingga tidak memerlukan
penjelasan lagi. Dalam perkawinan melahirkan kemuliaan, mengasah dan
mengembangkan potensi-potensi baik akan tumbuh naluri ayah dan ibu untuk
mengasuh, melindungi anaknya, berbeda dengan zina yang menyebabkan konflik
batin dan penyakit yang sangat berbahaya. Tidak ada agama yang melegalkan zina
sebagaimana tidak ada agama yang tidak memuliakan perkawinan.
Di sisi lain, anak hasil zina, sebagai manusia Indonesia, mempunyai hak-hak
konstitusional sebagaimana dijamin oleh UUD NRI 1945. Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dalam paradigma menjamin hak-hak konstitusional, putusan MK memuat keterangan hukum
yang bertentangan dengan fatwa MUI, sebagai berikut :
“Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum
dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus)
maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan
teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh
karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum
menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan
karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki
hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.31”
Bahwa anak yang diperlakukan secara berbeda dengan anak-anak yang lain,
bukan karena kesalahan yang dilakukan anak tersebut, adalah tindakan diskriminasi
kepada anak. Terkait hak-hak anak terhadap ayah biologisnya, putusan MK
menyatakan :
“Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang
menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut
dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan
dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki
tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan
perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat
dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki
tertentu.32”
Disamping itu, lembaga-lembaga yang bekerja di lapangan terkait dengan
masalah anak juga mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan fatwa MUI
tersebut. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam siaran persnya, secara
31
putusan MK N0. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Uji Materiil Undang-undang Perkawinan Pada Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 43 ayat (1).
32
tegas menghimbau MUI untuk meninjau kembali fatwanya dan melakukan kajian
yang mendalam, sebab fatwa MUI tentang anak hasil zina tersebut dipandang
melukai anak. Mereka juga menyebutkan bahwa jumlah anak yang akte kelahirannya
tidak tercantum bapaknya sangat banyak, yang mengakibatkan penderitaan dalam
hidup anak33. Demikian pula Komisi Nasional (Komnas) Perempuan secara tegas
mendukung putusan MK, menyatakan "Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang
anak di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata kepada ayah biologisnya,
meminimalkan terjadinya kekerasan berlapis pada perempuan atau ibu," kekerasan
berlapis itu diantaranya adalah stigma masyarakat, sebagai single parent yang harus
mengasuh dan menanggung biaya hidup anaknya sendirian. Komnas Perempuan
menginformasikan bahwa tahun 2011, menerima pengaduan kasus anak di luar nikah
sebanyak sembilan belas kasus. Dari seluruh kasus yang diadukan, tak satu pun laki
laki yang memenuhi tanggung jawabnya atas status hukum dan dukungan nafkah bagi
anak yang dilahirkan34.
Benar, bahwa fatwa MUI juga dijamin oleh undang-undang, yaitu pasal 29
UUD 1945 ayat (2) yang berbunyi, “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sebab itu semua kelompok yang mendukung putusan MK untuk mengakui hubungan anak dengan ayah biologis sebagaimana
dengan ibunya, berdasarkan konstitusi, tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip
menjaga nasab, menutup pintu zina dan memuliakan lembaga perkawinan
sebagaiamana ajaran Islam. Artinya pengakuan terhadap anak hasil zina dan
perlindungan hukum terhadap hak-haknya, harus sejalan dengan prinsip menjaga
nasab dalam Islam. Di sisi lain, pelaksanaan pasal 29 UUD RNI 1945 ayat (2) tidak
33
Terkait Status Anak Zina, Kak Seto MInta Tinjau Ulang Fatwa MUI,
http://depoklik.com/2012/03/16/terkait-status-anak-zina-kak-seto-minta-tinjau-ulang-fatwa-mui/Seto M
34 Pernyataan Sikap Komnas Perempuan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 43 ayat
(1) Undang-undang N0. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
http://www.komnasperempuan.or.id/2012/02/pernyataan-sikap-komnas -perempuan-terhadap-putusan-mahkamah-konstitusi-tentang-pasal-43-ayat-1-uu-no-1-tahun-1974-tentang-perkawinan/ Diakses pada tanggal 10-11-2012
bisa berdiri sendiri, melainkan terkait dengan pasal lain seperti pasal 28 J ayat (2)
yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Dengan demikian, berdasarkan konstitusi, melaksanakan ajaran agama, dalam konteks Negara Indonesia, juga harus memperhatikan ketentuan
perundang-undangan. Pada titik ini, berarti agama dituntut untuk mampu melakukan
transformasi dalam konteks ke-Indonesiaan. Kebebasan beragama, meskipun agama
yang dianut oleh mayoritas, tidak bisa lepas dari ketentuan perundang-undangan.
Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok yang menolak fatwa MUI,
sebagaimana dikemukakan diatas, secara obyektif, bisa diterima akal sehat. Sebab itu
perlu direspon secara logis proporsional dan sedapat mungkin tidak apologetic. Sebab
BAB III
METODE PENELITIAN
A. PENDEKATAN dan JENIS PENELITIAN 1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiri.35
Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalis Putusan Mahkamah Konstitusi RI
No. 46/PUU-VIII/2010 tentang peraturan perundang-undangan mengenai kedudukan
anak di luar nikah.36 Sedangkan pendekatan empiris digunakan untuk menganalis,
bukan semata-mata sebagai suatu seperangkat aturan perundang-undangan yang
bersifat normatif belaka, akan tetapi hukum dilihat sebagai perilaku masyarakat yang
menggejala dan mempola kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan
berhubungan dengan aspek kemasyarakatan, seperti: politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Berbagai penemuan data dilapangan yang bersifat individual akan dijadikan
35 Pendekatan dari sudut kaidah-kaidah pelaksanaan peraturan yang berlaku dalam masyarakat 36
bahan utama dalam pengungkapan permasalahan yang diteliti dengan berpegang pada
ketentuan normatif.37
2. Jenis Penelitian
Sesuai dengan fokus permasalahan yang peneliti ajukan, maka penelitian ini
menggunakan jenis penelitian Deskriptif Kualitatif38. Dalam hal ini, peneliti
menyajikan data-data dalam bentuk aslinya, dan setiap bagian ditelaah satu demi satu.
Dengan pendekatan ini, peneliti menganalisis pendapat pengurus Muslimat NU dan
Aisiyah Kota Malang tentang Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.
46/PUU-VIII/2010 sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan di atas.
3. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distrukturisasi atau
bagaimana bagian-bagian tersebut berfungsi (perilaku yang di dalamnya ada konteks
khusus atau dimensi waktu).39 Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah
paradigma alamiah (naturalistic paradigm).40 Hal yang ditekankan dalam paradigma
ini ialah aspek subjektifitas dari perilaku seseorang. Dalam penelitian ini, peneliti
ingin mengetahui pendapat pengurus Muslimat NU dan Aisiyah Kota Malang tentang
Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 46/PUU-VIII/2010 secara komperhensif.
4. Lokasi Penelitian
Dipilihnya pengurus Muslimat NU dan Aisiyah kota Malang adalah karena pengurus
Muslimat NU dan Aisiyah di kota Malang terdiri dari Ibu Nyai, muballighah dan
akademisi, seperti dosen, hakim, guru, yang tentu memiliki kompetensi untuk
membahas putusan MK tersebut. Dari hasil wawancara akan bisa dilihat adanya
resistensi atau akomodasi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan
implikasinya terhadap reformasi hukum keluarga Islam di Indonesia.
5. Data dan Sumber Data
37
Ibid, hlm. 9
38 Penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan data berupa kata-kata, gambar-gambar serta
informasi verbal atau naratik dan bukan dalam bentuk angka.
39 Lexy J. Moleong (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Rosda), hlm. 49 40
Dalam penelitian ini, data penelitian berupa data primer dan data skunder yang
diperoleh dari berbagai sumber data. Secara jelasanya data dan sumber data diuraikan
sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer41 berasal dari kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau
diwawancarai, yang dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video dan
pengambilan foto42. Dalam hal ini, peneliti mewawancarai pengurus Muslimat NU
dan Aisyiyah kota Malang, yang penulis pilih berdasarkan purposive random
sampling. Penulis memilih dua orang pengurus dari Muslimat NU dan dua orang
pengurus dari Aisiyah. Pemilihan dilakukan berdasarkan pendidikan mereka dan
kedudukannya dalam organisasi. Profil mereka penulis sajikan dalam table berikut
ini.
41 Data yang diperoleh langsung dari objek yang akan diteliti (informan) 42
Pesantren Penasehat
topic pembahasan dan fatwa MUI tentang kedudukan anak zina terlebih dulu sebelum
melakukan wawancara.
Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari sumber-sumber tertulis, yaitu sumber
buku, majalah ilmiah, tesis dan disertasi, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan
dokumen resmi, dan peraturan perundang-undangan di Indonesia,43 yang berkaitan
dengan kedudukan anak di luar nikah, seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Putusan MK
RI No. 46/PUU-VIII/2010, serta literatur-literatur yang relevan lainnya.
A. Teknik Pengumpulan Data
1. Data Primer, diperoleh dari:
a. Wawancara (interview guide),44 yang berisikan daftar pertanyaan yang
sifatnya terbuka dan ingin memperoleh jawaban yang mendalam tentang
kedudukan nikah yang tidak dicatat dan hak-hak isteri dan anak yang lahir
di luar perkawinan. Secara singkatnya interview guide merupakan
rambu-rambu yang digunakan peneliti agar tidak terjebak dalam mencari data di
luar permasalahan dan tujuan penelitian.45
b. Dokumentasi (Documentation); berupa rekaman baik sound maupun video
gambar, foto dan lain-lainnya.
2. Data Sekunder, diperoleh dari:
a. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari sejumlah literature, dokumen,
catatan serta buku terkait dengan kedudukan anak di luar nikah.
b. Peraturan perundang-undangan Hukum Islam khususnya yang mengatur
masalah kedudukan anak di luar nikah yang berlaku di Indonesia.
A. Teknik Analisis Data
Sesuai dengan data yang dikumpulkan oleh peneliti, yaitu: data kualitatif yang
berupa data (kalimat), maka kemudian data tersebut dianalisa dengan teknik
analisa data kualitatif dengan model analisa interaktif.
Ada 3 (tiga) kelompok pokok yang terdapat dalam model analisa interaktif, yaitu:
43 Lexy J. Moleong (2008). Op. Cit. hlm. 159
44 Menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman kepada responden, dengan tujuan untuk
mengumpulkan sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh dari sumber pertama. 45
1. Data Reduction (Reduksi Data); merupakan sajian dari analisa yang mempertegas, memperpendek, membuat focus dan membuang hal yang tidak
penting sehingga kesimpulan akhir dapat ditarik.
2. Data Display (Display Data); merupakan rakitan suatu organisasi informasi yang memungkinkan riset dapat dilaksanakan dengan melihat suatu penyajian
data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk
mengerjakan suatu analisa atau tindakan lain berdasar penelitian tersebut.
3. Conclusion Drawing (Kesimpulan), adalah kesimpulan yang ditarik dari semua hal yang terdapat dalam data rediction dan data display. Pada dasarnya
makna data harus diuji validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi
lebih kokoh.46
Adapun proses menganalisa data adalah dengan mereduksi data yang telah
terkumpul, yaitu dengan cara menyederhanakan atau membuang data-data yang
tidak relevan dengan penelitian, kemudian diadakan penyajian data agar
memungkinkan untuk dapat ditariknya suatu kesimpulan. Namun apabila dirasa
masih terdapat kekurangan dalam menarik kesimpulan akibat kurang
tercukupinya data yang telah ada, maka peneliti dapat melakukan penelitian di
lapangan kembali, sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan lagi yang
lebih mengena dengan sasaran dan tujuan penelitian.
Pengecekan Keabsahan Data
Triangulasi;47 teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan
melalui sumber lainnya. Di mana seorang pakar peneliti yang bernama Denzin telah
membedakan 4 (empat) macam triangulasi sebagai tehnik pemeriksaan yang
memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Dalam penelitian ini
triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber atau informan yang memiliki
perbedaan karakteristik.
46
Sutopo H.B. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif, (Surakarta: Fakultas Hukum UNS, 1981), hlm. 35.
47 Tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk
BAB IV
PAPARAN DAN ANALISIS DATA
Sub bab ini diperoleh dari pengurus Muslimat NU dan Aisyiyah kota Malang,
yang penulis pilih berdasarkan purposive random sampling. Penulis memilih empat
orang pengurus dari Muslimat NU dan empat orang pengurus dari Aisiyah. Pemilihan
dilakukan berdasarkan pendidikan mereka dan kedudukannya dalam organisasi. Profil
mereka penulis sajikan dalam table berikut ini.
Tabel Informan
Tabel informan Muslimat NU
N0. NAMA PENDIDIKAN JABATAN ALAMAT
Pesantren
Majelis
Hukum &
HAM Aisiyah
Sarana Indah
F.9
Mulyoagung
Malang
Kepada informan penulis kirim putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi
topic pembahasan dan fatwa MUI tentang kedudukan anak zina terlebih dulu sebelum
melakukan wawancara. Kemudian wawancara dilaksankan dalam waktu sehari,
karena bertepatan dengan acara seminar sehari yang dilaksanakan Fakultas Syariah UIN Malang pada tanggal 14 Desember 2012, dengan tema, “Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya” ( Mengkaji Putusan MK N0. 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1) dan
Fatwa MUI N0. 11/2012 tanggal 10 Maret 2012 ) yang bertempat di Hotel Pelangi
Jl. Merdeka Selatan N0 3 Malang 65119.
Instrumen wawancara dipilah berdasarkan isi putusan MK agar bisa menggali
pandangan informan secara terperinci. Inti putusan MK pada prinsipnya ada dua,
yaitu tidak dikabulkannya uji materi pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 tahun
1974, yang menyatakan perkawinan harus dicatat. Dan dikabulkannya uji materi pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dengan putusan MK, pasal tersebut berubah, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan bapaknya dan keluarga bapaknya sepanjang bisa
dibuktikan dengan ilmu pengetahuan/teknologi atau bukti-bukti lain yang bisa digunakan”. Sebab itu, instrument wawancara berbunyi :
1. Bagaimana pandangan ibu tentang pencatatan perkawinan pada pasal 2
MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal
2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?
2. Bagaimana pandangan ibu tentang hak-hak isteri dalam perkawinan yang
tidak dicatat atau nikah siri ?
3. Bagaimana pandangan ibu tentang hubungan keperdataan ( nafkah, nasab
dan waris) anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagaimana putusan
MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal
2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?
4. Bagaimana pandangan Informan tentang Pencatatan Perkawinan pada
pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang dikukuhkan
dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU
Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)
Ibu Nyai Hj. Chasinah Ketua I Muslimat NU
“Sebenarnya pengalaman saya, hidup di tengah-tengah masyarkat, ini ada satu persoalan bahwa ada pasangan laki-laki dan
perempuan yang mau menikah, sebenarnya persoalan ini di masyarakat
menjamur, tatkala mau menikah mendatangkan orang tua mereka,
terus ada RT ada RW, karena ada itu seorang kiyai mau menikahkan
sirri itu dengan catatan pada tanggal tertentu harus nikah secara resmi.
Persoalan ini sering terjadi di masyarakat apalagi orang yang dianggap
tokoh/ulama, mau masyarakat itu tidak mau ribet dan solusi seperti
apa. keputusan MUI saat di Gontor itu memutuskan bahwa nikah sirri
itu boleh dengan catatan punya kewajiban harus segera dicatatkan di
KUA. Sebab itu putusan MK yang mengukuhkan pencatatan perkawinan ya sudah sesuai. Saya kira itu”.48
Hj. Sulalah Dr., M.Ag, Ketua Litbang Muslimat NU
48
“Bahwa perkawinan akan sah apabila dilakukan dengan sah dalam pandangan syar’i dan juga sah dimata hukum. Artinya istilah sah ini ada dua konteks; sah menurut agama dan sah menurut Negara, Perkawinan harus sah menurut syar’I dan Negara. Jadi putusan MK yang mengukuhkan pencatatan perkawinan itu ya sudah sesuai”49
.
Ibu Hj. Siti Aminah ( Mantan Ketua Muslimat NU ):
“Setuju. Karena dengan pencatatan keturunanya agak jelas hak
waris jelas dan kelanjutan dari pendidikan anak bagus karena kalo
masuk sekolah harus dicatatkan ke KUA itu kan pemerintah, tapi
karena itu pemerintah jadi harus kita ikuti. Jadi di catatkan mari
ngono oleh akte kelahiran sekolah, ini memang harusnya begitu, jadi
di catatkan begitu, Cuma ada catatan sipil ada catatan dari KUA yaitu
catatan yang di catat oleh buku nikah kan gitu dapat buku nikah, kan
sebagai bukti sudah sah menjadi suami istri. Makanya tadi saya
sampaikan menghalalkan yang harom tadi. Suami mengucapkan saya
nikahi saja sudah halal. (lafadz akad) itu suami menikahi dan
perempuan di kawini, mulane islam ngatur seng nggolek bojo iki
wong lanang, apa ndak boleh perempuan, boleh tapi adatnya di jawa
timur kan arek lanang nglamar wong wedhok. Kalo islam di ikuti
bagus, kadang kita masih terutama anak muda sak enak e. kalo islam
diikuti bagus. Ada wong lanang ngelamar trus di takokne wedhok e
seneng po g? kalo sudah mengucapkan akad nikah kan sudah halal
segala galanya. Dengan mertua ya g batal. Dengan istri halal di apakno
ae50”.
Ibu Dr. Dewi Hamidah ( Anggota Litbang Muslimat NU )
49 49 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012
50Wawancara di rumah Ibu Hj Siti Aminah, Belakang Masjid Jami’ Malang, 22 oktober
“Pencatatan perkawinan berarti prosedur, perlengkapan administrasi yang harus di lakukan seseorang untuk menikah di kantor
urusan agama, sangat setuju sekali ketika aturan aturan yang berlaku
sesuai dengan ketentuan administrasi, dan tidak di lebih lebihkan,
artinya, biasanya kita melengkapi administrasi, lalu ada beberapa
persyaratan yang sebetulnya tidak perlu tapi di bikin perlu contohnya:
surat pindah nikah itu memang harus. Kalo biasanya di sini di
mempelai putri sehingga harus ada pengurusan surat pindah nikah. Itu sih memang logis, tapi kalo’ kemudian ada biaya di luar biaya keluar administrasi itu yang menjadikan tidak efektif. Ya kalo pencatatan
harus, kenapa? Karena mengingat penduduk Indonesia yang begitu
banyaknya, dan semuanya banyak yang pengen nikah juga, maka
harus ada pencatatan dengan syarat petugas itu harus melakukan sesuai
dengan schedule. Misalnya si A akan menikah, tanggal 1 september,
datang lagi yang ke dua, minta tanggal 1, nah tanggal itu kan sudah di
daftar, ndak pokoknya saya minta tanggal 1 karena ini tanggal yang
penting, kemudian dia memberi uang yang lebih lah kepada petugas.
Kalo dia bayar 500 saya bayar satu juta, akhirnya di cancel ato di
rubah itu yang menjadikan tidak baik. Tapi kalo semua sesuai
schedule dan sesuai ketentuan lebih tertib.”51
Ibu Sunkanah, ( Anggota Bidang Dakwah Aisiyah)
“Di muahamadiyah itu pencatatan (perkawinan) itu wajib.
Untuk melindungi wanita salah satunya, kenapa kok banyak terjadi
nikah sirri kadang kadang mau poligami seperti murdiyono kalo dia
mau poligami kan seharusnya dia dapet ijin, tapi tidak mungkin karena
pegawai negri itu harus apa ini dapet ijin dari atasan atasanya. Nah ini
51
makanya lalu kawein sirri. Nah ini hanya saja wanitanya mau nah itu
yang saya maksudkan.52”
Ibu Hj. Rukmini ( Ketua Aisiyah Cabang Kota Malang)
“Di aisyiah itu punya buku hasil dari rumusan tarjih
muhamadiyah, yang kebetulan di serahkan kepada Aisyiah untuk
keputusan hasil majlis tarjih, jadi dari ulama dan pakar seindonesia
bahkan muhamadiyah punya cabang di luar negri. Dan semua ulama’
ulama’nya pada ngumpul untuk melihat dan berkaitan bahwa keluarga sakinah adlh sebuah keluarga yang dilandasi dengan pernikahan yang
sah dan tercatat di kantor urusan agama, jadi pencatatan itu suatu hal
yang penting dalam artian teks di masa rasul tidak pernah ada. Tapi
rasulullah atau di masa rasul para sahabat itu jujur orang kafirpun jujur.
Makanya dalam kesaksian kaitanya utang piutang di perjalanan jika
terjadi musibah ya, makanya di albaqoroh itu 283 itu ya? Maka ketika
ia non muslim itu di suruh bersumpah atas agamanya nama tuhanya.
Maka orang islam itu jujur. Sedangkan orang munafik dari non muslim,
kana da yang munafik orang islam juga ada yang munafiknya. Yang g
jujur yang munafik itu. Nah untuk itulah pencatatan itu tidak ada tapi
memori sahabat kuat. Kejujuranya, untuk itulah kondisi yang seperti itu
yang di gunakan di aisyiayah u mengambil ini, metode memahami ini
mengambil metode qiyas. Jadi qiyas aulawy yang lebih tinggi, kalau
jual beli saja di suruh catet bahkan ada saksi apalagi pernikahan.
Kenapa? Krn dalam hadis di riwayatkan bahwa wanita sholihah itu
adalah harta, permata yang mahal harganya dalam rumah tangga
keluarga. Kalo kita punya kendaraan punya emas, aja ada kwitansinya lo masak al mar’atu sholihah tidak di beri kwitansi. Jadi dihadapkan pada dua kondisi, umat islam sekarang banyak yang tidak jujur. Beda
dengan di masa rasulullah jadi catatanya lewat memori sahabat.
52
Namanya sahabat kan jujur bisa di pertahankan kesaksianya. Sekarang
banyak orang jadi saksi pernikahan tapi dia g tau sebenarnya, lak wes
ngomong sah yo sah, kan gitu. harusnya Jika wanita ini hamil, anaknya
bukan anak kandung, seharusnya saksi kan harus menceritakan. Itu kan
kaitanya dengan kesaksian. Jadi tentang pencatatan itu suatu hal yang
termasuk mengantarkan kepada keluarga sakinah. Ya yang dikatakan
sah itu ya yang di catat di KUA53”
Hj. Komariah Ketua Majelis HAM dan Hukum Aisyiyah :
“Saya akan memberikan rekomendasi, semua masalahnya harus diselesaikan dari akar maslahnya, baik nikah siri, maupun perzinahan.
Ini harus ada pencegahan preventif dan pencegahan kuratif.
Preventifnya apa? Saya kira ini dari kalangan organisasi atau
perguruan tinggi, dakwahnya itu masih kurang baik kepada orang tua
maupun kepada remaja, makin lama makin marak seperti hal yang
biasa, mungkin dua puluh tahun yang lalu orang tua kalau anaknya
hamil diluar nikah, disingkir-singkirkan, bahkan diusir dari rumah,
kalau sekarang udah biasa, kalau anaknya gonta-ganti pacar kok malah
bangga. Oleh karena itu sebagai preventif dakwah kita harus getol
sebelum terjadinya seksual diluar nikah, Intinya saya setuju dengan pencatatan perkawinan yang dikukuhkan oleh MK”.54
Fifik Wiryani Anggota Majelis HAM dan Hukum Aisiyah :
“Saya sangat menyetujui putusan MK, karena nikah siri,
banyak digunakan hanya melegalkan hubungan seks saja antara
laki-laki dan perempuan. Banyak kaum laki-laki-laki-laki yang memanfaatkan
praktik nikah siri ini hanya untuk memanjakan libidonya semata dan
mata keranjangnya saja. Kaum perempuan yang mau dinikah siri harus
53 Wawancara di rumah Ibu Rukmini, 4 oktober 2013. 54
ingat ini, sehingga harus tidak kalah cerdik dari kaum buaya. Mereka
melakukan nikah siri katanya untuk menghindari zina. Padahal
seberapa yakin mereka bahwa pernikahan siri yang hanya untuk
main-main ini diridhoi oleh Allah? Padahal semua ini hanyalah buatan kaum
laki-laki yang egois saja”.55
Berdasarkan data di atas, bisa ditarik kesimpulan, bahwa pandangan informan
baik pengurus Muslimat NU maupun Aisiyah tentang pencatatan perkawinan yang
ditetapkan dalam pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan dikukuhkan
putusan MK sebagaimana paparan data emik di atas adalah sejalan. Bahwa mereka
menyetujui putusan MK tersebut. Bahwa sahnya perkawinan harus dikukuhkan
dengan pencatatan resmi oleh pejabat Negara untuk memperoleh perlindungan
hukum. Akan tetapi mereka tidak berpendapat bahwa nikah siri itu sebagai
penyimpangan. Nikah siri tetap merupakan perkawinan yang sah, meskipun
seharusnya tidak dilakukan, karena akan merugikan perempuan dan anak. Mereka
mengemukakan bahwa nikah siri masih banyak dilakukan di masyarakat karena
beberapa factor. Antara lain, masyarakat tidak mau repot dengan mengurus
administrasi ke KUA dan untuk menghindari zina.
1. Pandangan Informan Tentang Hak-hak Isteri dalam Perkawinan yang Tidak
Dicatat
Ibu Nyai Hj. Chasinah Ketua I Muslimat NU
”Untuk yang kedua hak dan kewajibannya itu hanya diberikan kepada yang memberikan hak dan kewajibannya kepada Negara,
seperti itu tadi, kalau nikah sirri ke pengadilan tidak akan diterima
karena kewajiban kepada Negara tidak terpenuhi, maka dia secara
perdata tidak akan diterima. Saya punya saudara di Pengadilan Agama,
pernah ada kasus ada seseorang yang nikahnya sirri, kemudian tidak
terjadi kecocokan, terus mau cerai, ini kan menjadi persoalan, setelah
55