• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Konsep Pembelajaran active Organis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Implementasi Konsep Pembelajaran active Organis"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi

pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta

M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap Universitas Bakrie

Abstrak

Peran penggunaan konsep organisasi belajar (learning organization) dalam pengembangan mutu berbagai aktivitas organisasi bisnis bisa dikatakan sudah lazim. Pengelolaan pembelajaran di level individu, level kelompok, dan level organisasi menjadi banyak berpengaruh pada kinerja organisasi. Budaya belajar organisasi dapat memenangkan organisasi dalam persaingan. Karena itu organisasi memberikan peluang untuk para karyawannya untuk terus melakukan dan pengalami pembelajaran serta meningkatkan kompetensinya, yang pada saatnya akan meningkatkan kinerja organisasi. Cara serupa dapat dikatakan masih jarang diterapkan dan diteliti oleh para peneliti pada dunia pendidikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PTS yang memiliki akreditasi A yang menjadi objek penelitian umumnya menyediakan peluang bagi para dosen untuk secara individu belajar. Organisasi dianggap menciptakan situasi yang memfasilitasi keingintahuan para dosen. Sifat bekerja sama ditonjolkan untuk mengelola pembelajaran serta pemimpinnya menjadikan pembelajaran di ketiga level (individu, kelompok dan organisasi) sebagai sesuatu yang bersifat strategis.

Key word: individu, kelompok, organisasi, pembelajaran, kinerja

A. PENDAHULUAN

Banyak penelitian yang menemukan bahwa pendidikan, termasuk pendidikan tinggi memiliki peranan penting dalam membentuk karakter pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa. Di Indonesia, peranan ini harus lebih ditingkatkan karena yang terjadi saat ini belum optimal. Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2003 dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, nilai manfaat sosial untuk pendidikan tinggi baru hanya 5,46 % dibandingkan 18,2 % bagi sekolah menengah. (Wicaksono, 2004). Agar peranan ini dapat dijalankan dengan optimal, dan Institusi Pendidikan Tinggi (IPT) keberadaannya tetap langgeng, pengelola harus dapat menerapkan manajemen yang baik. Konsep-konsep manajemen yang diterapkan di bentuk organisasi lainnya, perlu diterapkan. Tuntutan ini semakin nyata, karena organisasi IPT terus menghadapi tantangan yang tidak ringan. Beberapa tantangan yang bisa disebutkan misalnya, persaingan mendapatkan mahasiswa, beban dari struktur biaya operasionil, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta globalisasi pendidikan.

(2)

pengembalian positif (Wicaksono, 2004), intensitas persaingan sudah dapat dikatakan tinggi. Tabel berikut, yang menyajikan jumlah Perguruan Tinggi Swasta dan program studi yang ditawarkan dari berbagai jenjang pendidikan tinggi di Jakarta, menggambarkan persaingan tersebut.

Tabel 1. Jumlah PTS dan Program Studinya di Jakarta Tahun 2005

BENTUK PTS JUMLAH PTS

PENYELENGGARA PS BERDASARKAN JENJANG PENDIDIKAN JUMLAH PS S3 S2 S1 D4 D3 D2 D1 SP_1 SP_2 Profesi

UNIVERSITAS 48 12 88 552 3 110 1 1 0 0 3 771

INSTITUT 7 1 5 57 0 21 1 1 0 0 1 87 SEKOLAH

TINGGI 139 0 32 229 12 159 3 7 0 0 1 444 AKADEMI 115 0 0 0 0 160 2 6 0 0 0 166

POLITEKNIK 9 0 0 0 0 41 8 8 0 0 0 57

JUMLAH 318 13 125 838 16 491 15 23 0 0 5 1526

Sumber: Buku Direktori Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah III Jakarta, 2005

Dari Tabel 1, dapat dilihat tingggi persaingan antar IPT di Jakarta, dengan 1.526 program studi. Persaingan paling menonjol dapat dilihat saat tahun ajaran baru, yaitu ujian saringan dilaksanakan semakin dini dengan tujuan mendapatkan calon mahasiswa potensial.

Jumlah mahasiswa yang memadai memang masih menjadi sumber utama pendapatan IPT (terutama yang swasta). Semakin banyak jumlah mahasiswa, semakin leluasa IPT menjalankan rencana-rencananya. Namun di sisi lain, struktur biaya operasional untuk pengelolaan semakin lama semakin berat. Sementara itu, pengeluaran untuk pos tertentu, seperti kompensasi staf akademik tidak dapat dikurangi. IPT dituntut untuk dapat efisien dalam sisi biaya operasionil yang lain.

Perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi juga menuntut pengembangan dari organisasi IPT. Bukan saja untuk membuat operasi menjadi lebih efektif dan efisien, tapi juga dalam memberikan impresi bagi calon mahasiswa dan mahasiswa aktif. Faktor globalisasi pendidikan, dimana perguruan tinggi negara-negara tetangga semakin agresif menawarkan jasanya kepada lulusan dari SMU-SMU di Indonesia. Kondisi ini turut mempersulit IPT lokal.

Berbagai tantangan tersebut menuntut pengelola IPT untuk lebih efisien dan efektif dalam manajemen. Pengelola IPT harus memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam merumuskan dan menjalankan strategi pengelolaannya, dalam rangka merespon perubahan lingkungan.

(3)

menjadi pusat keunggulan bersaing organisasi, bukan sekadar tujuan, tapi menjadi rute dari pe ge ba ga ki erja, produktivitas da bahka ”laba” Eva s, , h.203). Kidwell, Vander, dan Johson (2000), mengatakan bahwa penggunaan teknik dan teknologi pengetahuan sebagai bagian dari pembelajaran organisasi, sama vitalnya untuk organisasi IPT dan sektor korporat. Menurut tiga peneliti ini, bila aspek pembelajaran ini ditangani dengan baik, pengelola IPT akan mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan yang lebih baik, mengurangi siklus waktu pengembangan, meningkatkan layanan akademik dan administratif, serta mengurangi biaya operasionil. Pendapat ini diperkuat dengan penelitian Kumar (2005), atas pendidikan tinggi di Malaysia, bahwa ada hubungan yang menjelaskan kinerja keuangan akademi-akademi yang bermutu dengan penerapan konsep pembelajaran organisasi pada tingkat organisasi hingga individu. Ironisnya tidak sedikit IPT yang menawarkan program studi yang berkaitan dengan manajemen dan bisnis di Indonesia, yang mengajarkan tentang bagaimana mengelola organisasi, namun tidak memahami bagaimana cara mengelola institusinya. Bahkan, menurut diskusi penulis dengan beberapa pengelola IPT di Jakarta, serta melalui pengamatan langsung, masih jarang yang menjalankan konsep-konsep pembelajaran organisasi. Indikasi ini juga ditunjukkan misalnya, dengan masih banyaknya inkompetensi pengajar IPT yang tidak dibenahi sehingga mutu PT menjadi merosot (Adian, 2005). Tidak heran, beberapa institusi IPT yang tadinya memiliki reputasi yang baik di Jakarta, akhir-akhir ini mengalami masalah dalam hal penerimaan mahasiswa yang menurun, citra yang merosot dan pengguna lulusan yang menurun, serta ditinggalkan staf-staf akademik terbaiknya. Amatlah disayangkan, bila organisasi yang berperan dalam mengajar mahasiswa, pengelolanya tidak memahami bagaimana cara belajar dan kurang memahami bagaimana menggunakan pengetahuan, dan cara-cara mengelolanya sebagai asset dan menggunakannya untuk menciptakan keunggulan bersaing. Kurang memahami bagaimana peran para staff akademik, kelompok-kelompok rumpun bidang studi dan unit-unit yang ada, serta pengelola program studi atau rektorat dalam penciptaan, penyebaran, penyimpanan sekaligus penerapan pengetahuan untuk organisasi. Padahal, dalam banyak rumusan pembelajaran organisasi, seperti oleh Watkins dan Marsick (1997) diungkapkan bahwa dengan konsep tersebut, organisasi belajar secara berkelanjutan dan mentransformasi dirinya. Menurut mereka, melalui pembelajaran organisasi, pembelajaran harus terjadi pada berbagai tingkat organisasi; individu, tim atau kelompok; dan sistem organisasi.

(4)

Sesuai dengan gambaran yang disampaikan pada pendahuluan, masalah penelitian dapat dirumuskan:

Seperti apa organisasi IPT menerapkan konsep Pembelajaran Organisasi pada berbagai tingkatan; pada tingkat individu, tingkat kelompok, dan tingkat sistem organisasi.

Untuk menyesuaikan dengan keterbatasan sumber daya dalam melakukan penelitian, maka lingkup penelitian akan dibatasi pada hal-hal sebagai berikut: a. IPT yang menjadi objek penelitian adalah IPT yang memiliki program studi

Manajemen, yang memperoleh akreditasi tingkat A dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan pada program studi tersebut, konsep yang terkait dengan Pembelajaran Organisasi diajarkan pada mahasiswa.

b. Tingkat individu dan kelompok yang dimaksud di sini adalah staf akademik yakni para dosen yang memiliki status tetap di instansi terkait. Untuk menjamin wawasannya atas implementasi konsep Pembelajaran Organisasi, dosen yang akan menjadi responden adalah yang memiliki pengalaman relatif cukup, yang dibuktikan dengan masa kerja lebih dari 3 tahun, dan dengan jenjang kepangkatan minimal asisten ahli.

C. TINJAUAN PUSTAKA

Istilah pembelajaran organisasi muncul untuk menggambarkan peningkatan kapasitas organisasi dalam menyelesaikan masalah, menangkap peluang dan memenangkan persaingan. Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian yang mengaitkan peningkatan organisasi melalui kapasitas individu, pembelajaran individu dan pembelajaran organisasi berkembang pesat (Argyris, 2004). Bapuji dan Crossan (2005) yang menelusuri berbagai penelitian tentang pembelajaran organisasi mulai tahun 1990 hingga 2002 menemukan perkembangan literatur pembelajaran organisasi memang pesat. Mereka memperhatikan perkembangan literatur pembelajaran organisasi dari semakin banyaknya penelitian empiris, serta munculnya berbagai perspektif baru.

(5)

untuk berpikir atas organisasi sebagai sebuah sistem (Senge, 1990). Pada pandangan Senge, pikiran individu dianggap sebagai wadah, sementara pengetahuan dan kecakapan sebagai konten, dan pembelajaran adalah proses pemindahan maupun penambahan substansi ke pikiran kita. Pandangan-pandangan tersebut oleh Elkjaer (2004) dimetaforakan sebagai akuisisi. Pentingnya pikiran individu dalam akuisisi ini diungkapkan oleh para ahli, karena apapun tindakan individu, selalu memiliki basis kognitif, yang kemudian terefleksi dalam norma, strategi dan asumsi-asumsi yang digunakan. Pawlowsky (dalam Dierkes, et.al 2002) mengungkapkan ada dua kelompok paham utama bila kita membahas pembelajaran organisasi lewat perspektif kognitif. Pertama, pendekatan struktural, yang memfokuskan pembahasannya pada kemampuan pemrosesan informasi, yang tergantung pada karatekristik sistem kognitif. Kedua epistomologi korporat, dimana proses penafsiran dan konstruksi kognitif atas realitas menjadi hal yang penting dalam pembelajaran.

Pemikiran yang lebih lanjut, yang mengkritik dan melengkapi metafora akuisisi, disebut Elkjaer (2004) metafora partisipasi. Dalam metafora yang satu ini, pembelajaran justru terjadi di luar pikiran individu atau pendidikan formal dan menempatkannya pada kehidupan sehari-hari organisasi dan dunia kerja. Praktek jauh lebih berperan di sini. Pembelajaran adalah bagian integral dari kehidupan organisasi itu sendiri.

Nama-nama lain yang biasanya disamakan dengan metafora partisipasi ini adalah situated learning, social learning, learning as cultural process dan practiced based learning. Pada metafora kedua ini, aspek organisasi seperti prosedur dan sistem, komunikasi lintas-fungsional, kepemimpinan dan tim kerja memberikan pengaruh kuat (Pisano, et.al, 2001, dalam Bapuji dan Crossan). Jadi pembelajaran yang berkelanjutan memang penting tapi tidak cukup untuk memberikan pengaruh kuat pada kinerja organisasi. Pembelajaran harus juga melekat dalam sistem, praktek dan struktur yang berkelanjutan yang dapat dibagi dan secara teratur digunakan dengan sengaja untuk meningkatkan peluang kinerja organisasi.

(6)

Berbagai fase akan terjadi dalam proses pembelajaran organisasi, dan sebelum budaya pembelajaran organisasi tercipta. Pawlowsky (dalam Dierkens et.al, 2002), berdasarkan konsep peneliti sebelumnya, mencoba mengelompokkannya menjadi empat fase, yang tidak selalu berlangsung berurutan:

a. Pengidentifikasian yang dianggap relevan untuk pembelajaran, sekaligus penciptaan pengetahuan baru.

b. Pertukaran dan penggabungan pengetahuan baik dari individu ke tingkat yang lebih kolektif atau pada tingkat kolektif itu sendiri.

c. Integrasi dari pengetahuan melalui sistem pengetahuan yang ada pada tingkat kolektif, tingkat individu atau keduanya, atau pada aturan prosedural dari organisasi dimana integrasi atau modifikasi dari pengadopsian sistem akan berlangsung.

d. Transformasi atas pengetahuan baru menjadi tindakan dan penerapan pengetahuan menjadi rutinitas organisasi sehingga menjadi perilaku organisasi. Seperti apa saja norma atau nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran organisasi? Lewat Bapuji dan Crossan (2005), Bogendrieder (2002) mengatakan agar budaya organisasi belajar tercipta, perlu adanya keragaman kognitif. Aspek-aspek budaya yang lain, seperti keterbukaan, kepemimpinan yang transformasional, pengambilan keputusan yang partisipatif juga menentukan (Hult et.al, 2000). Sementara aspek perilaku positif serta dukungan dari penyelia dan organisasi serta perlunya manajer berlaku sebagai fasilitator dalam pembelajaran dianggap penting oleh Ellinger dan Bostrom (2002). Tentu saja, di tengah budaya yang mendukung ini, ada pula budaya yang memperkecil kemungkinan terjadinya pembelajaran dalam organisasi. Misalnya, penetapan sasaran yang kaku serta otonomi dalam supervisi, terutama pada saat-saat derajat eksplorasi pekerjaan tuntutannya rendah (McGrath, 2001).

Dari berbagai perspektif konsep pembelajaran organisasi di atas, para peneliti mencoba membangun model untuk melakukan analisis atas penerapannya pada organisasi. Berbagai instrumen dirumuskan untuk mendiagnosa dinamika, kondisi serta faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan penerapannya. Rampread (2002), merumuskan bahwa penerapan konsep pembelajaran organisasi dapat didekati dengan manajemen pengetahuan yang ia sebut k owledge a age e t quick sca . Model Rampread menjelaskan orientasi belajar dan pengetahuan

(7)

pembelajaran organisasi (Marsick dan Watkins, 1999 dan 2003). Dua diantaranya berkaitan dengan pembelajaran individu, yakni pembelajaran berkelanjutan

(continuous learning), penuh selidik dan dialog (inquiry dan dialog). Sementara itu 5 dimensi yang lain, mengukur yang berkaitan dengan organisasi seperti sistem untuk merangkum pembelajaran (systems for captured learning), memberdayakan karyawan (empower people), mengaitkan dengan organisasi (connect the organization) dan kepemimpinan strategis untuk belajar (provide strategic leadership for learning).

Dari tujuh dimensi tersebut, Marsick dan Watkins mengembangkan butir pertanyaan untuk menjadi alat ukur dalam menganalisa penerapan budaya pembelajaran organisasi melalui 43 butir pertanyaan, yang popular disebut dengan Dimension of Learning Organization Questionnaire (DLOQ). DLOQ dikelompokkan dalam tiga kelompok, yakni tingkat individu, tingkat tim atau kelompok, dan tingkat organisasi.

Selain melihat dari ketujuh dimensi tadi, penelitian Marsick dan Watkins juga merumuskan dimensi atas kinerja organisasi, seperti kinerja keuangan. Memang sudah cukup banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pembelajaran dalam organisasi meningkatkan kinerja organisasi, karena ia menjadi landasan banyak aspek dalam manajemen organisasi. Misalnya seperti yang dipelajari oleh Bapuji dan Crossan (2005), pembelajaran mempengaruhi pilihan strategi dan perilaku organisasi. Penelitian Hayward (2002) menemukan, organisasi belajar membuat perusahaan meningkatkan orientasinya pada pelanggan serta memfasilitasi terjadinya inovasi dalam perumusan dan penerapan strategi.

Sebagai bagian dari industri jasa, hubungan pembelajaran organisasi dengan kinerja IPT juga sudah ditemukan oleh Kumar (2005). Berbagai situasi lingkungan serta tekanan persaingan, membuat perguruan tinggi di Malaysia mengeksplor dan mengadopsi alat-alat baru pengelolaan pengetahuan agar bisa meningkatkan kinerja. Kumar menemukan, perubahan-perubahan budaya organisasi belajar memberikan pengaruh pada perubahan kinerja keuangan dan pengetahuanya. Pengetahuan dan wawasan baru, bila dikelola dengan baik dalam saat penciptaannya, pemerolehannya dan saat mentransfernya diantara staf akademik dan unit-unit yang ada di dalam IPT, memang akan memberikan peluang meningkatkan kinerjanya. Apalagi, bila semua itu pada gilirannya dapat membuat individu memodifikasi perilakunya berdasarkan pengetahuan dan wawasan baru tersebut.

(8)

pengetahuan, yang manajemennya tidak ada komitmen dalam mengembangkan infrastruktur untuk arus pengetahuan, tidak terbuka, tidak akan mampu mengatasi persoalan yang dihasilkan dinamika lingkungannya.

D. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latarbelakang masalah, rumusan permasalahan dan berbagai konsep dalam tinjauan kepustakaan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

Menjelaskan seperti apa penerapan konsep pembelajaran organisasi pada IPT di Jakarta, pada tingkat individu, kelompok dan organisasi.

Beberapa pertanyaan penelitian seperti: apakah institusi mendukung pengembangan pada karyawan sehingga diberi peluang untuk belajar lewat pekerjaannya? Apakah situasi yang diciptakan memberikan peluang pada para dosen untuk bersikap penuh selidik dan berkembang keingintahuannya? Apakah kerjasama, sebagai salah satu upaya pembelajaran difasilitasi oleh didukung oleh institusi? Apakah institusi menciptakan sistem yang didukung teknologi untuk mendukung pembelajaran? Apakah dosen dilibatkan dalam perencangan penerapan visi institusi? Apakah kepemimpinan yang ada mendukung pembelajaran dan menjadikannya sesuatu yang bersifat strategis? Apakah kondisi impelementasi ada kaitannya dengan sudah lama atau belumnya IPT memperoleh akreditasi A? Semua pertanyaan-pertanyaan ini akan Akan dicoba dijawab dalam penelitian.

Dari hasil penelitian, diharapkan Bakrie School of Management (BSM) dan IPT, lainnya memiliki gambaran penerapan konsep pembelajaran organisasi pada IPT di Jakarta, dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu rujukan dalam pengelolaan institusi. Sebagai institusi yang relatif baru, BSM bisa mempelajari praktek terbaik atau kesalahan dari lembaga sejenis yang ada. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Instansi pemerintah seperti, Direktorat Pendidikan Tinggi, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta serta Badan Akreditasi Nasional dalam meningkatkan mutu IPT.

E. METODOLOGI PENELITIAN

(9)
(10)

Tabel 2. Jumlah Sampel Penelitian

No Tk Perguran Tinggi Prodi Thn. SK

Akre-ditasi

Dosen

Tetap Sampel Realisasi

1 S1 Univ. Pancasila, Jakarta Manajemen 2006 A 46 6.54 7 6

2 S1 Univ. Kristen Indonesia (UKI) Manajemen 2006 A 22 3.13 3 3

3 S1 Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah Manajemen 2006 A 20 2.84 3 3

4 S1 ST Ilmu Ekonomi Swadaya Manajemen 2006 A 7 1.00 1 1

5 S1 Univ. Bunda Mulia Manajemen 2006 A 6 0.85 1 1

6 S1 Univ. Indonesia (UI) Manajemen 2005 A 47 6.69 7 5

7 S1 ST Ilmu Ekonomi Trisakti Manajemen 2005 A 19 2.70 3 2

8 S1 ST Ilmu Ekonomi Supra Manajemen 2005 A 10 1.42 2 2

9 S1 Univ. Nasional Manajemen 2005 A 18 2.56 3 3

10 S1 Univ. Bina Nusantara (UBINUS) Manajemen 2004 A 78 11.10 11 8

11 S1 Univ. Gunadarma Manajemen 2004 A 116 16.50 17 8

12 S1 Univ. Trisakti Manajemen 2004 A 64 9.10 9 6

13 S1 Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama ) Manajemen 2004 A 28 3.98 4 4

14 S1 ST Ilmu Ekonomi Perbanas Manajemen 2004 A 30 4.27 4 4

15 S1 Univ. Indonusa Esa Unggul Manajemen 2004 A 59 8.39 8 8

16 S1 Univ. Pelita Harapan (UPH) Manajemen 2004 A 19 2.70 3 3

17 S1 Univ. Tarumanagara (UNTAR), Manajemen 2003 A 91 12.94 13 10

18 S1 Univ. Borobudur Manajemen 2003 A 23 3.27 3 3

Jumlah 703 100 102 80

100% 78.4%

(11)

Kuesioner disebarkan secara langsung melalui staf perantara yang umumnya adalah ketua program studi. Sebagian kuesioner yang diisi dan ditunggu pengisiannya, sebagian lagi ditinggal karena terbatasnya keberadaan dosen saat dikunjungi untuk kemudian diambil lagi di minggu berikutnya. Hanya 80 orang yang merespon dari keseluruhan jumlah sampel atau sejumlah 78%.

a. Instrumen yang digunakan

Butir pertanyaan yang ada dalam kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data akan mengadopsi 7 dimensi dan 3 level (individu, tim dan organisasi) yang ada dalam Dimension Learning Organizatioan Questionnaire (DLOQ) yang dirumuskan Marsick dan Watkins (1998 dan 2003). DLOQ sudah dikembangkan sejak 1996, dan beberapa kali dikonstruk ulang validitasnya, baik oleh kedua peneliti tersebut, maupun oleh peneliti dari Amerika, Malaysia, China, Belanda hingga Columbia.

Pada tahun 1998, Watkins dan Marsick, bersama Yang (1998) melakukan studi ulang untuk mengkonstruk validitas butir-butir pertanyaan dalam DLOQ. Selain cukup komprehensif, butir-butir pertanyaan yang ada dalam DLOQ juga mempertimbangkan secara luas perspektif-perspektif yang ada atas organisasi belajar. Tabel berikut secara ringkas menunjukkan definisi konstruk untuk DLOQ (Marsick dan Watkins, 2003).

Tabel 3. Definisi atas Konstruk dari

Dimension of Learning Organization Questionnaire selidik atas pandangan orang lain; budaya diubah untuk mendukung sikap

(12)

Dimensi Definisi

4. Menciptakan sistem untuk memperoleh dan membagi pembelajaran

Teknologi, baik rendah maupun tinggi digunakan untuk berbagai pembelajaran dan orang termotivasi untuk mempelajari apa yang menjadi urusannya.

6. Mengaitkan organisasi dengan lingkungannya

Karyawan dibantu untuk melihat dampak pekerjaan mereka pada keseluruhan orgnaisasi;

Para pemimpin menjadi model, dan mendukung pembelajaran; kepemimpinan menggunakan pembelajaran secara strategis untuk hasil bisnis

Dari ketujuh dimensi di atas, Watkins merancang 43 butir pertanyaan yang juga akan digunakan dalam penelitian ini. Pertanyaan menggunakan skala 1 hingga 6, yang menggambarkan derajat kesesuaian penerapan di organisasi. Jika praktek terkait tidak pernah sama sekali dilakukan responden diminta menjawab 1, sementara bila praktek itu selalu dilakukan responden menjawab 6. Kesemua pertanyaan itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok; tingkat individu, tingkat tim atau kelompok, dan tingkat organisasi. Untuk memastikan lagi bahwa kondisi dan konteks di Indonesia sesuai dengan instrumen yang akan digunakan, analisis validitas dan reliabilitas tetap akan dilaksanakan dalam penelitian ini.

b. Uji Reliabilitas dan Validasi

(13)

Sementara itu, uji validitas juga dilakukan menunjukkan bahwa kesemua pertanyaan valid atau tidak. Prosedur korelasi bivariat dilakukan antara masing-masing skor di setiap item dengan total skor dari setiap konstruk. Ini dilakukan untuk ketiga level dan ketujuh konstruk yang ada. Dari hasil perhitungan dengan perangkat lunak SPSS, analisa korelasi Pearson menunjukkan bahwa korelasi untuk nilai yang ada di setiap item pertanyaan di setiap konstruk, ternyata berkorelasi secara signifikan pada nilai total dari setiap konstruk. Ini ditunjukkan dengan nilai signifikasinya yang ada, dimana semuanya berada di atas 0.6 untuk setiap item, pada tingkat signifikansi 1 persen. Dengan uji reliabilitas dan validasi ini, semua pertanyaan yang disarankan oleh Watkins dan Marsick (2003) kembali digunakan dalam penelitian ini.

c. Analisis Yang Digunakan

Dari data yang diperoleh melalui kuesioner, analisis utama akan dilakukan secara deskriptif. Akan digunakan konsep-konsep yang menjadi rujukan penelitian seperti pembelajaran organisasi tingkat di individu, tingkat tim, dan tingkat organisasi.

F. HASIL PENELITIAN

a. Analisis Deskriptif

Profil Responden

Para dosen yang menjadi sampel sebagian besar berjenis kelamin perempuan (56%) dibandingkan laki-laki (44%). Bila ditinjau dari segi usia, ada 11 orang atau 13.8 % yang sudah berusia lebih dari 50 tahun. Sedangkan yang lebih muda, yakni 40 – 50 thn ada 48%, dan yang berusia muda dibawah 40 tahun ada 30 orang (37.5%). Dari sudut pendidikan, sebagian besar sampel berpendidikan S-2 yakni sejumlah 67 orang (83.8%). Mereka yang sudah menempuh jenjang S-3 ada 10 orang (12.5%), sedangkan S-1 masih ada 3 orang atau 3.8%. Dosen-dosen ini umumnya sudah memiliki pengalaman kerja yang cukup lama. Sebanyak 43 orang (53.8%) dari mereka sudah bekerja lebih dari 10 tahun. Untuk yang bekerja 3 – 10 tahun, sampel yang ada berjumlah 34 orang (42%) dan 3 orang (3.8 %) yang baru menyelesaikan jenjang S-1 nya. b. Dimensi DLOQ

(14)

Grafik 1. Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 1.

prinsip-prinsip organisasi belajar. Berikut ini penjelasan lebih detil dari setiap dimensi dari setiap level (Individu, kelompok dan organisasi).

1) Level Individu

Menciptakan peluang untuk belajar secara berkelanjutan

Ada 34.29% yang menjawab secara rata-rata menjawab skor 4 dan 38.39% untuk setiap pertanyaan-pertanyaan yang ada pada dimensi 1, yaitu

Menciptakan peluang untuk belajar secara berkelanjutan.

Sebaran persentase dari jawaban responden untuk dimensi pertama tersebut dapat dilihat pada grafik 1.

Sedangkan untuk dimensi 2, yakni mempromosikan sikap penuh selidik dan berdialog juga memiliki pola yang mirip. Rata-rata responden yang memilih skor 4 untuk pertanyaan-pertanyaan pada dimensi ini adalah 44%. Sedangkan yang memilih jawaban dengan skor 5 terdiri dari 43%.

2) Level Kelompok

Hasil-hasil yang diperoleh pada level individu, juga terjadi pada level kelompok. Untuk pertanyaan-pertanyaan pada dimensi 3, yakni Mendorong kolaborasi belajar secara tim, sebagian besar jawaban responden ada pada

(15)

Grafik 3.Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 3

Grafik 4. Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 4 skor 4 dan 5. Ada sejumlah 46.25% dari responden yang menjawab skor 4

Grafik 5.Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 5

1 2 3 4 5 6

Series1 0.94 1.38 18.7 46.9 42.8 15.2 0

(16)

Pada dimensi berikutnya yaitu dimensi 6, pembahasan berhubungan dengan bagaimana Sistem yang ada di organisasi mengaitkan karyawan dengan lingkungannya. Sebagian besar responden juga menjawab dengan jawaban skor 4. Ada 42.8% rata-rata karyawan yang memberi jawaban seperti itu, dan 51.02% menjawab pada skor 5. Pada tahap berikutnya, di dimensi ke 7, tentang kepemimpinan strategis agar organisasi belajar, jawaban responden kembali serupa dengan dimensi-dimensi sebelumnya. Mereka yang memilih skor 4 ada pada angka 43.08% dan yang memilih angka 5 adalah 49.8%.

Dari rangkuman jawaban-jawaban responden di atas untuk ke 7 DLOQ, maka dapat disimpulkan bahwa hampir di semua dimensi jawaban-jawaban para responden menunjukkan tingkat yang sering ataupun sangat sering. Bagian berikut akan membahas lebih detil hasil temuan-temuan di atas dengan menggunakan landasan teori yang digunakan terutama konsep DLOQ dari Marsick & Watskin (2003).

Grafik 6.Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 6

(17)

G. PEMBAHASAN

a. Level Individu

Dimensi Menciptakan peluang belajar Secara berkelanjutan

Skor yang tinggi pada jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan dimensi pertama yaitu Menciptakan peluang untuk belajar secara berkelanjutan, menunjukkan bahwa para dosen di perguruan tinggi terkait cenderung untuk menyukai risiko serta gemar bereksperimen. Para dosen ini juga diperkirakan memiliki kecenderungan berfokus pada faktor yang penting dalam pekerjaannya. Dalam hal membicarakan satu gagasan, pada dosen-dosen ini diperkirakan tidak mudah untuk saling menyalahkan atau bahkan memberikan hukuman. Organisasinya dapat dikatakan memiliki pemimpin yang mampu melihat kesalahan sebagai peluang untuk belajar, dan dapat membahas kesalahan dalam rapat-rapat atau pertemuan. Pemimpin yang seperti ini biasanya juga cukup baik dalam mengevaluasi dan melakukan peninjuauan ulang atas rencana yang dikerjakan.

Jawaban yang rata-rata tinggi pada dimensi ini, juga menggambarkan bahwa para dosen melihat rekan-rekannya memiliki cara yang sistematis dalam mengidentifikasi kecakapan yang dibutuhkan dalam menjalankan aktivitasnya, serta tahu basis kecakapan yang ada. Marsick & Watskin (2003) menyarankan agar organisasi dapat menjaga aspek penilaian atas kecakapan yang dibutuhkan untuk berbagai kapasitas di masa datang. Ini dapat diselaraskan dengan pelatihan dan program pengembangan SDM yang berfokus pada kebutuhan sekarang dan masa datang.

Bila dimensi 1 ini diberikan jawaban rata-rata yang tinggi dari pada dosen, itu berarti para dosen menganggap berbagi pengetahuan adalah sebuah kewajaran dan sering merasakan kesuksesan adalah milik bersama. Saling belajar dari satu dosen ke dosen yang lain dalam berbagai pekerjaan menjadi sebuah hal yang biasa. Umumnya manajemen perguruan tinggi memiliki strategi dalam memberikan penghargaan dan ganjaran agar suasana itu lebih kuat. Disamping itu, pemimpin di organisasi semacam ini biasanya meminta para karyawan saling menjadi mentor satu sama lain, dan memberi ganjaran yang baik untuk pencapaian tim.

(18)

pembelajaran. Ini mulai dari hal yang sederhana seperti melalui email, hingga perpustakaan atau pusat pembelajaran. Organisasi seperti ini biasanya memiliki prosedur yang cukup jelas dalam menjalankan aktivitas belajar terutama untuk para dosennya.

Para individu dalam organisasi yang memiliki skor tinggi dalam dimensi 1, biasanya melakukan pembelajaran yang terintegrasi dengan pekerjaan mereka serta pencapaian pekerjaan. Pemanfatan waktu untuk belajar dilakukan secara mandiri (self directed) dan tidak perlu ada pihak yang mengatur. Berbagai pengelolaan pengukuran kinerja biasanya juga sudah ada, sehingga orang bisa mengukur prestasinya. Individu dimensi ini tinggi, berarti pada umumnya melihat berbagai masalah-masalah yang dihadapi sebagai upaya untuk belajar lebih jauh. Masalah yang ditemui justru dianggap sebagai tantangan. Secara aktif mereka mencari dan menyediakan informasi untuk mengantisipasi hasil dan mendorong penggunaan informasi untuk pemecahan masalah.

Situasi yang dijelaskan oleh jawaban responden juga pada dasarnya menggambarkan bahwa untuk pencapaian dalam pembelajaran, individu diberikan ganjaran. Institusi seperti ini memandang penting pembelajaran yang dilakukan organisasi, dan memberikan penghargaan untuk itu. Sebagai institusi pendidikan, sewajarnya lembaga-lembaga yang disurvei mengaitkan tingkat pendidikan dengan sistem renumerasinya, begitupula pencapaian-pencapaian pembelajaran serta pengembangan yang lain. Para pejabat struktural di departemen, seyogyanya memiliki otoritas untuk dapat merayakan pencapaian-pencapaian pembelajaran dari para dosen yang ada dilingkup unitnya.

Dimensi mempromosikan sikap penuh selidik dan berdialog

Berdasarkan literatur yang ada (Argyris, 2004), dan merujuk kembali pada hasil-hasil penelitian Marsick & Watskin, 2001, 2003) organisasi yang skornya tinggi pada dimensi ini memiliki suasana yang terbuka dalam gagasan. Para individunya terbiasa mendiskusikan banyak hal, termasuk masalah norma dan harapan-harapan mereka. Ketika organisasi menerapkan harapan-harapan dalam bentuk standar dan target, para individu saling membicarakan, memberikan umpan balik dengan tulus, memperbaiki dan berupaya mencapainya. Seandainyapun dituntut perubahan perilaku, inipun biasanya dapat dilaksanakan tanpa penolakan yang berarti.

(19)

itu bisa berlangsung sukses. Sesuai dengan konteks area yang diteliti, yakni pendidikan tinggi, tentu saja yang dimaksud dengan inovasi di sini tidak sekadar proses bisnis, tapi juga terkait dengan kegiatan akademik seperti proses belajar mengajar. Dosen-dosen sering melakukan dialog-dialog serta diskusi yang berarti, mendengarkan dengan aktif saat pertemuan-pertemuan dengan tim.

Demi mencapai solusi atau keputusan yang baik dalam menghadapi berbagai masalah, budaya ” e perta aka ” dia ggap sebagai hal a g biasa. Bagi individu di organisasi seperti ini, ketimbang memperhatikan soal hierarki atau status, yang lebih diutamakan adalah gagasan yang bermutu. Justru menjadi orang yang sekadar mengikuti saja apa yang dikatakan atasan sikapnya dipertanyakan. Para pemimpinpun biasanya mengambil keputusan dengan secara inklusif, menyertakan pertimbangan dan pendapat dari bawahan atau kolega. Dengan suasana yang terbuka seperti di atas, maka para karyawan di organisasi seperti inipun terbiasa membangun rasa percaya dan menghilangkan budaya rasa takut untuk mengemukakan pendapat. Dengan demikian proses saling berbagi pun berjalan dengan lancar, dan dalam setiap diskusi, yang selalu mengemuka adalah landasan rasional ketimbang intrik atau kecurigaan.

b. Level Kelompok atau Tim

Untul level tim, model yang dibuat oleh Marsick dan Watskin (2003) memiliki 1 dimensi utama, yaitu mendorong kolaborasi dan pembelajaran tim. Seperti juga pada dimensi individu sebelumnya, pada item-item variabel yang ada pada dimensi ini, sebagian besar subjek penelitian memberikan skor yang rata-rata tinggi kepada organisasinya. Angka yang tinggi ini merata pada ke 6 item variabel yang ada. Memang, pada hakekatnya organisasi pendidikan tinggi selayaknya kuat dalam hal kolaborasi atau kerjasama tim. Ini karena sebuah industri pendidikan umumnya karyawannya terdiri para dosen yang berbeda-beda bidang keahliannya dan masing-masing memiliki spesialisasi tersendiri, namun memiliki prinsip kolegialitas. Tentunya dengan demikian seharusnya mudah untuk menciptakan kerjasama dalam pembelajaran tim. Selain itu, dengan para karyawan bagian non akademik, kerja sama itu juga harus terwujud. Bagian administrasi akademik dan bagian teknologi misalnya mungkin berperan menciptakan proses belajar mengajar yang optimal. Bagian SDM harus menciptakan konsep renumerasi yang memberikan ganjaran yang menarik bagi para dosen maupun non dosen.

(20)

dalam tingkatan tertentu, itu berarti tim berani untuk mengadaptasi tujuan mereka. Ini juga berhubungan dengan kesamaan padangan bahwa status dan hierarki tidak perlu membatasi menyebarnya gagasan dan informasi. Semua anggota tim dilibatkan secara sama dalam berbagai diskusi dan keputusan. Bahkan bila perlu tim membuat prosedur yang memungkinkan dicegahnya dominasi senioritas atau pengaruh tertentu. Misalnya dengan cara merotasi peran tertentu sehingga setiap orang memiliki peluang menunjukkan kecakapan kepemimpinannya. Tim yang terlibat biasanya memiliki keyakinan yang cukup tinggi, bahwa bila gagasan mereka memiliki penalaran yang kuat, maka organisasi, terutama pemimpin puncak, secara keseluruhan akan mendukung.

Dalam hal hubungan antar kelompok, organisasi yang tinggi skornya dalam dimensi ini juga memberikan perhatiannya yang besar. Ketika konflik muncul, setiap pihak berorientasi pada penyelesaian pekerjaan atau tujuan. Perhatian itu juga dapat ditunjukkan dengan kerapnya diadakan pelatihan dan pengembangan yang terkait dengan pengembangan tim serta dinamika tim.

Sama seperti di level individual, di level tim ini, organisasi juga selalu melakukan reevaluasi atas strategi dan sasaran yang ditetapkan. Masing-masing anggota, dan juga tim ayang lain dianjurkan untuk mempertanyakan asumsi-asumsi yang digunakan dalam keputusan-keputusan terdahulu. Pihak luarpun dirasakan perlu diundang untuk mempertanyakan, mengaudit hal-hal yang sudah dikerjakan. Begitupula dalam hal pemberian ganjaran. Bila pencapaian individu dihargai, maka pencapaian tim juga perlu dihargai. Organisasi yang menyadari hal ini akan memberikan pengakuran dan dukungan terhadapi penacapaian tim. Strukutur ganjaran selalu dievaluasi dan secara jelas memberi penghargaan pada tim, tanpa mengabaikan kontribusi individu pada pencapaian tim tersebut.

c. Level Organisasi

Dari temuan yang diperoleh, hampir semua dari 4 dimensi yang ada pada DLOQ level organisasi memiliki skor yang tinggi (4 dan 5). Ada banyak bahasan yang dapat disajikan menyangkut 24 item pertanyaan yang ada dari keempat dimensi tadi. Atas dimensi penciptaan sistem yang dapat memperoleh dan membagi pembelajaran, umumnya organisasi terkait memiliki peluang dan sumberdaya yang luas untuk saling berbagi informasi. Manajemen sistem informasinya baik, memiliki wadah-wadah komunikasi seperti intranet, situs web yang terkelola baik, bulettin, dan rapat-rapat yang dikelola secara efektif.

(21)

karyawan. Organisasi dengan mudah mengakses catatan kinerja, kompetensi, kecakapan yagn ada dari para karyawan. Walaupun barangkali perangkat teknologi informasi sederhana, organsisasi memiliki perekaman, pemutakhiran, peninjauan ulang atas kemampuan para karyawan. Hasil yang diperoleh dari jawaban responden ini agak berbeda dari dari pengamatan langsung penulis atas situs web yang dikelola oleh ke 18 PTS yang menjadi objek penelitian. Memang didapatkan upaya mengelola situs ini sudah cukup baik, terutama dari segi pemutakhiran informasi (lihat lampiran 1). Namun demikian, tidak semua PTS yang mengelola dengan baik profil-profil dosennya begitupula dengan pencapaian-pencapaiannya.

Selain soal basis data kapabilitas, organisasi juga seharusnya memiliki sistem yang memadai untuk pengukuran kinerja bagian-bagian yang ada. Alat ukur untuk kinerja yang diharapkan haruslah mencerminkan upaya organisasi untuk mencapai visi dan menjalankan misinya. Karena dari waktu ke waktu organisasi memperoleh pembelajaran, maka organisasi sengaja menjadikannya bahan pelajaran bagi seluruh karyawan.

Konsep-konsep learning organization yang ada, selain Marsick dan Watkins seperti yang ditemukan Hubert (2002), upaya pengembangan pembelajaran yang baik menuntut organisasi merekam dengan baik pula upayanya itu. Ada metode yg sistematis yang mengevaluasi dan melihat dampak dari pelatihan misalnya. Upaya pengembangan yang lain, di lakukan secara sistematis, tidak dengan persepsi tertentu saja. Dengan demikian ditingkat organisasi, penggunaan sumberdaya yang dikeluarkan untuk aspek pembelajaran juga harus tercatat rapi dan digunakan saat mengamati kinerja dan ukuran. Dari konteks pendidikan tinggi, hal ini sangat relevan, karena diharapkan keputusan-keputusan yang diambil memiliki latarbelakang konseptual yang dihasilkan dari penelitian empiris. Misalnya, ketika pengelola memutuskan untuk menambah satu matakuliah atau mengubah metode ajar, haruslah didasarkan cara-cara yang ilmiah.

(22)

merancang, memaknai pekerjaannya sepanjang itu dapat memuaskan secara internal di satu sisi, dan mendekatkan organisasi pada visi yang ingin dicapai. Ini juga memberikan makna bahwa organisasi mendorong karyawan untuk bila perlu keluar dari kebiasaan mereka dalam bekerja dan menghasilkan kinerja. Dari sisi visi, karena karyawan disertakan dan disamakan persepsinya dalam memaknai visi, atau barangkali dengan memberikan keterlibatan yang cukup dalam pembuatannya, maka karyawan diharapkan, apapun aktivitas yang dilakukan karyawan diharapkan sebagain implementasi dari visi yang telah dirumuskan.

Berkaitan dengan dimensi hubungan organisasi dengan lingkungan, skor jawaban responden juga umumnya tinggi. Itu artinya, organisasi perhatian dengan keseimbangan bekerja dan keluarga, mendorong orang memiliki perspektif global dan dalam pengambilan keputusan perspektif pelanggan diupayakan untuk diperhitungkan. Target-target perusahaan diharapkan tidak terlalu memaksa karyawan kehilangankeseimbangan dengan kebutuhan karyawan. Berbagai tunjangan, referrals, dan berbagai training yang mendukung keseimbangan kerja dan kehidupan sangat diperhatikan. Peluang-peluang global dan nilai sinergi dari berbagai hubungan international serta sumberdaya internasional harus dimanfaatkan. Begitupula dengan urusan dengan pelanggan, yang dalam hal riset ini adalah para calon mahasiswa, orang tuanya dan para pengguna lulusan semuanya sangat diperhatikan. Hubungan-hubungan dengan lingkungan sekitar, apakah dengan pemerintah maupun organisasi lain juga didorong. Hubungan ini selalu dilihat sebagai hubungan yang saling menguntungkan.

(23)

tinggi seringkali menonjol. Pembinaan menjadi salah satu ukuran keberhasilan dari mereka yang memegang posisi-posisi tertentu. Agar peran pembinaan ini dapat dilakukan dengan baik, tentu saja bagi si pemimpin sendiri sumberdaya dan peluang untuk belajar secara berkelanjutan menjadi kunci. Mau tidak mau, peran pemimpin diharapkan dapat menjadi tempat bertanya, dan tempat pemberi arah dari aktivitas karyawan. Dengan begitu, program pelatihan dan pengembangan yang terencana juga perlu peruntukkan bagi para pemipin. Mereka juga diharapkan aktif memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru, lewat buku, diskusi atau bahkan mendapatkan pendidikan lanjut.

H. SIMPULAN DAN SARAN

Berbagai tantangan yang dihadapi oleh pengelola PTS di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Mulai dari soal sedikitnya jumlah mahasiswa yang mendaftar, meningkatnya persaingan antara sesama PTS dan dengan PTN, hingga penataan pengelolaan mutu yang dituntut oleh pemerintah. Ketika pengelolaan mutu yang diharapkan tidak terjadi, seperti rendahnya skor akreditasi, maka itu akan berdampak kepada citra PTS dan pada akhirnya menurunkan minat calon mahasiswa.

Literatur yang membahas peran penggunaan konsep organisasi belajar

(learning organization) dalam pengembangan mutu berbagai aktivitas organisasi bisnis bisa dikatakan sudah lazim. Pengelolaan pembelajaran di level individu, level kelompok dan organisasi menjadi banyak berpengaruh pada kinerja organisasi. Budaya belajar organisasi dapat memenangkan organisasi dalam persaingan. Karena itu organisasi memberikan peluang untuk para karyawannya untuk terus melakukan dan pengalami pembelajaran serta meningkatkan kompetensinya, yang pada saatnya akan meningkatkan kinerja organisasi.

Dalam dunia pendidikan cara serupa dapat dikatakan masih jarang diterapkan dan diteliti oleh para peneliti. Dari penelitian ini terlihat bahwa PTS yang memiliki akreditasi A yang menjadi objek penelitian umumnya menyediakan peluang bagi para dosen untuk secara individu belajar. Organisasi dianggap menciptakan situasi yang memfasilitasi keingintahuan para dosen. Sifat bekerja sama ditonjolkan untuk mengelola pembelajaran serta pemimpinnya menjadikan pembelajaran di ketiga level (individu, kelompok dan organisasi) sebagai sesuatu yang bersifat strategis.

(24)
(25)

DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral. (2005). Kompetensi dan sertifikasi dosen, Artikel di Harian Kompas, tanggal _____

Argyris, Chris. (2004). Reflection and beyond in Research on Organizational Learning, Management Learning, December, Vol.35

Bapuji, Hari, Mary Crossan. December. (2004). From Question to Answers: Reviewing Organizational Learning Research., Management Learning. Thousand Oaks: December. Vol.35.

Eli ger A.D. a d Bostro , R. P. . A E a i atio of Ma ager’s Belief about Their roles as Facilitators of Leanring., Management Learning, 33(2).

Elkjaer, Bente. (2004). Organization Learning; The third way, Management Learning, December., Vol.35.

Evans, S. (1998). Revisiting the Learning Organization. Work Study. 47 (6), 201-203. Friedman, Hersey H., Linda W Friedman, Simcha Pollack, Review of Business,

Jamaica: Fall, Vol, Iss.3

Gorli, Mara. (2003). Review atas Anne Brockbank, Ian McGill dan Nic Beech, Reflective Learning in Practice, Management Learning, September Vol.34. Hayward, M.L (2002). When do firms learn from their acquisition experience?

Evidence from 1990 – 1995, Strategic Management Journal, 23(1)

Hult, G. T. M., Hurley, R. F, Giunipero, and Nichols. (2000). Organizational Learning in Global Purchasing; A Model and Test of Internal Users an Coproate Buyers,

Decision Sciences 31(12).

Kidwell, J.J., Vander, L.K., & Johnson, S.L. (2000). Applying corporate knowledge management practices in higher education. Educase Quarterly, 23(4)

Lee, Yean Pin, Zailani, Suhaila dan Soh, Keng Lin, (2006) Understanding factors for benchmarking adoption New evidence from Malaysia, Benchmarking: An InternationalJournal, Vol. 13 No. 5, pp. 548-565

Marsick, V.J., & Watkins, K.E. (1999). Facilitating learning in organization: Making learning count. Aldershot, UK; Gower.

Marsick, V. J, Watkins, K.E dan. (1996). In Action: Creating the Learning Organization, Alexandria, VA: American Society for Training and Development.

Marsick, V.J., & Watkins, K.E. (2003). De o strati g the value of a Orga izatio ’s Learning Culture: The Dimension of the learning Organization Questionnaire. McGrath, R.G. (2001). Exploratory Learning, Innovative Capacity, and Managerial

(26)

Pawlowsky, Peter. (2002). The Treatment of Organizational Learning in Management Science., dalam Dierkens, Berthoin Antal, John Child, Ikujiro Nonaka (Eds). Handbooks of Organizational Learning and Knowledges, Oxford University Press.

Rampread, Hubert. (2002). Increasing organizational learning ability based on a Knowledge quick scan, Journal of Knowledge Management Practice.

Senge, Peter. (1990). The fifth discipline: The art and practice of the learning organization. New York: Random House.

Stata, R. (1989). Organizational Learning –the key to Management Innovation.

Sloan Management Review, Spring, 63 – 74.

Wicaksono, Teguh Yudo. (2004)., Besarkah manfaat pendidikan tinggi terhadap pembangunan ekonomi? Artikel di Harian Kompas.

Gambar

Tabel 1.  Jumlah PTS dan Program Studinya di Jakarta Tahun 2005
Tabel 2.  Jumlah Sampel Penelitian
Grafik 2. Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 2
Grafik 5.Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 5
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pokok-pokok materi yang akan diajarkan dapat diambil dari silabus kurikulum sekolah yang bersangkutan. Namun pokok-pokok materi yang ada tersebut perlu

Hal ini sesuai dengan pernyataan pengaruh luar (gaya) yang bekerja pada sebuah benda sebanding dengan laju perubahan kuantitas gerak (momentum) terhadap waktu

Pada jenis lampu dan intensitas yang sama dengan jarak pengukuran yang sama memperlihatkan iluminasi yang lebih tinggi (Gambar 2B). Pengukuran di Laboratorium

bahwa menurut mazhab Syafi’i jika najis terkena benda yang mengkilap, keras dan kedap air (shaqil) seperti pedang dan cermin tidak bisa suci hanya dengan diusap, tapi harus

Akan tetapi, kita dapat melakukan tindakan yang bijaksana terhadap diri kita sendiri, keluarga dan juga masyarakat luas agar  yang bijaksana terhadap diri kita sendiri, keluarga

Tes KGS berbentuk tes objektif (pilihan ganda) mencakup ketiga materi percobaan, yaitu: 1) sintesis dan karakterisasi natrium tiosulfat pentahidrat, 2)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan yaitu: Pelaksanaan pembelajaran PAIKEM bidang studi Al-Quran Hadits di

Sugiono, Metode penelitian.. 13 yang berwenang, 15 dalam hal ini wawancara dilakukan dengan pihak kepolisian Polisi Resor Kendal mengenai proses penanganan unjuk