• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISU KORUPSI SURAT KABAR DI ERA ORDE LAMA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISU KORUPSI SURAT KABAR DI ERA ORDE LAMA (1)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ISU KORUPSI SURAT KABAR DI ERA ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN REFORMASI (STUDI EKSPLORATIF HEADLINE ISU KORUPSI HARIAN SUARA MERDEKA)

Elisabeth Adventa Galuh Previtapuri Jurusan Ilmu Komunikasi

Universitas Brawijaya

(email: elisabethadventagaluh@gmail.com)

ABSTRAK

Isu korupsi merupakan unlimitted issue, isu yang tidak akan ada habisnya dibahas di era apapun, baik Orde Lama, Orde Baru, maupun Reformasi. Korupsi didefinisikan sebagai tindak kejahatan yang identik dengan „penyalahgunaan kewenangan/ posisi‟, merugikan rakyat, keuangan negara dan perekonomian negara, dan sesungguhnya dekat dengan bangunan kekuasaan legal. Kekuasaan legal dalam sebuah negara dipegang oleh pemerintah, sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi dekat dengan pemerintah.

Isu-isu menarik di masyarakat tak akan luput dari incaran media massa, termasuk isu korupsi. Dalam proses operasionalnya, media massa dipengaruhi oleh kekuatan legal pemerintah atau politik, begitu pula sebaliknya, media massa memengaruhi proses politik yang sedang berlangsung. Kekuatan legal yang ada pada pemerintah, biasa disebut sebagai sistem pemerintahan, salah satu kebijakannya berpengaruh pada sistem pers sekaligus berita sebagai salah satu produk pers. Hubungan kedekatan antara isu korupsi dan media dengan sistem pemerintahan akan menghasilkan suatu kecenderungan pemberitaan isu korupsi sesuai dengan eranya. Di Indonesia, era pemerintahan terbagi menjadi Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Kecenderungan pemberitaan tersebut dapat dilihat pada headline dengan metode analisis isi.

Kata Kunci : Sistem Pemerintah, Isu Korupsi, Headline, Kecenderungan Pemberitaan, Analisis Isi.

PENDAHULUAN

Isu korupsi dapat menjadi topik yang tidak akan habis dan selalu menarik untuk dibahas oleh

media massa. Eksistensinya dikenal mulai zaman penjajahan hingga saat ini. “Kajian tentang

korupsi di Indonesia sudah banyak disampaikan kepada publik, baik melalui diskusi, seminar, hasil survei, media massa, dan sebagainya” (Badjuri, 2011, h.85). Salah satu sisi menarik dari isu korupsi ialah karena korupsi identik dengan kekuasaan legal, di mana ada kekuasaan, di situ ada peluang besar untuk korupsi. “Karena sifat korupsi yang tidak mungkin lepas dari unsur „penyalahgunaan kewenangan/ posisi‟, merugikan rakyat, keuangan negara dan perekonomian negara, maka korupsi itupun sesungguhnya berpusat pada bangunan kekuasaan” (Diansyah, 2009, h.10).

Di sisi lain, dalam paradigma konstruktivisme media massa dipahami sebagai subyek yang

(2)

penyalur dan pendistribusi pesan. Media massa dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang

mendefinisikan realitas (Hidayat, 1999). “Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas” (Eriyanto, 2002, h.26). Hamid (2011), mengemukakan bahwa media massa memang tidak mungkin melepaskan diri dari nilai, ideologi, kepentingan, dan sistem

kehidupan yang ada di mana media tersebut tumbuh dan berkembang. Dalam sistem kehidupan,

media massa masuk ke dalam sistem pers, sedangkan kepentingan, nilai, dan ideologi pemerintah

masuk ke dalam sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan memiliki pengaruh yang cukup penting

bagi sistem pers, begitu pula sebaliknya. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari kebijakan yang dibuat

pemerintah untuk mengatur sistem pers-nya. Selain berkaitan erat dengan kebijakan, keadaan saling

memengaruhi tersebut juga memiliki kaitan dengan sejarah. Singkatnya, pers bisa merepresentasikan „wajah‟ sistem pemerintahan pada jamannya lewat pemberitaan.

Sejarah perkembangan pers di Indonesia berjalan beriringan dengan sejarah Indonesia sendiri,

secara khusus, sejarah perkembangan sistem pemerintahan dan politiknya.

Menulis tentang sejarah pers Indonesia adalah suatu cerita yang panjang sekali, karena untuk membentangkan sejarah pers Indonesia, mau tidak mau, terpaksa disinggung pula sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan nasionalnya dari tangan penjajahan Belanda, terutama sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang diatur secara berorganisasi, yaitu sejak berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. (Taufik, 1977, h.17)

Dalam bukunya “Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia” dan seorang Sejarawan, Sartono Kartodirjo

(2005), membagi masa setelah kemerdekaan ke dalam 3 era, yakni Orde Lama, Orde Baru dan

Reformasi. Pada era Orde Lama, pers Indonesia mulai diwarnai oleh pembredelan dan keharusan

memiliki izin terbit atau lisensi bagi media pers cetak. Pemerintah mengeluarkan Surat Ijin Terbit

(SIT) berdasarkan Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) No.10 Tahun 1960 yang

diberlakukan dalam UU Pokok Pers Tahun 1966, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dalam

UU Pokok Pers Tahun 1982, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1963 tentang

Ketentuan-ketentuan Pembinaan Pers, dan Keputusan Menteri Penerangan Nomor 29 Tahun 1965 tentang

Norma-Norma Pokok Perusahaan Pers dalam Rangka Pembinaan (Atmakusumah, 2009).

Memasuki Orde Baru, sejumlah 46 surat kabar dari antara 163 surat kabar yang ada di seluruh

Indonesia dibredel tanpa batas waktu karena dianggap bersimpati pada PKI (Atmakusumah, 2009).

Lain halnya dengan era Reformasi, Reformasi diawali oleh Habibie dengan beberapa perubahan,

seperti pelepasan tahanan politik Orde Baru, pencabutan 1UU Subversi, pencabutan ketentuan

1

(3)

pembatalan 2SIUPP, dan pengungkapan kasus kerusuhan era Orde Baru. Hal tersebut juga

berdampak pada kehidupan pers nasional, yaitu dengan dikeluarkannya deregulasi dalam bidang

pers yakni Peraturan Menteri (Permen) No.01 Tahun 1998 tentang kemudahan mendapatkan Surat

Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Termasuk syarat menjadi Pemimpin Redaksi dan Permen

No.02/1998 tentang organisasi kewartawanan serta adanya penyederhanaan prosedur dan

persyaratan mendapatkan SIUPP. Kebebasan pers mulai dijamin saat dikeluarkannya UU No.40

Tahun 1999 tentang Pers, undang-undang ini menjamin tidak adanya campur tangan pemerintah

dalam kehidupan pers nasional (Atmakusumah, 2009).

Adanya keterkaitan antara sistem pemerintah sebagai kekuasaan legal dengan pemberitaan

sebagai produk pers dan isu korupsi membuat penelitian ini melihat bagaimana kecenderungan

pemberitaan headline isu korupsi di harian Suara Merdeka. Rizal Mallarangeng (2010) mengemukakan bahwa headline atau berita utama adalah informasi atau berita yang dianggap penting dari seluruh informasi yang disajikan oleh suatu koran. Peneliti menggunakan metode

analisis isi kualitatif untuk menganalisis kecenderungan pemberitaan headline isu korupsi harian Suara Merdeka di era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Analisis isi kualitatif memfokuskan

penelitian pada isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa yang tersurat dan

bersifat mendalam. Downe-Wamboldt, 1992, p.314 (dalam Hsieh & Shannon, 2005) “tujuan akhir

analisis isi ialah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu fenomena dalam sebuah kajian.”

ISU KORUPSI DI ERA ORDE LAMA

Dengan melihat frekuensi nama Soekarno dalam pemberitaan isu korupsi Orde Lama, sosok

presiden memiliki peran kuat sebagai the market frame dalam pemberitaan, sekaligus sebagai pusat pemerintahan termasuk dalam hal menanggulangi korupsi. Sosok Soekarno sebagai presiden dinilai

mampu menarik lebih banyak publik untuk membaca berita. Dalam beberapa kesempatan Soekarno

juga tampil di hadapan masyarakat untuk memberikan himbauan, salah satunya pada saat upacara

pelantikan anggota-anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (dalam headline Singkirkan Korupsi, Birokrasi, dan Misadministration).

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang merupakan lembaga strategis kenegaraan karena

perannya dianggap penting dan rawan korupsi, kontrolnya dipegang secara langsung oleh presiden Soekarno. “. . . karena sebagai Pemimpin Besar Revolusi harus bertanggungdjawab terhadap djalannja revolusi, maka putjuk pimpinan BPK langsung dipegang oleh Presiden, . . .” begitu kata

Soekarno dalam headline Singkirkan Korupsi, Birokrasi, dan Misadministration. Kontrol secara

2

(4)

langsung tersebut menandakan bahwa Soekarno ingin memastikan segala kebijakan dan kinerja

yang ada di BPK berjalan baik, langsung di bawah kontrolnya. BPK merupakan lembaga negara

penting yang berfungsi melindungi dan menjaga stabilitas keuangan negara secara keseluruhan. Di

dalamnya terdapat peluang besar untuk melakukan korupsi. Sehingga, keputusan Soekarno untuk

mengambil alih pimpinan BPK secara langsung merupakan salah satu bentuk penanggulangan

preventif presiden terhadap tindak korupsi.

Meskipun demikian, Pemerintah Orde Lama belum sepenuhnya menaruh perhatian khusus

terhadap isu korupsi, nampak dari cara pemerintah dalam menanggulangi terjadinya tindak korupsi

yang cukup dengan himbauan kepada masyarakat maupun BPK. Dua diantara enam headline Orde Lama berisi tentang himbauan. Himbauan dilakukan melalui pidato dan media massa. Pemerintah

merasa cukup menanggulangi korupsi dengan himbauan. Berikut beberapa contoh kutipan

himbauan:

 “MENTERI/ DJ. AGUNG Mr. Gunawan dalam menjambut tahun baru 1961 menjatakan

harapannja jang penuh kepada segenap lapisan masjarakat, agar tahun 1961 ini, didjadikan

sebagai tahun kesadaran sepenuh2nja, tahun bekerdjakeras kearah pembinaan suatu

masjarakat adil-makmur sesuai dengan komando Presiden/ Panglima Tertinggi Sukarno dan tjita2 segenap rakjat Indonesia,” (dalam headline Djaksa Agung Sudah Punja Bukti Orang2Jg Mau ,Tenung‟ Pedjabat2, 5 Djanuari 1961).

 “Menteri/ Djaksa Agung mengandjurkan kepada segenap masjarakat agar lebih

mempertbal kepertjajaan kepada Tuhan Jang Maha Kuasa mendjauhkan diri betul2 dari

pada perbuatan2 terkutuk seperti disebutkan diatas,” (dalam headline Djaksa Agung Sudah Punja Bukti Orang2Jg Mau ,Tenung‟ Pedjabat2, 5 Djanuari 1961)..

 “PRESIDEN SUKARNO dalam amanatnja pada upatjara pelantikan anggota-anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hari Rabu berseru dan memerintahkan, agar penjakit2

revolusi jaitu korupsi, birokratisme dan misadministration disingkirkan dari revolusi kita,”

(dalam headline Singkirkan Korupsi, Birokrasi, Dan Misadministration, 19 Maret 1965).

 “Karena adanja penjakit korupsi, birokratisme dan misadministration. Djadi BPK bertugas untuk menentang dan menjingkirkan penjakit2 tersebut” (dalam headline Singkirkan Korupsi, Birokrasi, Dan Misadministration, 19 Maret 1965).

Dalam salah satu himbauannya di atas, presiden Soekarno menganggap bahwa birokrasi,

korupsi, dan misadministrasi dapat menghambat revolusi, sehingga harus disingkirkan. Dalam

headline yang lain (headline Perlu Pembersihan Alat-alat Negara Dari Anasir-anasir Korupsi) menyebutkan bahwa penyebab timbulnya korupsi ialah birokrasi. “. . . RUU tentang tindak pidana

(5)

mengakibatkan kematjetan tidak sadja dilapangan pemerintah, tetapi djuga dilapangan ekonomi dan sosial.” “. . . berseru dan memerintahkan, agar penjakit2 revolusi jaitu korupsi, birokratisme dan misadministration disingkirkan dari revolusi kita,” (dalam headline Singkirkan Korupsi, Birokrasi, Dan Misadministration, 19 Maret 1965). Ada konstruksi di era Orde Lama bahwa birokrasi selalu

sepaket dengan misadministrasi, keduanya merupakan penyebab korupsi dan dianggap sebagai

penyakit revolusi oleh Soekarno. Pemerintah menganggap bahwa di dalam birokrasi terdapat sistem

hirarki yang membuka peluang besar untuk melakukan korupsi. Tindakan korup tersebut menjadi

sulit diungkap karena terbentur prosedur-prosedur yang ada di dalam birokrasi. Himbauan yang

diberikan disampaikan secara retoris dan berisi hal normatif karena dikaitkan dengan keimanan kepada Tuhan yang sesuai dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. .

Jika ditinjau dari segi the frame of law and regulation yang merupakan kerangka kebijakan publik, hukum, dan aturan, tidak satupun dari keenam headline isu korupsi harian Suara Merdeka di era Orde Lama menyantumkannya. Padahal, sebenarnya kebijakan hukum dan regulasi terkait

pemberantasan korupsi telah dibuat sejak tahun 1957. Diawali oleh UU No.74 Tahun 1957 buatan

pemerintah tentang keadaan bahaya, kemudian digantikan oleh Peraturan Penguasa Militer No.

PRT/PM/06/1957 yang dibuat oleh Kolonel Zulkifli Lubis sebagai acuan untuk operasi militer.

Operasi militer tersebut dilakukan untuk memberantas korupsi di bidang logistik (Badjuri, 2011).

Kemudian pemerintah mengeluarkan Perpu No.24 Tahun 1960 sebagai pengganti UU sebelumnya. “Pemberantasan korupsi dilakukan berdasarkan UU Nomor 24 Perpu Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dengan menambah perumusan

tindak pidana korupsi yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan dibentuk

Lembaga khusus untuk memberantas korupsi,” (Mudzakkir, 2011, h.1).

Ada beberapa lembaga khusus pemberantasan korupsi yang dibentuk oleh Presiden Soekarno,

diantaranya Operasi Budhi (Keppres No. 275/1963), Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi

(Kontrar) dengan ketua Presiden Soekarno dibantu Soebandrio dan Ahmad Yani, Tim Pemberantas

Korupsi (Keppres No. 228/1967), dan Komite Anti Korupsi/ KAK (1967) (Mudzakkir, 2011). “Dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pada tahun1967 dengan tujuan melaksanakan pencegahan dan pemberantasan korupsi,” (Badjuri, 2011, h.87). Namun tidak satupun nama

lembaga di atas muncul dalam headline.

Meski korupsi telah diatur lewat KUHP tentang Tindak Pidana Jabatan dan UU Nomor 24

Perpu Tahun 1960, namun beberapa headline Suara Merdeka yang mengupas kasus korupsi tidak menjelaskan secara detail hukuman yang diterima oleh pelaku. Seperti contoh beberapa kalimat

(6)

 “. . .kini sudah diambil tindakan2 terhadapnja.” (dalam headline Penjelundupan Raksasa

Terbongkar). Pertanyaan yang muncul ialah tindakan seperti apa yang dilakukan, tidak

ada keterangan tambahan untuk mendukung pernyataan terebut.

 “Pihak jang berwadjib menurut keterangan telah menahan anggota pimpinan perusahaan dagang jang melakukan penjelundupan itu . . .”(dalam headline Penjelundupan Raksasa Terbongkar). Upaya penahanan telah dilakukan oleh pihak yang berwajib, namun tidak

ada keterangan lanjutan berapa lama pelaku ditahan.

 “. . . Kedjaksaan Agung dalam hal ini telah mengambil tindakan2 dan pasti akan terus

mengambil tindakan2 sekerasnja terhadap pihak2 jang bersangkutan serta sumber2 perbuatan.” (dalam headline Djaksa Agung Sudah Punya Bukti Orang2 Jg Mau ,Tenung‟ Pedjabat2

).

Dari contoh kalimat-kalimat di atas tidak tercantum keterangan lanjutan berupa lama

hukuman tahanan dan jumlah hukuman denda. Tuduhan yang dinyatakan dalam pemberitaan Suara

Merdeka terhadap sesuatu/ seseorang sebagai faktor/ aktor korupsi tidak mencantumkan landasan

hukum yang jelas. Peneliti beranggapan bahwa peran UU dan lembaga pemberantasan korupsi tidak

mendapat dukungan maksimal dari seluruh elemen pemerintahan dan penegak hukum. Hanya

Presiden Soekarno dan beberapa orang saja yang mendukung implementasi UU dan

lembaga-lembaga pemberantasan korupsi tersebut. Padahal, dalam KUHP telah diatur mengenai berapa lama

hukuman maksimal yang harus diterima oleh pelaku. Contohnya, pasal 424 berbunyi, “Seorang

pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan

menyalahgunakan kekuasaannya, menggunakan tanah negara di atas mana ada hak-hak pakai

Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun,” dalam pasal tersebut

disebutkan pidana penjara paling lama enam tahun.

Dalam beberapa headline era Orde Lama, sorotan utama peran penegak hukum dalam menangani kasus korupsi lebih banyak tertuju pada pihak Kejaksaan dan Jaksa Agung. Konstruksi

yang dibentuk oleh harian Suara Merdeka yaitu menampilkan Jaksa Agung sebagai „pahlawan‟

pemberantas korupsi. Judul dalam headline “Djaksa Agung Sudah Punja Bukti Orang2 Jg Mau „Tenung, Pedjabat2” contohnya, ingin menunjukkan bahwa Jaksa Agung merupakan

tokoh utama

yang dapat menemukan bukti tindakan tenung3 pejabat. Hanya Jaksa Agung yang mampu

memberantas kasus tenung tersebut. Konstruksi sikap „pahlawan‟, kewibawaan, dan kesungguhan

kinerja Jaksa Agung dan Kejakssan terlihat dalam beberapa kutipan berikut ini :

3

(7)

 “Menurut Mr. Gunawan, instansi Kedjaksaan Agung telah mendapatkan bahan2 bahkan

bukti2 konkrit tentang adanja orang2 jg tidak bertanggung djawab, jang melakukan perbuatan2 mistik jg bersifat “black-magic alias perbuatan2 “teluh” (tenung-guna2), . . .” (dalam headline Djaksa Agung Sudah Punja Bukti Orang2 Jg Mau ,Tenung‟ Pedjabat2).

 “Kedjaksaan Agung dalam hal ini telah mengambil tindakan2 dan pasti akan terus

mengambil tindakan2 sekerasnja terhadap pihak2 jang bersangkutan serta sumber2 perbuatan.” (dalam headline Djaksa Agung Sudah Punja Bukti Orang2 Jg Mau ,Tenung‟ Pedjabat2).

 “Menteri/ Djaksa Agung mengandjurkan kepada segenap masjarakat agar lebih

mempertbal kepertjajaan kepada Tuhan Jang Maha Kuasa mendjauhkan diri betul2 dari pada perbuatan2 terkutuk seperti disebutkan diatas.” (dalam headline Djaksa Agung Sudah Punja Bukti Orang2 Jg Mau ,Tenung‟ Pedjabat2).

 “KEPALA KEDJAKSAAN Tandjung Balai Karimun Susanto SH menerangkan bahwa

penjelundup2 jang terdapat antara Sumatera dan Malaya dapat dibagi dalam dua bagian jaitu “penjelundupan jang diatur” dan “penjelundupan liar”.” (dalam headline Ada Penjelundupan Jang Diatur & Ada Penjelundupan Jang Liar).

Jaksa Agung merupakan pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak

sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan. Dalam tugasnya, Jaksa memiliki tugas

yang sangat luas, mulai dari tahap penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan di sidang

pengadilan, tahap upaya hukum dan tahap eksekusi. Kompleksnya tugas Jaksa, maka tidak heran

jika pada masa Orde Lama, peran Jaksa dalam usaha penanggulangan korupsi menjadi sorotan

utama media. Meskipun sebenarnya pihak kejaksaan tidak berjalan sendiri dalam melaksanakan

tugas memberantas korupsi, mereka dibantu oleh pihak lain, seperti pihak bea cukai, kepolisian,

hakim, dan Mahkamah Agung (MA). Pemerintah lewat pemberitaan harian Suara Merdeka ingin

membangun citra positif Jaksa dengan konstruksi „pahlawan‟ tersebut.

The frame of public responsibility yang dijalankan oleh Suara Merdeka sebagai institusi media terlihat pada pemberitaan tentang kasus korupsi di era Orde Lama. Pemberitaan tersebut

merupakan wujud dari tanggungjawab sosial sekaligus bentuk perhatian Suara Merdeka terhadap

apa yang sedang terjadi di masyarakat. Kasus korupsi yang muncul pada headline era Orde Lama harian Suara Merdeka ialah kasus penyelundupan dan penggelapan uang nikah. Kebanyakan

penyelundupan merupakan hasil kerjasama antara perusahaan dagang lokal (dalam negeri) dengan

(8)

antaranja karet,” (dalam headline Penjelundupan Raksasa Terbongkar). “Susanto SH jang memeriksa perkara2 penjelundupan ini menerangkan selandjutnja bahwa jang banjak diselundupkan

ialah barang2 hasil bumi seperti karet, lada, kopi, kopra bahkan ada pula jang menjelundupkan bidji

timah,” (dalam headline Ada Penjelundupan Jang Diatur & Ada Penjelundupan Jang Liar). Selain kasus penyelundupan, terdapaat pula kasus penggelapan uang nikah yang menjerat mantan Sekjen. Kementerian Agama juga cukup „menyedot‟ perhatian. Kasus korupsi yang melibatkan mantan pejabat ternyata sudah ada sejak era Orde Lama.

ISU KORUPSI DI ERA ORDE BARU

Memasuki era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, pemerintah masih

memiliki kendali sepenuhnya atas dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk

kehidupan persnya. Terdapat intervensi dari pemerintah Orde Baru dalam pemberitaan. Intervensi

dari pemerintah berupa budaya telepon yang berisi himbauan dimuat atau tidaknya sebuah berita

(Susilastuti, 2000). Hal tersebut membuat harian Suara Merdeka lebih berhati-hati dalam membuat

pemberitaan tentang isu korupsi, terlebih jika ada kasus korupsi yang terkait dengan pemerintah/

pejabat negara. Sehingga headline-headline isu korupsi Suara Merdeka era Orde Baru hanya dapat mengungkap beberapa hal seperti kinerja Komisi-4 (komisi pemberantasan korupsi bentukan

pemerintah) dan beberapa kasus korupsi yang kurang mendalam. Himbauan yang terdapat di era

Orde Lama masih berlanjut pada Orde Baru, ada satu headline yang berisi himbauan dan beberapa headline tentang kasus korupsi yang disisipi himbauan. Berikut contoh kutipan beberapa himbauan pemerintah:

 “Dijelaskan, penyelewengan penyelewengan di atas tidak akan terjadi apabila ada sikap

mental dan tata kerja yang baik dari seluruh karyawan,” ujar Gubernur Jateng H. Soepardjo

(dalam headline 1359 Orang Karyawan Pemda Di Jawa Tengah Ditindak).

 “Fraksi ABRI dalam DPR RI berpendirian, masalah korupsi yang merupakan musuh rakyat

yang sedang membangun perlu ditanggulangi secara serius, berencana dan berlanjut.”

(dalam headline Masalah Korupsi Perlu Ditanggulangi dengan Serius).

 “Titik sentral penyebab timbulnya korupsi, menurut Fraksi ABRI, terletak pada sikap mental manusia pelaksana pembangunan tanpa mengesampingkan . . .” (dalam headline Masalah Korupsi Perlu Ditanggulangi dengan Serius).

The frame of law and regulation pada masa Orde Baru terkandung dalam UU khusus Tipikor di tahun 1971, dalam UU No. 3 tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagai penyempurnaan kembali perumusan tindak pidana korupsi dalam UU

(9)

Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sekaligus Keppres

RI No.81 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara. Jauh

sebelum itu, pemerintah Orde Baru juga membentuk beberapa lembaga pemberantasan korupsi,

yakni Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) akhir 1967, Komisi-4 sekitar tahun 1970, Komisi Anti

Korupsi (KAK) pada tahun 1970, dan Operasi Penertiban (OPSTIB) di tahun 1977 (Mudzakkir,

2011). Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dibentuk berdasarkan Kepres No. 228/1967, dasar

hukumnya masih tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa

Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI (Mudzakkir, 2011).

Tidak satupun the frame of law and regulation yang dimunculkan dalam pemberitaan sebagai keterangan tambahan terkait landasan hukum. Hal ini disebabkan oleh kurang maksimalnya

implementasi UU dan lembaga pemberantasan korupsi. Tim OPSTIB menjadi vakum, satu per satu

lembaga pemberantasan korupsi yang dibentuk oleh pemerintah bubar, tidak bertahan lama. TPK

bubar karena adanya tumpang-tindih jabatan dalam keanggotaannya. Para anggota TPK merangkap

jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Jelas saja,

dalam menunaikan tugasnya, TPK tidak dapat berlaku obyektif, karena para anggotanya dari

kalangan petinggi negara (Mudzakkir, 2011). Pemerintah masih terkesan pemilih dalam menangani

kasus korupsi. Intervensi pemerintah terhadap lembaga-lembaga pemberantasan korupsi juga

disinyalir menjadi penyebab ketidakmaksimalan implementasi the frame of law and regulation. Tetapi ada satu lembaga pemberantasan korupsi yang berhasil mencuri perhatian masyarakat

dan menjadi buruan pemberitaan, yaitu Komisi-4. Komisi-4 merupakan sebuah komisi/ lembaga

bentukan Presiden Suharto tahun 1970 yang memiliki hak memberi pertimbangan obyektif pada

Presiden untuk mengambil langkah efektif dalam upaya pemberantasan korupsi. Awal terbentuknya

Komisi-4 dapat dikatakan booming, karena begitu terbentuk komisi ini menjadi sorotan media, termasuk Suara Merdeka. Komisi 4 menjadi the market frame kala itu, berita tentang Komisi-4 dapat menjadi komoditas yang menarik bagi pemberitaan. Tiga diantara tujuh headline isu korupsi Orde Baru harian Suara Merdeka berisi tentang Komisi-4. Padahal di tahun yang bersamaan,

pemerintah Orde Baru juga membentuk Komisi Anti Korupsi (KAK) yang terdiri dari aktivis

mahasiswa eksponen 66 (Mudzakkir, 2011).

Euforia terbentuknya Komisi-4 melebihi lembaga-lembaga pemberantasan korupsi lainnya. Di

tengah-tengah „ketenarannya‟ di berbagai media, termasuk Suara Merdeka, Komisi-4 juga disambut oleh antusiasme para mahasiswa lewat sebuah aksi berjudul “Mahasiswa Menggugat”. Dalam aksi “Mahasiswa Menggugat” tersebut, para Mahasiswa mengucapkan selamat kepada Presiden Suharto atas kesigapannya menanggapi kasus korupsi demi kepentingan rakyat. Berikut beberapa kalimat

(10)

 “ ,,Mahasiswa Menggugat‟‟ menilai Komisi Empat sebagai uluran tangan Presiden Suharto jang simpatik sekali, . . .” (dalam headline Tanpa Tindakan2Konkrit ,,Komisi 4” Semuanja Akan Sia2 Belaka).

 “MM melihat bahwa dengan adanja keputusan ini, maka terbukti bahwa pak Harto adalah seorang Presiden jang mau mendengarkan suara rakjat ketjil. . .” (dalam headline Tanpa Tindakan2Konkrit ,,Komisi 4” Semuanja Akan Sia2 Belaka).

 “MM menilai Komisi Empat Sebagai saluran tangan (gestare) Presiden Soeharto jg simpatik sekali.” (dalam headline Tanpa Tindakan2 Konkrit ,,Komisi 4” Semuanja Akan Sia2 Belaka).

Dalam headline-nya, Suara Merdeka mencantumkan informasi sejelas-jelasnya, mulai tentang anggota, tujuan, wewenang, hingga rapat perdana Komisi-4. Beberapa kalimat di bawah ini memuat

info-info tentang Komisi-4:

 “Komisi-4 ini diketuai oleh Wilopo SH dengan anggauta I.J.Kasimo, Prof. Ir. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto.” (dalam headline Komisi-4 Untuk Berantas Korupsi Diketuai Oleh Wilopo SH).

 “Tugas utama komisi itu adalah untuk meneliti dan menilai langkah jang telah diambil oleh pemerintah selama ini dan untuk mengefektifkan lagi pemberantasan korupsi.” (dalam headline Komisi-4 Untuk Berantas Korupsi Diketuai Oleh Wilopo SH).

 “Pemerintah memberikan wewenang sepenuhnja kepada komisi ini untuk meminta bahan

bahan keterangan dan bantuan jang diperlukan dari semua pihak, semua instansi sipil maupun ABRI dan perusahaan2 negara dlm rangka melaksanakan tugasnja.” (dalam headline Komisi-4 Untuk Berantas Korupsi Diketuai Oleh Wilopo SH).

Dari kutipan headline di atas poin terakhir menunjukan bahwa Komisi-4 mempunyai kedekatan dengan pemerintah. Asumsi peneliti tersebut dipertegas oleh pernyataan Presiden Soeharto, “Saja perlu menegaskan”, demikian Kepala Negara “bahwa komisi ini bukan merupakan lembaga baru dalam rangka ketatanegaraan kita, melainkan merupakan “pembantu Presiden” untuk menjelidiki masalah2 chusus, dalam hal ini pemberantasan korupsi,” (dalam headline Komisi-4 Untuk Berantas Korupsi Diketuai Oleh Wilopo SH). Presiden Soeharto langsung menyampaikan keterangan bahwa

Komisi-4 ialah “pembantu presiden”. Sebagai “pembantu presiden”, sudah tentu terdapat intervensi

tinggi dari presiden dalam komisi-4. Komisi-4 tunduk di bawah perintah Presiden Soeharto.

Di era Orde Baru, citra penegak hukum masih tetap terkonstruksi positif. Kesan „pahlawan‟

yang ditimbulkan oleh konstruksi di media juga masih melekat. Terlebih masyarakat disuguhi

(11)

memberantas korupsi dengan baik. Keyakinan masyarakat tersebut diperkuat dengan terungkapnya

beberapa kasus korupsi, mulai dari tingkat daerah, hingga tingkat nasional, seperti kasus skandal

penyelundupan daftar anggota keluarga, kasus Abu Kiswo (pejabat Bea Cukai Tanjung Priok), dan

kasus korupsi Pertamina oleh Ibnu Sutowo (Dirut Pertamina).

Dalam beberapa headline Suara Merdeka, ada kesan bahwa para penegak hukum bertindak tegas dan cepat dalam menangani kasus korupsi. Hal tersebut tercantum dalam kalimat-kalimat

berikut ini:

 “Ditanja mengenai Dirut Pertamina Ibnu Sutowo apakah mungkin dipanggil, didjawab

oleh Wilopo “mungkin”.” (dalam headline Dirut Pertamina Ibnu Sutowo Mungkin Dipanggil ,,Komisi - 4‟‟). Dalam kalimat tersebut, Wilopo sebagai ketua Komisi 4

menyatakan bahwa pihaknya kemungkinan memanggil Ibnu Sutowo untuk diperiksa lebih

lanjut.

 “Tetapi, menurut keterangan jang didapat “Antara”, jang sampai saat sekarang telah ditindak barulah terbatas pada golongan “tjatjing tjan”-nja (jang ketjil2) sedangkan dari golongan “tjatjing kalung”-nja (jg besar2) masih belum terbersihkan. Tetapi diharapkan golongan terachirpun lambat-laun akan terkena djuga.” (dalam headline Skandal ,Sulap Daftar Keluarga‟; Neg. Rugi Ratusan Djuta Rp.). Dalam kalimat tersebut dinyatakan bahwa penegak hukum mengharapkan golongan yang besar-besar (atasannya) dapat

diperiksa dan terkena sanksi hukum juga.

 “Usaha membersihkan “parasit2” jang ada pada aparat pendidikan di Djawa Barat ini kini

masih terus dilakukan setjara intensip. Diharapkan pada achir bulan Maret jad. operasi

pembersihan ini sudah akan selesai seluruhnja.” (dalam headline Skandal ,Sulap Daftar Keluarga‟; Neg. Rugi Ratusan Djuta Rp.). Pada kalimat di atas ada dua poin yang ditegaskan, kalimat yang pertama menegaskan bahwa penegak hukum bekerja secara

sungguh-sungguh, bahkan secara intensif. Kalimat yang kedua menunjukkan bahwa

penegak hukum memiliki target waktu untuk menyelesaikan kasus tersebut.

 “. . . pihak Kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan minta supaya putusan

Pengadilan Tinggi tersebut dibatalkan dan Abu Kiswo ditahan kembali.” (dalam headline Abu Kiswo Kini Masih Bebas; Perkaranya Akan Diperiksa Kembali). Kalimat di atas

menunjukkan bahwa pihak Kejaksaan menolak dengan tegas sikap yang diambil oleh

pihak Pengadilan Tinggi.

 “Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Soegiri Tjokrodidjojo SH baru2 ini mengirim kurir (utusan) ke Pengadilan Tinggi Jakarta, khusus untuk menanyakan tentang status Abu

Kiswo itu, karena Abu Kiswo setelah adanya putusan Mahkamah Agung itu masih bebas.”

(12)

Sikap yang diambil oleh Kepala Kejaksaan menegaskan bahwa pihak Kejaksaan menolak

putusan Pengadilan Tinggi, sampai mengirim kurir demi mendapatkan kejelasan dan

kebenaran status Abu Kiswo.

Peran penegak hukum yang ingin ditampilkan pada masa Orde Baru masih sama dengan masa Orde

Lama, yakni memiliki wibawa, terkesan sungguh-sungguh, tegas, dan cekatan dalam menangani

kasus korupsi.

Bentuk the frame of public responsibility Suara Merdeka di era Orde Baru adalah pemberitaan „wabah‟ korupsi yang mulai menjangkiti petinggi BUMN, petinggi Bea Cukai, karyawan Pemerintah Daerah, bahkan yang lebih memprihatinkan, korupsi menyerang aparat pendidikan di

Jawa Barat. Ada kasus yang menarik di era Orde Baru ini, yakni kasus Abu Kiswo. Menariknya

adalah hukuman yang diterima Abu Kiswo, sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri sebelumnya,

namun dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi. Tidak hanya sampai di situ saja, karena Kejaksaan

mengetahui adanya pembatalan hukuman tersebut, pihaknya mengajukan kasasi ke Mahkamah

Agung (MA). Akhirnya MA memutuskan menerima kasasi pihak Kejaksaan, hingga keputusan MA

yang terakhir menyatakan bahwa Abu Kiswo harus ditahan kembali, namun kenyataannya, Abu

Kiswo masih bebas. Pihak Pengadilan Tinggi pun tidak mampu memberikan kepastian dan

keterangan yang tegas terkait kejelasan status Abu Kiswo. Muncul kecurigaan bahwa Pengadilan

Tinggi telah diberi gratifikasi oleh Abu Kiswo.

Ada beberapa pendapat mengenai penyebab korupsi di era Orde Baru. Dan beberapa pendapat

tersebut mengerucut kepada satu faktor penyebab, yaitu sikap mental yang dimiliki oleh Sumber

Daya Manusia Indonesia sebagai pelaku pembangunan. Pernyataan tersebut tercantum dalam

kalimat-kalimat berikut ini:

 “Dijelaskan, penyelewengan penyelewengan di atas tidak akan terjadi apabila ada sikap

mental dan tata kerja yang baik dari seluruh karyawan,” menurut Gubernur Jawa Tengah

H. Sopardjo (dalam headline 1359 Orang Karyawan Pemda Di Jawa Tengah Ditindak).

 “Untuk hari hari selanjutnya akhirnya Gubernur mengingatkan, masih ada banyak sekali

masalah yang harus dihadapi para karyawan, untuk itu ditegaskan, agar dalam

melaksanakan tugas selalu dilandasi sikap mental yang baik,” menurut Gubernur Jawa

Tengah H. Sopardjo (dalam headline 1359 Orang Karyawan Pemda Di Jawa Tengah Ditindak).

 “Titik sentral penyebab timbulnya korupsi, menurut Fraksi ABRI, terletak pada sikap

(13)

Pada beberapa kalimat di atas, Fraksi ABRI diberi wewenang untuk menyatakan pendapat.

Iya, Fraksi ABRI, bahkan di dalam perlemen pun, ABRI memiliki tenpat tersendiri, memiliki hak

istimewa untuk menghimbau masyarakat. Hal tersebut menunjukkan kedekatan pemerintah dengan

militer, bahkan ABRI memiliki wewenang yang setara dengan Gubernur dalam menghimbau

masyarakat. Sejatinya, sikap mental yang perlu dibenahi bukan hanya terletak pada masyarakat,

tetapi juga pada golongan pejabat tinggi negara. Kasus korupsi pejabat „kelas satu‟ pada masa ini

masih sulit dibongkar, karena ketatnya kontrol dan intervensi pemerintah kepada lembaga

pemberantasan korupsi dan pers.

ISU KORUPSI DI ERA REFORMASI

Era Reformasi merupakan era dimana kebebasan berpendapat dan bertindak dijunjung tinggi,

demokrasi harga mati, katanya. Jika pada era Orde Lama dan Orde Baru pemerintah dan Presiden

memiliki peran yang begitu dominan pada dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, lain halnya pada era Reformasi ini. Menurut peneliti, era Reformasi memiliki „warna‟ pemerintahan yang agak berbeda. Rakyat diberi ruang untuk bebas berpendapat, mencari dan mendapat informasi

dari manapun. Di bawah pimpinan Presiden B.J. Habibie, rakyat mulai turut dilibatkan dalam

kehidupan bernegara. Presiden B.J. Habibie sedikit demi sedikit mulai menata konstitusi.

Peran pemerintah dan Presiden masih tetap dianggap penting di masa Reformasi. Namun,

posisi mereka tidak lagi aman, tidak seperti saat era Orde Lama dan Orde Baru. Aman yang

dimaksud adalah aman dari penyelidikan, terkait kasus korupsi. Selalu ada kemungkinan jika di

antara mereka (para pejabat pemerintahan) melakukan korupsi. Jika pada era Orde Lama dan Orde

Baru, pemerintah terkesan mengayomi, memberi himbauan di setiap kesempatan, entah pidato atau

sambutan kepada masyarakat untuk menghindari korupsi. Tidak hanya mantan Presiden yang

mungkin melakukan korupsi, bahkan Menteri yang sedang menjabat pun ternyata juga

melakukannya. Beberapa kalimat berikut membuktikan bahwa di era Reformasi, pemerintah bisa

melakukan korupsi dan masyarakat berhak mengawasi, bahkan menuntut:

 “Kami akan mendesak Presiden Habibie memeriksa Soeharto dan keluarganya untuk

membuktikan ada tidaknya penyelewengan selama menjabat sebagai Presiden,” tegas

Tosari Wijaya (dalam headline FPP Usulkan Soeharto Diperiksa). Ia adalah Sekjen DPP PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang dalam sidang MPR berani menuntut Presiden

B.J Habibie mengusut mantan Presiden Suharto beserta keluarganya.

 “Pak Harto itu selesai ya selesai, tapi kan tidak hanya begitu saja. Hal-hal sekarang yang kita rasakan berat ini harus dia pertanggungjawabkan. Masalah-masalah yang harus kita

(14)

diam saja?” (dalam headline FPP Usulkan Soeharto Diperiksa). Ungkapan di atas merupakan ungkapan Tosari (Sekjen DPP PPP) yang menyatakan kritiknya kepada mantan

Presiden Suharto dan MPR.

 “. . . penyelidikan atas kekayaan dan perilaku politik juga harus dilakukan terhadap

pejabat-pejabat tinggi selama pemerintahan Orde Baru.” (dalam headline FPP Usulkan Soeharto Diperiksa). Ada tuntutan untuk melakukan penyelidikan terhadap para pejabat

tinggi jaman Orde Baru.

 “. . . berdasarkan pengalaman masa lampau, baik yang berlangsung di negara kita maupun negara-negara lain, kekuasaan pemerintah sering tergoda untuk menjadi mutlak dan

otoriter, apabila pemegang kekuasaan eksekutif mulai mengabaikan kritik, saran, dan

pengawasan.” (dalam headline FPP Usulkan Soeharto Diperiksa).

 “Gelombang pelarian uang dari Indonesia ke luar negeri awal tahun ini mendukung

dugaan, mantan Presiden Soeharto memindahkan uang miliaran dolar ke bank-bank

Austria, tidak lama sebelum mengundurkan diri sebagai Presiden.” (dalam headline Soeharto Diduga Larikan Dana Ke Austria). Media bisa dengan bebasnya menulis asumsi/

dugaan pelarian dana mantan Presiden Suharto.

Di era Reformasi, baik pemerintah, siapapun itu memiliki peluang yang sama untuk

melakukan korupsi dan masyarakat atau pihak pemerintah sendiri punya hak untuk melakukan

pengawasan. Hal tersbut menegaskan bahwa pemerintah menaruh perhatian besar kepada isu

korupsi, tidak hanya mengenai sanksi pidana yang harus ditanggung koruptor tetapi juga mengenai

bagaimana mengembalikan kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi tersebut.

Demi menunjang kelengkapan landasan hukum sekaligus mengontrol dan mengawasi tindak

pidana korupsi, the frame of law and regulation yang dibentuk oleh pemerintah Reformasi, yaitu UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsisebagai penyempurnaan

kembali perumusan tindak pidana korupsi dalam UU 3/1971 (korupsi aktif dan korupsi pasif),

karena UU No. 3 Tahun 1971 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum

(Mudzakkir, 2011). Kemudian di tahun 1999 lahir Undang-Undang No.28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sekaligus Keppres

RI No.81 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara. Sebagai

implementasi dari peraturan-peraturan tersebut dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan

Penyelenggara Negara/ KPKPN dengan Keppres 127/1999 (Badjuri, 2011). Namun, banyak kasus

yang tidak ditindaklanjuti seperti kasus kepemilikan rumah dan tanah yang tidak dilaporkan milik

(15)

Dari sekian banyak lembaga/ komisi bentukan pemerintah dalam usaha memberantas korupsi,

menurut pengamatan peneliti, KPK lah yang paling efektif dalam tugasnya. Karena berdasarkan

ketujuh headline Suara Merdeka di Era Reformasi, hanya KPK yang menjadi the market frame pemberitaan. KPK juga mampu bertahan hingga saat ini, sudah 12 tahun sejak awal terbentuknya, melewati tiga periode Presiden sekaligus. “Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29 wewenang yang luar biasa ini dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien

Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas, Tumpak Hatorang. Belumgenap satu tahun berdiri, KPK

telah menerima 1.452 laporan masyarakat mengenai praktek korupsi,” (Mudzakkir, 2011, h.29).

Kinerja KPK dari tahun ke tahum semakin meningkat, terbukti dari makin banyaknya kasus korupsi

yang terungkap.

Tidak hanya KPK yang menjadi tumpuan utama dalam usaha memberantas korupsi, beberapa

masyarakat yang simpati terhadap usaha pemerintah tersebut turut membentuk sebuah lembaga

independen, guna membantu kinerja KPK. Salah satu lembaga independen (swadaya masyarakat)

tersebut yaitu Indonesian Corruption Watch atau yang lebih dikenal dengan ICW. ICW lahir atas inisiatif beberapa orang untuk mengakomodir kebutuhan publikuntuk mendapat advokasi langsung

yang dirugikan oleh korupsi.ICW berbasis pada penelitian dari data-data yang mereka dapatkan. Di

kota Malang sendiri juga berdiri Malang Corruption Watch (MCW), sebagai bagian dari ICW di daerah Malang.

Dalam headline harian Suara Merdeka, peran dan kinerja KPK-ICW tersorot jelas dan rinci, berikut kalimat-kalimat yang membuktikannya:

 “Suap terhadap hakim Pengadilan Tipikor terungkap setelah KPK menagkap tangan dua

hakim ad hoc (sementara) Pengadilan Tipikor Semarang dan Pontianak, yakni Kartini Juliana Magdalena Marpaung dan Heru Kusbandono.” (dalam headline Suap Hakim Tipikor Merajalela).

 “Indonesia Corruption Watch mencatat, per 1 Agustus 2012 sedikitnya 71 terdakwa

korupsi telah dijatuhi vonis bebas atau lepas di Pengadilan Tipikor seluruh Indonesia.

Tujuh di antara vonis bebas itu dilakukan oleh Pengadilan Tipikor Semarang.” (dalam

headline Suap Hakim Tipikor Merajalela).

 “Hal ini menyusul Kartini yang tertangkap tangan oleh petugas Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) sesaat setelah menerima sejumlah uang yang diduga terkait penanganan perkara.” (dalam headline Vonis Kartini Diminta Dibatalkan).

 “Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho

(16)

 “KPK pun kini telah resmi menetapkan kedua hakim, Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono sebagai tersangka.” (dalam headline Vonis Kartini Diminta Dibatalkan).

Pada tahun 2009 lalu, di bawah kepemimpinannya, SBY juga membentuk pengadilan khusus

untuk mengadili tindak pidana korupsi, sepaket dengan UU Nomor 46 Tahun 2009. Menurut UU

Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan

pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus yang mengadili perkara tindak pidana korupsi.

Pemerintahan SBY menanggap perlunya hasil evaluasi terhadap praktekpemberantasan dan

penegakan hukum tindak pidana korupsi, sehingga dibentuklah pengadilan Tipikor. Hal ini telah

mendorong perubahan hukum pidana secara materiil dan pidana formil, perubahan tersebut telah

membawa implikasi hukum pada ketentuan undang-undang lain (Mudzakkir, 2011).

Di awal pemerintahan Reformasi, keterlibatan penegak hukum sebagai tersangka dalam

tindak pidana korupsi memang belum nampak. Penegak hukum masih berperan sesuai dengan

jalurnya, sesuai dengan namanya, yaitu menegakkan hukum. Saat awal Reformasi, tumpuan utama

pemberantasan korupsi masih berada di tangan para penegak hukum. Selain berharap kepada

pemerintah, masyarakat juga menaruh harapan dan kepercayaan kepada para penegak hukum untuk memberantas korupsi. “Kalau hal itu nantinya sinkron dengan Jaksa Agung, mungkin Presiden akan lebih menekankan ke Kejaksaan Agung karena ini perintah MPR, perintah rakyat,” ujar Tosari Wijaya, Sekjen DPP PPP (dalam headline FPP Usulkan Soeharto Diperiksa). Dalam kalimat tersebut, menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh Jaksa Agung menjadi patokan penyelidikan/

pengusutan kekayaan mantan Presiden Soeharto. Di tangan para penegak hukum, masyarakat

berharap, para koruptor mampu mendapatkan hukuman yang seadil-adilnya.

Sejak dibentuknya KPK pada tahun 2002, posisi penegak hukum tidak lagi „aman‟, sama halnya dengan posisi pemerintah. Muncul kemungkinan besar jika penegak hukum melakukan

tindak pidana korupsi, atau bahkan dengan sengaja memberi jalan kepada para pelaku. Peran

penegak hukum tidak lagi murni sebagai penegak hukum, hari-hari ini perannya bisa berganti

menjadi pelanggar hukum. Hal ini terbukti dari beberapa kasus korupsi yang menyeret para penegak

hukum, seperti kasus hakim Kartini (dalam headline Vonis Kartini Diminta Dibatalkan), kasus suap hakim Tipikor (dalam headline Suap Hakim Tipikor Merajalela), bahkan yang paling mengejutkan adalah kasus mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar (dalam headline PPATK: Akil Cuci Uang Rp 100 M). Kinerja KPK membuat persepsi baru bagi masyarakat bahwa seorang

penegak hukum sangat bisa melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Pada era Reformasi tidak hanya pemerintah yang memiliki posisi tidak aman, penegak hukum

(17)

tugas, siapapun, dari golongan manapun yang melakukan korupsi harus diselidiki, tidak pandang

bulu. Dapat dikatakan bahwa di era ini, KPK lah yang menjadi „pahlawan‟ pemberantas korupsi,

mengalahkan posisi pemerintah, bahkan penegak hukum. KPK memang lembaga bentukan

pemerintah, namun mereka bergerak secara independen. Penegak hukum tidak lagi bisa dipercaya

untuk memberantas korupsi, karena beberapa di antara mereka ternyata juga melakukan korupsi. Peran „pahlawan‟ itu kini bergeser, dari penegak hukum ke KPK.

Bentuk the frame of public responsibility Suara Merdeka di era Reformasi adalah pemberitaan tentang

kasus korupsi yang melibatkan petinggi penegak hukum, Menteri, dan lain-lain. Kasus korupsi yang

terungkap pada era Reformasi cenderung lebih kompleks. Kompleksitas kasus korupsi di era

Reformasi ini dapat dilihat dari jumlah orang yang terlibat dalam sebuah kasus.Hampir semua kasus

korupsi dalam headline-headline era Reformasi ini melibakan lebih dari satu tersangka. Contohnya, dalam kasus suap hakim tipikor, memang pada awalnya yang berhasil terungkap hanya hakim

Kartini Marpaung, namun setelah diselidiki lebih lanjut, kasus tersebut melibatkan beberapa hakim,

seperti hakim Lilik Nuraini, Asmadinata, dan Heru Kusbandono. Ada keterkaitan antara tersangka

satu dengan tersangka lainnya. Berawal dari tertangkapnya hakim Kartini, membuat Mahkamah

Agung lebih mewaspadai hakim-hakim yang mengeluaarkan vonis bebas kepada tersangka tindak

pidana korupsi.

Kasus suap tersebut pada akhirnya membentuk sebuah circle yang melibatkan banyak „pemain‟. Kecurigaan merebaknya praktik suap berawal dari banyaknya vonis bebas bagi para tersangka tindak pidana korupsi. Kasus ini melibatkan 2 pihak, pihak yang menyuap dan pihak yang

disuap. Yang menyuap adalah mantan Ketua DPRD Grobogan. Ternyata mantan Ketua DPRD

Grobogan, M.Yaeni memiliki kedekatan pibadi dengan hakim Heru. Suap tidak secara langsung

diberikan oleh Yaeni kepada hakim Kartini, namun lewat seseorang bernama Sri Dartuti.Dari kasus

ini, dapat disimpulkan bahwa pada era Reformasi ini pemerintah berusaha menutupi korupsinya

lewat jalur kerjasama dengan para penegak hukum.

Kesimpulan tersebut tidak hanya berlaku bagi kasus suap hakim Tipikor saja, tetapi juga

berlaku bagi kasus mantan Ketua MK, Akil Mochtar. Akil Mochtar terlibat kasus suap dengan

beberapa calon kepala daerah dalam Pilihan Kepala Daerah (Pilkada), khususnya Provinsi

Banten.Seperti yang kita tahu, di media-media lain, ada beberapa kasus lagi yang mungkin tidak

tercantum dalam ketujuh headline Suara Merdeka era Reformasi, mengindikasikan adanya kerjasama antara pemerintah daerah dan penegak hukum. Kasus korupsi pada era Reformasi tidak

hanya menyeret para penegak hukum ke balik meja peradilan, namun juga deretan nama

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Atmakusumah. (2009). Tuntutan Zaman Kebebasan Pers dan Ekspresi. Jakarta: Spasi & VHR book

bekerjasama dengan Yayasan Tifa.

Badjuri, Achmad. (2011). Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sebagai Lembaga Anti Korupsi

Di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Maret, 18(1), 84-96.

Diansyah, Febri. (2009). Senjakala Pemberantasan Korupsi; Memangkas Akar Korupsi Dari Pengadilan

Tipikor. Jurnal Konstitusi, Juli, 6(2), 7- 42.

Eriyanto. (2002). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: Lkis.

Hsieh & Shannon. (2005). Three Approaches to Qualitative Content Analysis. Qualitative Health Research

Jurnal, November, 15(9), 1277-1288

Kartodirdjo, Sartono. (2005). Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Kriyantono, Rachmat. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mallarangeng, Rizal. (2010). Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya. Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia.

Mudzakkir. (2011). Laporan Akhir Tim Kompendium Hukum Tentang Lembaga Pemberantasan Korupsi.

Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Hasil belajar mahasiswa dengan melihat kualitas kemampuan berpikir kritis dan kemandirian belajar mahasiswa melalui pendekatan

Hal tentang perubahan tingkah laku peserta didik dapat diatasi melalui suatu proses pembelajaran dimana pada proses pembelajaran tersebut dibagi menjadi dua

Untuk menjawab permasalahan yang muncul tersebut mengenai bagaimana sebuah alat penampil informasi selain dapat menampilkan informasi dapat memiliki kesan artistik

Mencari bobot llOlmal tiap parameter dengan cara membagi nilai bobot relatif tiap parameter dengan total bobot relatif dari semua parameter tersebut. Perhitungan

Hasil dari penelitian ini adalah aplikasi chatting yang memiliki fitur-fitur tambahan yaitu penerjemahan pesan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dan

MATA Bisa menyebabkan iritasi mata pada orang yang rentan.. Efek spesifik

Kemudian, Panel DSB memutuskan bahwa pemerintah Korea Selatan telah melanggar ketentuan yang berkenaan dengan penentuan dumping dan penentuan kerugian dalam

Balai Besar Veteriner Denpasar (BBV Denpasar) telah melakukan pengembangan metoda indirect FAT Rabies dengan menggunakan antibodi monoklonal yang berasal dari