• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

Deformasi Interseismic di Zona Subduksi Sumatra

3.1 Data Catatan Sejarah Gempa Besar di Zona Subduksi Sumatra

Data catatan sejarah gempa besar pada masa lalu yang pernah terjadi di suatu daerah dapat diperoleh dari cerita masyarakat serta penelitian-penelitian kebumian. Salah satu penelitian gempa bumi paling tua yang dikenal oleh manusia adalah penelitian pertumbuhan pada terumbu karang. Berdasarkan data penelitian pertumbuhan terumbu karang di sekitar kepulauan Mentawai dan kepulauan Batu yang dilakukan oleh LIPI bekerjasama dengan California Technology, gempa bumi dengan kekuatan yang cukup besar pernah terjadi di sekitar daerah tersebut, yaitu tahun 1381, 1608, 1797, 1833, dan terakhir tahun 1861 [Natawidjaja, 2004].

Gempa bumi yang terjadi di sekitar Sumatra sangat dipengaruhi oleh aktifitas tektonik zona subduksi Sumatra. Sebagian besar gempa bumi yang terjadi di sekitar Sumatra, baik gempa kecil maupun gempa besar, berasal dari zona subduksi tersebut. Sejarah mencatat gempa bumi berkekuatan cukup besar pernah terjadi di zona subduksi Sumatra, antara lain di sekitar kepulauan Mentawai dan kepulauan Batu tahun 1797 (8,3 Mw), 1833 (9 Mw), dan 1935 (7,7 Mw), di sekitar Nias-Simeuleu tahun 1861 (8,5 Mw) dan 1907 (8,5 Mw), hingga gempa Aceh-Andaman tahun 2004 (9,2 Mw) dan gempa Nias tahun 2005 (8,7 Mw), dengan bidang patah masing-masing gempa seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.

(2)

Gambar 3.1 Catatan sejarah gempa besar yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra [Natawidjaja, 2004].

Berikut catatan sejarah gempa besar yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra, yang dirangkum dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Catatan sejarah gempa besar yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra.

Lokasi Tahun Kekuatan (Mw)

Mentawai 1381 ? Mentawai 1608 ? Siberut 1797 8,3 Mentawai 1833 9 Nias-Simeuleu 1861 8,5 Aceh-Andaman 1881 7,9 Nias-Simeuleu 1907 8,5 Siberut-Kep. Batu 1935 7,7 Enggano 2000 7,9 Aceh-Andaman 2004 9,2 Nias-Simeuleu 2005 8,7

(3)

3.2 Tektonik Setting Zona Subduksi Sumatra

Sejarah tektonik setting di sekitar pulau Sumatra erat kaitannya dengan peristiwa tumbukan antar lempeng yang terjadi antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia pada masa lalu. Peristiwa tumbukan tersebut mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempeng, yang sebelumnya bergerak bebas. Manifestasi dari tumbukan lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia tersebut membentuk zona subduksi di sepanjang pantai barat Sumatra serta patahan (sesar) yang membentang dari utara hingga selatan Sumatra, yang dinamakan dengan Sesar Semangko atau Sumatra Fault Zone (SFZ).

Lempeng tektonik bergerak relatif terhadap lempeng tektonik lain secara tidak beraturan. Ketidak teraturan tersebut terutama dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik disekitarnya yang berlainan pula, dan tentunya konfigurasi material batuan lempeng yang tidak homogen itu sendiri. Suatu lempeng tektonik dapat terbagi lagi kedalam blok-blok lempeng regionalnya, yang bergerak relatif satu sama lain. Contohnya lempeng Eurasia yang terbagi lagi menjadi blok-blok lempeng regional, yang salah satunya untuk wilayah Sumatra dan Indonesia bagian barat dinamakan Sunda block.

Dalam kaitannya dengan studi potensi gempa bumi, deformasi yang terjadi idealnya hanya dipengaruhi oleh fenomena yang diamati, tanpa pengaruh yang lain. Deformasi yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra tentu saja dipengaruhi pula oleh pergerakan lempeng regionalnya atau Sunda block. Sehingga untuk memperoleh fenomena deformasi interseismic yang terjadi si sekitar zona subduksi Sumatra, tentunya efek pergerakan Sunda block harus diekstrak terlebih dahulu. Berdasarkan hasil pengamatan GPS yang terdapat di wilayah Sumatra dan sekitarnya, vektor pergeseran Sunda block adalah ±2 cm/tahun yang bergerak relatif ke arah timur [Calais, 2006].

(4)

Gambar 3.2 Pergerakan blok-blok tektonik pada lempeng regional Eurasia di Asia Tenggara. Garis berwarna hijau menunjukkan lempeng regional Sunda block [Calais, 2006].

Tektonik setting di sekitar Sumatra menunjukkan bahwa aktifitas tektonik disekitarnya telah mengakibatkan kemiringan penunjaman terhadap pulau Sumatra telah terfragmentasi menjadi segmen-segmen akibat proses yang terjadi. Dari hasil data GPS, deformasi interseismic dari vektor pergerakan segmen Bengkulu-Mentawai cenderung searah dengan pergerakan lempengnya, sedangkan segmen Aceh-Nias cenderung sejajar dengan garis sesar Sumatra, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.2. Hal ini menunjukkan bidang kontak (coupling zone) di segmen selatan relatif lebih kuat daripada segmen utara. Sehingga dihipotesa bahwa coupling zone segmen utara selain dipengaruhi aktifitas dari zona subduksi, dipengaruhi juga oleh aktifitas tektonik lainnya seperti sesar besar Sumatra [Prawirodirdjo, 1997].

(5)

Gambar 3.3 Tektonik setting di zona subduksi Sumatra berdasarkan pola deformasi

interseismic, yang membagi zona subduksi Sumatra menjadi segmen utara-selatan. Panah

berwarna biru diperoleh dari data hasil pengamatan GPS, sedangkan panah berwarna coklat diperoleh dari hasil pemodelan [Prawirodirdjo, 1997].

Perbedaan kecepatan pergerakan lempeng di masing-masing lokasinya mengakibatkan perbedaan pula terhadap kecepatan penunjaman yang terjadi di zona subduksi Sumatra. Dimana velocity rate per tahunnya yang diperoleh dari data GPS, menunjukkan bahwa kecepatan penunjaman semakin besar menuju selatan di sepanjang zona subduksi Sumatra bahkan hingga selatan Jawa. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.4, bahwa velocity rate di segmen Bengkulu-Mentawai dari utara ke selatan adalah sekitar 57 mm/tahun hingga 60 mm/tahun.

(6)

Gambar 3.4 Tektonik setting di zona subduksi Sumatra berdasarkan velocity rate penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Semakin ke selatan, velocity

rate penunjamannya semakin besar [Lasitha, 2006].

Selain itu, kemiringan (dip slip) penunjaman zona subduksi Sumatra juga berbeda-beda. Dip slip dapat diketahui dari trend linier kedalaman sebaran gempanya, dimana kedalaman sebaran gempa menunjukkan kedalaman dari coupling zone antar kedua lempeng yang bersubduksi. Berdasarkan data sebaran gempa yang pernah terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra, bahwa dip slip penunjaman menunjukkan semakin ke selatan semakin besar atau dalam. Dari data kedalaman sebaran gempa baik akibat gempa Aceh 2004 maupun gempa Nias 2005 menunjukkan dip slip segmen Aceh-Nias ± 8o. Sedangkan dari data kedalaman sebaran gempa baik akibat gempa maupun gempa susulan (aftershock) menunjukkan dip slip segmen Bengkulu-Mentawai ± 12o.

(7)

3.3 Gempa Bengkulu 2007

Wilayah Bengkulu-Mentawai telah sejak lama diketahui memiliki potensi gempa bumi dengan skala besar. Data catatan sejarah gempa terbesar yang pernah terjadi yaitu tahun 1797,1833, dan 1861. Berdasarkan penelitian pertumbuhan terumbu karang yang telah dilakukan di Kepulauan Mentawai dan sekitarnya [Natawidjaja, 2004], siklus gempa didaerah tersebut menunjukkan periode gempa sekitar 200 tahun. Sebelum gempa 1797, 1833, dan 1861, dari hasil penelitian pertumbuhan terumbu karang tersebut, diketahui bahwa gempa besar juga pernah terjadi pada 1381 dan 1608. Gempa Bengkulu 2007 yang terjadi sebenarnya sudah diprediksi sebelumnya, bahwa siklus gempa wilayah Bengkulu-Mentawai akan berulang sekitar tahun 2000. Bahkan kemungkinan gempa akan terjadi lebih awal diperkuat oleh fakta bahwa gempa Aceh 2004 dan Nias 2005 semakin menambah tingkat ketegangan di daerah coupling zone. Namun perihal kapan dan dimana tepatnya gempa akan terjadi, hingga kini teknologi yang ada belum sampai disitu.

Seperti yang telah diprediksi sebelumnya, gempa Bengkulu-Mentawai akhirnya terjadi juga. Pada September 2007, serangkaian gempa bumi dengan kekuatan yang cukup besar terjadi di sekitar pantai barat Bengkulu. Gempa bumi berkekuatan 8,4 Mw terjadi pada 12 September 2007. Tak hanya sampai disitu, sehari kemudian gempa bumi dengan kekuatan yang tak kalah hebatnya kembali terjadi, kali ini bahkan hingga dua kali yaitu gempa berkekuatan 7,8 Mw di sekitar pulau Pagai yang memecah keheningan pagi dan gempa berkekuatan 7,1 Mw di sekitar pulau Sipora yang terjadi beberapa jam kemudian. Kedua gempa yang terjadi sehari kemudian tersebut, sulit untuk diklasifikasikan sebagai gempa susulan karena skalanya terlalu besar. Oleh karena itu, kedua gempa tersebut lebih cocok untuk disebut sebagai sumber gempa baru yang terpicu oleh hentakan gempa yang pertama [Meilano, 2007].

(8)

Berdasarkan bidang yang pecah saat gempa 1833, sebenarnya segmen Bengkulu-Mentawai dikhawatirkan akan terjadi gempa besar dengan kekuatan hingga 9 Mw jika bidang tersebut pecah kembali secara bersamaan. Namun setelah rentetan kejadian gempa 12 dan 13 September 2007 tersebut, kekhawatiran akan terjadi gempa dengan kekuatan hingga 9 Mw menjadi lebih kecil. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 4.1, bahwa bidang gempa 1833 telah terpecah menjadi bidang-bidang yang lebih kecil. Mekanisme ini disebut dengan stress transfer, yang juga dapat mempercepat kemungkinan terjadinya gempa di wilayah sekitarnya yang belum terjadi gempa. Sehingga rangkaian gempa tanggal 12 dan 13 September 2007 diperkirakan tidak berhenti sampai disitu, gempa tersebut juga akan mempercepat terjadinya gempa di bidang gempa sekitar pulau Siberut yang belum pecah, seperti pada Gambar 3.3 yang ditunjukkan dengan arsir berwarna merah.

Gambar 3.6 Bidang gempa 1833 dan 1861 yang sudah patah, yang ditunjukkan dengan garis putus-putus kecil, dan bidang gempa yang belum patah, yag ditunjukkan dengan arsir

(9)

Faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya suatu bidang potensi gempa akan pecah sangat tergantung dari banyak faktor. Salah satu faktornya adalah tingkat kuncian coupling zone bidang potensi gempa tersebut. seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagian selatan Sumatra tingkat kunciannya lebih kuat dibandingkan bagian utara yang lebih rapuh [Prawirodirdjo, 1997]. Sehingga semakin rendah tingkat kunciannya batas lempeng tersebut akan semakin mudah pecah. Hal ini diperkuat juga dengan peristiwa pecahnya bidang gempa Bengkulu 2007 yang tersegmen-segmen menjadi lebih kecil. Sedangkan segmen sekitar pulau Siberut yang belum pecah mengindikasikan kembali bahwa tingkat kuncian didaerah tersebut lebih kuat dibangkankan dengan bidang yang lain. Faktor yang mempengaruhi tingkat kuncian juga sangat kompleks, kaitannya dengan struktur material batuan lempeng itu sendiri yang heterogen.

Dari hipotesa awal data seismik dan geologi, gempa berskala 8.4 tersebut diperkirakan meluluh lantakkan zona batas lempeng di bawah wilayah antara pulau Enggano dan Pagai seluas ~300 x 100 km2 dan menggerakkan bumi di atasnya beberapa meter, lebih kecil dibandingkan dengan gempa Aceh-Andaman yang luas lempeng pecahnya mencapai 1600 km dan pergerakannya mencapai 30 meter. Bidang batas lempeng di sekitar Bengkulu-Mentawai memiliki kemiringan yang landai sekitar 12˚ ke arah timur sehingga pergerakan beberapa meter ke arah barat ini hanya mengangkat dasar laut beberapa puluh sentimeter saja. Inilah penjelasan logis mengapa tsunami yang terjadi tidak besar [Natawidjaja, 2007].

3.4 Pola Deformasi Interseismic Gempa Bengkulu 2007 dari Data GPS Kontinyu SuGAr

Data GPS yang digunakan dalam analisis pola deformasi interseismic sebelum gempa Bengkulu 2007 adalah data hasil pengolahan stasiun GPS kontinyu SuGAr. Banyaknya data yang digunakan adalah selama ±120 hari sejak 1 Januari 2007. Karena alasan ketersediaan data, maka stasiun GPS kontinyu SuGAr yang digunakan berjumlah 22 stasiun dari 29 stasiun yang ada hingga tahun 2006. Adapun deskripsi dari 22 stasiun tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.2, dengan sebaran lokasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.4.

(10)

Tabel 3.2 Deskripsi 22 stasiun GPS kontinyu SuGAr yang digunakan dalam analisis pola deformasi interseismic sebelum gempa Bengkulu 2007.

No Nama Lokasi Bujur Lintang Instalasi

1 ABGS Air Bangis E 99° 23' 14'' N 0° 13' 14'' 03-09-2004 2 ACEH Banda Aceh E 95° 22' 6'' N 5° 34' 9"

3 BITI Biouti, Nias E 97° 48' 40'' N 1° 4' 43'' 22-08-2005 4 BSAT Bulasat, Pulau Pagai

Selatan

E 100° 17' 4'' S 3° 4' 36'' 21-09-2002

5 BSIM Bandara Simeuleu E 96° 19' 34'' N 2° 24' 33'' 01-02-2004 6 BTET Betaet E 98° 38' 38'' S 1° 16' 53'' 09-08-2005 7 BTHL Botohilithano E 97° 42' 38'' N 0° 34' 9'' 15-08-2005 8 JMBI Universitas Jambi E 103° 31' 13'' S 1° 36' 56'' 26-08-2004 9 LAIS Lais, Bengkulu E 102° 2' 1'' S 3° 31' 44'' 04-02-2006 10 LHWA Lahewa, Pulau Nias E 97° 10' 18'' N 1° 23' 48'' 14-02-2005 11 LNNG Lunang, Indonesia E 101° 9' 23'' S 2° 17' 7'' 22-08-2004 12 MKMK Bandara Muko-muko E 101° 5' 29'' S 2° 32' 33'' 23-08-2004 13 MLKN Malakoni, Pulau

Enggano

E 102° 16' 35'' S 5° 21' 9'' 02-08-2005

14 MNNA Manna, Bengkulu Selatan

E 102° 53' 24'' S 4° 27' 1'' 28-02-2006

15 PBLI Pulau Balai E 97° 24' 19'' N 2° 18' 30'' 18-08-2005 16 PPNJ Pulau Panjang,

Tuapejat

E 99° 36' 13'' S 1° 59' 38'' 13-08-2004

17 PRKB Parak Batu, Pulau Pagai Selatan

E 100° 23' 58'' S 2° 57' 59'' 07-08-2004

18 PSKI Pulau Sikuai E 100° 21' 12'' S 1° 7' 29'' 05-08-2002 19 PSMK Pulau Simuk E 97° 51' 39'' S 0° 5' 21'' 19-08-2002

20 SAMP Sampali, Sumatera Utara

E 100° 0' 34'' S 2° 45' 58'' 09-08-2004

21 TIKU Tiku E 99° 56' 39'' S 0° 23' 56'' 07-03-2006 22 UMLH Ujung Muloh, Banda

Aceh

(11)

Gambar 3.7 Sebaran stasiun GPS kontinyu SuGAr [http://sopac.ucsd.edu, 2007].

Strategi pengolahan datanya menggunakan data, baik data kode atau pseudorange maupun data beda fase. Selain itu mengestimasi pula efek atmosfer, kesalahan orbit satelit, kesalahan jam receiver, dan ambiguitas fase per harinya, yang dalam software ilmiah Bernesse telah dijadikan satu paket, yang disebut Bernesse Proccessing Engine (BPE). Setelah itu titik-titik tersebut juga diikatkan ke titik permanen atau referensi International GNSS Service (IGS), yang tersebar sekitar Sumatra. Titik-titik IGS yang digunakan adalah titik-titik yang telah dikoreksi terhadap efek geodinamika, yang direalisasikan dalam kerangka referensi sistem koordinat International Terrestrial Reference Frame 2005 (ITRF 2005).

aceh

tiku

lais samp

(12)

Pola deformasi interseismic gempa Bengkulu 2007 diperoleh dengan melakukan langkah-langkah pengolahan data sebagai berikut :

• Transformasi koordinat geosentrik hasil pengolahan data GPS ke koordinat toposentrik, dengan titik pertama pengamatan dijadikan sebagai acuan.

Plotting timeseries pada masing-masing komponen northing dan easting. • Estimasi komponen non-linier yang masih terdapat dalam data hasil

pengolahan GPS dengan menggunakan Fourier transform. Proses linear fitting untuk memperoleh fungsi liniernya.

Menghitung velocity rate per tahun dari fungsi liniernya.

Menghilangkan efek pergerakan lempeng regional Sunda block, dengan mengkoreksi velocity rate.

Plotting vektor pergeseran untuk melihat pola deformasi interseismic dari vektor pergeserannya.

Berikut diagram alur pengolahan datanya ditunjukkan pada Gambar 3.8 :

Gambar 3.8 Diagram alur pengolahan data. Transformasi koordinat

Plotting timeseries

Fourier transform

Linear fitting

Menghitung velocity rate per tahun

Koreksi Pergerakan Sunda block

Plotting vektor pergeseran

Pemodelan deformasi interseismic

Plotting model

deformasi interseismic

Plotting perbandingan vektor

(13)

3.4.1 Timeseries Sebelum Gempa Bengkulu 2007

Dari data hasil pengolahan harian stasiun GPS kontinyu SuGAr, lalu dilakukan transformasi koordinat dari geosentrik ke toposenstrik, yang hasilnya dapat dilihat pada bagian Lampiran 1. Koordinat toposentrik digunakan karena fenomena yang akan diamati adalah pergerakan titik di permukaan bumi relatif terhadap titik di permukaan bumi lainnya sebagai acuan. Sehingga perlu dilakukan transformasi pusat sistem koordinatnya dari pusat bumi ke permukaan bumi.

Hasil plotting koordinat toposentrik tersebut akan membentuk timeseries per stasiun, dengan sumbu-x sebagai fungsi waktu dan sumbu-y sebagai fungsi dari komponen baik northing maupun easting. Setelah itu dilakukan linear fitting untuk memperoleh trend linier pergeserannya. Linear fitting diperoleh dari hasil estimasi dengan menggunakan Least Square Equation. Alasan penggunaan linear fitting adalah dikarenakan fenomena deformasi interseismic merupakan fungsi yang linier. Sehingga faktor-faktor yang non-linier yang terdapat dalam data harus dihilangkan.

Data hasil pengolahan GPS ternyata masih memiliki faktor non-linier. Faktor non-linier tersebut dapat terlihat pada hasil plotting berupa pola sinusoidal, yang merupakan variasi musiman yang belum tereduksi ketika pengolahan data GPS. Sehingga sebelum dilakukan linear fitting dilakukan terleih dahulu estimasi terhadap pola sinusiodal tersebut dengan menggunakan Fourier transform. Dalam tugas akhir ini, linear fitting dan Fourier transform diperoleh secara langsung dengan menggunakan script Matlab, yang dapat dilihat pada bagian Lampiran 2.

Proses yang dilakukan untuk 8 titik di segmen Aceh-Nias, yaitu ACEH, BITI, BSIM, BTHL, LHWA, PBLI, SAMP, dan UMLH hanya linear fitting saja. Gambar 3.9 dan 3.10 menunjukkan linear fitting titik-titik ACEH dan SAMP untuk masing-masing komponen northing dan easting. Sedangkan proses linear fitting, untuk komponen northing, pada 14 titik di segmen Bengkulu-Mentawai diperoleh dari hasil Fourier transform. Data yang digunakan pada Masing-masing komponen hingga hari ke-62 saja, karena faktor noise setelah hari ke-62 yang cukup tinggi, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.11, 3.12, 3.13, dan 3.14. Hasil linier fitting dari timeseries titik

(14)

Gambar 3.9 Hasil linear fitting dari timeseries titik ACEH, yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah.

Gambar 3.10 Hasil linear fitting dari timeseries titik SAMP, yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah.

(15)

Gambar 3.11 Hasil linear fitting dari timeseries titik JMBI, hingga hari ke-62 (garis tebal putus-putus), yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Garis warna merah muda adalah original timeseries dan garis warna biru hasil Fourier transform (gambar bawah).

(16)

Gambar 3.13 Hasil linear fitting dari timeseries titik MKMK, hingga hari ke-62 (garis tebal putus-putus), yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Garis warna merah muda adalah original timeseries dan garis warna biru hasil Fourier transform (gambar bawah).

Gambar 3.14 Hasil linear fitting dari timeseries titik PRKB, hingga hari ke-62 (garis tebal putus-putus), yang ditunjukkan oleh garis lurus warna merah. Garis warna merah muda adalah original timeseries dan garis warna biru hasil Fourier transform (gambar bawah).

(17)

3.4.2 Reduksi Efek Pergerakan Sunda Block

Dari hasil linear fitting yang telah dilakukan, diperoleh koefisien liniernya yang digunakan untuk menghitung velocity rate per tahunnya. Dari perhitungan koefisien hasil linear fitting, dengan cara memasukkan faktor pengali waktu menjadi satu tahun (365 hari), maka diperoleh velocity rate per tahunnya dari 22 stasiun GPS kontinyu SuGAr. Namun hasil perhitungan velocity rate tersebut masih dipengaruhi pergerakan lempeng regionalnya yang dinamakan Sunda block. Sehingga untuk memperoleh deformasi interseismic-nya saja, tanpa dipengaruhi deformasi yang lain, perlu dilakukan pengekstrakan efek pergerakan Sunda block tersebut, yaitu dengan cara mereduksi velocity rate tersebut dengan model velocity rate Sunda block. Model velocity rate Sunda block yang digunakan pada tugas akhir ini adalah model yang dibuat oleh Bock (2000) dengan menggunakan script Matlab, yang dapat dilihat pada bagian Lampiran 4.

Tabel 3.3 menunjukkan hasil perhitungan velocity rate dari linear fitting, sebelum dan setelah diekstrak efek pergerakan Sunda block-nya, beserta residunya pada masing-masing komponen easting dan northing. Dari hasil reduksi yang dilakukan dapat dilihat bahwa efek pergerakan Sunda block mempengaruhi nilai pergerakan titik-titik sebesar ±2 cm/tahun relatif ke arah timur. Baris yang ditandai dengan arsir warna kuning menunjukkan 8 buah stasiun SuGAr segmen Aceh-Nias.

(18)

Tabel 3.3 Velocity rate per tahun dari stasiun GPS kontinyu SuGAr, sebelum dan setelah diekstrak efek pergerakan Sunda block-nya.

No Titik Ve Vn SdN Vektor Pergeseran Setelah diekstrak (m/th) Sebelum diekstrak (m/thn) Setelah diekstrak (m/thn) SdE Sebelum diekstrak (m/thn) Setelah diekstrak (m/thn) 1 abgs 0.02973 0.00999 0.04768 0.00687 0.00753 0.02649 0.01251 2 aceh -0.13662 -0.15596 0.06375 -0.13980 -0.14024 0.03168 0.20974 3 biti -0.06272 -0.08224 0.07401 -0.04088 -0.04045 0.03930 0.09165 4 bsat 0.04414 0.02442 0.04855 0.01400 0.01526 0.02817 0.02880 5 bsim -0.07384 -0.09318 0.06853 -0.06112 -0.06098 0.04242 0.11136 6 btet 0.03364 0.01410 0.04952 -0.01040 -0.00953 0.02876 0.01702 7 bthl -0.06009 -0.07957 0.07097 -0.03893 -0.03841 0.04849 0.08836 8 jmbi 0.04626 0.02592 0.04631 -0.00285 -0.00168 0.02937 0.02597 9 lais 0.03587 0.01588 0.04860 0.00420 0.00562 0.03048 0.01685 10 lhwa -0.07822 -0.09764 0.06931 -0.08577 -0.08542 0.04656 0.12973 11 lnng 0.04399 0.02408 0.06182 0.00454 0.00571 0.02501 0.02475 12 mkmk 0.04765 0.02777 0.04470 0.00937 0.01058 0.02630 0.02971 13 mlkn 0.04133 0.02139 0.04416 0.00840 0.01014 0.02667 0.02367 14 mnna 0.03357 0.01348 0.05180 0.00102 0.00264 0.02775 0.01374 15 pbli -0.05158 -0.07110 0.06576 -0.05116 -0.05095 0.04134 0.08747 16 ppnj 0.03859 0.01892 0.04503 0.01010 0.01114 0.02729 0.02196 17 prkb 0.03581 0.01607 0.04882 0.01535 0.01660 0.03027 0.02310 18 pski 0.03623 0.01640 0.04689 -0.00019 0.00075 0.02636 0.01641 19 psmk 0.00584 -0.01362 0.04466 -0.00443 -0.00380 0.02512 0.01414 20 samp -0.04046 -0.06026 0.06405 -0.04976 -0.04970 0.03578 0.07811 21 tiku 0.02436 0.00455 0.04475 0.00016 0.00095 0.02738 0.00465 22 umlh -0.14583 -0.16515 0.06570 -0.14584 -0.14619 0.04263 0.22055 / residu / residu

(19)

3.4.3 Vektor Pergeseran Sebelum Gempa Bengkulu 2007

Nilai velocity rate per tahun yang telah diperoleh kemudian diplot dengan menggunakan software GMT. Gambar 3.15 menunjukkan hasil plotting velocity rate per tahun dari stasiun GPS kontinyu SuGAr sebelum gempa Bengkulu 2007. Namun vektor pergeseran tersebut masih dipengaruhi efek pergerakan lempeng regionalnya atau Sunda block. Sehingga perlu dilakukan pengekstrakan efek pergerakan Sunda block-nya, untuk memperoleh aktifitas deformasi interseismic-nya saja.

Gambar 3.15 Hasil plotting vektor pergeseran stasiun GPS kontinyu SuGAr sebelum diekstrak efek pergerakan Sunda block-nya.

Indo-Australia

5 cm/thn

2 cm/thn Trench

(20)

Velocity rate pergerakan Sunda block salah satunya diperoleh dari hasil pengamatan GPS. Titik-titik pengamatan GPS, sedapat mungkin tersebar secara merata si seluruh bloknya, sehingga model yang didapat merepresentasikan keadaan sebenarnya. Model pergerakan Sunda block yang dibuat, menggunakan prinsip interpolasi untuk dapat mengetahui efek pergerakan Sunda block di lokasi yang diinginkan. Nilai pergeseran Sunda block adalah ±2 cm/tahun yang bergerak relatif ke arah timur. Efek pergerakan Sunda block di titik-titik GPS kontinyu SuGAr dapat dilihat pada Gambar 3.16.

Gambar 3.16 Hasil plotting efek pergerakan Sunda block di titik-titik stasiun GPS kontinyu SuGAr. Indo-Australia 5 cm/thn 2 cm/thn Trench

Gambar

Gambar 3.1  Catatan sejarah gempa besar yang terjadi di sekitar zona subduksi Sumatra  [Natawidjaja, 2004]
Gambar 3.2  Pergerakan blok-blok tektonik pada lempeng regional Eurasia di Asia Tenggara
Gambar 3.3  Tektonik setting di zona subduksi Sumatra berdasarkan pola deformasi  interseismic, yang membagi zona subduksi Sumatra menjadi segmen utara-selatan
Gambar 3.4  Tektonik setting di zona subduksi Sumatra berdasarkan velocity rate  penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia
+7

Referensi

Dokumen terkait

transmigrasi dengan usahatani kelapa sawit.Asal transmigrasi kebanyakan dari Pulau Jawa, dimana asal transmigrasi dilakukan pada tahun 1988.Sebagai komoditas andalan

Alimul Hadi, Erlina, Agus Suriadi | Kesiapan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dalam Menghadapi Era Masyarakat Ekonomi ASEAN di Kota Medan mendalam terhadap

maka penafsiran al- Qur’an tidak bisa dihindari dan sangat dibutuhkan dengan penafsiran yang benar karena al-Qur’an berisi berbagai informasi keilmuan dan mengayomi segala

Anggrek termasuk salah satu kelompok tumbuhan kosmopolitan yang hampir tersebar di seluruh bagian dunia. Akan tetapi tipe dan keberadaan suatu vegetasi ada kalanya dapat

Orang- orang merasa bimbang kenapa Nichiren, yang mengakui sebagai seorang pelaksana Saddharma Pundarika Sutra harus dihadapi oleh begitu banyak penganiayaan dan

Ruang lingkup mata pelajaran Fiqih di Madrasah Aliyah meliputi : kajian tentang prinsip-prinsip ibadah dan syari’at dalam Islam; Ruang lingkup mata pelajaran Fiqih di Madrasah

Ketika lampu obstacle berintensitas tinggi, Tipe A, digunakan, maka lampu-lampu tersebut harus diletakkan dengan jarak yang sama tidak lebih dari 105 m antara permukaan