DI INDONESIA PASCA KRISIS
(TAHUN 1999-2005)
OLEH NURALIYAH
H14094025
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Dari tahun 1968 sampai dengan 1997, Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu lebih dari 7 persen. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut mendadak berakhir dengan adanya krisis keuangan asing yang dimulai pada tahun 1997. Mengikuti devaluasi baht Thailand, rupiah terdepresiasi dari 3.000 rupiah per dolar Amerika pada bulan Agustus 1997 menjadi sekitar 15.000 pada bulan Juni 1998. Hal tersebut membuat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 13,18 persen yang dibarengi tidak terkendalinya tingkat inflasi. Tingkat inflasi mencapai lebih dari 50 persen yang merupakan inflasi tertinggi sejak 1960an. Fluktuasi yang tajam dalam perekonomian Indonesia sedikit banyak berpengaruh terhadap standar hidup dan distribusi pendapatan. Masyarakat Indonesia bukan hanya menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun bagaimana pertumbuhan ekonomi itu mampu menyebar disetiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Pertumbuhan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi tingkat ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Ketimpangan ekonomi, khususnya ketimpangan pendapatan merupakan suatu keadaan dimana distribusi pendapatan masyarakat menunjukan keadaan yang tidak merata dan lebih menguntungkan golongan-golongan tertentu. Di lain pihak ada golongan-golongan berpendapatan tertentu yang merasa kurang diperhatikan dan cenderung kurang menikmati hasil-hasil pembangunan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tren dan dekomposisi ketimpangan di Indonesia menurut lokasi (kota-desa), pulau dan provinsi, umur, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin.
Alat analisis yang digunakan untuk mengukur ketimpangan dalam penelitian ini adalah Indeks Theil dan Koefisien Gini. Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi pendapatan per kapita rumahtangga di Indonesia adalah data pengeluaran yang diperoleh dari Susenas, yang disebabkan karena sulitnya memperoleh data pendapatan rumahtangga. Selain itu penduduk Indonesia terkenal dengan “low profile” dalam hal memberikan informasi pendapatan ketika enumerator menanyakan pendapatan yang diperoleh.
Hasil penelitian ini menunjukkan faktor pendidikan yang paling berpengaruh terhadap ketimpangan di Indonesia. Tren ketimpangan di Indonesia selama periode 1999-2005 baik yang diukur dengan indeks Theil dan Koefisien Gini mengalami peningkatan. Demikian pula jika mengamati ketimpangan pengeluaran per kapita rumahtangga di perkotaan dan di pedesaan, dimana masing-masing juga meningkat. Ketimpangan di perkotaan selalu lebih besar dibandingkan di pedesaan. Ketimpangan pendapatan antar provinsi memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada total ketimpangan. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan ketimpangan paling tinggi pada tahun 2002. Sementara itu pada periode 1999-2005, ketimpangan antar pulau ternyata tidak memberikan pengaruh
tidak akan memengaruhi ketimpangan di Indonesia. Sedangkan ketimpangan antar kelompok umur tidak berpengaruh terhadap ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan metode Theil ternyata ketimpangan antar tingkat pendidikan pada periode 1999-2005 memberikan kontribusi yang signifikan terhadap total ketimpangan.
Kontribusi yang diberikan oleh ketimpangan pendapatan antar jenis kelamin ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total ketimpangan. Kontribusi ketimpangan antar kelompok pada periode 1999-2005 kurang dari 1 persen terhadap total ketimpangan, yang berarti faktor jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap total ketimpangan.
OLEH NURALIYAH
H14094025
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Pasca Krisis (Tahun 1999-2005) Nama : Nuraliyah
NRP : H14094025
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc NIP. 19641018 199103 2 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP. 19641022 198903 1 003
Dr. Ir.DD Rina O72
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Oktober 2009
N u r a l i y a h H14094025
Penulis bernama Nuraliyah lahir pada tanggal 7 Januari 1976 di Jakarta. Penulis merupakan anak dari pasangan Bapak Syamsuar dan Ibu Nurlaeli. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 010 pagi Jakarta Timur pada tahun 1987, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 62 Jakarta pada tahun 1990. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 54 Jakarta dan lulus pada tahun 1993.
Setelah tamat SMU, pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan ke Akademi Ilmu Statistik (AIS) Jakarta, tamat pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan kuliah ke jenjang S-1 di Universita Terbuka, dan tamat pada tahun 2001. Lulus dari Akademi Ilmu Statistik, penulis langsung ditempatkan untuk bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta sampai saat ini.
penyusunan skripsi yang berjudul “Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian penyusunan skripsi ini terutama kepada Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc yang memberikan bimbingan baik teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Widyastutik, M.Si yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Meskipun demikian, semua kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang memberikan dorongan sepenuhnya, kedua permata hatiku, yaitu Adiva Razita Syazwani dan Bianca Azra Syazwani, dan kepada saudara-saudara yang penulis sayangi serta teman-teman yang memberi dukungan serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Oktober 2009
N u r a l i y a h H14094025
Puji syukur yang tiada henti kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,
karunia dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan dan
penulisan skripsi ini. Penulis berkewajiban mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan moral-spritual dan material
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:
1. Dr. Rusman Heriawan, M.S, sebagai Kepala BPS beserta staf dan jajarannya
yang telah memberikan kesempatan sangat berharga kepada penulis
melanjutkan studi ke IPB.
2. Kepala Pusdiklat BPS beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan
kepercayaan kepada penulis guna melanjutkan studi ke IPB.
3. Dedi Budiman Hakim, Ph.D, sebagai Ketua Departemen Ekonomi Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor beserta staf dan jajarannya
atas semua keramahtamahannya menerima penulis sebagai peserta didiknya.
4. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc, selaku dosen pembimbing, semoga Tuhan
senantiasa memberikan Berkat Melimpah atas kesabaran, ketelatenan dan
kesungguhan dalam mendampingi penulis menyusun skripsi ini.
5. Widyastutik, M.Si, selaku dosen penguji dalam sidang skripsi. Terima kasih
atas lontaran pertanyaan yang diberikan. Pertanyaan dan kritik yang diberikan
menjadi justifikasi ilmiah atas skripsi ini.
6. Papa dan Mama tercinta yang dengan cucuran keringat dan sentuhan kasih,
menyelesaikan kuliah ini dengan baik.
9. Eyang Toha dan Eyang Ratih yang tak henti-hentinya memberikan doa untuk
kebaikan diriku.
10. Dosen dan staf pengajar selama matrikulasi; Pak Parulian, Pak Alla, Bu Wid,
Firdaus, Pak Toni, Bu Rina, Bu Tantri, Bu Sri, Pak Fahmi, Bu Wiwiek, Bu
Fifi, Mbak Dian, mas Ade Kholis, Mbak Dian dan Teh Win, juga Kang Iwan
dan pasukannya, membuat IPB nyaman dan berasa di rumah sendiri.
11. Teman-teman seperjuangan bps09_s2ipb. Canda dan ceria antar kita,
menjadikan badai UTS dan UAS yang datang silih berganti semakin
menyejukkan dan mempersatukan hati kita. When we hold on together,
Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Permasalahan ... 4 1.3. Tujuan ... 5 1.4. Manfaat Penelitian ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Teori Pembangunan ... 7
2.2. Konsep Ketimpangan ... 8
2.3. Penelitian-Penelitian Terdahulu ... 11
2.4. Kerangka Pemikiran ... 16
III. METODE PENELITIAN ... 19
3.1. Jenis dan Sumber Data ... 19
3.2. Metode Analisis ... 20
3.2.1. Indeks Theil ... 20
3.2.2. KoefisienGini ... 25
IV. GAMBARAN UMUM ... 26
4.1. Perekonomian Indonesia ... 26
4.2. Struktur Ekonomi Indonesia ... 28
4.3. Pendidikan ... 29
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
5.1. Tren Ketimpangan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005) ... 31
5.2. Dekomposisi Ketimpangan di Indonesia Pasca Krisis ... 32
5.2.1. Dekomposisi Ketimpangan Menurut Lokasi (Kota-Desa)... 33
5.2.2. Dekomposisi Ketimpangan Menurut Pulau dan Provinsi ... 35
5.2.3. Dekomposisi Ketimpangan Menurut Umur ... 37
Nomor Halaman
1.1 Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita di Indonesia
1999-2007 ... 4
4.1 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Lapangan Usaha (milliar rupiah), 2002 dan 2005 ... 29
4.2 Persentase Penduduk 10 Tahun Keatas Menurut Ijazah/STTB
Tertinggi yang Dimiliki, Tahun 2005 ... 30
5.1 Tren Ketimpangan Pendapatan di Indonesia (Koefisien Gini),
Tahun 1999-2005 ... 31
5.2 Andil Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita (% dari total) ... 32
5.3 Rata-Rata Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Per Bulan di
Perkotaan dan Pedesaan ... 33
5.4 Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Lokasi ... 34
5.5 Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Pulau dan
Provinsi ... 36
5.6 Rata-Rata Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Per Bulan
Menurut Umur ... 38
5.7 Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Umur ... 39
5.8 Rata-Rata Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Rumahtangga
Per Bulan Menurut Tingkat Pendidikan ... 40
5.9 Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Tingkat
Pendidikan ... 41
5.10 Rata-Rata Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Per Bulan
Menurut Jenis Kelamin ... 42
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian mengenai distribusi pendapatan memang bukanlah hal yang
baru. Masalah ini menjadi pusat perhatian setelah adanya krisis ekonomi pada
tahun 1997. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun
1968 sampai dengan 1997 cukup tinggi yaitu lebih dari 7 persen. Pertumbuhan
ekonomi ini membawa perubahan yang signifikan dalam struktur ekonomi
Indonesia. Sektor pertanian dan pertambangan, yang menjadi motor utama
pertumbuhan pada dekade 1970an, menurun kontribusinya terhadap Pendapatan
Domestik Bruto (PDB). Kontribusi sektor industri, pada sisi lain, meningkat
secara signifikan. Akita dan Hermawan (2000) menyatakan bahwa kontribusi
sektor industri dalam PDB meningkat dari 12 persen menjadi 21 persen antara
tahun 1985 dan 1995. Pada saat yang sama gabungan kontribusi sektor pertanian
dan pertambangan menurun dari 46 persen menjadi 29 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut mendadak berakhir dengan
adanya krisis keuangan asing yang dimulai pada tahun 1997. Mengikuti devaluasi
baht Thailand, rupiah terdepresiasi dari 3.000 rupiah per dolar Amerika pada
bulan Agustus 1997 menjadi sekitar 15.000 pada bulan Juni 1998. Hal tersebut
membuat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 13,18 persen yang
dibarengi tidak terkendalinya tingkat inflasi. Tingkat inflasi mencapai lebih dari
industri selain minyak merupakan sektor-sektor yang paling terkena dampak
dimana sektor-sektor tersebut dalam nilai PDB konstan masing-masing turun
sebesar 33 persen dan 18 persen (Akita and Alisjahbana, 2002).
Fluktuasi yang tajam dalam perekonomian Indonesia cukup memengaruhi
standar hidup dan distribusi pendapatan. Pada saat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, orang-orang yang memiliki skill dan pendidikan yang tinggi banyak
menikmati keuntungan. Akan tetapi perubahan struktur ekonomi yang disebabkan
tingginya pertumbuhan juga dapat mengakibatkan seseorang tidak diuntungkan
dibandingkan dengan yang lain (Cameron, 2002). Sehingga, sebagaimana yang
ditegaskan Kuznets (1955), ketimpangan pendapatan meningkat seiring
tumbuhnya ekonomi. Krisis, pada sisi lain, berdampak terhadap seluruh strata
sosial, walaupun tidak sama. Frankenberg et al (1999) menyatakan bahwa krisis
telah berdampak negatif terhadap kelompok yang berpendapatan paling tinggi
yang diindikasikan oleh penurunan drastis tingkat pengeluaran kelompok ini.
Akan tetapi, Levinsohn et al (1999) berargumen bahwa golongan yang
berpendapatan paling rendah merupakan kelompok yang paling rentan selama
krisis berlangsung. Jika salah satu atau kedua klaim di atas benar distribusi
pendapatan dan tren ketimpangan pendapatan mungkin juga terpengaruh oleh
krisis.
Setelah krisis ekonomi berakhir, perekonomian Indonesia menunjukkan
tanda-tanda pemulihan. Walaupun demikian, pada tahun 1999, setahun setelah
krisis, pengaruh krisis masih dirasakan dimana pertumbuhan riil PDB hanya
sebagai akibat dari menurunnya ekspor dan impor. Inflasi tetap tinggi yaitu
sebesar 34,4 persen dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika masih
menunjukkan kelabilannya. Pada tahun 2002, pengaruh krisis ekonomi mulai
menghilang. Perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 3,8 persen dan laju inflasi
turun sebesar 10,5 persen. Pada tahun 2005, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,11
persen dengan laju inflasi sebesar 17,11 persen.
Pertumbuhan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat serta mengatasi tingkat ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan
sosial. Ketimpangan ekonomi, khususnya ketimpangan pendapatan merupakan
suatu keadaan dimana distribusi pendapatan di masyarakat menunjukan keadaan
yang tidak merata dan lebih menguntungkan golongan-golongan tertentu. Di lain
pihak ada golongan-golongan berpendapatan tertentu yang merasa kurang
diperhatikan dan cenderung kurang menikmati hasil-hasil pembangunan.
Masyarakat Indonesia bukan hanya menginginkan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, namun bagaimana pertumbuhan ekonomi itu mampu menyebar disetiap
golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with
equity). Salah satu kunci pemerataan itu ada di daerah. Adanya potensi lokal yang layak untuk dikembangkan dan terciptanya iklim usaha yang kondusif pada
akhirnya akan dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di suatu
daerah. Jika hal ini terjadi maka pembangunan perekonomian secara merata di
masing-masing daerah akan dapat tercipta yang pada akhirnya akan memperkuat
stabilitas pembangunan perekonomian nasional, karena pembangunan ekonomi
menyeluruh. Karena itu, diperlukan kebijakan yang bersifat integral antara pusat
dan daerah, sehingga “kue pembangunan” yang sedari awal terlalu banyak
dinikmati mereka yang berpunya dan daerah tertentu, kini bisa didistribusikan
se-cara adil baik kepada daerah ataupun seluruh rakyat.
1. 2. Permasalahan
Disamping peningkatan pendapatan, aspek pemerataan pendapatan
merupakan hal yang penting untuk dipantau, karena pemeratan hasil
pembangunan merupakan salah satu strategi dan tujuan pembangunan nasional
Indonesia. Ketimpangan dalam menikmati hasil pembangunan di antara
kelompok-kelompok penduduk dikhawatirkan akan menimbulkan masalah sosial.
Tabel 1.1. Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita di Indonesia, 1999-2007
Tahun 40 % berpengeluaran rendah 40 % berpengeluaran sedang 20 % berpengeluaran tinggi 1999 21,66 37,77 40,57 2002 20,92 36,89 42,19 2003 20,57 37,10 42,33 2004 20,80 37,13 42,07 2005 20,22 37,69 42,09 2006 19,75 38,10 42,15 2007 19,10 36,11 44,79
Sumber : Badan Pusat Statistik
Secara umum tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia
menunjukkan bahwa distribusi pengeluaran penduduk cenderung memburuk.
Bagian yang dikeluarkan oleh 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi adalah
dua kali dari 40 persen penduduk berpendapatan rendah. Pada tahun 2003, Bagian
yang dikeluarkan oleh 40 persen penduduk berpendapatan terendah menurun dari
20,92 persen pada tahun 2002 menjadi 20,57 persen pada tahun 2003, dan
menurun lagi menjadi 19,10 pada tahun 2007. Sedangkan bagian yang
dikeluarkan 20 persen penduduk berpendapatan tinggi pada tahun 2002 mencapai
42,19 persen, meningkat menjadi 42,33 persen pada tahun 2003, dan mencapai
44,79 persen pada tahun 2007. Hal ini mengindikasikan ketimpangan pendapatan
di Indonesia cenderung meningkat.
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini akan melihat tren
ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia dan dekomposisi ketimpangan
pendapatan di Indonesia menurut lokasi (kota-desa), pulau dan provinsi, umur,
tingkat pendidikan dan jenis kelamin.
1. 3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis tren ketimpangan pendapatan di Indonesia pasca krisis
2. Menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan di Indonesia menurut lokasi
1.4. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan akademis, sebagai referensi bagi penelitian yang lebih lanjut dan
mendalam.
2. Sebagai rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Pembangunan
Sejak tahun 1970 tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi
tidak lagi menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya,
melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan
ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks
perekonomian yang terus berkembang (Todarodan Smith, 2003). Sesuai dengan
tujuan pembangunan tersebut pembangunan suatu negara boleh dikatakan tidak
berhasil apabila tidak dapat mengurangi kemiskinan, memperkecil ketimpangan
pendapatan serta menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi penduduknya.
Selanjutnya Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi
ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu :
1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya (basic needs).
2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan
3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from
servitude).
Di Indonesia, istilah pembangunan sudah sejak lama menjadi terminologi
sehari-hari. Terminologi yang erat kaitannya dengan pembangunan dikenal
konsep Delapan Jalur Pemerataan yang merupakan penjabaran dari Trilogi
Pembangunan. Delapan jalur pemerataan yang dimaksud adalah pemerataan
sandang dan perumahan; (2) kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan
kesehatan; (3) pembagian pendapatan; (4) kesempatan kerja; (5) kesempatan
berusaha; (6) kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi
generasi muda dan kaum wanita; (7) penyebaran pembangunan; dan (8)
kesempatan memperoleh keadilan.
Mengacu pada definisi pembangunan di atas, maka para ekonom
merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan. Dudleey Seer dalam
Todaro dan Smith (2003) merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan
sebagai berikut: a) Tingkat ketimpangan pendapatan; b) Penurunan jumlah
kemiskinan; c) Penurunan tingkat pengangguran.
Selain itu, PBB juga telah merumuskan indikator pembangunan ekonomi,
khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator
pembangunan itu disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs), yang
terdiri dari delapan indikator keberhasilan pembangunan, yakni: (1) penghapusan
kemiskinan; (2) pendidikan untuk semua; (3) persamaan gender; (4) perlawanan
terhadap penyakit menular; (5) penurunan angka kematian anak; (6) peningkatan
kesehatan ibu; (7) pelestarian lingkungan hidup; (8) kerjasama global.
2.2. Konsep Ketimpangan
Distribusi pendapatan pada dasarnya merupakan suatu konsep mengenai
penyebaran pendapatan diantara setiap orang atau rumahtangga dalam
masyarakat. Konsep pengukuran distribusi pendapatan dapat ditunjukkan oleh dua
konsep pokok, yaitu konsep ketimpangan absolut dan konsep ketimpangan relatif.
menggunakan parameter dengan suatu nilai mutlak. Ketimpangan relatif
merupakan konsep pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang
membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang atau
sekelompok anggota masyarakat dengan besarnya total pendapatan yang diterima
oleh masyarakat secara keseluruhan (Ahluwalia dalam Sukirno, 2001).
Pembahasan ketimpangan menghendaki pendefinisian
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pendefinisian kelompok-kelompok yang sejak awal sering
digunakan adalah kelompok pendapatan. Masyarakat dibedakan menurut
kelompok-kelompok 10 persen populasi (decile), mulai dari kelompok 10 persen
populasi berpendapatan terendah, kelompok 10 persen populasi berikutnya
dengan pendapatan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Cara pengelompokkan lain
adalah berdasarkan tingkat pendapatan yaitu 40 persen populasi dengan
pendapatan terendah, 40 persen berikutnya dengan tingkat pendapatan menengah,
dan 20 persen populasi yang berpendapatan tinggi.
Selain pengelompokkan masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan,
pengukuran ketimpangan juga menggunakan daerah sebagai basis
pengelompokkan. Pengelompokkan berbasis daerah tersebut mempunyai
implikasi pengamatan ketimpangan masyarakat antar daerah. Berbagai cara
pengelompokkan lain yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat
wilayah desa dan masyarakat wilayah kota.
Kondisi ketimpangan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator
ketimpangan. Berbagai penelitian pada umumnya menggunakan indeks
yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan semurna) hingga satu
(ketimpangan sempurna). OSHIMA membagi koefisien Gini dalam 3 kategori
yaitu:
1. Jika, 0 < G < 0,35 termasuk dalam ketimpangan yang rendah
2. Jika, 0,35 < G < 0,5 termasuk dalam ketimpangan sedang
3. Jika 0,5 < G < 0,7 termasuk dalam ketimpangan tinggi
Terdapat 8 (delapan) faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi
pendapatan di negara-negara sedang berkembang (Adelman dan Morris dalam
Arsyad, 2004) yaitu:
1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya
pendapatan per kapita.
2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara
proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek padat modal (capital
intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja,
sehingga pengangguran bertambah
5. Rendahnya mobilitas sosial
6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan
harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan
7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang
berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat
ketidakelastisan permintaan negara-negara terh barang ekspor negara-negara
sedang berkembang.
8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri
rumah tangga, dan lain-lain.
2.3. Penelitian-Penelitian Terdahulu
Penelitian ini menggunakan raw data Susenas modul konsumsi untuk
mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran perkapita rumahtangga untuk tahun
1999, 2002, dan 2005. Ada kemungkinan koefisien gini yang dihasilkan dalam
penelitiani ini berbeda dengan koefisien gini yang sebelumnya sudah pernah
dihitung oleh instansi-instansi resmi.
Banyak penelitian mengenai ketimpangan yang menggunakan berbagai
sumber data yang ada di Indonesia. Sumber data yang paling sering digunakan
untuk mengevaluasi ketimpangan dan juga untuk mengestimasi angka-angka
resmi ketimpangan adalah data SUSENAS. Selain SUSENAS, data yang sering
digunakan untuk mengevaluasi ketimpangan adalah PDRB.
Diantara penelitian-penelitian yang menggunakan data SUSENAS dalam
mnganalisa distribusi pendapatan dan ketimpangan di Indonesia, Hughes dan
Islam (1981) dapat dikatakan sebagai salah satu perintisnya. Mereka menguji
perubahan ketimpangan agregat untuk periode 1964-1976. Hasil penelitiannya
adalah bahwa ketimpangan secara keseluruhan menurun pada periode 1964-1976.
periode 1964-1970, tetapi kemudian meningkat tajam dari 1970 sampai dengan
1976 seperti yang terukur oleh koefisien Gini. Sebaliknya, ketimpangan daerah
perkotaan di luar Jawa menurun dengan tajam dalam periode 1964-1970 dan tetap
konstan setelahnya. Ketimpangan di daerah perdesaan jawa dan luar jawa
menurun secara signifikan pada 1964-1976 meskipun terjadi pada saat yang
berbeda (tetapi di dalam masa 1964-1976). Penelitian ini meyakinkan bahwa efek
yang paling dirasakan dari menggunakan penyesuaian perubahan harga relatif
(relative price diffferential) adalah menurunkan andil variasi antar grup,
khususnya untuk pemisahan (dekomposisi) regional dan sektoral.
Asra (1989) menggunakan data SUSENAS tahun 1969-1981 dan menguji
kembali tren ketimpangan dari 1969-1981 dengan melakukan penyesuaian
ukuran-ukuran standard ketimpangan untuk pengaruh perubahan inflasi pada
kelompok pengeluaran yang berbeda-beda. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa jika penyesuaian tersebut dilakukan, ketimpangan di Indonesia
sesungguhnya naik pada 1969-1970 dan 1976 tetapi setelahnya turun kembali
sampai tahun 1981. Selain itu menemukan bahwa penyesuaian harga bukan
hanya berpengaruh pada besaran nilai ketimpangan dalam salah satu periode,
tetapi juga yang lebih penting, penyesuaian harga tersebut membalik tren
ketimpangan yang ditunjukkan oleh indeks-indeks ketimpangan harga berlaku.
Dengan menggunakan teknik dekomposisi ketimpangan Theil terhadap
data pengeluaran rumah tangga SUSENAS untuk tahun 1987, 1990 dan 1993,
Akita dan Lukman (1999) menemukan bahwa disparitas kota-desa adalah sebesar
antar provinsi adalah sebesar 12 persen sampai 14 persen dari total ketimpangan
antara rumah tangga perkotaan dan 7 persen sampai 8 persen antara rumah tangga
perdesaan. Kurva Kuznets yang dibuat berdasarkan data SUSENAS tahun 1993
menunjukkan nilai ketimpangan tertinggi sebesar 0,27 (menggunakan indeks
Theil T) jika andil rumah angga perkotaan mencapai 53,2 persen; andil ini lebih
besar dari pada angka aktual urbanisasi sebesar 32 persen.
Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Akita et al (1999) menggunakan
teknik dekomposisi Theil terhadap data pengeluaran rumah tangga dari data
SUSENAS tahun 1987, 1990 dan 1993 untuk menguji faktor-faktor yang
ditengarai mempengaruhi ketimpangan di Indonesia, seperti lokasi (desa/kota),
provinsi, usia, pendidikan, jenis kelamin dan ukuran rumah tangga. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang tidak
signifikan dalam menjelaskan ketimpangan yang terjadi di Indonesia.
Temuan-temuan lainnya dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan intra provinsi
adalah lebih besar dibanding ketimpangan antar provinsi, dan ketimpangan
pengeluaran kota-desa adalah sebesar 22 persen sampai 24 persen dari total
ketimpangan. Lebih jauh, tingkat ketimpangan perkotaan secara kontinyu semakin
besar selama periode penelitian. Pada akhirnya, penelitian ini menemukan bahwa
pendidikan merupakan determinan yang signifikan dari ketimpangan pengeluaran,
karena komponen antar tingkat pendidikan memberikan kontribusi sebesar 30
persen sampai 33 persen terhadap total ketimpangan.
Akita dan Szeto (2000) menguji pengaruh program Inpres Desa Tertinggal
antara tahun 1993 dan 1996. Melalui analisa regresi, mereka menemukan bahwa
dana IDT per kapita per provinsi memilki pengaruh yang signifikan terhadap
perubahan ketimpangan pengeluaran intra provinsi antara 1993 dan 1996. Hasil
yang sama diperoleh jika perubahan andil terendah sebesar 30 persen dari jumlah
populasi dari tahun1993-1996 digunakan sebagai dependent variable.
Beberapa penelitian juga menggunakan data SUSENAS untuk menguji
tren ketimpangan selama krisis finansial yang terjadi di Indonesia. Dengan
menggunakan data SUSENAS tahun 1996 dan 1999 dan data mini SUSENAS
tahun 1998, Said dan Widyanti (2001) menemukan penurunan ketimpangan
selama masa krisis baik untuk daerah perkotaaan maupun perdesaan seperti yang
diukur oleh koefisien Gini dan indeks-indeks Theil. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa perubahan ketimpangan diantara populasi yang hidup di
bawah garis kemiskinan sangat berbeda dari perubahan ketimpangan dalam
populasi keseluruhan. Pada kenyataannya, Koefisien Gini dan indeks Theil
menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan populasi yang berada di bawah garis
kemiskinan sesungguhnya meningkat selama masa krisis. Penurunan ketimpangan
selama masa krisis juga ditemukan oleh Kadarmanto dan Kamiya (2005). Dengan
menggunakan data konsumsi nominal SUSENAS, hasil dari penelitiannya adalah
bahwa ketimpangan menurun pada tahun 1999 setelah meningkat tajam dari tahun
1990-1996. Selain itu juga ditemukan bahwa ketimpangan kembali naik pada
tahun 2002. Lebih dari pada itu, penurunan ketimpangan selama masa krisis juga
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryadarma et al. (2005). Hasil
krisis, tetapi sesungguhnya pada populasi yang berada di bawah garis kemiskinan
ketimpangannya adalah meningkat. Namun demikian, penelitian ini berbeda dari
penelitian-penelitian sebelumnya karena penelitian ini mempertimbangkan
perbedaan harga antara daerah yang dilakukan dengan cara merubah pengeluaran
konsumsi nominal menjadi pengeluaran konsumsi riil menggunakan garis
kemiskinan regional sebagai deflatornya.
Dengan menggunakan data PDRB provinsi, Akita dan Lukman (1995)
menemukan bahwa ketimpangan antar provinsi yang diukur dengan menggunakan
koefisien variasi tertimbang dengan menggunakan PDRB provinsi
non-pertambangan per kapita adalah sangat stabil antara tahun 1975 dan 1992
meskipun pada saat itu terjadi perubahan struktur ekonomi yang cukup signifikan.
Banyak penelitian telah menguji dampak krisis ekonomi terhadap
ketimpangan dengan menggunakan data SUSENAS. Dengan menggunakan data
PDRB kabupaten dan data kependudukan dan kemudian dengan menggunakan
metode dekomposisi two-stage nested, Akita dan Alisjahbana (2002)
menyimpulkan bahwa selama masa krisis, secara keseluruhan ketimpangan
pendapatan seperti yang ditunjukkan indeks Theil menurun dari 0,287 di tahun
1997 menjadi 0,266 di tahun 1998, yang mana setara dengan tingkat ketimpangan
pada tahun 1993-1994. Tetapi selama masa pertumbuhan yang tinggi,
ketimpangan yang diukur menggunakan indeks Theil naik secara signifikan dari
0,262 di tahun 1993 menjadi 0,286 di tahun 1997. Penemuan ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Tjiptoherjanto dan Remi (2001). Dengan
menunjukkan bahwa ketimpangan menurun sejak tahun 1996-1998, suatu tren
yang sangat jelas terlihat di daerah perkotaan dibanding di daerah perdesaan.
Tetapi suatu penelitian yang dilakukan oleh Skoufias et al (2000)
menemukan trend ketimpangan pendapatan yang berbeda selam masa krisis:
dengan menggunakan data hasil survey 100 desa dan menggunakan deflator
rumah tangga spesifik, mereka menghitung koefisien Gini dan menemukan
ketimpangan meningkat dari 0,283 di tahun 1997 menjadi 0,304 di tahun 1998.
Peningkatan ini dipicu oleh peningkatan ketimpangan di daerah perdesaan
dibanding daerah perkotaan.
2.4. Kerangka Pemikiran
Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan atau ketimpangan ekonomi
dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak negara
berkembang, tak terkecuali di Indonesia. Berawal dari distribusi pendapatan yang
tidak merata yang kemudian memicu terjadinya ketimpangan pendapatan sebagai
dampak dari kemiskinan. Hal ini akan menjadi sangat serius apabila kedua
masalah tersebut berlarut-larut dan dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan
menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang dampaknya cukup negatif.
Di Indonesia, pada awal pemerintahan orde baru, para pembuat
kebijaksanaan dan perencana pembangunan ekonomi hanya memusatkan
pembangunan di Jawa, khususnya di Jakarta. Hal ini menyebabkan ketimpangan
antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ketimpangan dalam pertumbuhan dan
pembangunan daerah yang merupakan dasar mobilitas penduduk dapat terjadi
mobilitas penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan mencerminkan
perbedaan pertumbuhan dan ketidakmerataan fasilitas pambangunan antar daerah
perdesaan dan daerah perkotaan.
Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi pendapatan per kapita
rumahtangga di Indonesia adalah data pengeluaran yang diperoleh dari Susenas,
yang disebabkan karena sulitnya memperoleh data pendapatan rumahtangga.
Selain itu penduduk Indonesia terkenal dengan “low profile” dalam hal
memberikan informasi pendapatan ketika enumerator menanyakan pendapatan
yang diperoleh.
Data pengeluaran hasil Susenas tersebut didekomposisikan dengan
menggunakan metode indeks Theil T dan indeks Theil L. Salah satu keunggulan
indeks Theil dibandingkan indeks ketimpangan lainnya adalah bahwa indeks
Theil dapat didekomposisi ke dalam indeks ketimpangan intra kelompok (within
group) dan antar kelompok (between group). Selain itu untuk mengetahui ketimpangan pendapatan dalam penelitian ini juga dilakukan penghitungan
koefisien gini. Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah dapat
memberikan masukan kepada pemerintah sehingga perencanaan pembangunan
Gambar 2.1. kerangka pemikiran
Distribusi Pendapatan di Indonesia
Proxy Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga Pengeluaran RT Menurut Lokasi Pengeluaran RT Menurut Pulau dan Provinsi Pengeluaran RT Menurut Umur Pengeluaran RT Menurut Tingkat Pendidikan Pengeluaran RT Menurut Jenis Kelamin
Indeks Theil dan Koefisien Gini Dekomposisi Ketimpangan Menurut Lokasi Dekomposisi Ketmpangan Menurut Pulau dan Provinsi Dekomposisi Ketimpangan Menurut Umur Dekomposisi Ketimpangan Menurut Tingkat Pendidikan Dekomposisi Ketimpangan Menurut Jenis Kelamin Rekomendasi Kebijakan
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data pengeluaran konsumsi tahun 1999, 2002,
dan 2005 yang diperoleh dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang
telah dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 1963 (Surbakti menyajikan
uraian rinci tentang Susenas, 1995). Susenas telah digunakan oleh banyak peneliti
untuk memperkirakan tingkat kemiskinan dan derajat ketimpangan di Indonesia
(Islam dan Khan, 1986; Said dan Widayanti, 2001; dan Suryadarma et al, 2005).
Sejak 1981, Susenas dibagi menjadi pertanyaan kor dan tiga modul termasuk
modul konsumsi. Walaupun Susenas dilakukan setiap tahun, pertanyaan modul
konsumsi dilakukan dalam rentang waktu tiap tiga tahun. Sehingga sejak 1981,
modul konsumsi telah dilaksanakan pada tahun 1984, 1987, 1990, 1993, 1996,
1999, dan 2002, 2005, dan 2008.
Item pengeluaran yang dicakup oleh modul konsumsi diklasifikasikan
kedalam kelompok makanan dan non makanan. Kelompok makanan mencakup
214, 216 dan 229 jenis, sementara kelompok non makanan terdiri dari 105, 105,
dan 114 jenis masing-masing untuk Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005.
Konsumsi pengeluaran juga merekam bagaimana cara mendapatkan item-item
tersebut apakah melalui pembelian, produksi sendiri, atau pemberian dari pihak
lain. Jika barang/jasa diperoleh dari produksi sendiri atau diperoleh dari pihak lain
untuk mengumpulkan data pengeluaran dari seluruh kelompok pengeluaran.
Untuk tahun 1999, 2002, dan 2005 jumlah sampel untuk Susenas modul konsumsi
adalah 62.214, 64.406 dan 64.628. Tetapi untuk melakukan analisis dekomposisi
Theil menurut sub kelompok/grup (seperti, kelompok umur, tingkat pendidikan
dan lain sebagainya), studi ini juga menggunakan beberapa informasi dari Susenas
kor. Sehingga jumlah sampel menjadi 60.605, 64.406, dan 62.551 masing-masing
untuk tahun 1999, 2002, dan 2005 karena terdapat rumahtangga yang tidak ada di
Susenas kor.
3.2. Metode Analisis
3.2.1. Indeks Theil T dan L serta Dekomposisinya
Penelitian ini menggunakan indeks-indeks Theil untuk mengukur
ketimpangan pengeluaran perkapita dalam distribusi rumahtangga karena
indeks-indeks tersebut dapat diurai menjadi komponen-komponen yang bisa dijumlahkan
(additively decomposable) dan memenuhi beberapa properti ukuran ketimpangan
kesejahteraan, seperti mean independence, population-size independence, dan
prinsip transfer Pigou-Dalton (the Pigou-Dalton principle of transfers)
(Bourguignon, 1979; Shorrocks, 1980). Dua indeks Theil ini,yang biasanya
disebut indeks Theil T dan L (Anand, 1983), merupakan bagian dari ukuran
ketimpangan generalized entropy class.
Suatu indeks ketimpangan dikatakan additively decomposable jika total
ketimpangan dapat diuraikan menjadi penjumlahan antara komponen
between-group dan within-between-group. Mean independence menyiratkan bahwa indeks tidak berubah jika pengeluaran seseorang berubah dalam proporsi yang sama,
sementara population-size independence berarti indeks tidak berubah jika jumlah
rumahtangga pada setiap tingkat pengeluaran berubah dengan proporsi yang sama.
Sedangkan prinsip transfer Pigou-Dalton mengandung pengertian bahwa setiap
transfer pengeluaran dari rumahtangga yang lebih kaya ke rumahtangga yang
lebih miskin yang tidak membalikkan peringkat relatif dalam pengeluaran
mengurangi nilai indeks.
Anggap bahwa populasi dari seluruh rumahtangga dikelompokkan dalam
m kelompok sosial ekonomi yang mutually exclusive dan collectively exhaustive
(kelompok umur yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, dan lain
sebagainya). Kemudian indeks Theil T, yang mengukur ketimpangan
perngeluaran perkapita dalam distribusi rumahtangga, diberikan sebagai:
⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =
∑∑
∑∑
= = = = μ μ ij m 1 i n 1 j ij ij m 1 i n 1 j ij y log y n 1 n 1 Y y log Y y T i i , (1) dimana = ijy pengeluaran perkapita dari rumahtangga j dalam kelompok ke-i (i = 1,
2, …, m; j = 1, 2, …, ni);
=
i
n Jumlah rumahtangga dalam kelompok i (i=1,2, …, m);
⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ =
∑∑
= = m 1 i n 1 j ij i yY = total pengeluaran seluruh rumahtangga;
⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =
∑
= m 1 i i nn = jumlah seluruh rumahtangga; dan
⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛= n Y
rumahtangga, kita mengasumsikan bahwa setiap rumahtangga menerima
pengeluaran perkapitanya.
Indeks Theil T, sebagaimana disajikan di (1), dapat dibagi kedalam
komponen within-sector dan komponen between-sector sebagai berikut:
⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =
∑∑
= = 1n Y y log Y y T ij m 1 i n 1 j ij i∑
∑
= = ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ni 1 j i i i i ij i ij m 1 i i n n Y Y log n 1 Y y log Y y Y Y∑
∑
∑
= = = ⎟⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = m 1 i i i i n 1 j i i ij i ij m 1 i i n n Y Y log Y Y n 1 Y y log Y y Y Y i , karena 1 Y Y Y y Y y i i i n 1 j ij n 1 j i ij i i = = = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛∑
∑
= =, bagian kedua dapat ditulis kembali sebagai
⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛
∑
∑
∑
= = = n n Y Y log Y Y n n Y Y log Y y Y Y i i m 1 i i n 1 j i i i ij m 1 i i i , dimana = iY total pengeluaran rumahtangga kelompok i,
=
i
n jumlah rumahtangga kelompok i.
B W m 1 i i i i i m 1 i i T T n n Y Y log Y Y T Y Y T = + ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =
∑
∑
= = . (2) dimana∑
∑
= = ⎟⎟⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = i ni 1 j i ij i ij i n 1 j i i ij i ij i y log y n 1 n 1 Y y log Y y T μ μ , dan ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛= i i i n Yμ = rata-rata (per capita) pengeluaran rumahtangga kelompok i. Harus dicatat bahwa komponen antara (between component) dapat ditulis kembali sebagai:
∑
∑
= = ⎟⎟⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = m 1 i i i i m 1 i i i i B log n n n n Y Y log Y Y T μ μ μ μ .Sedangkan indeks Theil L diberikan sebagai:
∑∑
∑∑
= = = = ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = m 1 i n 1 j ij ij m 1 i n 1 j i i y log n 1 Y y n 1 log n 1 L μ (3)Indeks ini dapat dibagi menjadi komponen within-sector dan komponen between-sector sebagai berikut:
⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =
∑∑
= = Y y n 1 log n 1 L ij m 1 i n 1 j i∑
∑
= = ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ni 1 j i i i ij i i m 1 i i Y Y n n log Y y n 1 log n 1 n n∑
∑
∑
= = = ⎟⎟ ⎟ ⎠ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = m 1 i i i i n 1 j i ij i i m 1 i i Y Y n log n n Y y n log n 1 n n i karena 1 n n n 1 i i n 1 j i i = = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛∑
=, bagian kedua ditulis kembali sebagai
⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛
∑
∑
∑
= = = Y Y n n log n n Y Y n n log n 1 n n i i m 1 i i n 1 j i i i m 1 i i iSehingga, kita memperoleh
B W m 1 i i i i i m 1 i i L L Y Y n n log n n L n n L = + ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =
∑
∑
= = , (4) dimana∑
∑
= = ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = i ni 1 j ij i i n 1 j i ij i i i y log n 1 Y y n 1 log n 1 L μ .Harus dicatat bahwa komponen antara (between component) dapat ditulis kembali sebagai: ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =
∑
∑
= = i m 1 i i i i m 1 i i B log n n Y Y n n log n n L μ μ .Karena dalam persamaan (1) dan (3), n1 merupakan share populasi dari suatu rumahtangga danyij Yadalah share pengeluaran dari rumahtangga ke j dalam
kelompok i, indeks T dan L membandingkan share populasi dan share
pengeluaran untuk seluruh rumahtangga, dan oleh karenanya mengukur
bahwa indeks Theil T menggunakan share pengeluaran sebagai penimbang,
sedangkan indeks Theil L menggunakan share populasi sebagai penimbang;
sehingga indeks T sensitif terhadap perubahan kelompok pengeluaran bagian atas
(upper-expenditure categories), sedangkan indeks L sensitif terhadap perubahan
kelompok pengeluaran bagian bawah (lower-expenditure categories).
3.2.2. Koefisien Gini
Sebagai tambahan dari dua indeks Theil, studi ini juga menggunakan
Koefisien Gini sebagai ukuran ketimpangan lainnya. Tidak seperti indeks-indeks
Theil, Koefisien Gini tidak bisa diuraikan ke dalam dua bagian yang bisa
dijumlahkan, tetapi memenuhi properti mean independence, population-size
independence, dan prinsip Pigou-Dalton.
Anggap bahwa terdapat n rumahtangga dalam suatu sampel dan mereka
disusun dari terkecil ke terbesar berdasarkan pengeluaran perkapita yaitu
n 2
1 y y
y ≤ ≤K≤ . Maka Koefisien Gini didefinisikan sebagai (lihat, sebagai contoh, Anand (1983)): ) H F H F ( ) H H )( F F ( 1 G i 1 i 1 n 1 i 1 i i 1 n 1 i i 1 i i 1 i + − = + − = + + − = + − − =
∑
∑
, (5)dimana F = kumulatif share populasi rumahtangga sampai dengan rumahtangga i
ke i.
i
H = kumulatif share pengeluaran rumahtangga sampai dengan
Bab ini menggambarkan perekonomian Indonesia pada tahun 2005.
Berdasarkan perhitungan PDB atas dasar harga konstan 2000, laju pertumbuhan
ekonomi Indonesia tahun 2006 adalah sekitar 3,59 persen dan pertumbuhan
ekonomi tanpa migas adalah sekitar 4,31 persen. Nilai PDB atas dasar harga
konstan 2000 pada tahun 2005 adalah 1.750,8 triliun rupiah dan tanpa migas
adalah 1.605,2 triliun rupiah.
0.00 50,000,000.00 100,000,000.00 150,000,000.00 200,000,000.00 250,000,000.00 300,000,000.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Gambar 4.1. PDRB Provinsi Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2005
Keterangan gambar 1. NAD 2. Sumut 3. Sumbar 4. Riau 5. Kepulauan Riau 6. Jambi 7. Sumsel 8. Bangka Belitung 9. Bengkulu 10. Lampung 11. DKI Jakarta 12. Jawa Barat 13. Banten 14. Jawa Tengah 15. DI Yogyakarta 16. Jawa Timur 17. Kalimantan Barat 18. Kalimantan Tengah 19. Kalimantan Selatan 20. Kalimantan Timur 21. Sulawesi Utara 22. Gorontalo 23. Sulawesi Tengah 24. Sulawesi Selatan 25. Sulawesi Barat 26. Sulawesi Tenggara 27. Bali
28. Nusa Tenggara Barat 29. Nusa Tenggara Timur 30. Maluku
31. Maluku Utara 32. Papua 33. Papua Barat
DKI Jakarta merupakan provinsi yang mempunyai PDRB terbesar dari 33
provinsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena DKI Jakarta merupakan pusat
pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi. Nilai PDRB DKI Jakarta atas dasar
harga konstan pada tahun 2005 sebesar 295,3 triliun rupiah atau 17,47 persen dari
total 33 provinsi. Provinsi berikutnya adalah JawaTimur dan Jawa Barat, dengan
nilai PDRB masing-masing 256,4 triliun rupiah dan 242,9 triliun rupiah atau
masing-masing 15,17 persen dan 14,37 persen terhadap total 33 provinsi di
Indonesia. Provinsi dengan PDRB terkecil adalah Gorontalo dan Maluku Utara,
dengan nilai PDRB 2,03 triliun rupiah dan 2,24 triliun rupiah, atau sekitar 0,1
persen terhadap total provinsi Indonesia. Gorontalo dan Maluku Utara merupakan
provinsi yang belum lama berdiri. Secara geografis, letak Provinsi Gorontalo
dekat dengan Provinsi Sulawesi Utara yang sudah jauh lebih maju sehingga
investor lebih memilih untuk menanamkan modalnya yang sudah banyak fasilitas.
Sedangkan rendahnya PDRB Maluku Utara disebabkan karena wilayahnya yang
berbentuk kepulauan.
Dari sisi pertumbuhan, pada tahun 2005 hampir seluruh provinsi
mengalami pertumbuhan positif, hanya di Nanggroe Aceh Darussalam yang
mengalami pertumbuhan negatif, karena terjadinya bencana tsunami yang
melanda NAD pada akhir tahun 2004. Provinsi yang pertumbuhan ekonominya
(dengan migas) di atas 6 persen adalah Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua,
7,19 persen, 6,80 persen, 36,40 persen. Tingginya pertumbuhan ekonomi di Papua
disebabkan karena adanya pemekaran dengan Provinsi Papua Barat.
4.2. Struktur Ekonomi Indonesia
Hampir keseluruhan sektor ekonomi yang ada PDB, pada tahun 2005
mencatat pertumbuhan yang positif, kecuali sektor pertambangan dan penggalian.
Bila diurutkan pertumbuhan PDB menurut sektor ekonomi dari yang tertinggi ke
yang terendah, maka petumbuhan tertinggi dihasilkan oleh sektor pengangkutan
dan komunikasi sekitar 43,44 persen, diikuti oleh sektor bangunan sekitar 22,65
persen; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sekitar 23,16 persen;
sektor perdagangan, hotel dan restoran sekitar 20,64 persen; dan sektor listrik, gas
dan air bersih sekitar 17,39 persen. Sektor berikutnya adalah industri pengolahan;
jasa-jasa; dan sektor pertanian masing-masing tumbuh sekitar 17,21 persen, 15,70
persen dan 8,97 persen. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian yang
menurun sekitar minus 2,77 persen.
Beralihnya struktur sebagian masyarakat Indonesia dari sektor pertanian
ke sektor ekonomi lainnya dapat terlihat dari besarnya peranan masingmasing
sektor ini terhadap pembentukan PDB Indonesia. Sejak tahun 1991 hingga saat ini
sumbangan terbesar dihasilkan oleh sektor industri pengolahan. Pada tahun 2005
sumbangan sektor industri pengolahan sekitar 28,08 persen, kemudian diikuti oleh
sektor perdagangan, restoran dan hotel dengan andil sekitar 16,77 persen,
sedangkan sumbangan sektor pertanian sekitar 14,50 persen. Adapun sumbangan
lima sektor lainnya masih kurang dari 10 persen, dengan penyumbang terkecil
Tabel 4.1. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (milliar rupiah), 2002 dan 2005
Lapangan Usaha 2002 2005
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
232 973,4 253 881,7
2. Pertambangan dan Penggalian 169 932,0 165 222,6 3. Industri Pengolahan 419 388,1 491 561,4 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 9 868,2 11 584,1
5. Bangunan 84 469,8 103 598,4
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 243 409,3 293 654,0 7. Pengangkutan dan Komunikasi 76 173,2 109 261,5 8. Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 130 928,1 161 252,2
9. Jasa-jasa 138 982,3 160 799,3
PRODUK DOMESTIK BRUTO 1 506 124,4 1 750 815,2 PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS 1 345 814,3 1 605 261,8 Sumber : Badan Pusat Statistik
4.3. Pendidikan
Maju tidaknya suatu bangsa terletak pada kondisi tingkat pendidikan
masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin majulah
bangsa tersebut. Oleh karena itu pembangunan di sektor pendidikan perlu
diutamakan. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa
pendidikan adalah hak setiap warga negara, maka seluruh lapisan masyarakat
berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Ijazah/STTB tertinggi yang dimiliki seseorang merupakan indikator pokok
kualitas pendidikan formalnya. Semakin tinggi ijazah/STTB yang dimiliki oleh
rata-rata penduduk suatu negara semakin tinggi taraf intelektualitas negara
memiliki ijazah di perkotaan 19,88 persen, sedangkan di perdesaan mencapai
36,82 persen. Penduduk yang hanya tamat SD di daerah perkotaan mencapai
26,32 persen, dan di perdesaan mencapai 37,16 persen. Di daerah perdesaan tidak
sampai 1 persen penduduknya yang tamat dari tingkat pendidikan tinggi. Hal ini
terlihat dari ijazah yang dimiliki penduduk perdesaan untuk tingkat pendidikan
setelah SMA, masing-masing tidak ada yang mencapai 1 persen.
Tabel 4.2. Persentase Penduduk 10 Tahun keatas menurut Ijazah/STTB Tertinggi yang Dimiliki, Tahun 2005
Ijazah/STTB Tertinggi Yang Dimiliki
Tahun 2005
Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan Tidak Punya Ijazah 19,88 36,82 29,28
SD/MI 26,32 37,16 32,34
SLTP/MTs 19,33 15,24 17,06 SMU/MA 20,13 6,96 12,82 SMU Kejuruan 6,76 2,24 4,25
Diploma I/II 1,15 0,57 0,82 Diploma III/Sarjana Muda 1,85 0,29 0,98 Diploma IV/S1/S2/S3 4,59 0,74 2,45
Sumber: Badan Pusat Statistik
Secara umum tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk di
daerah perkotaan lebih tinggi daripada daerah perdesaan. Sebaliknya, persentase
penduduk yang tidak sekolah dan tamat SD, di daerah perkotaan lebih rendah
daripada di perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tren Ketimpangan Pendapatan di Indonesia di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)
Bab ini menyajikan perkembangan ketimpangan di Indonesia dari tahun 1999 sampai tahun 2005, yang diukur dengan koefisien gini. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan data Susenas yang dalam pengolahannya terdapat proses penggabungan pertanyaan kor dan modul, sehingga ada kemungkinan jumlah sampel rumahtangga menjadi berkurang.
Tabel 5.1. Tren Ketimpangan di Indonesia (Koefisien Gini), Tahun1999-2005 Tahun Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan Perdesaan
1999 0,336 0,262 0,329
2002* 0,366 0,268 0,368
2005** 0,411 0,311 0,408
Sumber: Data Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005.
catatan: * tidak termasuk Aceh, Maluku, Maluku Utara dan Papua ** tidak termasuk Aceh
Ketimpangan di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun 1999 sampai 2005, berturut-turut adalah 0,329; 0,368; dan 0,408. Demikian pula dengan ketimpangan pengeluaran rumahtangga di perkotaan dan perdesaan selama periode 1999-2005 yang juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1999, ketimpangan pengeluaran rumahtangga di perkotaan sebesar 0,336 dan meningkat hingga mencapai 0,411 pada tahun 2005. Sedangkan ketimpangan pengeluaran rumahtangga di perdesaan pada tahun 1999 mencapai 0,262, dan meningkat hingga mencapai 0,311 pada tahun 2005 (Tabel 5.1).
Tabel 5.2. Andil Pengeluaran per KapitaRumahtangga (% dari total)
Tahun 1 2 3 4 5 Quintil Desil T20/B20 1 10
1999 8,57 12,19 15,86 21,36 41,96 4,90 3,70 27,08 2002 7,71 11,24 14,84 20,85 45,10 5,85 3,33 30,07 2005 6,85 10,40 14,10 20,40 48,45 7,07 2,86 33,30
Sumber: Data Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005
Catatan: T20/B20 adalah rasio dari andil pengeluaran untuk 20 persen golongan teratas terhadap 20 persen golongan terbawah.
Kontribusi pengeluaran dari 20 persen penduduk Indonesia dengan golongan pendapatan terbawah terus mengalami penurunan dari 8,57 persen pada tahun 1999 menjadi 6,85 persen pada tahun 2005. Sementara itu, kontribusi yang diberikan oleh 20 persen golongan pengeluaran teratas justru mengalami peningkatan pada periode yang sama atau dari 41,96 persen pada tahun 1999 menjadi 48,45 pada tahun 2005. Kondisi ini tercermin dari rasio antara 20 persen penduduk Indonesia dengan golongan pengeluaran teratas terhadap 20 persen penduduk Indonesia dengan golongan pengeluaran terbawah yang meningkat selama periode 1999-2005. Kenyataan ini sesuai dengan anggapan bahwa krisis sangat menyentuh kalangan bawah sehingga ketimpangan yang ditunjukkan oleh koefisien gini meningkat.
5.2. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Pendapatan di Indonesia Pasca Krisis (Tahun 1999-2005)
Penelitian ini menggambarkan ketimpangan yang dapat didekomposiskan ke dalam kelompok-kelompok yaitu intra kelompok dan antar kelompok. Dekomposisi ketimpangan pendapatan yang dimaksud adalah menurut lokasi
(kota-desa), pulau dan provinsi, kelompok umur, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin.
5.2.1. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Pendapatan Menurut Lokasi Pada tahun 1999, kira-kira setahun setelah krisis, rata-rata pengeluaran pr kapita rumahtangga di perkotaan mencapai Rp 200.560 per bulan. Namun rata-rata pengeluaran perkapita rumahtangga di perdesaan hanya Rp 119.060 per bulan. Tahun 2002, rasio rata-rata pengeluaran rumahtangga perkotaan terhadap rata-rata pengeluaran rumahtangga perdesaan mencapai 1,97 sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita pada tahun 1999. Demikian pula yang terjadi pada tahun 2005, dimana rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita di perkotaan adalah dua kali pengeluaran rumahtangga di perdesaan atau besarnya pengeluaran di perkotaan sebesar Rp 460.190, sedangkan di perdesaan hanya Rp 222.830.
Tabel 5.3. Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Rumahtangga Di Perkotaan dan Perdesaan Lokasi Rata-Rata Pengeluaran (Rp 000) Jumlah Rumahtangga (% ) 1999 2002 2005 1999 2002 2005 Kota (K) 200,56 324,20 460,19 41,53 45,46 41,14 Desa (D) 119,06 164,34 222,83 58,47 54,54 58,86 Total 152,92 237,01 320,49 100,00 100,00 100,00 Rasio (K/D) 1,68 1,97 2,07
Ketimpangan pendapatan rumahtangga di perkotaan lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga di perdesaan (Tabel 5.2). Ketimpangan di perkotaan pada periode 1999-2005 selalu mengalami peningkatan. Kontibusi ketimpangan yang diberikan oleh rumahtangga di perkotaan terhadap total ketimpangan pada tahun 2002 meningkat, yaitu dari 52,06 persen di tahun 1999 menjadi 53,63 persen pada tahun 2002 (berdasarkan indeks Theil T) dan jika menggunakan indeks Theil L didapat ketimpangan di perkotaan sebesar 49,98 persen di tahun 1999, 48,67 persen pada tahun 2002, dan 48,59 persen di tahun 2005.
Tabel 5.4. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Lokasi
Lokasi Indeks Theil T Indeks Theil L Koefisien Gini 1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005 Perkotaan 0,207 0,271 0,344 0,183 0,220 0,280 0,336 0,366 0,411 Andil (%) 52,06 53,63 52,85 49,98 48,67 48,59 Perdesaan 0,124 0,131 0,182 0,112 0,117 0,160 0,262 0,268 0,311 Andil (%) 31,19 25,93 27,96 30,59 25,88 27,67 Total 0,203 0,275 0,343 0,175 0,221 0,275 0,329 0,368 0,408 Intra lokasi 0,169 0,218 0,278 0,141 0,164 0,210 Andil (%) 83,25 79,56 80,81 80,57 74,55 76,36 Antar lokasi 0,034 0,056 0,065 0,034 0,056 0,065 Andil (%) 16,75 20,44 19,19 19,43 35,45 23,64
Sumber: Susenas tahun 1999, 2002, dan 2005
Namun kontribusi ketimpangan yang diberikan rumahtangga di perdesaan justru mengalami penurunan pada tahun 2002, yaitu dari 31,19 persen pada tahun 1999 menjadi 25,93 persen pada tahun 2002 (berdasarkan indeks Theil T).
Penurunan ketimpangan pendapatan di perdesaan dipicu oleh menurunnya pengeluaran golongan pendapatan tertinggi, sehingga mengindikasikan golongan kaya di perdesaan yang lebih merasakan dampak krisis daripada golongan miskin perdesaan.
5.2.2. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Pendapatan Menurut Pulau dan Provinsi
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Selain pulau-pulau besar, ternyata Indonesia juga banyak mempunyai pulau-pulau kecil. Dalam penelitian ini pulau-pulau besar tersebut dibagi ke dalam lima (5) kelompok, yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau lainnya. Indonesia juga merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam budaya dan mempunyai penduduk dengan latar belakang sosial ekonomi yang beragam. Sebagai contoh, Pulau Jawa adalah penyumbang terbesar dalam GDP, dengan jumlah penduduk lebih dari 50 persen penduduk Indonesia, dimana luas wilayahnya hanya 6,8 persen dari luas Indonesia.
Ketimpangan pendapatan antar provinsi memberikan kontribusi yang cukup signifikan pada total ketimpangan. Dengan indeks Theil T pada periode 1999-2005 didapatkan hasil bahwa kontribusi dari ketimpangan tersebut masing-masing mencapai 16,26 persen; 23,64 persen; dan 16,96 persen.Pada tahun 2002, dari 25 provinsi yang diteliti hanya ada 7 provinsi atau sekitar 28 persen yang mengalami penurunan ketimpangan (berdasarkan indeks Theil T). Provinsi Lampung mengalami penurunan ketimpangan paling tinggi yaitu sebesar 21,5 persen.
Tabel 5.5. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Pulau dan Provinsi
Pulau/Provinsi Indeks Theil T Indeks Theil L Gini
1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005 Sumatra 0,147 0,182 0,270 0,132 0,159 0,232 0,287 0,314 0,376 1 Aceha) 0,135 - - 0,120 - - 0,272 - - 2 Sumatra Utara 0,135 0,167 0,251 0,121 0,148 0,217 0,274 0,301 0,359 3 Sumatra Barat 0,150 0,148 0,233 0,132 0,136 0,203 0,287 0,292 0,353 4 Riau 0,123 0,210 0,239 0,111 0,177 0,190 0,260 0,329 0,337 5 Jambi 0,121 0,147 0,230 0,112 0,130 0,190 0,263 0,284 0,342 6 Sumatra Selatan 0,142 0,180 0,203 0,129 0,156 0,176 0,285 0,312 0,330 7 Bengkulu 0,144 0,132 0,295 0,129 0,121 0,219 0,282 0,278 0,363 8 Lampung 0,177 0,139 0,328 0,159 0,118 0,262 0,315 0,268 0,401 9 Bangka Belitungb) - 0,152 0,193 - 0,124 0,179 - 0,273 0,331 10 Kepulauan Riau - - 0,201 - - 0,184 - - 0,338 Jawa-Bali 0,240 0,312 0,385 0,201 0,248 0,297 0,353 0,390 0,424 1 Jakarta 0,223 0,317 0,413 0,187 0,226 0,293 0,339 0,368 0,424 2 Jawa Barat 0,163 0,170 0,256 0,143 0,150 0,213 0,299 0,306 0,363 3 Jawa Tengah 0,161 0,172 0,221 0,132 0,148 0,179 0,284 0,303 0,331 4 Yogyakarta 0,244 0,289 0,434 0,215 0,248 0,361 0,368 0,393 0,462 5 Jawa Timur 0,185 0,208 0,297 0,159 0,177 0,237 0,315 0,332 0,378 6 Bantenc) - 0,209 0,312 - 0,194 0,242 - 0,347 0,399 7 Bali 0,155 0,194 0,273 0,138 0,170 0,224 0,292 0,324 0,369 Kalimantan 0,151 0,187 0,242 0,138 0,166 0,209 0,293 0,321 0,359 1 Kalimantan Barat 0,164 0,190 0,222 0,144 0,165 0,193 0,300 0,321 0,346 2 Kalimantan Tengah 0,133 0,120 0,182 0,122 0,111 0,168 0,275 0,262 0,325 3 Kalimantan Selatan 0,139 0,165 0,165 0,126 0,152 0,151 0,281 0,307 0,305 4 Kalimantan Timur 0,157 0,198 0,280 0,145 0,174 0,241 0,299 0,329 0,382 Sulawesi 0,167 0,186 0,275 0,152 0,160 0,230 0,306 0,314 0,376 1 Sulawesi Utara 0,137 0,144 0,295 0,130 0,135 0,240 0,284 0,291 0,380 2 Sulawesi Tengah 0,183 0,156 0,208 0,165 0,141 0,183 0,318 0,297 0,335 3 Sulawesi Selatan 0,178 0,227 0,276 0,156 0,179 0,233 0,311 0,329 0,379 4 Sulawesi Tenggara 0,159 0,157 0,270 0,148 0,140 0,226 0,302 0,292 0,372 5 Gorontalod) - 0,122 0,272 - 0,110 0,224 - - 0,369 Lainnya 0,196 0,163 0,318 0,176 0,141 0,268 0,330 0,294 0,399
1 Nusa Tenggara Barat 0,159 0,148 0,228 0,138 0,170 0,189 0,293 0,277 0,341
2 Nusa Tenggara Timur 0,174 0,180 0,290 0,154 0,125 0,260 0,310 0,311 0,397
3 Maluku 0,106 - 0,219 0,106 - 0,178 0,259 - 0,328 4 Maluku Utarae) - - 0,220 0,249 - 0,170 0,382 - 0,319 5 Papua 0,247 - 0,490 - - 0,466 - - 0,506 Total 0,203 0,275 0,343 0,175 0,221 0,275 0,329 0,368 0,408 Intra Provinsi 0,170 0,210 0,284 0,146 0,164 0,224 Andil (%) 83,74 76,36 83,04 83,43 74,21 81,45 Antar Provinsi 0,033 0,065 0,058 0,029 0,057 0,051 Andil (%) 16,26 23,64 16,96 16,57 25,79 19,55 Intra Pulau 0,201 0,262 0,355 0,173 0,208 0,267 Andil (%) 99,01 95,27 98,07 98,86 94,12 97,09 Antar Pulau 0,002 0,012 0,007 0,002 0,013 0,008 Andil (%) 0,99 4,73 1,93 1,14 5,88 2,91
Selanjutnya diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 14,8 persen dan Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 9,8 persen. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan ketimpangan paling tinggi pada tahun 2002 yaitu sebesar 0,317, meningkat sebesar 42,2 persen dari tahun 1999. Provinsi lain yang memiliki ketimpangan tinggi adalah Yogyakarta dan Banten. Dengan indeksTheil L, didapatkan hasil ketimpangan di semua pulau pada tahun 2005 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2002.
Ketimpangan tertinggi pada tahun 2005 terjadi di Provinsi Papua yang mencapai 0,466, diikuti oleh Yogyakarta, sebesar 0,361. Sedangkan Kalimantan Selatan adalah Provinsi dengan ketimpangan terendah yaitu sebesar 0,151. Jika diamati, ternyata hasil penghitungan ketimpangan dengan menggunakan indeks Theil T, Theil L, dan koefisien gini adalah searah, yang berarti apabila dengan menggunakan indeks Theil T, hasil ketimpangan mengalami peningkatan maka dengan indeks Theil L dan koefisien gini juga mengalami peningkatan. Dari tabel 5.3 dapat diamati bahwa Pulau Jawa-Bali merupakan pulau yang memiliki ketimpangan paling tinggi pada periode 1999-2005.
5.2.3. Dekomposisi Ketimpangan Pendapatan Menurut Umur
Rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita yang paling besar pada periode 1999-2005 dimiliki oleh rumahtangga yang kepala rumahtangganya berumur kurang dari 25 tahun (Tabel 5.6). Kondisi ini berhubungan dengan banyaknya rumahtangga tersebut yang tinggal di perkotaan dan biasanya merupakan keluarga kecil. Lebih dari 55 persen dari rumahtangga tersebut berdomisili di perkotaan. Untuk rumahtangga yang kepala rumahtangganya
berumur 25 tahun atau lebih, rata-rata pengeluaran rumahtangga per kapita pada tahun 2005 berada dalam range Rp 287.720 sampai Rp 531.290.
Tabel 5.6. Rata-Rata Pengeluaran Per Kapita Rumahtangga Menurut Umur
Kelompok Umur Rata-Rata Pengeluaran (000) Rasio Rata-Rata Pengeluaran kota terhadap desa Andil Rumahtangga Perkotaan (%) 1999 2002 2005 1999 2002 2005 1999 2002 2005 <=19 246,57 331,77 531,29 1,67 2,22 2,24 74,94 68,75 70,69 20-24 219,28 321,12 501,26 2,10 2,35 2,86 55,02 53,75 55,04 25-29 164,68 254,49 333,35 1,75 2,11 2,05 43,33 45,44 41,58 30-34 150,81 234,45 304,96 1,67 1,96 1,97 41,40 45,94 41,36 35-39 142,26 227,93 303,54 1,59 1,95 1,90 42,00 46,26 42,64 40-44 144,21 224,61 314,80 1,58 1,84 2,04 41,79 47,30 42,27 45-49 151,07 234,27 325,87 1,64 1,95 2,06 42,81 45,99 41,34 50-54 153,90 241,87 329,50 1,69 2,02 2,08 40,55 45,70 41,12 55-59 155,15 238,48 341,43 1,67 2,00 2,25 40,39 42,85 39,55 60-64 149,72 236,48 298,60 1,64 1,92 1,97 38,09 41,76 36,69 65+ 147,81 222,18 287,20 1,69 1,88 1,95 36,20 41,30 36,18 Total 152,92 237,01 320,49 1,68 1,97 2,07 41,55 45,46 41,14
Ketimpangan antar kelompok umur pada tahun 1999 memberikan kontribusi yang paling besar pada total ketimpangan yaitu 1,97 (berdasarkan indeks Theil T) dan 2,29 (berdasarkan indeks Theil L). Namun demikian, kontribusi yang diberikan pada total ketimpangan tidak signifikan. Ketimpangan menurut kelompok umur untuk periode 1999-2005 ternyata cukup tinggi pada rumahtangga dengan kepala rumahtangga berumur ≥ 55 tahun, dimana para pensiunan pada umumnya berada pada kelompok umur tersebut. Pada tahun 1999, ketimpangan pendapatan tertinggi ada pada kelompok umur 65+, tahun 2002 pada kelompok umur 60-64, dan kelompok umur 55-59 pada tahun 2005. Peningkatan ketimpangan pada kepala rumahtangga dengan kelompok usia lanjut memberi kesan bahwa krisis menyebabkan pendapatan rendah sehingga para pensiunan yang biasanya sangat tergantung pada “uang pensiunan” yang paling merasakan