• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berakhirnya Perang Dunia Kedua, disusul pula dengan berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dengan Jerman Timur pada tanggal 9 November 1989, merupakan suatu rentetan kejatuhan dan bubarnya USSR atau Union of Soviet Socialist Republics atau yang kita sebut Uni Soviet dari Amerika Serikat pada tanggal 25 Desember 1991.1 Dikarenakan sebelumnya dunia dikuasai dua negara adi daya tersebut, dan karena Uni Soviet merupakan pihak yang kalah, maka Amerika Serikat semakin mengokohkan diri sebagai pihak yang memenangkan Perang Dingin.

Tatanan duniapun berubah pasca berakhirnya Perang Dingin, dimana sistem hubungan internasional yang bipolar dan melahirkan konsep balance of power atau perimbangan kekuatan yang dalam hal ini yang melibatkan dua kekuatan besar, Blok Barat yang dirpimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet, menjadi sistem yang multipolar, dimana sistem tersebut mulai menggeser hal-hal yang terkait dengan isu-isu high politics yang berkutat pada isu pertahanan dan keamanan, menjadi isu-isu low politics yang terkait dengan isu-isu hak asasi manusia, ekonomi, lingkungan hidup, budaya, sosial, feminisme, humanitarian, maupun yang lainnya. Pergeseran tersebut menandai bahwasanya isu-isu low politics ini dipahami sama pentingnya dengan isu-isu high politics.

1 J. Sudarsono, Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, Jakarta, Pustaka Jaya, 1996 hal. 3.

(2)

2

Isu-isu low politics ini juga mencuat tidak semata-mata dikarenakan Perang Dingin telah usai, namun isu-isu tersebut semakin mengemuka atas imbas dari kemunculan globalisasi. Globalisasi yang terkait erat dengan adanya kemajuan teknologi khususnya dalam sektor komunikasi dan juga terkait erat dengan kemajuan sektor transportasi, telah menghasilkan dampak yang luar biasa dalam hubungan yang tak hanya antar negara namun juga memunculkan peranan yang signifikan dari aktor-aktor non-negara, baik itu berupa Multinational Corporations atau MNCs, Organisasi non Pemerintah atau IGO, Organisasi Internasional non Pemerintah atau INGO, maupun yang lainnya. Hal ini berdampak fokus terhadap masyarakat sebuah negara bergeser menjadi masyarakat transnasional dan transgovernmental yang mewujudkan skema lintas batas atau disebut transboundary atau boundary crossing network oleh MNCs, IGOs, INGOs tersebut.

Perkembangan teknologi informasi atas dampak dari globalisasi ini, menembus batas-batas geopolitik antar bangsa yang selanjutnya menciptakan terbukanya berbagai wawasan maupun pergaulan antar bangsa, sehingga dalam realitanya dinamika hubungan internasional tersebut semakin mengedepankan dimensi hubungan kerjasama terkait isu-isu low politics yang tak hanya dilakoni oleh negara sebagai aktor utama, namun juga dilakoni oleh berbagai aktor non-negara. Di samping itu, hubungan kerjasama yang semakin signifikan yang terkait erat dengan perkembangan pesat dari teknologi informasi ini, salah satunya dengan adanya media massa dan komunikasi yang mengglobal, yang mana semakin mendorong pola perkembangan diplomasi, dimana praktik-praktik diplomasi tersebut diimplementasikan pula oleh aktor-aktor non-negara.

Berkembang pesatnya teknologi informasi ini membuat suatu informasi di sebuah negara tidak lagi menjadi rahasia yang hanya dimiliki segelintir elite negara tersebut namun informasinya kini dengan mudah dikonsumsi publik kapanpun dimanapun berkat adanya media massa. Berawal dari media massa tersebut, eksistensi peranan berbagai aktor-aktor non negara tersebut semakin terlihat di ranah hubungan

(3)

3

internasional, baik itu terlibat dalam diplomasi maupun melakukan praktik-praktik politik luar negeri. Hal tersebut, tidak lepas dari adanya kesadaran atas adanya saling ketergantungan dan saling keterkaitan satu aktor dengan aktor yang lainnya.

Adanya suatu perubahan pola di atas memunculkan berbagai istilah baru terkait masalah diplomasi yang juga dipengaruhi oleh isu-isu low politics misalnya diplomasi Hak Asasi Manusia (HAM), diplomasi kultural, diplomasi ekonomi, diplomasi humaniter, maupun yang lainnya. Terkait erat dengan diplomasi humaniter, di dalam tesis ini saya akan lebih jauh menganalisis tentang diplomasi humaniter yang dilakukan oleh MSF atau Médecins Sans Frontières yang dalam versi Amerikanya bernamakan Doctors without Borders atau dalam Bahasa Indonesianya Dokter Lintas Batas, dimana MSF ini salah satunya berusaha membuka ruang kemanusiaan di berbagai daerah konflik sesuai dengan tujuan organisasinya yang memberikan bantuan darurat bagi masyarakat yang terkena dampak konflik bersenjata, ataupun sedang terkena epidemik, maupun terkena bencana alam.2 MSF yang merupakan organisasi internasional non-pemerintah ini dinilai penulis memiliki peran yang cukup signifikan dalam memberikan bantuan kesehatannya di Myanmar, dengan sejarahnya yang lebih dari 20 tahun berkontribusi di negara tersebut, tentunya di negara tersebut MSF memberikan bukti bahwa aktor non-pemerintah ini dapat menjadiaktor non negara yang berkutat dalam ranah humaniter sekaligus aktor diplomasi yang kredibel.

Dalam faktanya, untuk menjaga kedaulatan negaranya, pemerintah Myanmar lebih membatasi intervensi pihak asing, termasuk intervensi organisasi humaniter seperti MSF, terlebih ketika junta militer berkuasa. Angin perubahan mulai ada ketika terjadi bencana Topan Nargis pada Mei 2008, dimana intervensi humaniter asing mulai berkembang di Myanmar dengan adanya intervensi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB. Pemerintah Myanmarpun mulai membuka jalan atas intervensi humaniter

(4)

4

aktor-aktor internasional lainnya ketika terjadi pergantian kepemimpinan dari junta militer ke pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan Presiden Thein Sein.

Dengan informasi yang semakin mudah diakses, salah satunya dapat dilihat dari data yang disajikan Universitas Uppsala di Swedia jurusan Riset Perdamaian dan Konflik melalui Uppsala Conflict Data Program.3 Di sana dan di berbagai media massa

maupun media elektronik yang lainnya, diberikan pemaparan bahwasanya tingkat konflik di Negara Myanmar merupakan salah satu yang paling tinggi, dimana yang paling populer adalah kerapnya konflik perbatasan juga konflik etnis terjadi. Tingginya konflik yang berdampak buruk pada kemanusiaan termasuk masalah kesehatan tersebut semakin membuat intervensi humaniter asing dari aktor-aktor internasional, khususnya organisasi humaniter internasional untuk berusaha membuka ruang kemanusiaan di Myanmar agar memiliki akses yang terbuka dalam memberikan bantuan kemanusiaannya.

Salah satu konflik yang populer karena pesatnya penyebaran teknologi informasi ini, adalah adanya konflik etnis di Rakhine State yang membuat Etnis Muslim Rohingya sebagai korban yang paling dirugikan. Jauh sebelum pecahnya konflik etnis antara Etnis Buddha Rakhine dengan Etnis Muslim Minoritas Rohingya, Pemerintah Myanmar berlaku diskriminatif terhadap Etnis Muslim Rohingya, hal ini diawali dengan adanya pergantian kekuasaan dari sipil ke militer, di mana tahun 1962 tampuk kekuasaan yang dipimpin oleh seorang junta militer, Ne Win, mulai menanamkan ideologi Burma untuk orang Burma yang beragama Budha, sehingga keberadaan etnis minoritas yag lain terlebih etnis muslim Rohingya termarginalisasikan bahkan pemerintah junta militer disinyalir melakukan suatu kekerasan maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap etnis minoritas tersebut. Hal tersebut dikarenakan, etnis muslim Rohingya, dianggap paling berbeda baik dari bentuk fisik, dialek, budaya maupun agama yang lebih dikatakan mirip dengan masyarakat Chittagong yang

3Uppsala Conflict Data Program, Myanmar (Burma), (website), 2014, http://ucdp.uu.se/#country/775, (diakses 25 Desember 2015).

(5)

5

beragama Islam di Bangladesh, sehingga hal tersebut semakin menambah daftar panjang diskriminasi yang mereka peroleh.4

Diskriminasi yang diterima semakin terlihat legal, ketika pemerintahan junta militer membuat kebijakan represif terhadap etnis ini dimana dimulai pada tahun 1982 keberadaan etnis muslim Rohingya secara legal tidak diakui, sehingga mereka tidak mempunyai hak-hak sebagai warga negara Myanmar yang pada intinya mereka menjadi warga asing di negeri sendiri. Padahal jauh sebelum junta militer berkuasa, etnis ini telah tinggal bahkan lahir di Myanmar khususnya tinggal di wilayah Provinsi Arakan, sebelah barat laut Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh yang populer dengan nama Rakhine State.5 Kebijakan pemerintahan junta militer yang mendorong diskriminasi terhadap Etnis Muslim Rohingya ini menjadikan suatu tindakan-tindakan kekerasan yang legal. Dalam hal ini, pemerintahan junta milter menganggap etnis muslim rohingya mengganggu sehingga harus dikeluarkan dari wilayah Myanmar, dalam arti lain kebijakan diskriminatif ini mendorong pengusiran terhadapan etnis muslim Rohingya.

Pada tahun 2012 khususnya bulan Juni dan oktober, terjadi kekerasan secara besar-besaran terhadap etnis muslim Rohingya, sehingga kekerasan yang massive ini sering dikatakan dengan communal violence. Kekerasan yang merupakan gelombang dari kekerasan-kekerasan yang terjadi sebelumnya ini memuncak sejak Juni 2012. Lebih dari 22.000 orang telah dipindahkan dan 4600 rumah dibakar akibat kekerasan komunal di Provinsi Arakan atau yang biasa disebut Rakhine state. Sekitar 80 orang meninggal dan desa-desa hampir semuanya binasa akibat kekerasan antara etnis Buddha Rakhine dengan etnis muslim Rohingya, dari kesemuanya itu total lebih dari

4 P. Rudolf, D. Rizkianingrum, dan E. Budiwanti, Team Bidang Perkembangan Asia Pasifik PSDR-LIPI, ‘Multikulturalisme, Separatisme, dan Pembentukan Negara Bangsa di Burma’, hal.6-8, https://www.scribd.com/doc/97205378/Problematika-Muslim-Rohingya-di-Burma (diakses 25 Desember 2015).

(6)

6

100.000 orang yang telah dipindahkan.6 MSF sendiri telah beroperasi di Rakhine State sejak lama jauh sebelum konflik etnis ini pecah, sayangnya MSFpun sempat terdepak untuk keluar dari Rakhine State pada tahun 2013, sehingga akses bantuan kemanusiaan pada korban Konflik Etnis inipun terhambat.

Adanya konflik di Rakhine State yang menitikberatkan pada Etnis Muslim Rohingya sebagai korban yang paling dirugikan dan dalam faktanya telah terdiskriminasi sedari dulu akibat dari kebijakan kependudukan pemerintah junta militer yang tidak mengakui status kewarganegaraan Etnis Muslim Rohingya sehingga tidak mendapat hak-hak sebagai warga negara, dengan di satu sisi Pemerintah Myanmar yang masih membatasi intervensi humaniter aktor-aktor internasional dikarenakan kekhawatirannya akan intervensi penuh dari aktor asing yang diduga akan merusak kedaulatan negaranya, membuat MSF selaku organisasi humaniter internasioal harus memiliki strategi untuk bisa membuka ruang kemanusiannya di wilayah Rakhine tersebut, agar akses kemanusiaan bisa tersalurkan demi sampainya bantuan kemanusiaan pada korban yan paling banyak dirugikan atas konflik etnis di Rakhine tersebut. Terlebih setelah konflik etnis yang dimulai tahun 2012 terjadi, MSF sempat diberhentikan melakukan operasi kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine.

Oleh karena itu, dengan adanya pemaparan di atas, tesis ini bermaksud untuk menganalisa lebih lanjut apa strategi yang dilakukan Médecins Sans Frontières atau MSF selaku organisasi humaniter internasional, yang merupakan aktor internasional non-negara dalam membuka ruang kemanusiaannya kembali di Myanmar khususnya di Rakhine State dalam keadaan Pemerintah Myanmar yang membatasi ruang kemanusiaan di negaranya demi menjaga kedaulatan negaranya, setelah sebelumya sempat diberhentikan aktivitas operasi kemanusiaannya?

6 ‘Burma Violence: 20,000 Displaced in Rakhine State’, BBC, 28 Oktober 2012, http://www.bbc.com/news/world-asia-20114326, (diakses, 18 Desember 2013).

(7)

7 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, pada intinya penelitian ini mempertanyakan tentang:

Apa strategi yang dilakukan MSF untuk meyakinkan Pemerintah Myanmar sehingga dapat membuka kembali ruang kemanusiaan di Rakhine State tanpa mengesampingkan kekhawatiran Pemerintah atas kedaulatannya?

1.3 Tinjauan Pustaka

Tantangan Orang Rohingya Myanmar: Menghadapi Satu Minoritas Teraniaya dan Implikasinya untuk Keamanan Nasional dan Regional. Buku ini merupakan buku terbitan Gadjah Mada University Press karangan Bilveer Singh yang menceritakan dengan lengkap mengenai sejarah Muslim Rohingya di Myanmar, berikut rentetan diskriminasi yang telah dilakukan pemerintah, kronologi konflik yang terjadi, hingga analisa permasalahan dan implikasinya.

Humanitarian Negotiation Revealed oleh Magone dan Neuman, yang di dalamnya terdapat article Golfing with the General karangan F. Terry menceritakan sepak terjang berikut strategi-strategi yang dilakukan MSF untuk pertama kalinya berusaha membuka ruang kemanusiaan di Myanmar.

MSF and Protection: Pending or Closed? Oleh Judith Soussan. Dalam buku ini dipaparkan perihal panggilan untuk mengintervensi suatu negara, dasar mengapa kekerasan menjadi suatu isu medis, peranan MSF dalam memberikan bantuan yang berkualitas, responsibility to protect dalam kerangka MSF, dan lainya. Dimana, hal-hal tersebut akan memperkuat penulis untuk menganalisa terkait dengan tindakan MSF dalam menyalurkan bantuannya.

(8)

8 Humanitarian Diplomacy: Practitioners and Their Craft oleh Larry Minear dan Hazel Smith. Dalam buku ini diterangkan mengenai teori dan praktek-praktek diplomasi kemanusiaan berikut contoh-contohnya di berbagai negara. Buku ini banyak membantu dalam menjabarkan bagaimana organisasi kemanusiaan serta personilnya dapat membuka ruang kemanusiaan dengan melakukan proses diplomasi yang bertujuan sebagai penghormatan kepada prinsip-prinsip kemanusiaan serta Hukum Humaniter Internasional.

Humanitarian Negotiation: a Hanbook for Securing Access, Assistance, and Protection for Civilians in Armed Conflict oleh Deborah Mancini Griffoli dan Andre Picot. Buku ini menjelaskan secara garis besar mengenai konsep negosiasi kemanusiaan beserta tantangan-tantangan yang dihadapinya, tujuannya, analisa juga terkait strategi dalam bernegosiasi di ranah kemanusiaan secara mendalam.

1.4 Kerangka Pikiran

Dalam penelitian ini, penulis mengajukan beberapa konsep yang menurut penulis menjadi kunci utama dalam menganalisa penelitian ini, yaitu:

1.4.1 Humanitarian Space atau Ruang Kemanusiaan

Humanitarian space merupakan konsep dasar dalam ranah humanitarianism. Humanitarian space atau dalam bahasa Perancisnya espace humanitaire atau ruang kemanusiaan merupakan istilah yang dicetuskan oleh mantan ketua Médecins Sans Frontières (MSF) Rony Brauman, yang mendeskripsikan sebagai ”a space of freedom in which we are free to evaluate needs, free to monitor the distribution and use relief goods, and free to have

(9)

9

dialogue with people”.7 Dalam definisi tersebut, pada intinya humanitarian

space adalah mengenai ruang kebebasan bagi aksi kemanusiaan.

Meskipun istilah ini tidak tercantum di dalam glossarium kemanusiaan the UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), humanitarian space secara implisit dikatakan sama dengan humanitarian operating environment. Dimana merupakan suatu unsur yang vital bagi agen kemanusiaan maupun organisasi kemanusiaan ketika mereka menyebarkan, membuat dan memelihara lingkungan operasi kemanusiaan yang kondusif. Dalam glosariumnya, istilah ini dideskripsikan sebagai:

adherence to the key operating principles of neutrality and impartiality in humanitarian operations represents the critical means, by which the prime objective of ensuring that suffering must be met wherever it is found, can be achieved.Consequently, maintaining a clear distinction between the role and function of humanitarian actors from that of the military is the determining factor in creating an operating environment in which humanitarian

organisation can discharge their responsibilities both effectively and safely.8

Konsep ini muncul setelah terjadi perubahan sifat konflik bersenjata maupun pergeseran geopolitik, terutama sejak kejadian 9/11, dimana keaadaan tersebut telah membatasi kapasitas organisasi kemanusiaan untuk memberikan bantuan materialnya kepada korban konflik secara aman dan efektif.9 Pembatasan organisasi kemanusiaan tersebut berupa penyerangan

terhadap anggota organisasi kemanusian, penolakan akses bantuan termasuk

7 J. Wagner, An IHL/ICRC Perspective on Humanitarian Space, (Website), 2007,

https://www.humanitarianresponse.info/en/system/files/documents/files/An%20IHL-ICRC%20perspective%20on%20humanitarian%20space%20by%20Grombach%202007.pdf, (diakses18 Desember 2013).

8 Ibid.

9 C. Boudreau dan D, Hubert, Shrinking Humanitarian Space? Trends and Prospects on Security and

(10)

10

menurunnya penghormatan pada hukum humaniter. Dari kejadian-kejadian tersebut, humanitarian space sebagai jalan dimana organisasi kemanusiaan bisa menjalankan tanggung jawabnya secara efektif dan aman.

Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan penulis, setidaknya humanitarian space dapat diidentifikasi dalam 3 varian berbeda, yang pertama terkait dengan memaknai bahwa humanitarian space sama halnya dengan penghormatan terhadap Hukum Humaniter Internasional, meskipun tidak secara eksplisit tercantum dalam Konvensi Jenewa namun negara-negara yang menjadi bagian dalam Konvensi Jenewa yang terlibat dalam konflik, wajib untuk memberikan kebutuhan dasar bagi korban konflik atau untuk mengizinkan dan memfasilitasi aksi pertolongan. Sehingga, yang berkonflik dan memliki otoritas bisa mengijinkan dan tidak menghalangi penerimaan pertolongan baik itu pengiriman barang, peralatan, maupun personil. Yang kedua, terkait erat dengan eksistensi kegunaannya yaitu sebagai ruang bagi aksi kemanusiaan untuk menolong korban konflik, dimana merupakan kebalikan dari ruang militer maupun politik yang fokusnya pada koridor kemanusiaan, kamp pengungsi, zona yang dikosongkan dari militer dan area yang aman.Varian yang kedua ini terkait erat dengan penerimaan peranan organisasi kemanusiaan oleh kedua belah pihak bertikai juga yang memperoleh manfaat. Terakhir, definisi yang terkait dengan aksi kemanusiaan, hal ini bisa terlihat ketika terdapat pembatasan dalam ruang kemanusiaan baik itu terjadi karena ketidakamanan secara umum, adanya penundaan administrasi maupun pergerakan barang, penargetan pekerja kemanusiaan, masyarakat sipil maupun media, dan fenomena-fenomena pembatasan aksi kemanusiaan yang lainnya.10

10 C. Boudreau dan D, Hubert, Shrinking Humanitarian Space? Trends and Prospects on Security and

(11)

11 Humanitarian space ini bisa juga dikaitkan dengan operasi perdamaian, karena operasi perdamaian secara normatif ada sebagai bentuk aksi kemanusiaan yang tidak hanya dilakukan oleh militer namun juga bisa dilakukan oleh masyarakat sipil, dalam hal ini untuk menciptakan perdamaian positif. Berikut terdapat perbedaan tugas antara siil dan militer:

TABLE 1.1 Tugas Pemelihara Perdamaian

Militer Sipil

Membantu dalam mengimplementasikan kesepakatan damai

Membantu negara yang memulai perang lebih dahulu dalam

mengimplementasikan kesepakata damai

Mengawasi gencatan senjata atau gencatan permusuhan

Mendukung pengiriman bantuan kemanusiaan

Menyediakan lingkungan yang aman

Membantu dalam perlucutan senjata, demobilisasi, dan reintegrasi mantan kombatan

Mencegah pecahnya konflik Mengawasi pemilu

Memimpin negara atau wilayah melalui transisi ke arah pemerintahan yang stabil berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi

Membangun kapasitas aturan hukum

Mengatur wilayah dalam masa transisi

Mempromosikan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia Membantu pemulihan ekonomi

(12)

12

Mengatur administrasi dalam masa transisi ke arah wilayah yang mandiri. Sumber: (DPKO 2003: 2-3) .11

Konsep Humanitarian Space ini digunakan sebagai jalan agar Organisasi Kemanusiaan di Myanmar, khususnya di Rakhine State yang dalam hal ini direpresentasikan oleh MSF bisa melakukan aktivitas kemanusiaannya secara efektif dan aman. Seperti yang diketahui, MSF mendapatkan protes keras dari sebagian besar kelompok Buddha Rakhine termasuk ancaman kepada staff dan pencegahan bantuan kemanusiaan karena dinilai cenderung memihak pada Muslim Rohingya dengan lebih banyak memberikan bantuan pada Muslim Rohingya. Hal tersebut tentu merupakan suatu kekeliruan karena MSF memiliki prinsip untuk lebih mendahulukan korban yang paling menderita dan dirugikan, dan memang pada kenyataannya Etnis Muslim Rohingya yang lebih jauh dirugikan.

Terlepas dari itu, merujuk pada OCHA atau Office for the Coordination of Humanitarian Affairs, setidaknya 179.000 orang membutuhkan bantuan kemanusiaan akibat konflik etnis antara Buddha Rakhine dan Etnis Muslim Rohingya, hal ini diperparah karena yang menjadi pengungsi internal atau yang popular dengan sebutan Internally Displaced Persons atau IDP berjumlah kurang lebih 130.000 orang.12 Dampaknya, hal tersebut membuat Negara Bagian Rakhine darurat membutuhkan ruang kemanusiaan, dan mendesak organisasi kemanusiaan untuk turun tangan melakukan operasi kemanusiaanya.

11 A. Bellamy dan P. Williams, Understanding Peacekeeping, 2nd edn. Cambridge, Polity Press, 2010, hal. 43.

12 Myanmar Peace Monitor, Internally Displaced Persons and Refugees, (website), 2013, http://www.mmpeacemonitor.org/conflict/idps-and-refugees, (diakses 25 Agustus 2016).

(13)

13 1.4.2 Humanitarian Diplomacy atau Diplomasi Kemanusiaan

Diplomasi humaniter atau diplomasi kemanusiaan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh organisasi kemanusiaan untuk mendapatkan ruang kemanusiaan dari otoritas politik dan militer, dimana dalam diplomasi ini terdapat upaya-upaya mengatur keberadaan adanya organisasi termasuk personil yang akan beroperasi di negara tersebut. Upaya-upaya tersebut diimplementasikan dengan melakukan negosiasi untuk memiliki akses kepada penduduk sipil yang membutuhkan bantuan dan perlindungan, pemantauan terhadap program-program yang dijalankan dalam membantu penduduk sipil, upaya mempromosikan penghormatan terhadap hukum maupun norma-norma internasional yang berkaitan dengan hukum humaniter internasional, serta adanya upaya dalam memberikan advokasi di berbagai tingkatan dalam mendukung tujuan-tujuan kemanusiaan.13 Upaya-upaya tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan kehidupan dan mengurangi penderitaan manusia dalam suatu krisis kemanusiaan yang timbul bisa karena perang, konflik, epidemik, maupun bencana alam.

Diplomasi kemanusiaan tidak bisa disamakan dengan diplomasi tradisional pada umunya, dikarenakan ditinjau dari aktornya, dalam diplomasi kemanusiaan aktor yang berperan bukanlah seorang diplomat professional yang mewakili negara berdaulat yang fokusnya mencapai kepentingan nasional, namun diplomasi kemanusiaan ini dilakukan oleh organisasi kemanusiaan termasuk personil organisasi kemanusiaan tersebut untuk mencapai kepentingan internasionalnya yang dalam hal ini merupakan suatu kebutuhan kemanusiaan.14 Bahkan dalam faktanya seringkali aktor-aktor

kemanusiaan tersebut tidak menyadari aktivitas yang mereka lakukan merupakan bagian dari diplomasi yang fungsinya sama dengan diplomat

13 L. Minear dan H. Smith, Humanitarian Diplomacy: Practitioners and Their Craft, India, United Nations Unviersity Press, 2007, hal. 1.

(14)

14

professional perwakilan suatu negara. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Hazel Smith, dimana, “humanitarian official have functions in common with state diplomats in that they must rely on negotiation, persuasion and dialogue to try to reach agreements with those with whom they may not share values and

interest.”15 Apa yang dinyatakan Hazel Smith di atas, menegaskan

bahwasanya organisasi kemanusiaan maupun personilnya sama dengan diplomat professional perwakilan negara yang tetap harus mengupayakan adanya tindakan negosiasi, persuasi, maupun dialog yang dimaksudkan untuk mencapai suatu kesepakatan dengan otoritas setempat yang memiliki perbedaan perspektif maupun kepentingan yang tidak selaras, meskipun fokusnya berbeda.

Aktivitas utamanyapun cenderung mirip karena diawali dengan mengumpulkan informasi, lalu dilanjutkan dengan komunikasi, serta diakhiri dengan negosiasi. Ketiga aktivitas tersebut amat dipengaruhi oleh political will negara yang dituju, dimana proses politik tersebut berpegaruh karena merupakan bagian dari tindakan menghadapi perbedaan kepentingan, yang selanjutnya menjadikan sebagai tantangan bagi para organisasi maupun personilnya untuk melakukan diplomasi kemanusiaan dengan menjalin komunikasi, interaksi, dan negosiasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan supaya membuka ruang kemanusiaan bagi setiap upaya pertolongan, advokasi, maupun penyaluran bantuan kemanusiaan. Proses politik kemanusiaan maupun personilnya memang cenderung harus masuk ke pusara Terkait dengan “Humanitarian space”, diplomasi kemanusiaan ini dapat diartikan juga sebagai proses dalam membuka serta memelihara ruang kemanusiaan dimana proses tersebut bertujuan untuk mendapatkan akses bagi mereka yang membutuhkan bantuan akibat dampak dari adanya sutau perang atau konflik, bencana, maupun yang lainnya.

(15)

15

Diplomasi kemanusiaan sangatlah dibutuhan di Myanmar, khususnya di Negara Bagian Rakhine karena Muslim Rohingya masih dinilai sebagai korban yang paling membutuhkan dan terbilang lebih sulit mendapatkan akses bantuan kemanusiaan karena adanya suatu batasan dari kebijakan mengenai hak kewarnegaraan yang masih belum diakui oleh Pemerintah Myanmar. Diplomasi kemanusiaan yang prosesnya membuka ruang kemanusiaan di Rakhine State ini, menjadikan suatu proses yang menarik untuk dikaji, bagaimana organisasi kemanusiaan yang direpresentasikan oleh MSF, mampu membuka kembali ruang kemanusiaan setelah sempat diberhentikan oleh Pemerintah Myanmar.

1.4.3 Humanitarian Negotiation atau Negosiasi Kemanusiaan

Telah dijelaskan bahwa salah satu proses diplomasi humaniter atau diplomasi kemanusiaan adalah negosiasi. Negosiasi yang efektif menjadikan ujung tombak apakah ruang kemanusiaan dapat tercipta sehingga akses dapat terbuka dan bantuan dapat sampai kepada yang dituju. Negosiasi yang baik didukung oleh pengumpulan informasi yang lengkap, karena bagaimanapun juga informasi yang didapat akan digunakan untuk menjadi dasar dalam mengimplementasikan program kemanusiaan yang akan dilaksanakan secara efektif dan efisien. Informasi ini juga terkait dengan pengetahuan yang mendalam untuk mengetahui kondisi otoritas setempat sehingga dapat dijadikan bahan untuk bernegosiasi.

Dikutip dari Buku Humanitarian Negotiation: a Hanbook for Securing Access, Assistance, and Protection for Civilians in Armed Conflict, negosiasi kemanusiaan ditujukan untuk memastikan perlindungan juga pemberian bantuan kepada warga sipil yang terkena dampak dari konflik yang didasari oleh Hukum Humaniter Internasional, Hak Asasi Manusia, serta Hukum yang berkaitan dengan pengungsi. Sejatinya ada 3 tujuan utama negosiasi kemanusiaan dilakukan, yaitu negosiasi untuk mendapatkan akses

(16)

16

kemanusiaan, negosiasi untuk bias melakukan operasi kemanusiaan dengan memberikan bantuan kemanusiaan, serta negosiasi untuk mendapatkan perlindungan ketika melakukan operasi kemanusiaan.16

Terdapat empat kata kunci yang terkait erat dengan karakteristik negosiasi kemanusiaan, yaitu:

1. Aktor kemanusiaan seperti aktor kemanusiaan yang telah diberi mandate, bias berupa IGO ataupun INGO seperti PBB, ICRC, MSF, dan lainnya.

2. Tujuannya adalah untuk kemanusiaan termasuk juga akses kemanusiaan, perlindungan, maupun bantuan.

3. Negara yang dilanda konflik.

4. Pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.17

Meskipun negosiasi dalam diplomasi dapat menghasilkan suatu hasil di satu pihak, atau penolakan pada kedua belah pihak, atau bahkan bersesuaian. Negosiasi khususnya dalam diplomasi kemanusiaan harus terus dilakukan, meskipun seringkali organisasi kemanusiaan sering dianggap mempunyai bargaining position yang rendah karena tidak bisa memaksa dengan memberikan sanksi-sanksi militer maupun ekonomi. Namun dengan adanya negosiasi kemanusiaan, setidaknya terdapat upaya terus menerus untuk membuka ruang kemanusiaan pada mereka yang membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Organisasi kemanusiaan termasuk personilnya di dalamnya, bilamana menjadi negosiator kemanusiaan, pada prakteknya akan berusaha menekankan prinsip-prinsip kemanusiaan di dalam negosiasi mereka,

16 D. Griffoli dan A. Picot, Humanitarian Negotiation: a Hanbook for Securing Access, Assistance,

and Protection for Civilians in Armed Conflict, Geneva, Center for Humanitarian Dialogue, 2004, hal.

19-20. 17 Ibid. hal. 19

(17)

17

sehingga bagaimanapun juga negosiator kemanusiaan harus berimprovisasi menghadapi setiap tantangan tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip kemanusiaan. Setidaknya terdapat 4 prinsip yang menjadi hal yang mendasar dalam bernegosiasi. Prinsip-prinsip tersebut telah disahkan oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 46/182 pada tahun 1991, prinsip-prinsip itu adalah humanity (kemanusiaan), neutrality (neralitas), impartiality (ketidakberpihakkan), sedangkan prinsip yang keempat yaitu prinsip independence (kemandirian), baru disahkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 58/114 pada tahun 2004.18 Untuk lebih jelasnya terdapat tabel yang memudahkan dalam menjelaskan keempat prinsip tersebut.

Tabel 1.2 Prinsip-Prinsip Kemanusiaan

No. Prinsip Penjelasan

1. Kemanusiaan Dimanapun itu, penderitaan manusia haruslah ditindaklanjuti, karena pada hakikatnya tujuan dari aksi-aksi kemanusiaan adalah untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, serta menjamin kehormatan setiap manusia. 2. Netralitas Aktor kemanusiaan tidak boleh memihak

dalam suatu konflik maupun terlibat dalam agenda yang bersifat politis, agama, maupun menyangkut ideologi.

3. Ketidakberpihakkan Aksi kemanusiaan haruslah dilaksanakan

atas dasar kebutuhan, serta memberikan prioritas kepada orang yang paling

18 Office for the Coordination of Humanitarian Affairs, OCHA on Message: Humanitarian Principles, (website), 2010, https://docs.unocha.org/sites/dms/Documents/OOM_HumPrinciple_English.pdf, (diakses 26 Agustus 2016).

(18)

18

membutuhkan, atau yang paling darurat tanpa membeda-bedakan asal usul, ras, gender, kelas maupun opini politik. 4. Kemandirian Aksi kemanusiaan haruslah bebas mandiri

dari hal-hal yang menyangkut politik, ekonomi, militer, atau pihak lain yang turut serta campur tangan yang tentunya berseberangan dengan prinsip-prinsip yang telah disebutkan sebelumnya.

Sumber: Office for the Coordination of Humanitarian Affairs19

1.5 Argumen Utama

Melalui kerangka pemikiran di atas, penulis menarik argumen utama sebagai berikut:

Dalam membuka kembali ruang kemanusiaanya di Negara Bagian Rakhine, tanpa mengesampingkan kekhawatiran Pemerintah Myanmar atas kedaulatannya, MSF selaku organisasi humaniter internasional melakukan proses diplomasi kemanusiaan yang menitikberatkan pada negosiasi kemanusiaan sebagai instrumen utamanya. Negosiasi tersebut dilakukan kepada berbagai pihak yang memiliki pengaruh besar bagi terbukanya ruang kemanusiaan di Myanmar, baik itu Pemerintah Myanmar sendiri, pihak Buddha Rakhine, maupun aktor internasional yang memiliki otoritas yang kuat yang mampu mendesak kebijakan Pemerintah Myanmar yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat.

(19)

19 1.6 Jangkauan Penulisan

Jangkauan penelitian yang peneliti tulis adalah analisa operasi kemanusiaan MSF pada masa pemerintahan Thein Sein, yaitu ketika Presiden Thein Sein diangkat menjadi presiden Myanmar pada Maret 2011 hingga sebelum digantikan Presiden Myanmar yang baru, U Htin Kyaw, pada Maret 2016. Dan penulisan ini juga difokuskan pada masa setelah Konflik Etnis antara Etnis Buddha Rakhine dengan Etnis Muslim Myanmar di Negara Bagian Rakhine atau Arakan, dimana setelah konflik etnis mulai mereda namun masih membawa dampak negatif yang begitu besar terlebih pada Etnis Muslim Rohingya, justru operasi kemanusiaan MSF pada Februari 2014 diberhentikan sepihak oleh Pemerintah Myanmar. Memang dalam faktanya Pemerintahan Thein Sein membawa kemajuan bagi demokratisasi di Myanmar, namun di balik itu masih terdapat pelanggaran HAM baik dari konflik perbatasan, maupun konflik etnis, ditambah beberapa kali bencana melanda Myanmar, sehingga area-area tersebut haruslah dibukakan ruang kemanusiaan bagi aktor-aktor kemanusian untuk melakukan operasi kemanusiaan. Namun, agar tidak melebar, penulis berudaha menitik beratkan operasi kemanusiaan yang berada di Negara Bagian Rakhine, dimana telah terjadi konflik etnis atau bisa juga disebut konflik komunal.

1.6 Metode Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan studi literatur untuk mengumpulkan data serta analisis data bersifat induktif sebagai teknik analisisnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang normatif yaitu penelitian yang mencoba menganalisa strategi MSF dalam membuka ruang kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine untuk mendapatkan akses dan melakukan operasi kemanusiaan atas dampak kasus konflik etnis ataupun konflik komunal yang terjadi antara Etnis Buddha Rakhine dengan Etnis Muslim Rohingya khususnya pada

(20)

20

bulan Juni dan Oktober tahun 2012, serta Maret 2013 di Negara Bagian Rakhine atau Arakan, dengan cara menelaah strategi apa yang telah dilakukan MSF membuka ruang kemanusiaan di Myanmar dalam keadaan Pemerintah Myanmar yang khawatir kedaulatannya terenggut intervensi asing.

1.7 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian mengenai strategi MSF ini, penulis berusaha mengumpulkan berbagai data baik dari perpustakaan maupun mendownload buku-buku, jurnal-jurnal, penelitian, artikel-artikel dari internet yang berhubungan dengan kepemerintahan Myanmar ditangan Presiden Thein Sein, sejarah Muslim Rohingya, diskriminasi terhadap Muslim Rohingya, dan kasus konflik etnis di Negara Bagian Rakhine. Selain itu juga, penulis menelaah lebih jauh perihal diplomasi kemanusiaan yang dilakukan actor nterhadap aktivitas organisasi yang secara gamblang ditampilkan di official website MSF. Terakhir, penulis juga menonton film dokumenter dari Al Jazeera mengenai genosida yang tersembunyi, tentunya terkait erat dengan konflik etnis yang terjadi di Negara Bagian Rakhine tersebut, juga video-video yang berkaitan dengan operasi kemanusiaan yang dilakukan MSF.

1.8 Sitematika Penulisan

Dalam Sistematika penulisan ini, garis besar pada Bab 1, sama dengan sistematika pada umumnya, yang dimulai dengan latar belakang masalah dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Sedangkan di Bab 2, lebih membahas perihal aktor non-negara, yang dalam tesis ini adalah MSF sebagai organisasi internasional kemanusiaan. Lalu diterangkan juga, sejarahnya masuknya MSF ke Myanmar juga sepak terjangnya di Myanmar. Serta dilanjutkan oleh masalah yang dihadapi MSF di Myanmar hingga

(21)

21

sempat diberhentikan di tahun 2014. Lanjut di Bab 3, penulis akan membahas tentang pengumpulan Informasi tentang Myanmar, yang menjadi acuan untuk bernegosiasi. Akan membahas tentang strategi MSF dengan memakai negosiasi sebagai instrumen dalam menjalankan proses diplomasi kemanusiaannya, yang tentunya dilakukan MSF ke berbagai pihak demi membuka ruang kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine agar mendapatkan kembali akses masuk ke Negara Bagian Rakhine sehingga dapat kembali melaksanakan operasi kemanusiaannya. Di Bab 4 dijelaskan sejauh mana strategi yang diimplementasikan MSF dapat berhasil dalam membuka kembali ruang kemanusiaan di Rakhine. Terakhir, ditutup oleh kesimpulan dan saran di Bab 5.

Gambar

Tabel 1.2 Prinsip-Prinsip Kemanusiaan

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan masyarakat, memanfaatkan Tahura Djuanda sebagai sumber pendapatan masyarakat setempat yang bersumber dari wisatawan yang datang ke Tahura Djuanda. Pengeluaran

Kesulitan investor untuk menentukan saham yang dapat di masukkan portofolio, diversifikasi, dan estimasi return risiko dapat diatasi dengan penyusunan portofolio

Admin ke SPK Penjurusan Siswa dapat melakukan proses seperti login dengan username dan password admin Proses input data siswa,input data guru, input data minat,

Gambaran umum pendidikan tinggi disajikan pada Tabel 3 yang dirinci menurut variabel pendidikan, status lembaga, dan jenis lembaga.. Dengan demikian, jenis lembaga

Berikut merupakan salah satu contoh pengujian yang dilakukan pada aplikasi ARMIPA yaitu pengujian ketepatan titik lokasi pada peta dan kamera dengan markerless

Pada Ruang Baca Pascasarjan perlu dilakukan pemebersihan debu baik pada koleksi yang sering dipakai pengguna maupun

Menurut teori hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai

Penyusunan LBP Kementerian Keuangan Tahunan Tahun Angggaran 2020 (Audited), mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan