Perbedaan PEEP 5,10 dan 15 CMH2O Terhadap Hemodinamik Pada Pasien Yang Terpasang Ventilasi Mekanik Mode Spontan di Ruang ICU Rumah
Sakit Immanuel Bandung
Hery Prayitno1*, Sari Fatimah1 & Etika Emaliyawati1
1
Universitas Padjadjaran
Abstrak
Gagal napas merupakan suatu ketidakmampuan paru menjaga keseimbangan atau homeostatis O2 dan CO2 di dalam tubuh. Kejadian gagal napas mencapai 20–75 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun dengan angka kematian mencapai 30–50% oleh itu membutuhkan pemasangan ventilasi mekanik dalam mengendalikan ventilasi paru untuk meningkatkan oksigenasi dan mencegah kerusakan paru. Pada akhir pernafasan umumnya terjadi kolaps ruang udara bagian distal sehingga sering menyebabkan timbulnya ateletaksis yang dapat mengganggu proses difusi dan memperberat gagal nafas. Untuk mengantisipasi kecenderungan timbulnya kolaps alveoli pada akhir pernafasan, maka dibuat suatu tekanan positif pada akhir ekspirasi (PEEP). PEEP dapat meningkatan tekanan intrathorakal yang dapat mengganggu kerja jantung sehingga dapat mengakibatkan perubahan pada hemodinamika. Penggunaan PEEP harus disesuaikan dengan kondisi hemodinamika pada pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan PEEP 5, 10 dan 15 cmH20 terhadap hemodinamika pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik mode spontan di ruang ICU Rumah Sakit Immanuel Bandung. Metode dalam penelitian ini menggunakan quasi eksperiment dengan desain penelitian one grup pretest dan post test, teknik sampling yang digunakan yaitu consecutive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 17 responden dan pengumpulan data dialkukan pada tanggal 1 Juni sampai 1 Juli 2015. Teknik pengumpulan data dengan cara observasi, analisis yang digunakan dalam penelitian adalah dengan uji repeat anova. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah dilakukan perubahaan PEEP 5, 10 dan 15 cmH20 terhadap status hemodinamik antara lain Tekanan darah sistolik dan diastolik, MAP serta heart rate, dengan nilai P value > 0,05.
Pendahuluan
Kejadian gagal napas
mencapai 20–75 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun dengan angka
kematian mencapai 30–50%
(Opdahl, 2010). Gagal napas merupakan alasan paling umum untuk dilakukan perawatan di unit perawatan intensif atau intensive care unit (ICU) rumah sakit. Gagal
napas merupakan suatu
ketidakmampuan paru menjaga keseimbangan atau homeostatis O2 dan CO2 di dalam tubuh serta ketidakmampuan paru menyediakan O2 yang cukup atau mengurangi tumpukan CO2 di dalam tubuh. Menurut Ignatavicius & Workman (2006).
Pemberian bantuan
pernapasan dengan pemasangan
ventilasi mekanik dalam
mengendalikan ventilasi paru untuk meningkatkan oksigenasi dan mencegah kerusakan paru. Ventilasi mekanik diberikan dengan indikasi ketidakmampuan fungsi pernapasan untuk melakukan ventilasi alveolar secara optimal (Sellares, et al, 2009). Menurut Smeltzer, et al (2008) bantuan tersebut untuk memenuhi
kebutuhan oksigen tubuh,
mengurangi kerja pasien dengan ketergantungan pada ventilator. Pada akhir pernafasan umumnya terjadi kolaps ruang udara bagian distal sehingga sering menyebabkan timbulnya ateletaksis yang dapat mengganggu pertukaran gas dan memperberat gagal nafas. Untuk mengantisipasi kecenderungan
timbulnya kolaps alveoli pada akhir pernafasan, maka dibuat suatu tekanan positif pada akhir ekspirasi (PEEP).
Penggunaan PEEP dilakukan dengan cara menurunkan komplians paru dengan konsekuensi tekanan yang diberikan dapat didistribusikan ke daerah paru-paru yang normal
sehingga dapat menyebabkan
distensi atau dapat menimbulkan terjadinya perubahan tekanan intrathorakal (Hildy, M.Schell, A. & Puntillo, 2006). Efek pemberian PEEP oleh ventilasi mekanik sering tidak menjadi perhatian padahal bisa saja terjadi gangguan pada system
kardiovaskuler yang akan
berpengaruh pada status
hemodinamika. Perubahan
hemodinamika yang terjadi pada saat
pemberian PEEP diantaranya
tekanan darah, MAP, heart rate, oleh karena itu penggunaan PEEP diseting sangat bervariasi, disesuaikan dengan kondisi pasien dimulai dari 5 sampai dengan 15 cmH20 atau lebih, sehingga pemantauan hemodinamika perlu diperhatikan (Oakley, 2003).
Pemantauan tersebut
merupakan suatu teknik pengkajian pada pasien kritis, mengetahui kondisi perkembangan pasien, serta untuk antisipasi kondisi pasien yang memburuk (Burchell, L. & Powers, A., 2011). Dasar dari pemantauan hemodinamika adalah perfusi jaringan yang adekuat, seperti keseimbangan antara pasokan oksigen dengan yang dibutuhkan, mempertahankan nutrisi, suhu tubuh
dan keseimbangan elektrokimiawi sehingga manifestasi klinis dari gangguan hemodinamika berupa gangguan fungsi organ tubuh yang bila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan jatuh ke dalam gagal fungsi organ multipel.
Perawat sebagai bagian dari tim kesehatan dalam merawat pasien-pasien kritis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam memonitor keadaan hemodinamika.
Monitoring hemodinamika
merupakan suatu pengkajian
fisiologis yang penting dalam perawatan pasien-pasien kritis. Data yang terkumpul dalam pemasangan ventilasi mekanik serta pemberian PEEP dapat digunakan sebagai petunjuk bagi perawat kritis dalam membedakan dan mengevaluasi intervensi kepada masing-masing pasien yang terpasang ventilasi mekanik, sehingga peran perawat kritis bisa mendeteksi secara cepat dan akurat perubahan yang terjadi ketika pemasangan ventilasi mekanik dengan perubahan PEEP yang disesuaikan dengan keadaan pasien, sehingga pemberian PEEP perlu diperhatikan. Berdasarkan latar belakang diatas oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan PEEP 5, 10 dan 15 cmH20 terhadap status
hemodinamika. Penelitian ini bertujuan perbedaan Positive End Expiratory Pressure (PEEP) 5, 10 dan 15 cmH20 terhadap status hemodinamika pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik di ruang ICU RS Immanuel Bandung
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan racangan penelitian quasi experiment one group pretest-postest. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menggunakan ventilasi
mekanik dan dirawat di
RS.Immanuel Bandung. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan yaitu menggunakanconsecutive sampling dengan jumlah sampel 17 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan bed side monitor dan lembar observasi yang meliputi data tekanan darah, heart rate, MAP, RR dan saturasu oksigen. kuesioner. Uji
validitas dilakukan dengan
melakukan kalibrasi pada bed side monitor. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
analisis univariat dengan
menggunakan frekuensi, mean, standar deviasi sedangkan analisis bivariat menggunakan repeat anova.
Hasil Penelitian
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Berat Badan
Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)
Usia 18-30 tahun 3 17.6 31-40 tahun 8 47.1 41-50 tahun 3 17.6 51-60 tahun 0 0 >60 tahun 3 17.6 Jenis Kelamin Laki-Laki 6 35.3 Perempuan 11 64.7
Berat Badan (IMT)
Kurang (<18,5) 3 17.6
Ideal (18.5-22.5) 12 70.6
Lebih (>23) 2 11.8
Dari Tabel 1 diperoleh bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini berada pada kelompok usia 31-40 tahun (47,1%)
dan berjenis kelamin perempuan (64,7%). Sebagian besar responden (70.6%) memiliki berat badan yang ideal sebanyak 12 orang (70,6%).
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan Tanda-Tanda Vital
Tanda-Tanda Vital Frekuensi (f) Presentase (%)
Sistolik - 110-120 - 121-130 - 131-140 5 6 6 29.4 35.3 35.3 Total 17 100 Diastolik - < 70 - 71-90 - > 91 6 9 2 35.3 52.9 11.8 Total 17 100 MAP - < 70 - 70-90 - > 90 0 7 10 0 41.2 58.8 Total 17 100 Heart rate - 60-80 - 81-100 10 7 58.8 41.2 Total 17 100
Distribusi tekanan darah sistolik berdasarkan pada tabel 4.2 kurang dari setengah pasien mempunyai tekanan sisitolik yang sama yaitu dari 121-130 mmHg sebanyak 6 orang (35,3%) dan tekanan darah sistolik 131-140 mmHg sebanyak 6 orang. Distribusi tekanan darah diastolik lebih dari setengah pasien mempunyai tekanan
diastolik yaitu dari 71-90 mmHg sebanyak 9 orang (52,9%). Distribusi tekanan darah rata-rata (MAP) lebih dari setengah pasien mempunyai tekanan darah rata-rata yaitu lebih dari 90 mmHg sebanyak 10 orang (58,8%) sedangkan distribusi heart rate lebih dari setengah pasien mempunyai heart rate antara 60-80 x/menit sebanyak 10 orang (58,8%) .
Tabel 3
Perbedaan Rata-rata pada Tekanan Darah Sistole dan Diastole, MAP dan Frekuensi Heart
rate, Sebelum dan Sesudah Perubahan PEEP.
Variabel Mean SD CI95%
TD Sistolik - PEEP 5 128,94 12.01 122,76-135,12 - PEEP 10 128.88 10.36 123,55-134,20 - PEEP 15 128,29 10.30 122,99-133,59 TD Diastolik - PEEP 5 78 10,33 72,68-83,12 - PEEP 10 77,76 10,5 72,36-83,16 - PEEP 15 77,7 9,95 72,58-82,82
Mean Arterial Pressure
(MAP) - PEEP 5 94,98 10,74 89,45-100,50 - PEEP 10 94,8 10,3 89,49-100,11 - PEEP 15 94,56 9,8 89,52-96,61 Heart rate - PEEP 5 78 9.04 74-83 - PEEP 10 79.47 8.91 74-84 - PEEP 15 79.64 6.89 76-83
Pada table 3 ini juga menunjukkan rerata dan standar deviasi tekanan darah sistolik pada pasien yang menggunakan ventilasi
mekanik di ruang ICU Rumah Sakit Immanuel Bandung, rerata tekanan darah sistolik paling kecil pada saat PEEP 15 cm20 dengan 128,29
mmHg (SD: 10,30 ; 95% CI: 122,99-133,59) sedangkan rerata dan standar deviasi tekanan darah diastolic paling kecil pada saat PEEP ke 15
cmH20 dengan 77,70 mmHg
(SD:9,95 ; 95% CI: 72,58 - 82,82). Pada rerata dan standar deviasi mean arterial pressure (MAP) paling kecil
pada saat PEEP ke 15 cmH20 dengan 94,56 mmHg (SD: 9,80 ; 95% CI: 89,52-96,61) tetapi pada heart rate menunjukkan rerata dan standar deviasi paling kecil pada saat PEEP 5 dengan 78 mmHg (SD: 9.04; 95% CI:74-83 ).
Tabel 4
Perbedaan Beda Rerata pada Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik, MAP dan Frekuensi
Heart rate, Sebelum dan Sesudah Perubahan PEEP.
PEEP
Nilai Hemodinamika Beda rerata (mmHg) P Value
Sistolik - PEEP 5 ke 10 0,059 1 - PEEP 10 ke 15 0,647 1 Diastolik - PEEP 5 ke 10 0,235 1 - PEEP 10 ke 15 0,294 0,997 MAP - PEEP 5 ke 10 0,176 1 - PEEP 10 ke 15 0,235 1 Heart rate - PEEP 5 ke 10 0,529 1 - PEEP 10 ke 15 0,176 1
*Bermakna pada α = 0,05 dengan uji
Pada tabel 4 Hasil uji statistic dengan mengunakan repeat
ANOVA, didapatkan dari perubahan PEEP terhadap sistolik adalah 1,000 (p<0,05). dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakana nilai tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah dilakukan perubahan PEEP, tidak ada perbedaan yang bermakana nilai tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah
dilakukan perubahan PEEP. tidak ada perbedaan yang bermakana nilai tekanan darah rata-rata sebelum dan sesudah dilakukan perubahan PEEP, tidak ada perbedaan yang bermakana nilai heart rate sebelum dan sesudah dilakukan perubahan PEEP.
Pembahasan
Pada penelitian ini beda rerata nilai hemodinamika tekanan
darah sistolik dari PEEP 5cmH20 ke 10 cmH20 adalah 0,059 mmHg, dari PEEP 10 cmH20 ke 15 cmH20 adalah 0,647, didapatkan p value dari PEEP 5 ke 10 adalah 1,000 (p<0,05), dan dari PEEP 10 ke 15 adalah 1,000 (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakana nilai tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah dilakukan perubahan PEEP I dan II, sedangkan beda rerata nilai
hemodinamika tekanan darah
diastolik dari PEEP 5cmH20 ke 10 cmH20 adalah 0,235 mmHg, dari PEEP 10 cmH20 ke 15 cmH20 adalah 0,294, didapatkan p value dari PEEP 5 ke 10 adalah 1,000 (p<0,05), dan dari PEEP 10 ke 15 adalah 0,997 (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakana nilai tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah dilakukan perubahan PEEP I dan II.
Beda rerata nilai
hemodinamika tekanan darah rata-rata (MAP) dari PEEP 5cmH20 ke 10 cmH20 adalah 0,176 mmHg, dari PEEP 10 cmH20 ke 15 cmH20 adalah 0,235, didapatkan p value dari PEEP 5 ke 10 adalah 1,000 (p<0,05), dan dari PEEP 10 ke 15 adalah 1,000 (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakana nilai tekanan darah rata-rata sebelum dan sesudah dilakukan perubahan PEEP I dan II dan beda rerata nilai hemodinamika heart rate dari PEEP 5cmH20 ke 10 cmH20 adalah 0,529 mmHg, dari PEEP 10 cmH20 ke 15
cmH20 adalah 0,176, didapatkan p value dari PEEP 5 ke 10 adalah 1,000 (p<0,05), dan dari PEEP 10 ke 15 adalah 1,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakana nilai heart rate sebelum dan sesudah dilakukan perubahan PEEP I dan II.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith (2008) yang menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan pengaruh PEEP terhadap tekanan darah mean arterial pressure (MAP) dan heart rate yang membedakan penelitian Smith dengan peneliti adalah pada peningkatan PEEP yaitu Smith hanya sampai 10 cmH20, perubahan waktu lamanya hanya 5 menit, pada pasien yang tidak ada gangguan paru-paru serta menggunakan mode ventilator volume control dan pasien dalam tersedasi. Hasil peneltian yang sama dilakukan oleh Saner bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara
perubahaan PEEP dengan
hemodinamika, pada penelitian ini
dilakukan menggunakan mode
ventiasi pressure control pada pasien gangguan hepar dan hanya dinaikan PEEP dari 0 ke 5 dan sampai 10 cmH20.
Penelitian yang dilakukan oleh Ambrosino et al (1993) efek Pressure Support ventilation dan
PEEP ventilator terhadap
hemodinamik pada pasien stabil chronic obstructive pulmonary disease didapatkan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap heart rate dan tekanan darah sistolik
dan diastolic. Penelitian ini membandingkan PS 10 dan PEEP 0 dengan PS 10 dan PEEP 5 serta PS 20 dan PEEP 0 dengan PS 20 dan
PEEP 5 cmH20 dan waktu
perubahan tiap PS dan PEEP dilakukan hanya 10 menit.
Hasil penelitian yang berbeda dilakukan oleh Michard et al (1999) bahwa PEEP terhadap hemodinamik yaitu MAP ada perubahan yang signifikan dimana terjadi penurunan MAP (P value =0,02, α=0,05) dimana penelitian ini menggunakan mode ventilasi volume control dan waktu perubahan yang dilakukan hanya 15 menit, perubahan PEEP dilakukan hanya 0 sampai 10 cmH20.
Tekanan darah arteri
digunakan sebagai perkiraan kecukupan perfusi jaringan, pada kenyataannya perubahan tekanan darah arteri merupakan penyebab yang paling umum terjadinya ketidakstabilan hemodinamika pada pasien sakit kritis. Tekanan darah sistolik menggambarkan tekanan maksimum pada arteri ketika terjadi kontraksi ventrikel kiri dan diatur oleh stroke volume ( volume darah yang dipompa keluar pada setiap heart rate). Dalam keadaan fungsi sistolik dan diastolic yang normal, ventrikel dapat menerima volume aliran yang besar tanpa adanya peningkatan tekanan vena sentral, tetapi apabila fungsinya menurun, pemberian cairan walaupun sedikit mengakibatkan tekanan vena sentral meningkat secara signifikan (Levick, 2000).
Tekanan darah arteri
digunakan sebagai perkiraan kecukupan perfusi jaringan, pada kenyataanya perubahan tekanan darah arteri merupakan penyebab yang paling umum terjadinya ketidakstabilan hemodinamika pada pasien sakit kritis. Tekanan darah sisitolik menggambarkan tekanan maksimum pada arteri ketika terjadi kontraksi ventrikel kiri dan diatur oleh stroke volume (volume darah yang dipompa keluar pada setiap heart rate. Dalam keadaan fungsi sistolik dan diatolik yang normal, ventrikel dapat menerima volume cairan yang besar. Gangguan pada pengisiian ventrikel selama fase diastolic karena penekanan jantung berasal dari tekanan positif intratorakal juga terjadi pada saat pengosongan ventrikel selama fase sistolik, sehingga akhirnya akan mengurangi venrikular afterload (Lanken, 2007, Whitley 2006).
Pada penelitian ini
didapatkan hasil tidak adanya perbedaan yang signifikan terhadap hemodinamika terutama tekanan darah sistole, diastole dan MAP serta heart rate setelah dan sesudah perubahan PEEP hal ini bisa diakibatkan oleh perubahan tekanan intrathorakal yang dipengaruhi oleh modus ventilasi, volume tidal dan PEEP. Pengaruh PEEP pada kinerja jantung cukup kompleks dan mengakibatkan perubahan preload dan afterload pada kedua sisi jantung. Untuk menggambarkan perubahan ini, penelaahan pengaruh tekanan intratorakal terhadap
tekanan transmural penting dilakukan karena menentukan pengisian ventrikel (preload) dan resistensi terhadap pengosongan ventrikel (afterload).
Inflasi paru bertekanan positif cenderung mengurangi pengisian ventrikel selama fase diastolik, namun hal ini juga menyebabkan peningkatan pengosongan ventrikel selama fase sistolik. Secara menyeluruh, pengaruh dari tekanan positif terhadap curah jantung tergantung pada pengaruh yang lebih menonjol antara preload atau
afterload. Ketika volume
intravaskular normal dan tekanan intratorakal tidak terlalu besar, maka pengaruh akibat penurunan afterload menjadi lebih menonjol dan ventilasi bertekanan positif meningkatkan curah jantung (cardiac output). Hal yang sebaliknya terjadi pada keadaan
hipovolemi. Ketika volume
intravaskular berkurang, efek yang lebih menonjol akibat tekanan positif intratorakal adalah penurunan ventricular preload.
Pada keadaan ini, ventilasi bertekanan positif menurunkan cardiac output. Oleh karena itu, hal ini menekankan betapa pentingnya usaha untuk menghindari timbulnya hipovolemi pada penatalaksanaan pasien dengan ketergantungan pada ventilator (ventilator dependent) (Pilbeam,2004). Penting kiranya untuk dapat membedakan antara hipotensi yang terjadi akibat pemberian PEEP dan hipotensi yang disebabkan oleh sebab lain (hipovolemia, sepsis, dll). Pemberian
cairan dapat dipertimbangkan pada saat terjadi hipotensi. Pertimbangan untuk mengurangi tekanan positif yang diberikan saat ventilasi mekanik atau merubah modus ventilator apabila penyebab hipotensi adalah tekanan intratorakal (Helmi, 2010).
Tekanan yang biasa
digunakan antara 5-15 cmH20. Tekanan lebih tinggi dari 15 cmH20
akan meningkatkan tekanan
intratoraks, menyebabkan aliran darah balik dan curah jantung menurun yang akan menggangu system sirkulasi serta drainase cairan likuor terhambat, oleh karena itu perlu dipertimbangkan pada kasus hipovolemik dan pada hipertensi intracranial. Tekanan intratorak yang tinggi yang terjadi secara mendadak akibat aplikasi PEEP yang disertai dengan usaha perlawanan penderita dapat menimbulkan barotrauma (Mangku, 2002).
Adapun penelitian yang menyatakan ada perbedaan yang signifikan terhadap hemodinamika oleh Michard (1999) diantaranya diakibatkan oleh oleh peningkatan resistensi vaskuler pulmoner secara progresif dan gangguan fungsi sistolik ventrikel kanan pada saat pemberiaan PEEP. Mekanikme ini berperan terhadap berkurangnya curah jantung saat ventilasi mekanik. Sehingga penting untuk melakukan titrasi PEEP untuk optimisasi oksigenasi, curah jantung, transport 02 sistemik (Bronicki, 2000). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jardin, et all (1991)
menunjukkan mekanikme yang
bertanggung jawab terhadap
penurunan curah jantung akibat
ventilasi mekanik. Mereka
membuktikan pada pasien gagal napas akut dengan fungsi ventrikel kanan normal terjadi penurunan curah jantung secara progresif seiring dengan peningkatan PEEP.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RS.Immanuel
Bandung mengenai perbedaan
Positive End Expiratory Pressure (PEEP) 5, 10 dan 15 cmH2O terhadap status hemodinamika pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik di ruang ICU RS Immanuel Bandung bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada perubahan PEEP 5,10, dan 15 cmH2O terhadap status hemodinamik antara lain tekanan darah sistole dan diastole, MAP, serta heart rate pada pasien terpasang ventilasi mekanik dengan mode sontan presure suport 6, PEEP 5 dan FiO2 40 %.
Saran
1. Saran Akademis
Perlu diteliti lebih lanjut berkaitan dengan pengaruh PEEP terhadap mode ventilator yang lain dan pada pasien yang lebih spesifik dan tidak berbeda-beda .
2. Saran Praktis
Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pemberian PEEP 5 sampai dengan 15 cmH20 di
ICU Rumah Sakit Immanuel
Bandung pada pasien dengan gangguan pernafasan terutama dengan oedema paru maupun ARDS pada pasien yang terpasang mode ventilasi PSV dengan PS 6 dan kondisi pasien yang sudah stabil dan menjadi gambaran sehingga dapat meningkatkan kadar oksigenasi tanpa mempengaruhi hemodinamika pasien akibat dari perubahan PEEP.
DAFTAR PUSTAKA
Ambrosini, S Tava, A Torbbicki, G Riccardi, C Fracchia, C Opasich, C Rampula. (1993). Haemodynamics Effects of Pressure Support and PEEP Ventilation in Patient Stable
Chronic Obstructive
Pulmonary. Thorax; 48:523-528.
Brooker (2008). Pulse oximetry. Nurse stand. April 39-41. Bronicki RA, Anas NG.
Cardiopulmonary interaction. Pediatric Critical care Medicine. 2009; 10(3): 313-22. Burchell, L. & Powers, A. (2011). Focus on central venous pressure in acute care setting. Journal of nuursing. 39-43. Cao F, Chen R.L, Liu X.F, Effect
of positive end expiratory pressure on the pressure gradient of venous return in hypovolemic patient under mechanical ventilation. Wei Zhong Bing Ji Yiu Yi Xue.
209; 21(10): 583-6.
Dahlan, M. S. (2010). Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Dharma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Jakarta: TIM
Fessler HE, Brower RG, Wise RA, Permutt S.(2002). Effects of positive end- expiratory pressure on the canine venous return curve. Am Rev Respir Dis; 146(1): 4-10. Ganong,W.F. (2010). Review of
medical physiology: Ganong’s 23 edition. New York: The McGraw-Hill Companies inc. Guyton, A.C & Hall, J.E. (2008).
Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11.Jakatra: EGC
Hamlin, S. K. (2010). Hemodynamic changes associated with manual and automated lateral rotation in mechanically ventilated intensive care unit patients. Diakses dari www. proquest pada tanggal 15 April 2012. Thesis
Hildy, M. Schell, A & Puntillo. (2006). Critical care nursing. Mosby: Elsevier. Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2006) Medical surgical nursing ; critical thinking for collaborative care; fifth edition, volume 2, Elsevier
Saunders, Westline Industrial Drive, St. Louis, Missouri. Jardin F, Brun-Ney D, Jardin F,
Brun-Ney D, Hardy A, Aegerter P, Beauchet A, Bourdarias JP. Combined thermodi- lution and two-dimensional echocardiographic evaluation of right-ventricular function during respiratory support with PEEP. Chest. 1991; 53(1): 57-62.
Jevon & Ewens. (2009). Pemantauan pasien kritis seri keterampilan klinis esensisal untuk perawat edisi ke 2. Jakarta: Erlangga. Kozier, B., Erb, G., Berman, A., &
Snyder, S. J. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses & praktik (edisi 7) (Esty. W, Devi. Y, Yuyun. Y, dan Ana. L, penerjemah). Jakarta: EGC. Lanken PN. (2007). Mechanical
ventilation. In: Lanken PN, ed. The Intensive Care Unit Manual. 2nd Philadelphia: Saunders Inc.; 13-30.
Levick JR. (2000). Control of stroke Volume and Cardiac Output. In An Introduction to Cardiovascular Physiology. New York: Oxford University Press.95-8
Maestroni A, Aliberti S, Amir O, Milani G, Bram. Billa AM, Piffer F, Tardini F, Cosentini. (2009). R: Acute effects of
positive end-expiratory pressure on left ventricle diastolic function in healthy subjects. Intern Emerg Med. 4(3): 249-54.
Manno MS.(2005). Managing
mechanical ventilation. Journal Nursing, 35: 36-41. Mangku Gde, Senapathi TGA. Buku Ajar Anasthesia dan Reanimasi. Jakarta, 2009.
Marik & Baram. (2007). Hymodynamics parameters to guide fluid therapy. Annals of intensive care. 35: 40-45
Marino PL. Principles of
mechanical ventilation. In: Marino PL, ed. The Icu Book. 3rd ed. New York: Lippincott Williams and Wilkins,Inc.; 2007, 457- 511.
Michars, Chemla, Richard,
Wysocki, Pinsky, Teboul. (2009). Clinical Use of respiratory changes in arterial pulse pressure to monitor the hemodynamic effect of PEEP.
Respiratory care
journal.159:935-939.
Monge, Garcia (2012). Respiratory and hemodynamics changes during lung recruitment
maneuvering through
progressive increase and decreses PEEP level. Journal Med Intenseva. 36(2):77-78 Mulyatin, T (2012). Pengaruh
Positive End Expiratory Pressure Terhadap CVP di
Ruang GICU RS Hasan
Sadikin Bandung. Indonesian Journal Intensive Care Medicine.Volume 2 :119-124
Muhiman, M. (2001).
Penatalaksanaan pasien di intensive care unit. Jakarta: FK- UI
Pelosi, P., Luecke T. (2009). Respiratory and haemodynamic changes during decremental open lung positive end-expiratory pressure titration in patient with acute respiratory distress syndrome.journal Critical care.13(2)
Pietropaoli AP.(2001). Approach to mechanical ventilation. In:Apostolakos MJ, Papadakos PJ, eds. The Intensive Care Manual . Singapore: Mc Graw-Hill, 81-6.
Pinsky MR. (2007). Heart-lung interactions. Curr Opin 3. Crit Care, 13(5): 528-31.
Pilbeam SP.(2004). History of resuscitation, intubation and early mechanical ventilation. In: Pilbeam SP ed. Mechanical Ventilation; Physiological and Clinical Applications. 3rd ed. St.Louis Missouri: Mosby Inc, 4-17.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2006).
Buku ajar fundamental
Salemba Medika.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2009). Fundamental keperawatan (edisi 7). Jakarta: Salemba Medika
Polit, D. F., & Beck, C. T. (2010). Essentials of nursing research. (7th Edition). Mosby: Elsevier. Rose, J.C, Kruger, Pressure
support ventilation: A new triggered mode ventilation. France: 2010.
Saner, Goran Pavlaković, Yanli Gu, Nils R. Fruhauf, Andreas Paul, Arnold Radtke, Silvio Nadalin, Massimo Malagó, Christoph E. Broelsch. (2006). Does PEEP impair the hepatic outflow in patients following liver transplantation?. Intensive care medicine. 1584-1590.
Schumacer & Chernecky. (2010). Saunder nursing survival guide: Critical care and emergency nursing 2 edition.
Sellares, J., Acerbi, I., Loureiro, H., Dellaca, R.L., Ferrer, M., Torres, A.,NavajasD. & Farre, R.
(2009). Respiratory
impedance during weaning from mechanical ventilation in a mixed population of critically ill patients. Anaesthesia, 488-494.
Sherwood, L. (2011). Fisiologis manusia: dari sel – ke sistem (edisi 6). Jakarta: EGC.
Sloane, E. (2004). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC.
Smith FJ, Geyser M,(2012). The Effect of Positive end expiratory pressure on pulse pressure variation. Anaesth Intensive care. 18(6):333-338 Sylvia, A.P. & Lorraine, M.W.
(2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Terjemahan Brahn, Huriawati dan Pita. Jakarta: EGC
Sugiyono. (2009). Metode penelitian kualitatif kuantitatif research & development. Cetakan ke-8.
Bandung: Alphabeta.
Opdahl, H. (2010). Acute
respiratory failure
concomitant with serious disease or injury. Unboun Midline. Diakses dari www. proquest pada tanggal 15 April 2012.
Vines D. (2003). Non invasive positive pressure ventilation. In: Wilkins R, ed.
Egan’s Fundamentals of
Respiratory Care. 8th ed. St. Louis Missouri: Mosby Inc, 407-15.
Westerdahl, E., Linmark, B., Ericksson, T., Friberg, O., Hedenstierna, G. & Tenling, A. (2005). Deep breathing exercises reduce atelectasis
and improve pulmonary
function after coronary artery bypass surgery. Diakses dari www. proquest pada tanggal 15 April 2012.
Welch, J. (2005).Pulse oximetry. Biomedical instrument and technology. Mosby, 125-130. Whiteley SM. Complications of
artificial ventilation. In: Whiteley SM, ed. Intensive Care. 2nded. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2006, 107-10.