• Tidak ada hasil yang ditemukan

Direito. Dwi Mingguan Hak Azasi Manusia. Edisi Februari Seriuskah Mengadili Kasus Serious Crime?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Direito. Dwi Mingguan Hak Azasi Manusia. Edisi Februari Seriuskah Mengadili Kasus Serious Crime?"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Direito

D w i M i n g g u a n H a k A z a s i M a n u s i a

Yayasan HAK

Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol Dili - Timor Lorosae

Tel.: + 670 390 313323 Fax.: + 670 390 313324

e-mail:direito@yayasanhak.minihub.org

E d i s i 12 • 26 Februari 2001

Daftar Isi

Direito Utama...Seriuskah Mengadili Kasus Serious Crime? (1)

Info Hukum...Legitimasi Peradilan Adat (4)

...Memperbaiki Nasib Buruh di Timor Lorosae (5)

Serba Serbi...Kegiatan Rumah Rakyat Baucau (10)

Ami Lian...Penjahat Perang Harus Diadilli (11)

Wawancara...Cirilio Jose Cristovo:

...UNTAET Hanya Membisu ... (6)

Opini....Hak Rakyat Atas Keadilan Catatan tentang Pengadilan Serious Crime (8) ...Pertemuan Dengan Kelompok Tani di Maubara ...Hukum Di Timor Lorosae Tidak Dihargai ...Pelaku Harus Dihukum Seberat-beratnya ...Keadilan Harus Ditegakan (12)

...Bantuan Legal Harus Seimbang ...Kriminalisasi Kejahatan Terhadap kemanusiaan (2) ...Pelanggaran HAM Berat Tak Dapat Dimaafkan (3)

R

uang sidang utama di Pengadilan Distrik Dili tampak angker. Pada 25 Januari lalu, majelis hakim khusus, Maria Natercia Gusmao Pereira, Sylver Ntukamazina, dan Luca L. Ferrero

menjatuhkan hukuman 12 tahun bagi Joao Fernandes (23 tahun), anggota Milisi Dadurus Merah Putih. Ia terbukti membunuh Domingos Goncalves Pe-reira, pada 8 September dua tahun lalu.

Seriuskah Mengadili Kasus Serious Crime?

Fernandes adalah orang pertama yang diadili dan dijatuhi hukuman di bawah sistem baru.

Dari fakta-fakta kasus, Fernandes mengakui sebagai anggota Milisi Da-durus Merah Putih ia diperintah untuk datang ke rumah Natalino Monteiro di Desa Ritabou. Bersama anggota milisi yang lain diberi pedang dan diperintah-kan untuk membunuh semua laki-laki pendukung kemerdekaan yang berlin-dung di Kantor Polres, Maliana. Ber-sama Joao Gomblo, anggota milisi yang lain, ia mendatangi Goncalves kemudian menusuk dengan pedang di punggung dan di beberapa bagian tubuh lainnya sampai tewas. Fernandes juga meng-akui membunuh Goncalves, kepala de-sa itu atas perintah dari TNI dan Nata-lino, komandannya.

Jaksa penuntut umum, Brenda Hollis dan Antonino, mendakwa Fernandes telah melanggar pasal 340 KUHP. Pa-da 18 Januari, hakim menanyakan, ke-napa Goncalves hanya dituduh melaku-kan satu pembunuhan saja padahal bukti dalam berkas menunjukkan ada lebih banyak korban sebagai akibat terja-dinya serangan terhadap penduduk sipil yang meluas dan sistematis pada 1999? “Karena tidak ada bukti telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan,” ja-wab jaksa. Namun, jaksa berjanji akan mencari keadilan secepatnya mengingat Fernandes masih berada di tahanan.

Lalu? Berdasarkan Bagian 8 Regu-lasi UNTAET No.15/2000 dan pasal 340 KUHP, mengingat surat dakwaan yang diserahkan jaksa penuntut umum pada 15 November 2000, dan penga-kuan bersalah dari Joao Fernandes yang disampaikan pada 10 Januari 2001, majelis hakim kemudian memutuskan, Joao Fernandes bersalah dengan tudu-han pembunutudu-han. ***

Rakyat Timor Lorosae berharap keadilan masih ada. Harapan itu mungkin kembali muncul ketika persidangan bagi pelaku tindak kejahatan berat mulai digelar sejak Januari lalu. Tetapi, apakah pengadilan di bawah sistem baru itu bisa memenuhi rasa keadilan para korban?

...Mereka Boleh Datang, Pengadilan Terus

F.. Atoy

(2)

E d i t o r i a l

A

pa sesungguhnya yang disebut ke-jahatan serius itu? Sebagaimana disebutkan dalam Regulasi UNTAET No. 15/2000 Bagian 4-9, kejahatan se-rius itu mencakup konsep kejahatan ter-hadap kemanusiaan (crime against hu-manity), pembasmian berdasarkan ke-turunan (genocide), pembunuhan, pe-langgaran seksual dan penyiksaan.

Bagaimana penjelasannya? Dengan diterbitkannya Regulasi UNTAET No. 15/2000 sesungguhnya tidak ada dua-lisme karena regulasi tersebut hanya mengatur tentang kejahatan-kejahatan serius yang bersifat universal yang belum diatur di dalam KUHP.

Apabila melihat fakta-fakta yang muncul dalam persidangan Joao Fer-nandes, sesungguhnya kasus tersebut termasuk dalam kategori kejahatan ter-hadap kemanusiaan, entah itu besar atau kecil. Secara hukum dia bersalah dan melanggar Bagian 5 Regulasi No. 15/ 2000, karena dia melakukan pembunu-han terhadap seseorang di hadapan ba-nyak orang, yang ketika itu tengah men-cari perlindungan di Polres Maliana.

Namun, jaksa menuntut dengan pasal 340 KUHP. “Ini merupakan kriminali-sasi dari sebuah kejahatan terhadap ke-manusiaan,” kata Aniceto, dalam acara talkshow yang diselenggarakan Yaya-san HAK di Radio Timor K’manek, 10 Februari lalu. Menurut Aniceto, itu me-nyentuh perasaan keadilan masyarakat karena sesungguhnya mereka tahu hasil penyelidikan dari KPP HAM dan hasil penyelidikan dari Komisi Penyidik In-ternasional untuk Timor Lorosae. Ke-dua lembaga itu menemukan bukti, bah-wa sepanjang referendum telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi kenapa dianggap sebagai kejahatan bia-sa? “Di situlah letak ketidakadilannya,” kata Aniceto.

Dari 15 kasus yang sedang diproses di Pengadilan Distrik Dili hanya satu ka-sus yang didakwa jaksa dengan pasal kejahatan terhadap kemanusiaan. Se-lebihnya meskipun terdakwa telah me-ngakui perbuatannya para jaksa tetap mendakwa dengan pasal 340 KUHP. “Mudah-mudahan ini hanya sekadar kriminalisasi, bukan ada maksud untuk melindungi orang-orang tertentu.”

Sesungguhnya, aturan hukum yang akan diterapkan cukup jelas, meskipun masih terdapat banyak kelemahan yang akan mempengaruhi usaha untuk me-nyeret para pelaku kejahatan. Proses yang harus diperhatikan adalah apakah fair atau tidak dan sesuaikah dengan standar orang Timor Lorosae. “Orang Timor Lorosae merupakan pihak yang merasakan langsung dari setiap kejadian yang terjadi. Aspek keadilan itu yang harus diutamakan.”

Soal peraturan hukum? Kejahatan biasa maupun serius dijalankan ber-dasarkan Peraturan UNTAET No 30/ 2000. Di dalam peraturan tentang hu-kum acara itu, kata Aniceto, ada satu proses yang kadang-kadang membuat kita tidak dapat menyeret semua pela-ku. Contohnya, salah satu pasal yang menyangkut prosedur pengakuan. Apa-bila terdakwa mengakui perbuatannya maka terjadi tawar-menawar hukuman yang akan diberikan. Di pengadilan ka-rena prosedurnya dipercepat oleh jak-sa, maka terdakwa tidak akan diberikan pertanyaan yang mempersulit. “Ka-dang-kadang hal itu terjadi di luar pro-ses pengadilan, sehingga memungkinkan terjadinya konspirasi di antara jaksa, terdakwa, dan pengacara. Akibatnya, hakim seringkali tidak melakukan in-vestigasi untuk mencari tahu siapa se-sungguhnya yang berada di balik peris-tiwa itu,” kata Aniceto. ***

Tawar Menawar di Pengadilan

Perdebatan yang terjadi di luar pengadilan adalah kenapa jaksa mendakwa dengan pasal 340 KUHP sementara UNTAET telah mengeluarkan regulasi yang mengatur

tentang kejahatan serius.

R

akyat Timor Lorosae telah lama

percaya bahwa keadilan akan datang, karena pelaku kejahatan, da-ri yang paling bawah sampai penang-gung jawab utama akan diadili. PBB menamakan kejahatan itu sebagai cri-me against humanity. Artinya, ke-jahatan itu dilakukan secara sistema-tis, terencana, dan terorganisir dan terjadi secara meluas. Untuk mene-mukan bukti-bukti harus ditangani de-ngan prosedur yang khusus dan benar. Langkah itu benar karena UNTAET membentuk special panel for seri-ous crime di Pengadilan Distrik Dili, tetapi kita tahu bahwa itu tidak akan membawa keadilan.

Ada persoalan yang harus dicakup, baik prosedur maupun pengadilan ka-sus serious crime. Kecocokan pro-sedur itu harus bisa merangkum keja-hatan itu jauh melebihi keterlibatan in-dividual. Meskipun dinamakan crime against humanity, tetapi proses pe-radilan itu tidak diarahkan untuk membongkar hakekat dari kejahatan yang dilakukan secara sistematis itu. Tampaknya, proses pengadilan kasus serious crime hanya mengandalkan pengakuan, sementara jaksa tidak mengklarifikasikan lebih jauh atas pengakuan terdakwa, apalagi para saksi.

Dengan begitu, UNTAET gagal untuk memberikan rasa keadilan bagi rakyat Timor Lorosae. Apalagi ketika kita berbicara bahwa untuk sebagian pelaku kejahatan yang masih berada di Indonesia akan diserahkan kepada proses di Indonesia. Padahal proses di Indonesia tidak jalan dan informasi yang seharusnya digunakan untuk penyelidikan lebih lanjut tidak ter-sedia, karena jaksa tidak mau meng-gali informasi. Lalu, apa artinya jaksa investigasi dan hakim investigasi? In-vestigasi itu tidak mendengarkan pengakuan. Investigasi itu mengaju-kan pertanyaan yang mengarah pada terungkapnya sebuah kejahatan.

UNTAET harus meninjau kembali kesepakatan dengan Indonesia. Ka-rena salah satu pihak, yang terlibat di dalamnya tidak berada dalam posisi untuk menerapkannya. Keadaan ini seharusnya disadari sejak awal.**

(3)

Direito Utama

M

enghebohkan! Ketika 27 Januari 1999 pemerintah Indonesia le-wat Habibie, mengeluarkan dua opsi bagi masa depan Timor Lorosae. Ak-hirnya, pada 5 Mei di New York ditan-datangani perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Portugal

un-tuk menyelenggaraan refe-rendum, termasuk perda-main dan keamanan.

Rakyat Timor Lorosae yang hanya ingin merdeka menyambutnya dengan su-ka-cita. Demo pun digelar di mana-mana. Di Indone-sia, mahasiswa Timor Lo-rosae dan pro-demokrasi Indonesia menggelar mim-bar bebas di Penjara Cipi-nang tempat Xanana Gus-mao ditahan. Pro-kontra pun bermunculan. Sebagian pejabat Indonesia tidak menerima opsi itu. Menurut

mereka masih terlalu dini untuk menge-luarkan sebuah opsi. Xanana yang saat itu masih revolusioner menanggapi per-tanyaan para jurnalis, “Rakyat Timor Lorosae telah membayar tanah airnya dengan darah dan air mata. Hanya satu kata bagi rakyat Timor Lorosae: ‘Tanah air atau mati’”.

Namun, akibat opsi yang dikeluarkan, Kopassus segera menyusun strategi: “memecah belah”. Dengan taktik yang dipelajari dari Amerika dan Australia mereka membentuk “milisi”, agar me-nyusupi line demi line di Timor Loro-sae. Kekerasan demi kekerasan me-ningkat drastis. Pembunuhan, pencu-likan, perkosaan, intimidasi, dan teror terjadi di mana-mana.

Milisi kemudian mengembangkan satuan-satuan yang digalang dari ka-langan muda. Mereka kemudian ber-gabung ke dalam Pasukan Pejuang In-tegrasi yang dipimpin oleh Joao Tava-res dan Eurico GuterTava-res. Gubernur dan

bupati tak tinggal diam. Laporan Pang-dam Udayana, Mayjen APang-dam R.Damiri kepada Menko Polkam, bahwa kelom-pok pro-integrasi dimotori oleh para pemuda dengan mendirikan “organisasi cinta merah putih”.

Insiden pertama yang menjadi per-hatian dunia internasional adalah penye-rangan Milisi Besi Merah Putih terhadap para pengungsi di Gereja Liquica, 5-6 April. Dilanjutkan dengan penyerangan rumah Manuel Carrascalao pada 17 April. Pembunuhan, penculian, intimi-dasi tak pernah berhenti. Puncak dari semua kekerasan itu adalah pembumi-hangusan di seluruh wilayah Timor Lo-rosae pasca referendum.

Takut akan ancaman embargo dari sejumlah negara, pemerintah Indonesia segera menurunkan tim pencari fakta. Salah seorang anggota KPP-HAM me-ngatakan, keseluruhan kejahatan ter-hadap kemanusiaan di Timor Lorosae, langsung atau tidak langsung terjadi

aki-bat kegagalan panglima TNI dalam menjamin keamanan. “Jenderal Wiran-to selaku panglima TNI harus diminta pertanggungjawabannya,” kata Munir, Ketua KONTRAS saat diskusi dengan Yayasan HAK, tahun lalu.

Dalam pernyataannya, KPP-HAM mengatakan, seluruh rangkaian kejaha-tan terhadap kemanusiaan merupakan tanggung-jawab dari dua kelompok. Pertama, para pelaku yang berada di lapangan, yakni para milisi, aparat militer dan kepolisia-an. Kedua, mereka yang melaksanakan pengendali-an operasi, termasuk apa-rat sipil . Munir juga men-gatakan, tindakan kekera-san yang terjadi di Timor Lorosae tergolong dalam pelanggaran hak asasi ma-nusia berat. Pelanggaran itu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudak-an, pengusirperbudak-an, dan pemin-dahan paksa.

Hanya demi sebuah ke-pentingan politik yang tak jelas targetnya, segala upa-ya dilakukan untuk menghabisi lawan politiknya, tanpa mengenal tempat. Eksekusi terhadap rakyat terus dilaku-kan sepanjang Agustus dan Septem-ber. TNI dan milisi membantai peng-ungsi yang dijumpai di jalan sebagai la-wan politiknya.

Sejumlah barang bukti dan saksi mata telah ditemukan, tetapi hingga kini tak satu pun otak dari semua kejahatan itu diajukan ke pengadilan. Justru milisi dan kelompok sipil yang tergabung dalam UNTAS mencari justifikasi melalui re-konsiliasi dengan melupakan tindak ke-kerasan yang telah terjadi.

Kejahatan terhadap penduduk sipil tak dapat dimaafkan, karena melanggar hak hidup, hak atas integritas jasmani, hak akan kebebasan, hak akan kebe-basan bergerak dan bermukim, serta hak milik. Dan semua itu telah dilapor-kan oleh KPP-HAM. dan Komisi Pe-nyidik Internasional untuk Timor Lo-rosae.**

Pelanggaran HAM Berat

Tak Dapat Dimaafkan

Akibat opsi, Tentara Indonesia menerapkan taktik yang dipelajarinya dari Amerika dan Australia. Milisi dibentuk untuk

menyusupi setiap line demi line di Timor Lorosae.

(4)

Info Hukum

Legitimasi Peradilan Adat

oleh Lito Exposto

J

anuari 2001 lalu, di Tapotas, Distrik Maliana berlangsung sebuah peris-tiwa menarik. Sejak pagi, warga ma-syarakat berbondong-bondong untuk menghadiri acara “penyelesaian kasus”, meminjam istilah hukum pidana, peng-gelapan dana Community Empower-ment Project (CEP), sebuah proyek pemberdayaan masyarakat. Warga masyarakat mencurigai terjadinya ko-rupsi dalam penggunaan dana CEP oleh sejumlah petugas lokal. Serangkaian penyelidikan pun dilakukan. Kecuri-gaan masyarakat semakin kuat. Ada pihak yang mengusulkan, agar kasus ter-sebut segera diajukan ke pengadilan, tetapi kemudian disepakati untuk dise-lesaikan secara adat.

Model penyelesaian secara adat itu dikenal sebagai penyelesaian sengketa informal, pengadilan tradisional atau peradilan lokal. Dalam tulisan ini, pe-nulis akan mengunakan istilah peng-adilan adat untuk menggambarkan mo-del penyelesaian masalah dengan per-timbangan adanya lembaga dalam s-truktur hukum adat yang tunduk pada hukum lokal. Petugasnya terdiri dari sejumlah tokoh adat (semacam Katuas Lia Nain) yang berperan sebagai peng-ambil keputusan, sanksi adat, sepe-rangkat aturan dan nilai-nilai yang men-jadi dasar dari pelaksanaan peradilan.

Keberadaannya meskipun tidak memperoleh legitimasi secara formal, te-tapi paling tidak dapat menjawab tun-tutan masyarakat akan rasa keadilan. Legitimasi peradilan adat justru bersum-ber pada hukum adat itu sendiri, karena ia diakui, ditaati, dan mengikat masya-rakat. Yang manarik adalah peradilan adat merupakan kultur dari masyarakat yang telah dipraktekkan secara turun-temurun.

Tradisi penyelesaian sengketa melalui hukum adat diperkirakan telah berlang-sung jauh sebelum masuknya sistem hu-kum formal. Itu dapat ditelusuri dari s-truktur adat pada kelompok

masya-rakat yang memiliki institusi, meka-nisme, dan nilai-nilai yang mendasari penyelesaian kasus dalam masyarakat. Tetapi, dalam perkembangannya peng-gunaan hukum lokal efektif digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di pedesaan.

Penyelesaian sengketa yang digelar di Tapotas itu merupakan bukti masih adanya hukum lokal. Sosok peradilan adat berbeda dengan institusi hukum formal jika dilihat dari sisi birokrasi, a-parat, mekanisme penyelesaian dan perangkat hukum. Tetapi peradilan lokal dapat mengisi kekosongan atau keter-batan jangkauan peradilan negara da-lam merespons persoalan hukum ma-syarakat. Upaya ini juga merupakan te-robosan ke arah revitalisasi institusi (hu-kum) lokal yang hampir hilang.

Sisi positif lain, secara teknis masya-rakat dengan mudah dapat memahami jalannya proses penyelesaian, karena institusi hukum menjadi bagian dari kul-tur yang hidup dalam masyarakat.

Saat ini regulasi pemerintah tidak secara jelas mengatur peran hukum a-dat, tetapi untuk merespons tuntutan masyarakat akan kepastian hukum dan rasa keadilan, maka lembaga peradilan adat menjadi penting untuk diperhitung-kan. Sistem peradilan yang dijalankan saat ini dalam banyak hal masih terben-tur pada kurangnya aparat dan fasilitas yang minim, sehingga belum menjang-kau seluruh wilayah Timor Lorosae.

Persoalan perangkat hukum yang terbatas merupakan akumulasi persoa-lan dalam sistem hukum saat ini, se-hingga banyak persoalan belum dapat direspon oleh hukum formal. Karena itu cita-cita untuk membentuk sebuah sis-tem hukum yang berbasis pada hukum adat menjadi semakin penting. Pada ti-ngkat praktis, persoalan dapat dise-lesaikan oleh lembaga tersebut, paling tidak untuk menangani kasus perdata dan kriminal ringan. Penerapan lembaga alternatif bukan sebagai upaya untuk

menciptakan lembaga tandingan. Pertanyaannya sekarang adalah apa-kah langapa-kah ini dapat diakui secara sah sebagai hukum formal? Jika berpikir se-cara yuridis normatif pemberlakuan sis-tem alternatif (hukum adat) diperlukan pengakuan tertulis dalam ketentuan hukum negara/pemerintah. Persoalan ini sepenuhnya belum jelas. Namun, dalam perspektif sosio-antropologis hukum, lembaga penyelesaian alternatif me-rupakan sebuah lembaga yang sah. Ge-lar peradilan adat di Tapotas merupakan bukti tentang masih diakuinya lembaga adat meskipun masih terdapat kelema-han yang perlu dibenahi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.Tetapi hukum yang hidup dalam masyarakat seharusnya menjadi sumber bagi pem-bentukan dan penyusunan sistem hukum Timor Lorosae ke depan.

Persoalan adalah lembaga peradilan adat telah mengalami distorsi secara sistematis akibat ketergantungan ma-syarakat terhadap sistem hukum formal, sehingga menjadi persoalan untuk mengangkat peradilan adat ke pentas sistem hukum nasional pada masa depan. Jalan terbaik adalah tetap mem-beri tempat pada peradilan adat dengan segala perangkat lembaga pendukung untuk menjawab persoalan hukum rak-yat dengan pertimbangan sepanjang itu diperlukan.

Ke depan hukum adat harus diako-modasikan ke dalam perangkat hukum formal, agar tidak muncul interpretasi ke arah dualisme hukum dan memiliki legitimasi legal. Selain itu, perlu dila-kukan penyesuaian dengan perkem-bangan zaman dan pembagian kewe-nangan pekewe-nanganan atas kasus-kasus di luar kapasitas sistem hukum formal. Penyelesaian tuduhan penyelewengan dana CEP di Tapotas ternyata bisa di-selesaikan melalui peradilan adat. *** Penulis adalah Staf Yayasan Hak dan anggota Asosiasi Juris Timor Lorosae

(5)

Info HAM

Buruh adalah seseorang atau sekelom-pok orang yang bekerja pada pihak lain dan mendapatkan upah. Pihak yang mempekerjakan buruh disebut majikan. Majikan bisa pemerintah, NGO, peru-sahaan swasta atau negara, bisa pula perorangan. Kaum buruh sering meng-alami tindakan sewenang-wenang dari majikan akibat posisinya yang lemah dalam hubungan kerja.

Pelanggaran hak buruh terjadi antara lain karena:

•Sistem dan peraturan sosial-politik dan sosial-ekonomi berlaku tidak adil dan memberi peluang dieksploitasinya tenaga buruh oleh majikan;

•Buruh belum memahami realitas pe-langgaran atas hak-haknya;

•Buruh belum memiliki organisasi yang kuat.

Realitas yang Dihadapi Buruh Dari pengalaman menangani proble-matika perburuhan di Timor Lorosae, persoalan-persoalan dasar yang di-hadapi buruh, antara lain:

•Buruh tidak diberi penjelasan tentang jenis pekerjaan dan akibat dari peker-jaan itu;

•Pihak majikan tidak menyediakan kontrak kerja;

•Sebagian besar status kerjanya adalah buruh kasar yang dipekerjakan secara harian;

•Buruh diperlakukan dengan sewe-nang-wenang oleh yang mempekerja-kan mereka;

•Saat ini upah yang dibayarkan tak bisa mencukupi kebutuhan pokok;

•Jam kerja sering melewati waktu 8 jam per hari, ini melanggar standar jam kerja internasional;

•Kerja lembur atau kelebihan jam kerja (over time) tidak dibayar.

•Beban kerja menumpuk sesuai keingi-nan majikan;

•Diskriminasi terhadap buruh lokal; •Buruh belum memiliki pengetahuan ya-ng cukup meya-ngenai hak buruh yaya-ng te-lah ditetapkan oleh standar interna-sional;

Memperbaiki Nasib Buruh di Timor Lorosae

•Banyak buruh yang belum berorgani-sasi;

•Persatuan dan solidaritas antar buruh relatif kurang.

Sekilas Tentang Hak-hak Buruh •Hak atas informasi yang jelas tentang jenis pekerjaan yang akan dan sedang dilakukannya, serta risiko dan konse-kuensinya;

•Hak atas jaminan kesehatan dan kese-lamatan kerja;

•Hak atas tunjangan kesehatan, kece-lakaan kerja, hari libur nasional, dan hari besar agama;

•Cuti haid, hamil dan tunjangan melahir-kan bagi buruh perempuan;

•Hak untuk memperoleh upah yang me-madai sesuai dengan tuntutan hidup dan situasi riil untuk buruh dan keluarganya, bagi buruh yang sudah berkeluarga; •Hak atas kontrak kerja dan peraturan kerja yang jelas dan adil;

•Hak atas 8 jam kerja per hari sesuai dengan standar internasional. Jika mele-bihi waktu itu, maka ia berhak menda-patkan upah lembur;

•Hak untuk bebas dari tindakan sewe-nang-wenang dari majikan;

•Hak untuk memperoleh tindakan pe-ringatan maksimal tiga kali sebelum di-PHK, jika memang terbukti menyalahi aturan kontrak atau kewajibannya; •Hak untuk memperoleh tunjangan PHK sesuai kesepakatan antara buruh dan majikan;

•Hak berorganisasi dan berserikat; •Hak untuk memperoleh akses bagi ngembangan diri lewat peningkatan pe-ngetahuan dan keterampilan, termasuk yang difasilitasi pihak yang mempe-kerjakan buruh;

•Hak mogok dan melakukan protes atas tindakan sewenang-wenang dari yang mempekerjakan buruh atau pemerintah tanpa khawatir akan adanya pemecatan terhadap buruh;

•Hak untuk menolak tindakan PHK jika tak didasarkan atas alasan yang benar dan nyata;

•Hak berpolitik, beribadat, dan hak cuti.

Penyelesaian Kasus Buruh

Bentuk penyelesaian kasus buruh ada-lah sebagai berikut:

1.Penyelesaian bipartit (majikan-buruh), yaitu melalui perundingan antara buruh dan majikan;

2.Penyelesaian tripartit (buruh, majikan, dan pihak ketiga yang berperan sebagai mediator). Dengan cara ini diharapkan hak-hak buruh yang diingkari bisa di-pulihkan dan penyelesaiannya memuas-kan semua pihak;

3.Penyelesaian melalui jalur hukum. Yaitu menggunakan mekanisme dan prosedur hukum resmi yang berlaku untuk memulihkan kembali hak-hak bu-ruh yang diingkari. Misalnya, dengan menuntut pihak pelanggar ke penga-dilan. Taktik lain adalah melalui pen-dekatan “politis”, antara lain menekan pihak pelanggar lewat aksi mogok, de-monstrasi, dan aksi protes;

4. Penyelesaian lewat upaya legislasi, yaitu mendorong terbentuknya dan dijalankannya perundang-undangan perburuhan nasional yang adil dan menjamin serta melindungi hak kaum buruh di Timor Lorosae.

Pengorganisasian Buruh

Perjuangan perbaikan kondisi buruh adalah sangat tergantung kepada buruh sendiri, bukan atas kebaikan dari ke-lompok lain seperti penguasaha, peme-rintah atau NGO. Maka, adalah penting bagi pihak buruh untuk mengorganisir diri dalam serikat buruh di tingkat peru-sahaan atau lebih luas lagi dengan serikat buruh lainnya dalam memper-juangkan hak-hak buruh.

Terorganisirnya buruh dalam sebuah serikat akan semakin menggalang soli-daritas sesama buruh dan akan mem-perkuat posisi tawar menawar buruh dengan majikan. Bahkan buruh bisa menjadi pihak yang mengendalikan ke-bijakan tentang dunia perburuhan di Ti-mor Lorosae. Karena itu:

BERORGANISASILAH!

(6)

Wa w a n c a r a

Pengadilan Distrik Dili telah me-nyidangkan kasus serious crime ... Ya, sejak Januari lalu. Dasar hukum yang digunakan untuk memproses mereka adalah Regulasi UNTAET No. 15/2000. Tetapi, kita belum bisa menilai apakah proses itu akan menghasilkan keadilan, terutama bagi keluarga korban. Proses itu baru dimulai dan baru tahap awal. Menurut saya, yang penting bagi kita, terutama bagi korban dan keluarganya, tidak boleh patah semangat untuk memperjuangkan keadilan.

Apa substansi dari Regulasi No. 15/ 2000?

Dikeluarkannya Regulasi No 15/2000 oleh UNTAET merupakan satu langkah maju. Karena regulasi itu antara lain memberikan otoritas bagi pengadilan di Timor Lorosae untuk membentuk panel special yang bertanggungjawab untuk menangani proses hukum terhadap orang-orang yang terlibat dalam kasus-kasus serious crime, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genocide, perkosaan sistematis, pengungsian paksa ke Timor Barat yang terjadi sejak Januari sampai 25 Oktober 1999. Disebutkan dalam Regulasi No. 1/ 1999, bahwa di Timor Lorosae ma-sih akan menggunakan hukum In-donesia. Tetapi kenapa dikeluar-kan Regulasi No. 15/2000? KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tidak memuat aturan hukum tentang kejahatan terhadap kema-nusiaan atau kasus serious crime. KUHP adalah perangkat hukum yang hanya bisa dipakai untuk memproses kasus kriminal biasa. Sementara Re-gulasi No 15 / 2000 sengaja dibuat khusus untuk mengatur dan menangani kasus-kasus kategori serious crime. Jadi, motifnya karena KUHP tidak

memuat aturan-aturan hukum untuk kasus serious crime.

Dari aspek rasa kadilan masya-rakat, terutama bagi korban dan keluarganya, menurut Anda apa-kah Regulasi No. 15/2000 itu dapat menjamin keadilan?

Untuk menjerat para pelaku serious crime, kita harus memiliki perangkat hukum. Regulasi No. 15/2000 adalah perangkat hukumnya. Agar keadilan bisa dicapai, maka proses peradilan itu harus berjalan dengan adil. Untuk itu se-mua komponen yang terkait dengan ka-sus tersebut, terutama pelaku dan para saksi harus dihadirkan.

Satu persoalan besar bagi pengadilan di Timor Lorosae adalah dihadapkan pada kenyataan, bahwa pengadilan ti-dak bisa menghadirkan semua pelaku dan para saksi tersebut. Karena 95% dari mereka berada di Indonesia. UNTAET dan pemerintah Indonesia yang diwakili Marzuki Darusman telah menyepakati sebuah Memorandum of Understanding (MoU). Di dalam MoU disebutkan, bahwa UNTAET dan pe-merintah Indonesia akan saling melaku-kan tukar menukar saksi atau pelaku untuk memperlancar proses hukumnya. Tetapi, sampai sekarang MoU itu tidak jalan. Hal ini tentu berpengaruh ter-hadap sulitnya mejamin keadilan. Apa penyebabnya?

MoU adalah kesepakan atau bisa dika-takan perjanjian bilateral antara UNTAET dengan pemerintah Indone-sia. MoU sebenarnya memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Tetapi yang ter-jadi, ternyata pihak Indonesia tidak per-nah mematuhinya. Sedangkan PBB sen-diri, dalam hal ini UNTAET, tidak per-nah menggunakan posisinya untuk me-maksa Indonesia mematuhi kesepakan itu. Padahal, UNTAET secara politik

punya kekuatan besar untuk melakukan tekanan itu.

Saya khawatir, jika keadaan ini tidak berubah, maka yang terjerat hanyalah pelaku-pelaku di tingkat pelaksana, se-mentara aktor-aktor intelektual yang merencanakan kejahatan itu tetap be-bas berkeliaran di Indonesia. Menangani kasus serious crime harus juga bisa me-nyeret para perencananya. Hanya de-ngan cara itu lah keadilan bisa diperoleh. Karena itu tekanan kepada pemerintah Indonesia untuk mematuhi MoU harus dilakukan.

Bagaimana konsekuensinya ke depan?

Saya mau mengatakan, pertama, UNTAET selama ini tidak konsisten. UNTAET telah mengeluarkan Regulasi No. 15/2000 untuk memastikan kea-dilan bagi rakyat Timor Lorosae, tetapi ketika melihat pada penerapannya ter-nyata tidak ada keseriusan dari UNTAET. Setelah membuat MoU de-ngan pemerintah Indonesia, UNTAET membisu ketika pemerintah Indonesia tidak mematuhinya.

Kedua, sejak awal, kami sudah se-pakat bahwa jika para saksi dan pelaku yang berkeliaran di Indonesia tidak di-ikutkan dalam proses yang sedang ber-langsung, maka kami akan menuntut un-tuk digelarnya tribunal internasional. Ha-nya melalui tribunal internasional yang bisa menjamin berjalannya proses itu dengan fair. Konsekuensi lain, jika pro-ses itu mandeg karena UNTAET tidak berhasil mendatangkan saksi dan pelaku dari Indonesia ketika masa transisi ber-akhir dan berber-akhir pula panel special, maka akan menjadi persoalan besar ba-gi para hakim di Timor Lorosae. Dalam menangani kasus serious crime ada yang namanya panel

spe-Cirilio Jose Cristovo:

UNTAET Hanya Membisu ...

Tamat dari Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali pada 1992. Ia pernah menjadi pegawai negeri sipil pada zaman pendudukan Indonesia. Ayah dua anak itu menjadi hakim

(7)

Wa w a n c a r a

cial. Apa sebenarnya panel special itu?

Panel khusus itu diatur dalam Regulasi Nomor 11. Tujuannya untuk menangani kasus-kasus serious crime. Panel khu-sus itu merupakan gabungan dari hakim internasional dan hakim nasional. Ma-sing-masing dua hakim internasional dan satu hakim lokal.

Dengan mendatangkan hakim in-ternasional bisa diartikan, karena kapasitas hakim Timor Lorosae ti-dak siap atau karena pertimbangan jurisdiksi internasional?

Pertanyaan yang bagus. Kita tidak da-pat mengatakan, bahwa para hakim Timor Lorosae tidak mampu menangani kasus serious crime. Pertama, ke-sempatan bagi kita untuk mencobanya belum ada. Realitas pengalaman dalam menangani kasus-kasus serious crime dari hakim-hakim kita memang belum ada. Fakta yang mengatakan, bahwa hakim Timor Lorosae tidak mampu me-nangani kasus-kasus tersebut tidak ada. Kedua, secara prinsip kami mene-rima hakim-hakim internasional agar ki-ta bisa mengadopsi pengalaman me-reka. Tetapi komposisi panel itu harus terdiri dari dua hakim Timor Lorosae dan satu hakim internasional. Karena prinsipnya, mereka didatangkan untuk mendampingi dan mentransfer pe-ngalaman mereka kepada kami. Ini terkait juga dengan Timorisasi di ling-kungan pengadilan, agar ketika transisi berakhir kita telah siap. Dengan kom-posisi dua hakim internasional dan ha-nya satu hakim lokal maka transfer pe-ngalaman itu tidak maksimal.

Persoalan utamanya, kasus serious crime tidak akan tuntas dalam jangka waktu transisi atau dalam tahun ini. Saya khawatir, jika bertahan seperti seka-rang ini, ketika otoritas UNTAET ber-akhir akan menjadi persoalan besar bagi para hakim Timor, karena itu posisi pa-nel special harus diubah.

Apakah Timorisasi di lingkungan pengadilan telah dilakukan UNTAET?

Proses itu sudah jalan, tetapi karena ka-sus serious crime itu tidak bisa disele-saikan hanya dalam waktu satu tahun, maka proses itu harus segera di perluas. Para hakim sudah saatnya lebih banyak lagi dilibatkan dalam proses

Timorisasi itu.

Apakah program pengiri-man hakim, jaksa, atau pub-lic defender untuk mengiku-ti pelamengiku-tihan di luar negeri juga menjadi bagian dalam proses persiapan itu? Kita menyambut baik berbagai program pelatihan itu, karena akan menambah pengalaman dan pengetahuan aparat hukum kita di bidang hukum, terutama dalam hal penerapan hukum. Tetapi program-program pela-tihan itu harus diatur secara ba-ik dan konsisten, termasuk kehadiran para mentor. Me-reka datang hanya tiga bulan dan tidak konsisten dalam memberikan materi.

Hal yang sama juga terjadi dalam proses penanganan kasus serious cri-me. Jaksa internasional yang bertugas tiba-tiba diganti oleh jaksa yang lain. Akibatnya, kasus yang mereka tangani tidak tuntas dan yang baru akan memu-lainya lagi dari awal.

Pelatihan-pelatihan itu memang perlu, tetapi UNTAET harus menanyakan ke-pada para hakim apakah pelatihan-pe-latihan yang mereka ikuti itu bermanfaat atau tidak. Apakah program itu meng-ganggu pekerjaan rutin kita atau tidak. Itu harus dilakukan lewat sebuah meka-nisme evaluasi.

Berdasarkan pengalaman Anda apakah program pelatihan itu ada manfaatnya?

Saya yakin bahwa program pelatihan untuk satu dua bulan tidak akan bisa menghasilkan banyak hal. Waktu satu atau dua bulan itu lebih cocok untuk program studi banding. Jadi, kita ke sana hanya akan mengamati keadaan hukum di negara tertentu kemudian hasil

pengamatan itu menjadi referensi bagi kita.

Kami pernah menganjurkan agar program pelatihan untuk para hakim, jaksa dan public defender sebaiknya

lebih banyak dilakukan di Indoneisa. Karena semua aparat hukum di sini ber-latar belakang pendidikan di Indonesia. Jika pelatihan dilakukan di Portugal mi-salnya, pihak UNTAET harus menye-diakan interpreter handal yang bisa menterjemahkan dan menafsirkan ma-teri-materi pelatihan kepada para pe-serta pelatihan. Bahasa hukum tidak se-derhana. Persoalan interpreter ini juga menjadi satu kendala dalam proses per-sidangan kasus serious crime. Korban tidak bisa mengikuti proses persidangan dengan baik, karena mereka tidak mendapatkan informasi yang jelas. Dengan banyaknya kendala seperti itu, tampaknya hukum di Timor Lorosae belum bisa menjamin rasa keadilan bagi korban ...

Pertama, rasa keadilan itu bukan berarti si pelaku dihukum dan di penjara. Pera-nan keadilan menurut korban atau ke-luarganya juga harus menjadi rujukan. Jadi, keadilan akan ada jika itu dirasa-kan adil menurut para korban. ** Joni Marques tersangka pembunuhan Biarawati dan jurnalis di Losapalos. Pengadilan hanya menjangkau pelaku di lapangan.

(8)

O p i n i

J

oao Fernandes akhirnya dijatuhi hu-kuman 12 tahun, karena terbukti membunuh rakyat pendukung kemer-dekaan di Maliana, September dua ta-hun lalu. Fernandes adalah orang per-tama yang diadili dan dijatuhi hukuman di bawah sistem baru. Sebelumnya pe-merintah Indonesia selalu meloloskan para pembunuh, dan paling-paling ha-nya menjatuhkan hukuman beberapa bulan saja karena melanggar prosedur, seperti dalam kasus pembunuhan di Santa Cruz, 12 November 1991. Di masa itu kita tahu bahwa pengadilan dan keadilan tidak mungkin ditegakkan.

Tetapi timbul pula pertanyaan, apa-kah pengadilan di bawah sistem baru yang bisa mengirim orang ke penjara untuk belasan tahun memang sudah me-menuhi rasa keadilan? Seperti

kita tahu selama tahun 1999 ada ratusan kasus pembu-nuhan dan tindak kekerasan di seluruh Timor Lorosae.

Menurut para pengamat dan aktivis yang menyaksikan langsung dan terlibat dalam investigasi pelanggaran se-panjang proses referendum itu, korban diperkirakan se-kitar 1.000 sampai 2.000 or-ang, walaupun ada laporan yang mengatakan jumlahnya bisa mencapai 10.000 orang.

Sayangnya, PBB tidak pernah men-dorong investigasi yang menyeluruh sehingga jumlah korban sesungguhnya sampai hari ini tidak terungkap.

Namun, terlepas dari ketepatannya, kita tahu persis jumlah korban dan kasus itu jauh lebih banyak dari kasus yang sekarang ini ditangani oleh UNTAET, yang dikenal sebagai kasus kejahatan serius (serious crime). Apa sesungguh-nya yang disebut kejahatan serius itu? Dalam Regulasi UNTAET No. 15/

2000 disebutkan, bahwa kejahatan serius itu mencakup konsep kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), pembasmian berdasarkan keturunan (genocide), dan semua tindakan anti-kemanusiaan lainnya.

Ada beberapa masalah di sini. Per-tama, istilah kejahatan serius itu sendiri, yang seolah-olah mengatakan bahwa semua tindak kekerasan di luar apa ya-ng ditaya-ngani oleh UNTAET sekaraya-ng, dianggap kurang atau tidak serius. Kita tahu bahwa para pejabat yang menan-gani persoalan itu tidak bermaksud, se-tidaknya dalam pidato-pidato resmi me-reka mengatakan, bahwa kejatahan di luar 15 kasus yang sekarang sedang di-proses itu kurang serius. Tetapi pen-dapat yang berkembang di masyarakat,

tanpa penjelasan memadai seperti biasanya, bisa juga menimbulkan per-soalan baru.

Kedua, digunakannya KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dalam seluruh proses pengadilan terhadap ke-jahatan serius tersebut. Perlu diingat bahwa undang-undang yang dipakai itu adalah warisan Indonesia, dan Indone-sia mewarisinya dari hukum kolonial. Ti-dak ada pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan, pembasmian manusia

seperti yang terkandung dalam konsep kejahatan serius, sehingga tentu timbul pertanyaan: Bagaimana mungkin kita mengadili kasus-kasus seperti itu den-gan perangkat tidak memadai?

Pasal 340 KUHP yang dipakai da-lam kasus Joao Fernandes, biasanya ha-nya dipakai untuk kejahatan biasa, se-mentara kita tahu kasus pembunuhan itu bukanlah semata-mata karena dendam, perampokan, atau motivasi individual seperti yang tersirat dalam KUHP. Pembunuhan itu dilakukan sebagai ba-gian dari upaya sistematis menghan-curkan Timor Lorosae pasca-referen-dum. Penggunaan pasal 340 KUHP dengan begitu secara tersirat menga-takan, bahwa apa yang dilakukan oleh Joao Fernandes adalah tindak pidana biasa, tidak ada kaitannya den-gan gelombang kekerasan ta-hun 1999.

Ketiga, 15 kasus yang se-dang diproses ini adalah hasil investigasi UNTAET beker-jasama dengan sejumlah lem-baga dan individu. Tetapi ke-putusan akhir nampaknya tetap berada di tangan UNTAET yang kemudian menyerah-kannya kepada tim jaksa dan hakim untuk diadili. Hampir tidak ada pembicaraan kecuali dalam konteks meminta infor-masi dengan para korban pelanggaran. Artinya, seluruh pengertian serius atau kurang dan tidak serius itu dilakukan berdasarkan keputusan penguasa ad-ministratif.

Keadilan Bagi Korban

Jika melihat apa yang terjadi selama ta-hun 1999 dan sebelumnya, maka kasus pembunuhan dan tindak kekerasan lain-nya tidak mungkin dilihat secara terpi-sah. Kita tahu bahwa pembunuhan itu

Hak Rakyat Atas Keadilan

Catatan tentang Pengadilan Serious Crime

Oleh

Hilmar Farid

Jika melihat apa yang terjadi selama tahun 1999 dan sebelumnya, maka kasus pembunu-han dan tindak kekerasan lainnya tidak mung-kin dilihat secara terpisah. Kita tahu bahwa pembunuhan itu sering diikuti dengan tindak kekerasan dan intimidasi terhadap keluarga korban, dan juga penghancuran kehidupan ekonomi mereka. Setiap anak terlantar yang sekarang berkeliaran di jalan-jalan kota Dili adalah korban dari tindak kekerasan yang melanda seluruh Timor Lorosae.

(9)

O p i n i

sering diikuti dengan tindak kekerasan dan intimidasi terhadap keluarga kor-ban, dan juga penghancuran kehidupan ekonomi mereka. Setiap anak terlantar yang sekarang berkeliaran di jalan-jalan kota Dili adalah korban dari tindak ke-kerasan yang melanda seluruh Timor Lorosae. Memang tidak selalu orang tua mereka meninggal dunia atau hilang, te-tapi kita tahu pasti bahwa kehadiran mereka di jalan-jalan pada malam hari bukanlah atas keinginan sendiri.

Begitu pula dengan para janda yang sekarang harus merawat anak-anak yang masih tersisa dan menyambung hi-dupnya sendiri dalam kondisi luar biasa sulit. Mereka juga merupakan korban dari gelombang kekerasan. Dapat di-pastikan bahwa keadilan menurut para korban ini bukan hanya berarti huku-man berat bagi para pelaku kejahatan. Apalagi kalau hanya satu-dua orang yang dijatuhi hukuman, sementara para pejabat dan komandan yang memberi-kan instruksi dan mengendalimemberi-kan ope-rasi kekerasan itu masih hidup senang dan tenteram setelah seluruh kejadian itu berlalu. Hukuman hanya menyelesai-kan satu aspek dari ketidakadilan, yakni bahwa pelaku diberi ganjaran setimpal. Tetapi perlu diingat betapa pun he-batnya hukuman yang dijatuhkan, kehancuran sosial-ekonomi yang se-karang mereka derita belum terjawab. Tidak ada misalnya keputusan me-ngenai rehabilitasi dan kompensasi bagi

para korban yang diputuskan oleh pe-ngadilan. Jika melihat bahwa kasus-ka-sus kekerasan itu tidak berdiri sendiri, maka sudah barang tentu keputusan mengenai nasib para korban juga tidak mungkin dilakukan secara individual. Tidak mungkin misalnya proses re-habilitasi dan kompensasi hanya di-berlakukan untuk korban dan keluarga korban dari 15 kasus yang sekarang di-proses. Kita tahu, dan selama ini selalu bicara, bahwa semua rakyat Timor Lo-rosae menjadi korban.

Bagaimanapun kita tahu bahwa pe-ngadilan dan sistem keadilan yang hen-dak dibangun sekarang masih memiliki banyak kelemahan. Jaksa dan hakim di-bayar rendah, fasilitas pengadilan untuk melakukan pemeriksaan, investigasi dan memproses kasus-kasus yang sangat terbatas, kerjasama antara penguasa administratif dengan petugas pengadilan yang pasang-surut, dan segudang ma-salah lain. Karena itu, mungkin, mama-salah penegakan keadilan tidak mungkin se-penuhnya diserahkan kepada proses pengadilan. Bukan hanya karena ala-san-alasan teknis, tetapi juga karena alasan yang sangat mendasar yang di-sebutkan di atas.

Kesejahteraan, Demokrasi dan Ke-damaian

Di Indonesia sendiri ada perdebatan ya ng hebat tentang cara menyelesaikan masalah kekerasan di masa lalu. Seperti

di Timor Lorosae, ada jutaan orang ya-ng menjadi korban keganasan rezim Orde Baru, dan belum ada kasus yang sampai sekarang diusut tuntas dan di-adili dengan standar internasional. Hampir semua pelaku dibiarkan lolos atau mendapat hukuman ringan, karena didakwa melanggar prosedur. Dalam banyak hal, proses penegakan keadilan di Timor Lorosae masih lebih baik.

Namun, sudah jelas bahwa peng-adilan yang paling jujur, adil dan hebat sekali pun belum bisa menjawab ma-salah-masalah sosial-ekonomi yang tim-bul akibat pelanggaran di masa lalu. Bi-sa dibayangkan berapa juta hektar ta-nah yang dirampas dengan kekerasan dan memakan korban? Berapa juta or-ang yor-ang menjadi miskin dan terpaksa hidup dengan menjual tenaganya kare-na peristiwa kekerasan di masa lalu?

Semua itu adalah tumpukan masalah yang dihadapi setiap masyarakat, yang melalui peristiwa kekerasan. Tidak ada jawaban pasti bagi mereka, kecuali tumbuh gerakan rakyat sejati memper-juangkan kesejahteraan, demokrasi dan kedamaian. Kita hanya berharap bah-wa kasus-kasus yang sekarang sedang diproses di pengadilan akan membuka jalan bagi kita semua memperjuangkan keadilan sesungguhnya bagi para kor-ban. ***

Hilmar Farid adalah anggota FORTILOS (Forum Solidaritas untuk Rakyat Timor

Lorosae), Jakarta

Tidak ada jawaban pasti yang dihadapi setiap masyarakat korban atas peristiwa kekerasan di Timor Lorosae

(10)

Serba Serbi

P

ada awal bulan lalu, Rosito Belo, staf Rumah Rakyat Baucau mela-kukan negosiasi dengan warga Desa Uagui, Kecamatan Ossu, Viqueque. Di sana terjadi penandatanganan kese-pakatan untuk menyelesaikan masalah kasus air bersih di Aslaitula yang terjadi pada awal Desember tahun lalu. Berda-sarkan hasil negosiasi, masyarakat se-tempat meminta agar tim mediasi yang terdiri dari CNRT, UNTAET, FALIN-TIL Distrik Baucau dan Viqueque mem-berikan penjelasan kepada warga ma-syarakat tentang untung ruginya menge-lola air bersih di Bukit Larigutu itu.

Masalah lain yang ditangani adalah melakukan investigasi atas masalah penganiayaan yang dilakukan oleh Na-hakbai dari Desa Bahalara-Uain ter-hadap salah seorang pengungsi yang ba-ru kembali, bernama Napoleao Pinto. Nahakbai menurut penuturan warga se-tempat, juga diduga sebagai orang yang telah melakukan pembakaran rumah

penduduk pada 26 September dua tahun lalu.

Pada 25 Januari lalu, Lino dan Tito de Aquino melakukan ke beberapa penjara, yakni Penjara Caisahe, Bu-ruma dan Baucau. Berdasarkan hasil monitoring yang mereka lakukan, para tahanan mengaku mendapat perlakuan yang baik oleh petugas penjara. Para tahanan mendapat jatah makan tiga kali sehari dan diberi kesempatan untuk olahraga. Salah seorang tahanan, ber-nama Maurizio Prudencia, terdakwa dalam kasus penyerangan di Desa Ga-riwai, Baucau mengeluhkan tentang tidak pernah mendapat kunjungan dari pastor maupun suster. “Pelayanan ke-sehatan yang kami terima dari pihak MSF kurang efektif terhadap penyakit kami derita. Penyakit yang saya tidak sembuh-sembuh karena hanya diberi obat penurun panas, sementara penya-kit saya diakibatkan karena saya pernah disiksa oleh TNI,” kata Maurizio.**

Kegiatan Rumah

Rakyat Baucau

P

ada 17 Januari lalu, Pastor Jhon Baptist Hayasih, SJ bersama Yuji dan Shege berdialog dengan anggota kelompok kerja di Maubara, yakni ke-lompok nelayan dan keke-lompok tani di Suco Fatubou dan Suco Vaviguinia. Berkat dukungan dan bantuan dari ke-uskupan Jepang itu, dua kelompok tani di dua wilayah itu kini mampu meng-embangkan berbagai hasil pertanian. Lahan seluas 1.500 meter persegi di Suco Fatubou itu ditanami kacang pan-jang, sedangkan kelompok tani di Suco Vaviguinia yang berjumlah 15 orang me-nanami lahan mereka seluas 2 hektar dengan jagung.

Sementara kelompok nelayan di Kampung Dadair, Batuboro dan Va-viguinia telah berhasil membuat 12 buah perahu yang dilengkapi dengan lima bu-ah jala. Kepada para tamu dari Keus-kupan Jepang mereka menjelaskan, “Pengoperasian perahu menunggu aca-ra peresmian secaaca-ra adat,” kata ketua kelompok. Pada akhir kunjungan rombongan melakukan pertemuan den-gan koordinator Yayasan Haburas Rai, Saudara Vasco de Jesus. ***

Pertemuan Dengan

Kelompok Tani di Maubara

Talkshow yang diselenggrakan oleh

Yayasan HAK. Debat yang disiarkan di

Radio Timor K’manek, setiap Sabtu,

pukul 16.00-17.00 itu membahas

persoalan-persoalan aktual tentang

hukum, keadilan, dan hak asasi.

Dengarkan

dan ikuti...

(11)

A m i L i a n

J

ika keadilan akan ditegakkan maka

proses pengadilan tidak hanya di-lakukan atas kejahatan yang terjadi pada tahun 1999, di mana tindakan ke-jahatan itu dilakukan oleh milisi bersama TNI. Tetapi pengadilan harus mem-proses kasus-kasus yang terjadi sejak tahun 1975. Dengan begitu hukuman bagi para penjahat perang yang dila-kukan sejak tahun 1975 itu lebih berat dibandingkan dengan milisi yang telah melakukan tindak kejahatan sepanjang proses referendum lalu.

Pertama, tindakan kriminal yang dilakukan oleh milisi pro-Indonesia se-panjang proses referendum itu saya i-baratkan seperti pencuri telor. Sedang-kan kejahatan yang dilakuSedang-kan oleh para penjahat perang pada tahun 1975 itu saya ibaratkan sebagai pencuri kerbau. Karena itu proses pengadilan yang di-mulai sejak tahun 1975 itu merupakan proses peradilan yang transparan. Ke-dua, kita ingin menegakkan keadilan di

Penjahat Perang Harus Diadilli

Pelaku Harus Dihukum

Seberat-beratnya

Hukum Di Timor Lorosae

Tidak Dihargai

S

aya merasa proses peradilan telah berjalan, tetapi keadilan tidak di-dapatkan oleh keluarga korban. Saya menyaksikan sendiri bagaimana suami saya diseret dari dalam mobil dan ke-mudian saya tahu ia dibunuh setelah pe-ngumuman hasil referendum. Sebagai istri tentu saja saya tidak akan merasa puas apabila semua pelaku tidak dihu-kum.

Maksud saya, bukan saja pelaku pe-mbunuhan suami dan ayah dari anak-anak kami, tetapi juga pelaku-pelaku yang telah membakar rumah-rumah penduduk dan memaksa hampir seluruh masyarakat mengungsi ke Timor Barat. Di mana, dalam pengungsian itu banyak yang kelaparan, menderita sakit, dan ti-dak sedikit pula yang meninggal dunia. Apakah itu bukan sebuah pelanggaran hak asasi manusia? Mengapa mereka

S

eseorang yang melakukan tindak kejahatan, apalagi tindak kejahatan berat mau tidak mau memang harus dibawa ke pengadilan. Tindakan meng-hilangkan nyawa seseorang merupakan suatu pelanggaran. Agama pun mela-rang seseomela-rang melakukan tindakan se-perti itu. Karena itu, para pelaku ter-sebut harus dibawa ke pengadilan dan diproses sesuai hukum yang berlaku dan harus dihukum apabila ia terbukti bersalah.

Sebagai contoh, apabila ayah saya dibunuh maka sebagai keluarga korban saya akan berbahagia dan hati saya a-kan tenteram, apabila pembunuh ayah itu diadili dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di Timor Lorosae. Dengan demikian luka hati saya bisa se-dikit terobati.

Sekarang ini banyak pelanggaran yang terjadi di Timor Lorosae, tetapi hukum yang digunakan di sini belum efektif. Dan itu sangat tergantung pada pemerintah yang berkuasa untuk me-nentukan suatu hukum yang betul-betul efektif. Saat ini hukum yang diberlaku-kan di Timor Lorosae bermacam-ma-cam. Kenapa?

Karena ada banyak negara yang be-rada di sini dan hukum yang diterapkan pun bermacam-macam pula. Bahkan ada di antara mereka yang tidak meng-hargai hukum yang diberlakukan di Ti-mor Lorosae. Contohnya, apabila staf internasional yang melakukan pelanggran di sini maka yang bersangkutan a-kan disidanga-kan di negara asalnya, bu-kan di Timor Lorosae.

Soal perjuangan untuk mendapatkan keadilan bagi korban dan keluarga kor-ban? Sejauh ini masalah itu memang be-lum pernah dibahas di dalam sidang di National Council. Tetapi, bukan tak mungkin kami akan memperjuang-kannya demi menegakan keadilan di Timor Lorosae.**

Ana Paula Sequira, anggota Nacional Coun-cil mewakili masyarakat OeCusse, Distrik Ambeno

Timor Lorosae tetapi para leader po-litik sekarang ini malah berbicara ma-salah rekonsiliasi. Jadi, menurut saya yang menjadi hambatan bagi penega-kan keadilan di Timor Lorosae adalah persoalan rekonsiliasi.

Menurut saya, boleh saja para pim-pinan mengadakan rekonsiliasi tetapi harus melalui beberapa tahapan. Re-konsiliasi harus melalui proses penga-dilan setelah seseorang yang bersalah itu diadili dan dijatuhi hukuman yang di-putuskan oleh pengadilan, atas nama rakyat Timor Lorosae. Setelah para pe-laku tersebut menjalankan hukumannya baru kemudian mereka diterima kem-bali oleh masyarakat. Setelah si pelaku mendapat pengampunan baru diadakan rekonsiliasi. Itu namanya keadilan. Tetapi kalau hanya rekonsiliasi maka rekonsiliasi itu menjadi hambatan ter-besar bagi penegakan s keadilan di Ti-mor Lorosae.**

Januario Soares, guru, tinggal di Dili

tidak bisa dihukum? Apakah karena de-mi rekonsiliasi?

Terus terang, tuntutan keluarga kor-ban adalah menginginkan para pelaku kejahatan itu dihukum seberat-beratnya. Bukan hanya dengan putusan hukuman selama 12 tahun, seperti yang dijatuhkan kepada Joao Fernandes. Menurut saya, itu bukan untuk mendapatkan keadilan, tetapi tidak dihargainya keadilan yang diinginkan oleh keluarga korban.

Memang proses peradilan telah ber-jalan, tetapi keadilan tidak didapat oleh korban maupun keluarganya. Keadilan tidak akan ditegakkan apabila semua pelaku, termasuk aktor yang meran-cang, termasuk para leader pro-Indo-nesia tidak dihukum. Mereka harus di-hukum seberat-beratnya untuk memu-askan keluarga korban.**

(12)

Redaksi Direito

Neves, Julio, Nk, Lito, Ti, Oscar, Julito, Avan, Viana, Edio

Ami Lian

Diterbitkan atas dukungan:

M

enurut saya, pengadilan atas

kasus kejahatan berat bisa dilihat dari dua aspek. Pertama, apa yang harus dilakukan agar pihak korban men-dapatkan kompensasi atas kerugian ya-ng telah dialami. Kedua, pihak yaya-ng melakukan kejahatan harus dihukum. Contohnya, Joao Fernandes yang telah divonis 12 tahun berdasarkan apa yang telah ia perbuat. Tetapi, menurut saya itu belum cukup karena apa yang bisa ia perbuat dan juga apa yang bisa pemerintah lakukan untuk memuaskan pihak korban dengan memberikan sua-tu hukuman yang adil?

Untuk keluarga korban jika dilihat dari aspek moral, maka pelaku harus meminta maaf kepada keluarga korban dan bagaimana ia memberikan sema-cam kompensasi kepada keluarga atau-pun pihak yang telah dirugikan.

Joao Fernandes mungkin hanya se-kadar diperalat. Dan kita harus mencari tahu siapa sebenarnya yang menjadi o-tak dari semua kejadian ini, tetapi yang ditangkap justru hanya orang-orang ke-cil saja. Di Timor Lorosae saat ini ada banyak pelaku yang masih berkeliaran karena ketika mereka kembali ke sini, mereka diterima kemudian dibiarkan bebas. Banyak orang mengatakan, me-reka yang pernah terlibat dalam tindak kejahatan sepanjang proses referen-dum, mengapa tidak ada proses yang serius?

Untuk itu, saya meminta agar hukum di Timor Lorosae dapat berlaku secara adil untuk semua orang, terutama para aktor-aktor tindak kejahatan. Dari as-pek politik kita setuju dengan proses rekonsiliasi yang sedang berjalan. Kita harus saling menerima agar dapat mem-bangun Timor Lorosae, tetapi jika dilihat dari aspek hukum maka keadilan harus ditegakkan.**Gregorio Saldanha da Cunha, Presiden Organisacao Juventude de Timor Leste

Keadilan Harus

Ditegakkan

S

aya pernah mengeluarkan siaran pers, tentang proses persidangan kasus tindak kejahatan berat itu pada awalnya mengandung ketidak-adilan. Kenapa? Di sana ada satu keputusan dari hakim panel yang kemudian di-tinjau ulang. Mereka meninjau ulang terhadap keputusan pengadilan pada tanggal 10 Januari lalu. Padahal tidak ada satu pun regulasi UNTAET yang mengatakan demikian, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk me-lakukan peninjauan ulang.

Sebagai public defender, kami me-lihat apa yang diungkapkan oleh jaksa penuntut umum itu telah melanggar hak-hak klien kami. Tetapi kami akan tetap berdiri di depan klien dengan melaku-kan pembelaan dan bantahan-bantahan yang bersifat legal.

Keadilan bagi para terdakwa kasus serious crime? Menurut saya, keadilan itu tidak absolut. Keadilan itu sifatnya relatif. Sangat relatif. Memang ketika mendampingi mereka, kadang-kadang kami berada dalam situasi yang sulit. Kami harus berhadapan dengan hakim dan jaksa internasional, tetapi untuk se-mentara waktu kami didampingi oleh pengacara internasional. Mereka mem-berikan bantuan-bantuan yang bersifat legal.

Kami harus mampu melihat, mes-kipun keadilan itu bersifat relatif, tetapi kami bisa memberikan perlindungan dan memberi bantuan legal secara balance atau seimbang terhadap apa yang ditu-duhkan oleh jaksa penuntut umum ke-pada klien kami.

Seperti persidangan atas terdakwa Carlos Soares, yang juga anggota Milisi Darah Merah pada 16 Februari lalu, ka-mi memperdebatkan masalah perpan-jangan masa penahanan bagi terdak-wa.**Cansio Xavier, Public Defender Pengadilan Distrik Dili

Bantuan Legal

Harus Seimbang

K

ami mengalami kesulitan dalam menyikapi perkembangan politik dan hukum di Timor Lorosae.Seka-rang, Cancio Lopes de Carvalho, Ko-mandan Milisi MAHIDI (Mati Hidup Demi Integrasi) bersama dengan anggo-tanya akan kembali ke Distrik Ainaro. Mereka meminta pula jaminan dari ka-mi. Ini masalah. Sepanjang proses ref-erendum mereka telah menteror dan mengintimidasi rakyat. Mereka telah membunuh keluarga kami, mengusir dan mengevakuasi rakyat secara pak-sa ke Timor Barat. Mereka pula yang telah menghancurkan seluruh bangunan di seluruh wilayah ini.

Sebagai penanggungjawab CNRT Sub-distrik Hato-Udo, kami harus me-yakinkan warga di sini. Terus-terang, mereka paling dibenci oleh masyarakat di sini akibat tindak kejahatan yang te-lah mereka lakukan. Demi tegaknya hu-kum dan keadilan di Timor Lorosae, kami meminta kepada para pembesar politik agar tetap memproses mereka secara hukum. “Cansio ‘kan terkenal karena kejahatan yang telah dilakukan-nya. Bagaimana mungkin dia akan kembali begitu saja. Masyarakat di sini tidak akan menerima begitu saja.”

Di wilayah Sub-distrik Hato-Udo saja ada delapan orang yang telah di-bunuh oleh anggota TNI bersama milisi anak buah Cancio Lopes. Yang jelas, kami tetap akan menuntut pertanggung-jawaban secara hukum atas perbuatan mereka--UNTAET juga harus ber-tanggungjawab. Karena sekarang kita berada di bawah pemerintahan UN-TAET, maka PBB juga memiliki tang-gungjawab untuk menuntut pertang-gungjawaban hukum kepada anggota TNI yang diketahui terlibat dalam ke-jahatan sepanjang proses referendum lalu.**Henrique Luz Laranjeira, Kordinator CNRT Sub-distrik Hato-Udo, Ainaro.

Mereka Boleh Datang,

Pengadilan Terus Jalan!

Referensi

Dokumen terkait

dikenal juga sebagai kemangi merupakan salah jenis dari genus Ocimum yang banyak digunakan masyarakat sebagai penghasil minyak essensial.. Secara empirik di

Telah dilakukan penelitian tentang potensi selasih sebagai repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti, hasil penelitian menunjukkan tanaman selasih yang memiliki kandungan

Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah rendahnya teknologi penggelondongan yang dimiliki petani/pengusaha, baik itu padat tebar, pemberian pakan tambahan dan

 merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas

Untuk Pelaksanaan Ujian Nasional Tersebut Mendiknas Telah Mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 97 Tahun 2013 Tentang Kriteria Kelulusan

Namun, terdapat banyak bukti yang lebih terkait dengan teori politik mengenai hal hal yang menentukan kualitas tata kelola pemerintahan daerah. Hal ini menegaskan bahwa tata

22 Dalam analisis kualitatif ini, teknik analisis datanya dengan cara mendeskripsikan bagaimana Peran Guru PAI dalam pembinaan moral peserta didik di SD Negeri

“Pengaruh Kebijakan Dividen, Earning Per Share (EPS), Return On Equity (ROE), Profit After Tax (PAT) terhadap Harga Saham Perusahaan Sektor Properti dan Real