• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Fenomenologis Pemberitaan Lumpur Lapindo di Media Cetak (Jawa Pos dan Surya)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Studi Fenomenologis Pemberitaan Lumpur Lapindo di Media Cetak (Jawa Pos dan Surya)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 1 No.1 Juni 2013

Studi Fenomenologis Pemberitaan Lumpur Lapindo

di Media Cetak (Jawa Pos dan Surya)

Oleh : Dhimam Abror, M.Si Abstrak

Media mempunyai peran yang unik dalam masyarakat, sebagai lembaga bisnis media mencari profit, dan sebagai lembaga sosial media mengemban amanat untuk mendidik, memberi informasi, menghibur dan memberi kontrol sosial. Pada prinsipnya kehadiran media itu sangatlah penting, sehingga dua fungsi itu harus berjalan seiring dan seimbang. Namun pads persoalan Lumpur Lapindo banyak problem tentang posisi media, sehingga penting untuk diteliti fenomena itu. Studi ini mengkaji fenomena relasi Me-dia dan Lumpur Lapindo, yang menggunakan pendekatan teori fenomenologis Edmund Husserl, Alfred Schulz, Peter L. Berger & Thomas Luckman, dicangkokkan dengan metode kualitatif yang peneliti pilih. Dari penjabaran teori-teori fenomenologi di atas, mengurai aspek pengalaman terdalam subjek peneli-tian kasus Lumpur Lapindo.Dapat disimpulkan ketika media berhadapan dengan korporasi besar, me-dia menghadapi tantangan yang sangat berat. Meme-dia haruskah bersikukuh kepada peran idelnya meme-dia, dengan resiko akan terancam dan gagal menjalankan misi bisnisnya. Sebaliknya, jika terlalu memberi penekanan kepada bisnis maka fungsi idealnya akan terancam. Sehingga artikel ini memberi gambaran mengenai kerasnya tarik-menarik antara kepentingan bisnis dan idealisme yang harus dihadapi media di Jawa Timur yang direpresentasikan dalam studi ini oleh Jawa Pos dan Surya yang berhubungan dalam kasus pemberitaan tentang lumpur Lapindo.

Kata Kunci : Media, Teori Fenomenologi, Lumpur Lapindo, idealisme, representasi, Jawa Pos, Surya

Abstract

The media has a unique role in society, as institutions seek profit media business, and as a social media agency undertaking to educate, inform, entertain and social control. In principle, the presence of the me-dia is very important, so that the two functions that must go hand in hand and balanced. However pads issues Lapindo Mud many problems concerning the position of the media, so it is important to study the phenomenon. The study in this research examines the phenomenon of media relations and Lapindo mud, which uses the approach of Edmund Husserl’s phenomenological theory, Alfred Schulz, Peter L. Berger and Thomas Luckman, grafted with qualitative methods that researchers choose. From the explanation of the theories above phenomenology, parse the deepest aspects of the subject of research experience Lapindo mudflow case. It can be concluded when dealing with large corporate media, the media face a very serious challenge. Media should insist on the role of the media idelnya, with the risk of danger and failed to carry out its business mission. Conversely, if too gives emphasis to the business then the func-tion would ideally be threatened. So this article gives an overview of the severity of attracfunc-tion between business interests and ideals that must be faced by the media in East Java are represented in this study by the Jawa Pos and Surya are related in the case of the proclamation of the Lapindo mud.

Keywords: Media, Theory Phenomenology, Lapindo mud, idealism, representations, Jawa Pos, Surya

(2)

Tragedi Lumpur Lapindo

Tragedi lumpur Lapindo telah menarik minat media massa dari seluruh penjuru dunia untuk meli-putnya menjadi laporan utama. Karena kasus ini di-pandang sangat unik dan berdampak sosial yang san-gat luar biasa. Tidak saja media-media lokal, nasional bahkan media international, baik media massa cetak dan elektronik. Namun sebenarnya ada sisi menarik dari tragedy Lumpur Lapindo tersebut. Pada awal-awal tragedi itu berlangsung, tak banyak media yang memperhatikannya. Ini terbukti dari minimnya koran yang memberitakan hal tersebut. Hanya satu koran lokal saja, yakni harian Surya yang konsisten mem-beritakan kejadian itu. Sebab, pada kurun waktu yang bersamaan, media massa lain lebih tertarik memberi-takan gempa bumi di Jogjakarta pada 27 Mei 2006, yang memang selisih kejadiannya hanya selang dua hari saja.

Fenomena sosial masyarakat di sekitar Po-rong memang layak dicermati. Senin pagi yang juk itu, tepatnya pada 29 Mei 2006, adalah pagi se-juk terakhir bagi warga Renokenongo, sebuah desa tak terkenal di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Karena sejak saat itu wilayah itu kini tenggelam oleh Lum-pur Lapindo. Tragedi itu terjadi ketika puluhan warga desa memulai aktivitas paginya dengan beragam keg-iatan, ketika matahari tak seberapa tinggi, tiba-tiba terdengarlah ledakan asap putih yang berupa gas dan berbau belerang itu.Tepatnya, di tengah persawahan milik Probosutejo yang semula adem ayem, tiba-ti-ba menyembur lumpur panas setinggi 8 meter. Gas putih membumbung, lumpur pun mengalir kencang, bergumpal-gumpal seperti air yang muncrat dari pipa air minum. Baunya pun cukup menyengat. Tak cuma cair, lumpur itu pun membuat atmosfer persawahan jadi gersang. Maklum, lumpur dan cairan itu ternyata suhunya sekitar 60 derajat Celsius.

Kini, setelah hampir 9 tahun lumpur lapindo itu telah menjalar ke mana-mana, bukan lagi persoalan ekologi dan geologi, bahkan menjadi masalah ling-kungan, ekonomi bahkan problem kemanusiaan yang sarat politisasi. Telah banyak korban jiwa dan korban kemanusiaan bahkan pengorbanan kultur peradaban terjadi disana yang disebabkan lumpur Lapindo itu. Cerita sedih masyarakat yang terkena lumpur panas Lapindo ini, mirip sebuah cerita sejarah dalam Opium to Java yang ditulis oleh James R. Rush, 1990. Yaitu masyarakat Jawa di zaman kolonial selalu nelangsa, pedih karena mendapati dirinya nyaris selalu terpojok sebagai pecundang dalam percaturan ekonomi.

Di mana mereka adalah sebagai penghisap candu atau sebagai perokok, sekaligus mereka ter-hisap oleh penguasa, pengusaha dan pemilik modal, yang disebut sebagai bandar-bandar opium. Seba-gaimana pengakuan P.H Fromberg, “Orang Jawa membajak dan menanam, orang Cina memanen, dan orang-orang Eropa membawanya pergi.” Kebiadaban ini dapat berlangsung karena adanya persekongkolan diantara bandar-bandar opium itu, dengan memakai metode pajak (Belanda: pachtschat; Melayu: padjek) yang melangit. Sehingga hanya pemilik modal saja yang sanggup membayarnya.

Lagi-lagi kemiripan sejarah itu terulang menerkam masyarakat Porong, Sidoarjo secara khusus.Tetapi juga masyarakat awam yang selalu mengakses lewat jalur tol Surabaya Gempol. Pada prinsipnya semua orang telah dirugikan oleh tragedi ini. Masyarakat yang tidak pernah menikmati kue alam Lapindo justru harus menanggung derita yang amat dalam, seperti pecundang yang selalu kalah da-lam setiap keadaan oleh bandar-bandar kapitalisme. Tak terasa sudah muntahan lumpur panas Lapindo di Porong Sidoarjo, sudah membuat perubahan sosial yang besar. Masyarakat Porong yang dikenal santun kini mulai reaktif, yang dulu religius kini sudah mu-lai politis. Semua itu diakibatkan tekanan muntahan lumpur panas Lapindo itu.

Senyampang pedihnya kondisi masyarakat akibat luberan lumpur Lapindo, berduyun-duyun elit kekuasaan yang wisata ke sana, bersafari untuk men-gumbar janji dan harapan tanpa bukti. Bisa kita catat mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), DPR, Gubernur, DPRD I, DPRD II, Bupati, Camat sampai perangkat desa te-lah mengunjunginya. Bahkan tak ketinggalan aktivis, cendekiawan, jurnalis sampai para normal (supranatu-ral) tertarik ke sana. Masyarakat terus menanti setiap para pejabat yang datang mengajak berdiskusi, namun yang dinanti justru semakin lama semakin perih dan makan hati.

Semestinya jika para elit ini berfikir yang be-nar tentu persoalan ini pasti telah selesai. Namun, apa yang kita duga ternyata salah. Justru semakin banyak elit kekuasaan yang datang, apakah itu peja-bat legislatif maupun eksekutif, semakin menderita masyarakat di sana, tidak saja menderita lahir karena pemukimannya yang ditenggelamkan untuk luapan lumpur. Tetapi juga menderita secara batin, karena terus-menerus diiming-iming oleh janji janji kekua-saan yang palsu. Maka pantaslah jika dikatakan

(3)

seperti “Lumpur Wisata Kekuasaan” yang sesung-guhnya. Melihat kenyataan demikianlah lalu banyak media massa meliput dan menjadikannya sebagai laporan utama dan laporan khusus. Maka di sini dapat dianalisa secara fenomenologis bagaimana isu pem-beritaan tentang Lumpur Lapindo ini dimaknai oleh masyarakat dan pekerja jurnalistik, khususnya dalam harian Surya dan Jawa Pos, yang dipandang media yang representatif korannya orang Jawa Timur, di mana lumpur Lapindo itu terjadi.

Lumpur : dan Media Perspektif Teori Politik Kekuasaan

Pengertian politik sejarah awalnya di Yunani adalah sebuah seni yang dipergunakan untuk meng-atur kehidupan sosial. Di sini politik dipandang san-gat bermartabat karena memang diletakkan atas dasar moralitas untuk menuntun pads anti hidup berkeadi-lan. Namun, hari ini politik lebih dikonotasikan pada perburuan kekuasaan belaka yang jauh dari pengayo-man etika. Khususnya gambaran nyata dalam fenom-ena sosial akibat dampak luberan panas lumpur Lap-indo yang terjadi di Porong.Seolah-olah masyarakat berjuang sendiri untuk melawan kekuatan korporasi yang bersandar pada kekuasaan negara. Dalam per-spektif ini negara sangat jelas tidak berpihak pada rakyatnya, karena memang rakyat tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana seharusnya pengelola neg-ara berkewajiban melindunginya. Maka pada kondisi seperti ini kemudian masyarakat memberi labelisasi terhadap pejabat negara sesungguhnya tak lebih gai “begundal Lapindo.” Siapa yang dimaksud seba-gai ‘begundal Lapindo’ di sini ialah kepala pemerin-tahan Sidoarjo.

Istilah ‘begundal Lapindo’ tidaklah dapat kita temukan pada referensi teoritis politik, sebab makna ini lebih berarti sebagai labelisasi baru dalam perbin-cangan politik. Oleh karena itu, akan lebih tepat bila mendefinisikan istilah begundal Lapindo itu merujuk pada ‘begundal politik’. Begundal politik yang di-tafsirkan sebagai manifestasi semua elemen kekuatan yang ternyata selingkuh dengan pemilik modal untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Artikulasi itu da-pat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, kekuasaan yang semestinya me-layani rakyat, tetapi masyarakat justru hanya menda-pat janji-janji dari para pejabat. Analisis ini mesti kita kembangkan ketika rakyat telah berkorban rumah, sawah dan bahkan telah kehilangan pekerjaan bertani. Namun, justru rakyat tidak mendapatinya pemerintah

sungguh-sungguh mengusut kasus itu. Mestinya siapa pun yang terlibat termasuk yang mengeluarkan izin eksplorasi itu semua ditangkap untuk mempertang-gungjawabkan tindakannya, sekalipun itu dari orang-orang kekuasaan itu sendiri.

Kedua, media massa yang sampai detik ini dipandang sebagai salah satu kekuatan reformasi menuju demokratisasi. Dalam posisi ini media massa haruslah terus menyuarakan keberpihakannya pads kebenaran dan kemanusiaan. Tetapi justru isu yang berkembang di lapangan, kalangan media massa jus-tru dijadikan PR oleh Lapindo dengan imbalan yang menggiurkan. Kalau isu ini benar maka itulah yang disebut perselingkuhan media dengan pemilik modal, dan itu mungkin saja terjadi.

Ketiga, aktivis dan cendekiawan tidak kalah pentingnya untuk memainkan perannya sebagai agen sosial (social agent). Konteks ini mestinya aktivis dan cendekiawan tampil menjadi kekuatan moral yang sangat representatif. Tetapi naif, justru dipuncak pend-eritaan masyarakat para aktivis yang dulu lantang ber-bicara, kini diam seribu bahasa.Bahkan desas-desus yang muncul kini telah terjadi perselingkungan kaum cendekiawan.Di tengah penderitaan masyarakat di pengungsian, justru banyak aktivis dan cendekiawan mendapat fasilitas berkantor di hotel berbintang.

Bisa saja perselingkuhan cendekiawan dengan kapital ini terjadi, sebagaimana disinyalir oleh Julien Benda, (1997) dalam La Trahison des Clercs, sejatin-ya mengingatkan ihwal kaum cendekiawan sejatin-yang ber-buru kekuasaan akhirnya bersekutu dengannya dan karena itu mengkhianati jati dirinya. Benda meman-dang secara ideal normatif tugas dan tanggung jawab cendekiawan adalah sebagai pekerja kemanusiaan. Cendekiawan tidak harus terlibat dalam kerja-kerja yang bisa diukur dengan materi.Cendekiawan lebih tepat melakukan kerja pemikiran untuk merumuskan konsep, namun tetap berada di tengah masyarakat da-lam membela nilai-nilai kebenaran.

Karena itu, interpretasi Benda terhadap eksis-tensi kaum cendekiawan menyiratkan bahwa cendeki-awan harus tampil sebagai begcendeki-awan yang secara sadar mengambil jarak terhadap kejadian sosial politik di sekitarnya. Kaum cendekiawan harus berada di atas angin agar terbebas dari polusi kekuasaan maupun mated. Sebab kehadiran kaum cendekiawan dalam ranah politik kekuasaan kecil kemungkinannya dapat menggulirkan ide-ide perubahan. Sebaliknya, hal ini akan membuatnya tenggelam, sekadar menjadi kaki tangan politik, alias budak-budak kekuasaan

(4)

Bila ternyata dugaan-dugaan di atas benar adanya, maka semua kekuatan itu telah menjelma menjadi `predator sosial’ yang sangat berbahaya dan harus dilawan.Maka, pilihan sulit yang perlu diperhatikan adalah untuk melawan predator sosial dan kekuatan modal itu tentu harus tetap melayani moral. Meminjam konsep Edward W. Said, (1995) dalam karyanya Representations of The Intellectual, mengatakan ‘intelektual sebagai pencipta sebuah ba-hasa yang selalu mengatakan yang benar pada yang berkuasa.’ Artinya di sini bagi siapa pun meskipun pahit, pedas dan beresiko tinggi menyampaikan kebe-naran itu tetaplah harus disampaikan pada penguasa.

Refleksi akhir tahun 2005 oleh AR (Aliansi Jumalis Independen) yang mengungkap fakta menge-jutkan atas etika wartawan. Kata ketua AR Iman Dwianto Nugroho, “Hentikan Memberi Uang ke-pada Wartawan,” yang kemudian di respon positif oleh Suwanto Kepala Dinas Infokom Provinsi Jatim, berkomitmen ke depan akan menghentikan anggaran

khusus untuk wartawan.1

Fakta ini telah cukup bukti untuk menunjuk-kan wajah bopeng dunia jurnalistik kita.Wartawan yang sudah mendapat gaji dari perusahaan penerbi-tan, ternyata masih juga ngeber dijalanan kekuasaan. Lalu apa gunanya peringatan tanda pengenal (press

card) secara tersirat mengemban amanat suci bagi

masyarakat.Meskipun demikian tidak mungkin fakta ini dapat dijadikan alat ukur untuk mengeneralisir etika seluruh wartawan.Karena tentu tidak semua wartawan beretika demikian. Bahkan kita masih se-lalu mengakui jurnalis dari salah satu koran nasional selalu bersikap bersih dan menolak segala pemberian dengan dalih pengganti uang bensin dan lain seba-gainya.

Betapa tidak ketika semua elemen masyarakat telah kehilangan figur panutan untuk terus melanjut-kan masa depan reformasi dan demokrasi. Kaum in-telektual semakin banyak yang terjerat oleh pasal ko-rupsi dan berujung berteduh di jeruji besi.Para pejabat sudah mulai berkhianat terhadap rakyat. Serta wakil rakyat sudah semakin sekarat yang terus mengumbar nafsu jalan jalan ke kutub Barat dengan agenda kerja yang beraroma tidak sedap.

Noam Chornsky (2002) dalam Media Control menyebutkan, kelompok lain yang terkesan oleh ke-berhasilan-keberhasilan ini adalah sejumlah teoritikus demokrasi liberal dan sejumlah tokoh media terkenal, seperti misalnya, Walter Lippmann, yang merupakan

7 Lihat, Kompas, 31/12/05

ketua jurnalis Amerika, seorang kritikus kebijakan luar negeri dan domestik terkenal dan juga seorang teoritikus demokrasi liberal terkenal. Jika dicermati kumpulan esai-esainya, maka akan didapat pemaha-man bahwa esai-esai itu memiliki subjudul seperti “Sebuah Teori Progresif tentang Gagasan Demokrasi Liberal.” Lippmann terlibat dalam komisi-komisi pro-paganda ini dan esai-esainya diakui prestasinya. Dia mengemukakan bahwa apa yang dia sebut sebagai sebuah “revolusi dalam seni demokrasi,” dapat diper-gunakan untuk “menghasilkan persetujuan,” yaitu, menciptakan persetujuan terhadap peranan publik un-tuk segala sesuatu yang tidak mereka inginkan dengan teknik-teknik propaganda baru. Dia juga menegaskan bahwa ini adalah sebuah gagasan yang bagus, yang kenyataannya memang penting.

Gagasan ini penting karena, sebagaimana yang disampaikannya, “kepentingan umum menghin-darkan opini publik secara keseluruhan” dan hanya dapat dipahami dan diatur oleh sebuah “kelas khusus” (specialized class) dari ``orang-orang yang bertang-gung jawab” (responsible men) yang cukup pandai untuk memahami segala sesuatu. Teori ini menegas-kan bahwa hanya sekelompok kecil elit, komunitas intelektual yang dibangkitkan oleh kelompok Dewey, yang mampu memahami kepentingan umum tersebut, apa yang kita semua pertimbangkan, dan bahwa se-muanya ini “menghindari khalayak ramai.”

Ini merupakan sebuah pandangan yang kem-bali ke ratusan tahun yang lalu. Ini juga merupakan pandangan yang tidak jauh berbeda dengan pandan-gan Leninis, yang kenyataannya memang sangat mir-ip dengan konsepsi Leninis yang merupakan sebuah vanguard bagi intelektual revolusioner yang mengen-dalikan kekuasaan negara, dengan menggunakan rev-olusi populer sebagai kekuatan yang membawanya pads kekuasaan negara, dan selanjutnya mengarah-kan massa yang bodoh (stupid mass) menuju sebuah masa depan yang bagi mereka terlalu bodoh dan tidak mampu untuk memimpikan diri mereka sendiri. Teori demokrasi liberal dan Marxisme-Leninisme adalah sangat dekat menurut tinjauan asumsi-asumsi ideolo-gi umumnya.

Itulah alasan mengapa orang-orang dengan mudah menemukannya selama bertahun-tahun untuk mengapungkan diri dari satu posisi ke posisi lainnya tanpa ada tujuan perubahan yang jelas.Ini hanyalah persoalan penilaian dimana sesungguhnya kekuasaan itu. Mungkin akan menjadi sebuah revolusi yang pop-uler, dan hal itu akan menempatkan kita dalam

(5)

kekuasaan negara, atau mungkin sebaliknya, pada persoalan yang mana kita akan bekerja untuk orang-orang dengan kekuasaan yang sesungguhnya: komu-nitas bisnis. Tetapi kita akan melakukan hal yang se-rupa. Kita akan mengarahkan massa yang bodoh itu menuju sebuah dunia yang bagi mereka terlalu bodoh untuk memahami diri mereka sendiri.

Fenomenologi Edmund Husserl

Fenomenologi dalam perspektif Husserl masih dalam kerangka sebagai filsafat. Tetapi dari sinilah akar fenomenologi yang hari ini berkembang ke arah sosiologi. Fenomenologi secara etimologis, berarti fenomenologi (phenomenology) berasal dari dua kata bahasa Yunani, yakni phenomenon (jamak: phenom-ena) dan logos. Phenomenon berarti penampilan ses-uatu yang menampakkan diri. Lebih lanjut dapat di-jelaskan bahwa phenomenon adalah pengalaman yang dapat diamati dan dijabarkan oleh subjek yang men-galaminya pada suatu waktu. Fenomena dalam filsafat biasanya diartikan sebagai penampilan sesuatu, yang dikontraskan dengan nomenon, yang artinya sesuatu itu sendiri. Menurut Imannual Kant bahwa pengeta-huan manusia hanya sampai pada penampilan sesuatu itu atau fenomena, sedangkan nomenanya tidak akan pernah akan dicapai. Filsafat Kant itu lebih dikenal dengan sebutan fenomenalisme.Istilah fenomenologi terbentuk pertengahan abad XIX dipergunakan dalam sejarah filsafat, dengan anti yang berbeda-beda.He-gel pada tahun 1807 menulis buku Phenomenology of Mind.Dalam buku itu Hegel memberi arti fenom-enologi yang berbeda dengan tokoh-tokoh yang lain seperti Brentano dan juga Stumpf. Baru pada awal abad XX Edmund Husserl memberikan anti yang memadai. Bagi Husserl, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan tentang fenomena, tentang objek-objek sebagaimana objek-objek itu dialami atau menghad-irkan diri dalam kesadaran manusia.

Huserl yang terlahir pada tahun 1859 dan memperoleh gelar doktor matematika tahun 1883, banyak dipengaruhi oleh Brentano. Brentanolah yang menyuburkan pemikiran Huserl dan mengarahkannya pada pengembangan fenomenologi.Huserl mengakui bahwa Brentano adalah guru filsafat satu¬satunya. Brentano pelopor gerakan fenomenologi. Huserl juga dibimbing oleo murid Brentano, Carl Stumpf.Huserl mempersembahkan buku karangannya Logiche Un-tersuchungen (Logical Investigations, 1900) kepada Stumpf. Huserl meninggal pads tahun 1938 dalam usia 79 tahun, setelah berhasil membesarkan

muridnya Martin Heidegger dan berhasil mengem-bangkan gerakan fenomenologinya yang menjadikan-nya sebagai filosof paling berpengaruh pada abad XX. Filsafat fenomenologi Huserl mulai digelar setelah karya pertamanya Philosophic der Arithmetic (The Philosophy of Arithmetic, 1891), yaitu pada buku kedua Logiche Untersuchungen (Logical Investiga-tions, 1900). Tema sentral buku itu adalah landasan logika. Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa In-ggris dan diterbitkan pads tahun 1970. Dalam buku Ideen zu einer reinen Phanomenologie and Phanome-nologischen Philosophic ( Ideas: general Introduction to Pure Phenomenology, 1939), Huserl menghadir-kan fenomenologi sebagai metode objektif yang bisa diterapkan pada filsafat ataupun ilmu pengetahuan. Pada tahun yang sama Huserl juga menerbitkan buku Erfahrung and Urteil (Experience and Judgement, 1939), yang menandai perkembangan lebih lanjut fenomenologinya.

Pendekatan fenomenologi berangkat dari ref-erensi masalah filsafat yang paling tua dan mendasar, yakni (1) apakah kaitan realitas objektif yang hadir di luar pemikiran, dengan pemikiran yang kita miliki tentang realitas objektif itu? (2) Bagaimanakah dua dunia, dunia pemikiran dan dunia realitas objektif, sal-ing berkaitan? Fenomenologi menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan afirmasi meliputi (1) pemerik-saan filosofis tidak bisa dimulai kecuali dari fenomena kesadaran, karena hanya fenomena itu yang tersedia bagi kits, dan hanya fenomena itulah bahan yang bisa kita gunakan, dan (2) hanya fenomena itu yang mem-bukakan kepada kits : apa esendi sesuatu itu. Menurut Huserl, pendekatan yang mungkin untuk mengetahui berbagai hal (fenomena) adalah mengeksplorasi ke-sadaran manusia. Jadi, fenomenologi pada prinsipnya adalah eksplorasi yang sistematik dan penuh atas ke-sadaran manusia.

Metode fenomenologi berisi pengujian terh-adap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau terhadap data berupa fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologi bukanlah tindakan kesa-daran, melainkan objek dari kesakesa-daran, seperti segala hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau disukai.Tujuan utamanya adalah untuk menjangkau esensi - es ensi hal-hal tertentu yang hadir dalam ke-sadaran. Metode fenomenologi yang paling mendasar adalah deskripsi fenomenologi, yang terdiri tiga fase, yaitu mengintuisi, menganalisis, dan menjabarkan se-cara fenomenologis. Mengintuisi berarti mengonsen-trasikan secara intens atau merenungkan fenomena.

(6)

Menganalisis, artinya menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena dan pertali-annya. Sedangkan menjabarkan adalah menguaraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami orang lain.

Langkah lain metode fenomenologi adalah

wessenchau yaitu pemahaman terhadap

esensi-es-ensi (insight of essences) atau pengalaman/kognisi esensi-esensi (experience or cognition of essences). Wessenchau oleh Spiegelberg diartikan pengintuisian esensi-esensi. Huserl sendiri menyebut pengintuisian eidetik (eidetic intuiting) dengan meminjam kata ei-dos dari Plato. Fungsi pengintuisian eidetik adalah un-tuk menangkap atau mencapai esensi-esensi berbagai hat melalui fenomena.Pencapaian esensi itu diserta-kan survei atas sesuatu yang memperluasnya menjadi umum. Proses ini menurut Huserl disebut reduksi ei-detik (eidetic reduction). Keberhasilan metode fenom-enologi sangat ditentukan oleh syarat pembebasan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian. Dalam eksplorasi kesadaran seluruh penyimpangan, teori-teori, keyakinan¬keyakinan, dan corak-corak berpikir yang telah menjadi kebiasaan harus dising-kirkan atau disimpan dalam tanda kurung

(bracket-ed). Huserl mengistilahkan hal itu dengan meminjam

istilah dalam matematika, yakni epoche. Kata itu be-rasal dari bahasa Yunani, berarti tidak memberi suara. Epoche ini dipergunakan Huserl untuk mengkritik metode keraguan Descartes. Segala bentuk pencapa-ian esensi-esensi fenomena di atas, menurut Huserl menjadi prasyarat dan landasan yang diperlukan oleh semua ilmu pengetahuan empiris.

Huserl juga mengkritik Descartes mengenai dualisme manusia dan dunia. Menurut Huserl, Des-cartes memisahkan antara subjek dari objek yang disadarinya. Karena itu, digantinya dengan konsep intensitas kesadaran, yang dipinjam dari gurunya, Franz Brentano. Sejalan dengan Brentano, Huserl menyatakan bahwa ciri esensial dari kesadaran adalah intensional, yakni kesadaran itu selalu mengarah atau menuju kepada sesuatu objek yang menjadi isinya. Berbeda dengan Brentano, Huserl tidak mempersoal-kan status realitas objek yang menjadi isi kesadaran. Fenomenologi hanya berurusan dengan penjabaran fenomena murni, kesadaran atau pengalaman-pen-galaman, tanpa mempersoalkan apakah objek-objek yang dituju oleh kesadaran itu konkret atau hanya hayalan (tidak riil). Kemurnian itu ditempuh melalui prosedur epoche di atas.

Salah satu konsep terakhir dari Huserl adalah

levenwelt (life world, dunia hidup), yaitu dunia

pen-galaman sehari-hari.Konsep Huserl itu dipengaruhi filosof Jerman Dilthey. Huserl memaknai dunia hidup bahwa segenap tindakan kesadaran berlangsung da-lam horison yang tetap yakni dunia yang disadari atau dialami. Pemahaman terhadap dunia hidup itu menu-rut Huserl dapat dilakukan memalui ego transenden-tal. Pada gagasan ini Huserl dipengaruhi oleh Lipps. Huserl mengatakan bahwa dunia yang keberadaannya selalu menjadi urusan saya dan yang selalu saya alami sebagai fenomena objektif dan mandiri akan tampak menghadirkan diri sebagaimana adanya dan bisa di-pahami oleh ego transendental atau diri yang tersisa (nurni) setelah praduga-praduga yang saya pegang di-sisihkan melalui prosedur epoche.

Begitulah fenomenologi yang dikembangkan Edmund Huserl, yang tetap menggaung dengan sem-boyannya “kembali kepada berbagai hal itu sendiri” (Zu den Sachen Selbst). Di samping Huserl, fenome-nologi juga dikembangkan oleh beberapa tokoh yang lain. Max Scheler (1974-1928) yang pernah mengu-las tentang simpati, cinta, dan benci, yang diterbitkan dengan judul The Nature of Sympahty. Filsafat fenom-enologi Sheler menjadi jembatan menuju eksistensi-alisme perancis.

Gerakan fenomenologi di Perancis lebih sek-sama, karena diikuti banyak tokoh, seperti Gabril Marcel, Jean-Paul-Satre, Paul Ricouer, dan Maurice Merleau-Ponty. Di Polandia terdapat Roman Ingar-den, yang menganalisis seni dan sastra. Roman In-garden mencapai puncak dengan bukunya The

Con-troversy over The Existence of The World I-II (1948, 1949).Di Amerika gerakan fenomenologi juga sangat

berkembang. Marvin Faber, murid huserl, pada tahun 1939 mendirikan Perhimpunan Fenomenologi Inter-nasional, pada tahun 1940 menerbitkan jurnal Phi-losophy and Phenomenological Research, serta pads tahun 1943 menerbitkan tulisan-tulisan Huserl men-jadi buku Tile Foundation of Phenomenology. Pada tahun1958 Quentin Lauer memberikan uraian yang komprehensif tentang fenomenologi Huserl dalam bukunya The Triumph of Subjectivity dan juga mener-bitkan karya Huserl yang paling singkat dengan judul

Phenomenology and The Crisis of Philosophy (1965).

Pada tahun 1962 John Wild, murid Heidegger, mendi-rikan Perhimpunan Filsafat Fenomenologi dan Ek-sistensial. Fenomenologi Erofa yang berdiam di Amerika juga memberi warna perkembangan gera-kan fenomenologi di Amerika, seperti Alfred Schutz (1899-1958), yang menerapkan fenomenologi

(7)

pada masalah-masalah sosial; Aron Gudwirsch yang menaruh minat pada kesadaran; Dietrich van Hin-deibrand yang menerbirkan buku-buku tentang etika dan agama; dan Paul Tillich yang menekuni teologi.

Fenomenologi merupakan bentuk dari ideal-isme yang semata-mata tertarik pada struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya kesadaran manusia serta dasar-dasarnya. Dunia yang kita huni, dalam pan-dangan fenomenologi, merupakan ciptaan dari kesa-daran-kesadaran yang ada di dalam kepala individu masing-masing. Proses bagaimana manusia mem-bangun dunianya adalah melalui proses pemaknaan yang berawal dari arus pengalaman. Fenomenologi menempatkan peran individu sebagai pemberi mak-na, dan dari proses pemaknaan oleh individu inilah yang kemudian menghasilkan tindakan yang didasari oleh pengalaman sehari-hari yang bersifat intension-al. Individu kemudian memilih sesuatu yang “harus” dilakukan berdasarkan makna tentang sesuatu, dan mempertimbangkan pula makna objektif (masyarakat) tentang sesuatu tersebut.

Dalam sebuah artikel yang cukup panjang sebagaimana yang disebutkan di atas, Husserl meru-muskan cita-citanya untuk mendasari filsafat sebagai suatu ilmu yang rigorus (rigorous science) dan kepada ilmu ini is beri nama ‘fenomenologi’. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tenang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, seperti sudah tersirat dalam namanya fenomenologi mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenom-ena. Tetapi dengan itu dimaksudkan Husserl sesuatu yang pada waktu itu sama sekali baru. “Fenomena” sama sekali bukan sebagaimana yang dimengerti oleh Kant. Menurut Kant, kita manusia hanya mengenal fenomenon dan bukan numenon, kits hanya mengenal fenomena-fenomena (Erscheinungen) dan bukan relai-tas itu sendiri (das ding an sick). Bagi Kant (dan juga empirisme Inggris), yang tampak bagi kita semacam tirai yang menyelubungi realitas di belakangnya. Kita hanya mengenal pengalaman batin kita sendiri yang -- entah bagaimana-- diakibatkan oleh realitas di luar yang tetap tinggal suatu x yang tidak kita kenal. Me-lihat warna merah, misalnya, tak lain tak bukan ada-lah pencerapan (sensation), -- jadi pengalaman batin -- yang diakibatkan oleh sesuatu di luar. Bagi Kant fenomena adalah sesuatu yang menunjuk kepada re-alitas, yang tidak dikenal in se (pada dirinya). Dalam perspektif ini kesadaran dianggap tertutup dan teriso-lir dari realitas. Seluruh konsepsi Kant ini dilatarbela-kangi filsafat Descartes (cogito, tertutup).

Yang dimaksud Husserl “fenomena” adalah sesuatu yang lama sekali lain. Bagi Husserl, fenom-ena ialah realitas sendiri yang tampak. Bagi dia, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan kita dari realitas; realitas itu sendiri tampak bagi kita.Dengan demikian dapat kita mengerti semboyan yang dipilih Husserl bagi filsafatnya, yaitu Zuruck zu den sachen selbst (Back to thing themselves), kembalilah pada benda-benda sendiri. Ungkapan ini memiliki bebera-pa makna, yaitu : pertama, awal dari sesuatu itu kem-bali kepada apa yang bersifat obyektif (logika, etika dll) sebagai suatu obyek dari kesadaran (intensional

object). Kedua, hal tersebut merupakan sebuah reaksi

dari empirisme Hume dan idealisme transendental Kant. Ketiga, mungkin juga berarti bahwa makna yang digunakan secara luas adalah merupakan reaksi terhadap skeptisisme dan relativisme yang menolak

ide tentang obyektifitas universal.2 ``Dengan

pan-dangan tentang fenomena ini Husserl mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat.Dalam filsafat Barat sejak Descartes, kesadaran selalu dimengerti sebagai kesadaran tertutup atau cogito tertutup; arti-nya, kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya mela-lui jalan itu mengenal realitas. Misalnya, saya men-genal pencerapan-pencerapan (sensations) saya dan melalui jalan itu says mengenal realitas. Husserl ber-pendapat bahwa kesadaran menurut kondratnya tera-rah pads realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Atau menurut istilah yang dipakai Hus-serl, kesadaran meniru kodratnya bersifat intension-al; intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran. Karena kesadaran yang ditandai oleh intensionalitas inilah, fenomena harus dimengerti sebagai apa yang menampakkan diri. Mengataka ‘kesadaran bersifat intensional’ sebenarnya sama artinya dengan menga-takan ‘realitas menampakkan diri’.

Dua hal di atas ‘fenomena’ dan ‘intensionali-tas’ seperti dua sisi dari mata uang logam yang sama, keduanya korelatif. Korelasi ini berlaku bagi kesa-daran dan realitas pads umumnya, tetapi jugs bagi pelbagai aktus kesadaran dan realitas, misalnya, pen-galaman estetis --obyek estetis (karya kesenian). Dua istilah kunci dalam filsafat Husserl telah kita bahas, yaitu ‘fenomena’ dan ‘intensionalitas’3,

2Ibid,

3Husserl menggunakan istilah ‘intensionalitas’ berasal dari Brentano, namun Brentano

memiliki maksud lain dengan istilah ini, sehingga ajaran intensionalitas dapat diklaim sebagai penemuan khas Husserlian. Baca : Harvie Fergusen, Phenomology and Social Theory dalam George Ritzer & Barry Smart, Handbook of Social Theory (London : SAGE, 2001), hal. 236

(8)

selanjutnya istilah lain yang juga digunakan oleh Husserl berkenaan dengan kedua istilah tadi adalah ‘konstitusi’ (constitution). Konstitusi adalah proses

tampaknya fenomena-fenomena kepada kesadaran.4

Dan karena adanya korelasi antara kesadaran dan realitas yang disebut tadi, dapat dikatakan juga bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang me-mungkinkan tampaknya realitas.Kata Husserl dunia real dikonstitusi oleh kesadaran. Hal tersebut sama sekali tidak berarti bahwa kesadaran mengadakan atau menyebabkan dunia beserta pembedaan-pembe-daan yang terdapat di dalamnya, melainkan hanyalah bawah kesasaran harus hadir pada dunia supaya pe-nampakan dunia dapat berlangsung.

Pokok ajaran berikutnya dari Husserl adalah pendiriannya tentang “reduksi fenomenologis” atau “reduksi transendental”, yang Husserl sendiri

menye-butnya sebagai `Epoche’5 (kata Yunani yang

dipin-jam dari filsafat Heelnistis). Apa sesungguhnya yang dimaksud reduksi oleh Husserl ?. Dalam kehidupan biasa kita selalu condong untuk mengandaikan bah-wa dunia sungguh-sungguh ada sebagaimana diamati dan dijumpai. Dengan diam-diam kita percaya pada adanya. Sikap ini oleh Husserl disebut ‘sikap natural’ (natural attitude). Untuk memulai fenomenologi, kita hams mengubah sikap ini. Kita hams menghentikan -- atau lebih tepat menangguhkan -- kepercayaan kita pada dunia real. Kita hams meletakkan adanya dunia real diantara kurung. Di sini nampak adanya kemiri-pan jalan pikiran dengan metode Descartes. Namun demikian, Husserl tidak boleh disamakan dengan ke-sangsian metodis Descartes. Reduksi tidak merupa-kan kesangsian terhadap dunia, melainmerupa-kan semacam netralisasi : ada tidaknya dunia real tidak mempu-nyai peranan lagi. Bagi Descartes kesangsian berarti : mungkin dunia ada, mungkin tidak. Bagi Husserl reduksi berarti : ada tidaknya dunia real tidak rele-van : persoalan ini dapat disisihkan tanpa merugikan. Dengan mempraktikkan reduksi ini kita masuk “sikap fenomenologis”.

Konsep reduksi ini sangat terkait dengan cita-cita Husserl akan fenomenologi sebagai ilmu yang rigorus. Ilmu yang rigorus tidak boleh mengandung keraguan, ketidakpastian atau kedwiartian apapun juga. Ucapan-ucapan yang dikemukakan dalam suatu ilmu yang rigorus harus bersifat apodiktis (tidak men-gizinkan keraguan) dan absolut (tidak menmen-gizinkan perkembangan dan perubahan lebih lanjut).

4Ibid

5Viktor Velarde Mayol, On Husserl, 47. Baca juga Harvvie Fergusen, Phenomology and

Soial Theory

Nah, kriteria rigorus itu tidak pernah dapat dipenuhi dalam ucapan-ucapan kita tentang dunia real. Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada kita cara apodiktis dan absolut. Setiap benda material se-lalu diberikan mese-lalui profil-profil (Abschattungen). Misalnya saja, dari meja yang berdiri saya tidak me-lihat sebelah belakang. Tentu saja, saya bisa memilih sudut lain, sehingga saya melihat sebagai belakang itu. Tetapi kalau demikian, saya tidak melihat lagi sebe-lah depan dan profil-profil lainnya. Inisebe-lah cara benda material tampak bagi saya : berkeluasan dan ruang. Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada saya profilnya, secara total dan absolut. Cara reali-tas material tampaknya badi saya bersifat demikian rupa, sehingga tidak dapat dikemukakan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itu fenomenologi sebagai ilmu rigorus harus mulai dengan mempraktikkan reduksi transen-dental.

Jika kita menempatkan realitas material antara tanda kurung dengan mempraktikkan reduksi transendental tersebut, apakah yang tinggal untuk mendasari fenomenologi sebagai rigorus ? ataukah harus kita meninggalkan saja sejauh usaha kita ? Husserl berpendapat bahwa yang tinggal adalah ke-sadaran atau subyektivitas. Keke-sadaran tidak berkelu-asan dalam ruang. Kesadaran tampak bagi saya se-cara total dan langsung. Karena ini menjadi mungkin mengemukakan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Adanya kesadaran juga struktur kesadaran dapat dinyatakan secara absolut. Jadi kesa-daran harus dipilih sebagai dasar bagi fenomenologi sebagai ilmu rigorus. Tentang reduksi, yang terpent-ing bagi Husserl bukanlah meletakkan dunia sendiri antara kurung, melainkan terutama setiap interpretasi atau teori tentang dunia. Ia juga semakin menekankan aspek positif dari reduksi: reduksi bukan saja berarti berpaling dari dunia seperti dimengerti dalam sikap natural, melainkan juga terutama berpaling kepada sesuatu, yaitu kesadaran atau ego transendental.

ANALISA & HASIL FENOMENOLOGIS PEMBERITAAN LUMPUR LAPINDO DI JAWA POS DAN SURYA

Politik dipandang sangat bermartabat kar-ena memang diletakkan atas dasar moralitas untuk menuntun pada arti hidup berkeadilan. Sayangnya kebermartabatan politik itu sekarang dipertanyakan, apalagi bila hal itu dikaitkan dengan kasus lumpur Lapindo. Dalam kasus ini seolah politik lebih

(9)

dikonotasikan pada perburuan kekuasaan belaka yang jauh dari pengayoman etika. Khususnya gambaran nyata dalam fenomena social akibat dampak luberan panas Lumpur Lapindo yang terjadi di Porong_ Seo-lah-olah masyarakat berjuang sendiri untuk melawan kekuatan korporasi yang bersandar pada kekuasaan negara. Seolah-olah masyarakat tidak pernah punya negara, pelindung dan pengemban hidup rakyat lebih adil dan sejahtera. Rakyat tidak merasa terlindungi.

Dan dalam istilah yang lahir dalam perbincan-gan politik, kondisi negara yang seperti itu tak ubah-nya seperti negara tanpa pejabat. Dan kalaupun sosok pejabat itu nampak, is tak lebih dari sekedar begun-dal, yang dalam hal kasus lumpur ini, yakni begundal politik. Yakni sebuah perselingkuhan antara pejabat dengan pemilik modal tertentu untuk memenuhi ke-pentingan pemilik modal tersebut, apapun efek dari aktivitas pemodal tersebut. Dan dalam kasus ini adalah perselingkuhan antara pejabat pemerintahan Sidoarjo dan atau di atasnya dengan PT Lapindo se-laku pemilik modal, untuk mengamankan ekses dari membanjirnya Lumpur panas yang tak tentu arah dan waktu itu.

Ternyata, lebih ironis lagi, perselingkungan para pejabat dan pemilik modal tersebut diperparah dengan perselingkuhan para cendekiawan. Kaum pemikir ini mestinya membela dan menyuarakan ke-pentingan rakyat demi kebenaran dan kejujuran. Na-mun yang terjadi malah sebaliknya. Lantangnya suara kebenaran mereka hanya tampak di awal-awal saja, namun belakangan justru tak terdengar lagi. Mengan-dalkan pejabat dan para cendekiawan untuk bertindak membela kebenaran dan keadilan tak bisa diharap-kan, kini malah diperparah dengan keberadaan me-dia massa yang ternyata juga cenderung ikut-ikutan berselingkuh. Padahal media massa adalah salah satu kekuatan reformasi menuju demokratisasi. Dalam ta-taran ini media massa haruslah senantiasa terus me-nyuarakan keberpihakannya pada kebenaran dan ke-manusiaan.

Namun sungguh irons, kalangan media massa justru dijadikan PR oleh Lapindo dengan imbalan yang menggiurkan. Kalau isu ini benar maka itulah yang disebut perselingkuhan media dengan pemilik_ modal, dan itu mungkin raja terjadi. Bila ternyata du-gaan-dugaan di atas benar adanya, maka sebenarnya semua kekuatan itu telah menjelma menjadi `preda-tor sosial’ yang sangat berbahaya dan harus dilawan. Maka, pilihan sulit yang perlu diperhatikan adalah untuk melawan predator social dan kekuatan modal

itu tentu barus tetap melayani moral. Meminjam kon-sep Edward W. Said, (1995) dalam karyanya

Repre-sentations of The Intellectual, mengatakan ‘intelektual

sebagai pencipta sebuah bahasa yang selalu mengata-kan yang benar pada yang berkuasa.’ Artinya di sini bagi siapa pun meskipun pahit, pedas dan beresiko tinggi menyampaikan kebenaran itu tetaplah harus disampaikan pada penguasa.

Berita Lumpur Lapindo di Jawa Pos dan Surya

Analisa adanya perselingkuhan antara media massa dengan pemilik modal bisa dijelaskan dengan senantiasa mengamati setiap item-item berita yang disajikan di media massa. Bila dicermati benar-be-nar tak terlalu sulit untuk mengetahui bahwa sebuah media massa telah benar-benar memihak kebenaran dan kemanusiaan, atau telah benar-benar terjerumus dalam kepentingan pemilik modal star tidak. Sebab, bagaimanapun sebuah berita pastilah mengandung content, dan content bisa bernilai politis. Fenomena pemberitaan tentang Lumpur Lapindo tersebut se-bagian bisa dijelaskan dengan membandingkan dua koran ternama di Jawa Timur, Jawa Pos dan Surya, baik dalam pemilihan berita maupun dari isi beritan-ya. Perbandingan itu lebih realistik bila berdasarkan juga waktu terbitnya.

Pada edisi Sabtu 7 April 2007, Jawa Pos menurunkan 3 item berita tentang Lumpur Lapindo. Di halaman utama Jawa Pos menyajikan berita den-gan judul “Bengkak Rp 940 Milyar”.Diberitakan jumlah rupiah tambahan minimal ganti rugi Lapindo sesuai Peta Maret 2007. Pembengkakan itu terjadi mengingat instruksi Presiden SBY agar PT Lapindo membayarkan -anti rugi kepada korban lumpur ses-uai peta 22 Maret 2007. Dalam pemberitaan ini nam-pak bahwa seolah¬olah pihak Lapindo mendasarkan aktivitasnya pada kebijakan pemerintah, tanpa ada inisiatif yang bulat untuk sepenuhnya memperhatikan penderitaan korban lumpur. “Apapun instruksi Presi-den yang kemudian dijatuhkan pada Lapindo, kami tinggal menunggu saja petunjuknya. Artinya harus membayar berapa dan bagaimana rinciannya harus dilihat dulu peraturannya,” ujar Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, Andi Darussalam.

Masih di halaman utama, Jawa Pos memberi-takan PT KA nekat, rel ruas Porong dibuka. Keneka-tan PT Kereta Api tersebut untuk membuka lagi runs rel tersebut mengingat panjang ruas rel yang tertutup air dan Lumpur sekitar 500 meter dengan ketinggian genangan sekitar 1,5 sentimeter. “Apalagi kondisi rel, bantalan dan kerikil masih dalam posisi yang

(10)

benar, “begitu kata Humas KAI Dapos 8, Sudarsono. Di halaman 33, Jawa Pos memuat berita “Tuntut Pen-alti, Tolak Uang Muka”, tentang pembayaran uang muka ganti rugi untuk warga Kelurahan Siring yang ternyata sama sekali belum teralisasi. Itu juga berlaku bagi warga yang sudah memiliki sertifikat.

Sementara itu harian Surya, memuat 2 berita tentang lumpur Lapindo.Di halaman 1, Surya mem-buat judul “Peta Baru Picu Protes”, tentang adanya beberapa daerah yang tidak masuk dalam peta barn 22 Maret 2007. Agar dimasukkan dalam peta baru, em-pat desa salah satunya di Kelurahan Siring bagian ba-rat akan melakukan demo di sekitar lokasi yang akan dilanjutkan ke lokasi saluran pembuangan (spillway). Masih di halaman 1, Surya memberitakan “BPLS Jangan Ulang Kesalahan” yang mengulas opini be-berapa pihak terutama dari Surabaya Academy (SA) yang meminta agar BPLS pengganti Timnas sebagai lembaga yang diberi kuasa menangani lumpur Lapin-do bisa lebih serius dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat sebelumnya.

Analisa Fenomenologis Pemberitaan Lumpur Lapindo di Jawa Pos dan Surya

Hasil penelitian terhadap teks- berita di Jawa Pos (selanjutnya disebut JP) maupun Surya yang dis-ajikan di atas bisa memberi gambaran bagaimana dua media tersebut menerapkan ‘politik redaksional’

(edi-torial policy) yang berbeda. JP lebih `friendly’

(bersa-habat) dan `understanding’ (memahami), dalam arti lebih berusaha bersahabat dan memahami posisi PT. Lapindo. JP adalah media yang sangat kental dengan pendekatan bisnisnya dalam operasional sehari-hari. Hal itu sudah merupakan doktrin dari level paling atas di jajaran JP. Pendekatan bisnis yang dimaksud adalah bahwa pada tujuan akhirnya (ultimate goal) sebuah media adalah institusi bisnis. Dan keuntungan adalah tujuan yang paling utama (profit above all). Hal ini sulit dibuktikan secara eksplisit, misalnya dalam visi-misi PT Jawa Pos, karena memang hal itu tidak pernah dirumuskan secara tertulis. Tetapi, sikap dan pandangan itu sudah terinternalisasi dan tersosialisasi mulai awal berdirinya JP dan sudah mendarah daging pada seluruh jajaran wartawan dan karyawan JP.

Pendekatan `marketing’ sudah diterapkan JP dalam segala lini bisnisnya termasuk di redaksi. Pen-erapan marketing yang total di segala lini bisnis ini-lah yang oleh Hermawan Kertajaya disebut sebagai pendekat marketing yang holistic. Perusahaan yang bisa menerapkan pendekatan ini oleh Hermawan disebut sebagai `marketing-oriented company’.

Karena penerapan konsep inilah JP menjadi salah satu perusahaan media tersukses di Indonesia sekarang ini. Dari pengalaman penulis selama 12 tahun bekerja se-bagai wartawan JP, terungkap se-bagaimana pendekatan marketing itu juga diterapkan secara sangat ketat di jajaran redaksi dalam bentuk editorial policy. Salah satu doktrinnya adalah bahwa dalam pemberitaan mengenai ekonomi dan bisnis JP selalu berpihak ke-pada pengusaha. JP harus selalu ‘memahami’ sudut pandang pengusaha dalam menghadapi berbagai persoalan termasuk misalnya demonstrasi karyawan menuntut kenaikan upah. Dalam kasus seperti ini, JP akan selalu memosisikan diri di pihak pengusaha den-gan memberi porsi yang lebih kepada pengusaha.

Dalam ideologi JP, hidup dan mati koran ber-gantung kepada Man dan Man hanya bisa muncul jika dunia usaha sehat. Karena itu JP merasa mempunyai kewajiban untuk ikut menjaga iklim dunia usaha sehat dan maju sehingga dengan begitu mereka akan mau beriklan. Demikian logika sederhananya. Karena itu, dalam kebijakan redaksionalnya JP selalu wajib pro-pengusaha. Melalui perspektif inilah editorial policy JP dalam pemberitaan Lapindo bisa dipahami. Sejak awal peristiwa semburan- Lumpur, tokoh-tokoh pun-cak JP sudah menjalin komunikasi dengan pengambil keputusan di jajaran Lapindo maupun kelompok Bak-rie. Dalam wawancara dengan penulis, seorang ekse-kutif Lapindo berkata bahwa is sangat berterima kasih kepada JP karena sangat banyak membantu Lapindo dalam pemberitaannya. la bahkan mengatakan, “Saya tidak tahu bagaimana caranya untuk berterima kasih karena sangat besarnya bantuan itu.”

Bahkan, seandainya jam tangan ini saya beri-kan kepada redaktur JP, rasanya itu belum cukup, kata eksekutif itu sambil menunjukkan jam tangan yang dikenakannya. Jam tangan itu bermerek Rolex dengan rantai emas. Di sisi lain, Harian Surya juga menghadapi masalah yang sama dalam pemberitaan- masalah lumpur Lapindo. Pada masa-masa awal sem-buran, Surya sudah memberitakannya pada halaman I karena melihat masalah tersebut sebagai persoalan besar, bukan hanya masalah lingkungan, tapi juga masalah sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Pemberitaan Surya lebih independen dengan narasumber yang lebih banyak diambil dari kalangan warga dan korban. Kebijakan redaksional Surya da-lam kasus lumpur ini lebih memihak kepada korban dan warga. Dalam visi misinya Harian Surya me-nyebutkan: Visi: menjadi koran regional terkemuka, terbesar, dan terpercaya dengan menjalankan

(11)

bisnis yang bersih dan beretika serta bermanfaat bagi stakeholder dan masyarakat umum. Jabaran dari visi ini telah diturunkan (cascading) menjadi kebijakan redaksional (editorial policy) yang lebih menekank-an kepada etika dmenekank-an hati nurmenekank-ani.Sebagai perusahamenekank-an yang sahamnya dimiliki 100 persen oleh KG (Kom-pas Gramedia), Surya juga mengadopsi filosofi bisnis yang diterapkan harian Kompas. Visi Harian Surya merupakan ‘turunan’ dari visi besar harian Kompas dan KG.

Karena itu, dalam pemberitaan mengenai lumpur Lapindo, Surya memihak kepada korban dan warga. Dalam penelitian tersebut terlihat bahwa Surya memberi porsi yang lebih besar kepada korban dan warga yang terdampak. Narasumber dari pihak Lapindo-Minarak tetap diperhatikan dalam rangka menjangka keseimbangan berita (news-balance). Pada tahun pertama semburan lumpur, pihak Lapindo terlihat tidak agresif melobi media dan lebih banyak melakukan pendekatan persuasive.Tim PR (public

re-lation) Lapindo terdiri dari orang-orang professional

yang sangat berpengalaman di bidangnya. Beberapa di antaranya adalah orang media baik yang sudah tidak aktif maupun masih aktif Penulis punya pengalaman pada masa awal semburan Lapindo.Seorang ‘pelobi’ menemui penulis. Dia adalah mantan wartawan terke-muka sebuah harian di Surabaya yang sekarang bek-erja sebagai manajer di induk perusahaan Lapindo. Dia berusaha memberi background permasalahan lumpur dalam versinya. Dia bahkan berpesan supa-ya kasus ini tidak diseret ke ranah politik, misalnsupa-ya dengan melibatkan Aburizal Bakrie, pemilik Bakrie Groups, untuk bertanggung jawab terhadap semburan lumpur.

Tetapi, pada masa-masa itu juga ada orang yang beroperasi dengan cara yang lebih langsung, misalnya dengan memberikan sejumlah uang. Se-orang wartawan senior dari Jakarta datang ke Sura-baya dan ingin bertemu dengan penulis. Sebagaimana dalam pertemuan dengan pelobi pertama, ketika itu penulis juga meminta pertemuan dilakukan di kan-tor penulis. Tetapi, pelobi dari Jakarta ini tidak bisa datang ke kantor penulis karena beberapa alasan dan mengajak penulis bertemu di suatu tempat. Karena kesibukan penulis ketika itu pertemuan tidak terjadi. Keesokan harinya, seorang wartawan lokal menemui penulis dan menyerahkan sebuah amplop titipan si wartawan dari Jakarta.

Ketika amplop tersebut penulis buka ternyata berisi uang dalam bentuk dolar Amerika. Penulis

menelepon wartawan Jakarta tersebut dan menan-yakan untuk apa uang dalam jumlah cukup besar tersebut. Wartawan itu mengatakan tidak punya mak-sud apa-apa dan sekadar untuk taliasih saja. Penulis curiga karena wartawan tersebut mempunyai hubun-gan yang dekat.denhubun-gan orang-orang puncak Bak-rie Groups. Karena wartawan itu sudah kembali ke Jakarta, penulis menyerahkan uang tersebut kepada sekretaris redaksi untuk dikembalikan kepada pen-girim.Menurut sekretaris redaksi, wartawan Jakarta tersebut menolak pengembalian uang itu. Pada akh-irnya secretariat redaksi menyerahkan uang tersebut kepada wartawan Surabaya yang mengantarkannya kepada penulis.

Meski ada upaya-upaya untuk memberikan uang oleh orang yang tidak jelas, tetapi secara keselu-ruhan cara kerja tim PR lapindo cukup bagus. Mereka sering datang ke kantor redaksi dan berdiskusi menge-nai perkembangan pemberitaan lumpur. Hampir setiap minggu ada anggota tim PR yang datang ke redaksi. Biasanya ketika datang mereka membawa oleh-oleh dalam bentuk kue atau makanan yang dibagi-bagikan kepada awak redaksi. Tetapi, tidak sekalipun tim PR itu membawa uang baik terbuka maupun tertutup.Ke-tika semburan sudah memasuki tahun kedua, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam pendekatan kepada media yang dilakukan oleh Minarak-Lapindo. Tim PR yang pertama sudah ditarik ke Jakarta dan digantikan oleh tim baru. Tim ini dipimpin oleh se-orang yang penulis sebut raja sebagai ‘Raden’. Dia adalah orang Jakarta yang mempunyai hubungan luas di Jawa Timur dan banyak mengenal orang-orang me-dia di Jawa Timur.

Dibanding dengan tim pertama, tim Pak. Raden ini lebih ‘direct’ dalam pendekatan kepada wartawan maupun kepada media. Pak Raden ini-lah yang kemudian melobi media dan menawarkan sejumlah kompensasi iklan. Dalam operasional di lapangan Pak Raden juga mempunyai operator yang ditugaskan untuk `merawat’ pares wartawan yang ber-tugas meliput berita lumpur. Operator ini membagi-kan sejumlah uang setelah acara jumpa pers yang ru-tin dilakukan oleh Minarak-Lapindo.Pak Raden juga aktif datang ke kantor media untuk menegosiasikan masalah iklan. Dalam pengalaman-penulis, tim-Pak Raden kemudian menawarkan kerja sama Man den-gan imbalan uang yang cukup besar. Beberapa media besar yang sebelumnya menolak Man dari Minarak Lapindo belakangan menerima Man tersebut.Dalam sebuah wawancara informal dengan pemimpin me

(12)

dia besar itu, penulis mendapat informasi.bahwa Man tersebut diterima berkat lobi- kuat dari Pak Raden ter-hadap pimpinan puncak media tersebut.

Harian Surya juga tidak bisa luput dari `se-rangan’ tersebut. Karen kerja sama tersebut dilakukan dengan pihak bisnis, penulis tidak mempunyai ke-wenangan untuk menolak. Kesepakatan Man dalam jumlah yang cukup besar akhirnya ditandatangani. Tetapi, penulis menegaskan akan tetap menjaga in-dependensi redaksional, meskipun telah. terjadi kes-epakatan Man dengan Minarak Lapindo.

Di era persaingan industri media yang sangat ketat seperti sekarang, peran Man sangatlah penting. Bahkan, revenue dari Man bisa disebut sebagai sum-ber pemasukan utama. Dengan situasi harga kertas yang terus-menerus naik belakangan ini dan harga jual koran yang cenderung turun karena persaingan, maka pendapatan dari iklan adalah mutlak dan men-jadi ‘nyawa’ yang menentukan mati hidupnya media. Dalam kasus Harian Surya, pendapat dari iklan adalah pendapatan paling utama dibanding pendapatan dari penjualan koran dengan rasio 80 persen dibanding 20 persen. Dengan harga jual Surya yang hanya Rp 1000 subsidi yang diberikan per-eksemplar bisa mencapai Rp 150 sampai Rp 200. Dengan demikian, pendapa-tan dari Man adalah pendapapendapa-tan yang mutlak.Karena itu, segala upaya dilakukan untuk mendapatkan iklan. Di sinilah terjadi benturan yang- dilematis antara ke-pentingan perusahaan dengan etika jurnalistik.

Noam Chomsky (Manufacturing Consent) mengkritik kenyataan ini dengan menyebut media telah menjadi corong propaganda korporasi besar karena sangat tergantung kepada Wan dari korporasi tersebut. Menurut Chomsky, banyak media yang tidak berani bersikap kritis terhadap berbagai penyelewen-gan oleh korporasi besar karena takut tidak menda-patkan pemasukan Wan dari korporasi tersebut. Da-lam kasus Minarak Lapindo, pandangan Chomsky ini bisa memperoleh pembenaran. Sepengetahuan penu-lis, iming-iming Wan telah menjadi salah satu faktor yang membuat media tidak kritis dalam menyikapi kasus lumpur.

Dalam kasus Surya, penulis tetap berusaha menjaga independensi. Surya tidak mempunyai ke-pentingan bisnis dengan kelompok Bakrie, karena itu Surya masih lebih independen.Kepentingan bisnis tetap bisa berjalan, tetapi etika jurnalistik masih tetap harus dikedepankan. Dalam teori jurnalistik dikenal apa yang disebut ‘Firewall Theory’ atau Teori Tem-bok Api. Dalam teori ini disebutkan bahwa

media mempunyai dua fungsi; fungsi social dan fung-si bisnis. Undang-Undang Pers 40199 menyebutkan empat fungsi sosial media; fungsi informasi, fungsi edukasi, fungsi control sosial dan fungsi-hiburan. Tetapi, media juga mempunyai fungsi bisnis. Media membutuhkan investasi besar di era sekarang ketika industri media membutuhkan modal yang besar untuk teknologi yang canggih dan wartawan yang berkuali-tas tinggi. Karena kebutuhan ini maka modal besar mulai- masuk ke media pada awal 1980-an. Ketika itu terjadilah perubahan yang cukup mendasar dalam pola pengelolaan media. Perusahaan media mulai sadar teknologi, lalu diadopsilah berbagai teknologi mutakhir di bidang telekomunikasi dan teknologi per-cetakan jarak jauh melalui satelit.

Kalau era sebelumnya pengiriman berita han-ya dilakukan dengan cara han-yang konvensional, misal-nya telepon dan pengiriman via pos, maka pada era industri mulailah diperkenalkan teknologi pengiri-man via satulit dan internet. Teknologi- percetakan juga mengalami kemajuan yang sangat pesat dengan ditemukannya sistem percetakan jarak jauh (remote

printing system), di mana file-file bisa dikirim dalam

bentuk PDF ke wilayah manapun (bahkan di seluruh dunia) dan kemudian dicetak dengan teknologi cetak jarak jauh. Dengan pemanfaatan teknologi ini wilayah edar media semakin lugas dan nyaris tidak terbatas lagi oleh batas ruang dan waktu.

Sistem cetak jarak jauh ini memungkinkan sebuah media dari Jakarta terbit di wilayah sampai sejauh Indonesia Timur dengan jam terbit yang sama-sama pagi. Teknologi cetak jarak jauh ini tidak hanya diterapkan untuk wilayah nasional dalam negeri In-donesia saja, tetapi juga dimanfaatkan oleh pener-bitan internasional untuk terbit di Indonesia melalui fasilitas pencetakan jarak jauh ini. Salah satu surat kabar internasional yang cetak di Indonesia dengan memanfaatkan cetak jarak jauh adalah Harian

`In-ternational Herald Tribune’ (IHT). Koran ini

meru-pakan anak perusahaan koran The New York Time (NYT) dari Amerika.Pola dan kebijakan redaksional kedua harian itu sangat mirip, bedanya NYT lebih memfokuskan berita-berita lokal Amerika, atau berita internasional dalam perspektif Amerika, sedangkan WIT lebih banyak memberikan berita-berita dalam perspektif Asia. Selain cetak- di Indonesia IHT jugs cetak di Hongkong yang merupakan headquarter un-tuk Asia. (Teknologi cetak jarak jauh ini memuncul-kan persoalan mengenai serbuan media asing ke In-donesia-tetapi hall tersebut tidak masuk dalam ruang

(13)

lingkup pembahasan tulisan ini).

Implikasi positif lainnya dari penerapan teknologi adalah semakin panjangnya waktu dead-line sehingga memungkinkan media mencari dan mengembangkan berita sampai cukup larut malam. Dengan teknologi telekomunikasi yang canggih se-orang wartawan hanya membutuhkan waktu sekian detik untuk mengirim berita Hall ini memungkinkan wartawan untuk mengejar dan memperdalam berita dengan cukup leluasa. Dengan demikian, layanan ter-hadap pembaca bisa semakin baik karena pembaca bisa mengikuti perkembangan terakhir sebuah berita.

Modal besar yang masuk ke dalam dunia in-dustri pers juga membawa berkah bagi kalangan jur-nalis, karena sejak itu perusahaan media mau mem-bayar tenaga-tenaga wartawan professional dengan gaji yang cukup tinggi, sejajar dengan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Hal ini memungkinkan lulusan-lulusan terbaik dari universitas terbaik di In-donesia bergabung menjadi wartawan di perusahaan media yang bonafide karena perusahaan itu berani menawarkan gaji yang tinggi. Ada juga ekses negatif dari perkembangan ini. Karena perusahaan media me-nawarkan iming-iming gaji yang besar maka banyak lulusan perguruan tinggi yang berbondong-bondong melamar ke media sebagai job seekers (pencari ker-ja). Mereka. sebenarnya tidak mempunyai minat jur-nalistik atau hanya mempunyai minat jurjur-nalistik yang tidak terlalu besar, tapi karena ada peluang masuk ke perusahaan media yang menawarkan gaji besar mer-eka pun mendaftar ke sana.

Perusahaan media juga bersikap lebih pragma-tis. Dari pada mencari wartawan.yang, mempunyai la-tar belakang jurnalistik, atau. ilmu. komunikasi yang tidak siap pakai, media lebih suka merekrut lulusan perguruan tinggi dengan IP tinggi dari berbagai latar belakang. Mereka kemudian diberi pelatihan seperlu-nya misalseperlu-nya dengan memberi in house training dan

on job training. Ada jalan pintas yang ditempuh

me-dia dengan perkembangan efisiensi sehingga mereka hanya memberi pelatihan tiga minggu sampai satu bulan saja. Implikasi lainnya adalah rendahnya pema-haman etika wartawan bersangkutan. Kalau mereka masuk ke dunia media hanya sebagai job seeker dan kemudian diberi pelatihan dan pendidikan sekadarnya dan segera menerjunkan mereka ke lapangan, maka sangat mungkin pemahaman mereka mengenai jur-nalistik, terutama etika, akan minim. Pada akhirnya hal inilah yang dianggap sebagai salah satu sebab merosotnya profesionalitas wartawan dan rendahnya

penghayatan akan kode etik jurnalistik.

Dalam teori Tembok Api disebutkan bahwa harus ada pemisahan yang tegas. dan jelas antara fungsi-bisnis media dengan fungsi idealismenya. Karen itu, seorang wartawan dilarang keras untuk menjalankan fungsi-fungsi bisnis. Bahkan, dalam tra-disi pelaksanaan teori tembok api yang ketat seorang wartawan tidak akan tahu menahu mengenai berbagai masalah bisnis seperti Man dan pemasaran. Bahkan seorang wartawan tidak akan tahu jumlah oplah ko-rannya. Lebih ekstrem lagi gedung redaksi dengan gedung produksi, Man, dan pemasaran diletakkan terpisah sehingga satu dan lainnya tidak akan saling memengaruhi.

Modal besar yang masuk dalam industri men-jadikan logika modal pelan-pelan mendesak logika etis. Kalau harus memilih antara mendahulukan etika atau Wan, sering yang pertama yang dikalahkan dan iklan menjadi prioritas.6 Salah satu bentuk ‘sinergi’

antara redaksi dengan bagian iklan adalah diperke-nalkannya apa yang sekarang terkenal dengan sebu-tan ‘pariwara’ atau ‘advertorial’. Istilah unik ini baru muncul beberapa tahun belakangan setelah era pers industri muncul. Advertorial adalah gabungan kata `advertising’ dan `editorial’ yaitu iklan dan berita. Artinya, berita yang dijadikan iklan atau iklan dalam bentuk berita.Pada era sebelumnya istilah ini tidak dikenal, tetapi dalam era pers industri advertorial dan pariwara menjadi hal yang wajar. Ini merupakan up-aya untuk mengatasi hambatan tembok api, tersebut Karen persaingan mendapatkan iklan semakin ketat dan keras peran redaksi untuk menembus sumber-sumber iklan sangat dibutuhkan. Biasanya, para pe-masang iklan lebih mudah ditembus oleh wartawan ketimbang oleh pekerja iklan.

Ini merupakan salah satu faktor yang.sangat menentukan dalam menyusun kebijakan redaksional sebuah media. Dalam kasus lumpur Lapindo, Jawa Pos mempunyai kebijakan redaksional yang senan-tiasa sejajar dengan kepentingan bisnis yang lebih besar. Jawa Pos telah mengembangkan sayap bisnis-nya membentang sangat lugs melewati batas-batas media. Ketika tulisan ini dibuat, Jawa Pos baru saja meresmikan perusahaan listrik (powes plant) swasta di Kalimantan Timur. Ini merupakan perusahaan lis-trik pertama di Indonesia yang dikelola oleh swasta. Setahu penulis, ini juga satu-satunya perusahaan lis-trik di dunia yang dikelola oleh perusahaan media.

(14)

Karena kepentingan bisnisnya yang sangat luas inilah maka Jawa Pos harus menjaga betul ke-bijakan redaksionalnya sehingga tidak mencederai kepentingan bisnisnya dan kolega kolega bisnisnya. Dalam konteks inilah kebijakan redaksional Jawa Pos dalam kasus Lapindo bisa dipahami. Dalam kasus Surya, hubungan bisnis dengan Lapindo juga dijalin oleh tim Man dan tim bisnis. Hal ini berbuah hasil dengan banyaknya kontrak Man display maupun ad-vertorial dari Lapindo. Meski demikian, dari hasil penelitian terhadap berita-berita Surya bisa disimpul-kan bahwa redaksi Surya relative mampu menjaga independensinya dalam pemberitaan masalah lumpur Lapindo.

Sebagai wujud tanggung jawab sosial penu-lis terjun langsung untuk memberi advokasi kepada para korban lumpur.Bersama budayawan Emha Ai-nun Nadjib penulis menggalang beberapa warga yang ganti ruginya masih terkatung-katung selama berbu-lan-bulan dan memberi mereka advokasi yang positif dengan memberi tahu mereka hak dan kewajibannya. Menilik hubungan pers dalam pemberitaan lumpur Lapindo bisa disimpulkan bahwa begundal-begundal Lapindo jugs ada di lingkungan pers dengan berbagai modus operandinya. Pada level yang paling bawah bisa disebutkan mereka yang setiap hari menjadi corong Lapindo. Dalam hal ini Lapindo mempunyai satu atau dua orang wartawan yang dipercaya untuk menjadi koordinator para wartawan yang meliput di lapangan. Para koordinator ini bertugas untuk mem-beri briefing dan mengarahkan pemmem-beritaan sesuai dengan yang dikehendaki Lapindo.

Kesimpulan Teoritik

Kasus Lumpur Lapindo telah menarik banyak pihak merespon, mengkaji dan menelitinya, termasuk banyak media lokal, nasional maupun media-media internasional dengan antusias memberitakannya. Karena itu, apa yang peneliti kaji dalam studi ini be-lumlah ada satu tema yang mengkajinya, khususnya kaitannya dengan mengapa media-media itu tertarik memberitakan persoalan ini. Analisa ini setidaknya ada tiga persoalan yang hendak dijawab disini, per-tama, apa yang menyebabkan media massa (pers) tertarik untuk memberitakan tragedi Lumpur Lapindo itu? Sebagaimana tergambarkan pada bab 4, peneliti memberi tema “Gambaran Fenomenologis Politik Identitas dalam Dominasi Kapitalisme Lapindo.” Pada bagian ini cukup jelas mengapa kemudian me-dia tertarik untuk memberitakan kasus ini secara

luas. Sebab fenomena ini bukanlah fenomena sosial yang biasa saja, melainkan fenomena alam yang ber-dampak sosial yang amat besar.

Sebagaimana yang ditunjukkan oleh para kor-ban lumpur Lapindo, yang mengungsi di Pasar Baru, Porong, bahkan dengan keras Muhammad Mirdasy salah satu korban mengatakan “Lapindo Merampas Peradaban Kami!.” Implikasinya Perdebatan tentang luberan lumpur Lapindo yang berakibat kompleknya persoalan sosial, seakan tak pernah akan ada ujung solusinya. Mulai dari solusi sosial ganti untung, cash and carry, resettlement dan tuntutan demi tuntutan so-sial terus mengemuka.

Fenomena lain yang mencuat, dimana me-dia massa yang sampai detik ini dipandang sebagai salah satu kekuatan reformasi menuju demokratisasi. Haruslah terus menyuarakan keberpihakannya pada kebenaran dan kemanusiaan. Tetapi justru isu yang berkembang di lapangan, kalangan media massa jus-tru dijadikan Humas (public relation) oleh Lapindo dengan imbalan yang menggiurkan.

Sementara itu, gambaran aktivis dan cendeki-awan tidak kalah pentingnya untuk memainkan per-annya sebagai agen sosial (social agent). Konteks ini mestinya aktivis dan cendekiawan tampil menjadi kekuatan moral yang sangat representatif. Tetapi naif, justru dipuncak penderitaan masyarakat para aktivis yang lulu lantang berbicara, kini diam seribu bahasa. Bahkan desas-desus yang muncul kini telah terjadi perselingkungan kaum cendekiawan. Di tengah pen-deritaan masyarakat di pengungsian, justru banyak aktivis dan cendekiawan mendapat fasilitas berkantor di hotel berbintang.

(15)

Daftar Pustaka

Bagus, Loren, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia.

Benda, Julien, 1997, Pengkhianatan Kaum

Cendekiawan, terj. Winarsih P. Arifin,

Jakarta: Gramedia.

Berg, Bruce L., 1998. Qualitative Research

Methods for Social Sciences.London : Allyn

and Bacon aViacom Company

Bryman, Alan, 2004. Social Research Method

(Second Edition). New York: Oxford

University Press

Campbell, Tom, 1994, Tujuh Teori Sosial, ter. F.

Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius.

Chomsky, Noam, 2004, Manufacturing Consent, London: Routledge.

Craib, Ian, 1986. Teori-Teori Sosial Modern: dari

Parsons sampai Habermas (terjemahan Paul S. Baut dan T. Effendi). Jakarta: CV Rajawali

Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln, 2000,

Handbook of Qualitative Research, London:

Sage Publication.

Djuraid, Dhimam Abror, 2007,

Globalisasi-Modernisasi-Hibridisasi: Catatan Mingguan Seorang Wartawan, Surabaya: Pustaka

Eureka dan Harian Surya.

Dunn, WN. 1994. Public Policy Analysis : An

Introduction. Ed ke-2. Prentice¬Hall, Inc.,

A Simon & Schuster Company, Englewood Cliffs, New Jersey. Terjemahan dari: Gadjah Mada University Press. Yogyakarta,

Indonesia.

Fergusen, Harvie, 2001, Phenomenology and Social

Theory dalam George Ritzer & Barry Smart, Handbook of Social Theory, London : SAGE

Gramsci, Antonio, 2000, Sejarah dan Budaya, Surabaya: Pustaka Promethea. Gramsci, Antonio, 1987, Selections From The Prisaon

Notebooks, New York: International

Publishers

Haralambos, Michel and Martin Holborn. 2000.

Sosiology: Themes and Perspectives (Fifth Edition). London: Harper Collins

Publishers Limited.

Kenny, Michael, 2004, The Politics of Identity:

Liberal Political Theory and The Dilemma of Difference, Cambridge: Polity Press.

Kenny, Michael, 1995. World View California : Chandler& Sharp Publishers, Inc.

Khun, Thomas S., 2000, The Structure of Scientific

Revolutions: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman,

Bandung: Rosdakarya

Lassman, Peter, 2000. “Phenomenogy” dalam

Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Adam Kuper

dan Jessica kuper, Ed., terjemahan Haris Munandar, dkk.). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Luijpen, William A., 1966. Phenomenology and

Humanism.Pittburgh: Duquesne University

Press.

Nazir, Moh., 1988, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Neuman, W. Lawrence, 2000. Social Research

Method: Qualitative and Quantitative Approaches. Toronto: Allyn and Bacon.

Nevins, A., 1933, Masters’ Essays ini History, New York: Columbia University Press. Panjaitan, Hinca, 2007, UU Pers Lex Specialis atau

Generalis, Dewan Pers, Jakarta.

Poloma, Margaret M., 2000. Sosiologi Kontemporer (terjemahan tim penerjemah Yasogama). Jakarta: Rajawali Press

Ritzer, George and Barry Smart (ed.). 2001.

Handbook of Social Theory. London:

Sage Publications Ltd.

Ritzer, George, 1983, Contemporary Sociological

Theory, New York : Alfred A. Knopt.

Ritzer, George, 2003, Sosiologi Ilmu Pengetahuan

Berparadigma Ganda, disadur oleh Aliman

dan, Jakarta: Rajawali Press.

Rush, James R., 2002, Opium to Java, Jogjakarta: Batabangsa.

Said, Edward W., 1998, Peran Intelektual terj. Rin Hindryati P dan P. Hasudungan Sirait, Jakarta: Yayasan Obor

Sarantakos, Sotirios. 2002. Social Research. Auatralia: Macmillan Publishers

Schutz, Alfred, 1967. The Phenomenology of The

Social World (terjemahan George Walsh

dan Frederick Lehnert). New York: Northwestern University Press

(16)

Smith, Barry dan Woodruff Smith, David,

1995.The Cambridge Companion to Husserl. Melbourne: Cambridge University Press Steele, Janet E, 2008 “Forbiding Wrong: Media

and Mud Volcano Victims.in Sidoarjo, Indonesia”, Paper, tidak dipublikasikan.

Steele, Janet E, 2005, Wars Within: The Story of

Tempo, an Independent Magazine in Soehar to’s Indonesia, Jakarta - Singapore: Equinox

Publishing dan ISEAS

Steele, Janet E, 2007, `A Boy Who Shouts at The

Emperor’ sebuah pengantar dalam Dhimam

Abror Djuraid, Globalisasi-Modernisasi-Hibridisasi: Catatan Mingguan Seorang Wartawan, Surabaya: Pustaka Eureka dan

Harian Surya

Strauss, Anselm and Juliet Corbin, 1990. Basics

of Qualitative Research.London:

Sage Publications.

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, 2003,

Dasar-dasar Penelitian Kualitatif Tata langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data,

Terj. Muhammad Sodiq dan Imam Muttaqin, Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Referensi

Dokumen terkait

belakang di atas penulis ingin mengetahui apakan pola asuh orang tua yang diberikan kepada anak dapat mempengaruhi perkembangan aqidah bagi anak,.. maka penelitian ini penulis

Penelitian ini akan berfokus pada deteksi instrusi, yang secara teknis adalah mendeteksi gerakan baik untuk pagar pembatas perumahan atau RW maupun di teras/halaman rumah..

Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan, dengan memperhatikan Tabel 5, pada hasil rekapitulasi rerata nilai organoleptik 20 (dua puluh) orang responden, untuk

keperawatan yang muncul pada pasien diabetes melitus adalah sebagai. berikut

Hasil penelitian menujukan bahwa, 1 Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut oleh peserta didik kelas VII di SMP Brawijaya Smart School

Adapun jenis penelitian ini yaitu penelitian dan pengembangan Research and Development ( R&D ). Teknik pengumpulan data penelitian ini meliputi wawancara, kuesioner,

Secara khusus, penelitian ini mempelajari pengaruh pergeseran posisi bottom mounting suspensi dan panjang link terhadap respon getaran yang ditimbulkan, serta pengaruh

Sir Gawain dan Green Knight adalah akhir abad ke-14-English Tengah aliterasi asmara. Ini adalah salah satu cerita Arthurian lebih terkenal dari jenis didirikan dikenal