• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL PARA CALON PRESIDEN PADA PEMILIHAN UMUM PRESIDEN 2014 DALAM MEDIA MASSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL PARA CALON PRESIDEN PADA PEMILIHAN UMUM PRESIDEN 2014 DALAM MEDIA MASSA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

PROFIL PARA CALON PRESIDEN PADA

PEMILIHAN UMUM PRESIDEN 2014 DALAM MEDIA MASSA

MAKALAH NON-SEMINAR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Fatimah Kartini Bohang 1106021292

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

JURNALISME

DEPOK DESEMBER 2014  

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Abstrak:

Jurnal ini dibuat untuk menunjukkan bagaimana media massa membentuk opini publik atas figur dua calon presiden (capres) Republik Indonesia, pada pemilihan umum presiden 2014. Pembentukan opini berlangsung melalui pembingkaian (framing) dan penonjolan fakta tertentu

(agenda setting) dalam penyajian berita. Proses itu kemudian menimbulkan persepsi dalam

benak khalayak atas figur para capres, yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Setiap media massa memiliki cara, kecenderungan, dan tujuan tersendiri dalam menggambarkan figur para capres. Penggambaran tersebut dilatarbelakangi sedikit banyaknya oleh kepemilikan media massa dan aliran politik media massa tersebut.

Kata kunci: media massa, opini publik, pemilu 2014, pilpres 2014, capres 2014, Jokowi, Prabowo, framing theory, agenda setting.

Abstract:

This journal aims to show how mass media, in order to lead public opinion, create a picture of Indonesia’s president candidates, during the Indonesia’s presidential elections 2014. The process includes framing and agenda setting in delivering news, which result some perceptions in public’s mind about the candidates, Prabowo Subianto and Joko Widodo, really are. In this case, each media has its own way and tendency in creating the figure of the candidates. More or less, it is base on the media ownership and political ideology.

(7)

2 Pendahuluan

Pilpres 2014 yang dilaksanakan 9 Juli 2014 adalah pilpres langsung yang ketiga di Indonesia. Peristiwa bersejarah ini akan menentukan kembali siapa sosok yang akan memimpin Indonesia hingga lima tahun ke depan. Dalam pilpres kali ini, pasangan kandidat nomor urut 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa bersaing dengan pasangan kandidat nomor urut 2, Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla untuk merebut tampuk kepemimpinan pemerintahan tertinggi di Indonesia.

Dalam penyajiannya, realitas yang dikonstruksi oleh media massa atas latar belakang (sosial, ekonomi, budaya, pendidikan), rekam jejak dalam memimpin lembaga pemerintahan, hingga pendapat orang terdekat tentang para capres, tak lepas dari pembingkaian yang menimbulkan persepsi tertentu dalam benak khalayak atas figur para capres.

Menjelang pilpres, penekanan dan penonjolan atas fakta tertentu mengenai seluk-beluk kedua kandidat dapat menguatkan atau melemahkan posisi kandidat satu atas kandidat lainnya. Sebagai media yang berfungsi menggerakkan massa berdasarkan fakta, hal ini dimaksudkan untuk menggiring opini masyarakat hingga pada akhirnya media mampu mempengaruhi sikap masyarakat dalam memilih pasangan kandidat yang dianggap layak memimpin pemerintahan selama periode 2014-2019, sedikit banyak dengan berkiblat pada siapa pemilik media memihak.

Hal ini sesuai dengan framing theory yang mulanya dikemukakan oleh Beterson tahun 1955, kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli sesudahnya seperti Entman, Gamson, dan Gitlin. Menurut Eriyanto, framing adalah sebuah cara penyajian peristiwa yang dilakukan media dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas atau peristiwa (Eriyanto, 2002).

Selain framing theory, pembentukan opini publik oleh media massa juga dijelaskan oleh

cultivation theory yang dikemukanan oleh Gerbner tahun 1969. Teori ini menjelaskan formasi

pembentukan jangka panjang dari suatu persepsi, pemahaman dan keyakinan massa atas realitas dunia sebagai akibat dari konsumsi pesan-pesan media. Teori ini berkembang dengan prespektif transmisional dan perspektif ritual. Perspektif transmisional melihat media sebagai pembawa pesan ke khalayak, sedangkan perspektif ritual melihat media sebagai pembawa representasi mengenai keyakinan bersama (Gerbner, 1969).

(8)

Selanjutnya, berbicara mengenai media massa dan pengaruhnya kepada khalayak juga berkiblat pada teori agenda setting. Teori ini diperkenalkan McCombs dan DL Shaw tahun 1972, yang menekankan bahwa media adalah pusat penentu apakah suatu informasi dianggap penting atau tidak. Maksudnya, apa yang diberitakan oleh media massa secara terus-menerus dan dianggap penting oleh media massa akan serta merta menjadi penting bagi masyarakat luas. Sebaliknya, apa yang luput dari perhatian media massa akan luput pula dari perhatian masyarakat luas (McCombs dan DL Shaw, 1972).

Dalam berbagai pemberitaan di media, pilpres kali ini disebut-sebut sebagai pemilu dengan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Dalam artikel yang ditulis Jawa Pos, 17 Juli 2014, peningkatan partisipasi WNI di luar negeri pada Pilpres 2014 dilansir mencapai 83 persen dibandingkan Pilpres 2009 (JawaPos.com, 2014).

Meski secara keseluruhan angka partisipasi pilpres kali ini hanya 70 persen, yang mana menurun 2 persen dari angka partisipasi pilpres sebelumnya, namun Komisioner KPU, Sigit Pamungkas, mengungkapkan kualitas partisipasi masyarakat pada pilpres kali ini meningkat. Hal ini terlihat dari keikutsertaan rakyat dalam mengawal proses pemilu di berbagai daerah, dalam maupun luar negeri (Kompas.com, 2014).

Peranan Media Massa dalam Membentuk Opini Publik

Menurut Robert Abelson, opini publik adalah kumpulan pendapat suatu kelompok masyarakat atau komunitas yang bersumber dari diskusi sosial antara pihak-pihak yang berkepentingan, yang muncul karena adanya isu kotroversial. Opini publik identik dengan demokrasi, di mana kebebasan dan keterbukaan dalam menuangkan ide-ide terakomodir dengan baik. Dalam membentuk opini publik, pemahaman, kepercayaan, pengalaman, dan sikap kelompok sangat menentukan (Robert Abelsom, 1968).

Dalam ranah politik, opini publik nilainya sangat penting bagi para politisi. Hal ini karena opini publik merepresentasikan citra superioritas yang memunculkan keyakinan bahwa orang yang menguasai opini publik akan mampu mengendalikan orang lain. Opini publik berhubungan dengan pencitraan, perencanaan dan operasionalisasi. Setiap figur politik membutuhkan citra positif di mata masyarakat untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaannya.

Media massa adalah salah satu faktor terpenting yang mampu mempengaruhi opini publik. Di zaman modern ini, perkembangan manusia tidak luput dari peran media. Pesatnya

(9)

4

perkembangan teknologi pun membuat distribusi media massa semakin meluas. Tidak hanya melalui media cetak berupa koran dan majalah, namun juga terdistribusi melalui radio, televisi dan internet. Pembentukan mental, karakter dan sikap manusia sedikit banyak dipengaruhi oleh media massa dalam pemberitaannya.

Menurut Sudarman, media massa merupakan media yang diperuntukkan untuk massa. Untuk itu, karakter media massa harus mementingkan isi yang dianggap paling penting dan menarik untuk dikonsumsi masyarakat luas. Media massa juga memiliki karakter anonim dan heterogen. Anonim maksudnya orang-orang yang terkait dalam media massa tak saling mengenal langsung antara komunikator dan komunikannya (Sudarman, 2008).

Media massa sering dijadikan celah bagi para politisi untuk menggunakan media massa sebagai alat pencitraan yang diinginkan demi membentuk opini publik yang positif terkait dirinya dan kelompok politiknya. Hal ini semakin terlihat pada masa kampanye, baik di tingkat daerah, maupun di tingkat nasional. Semua kandidat berusaha memanfaatkan kekuatan media massa secara maksimal. Dalam usahanya, para kandidat tak tanggung dalam mengeluarkan dana kampanye untuk media massa demi membentuk opini publik. Tak mengherankan jika beberapa politikus negeri ini berperan sekaligus sebagai penguasa media.

Besarnya pengaruh media massa dalam membentuk opini publik menjadikannya alat dalam mengkonstruksi masyarakat dan menentukan cara masyarakat bersikap atas isu tertentu. Dalam konteks politik, pengaruh media massa ini sering dimanfaatkan untuk melakukan kampanye politik. Kampanye politik yang idealnya dilakukan dengan jujur dan objektif, melalui media massa yang seharusnya jujur dan objektif pula, justru berlaku sebaliknya.

Media massa, selama masa kampanye, dalam menggiring opini publik, seakan terkotak-kotak antara media yang dianggap pro salah satu kandidat dan media yang pro kandidat lainnya. Tak hanya sebagai alat kampanye negatif untuk kandidat yang tak didukung, seringkali berita yang dimuat media massa tertentu juga merupakan kampanye hitam yang bersifat provokatif untuk menjatuhkan kandidat yang tak didukung.

Peranan Media Massa dalam Membentuk Citra Figur Politik

Citra figur politik dapat dikatakan sebagai suatu penciptaan gambaran tentang figur politik yang meliputi latar belakang, referensi, kebijakan, kompetensi, karakter, kekuasaan, otoritas, kewenangan, dan hal-hal terkait, yang memiliki makna tertentu di mata khalayak walau tak selamanya sesuai kenyataan yang sebenarnya.

(10)

Citra figur politik dapat terbentuk melalui persepsi yang bermakna mengenai bagaimana figur politik tampak bersikap dan mengambil keputusan. Persepsi yang bermakna tersebut kemudian akan menjadi suatu keyakinan atas sosok figur politik, yang kemudian akan menimbulkan suatu ekspektasi individu yang akan berkembang menjadi ekspektasi umum atas seorang figur politik.

Citra figur politik dapat diciptakan dan dikembangkan melalui proses pembelajaran politik atau sosialisasi politik yang terus-menerus melalui komunikasi politik, baik yang sifatnya personal, kelompok, atau melalui media massa seperti media cetak, radio, televisi dan digital.

Media massa, apapun bentuknya, tak lagi semata-mata berfungsi untuk menyampaikan informasi, namun juga dijadikan sarana komunikasi politik seperti kampanye yang juga merupakan bentuk pembentukan citra. Media massa diyakini memiliki pengaruh tebesar dalam membentuk opini publik, sehingga efektif pula untuk menciptakan citra. Melalui media massa politisi tak hanya dapat membentuk citra diri, namun juga menaikkan pamor figur lain dan/atau bahkan menjatuhkan figur lawan. Dengan kata lain, media massa merupakan senjata yang ampuh bagi perebutan citra.

Para Pelaku politik menggunakan media massa sebagai sarana untuk menyampaikan visi misi dari suatu partai politik atau para calon pemimpin yang sedang berkampanye. Para pelaku politik tersebut cenderung menunjukkan citra yang baik dari partai politik atau individu pelaku politik.

Media massa memiliki peran penting dalam dunia politik, termasuk pada proses pemilu. Melalui media massa, publik mendapat informasi yang lengkap ihwal para kandidat presiden. Informasi yang dipaparkan media dalam menyampaikan kualitas dan rekam jejak para calon lah yang menjadi faktor penentu dalam membentuk opini publik dan keputusan untuk menentukan pilihan.

Dalam penelitian Ibnu Hamad tahun 2004 yang berjudul Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Studi Pesan Media Politik dalam Media Cetak pada Masa Pemilu 1999), dilakukan penelitian terhadap 10 koran dalam mengkonstruksi, menggambarkan, mencitrakan, atau membentuk opini publik atas 9 partai politik yang ikut pemilu. Koran yang dimaksud adalah Kompas, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Rakyat Merdeka, Haluan, Kedaulatan

Rakyat, Bali Post, Jawa Pos, Fajar. Sedangkan 9 partai politik (parpol) yang dimaksud adalah

(11)

6

Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang) PBB, Partai Keadilan (PK), Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).

Hasil penelitian dirumuskan dalam 6 temuan, di antaranya:

1. Media massa melakukan labeling tertentu terhadap parpol tertentu. Akibatnya ada parpol yang bercitra positif dan ada yang bercitra negatif dalam sudut pandang tiap media. Temuan ini berdasarkan konsep permainan kata dalam pembicaraan politik atau

the word of political yang dikemukakan Nimmo pada 1978.

2. Dalam mengkonstruksi gambaran atau citra suatu parpol, beberapa koran nasional sengaja menciptakan opini publik tertentu, yang merupakan penggabungan pikiran, perasaan, dan usulan atau harapan mengenai partai, sebagai hasil dari diskusi politik yang dilakukan koran-koran tersebut melalui permainan kata dan strategi penyajian fakta. Contohnya pada Republika, ditemukan bahwa koran tersebut cenderung mencitrakan positif untuk Golkar dan negatif untuk PDIP. Sebaliknya Bali Post cenderung mencitrakan positif untuk PDIP dan selalu menyalahkan Golkar.

3. Dalam Pemilu 1999 beberapa koran nasional bersikap partisan. Sikap atau motif partisannya itu berdasarkan faktor kesamaan ideologis atau aliran politik. Secara umum sikap partisan itu terbagi kedalam dua bagian, yaitu yang pertama partisan terhadap partai Islam (Republika, Haluan) dan partisan untuk partai non-Islam (Bali Post,

Rakyat Merdeka). Kemudian yang kedua partisan terhadap partai reformis (Kompas, Suara Pembaruan, Rakyat Merdeka, Jawa Pos, Bali Post, Fajar) dan partisan untuk

partai nonreformis atau Golkar (Haluan, Republika, Media Indonesia, Kedaulatan

Rakyat).

4. Dalam pemberitaan yang dilakukan setiap koran atas parpol, mereka berusaha menonjolkan parpol partisannya.

Dalam situasi transisi demokrasi tahun 1999, dari hasil penelitian Ibnu Hamad, secara keseluruhan tak ada media massa yang lebih dominan wacana politiknya dari kelompok lain. Hal ini disebabkan meratanya pendistribusian kekuatan di tengah masyarakat sebagai dampak dari baru lahirnya demokrasi di perpolitikan Indonesia. Saat itu yang terjadi adalah perang makna antara satu media dengan media lain dalam mewacanakan parpol, tanpa ada yang

(12)

menang. Yang jelas, saat itu hampir dalam semua koran, Partai Golkar berasosiasi dengan Orba, ada yang memaknakannya sebagai buruk dan tidak buruk.

Dari hasil penemuan penelitian Ibnu Hamad, terlihat jelas bagaimana media massa membentuk

framing tertentu untuk mencitrakan partai politik sebagai positif atau negatif berdasarkan

kesamaan ideologis, serta melakukan agenda setting terkait berita apa saja tentang parpol yang dibelanya harus digemborkan, dan mana saja yang harus ditutupi agar masyarakat luput. Ini merupakan bukti dari masifnya peran media massa dalam membentuk figure parpol pada pemilu 1999.

Pada tahun 2009, pemilu secara demokratis terjadi untuk ketiga kalinya. Dhanurseto HP, S.IP, M.Si melakukan penelitian terkait media dan pemilu pada tahun itu. Penelitian berjudul Pemberitaan Media Cetak dalam Kampanye Pemilu Presiden Tahun 2009 (Studi Analisis Isi Pemberitaan Pemilu Presiden pada masa kampanye di media Cetak Harian Jogja, Radar jogja dan Kedaulatan Rakyat Jogja Edisi Juni-Juli 2009) bertujuan untuk menunjukkan bagaimana keberpihakan media cetak dalam memberitakan kampanye politik para calon presiden 2009, yang kemudian berdampak pada citra yang dibentuk atas para kandidat, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi bagaimana khalayak memaknai figur para kandidat.

Hasil penelitian dirumuskan dalam 2 temuan:

1. Selama rentang waktu penelitian 9 Juni-2 Juli 2009, surat kabar Kedaulatan Rakyat memberikan porsi 25 liputan berita untuk kandidat nomor urut 1 non-incumbent

pasangan Mega-Prabowo dengan rincian frekuensi 14 berita bernada positif, 11 berita

bernada netral, dan 2 berita bernada negatif. Untuk pasangan nomor urut 2 incumbent

SBY-Boediono ada 33 berita dengan rincian frekuensi 20 berita bernada positif, 9 berita

bernada netral dan 4 berita bernada negatif. Sedangkan untuk kandidat incumbent

nomor urut 3 pasangan Jusuf Kalla-Wiranto ada 24 berita, dengan rincian frekuensi 12

berita bernada positif, 8 berita bernada netral dan 4 berita bernada negatif.

Radar jogja memberikan porsi 32 liputan berita untuk kandidat Mega-Prabowo dengan

rincian17 berita bernada positif, 5 berita bernada netral dan 10 berita bernada negatif.

Untuk SBY-Boediono, ada 39 berita di mana 12 berita bernada positif, 9 berita bernada

(13)

8

rincianfrekuensi 37 berita bernada positif, 10 berita bernada netral dan 9 berita bernada negatif.

Harian Jogja memberikan porsi 30 liputan berita untuk Mega-Prabowo dengan rincian

frekuensi 11 berita bernada positif, 13 berita bernada netral dan 6 berita bernada negatif. Berita untuk SBY-Boediono ada 39 dengan rincian frekuensi 10 berita bernada positif, 13 berita bernada netral dan 16 berita bernada negatif. Sedangkan berita untuk

Jusuf Kalla-Wiranto ada 30 dengan rincian frekuensi 7 berita bernada positif, 14 berita

bernada netral dan 9 berita bernada negatif.

2. Berdasarkan hasil pemetaan terhadap kebijakan redaksi dalam memuat pemberitaan kampanye Pilpres yang dilakukan oleh ketiga media dapat dilihat dari sudut pandang politik, ekonomi, dan budaya maka didapatkan hasil bahwa secara politik, ekonomi, dan budaya surat kabar kedaulatan rakyat cenderung melakukan pola pemberitaan yang memihak kepada salah satu calon presiden incumbent yaitu pasangan calon no. 2 SBY- Boediono terkait dengan kedekatan politik antara wartawan dengan tim sukses calon dan logistik ekonomi.

Sedangkan pada surat kabar radar jogja, sudut pandang ekonomi menjadi sebuah strategi dalam pengelolaan manajemen dan budaya perusahaan, sehingga sedikit banyak hal tersebut berpengaruh pada pola pemberitaan redaksi dan akhirnya membuat posisi politis radar jogja menjadi sedikit terhambat khususnya dalam hal pemberitaan kampanye calon presiden.

Pada surat kabar Harian Jogja, sudut pandang budaya terasa lebih kental dalam setiap kebijakan pemberitaan yang dikeluarkan redaksi. Pola pemberitaan yang berimbang antara ketiga calon, porsi yang merata menjadikan surat kabar ini sebagai salah satunya surat kabar yang bisa dikatakan memiliki netralitas dalam pemberitaannya.

Dari penelitian Dhanurseto, dapat dilihat bahwa kondisi media massa pada Pemilu 2009 semakin banyak dipengaruhi oleh unsur kepemilikian media dan unsur ekonomis dalam pemberitaan ihwal kandidat presiden. Hasil penelitian tidak menunjukkan adanya faktor kesamaan ideologis yang melatarbelakangi keputusan media memihak salah satu kandidat dan menkonstruksi figur tiap-tiap pasang kandidat.

(14)

Di tahun 2014, pilpres langsung keempat digelar. Vinna Wat y Sutanto dala m penelit iannya berjudul Geliat Media Massa dan Partai Politik Menuju Pemilu 2014 Tema: Media dan Pemilu, mencoba menganalisa is i pemberitaan media terkait para capres dan cawapres menjelang Pemilu 2014 dengan masa pemberitaan dari bulan No vember hingga Desember 2013. Media yang dianalis a adalah empat media online, yaitu Kompas.com, Detik.com, Okezone.com, da n

Vivanews.com. Ada 10 berita dari masing -masing media online yang di jadika n

objek penelit ian.

Menjelang Pemilu 2014, baik partai po lit ik maupun capres-cawapres berupaya untuk mendapatkan perhat ian dan menggiring opini posit if calo n pemilih atas mereka. Hasil penelit ian terhadap empat media online yaitu Kompas.com, Detik.com,

Okezone.com, dan Vivane ws.com menunjukkan bahwa para capres dan cawapres berupaya

membangun citra positf terhadap diri mereka dengan melakukan banyak kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan publik.

Partai politik mengambil peran yang sangat aktif dalam mendukung capres da n cawapres yang diusungnya. Bagi para pemilik media, yang beberapa di antaranya kebetulan juga menjadi capres dan cawapres, ideo logi media yang diusung berunsur polit ik untuk memuluskan langkah mereka. Para pemilik media menggunaka n media dalam menggerakan roda po lit iknya dengan membingkai informasi untuk mempengaruhi opini calo n pemilih.

Dalam pemberitaan Okezone.com yang dimiliki cawapres dari Partai Hat i Nurani Rakyat (Hanura), Hary Tanoesoedibjo , ditemukan pencitraan untuk mendukung sang pemimpin media dengan pasangannya Wiranto. Agenda setting yang terlihat adalah pandangan positif yang dikonstruksikan oleh media kompetensi Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo pada tema berita. Sedangkan pada tema berita tentang lawan politik mereka,

Okezone.com, cenderung membuat framing pemberitaan yang terkesan negatif. Pendapat dari

pakar politik digunakan untuk menguatkan pandangan redaksi.

Berbeda pula dengan Vivanews.com yang cenderung membuat framing denga n meno njo lkan kegiatan dan program merakyat yang dilakukan Aburizal Bakrie .

(15)

10

Namun, media online ini tak membuat framing negat if atas lawan po lit ik dari sang pemilik Vivanews.com, Aburizal Bakrie.

Untuk Kompas.com, framing yang dibent uk lebih kepada geliat tokoh polit ik menje lang Pemilu 2014, tanpa ada unsur tendensi yang signifikan untuk memihak kepada salah satu pilpres yang maju. Sedangkan Detik.com, secara lebih luas membingkai bagaimana geliat tokoh po litik dan partai po lit iknya menjelang Pemilu 2014, tanpa ada keberpihakan pada salah satu pilpres atau parpol.

Profil para capres pada Pilpres 2014 dalam Majalah Tempo

Goenawan Mohamad (GM), sastrawan dan jurnalis senior yang merupakan salah satu pendiri

Majalah Tempo mengatakan bahwa media tak harus netral. Hal ini ia sebutkan merujuk pada

konteks pilpres 2014. Menurutnya, Soekarno saat mendirikan Pikiran Rakyat, juga tak netral (Tempo.co, 2014).

Pernyataan GM tersebut terlihat melalui cara pemberitaan redaksi Majalah Tempo. Melalui penyajian foto, kalimat, ilustrasi, dan komponen pemberitaan lainnya, Majalah Tempo membentuk makna tersendiri dalam pemberitaannya. Pada Edisi Khusus Pemilihan Presiden

Majalah Tempo yang terbit 194 halaman, majalah ini mengupas seluk-beluk terdalam dari tiap

kandidat Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2014-2019. Mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan, karir, tanggapan orang-orang terdekat, hingga analisis tulisan tangan kedua capres.

Capres nomor urut 1, Prabowo, digambarkan sebagai seorang anak yang tumbuh besar di piring emas. Kehidupan ekonomi yang layak, orang tua yang memiliki jabatan militer, besar di luar negeri, dan berpendidikan baik. Prabowo dicerminkan sebagai pribadi yang keras sedari kecil karena dididik dengan cara militer oleh ayahnya, sehingga dalam memutuskan sesuatu Prabowo dicerminkan tak menerima penolakan dan kegagalan. Sifat tersebut juga disampaikan

Majalah Tempo melalui penjabaran analisis tulisan tangan Prabowo.

Majalah Tempo tak memuat wawancara aktual dengan Prabowo sebagai konfirmasi atas

data-data yang dikumpulkan. Redaksi berdalih Prabowo tak ingin diwawancarai Majalah Tempo. Untuk menyiasati ini, Majalah Tempo menyisipkan wawancara bersama Prabowo yang dilakukan beberapa tahun sebelumnya.

(16)

Sedangkan capres nomor urut 2, Joko Widodo, melalui pemberitaan Majalah Tempo, dipaparkan sebagai pribadi yang sedari kecil hidup layaknya rakyat biasa. Tumbuh dan dibesarkan keluarga sederhana, tinggal di lingkungan perdesaan yang santun, pendidikan dalam negeri yang baik, hubungan sosial dengan masyarakat kecil, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Rekam jejak Jokowi dalam membangun Kota Solo menjadi lebih baik pun mendapat porsi yang banyak dalam pemberitaan Majalah Tempo edisi khusus tersebut.

Gaya politik blusukan Jokowi yang merakyat secara detil dijabarkan dalam pemberitaan edisi tersebut sehingga menggiring opini publik bahwa Jokowi merupakan sosok yang secara emosional dekat dengan rakyat dan memiliki visi misi untuk mensejahterakan rakyat. Masyarakat dengan kasat mata dapat melihat keberpihakan Majalah Tempo untuk menggiring opini publik yang positif atas sosok Jokowi. Yang pada akhirnya, dilatarbelakangi dengan motif apapun, Majalah Tempo tampak seperti menggiring publik untuk memilih Jokowi dalam bursa Pilpres 2014.

Profil para capres pada Pilpres 2014 dalam Metro TV

Saiful Mujani dan William Liddle dalam jurnal Personality, Party and Voter, memaparkan bahwa sekitar 88 persen pemilih dalam pilpres 2009 mendapat informasi dan meresap kampanye politik melalui televisi (Mujani dan Liddle, 2010). Fakta tersebut mendorong para politikus untuk terus meningkatkan citranya melalui media massa seperti televisi. Debat presiden, berita terkait pemilu dan tindakan para capres, diskusi politik hingga iklan politik dapat diakses melalui televisi.

Media siar telah mencapai posisi sebagai elemen komunikasi politik yang kapasitasnya lebih besar ketimbang partai politik. Dalam hal ini, para politisi harus menjadikan media massa sebagai alat guna memastikan bahwa pesan-pesan positif yang ingin dibangun tersampaikan dengan baik ke khalayak. Menjadi wajar ketika para pemilik televisi yang juga berperan sebagai politikus mendapat ruang yang lebih banyak di televisinya, atau bisa disebut kampanye gratis.

Sebut saja Hary Tanoe, pemilik MNC group (RCTI, Global TV, MNC TV) sekaligus politikus Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura); Surya Paloh, pemilik Metro TV sekaligus Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem); dan Aburizal Bakrie, pemilik TV One dan ANTV sekaligus Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) yang dengan semaksimal mungkin

(17)

12

menjadikan media milik mereka sebagai alat kampanye untuk pribadi maupun partai politiknya.

Partai NasDem bersama-sama dengan PDI Perjuangan, PKB, Partai Hanura, dan PKPI yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), mendukung Jokowi pada Pilpres 2014. Metro

TV, stasiun televisi yang dimiliki Surya Paloh, dalam berbagai pemberitaannya, seperti ingin

menjadi perpanjangan tangan KIH dalam mengkampanyekan Jokowi.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Metro TV terbukti menayangkan sebanyak 62 kali pada periode 6-15 Mei menyajikan pemberitaan Jokowi. Metro

TV, dalam pemberitaannya, banyak mengumbar keberhasilan Jokowi selama menjadi Wali

Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Pada periode yang sama, iklan kampanye Jokowi di

Metro TV mencapai 96 kali (Rumah Pemilu, 2014).

Bahkan, usai deklarasi penetapan Jokowi sebagai capres, pemberitaan soal Jokowi di Metro TV bisa mencapai 15 kali tiap hari. Hal tersebut melanggar aturan maksimal 10 kali setiap hari dengan durasi masing-masing paling lama 30 detik. Sebaliknya, pemberitaan soal Prabowo di

Metro TV hanya 22 kali dan penayangan iklan kampanye Prabowo di Metro TV nihil. (Rumah

Pemilu, 2014).

Jumlah terpaan penonton Metro TV atas berita Jokowi jauh di atas terpaan atas pemberitaan Prabowo yang hanya 22 kali. Tak ada sama sekali iklan di Metro TV yang mengkampanyekan Prabowo. Sebaliknya pada 8 dan 10 Mei lalu Metro TV menayangkan ihwal pelanggaran hak asasi manusia dan penculikan aktivis 1998 yang cenderung mendiskreditkan Prabowo.

Remotivi, sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di Indonesia, melakukan penelitian guna mengkaji pemberitaan media televisi selama Pilpres 2014. Penelitian dilakukan selama 3 periode, yakni 1-7 November 2014, 1-7 Mei 2014 dan yang terakhir 1-7 Juni 2014. Pada Penelitian yang berjudul “Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014 (Bagian 3)”, Remotivi melakukan pengamatan terhadap 11 stasiun televisi dalam menyiarkan berita ihwal kandidat Presiden 2014, dengan menggunakan beberapa variabel, yakni frekuensi, durasi, durasi penonjolan, nada pemberitaan, dan topik berita.

Dua di antara 11 stasiun televisi yang diteliti adalah yang paling gencar dan kasat mata dalam membela secara mati-matian dan mendiskreditkan secara mati-matian para capres yang

(18)

didukung dan tak didukung, yakni Metro TV yang mendukung Jokowi dan TV One yang mendukung Prabowo.

Pada Metro TV, Hasil penelitian Remotivi menunjukkan ekskalasi politik yang merupakan peningkatan serangan atas lawan politik. Artinya, semakin mendekati Pilpres 2014, Metro TV semakin gencar menyerang Prabowo dan membela Jokowi. Jumlah berita negatif tentang Prabowo, yang pada periode 1-7 Mei sebesar 22%, meningkat menjadi 65% dalam periode 1-7 Juni. Dengan kata lain, seluruh berita negatif yang ada di Metro TV adalah milik pasangan nomor urut satu, khususnya Prabowo.

Tabel 1: Topik Berita Negatif Prabowo di Metro TV (1-7 Juni 2014). Sumber Penelitian Remotivi “Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014 (Bagian 3)”

Agenda setting yang dipilih Metro TV untuk memberitakan Prabowo tak lepas dari

“pelanggaran Hak Azasi Manusia” dan “penyalahgunaan simbol negara”. Framing berita banyak mengangkat tentang masa lalu Prabowo yang jabatan militernya dicabut akibat terlibat dalam peristiwa penculikan aktivis sepanjang tahun 1997-1998. Prabowo yang seringkali mengangkat Presiden Soeharto, dalam framing Metro TV, dibahas dengan perspektif HAM dengan memberi latar belakang peristiwa kemanusian selama rezim Soeharto berkuasa.

Mengenai topik “penyalahgunaan lambang negara”, Metro TV membingkai simbol garuda merah yang digunakan Prabowo dan pasangannya sebagai tindakan menyalahi aturan perundangan. Metro TV juga kerap mengangkat berita yang menyoal sikap nasionalisme Prabowo, berdasarkan pernyataan adiknya Hasim, sebagai pro Amerika Serikat.

(19)

14

Sedangkan untuk Jokowi, agenda setting Metro TV menunjukkan dukungan ormas dan rakyat terhadap pencalonan Jokowi sebagai Presiden RI 2014. Sosok Jokowi yang sederhana juga tak henti-henti diberitakan, misalnya ketika Jokowi menumpang bajaj saat akan mengambil nomor urut di Gedung KPU.

Tabel 2: Topik Berita Positif Prabowo di Metro TV (1-7 Juni 2014). Sumber Penelitian Remotivi “Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014 (Bagian 3)”

Selain itu, kompetensi Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta mendapatkan porsi pemberitaan yang positif di Metro TV (9 persen), walau porsinya tak sebesar pemberitaan positif Jokowi yang mendapat dukungan dari berbagai ormas dan relawan (59 persen). Pada periode terakhir penelitian Remotivi, Metro TV lebih fokus dalam menyerang Prabowo sebagai lawan Jokowi.

Profil para capres pada Pilpres 2014 dalam Tv One

Bagai 2 kutub yang saling berlawanan, TV One dan Metro TV secara kasat mata memiliki

agenda setting dan framing yang benar-benar berbeda. Di kala Metro TV gencar memberitakan

hal-hal positif terkait Jokowi dan hal-hal negatif terkait Prabowo, TV One justru melakukan hal sebaliknya. Hal ini tak lepas dari kepemilikan TV One oleh Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie. Golkar, bersama-sama dengan Partai Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan PBB yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), mendukung Prabowo sebagai Presiden ke-7.

Pemberitaan positif Metro TV atas Jokowi dilawan TV One. Pada 10 Mei lalu, berdasarkan data KPI, TV One juga menayangkan berita terkait korupsi proyek Transjakarta yang dikaitkan dengan Jokowi. Adapun durasi pemberitaan Prabowo di TV One juga lebih banyak dibandingkan dengan Jokowi, yaitu 36.561 detik berbanding 18.731 detik. (Rumah Pemilu, 2014).

(20)

TV One juga menyiarkan secara langsung deklarasi duet Prabowo-Hatta Rajasa dari Taman

Makan Pahlawan Kalibata pada Senin, 19 Mei lalu. Sementara untuk pemberitaan Jokowi di

TV One, sebagaimana diungkap koordinator divisi penelitian Remotivi Muhammad Heychael,

Jokowi merupakan tokoh politik dengan berita negatif terbanyak di TV One, yaitu 30.7 persen. (Rumah Pemilu, 2014)

Tabel 3: Topik Berita Negatif Jokowi di TV One (1-7 Juni 2014). Sumber Penelitian Remotivi “Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014 (Bagian 3)”

Pada temuan penelitian Remotivi (2014), segala pemberitaan Metro TV merupakan antitesa dari pemberitaan TV One. Framing Metro TV ihwal kinerja Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta diberitakan sebagai prestasi, maka TV One memiliki framing berbeda. TV One, sebanyak 25 persen menyoal kasus korupsi TransJakarta, yang ditonjolkan merupakan tanggung jawab Jokowi.

TV One juga tak gentar dalam memberitakan mengenai KTP palsu Jokowi. Ada juga berita

tentang video wawancara Jusuf Kalla yang tidak setuju dengan pencapreasan Jokowi sebelum menetapkan berpasangan dengan Jokowi. Berita tentang kemacetan juga banyak yang diberitakan sebagai akibat kampanye Jokowi.

Dalam pemberitaan TV One, Jokowi tidak digambarkan sebagai sosok yang sederhanya, melainkan sebagai sosok yang gemar pencitraan. Hal-hal semrawut di Jakarta ujug-ujug dikatakan sebagai kesalahan Jokowi. Selain itu, Jokowi juga dituding melakukan kampanye hitam yang menyerang Prabowo.

(21)

16

Tabel 4: Topik Berita Positif Prabowo di TV One (1-7 Juni 2014). Sumber Penelitian Remotivi “Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014 (Bagian 3)”

Sementara itu, Prabowo yang dalam framing Metro TV dicerminkan sebagai sosok pelanggar HAM yang tak pantas menjadi Presiden RI, TV One justru melambangkan mantan anggota TNI tersebut sebagai figur yang diidolakan dan dicintai publik. Survey versi TV One selalu mengunggulkan Prabowo, jauh berbeda dengan survey di Metro TV atau survey-survey di media lain. Prabowo juga diberitakan sebagai sosok yang mendapat dukungan dari berbagai organisasi masyarakat (25 persen).

Kesimpulan

Berdasarkan pengkajian ilmiah, dapat disimpulkan bahwa media massa, dalam memberitakan figur kandidat Presiden pada Pemilu Presiden 2014, tak lepas dari pembingkaian dan penonjolan terntentu. Baik buruknya figur kandidat presiden dibentuk berdasarkan kepemilikan media atau aliran politik media. Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh, Ketua Umum Nasdem yang tergabung dalam KIH, sedemikian rupa membentuk figur Jokowi sebagai kandidat Presiden ke-7 yang paling ideal. Hal tersebut tercermin dari durasi, topik, frekuensi, dan nada pemberitaan Metro TV atas sosok Jokowi. Sebaliknya, Metro TV juga gencar mencitrakan Prabowo sebagai sosok pelanggar HAM yang seharusnya tak diberi tempat di pemerintahan, apalagi sebagai Presiden RI.

Tak sejalan dengan Metro TV, TV One dengan sekuat tenaga membentuk citra positif atas Prabowo dan negatif atas Jokowi. Semua pemberitaan Metro TV dianggap antitesa kebenaran yang terjadi dan TV One lah yang menyampaikan informasi sesuai kenyataan. Prabowo dicerminkan sebagai sosok yang dicintai rakyat dan memiliki semangat nasionalisme tinggi. Prabowo juga dicirikan sebagai seseorang yang tegas, yang dapat meninggikan derajat Indonesia di mata dunia. Sedangkan Jokowi dicerminkan sebagai sosok yang penuh pencitraan, lemah dan tak kompeten ketika bertugas sebagai Gubernur DKI Jakarta.

(22)

Majalah Tempo pun punya kecenderungan yang berbeda. Pada Edisi Khusus Pilpres 2014, Majalah Tempo terkesan membentuk figur Jokowi sebagai figur yang datang dari rakyat, dan karenanya akan berempati atas kondisi rakyat dan tentunya akan membuat kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Goenawan Mohamad, salah satu pendiri Tempo, yang tak tergabung dalam parpol manapun, tak dapat dikatakan “terkesan” mencitrakan positif Jokowi karena kepemilikan media.

Metro TV dan TV One, dengan perbedaan framing dan agenda setting signifikan dalam

mencitrakan tiap kandidat, membuat keduanya sebagai representasi wajah media partisan, yakni media yang hanya bermonolog, melihat segala sesuatu dari satu sisi yang didukung. Hal ini bisa dikatakan telah membunuh hak publik atas informasi berimbang. Publik tak diberi kesempatan dalam melihat kompleksitas rekam jejak dan gagasan para kandidat.

Media partisan mengungkap sesuatu dan saat bersamaan menyembunyikan sesuatu. Beruntung bagi publik yang mampu secara kritis melihat gelagat media partisan, dan karenanya juga kritis dalam menghadapi terpaan pemberitaan media. Namun, bagi sebagian besar publik, yang dengan segala keterbatasannya, secara tidak sadar menerima terpaan informasi media partisan, maka akan seterusnya terbohongi. Maka dengan demikian, publik akan terus diterpa oleh pemberitaan yang tak lepas dari pengaruh para pemilik media.

DAFTAR PUSTAKA:

Buku:

Abelson, Robert. (1968). Computers, polls, & public opinion—Some puzzles & paradoxes. United States: Yale.

Eriyanto. (2002). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS.

Olii, Helena. (2007). Opini Publik. Jakarta: Indeks.

Sudarman, Paryati. (2008). Menulis di Media Massa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Turner, Lynn H dan Richard West. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Edisi 3. Jakarta: Salemba Humanika.

(23)

18

Dhanurseto. (2009). Pemberitaan Media Cetak dalam Kampanye Pemilu Presiden Tahun 2009

(Studi Analisis Isi Pemberitaan Pemilu Presiden pada masa kampanye di media Cetak Harian Jogja, Radar jogja dan Kedaulatan Rakyat Jogja Edisi Juni-Juli 2009).

Universitas Bengkulu.

Hamad, Ibnu. (2004). Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (Studi Pesan Media

Politik dalam Media Cetak pada Masa Pemilu 1999. Universitas Indonesia.

Remotivi. (2014). Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014 (Bagian 3). Yayasan Tifa.

Sutanto, Vinna Wat y. (2014). Geliat Media Massa dan Partai Politik

Menuju Pemilu 2014. Universitas Surya.

Situs Web:

Jawa Pos. (2014,17 Juli). Tinggi Partisipasi Pemilih Pilpres di Luar Negeri. Diakses 14 November 2014, dari

http://www.jawapos.com/baca/artikel/4533/Tinggi-Partisipasi-Pemilih-Pilpres-di-Luar-Negeri

Kompas. (2014, 23 Juli). Ternyata Tingkat Partisipasi dalam Pilpres Menurun Dibandingkan

Pileg. Diakses 14 November 2014, dari

http://nasional.kompas.com/read/2014/07/23/16270771/Ternyata.Tingkat.Partisipasi.dala m.Pilpres.Menurun.Dibandingkan.Pileg

Kompas. (4 Juli 2014). Remotivi: Metro TV Banyak Beritakan Hal Positif Jokowi dan Hal

Negatif Prabowo. Diakses 10 Desember 2014, dari

http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/07/04/16592831/Remotivi.Metro.TV.Banyak .Beritakan.Hal.Positif.Jokowi.dan.Hal.Negatif.Prabowo

Kompas. (4 Juli 2014). Remotivi: TV One Bingkai Jokowi Negatif, Memulas Prabowo Figur

Dicintai. Diakses 10 Desember 2014, dari

http://nasional.kompas.com/read/2014/07/04/1346035/Remotivi.TV.One.Bingkai.Jokowi .Negatif.Memulas.Prabowo.Figur.Dicintai.

Rumah Pemilu. (2014, 26 Mei). KPI Rekam Keberpihakan Media Penyiaran Melalui Berita

dan Iklan. Diakses 14 November 2014 dari

http://www.rumahpemilu.org/in/read/5940/KPI-Rekam-Keberpihakan-Media-Penyiaran-Melalui-Berita-dan-Iklan

Saiful Mujani, R. William Liddle. (2010). Personality, Party and Voter. Diakses 14 November dari

https://www.academia.edu/2236138/Indonesia_personalities_parties_and_voters.

Tempo. (2014, 25 Juni). Goenawan Mohamad: Media Tak Harus Netral. Diakses 14 November 2014 dari

http://www.tempo.co/read/news/2014/06/25/078587795/goenawan-mohamad-media-tak-harus-netral

Gambar

Tabel 1: Topik Berita Negatif Prabowo di Metro TV (1-7 Juni 2014). Sumber Penelitian Remotivi “Independensi Televisi  Menjelang Pemilu Presiden 2014 (Bagian 3)”
Tabel 2: Topik Berita Positif Prabowo di Metro TV (1-7 Juni 2014). Sumber Penelitian Remotivi “Independensi Televisi  Menjelang Pemilu Presiden 2014 (Bagian 3)”
Tabel 3: Topik Berita Negatif Jokowi di TV One (1-7 Juni 2014). Sumber Penelitian Remotivi “Independensi  Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014 (Bagian 3)”
Tabel 4: Topik Berita Positif Prabowo di TV One (1-7 Juni 2014). Sumber Penelitian Remotivi “Independensi  Televisi Menjelang Pemilu Presiden 2014 (Bagian 3)”

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat pelbagai aspek yang mampu mempengaruhi pengurusan kesakitan yang tidak efektif dan salah satu penyebab kemungkinan adalah disebabkan oleh kekurangan

Penelitian ini dilakukan bertujuan Untuk mengetahui bagaimana minat belajar peserta dan mengetahui penerapan metode diskusi dengan pendekatan talking stick

Maurice’s Self-Realization of Being a Homosexual after his Conflicts Seen in E.M Forster’s Maurice .Yogyakarta:.. Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sanata

Dalam prosedur dokumentasi atas sistem dan prosedur pencegahan penyalahgunaan faktur pajak di KPP Pratama Surabaya Gubeng, dokumentasi yang dilakukan, yaitu untuk setiap PKP

Kepala Dinas pengelolaan pasar /M fadli menyampaikan bahwa 227 pedagang di pasar burung tersebut akan dipindah dfan bergabung di bursa agro jogja // disana nantinya fasilitas

Untuk mengolah air limbah hasil pengolahan ikan telah dibuat IPAL di Panjang Wetan dan Panjang Baru, tetapi kondisi IPAL tersebut kurang dirasakan manfaatnya

salah satu keluarga yang bergerak di bidang kepecinta-alaman / adalah kapalasastra // kelompok yang terbentuk pada tahun 1974 ini / merupakan komunitas dari mahasiswa pecinta alam

Dapat menjelaskan Peran Tatabahasa Transformasi dalam Psikolinguistik.. Peran Tatabahasa Transformasi