• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian

Komposisi vegetasi pada hutan primer di dominasi oleh jenis meranti

Shorea spp. dan kruing Dipterocarpus spp. yang seringkali menjadi pohon emergent dengan tinggi mencapai 35m. Pohon-pohon di hutan primer umumnya

memiliki ketinggian antara 20-25m. Secara umum kondisi tajuk di hutan primer memiliki penutupan yang tinggi (Tabel 1). Hal ini terjadi karena vegetasi yang tumbuh membentuk strata tajuk yang lengkap. Padatnya penutupan tajuk dan rendahnya intensitas cahaya yang mampu menembus hingga lantai hutan, mengakibatkan sedikitnya jumlah tumbuhan bawah. Rendahnya intensitas cahaya matahari juga mengakibatkan proses dekomposisi serasah menjadi lamban, sehingga lantai hutan tertutupi oleh serasah yang tebal. Jenis jahe hutan Zingiber spp. seringkali tumbuh pada daerah-daerah yang sedikit terbuka dan terkena sinar matahari. Pembukaan jalan setapak mengakibatkan terbentuknya daerah tepi dengan tipe yang tajam (abrupt). Pada bagian tepi ini biasanya ditumbuhi oleh pisang hutan Musa spp. dan jahe hutan Zingiber spp.

Vegetasi pada hutan sekunder didominasi oleh spesies yang berasal dari famili Euphorbiaceae (Macaranga spp. dan Mallotus spp.) dan famili Myrtaceae (Eugenia spp. dan Syzigium spp.). Berbeda dengan hutan primer, di hutan sekunder tidak memiliki pohon emergent. Ketinggian pohon umumnya antara 10-20m. Di beberapa bagian terdapat banyak pohon tumbang atau tertutupi tumbuhan merambat. Hutan sekunder juga memiliki penutupan tajuk yang rendah. Rendahnya penutupan tajuk mengakibatkan cahaya matahari mampu menembus lantai hutan yang memungkinkan pertumbuhan yang pesat dari tumbuhan bawah dan semak belukar. Pada bagian lantai hutan juga masih banyak dijumpai sisa batang-batang pohon bekas perambahan yang melapuk. Kehadiran daerah perkebunan di sekitar hutan sekunder mengakibatkan terbentuknya daerah tepi dengan tipe halus (soft).

Nilai rata-rata kepadatan vegetasi tingkat pohon di hutan primer lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder namun tidak berbeda nyata (χ2=0,29; df=1; P=0,58). Kepadatan vegetasi tingkat tiang di hutan primer lebih tinggi daripada

(2)

hutan sekunder namun tidak berbeda nyata (χ2=1,65; df=1; P=0,19), sedangkan kepadatan vegetasi tingkat pancang berbeda nyata (χ2=6,91; df=1; P=0,00).

Tabel 1 Parameter kondisi vegetasi di hutan sekunder dan primer

Hutan primer memiliki strata tajuk yang lebih lengkap dan ditumbuhi oleh pepohonan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Oleh karena itu hutan primer memiliki nilai bukaan tajuk (canopy openness) yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan sekunder dan berbeda secara nyata (χ2=9,52; df=1; P=0,00) (Tabel 1). Nilai tutupan tajuk (canopy cover) di hutan primer lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder namun tidak berbeda nyata (χ2= 0,69; df=1; P=0,41).

Nilai bukaan tajuk di hutan primer dan sekunder menurun pada jarak 200m dan kembali naik pada jarak 400m (Gambar 5). Namun, kondisi berbeda terjadi pada nilai tutupan tajuk (canopy cover) di hutan sekunder yang meningkat pada jarak 200m dan menurun kembali pada titik 400m (Gambar 6), sedangkan nilai bukaan tajuk di hutan sekunder memiliki pola yang sama dengan hutan primer.

Gambar 5 Nilai bukaan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan pengukuran dengan menggunakan canopy scope.

No Parameter Tipe hutan

Primer Sekunder 1 Kepadatan pohon (batang/ha) 213,9 179,6

2 Kepadatan tiang (batang/ha) 358,8 257,8 3 Kepadatan pancang (batang/ha) 930,2 604,5

5 Bukaan tajuk (%) 6,2 13,2 4 Tutupan tajuk (%) 145,0 97,0 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 0 m 200 m 400 m Pe rse nt ase Jarak tepi

(3)

Gambar 6 Nilai tutupan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan jarak dari tepi.

5.1.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian

Selama 2304 meter jam jaring kabut, ditangkap sebanyak 324 individu burung yang berasal dari 51 spesies dan 18 famili (Lampiran 1). Seluruh burung yang tertangkap adalah burung penetap yang 13 spesies di antaranya merupakan burung yang mendekati terancam punah (BirdLife-International 2009). Sembilan spesies burung yang tertangkap merupakan spesies yang dilindungi oleh peraturan dan perundangan Republik Indonesia. Selain itu terdapat satu spesies yang telah terdaftar pada Appendiks II CITES (Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yaitu paok pancawarna Pitta guajana. Terdapat pula satu spesies nokturnal yaitu paruhkodok bintang Batrachostomus stellatus (Famili Podargidae) yang berstatus mendekati terancam

punah. Spesies tersebut tidak dimasukkan ke dalam analisis karena penelitian ini hanya membahas burung diurnal.

Terdapat pula 43 spesies burung dari 24 famili yang tidak berhasil ditangkap namun teridentifikasi melalui visual dan suara (Lampiran 2). Spesies-spesies tersebut sebagian besar tidak tertangkap karena memiliki bobot dan ukuran yang besar, beraktivitas pada bagian atas tajuk hutan dan secara alami memiliki kelimpahan yang rendah. Seluruh burung yang tidak tertangkap menggunakan jaring kabut tidak dimasukkan ke dalam analisis.

(4)

Berdasarkan kategori kelimpahan, sebanyak 62% spesies yang tertangkap termasuk ke dalam kategori jarang, 32% dengan kategori tidak umum dan 6% termasuk ke dalam kategori umum (χ2=23,56, df=2, P=0,00). Sebanyak 8 spesies dengan kelimpahan jarang termasuk dalam kategori mendekati terancam punah. Di dalam kelas kelimpahan tidak umum sebanyak 4 spesies termasuk kategori mendekati terancam punah dan satu spesies telah terdaftar di dalam Appendik II CITES. Spesies dengan kategori umum terdiri dari pijantung kecil Arachnothera

longirostra (78 individu), burung udang punggung merah Ceyx rufidorsa (26

individu) dan cinenen merah Orthotomus sericeus (22 individu).

Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman spesies (H’), dapat disimpulkan bahwa lokasi penelitian memiliki nilai keanekaragaman spesies yang sedang (Tabel 2). Selain itu lokasi penelitian juga memiliki komposisi spesies burung yang cukup merata.

Tabel 2 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies burung di bawah tajuk di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

Indeks Nilai

Menhinick (Mn) 2,78

Shannon (H') 3,18

Evennes (J’) 0,81

Komunitas burung di lokasi penelitian didominasi oleh famili Nectariniidae (χ2=648,11; df=16; P=0) dengan jumlah individu sebanyak 95 individu (Gambar 7). Famili ini hanya tersusun dari 3 spesies yaitu pijantung kecil Arachnothera

longirostra, burung madu rimba Hypogramma hypogrammicum dan burung madu

sepahraja Aetophyga siparaja (Lampiran 3). Ketiga spesies ini umumnya beraktivitas pada strata tajuk tengah dan bawah.

Berdasarkan jumlah spesies, Timaliidae merupakan famili dengan jumlah spesies yang paling sering tertangkap (χ2=54,72; df=16; P=0,00) yaitu sebanyak 13 spesies dengan jumlah total 80 individu. Berdasarkan spesies, pijantung kecil

Arachnothera longirostra merupakan spesies yang paling sering tertangkap (χ2=

(5)

Gambar 7 Famili burung di lokasi penelitian berdasarkan jumlah individu dan spesies.

5.1.3. Jumlah Individu Burung dan Struktur Vegetasi

Jumlah individu burung yang tertangkap semakin menurun dengan meningkatnya nilai kepadatan vegetasi pada tingkat pohon (korelasi Pearson, r=0,36), begitu pula halnya dengan kepadatan vegetasi pada tingkat tiang (r=0,71), tingkat pancang (r=0,25) dan tutupan tajuk (r=0,18). Pada sisi lain jumlah individu burung yang tertangkap semakin meningkat dengan bertambahnya nilai bukaan tajuk (r=0,63).

5.1.4. Keanekaragaman Guild di Lokasi Penelitian

Secara garis besar, komunitas burung di lokasi penelitian terbagi ke dalam 3 kategori guild yaitu terdiri dari dua guild murni dan satu guild campuran (Gambar 8). Guild murni terdiri dari burung-burung pemakan seranggga dan burung-burung pemakan buah. Kategori guild terbanyak adalah pemakan serangga, yaitu sebanyak 5 sub kategori. Kategori guild dengan jumlah paling sedikit ialah pemakan buah murni, yang terdiri dari dua sub kategori (Lampiran 4). 0 20 40 60 80 100 Phasianidae Columbidae Cuculidae Trogonidae Alcedinididae Picidae Eurylaimidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliidae Sylviidae Platysteiridae Monarchidae Dicaeidae Nectariniidae Dicruridae Jumlah Fa mili Spesies Individu

(6)

TFGI: pemakan serangga di bagian tajuk, BGI: pemakan serangga di bagian dahan dan ranting pohon, SFGI: pemakan serangga di daerah semak, LGI: pemakan serangga di serasah atau lantai hutan, FCI: pemakan serangga sambil melayang, IN: pemakan serangga dan nektar, CI: pemakan vertebrata lain dan serangga, IF: pemakan serangga dan buah-buahan, AF: pemakan buah di bagian tajuk, TF: pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan.

(7)

Berdasarkan jumlah individu, pemakan serangga dan nektar (IN) merupakan kelompok yang paling banyak tertangkap (χ2=225,56; df=9; P=0,00) dengan jumlah total 95 individu (Tabel 3). Meskipun demikian kelompok ini hanya terdiri dari 3 spesies saja yaitu pijantung kecil Arachnothera longirostra, burung madu rimba Hypogramma hypogrammicum dan burung madu sepahraja Aetophyga

siparaja (Lampiran 4). Berdasarkan jumlah spesies, kelompok pemakan serangga

di bagian tajuk (TFGI) merupakan guild yang paling dominan (χ2=21,2; df=9; P=0,01).

Tabel 3 Jumlah individu dan spesies pada setiap guild

No Guild Kode

guild

Jumlah

individu Jumlah spesies A Pemakan Serangga

1 Pemakan serangga di bagian tajuk TFGI 62 11 2 Pemakan serangga di bagian dahan dan

ranting pohon

BGI 10 3 3 Pemakan serangga di daerah semak SFGI 35 7

4 Pemakan serangga di serasah atau lantai hutan

LGI 26 4 5 Pemakan serangga sambil melayang FCI 18 5

B Pemakan buah

1 Pemakan buah di tajuk AF 4 1

2 Pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan

TF 4 1 C Campuran

1 Pemakan serangga dan nektar IN 95 3

2 Pemakan vertebrata lain dan serangga CI 42 5 3 Pemakan serangga dan buah-buahan IF 27 10 5.1.5. Keanekaragaman Spesies dan Populasi Artropoda

Jumlah rata-rata artropoda yang tertangkap pada lokasi penelitian adalah 266 individu/100 ayunan. Sebagian besar artropoda yang tertangkap adalah ordo Diptera, Lepidoptera, Orthoptera, Hymenoptera (Formicidae) dan Arachnidae. Jumlah individu artropoda yang tertangkap di hutan sekunder secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer (χ2=5,76; df=1; P=0,01) (Gambar 9). Jumlah artropoda yang tertangkap pada setiap jarak tepi tidak berbeda nyata baik di hutan primer (uji H=0,36; df=2; P=0,84) maupun hutan sekunder (uji H=2,49; df=2; P=0,29). Jumlah individu burung yang tertangkap mengalami peningkatan dengan bertambahnya jumlah artropoda (r=0,44).

(8)

Gambar 9 Jumlah individu artropoda pada setiap jarak dari tepi. 5.1.6. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi

Nilai kekayaan spesies tertinggi terdapat pada jarak 0m dari tepi, dengan jumlah spesies yang tertangkap sebanyak 34 spesies. Jumlah tersebut berkurang menjadi 31 spesies dan kembali naik pada jarak 400m menjadi 34 spesies. Namun demikian nilai keanekaragaman spesies burung menurun seiring bertambahnya jarak dari tepi (Gambar 10).

Gambar 10 Indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies burung berdasarkan jarak dari tepi.

Dari 17 famili yang tertangkap, Timaliidae mengalami penurunan jumlah individu seiring bertambahnya jarak dari tepi sedangkan Nectariniidae mengalami peningkatan (Gambar 11). Berdasarkan jumlah spesies, meskipun lebih banyak burung yang tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi namun secara statistik

0 20 40 60 80 100 120 140 0m 200m 400m Ju mlah in div id u Jarak tepi

Hutan primer Hutan sekunder

3.02 2.94 2.94 2.92 2.98 2.83 0.83 0.85 0.80 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 0m 200m 400m Jarak tepi

(9)

tidak berbeda nyata (χ2=0,32; df=2; P=0,85). Berdasarkan jumlah individu, lebih banyak burung yang tertangkap pada jarak 400m dari daerah tepi meski tidak berbeda nyata (χ2=1,70; df=2; P=0,43).

Gambar 11 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi.

Secara umum tidak terdapat penurunan atau peningkatan jumlah individu burung yang tertangkap dengan bertambahnya jarak dari daerah tepi. Meskipun demikian tercatat beberapa spesises mengalami penurunan jumlah yang tidak nyata seiring dengan bertambahnya jarak dari tepi seperti tepus merbah sampah

Stachyris erythroptera (χ2=2,24; df=2; P=0,32) (Gambar 12).

0 20 40 60 Phasianidae Columbidae Cuculidae Trogonidae Alcedinidae Picidae Eurylaimidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliidae Sylviidae Platysteiridae Monarchidae Dicaeidae Nectariniidae Dicruridae Jumlah Fa mili 400 m 200 m 0 m

(10)

Gambar 12 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi. 0 20 40 60 Rollulus rouloul Chalcophaps indica Cacomantis sonneratii Cacomantis sepulcralis Surniculus lugubris Harpactes diardii Harpactes duvaucelii Alcedo meninting Ceyx rufidorsa Lacedo pulchella Actenoides concretus Sasia abnormis Picus mentalis Picus puniceus Meiglyptes tukki Cymbirhynchus macrorhynchos Pitta guajana Pycnonotus melanicterus Pycnonotus eutilotus Pycnonotus plumosus Pycnonotus simplex Pycnonotus brunneus Pycnonotus erythrophtalmus Criniger phaeocephalus Tricholestes criniger Enicurus leschenaulti Pellorneum capistratum Trichastoma rostratum Trichastoma bicolor Malacocincla malacense Malacopteron affine Malacopteron cinereum Malacopteron magnum Stachyris poliocephala Stachyris maculata Stachyris nigricollis Stachyris erythroptera Macronous gularis Macronous ptilosus Orthotomus atrogularis Orthotomus sericeus Orthotomus ruficeps Philentoma pyrhopterum Hypothymis azurea Dicaeum triginostigma Dicaeum cruentatum Hypogramma hypogrammicum Aethopyga siparaja Arachnothera longirostra Dicrurus paradiseus 400 m 200 m 0 m

(11)

5.1.7. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi

Sebanyak 9 kategori guild tertangkap pada jarak 0m dan 200m, sedangkan pada jarak 400m tertangkap sebanyak 10 kategori guild meskipun secara statistik tidak berbeda nyata (χ2=0,07; df=2; P=0,96). Nilai keanekaragaman dan kekayaan

guild tertinggi terdapat pada jarak 200m memiliki dari tepi (Gambar 13).

Gambar 13 Indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’)

guild pada berbagai jarak dari tepi.

Pemakan serangga dan nektar (IN) dan pemakan buah di atas tajuk (TF), mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak dari daerah tepi (Gambar 14). Kondisi sebaliknya terjadi pada kategori BGI dan TFGI yang mengalami penurunan dengan bertambahnya jarak dari tepi, namun secara statistik tidak berbeda nyata (Lampiran 5). Dari seluruh kategori guild, pemakan serangga dan nekatar (IN) lebih menyukai daerah yang jauh dari tepi, sedangkan pemakan serangga sambil melayang (FCI) lebih sering tertangkap pada daerah pertengahan (200m dari tepi). Sebagian besar guild yang tertangkap tidak memiliki kecenderungan penurunan atau peningkatan jumlah dengan bertambahnya jarak dari tepi. 0.80 0.98 0.98 2.07 2.10 2.09 0.94 0.95 0.91 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 0m 200m 400m Jarak tepi

(12)

Gambar 14 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi.

5.1.8. Lebar Relung

Dari seluruh spesies yang tertangkap hanya terdapat 3 spesies dengan relung yang sangat lebar yaitu burung udang punggung-merah Ceyx rufidorsa, tepus merbah-sampah Stachyris erythroptera dan pijantung kecil Arachnothera

longirostra, masing-masing bernilai 0,94; 0,89 dan 0,88 (Lampiran 6). Sebanyak

19 spesies merupakan spesies dengan lebar relung yang sempit (0,00). Namun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan lebar relung yang nyata di antara spesies (χ2=37,17; df=49; P=0,89).

Berdasarkan kategori guild, kelompok pemakan vertebrata lain dan serangga (CI) merupakan guild dengan relung paling lebar (Tabel 4). Kategori guild ini tersusun dari spesies yang berasal dari famili Alcedinidae dan Picidae. Kelompok lain dengan relung yang lebar ialah burung pemakan serangga dan nektar (IN) dan burung pemakan serangga dan buah-buahan (IF). Sedangkan kelompok pemakan buah di bagian tajuk (AF) merupakan guild dengan relung paling sempit. Kelompok ini hanya terdiri dari satu spesies saja yaitu sempur hujan sungai Cymbirhynchus macrorhynchos. Meskipun demikian tidak terdapat perbedaan lebar relung yang nyata di antara kategori guild (χ2=1,13; df=9; P=0,99). 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

In di vi du Guild 0 m 200 m 400 m

(13)

Tabel 4 Lebar relung berdasarkan kategori guild

No Kategori guild Kode guild Lebar relung

B Ba 1. Pemakan serangga di bagian tajuk TFGI 4,83 0,77 2. Pemakan serangga di bagian dahan dan

ranting pohon BGI 3,90 0,58

3. Pemakan serangga di daerah semak SFGI 4,13 0,63 4. Pemakan serangga di serasah atau lantai

hutan LGI 4,95 0,79

5. Pemakan serangga sambil melayang FCI 3,65 0,53

6. Pemakan buah di tajuk AF 1,60 0,12

7. Pemakan buah kecil yang berserakan di lantai hutan

TF 2,78 0,36

8. Pemakan serangga dan nektar IN 5,31 0,86 9. Pemakan vertebrata lain dan serangga CI 5,39 0,88 10. Pemakan serangga dan buah-buahan IF 5,24 0,85 5.1.9. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Primer

Secara umum keanekaragaman spesies burung-burung di bawah tajuk di hutan primer tidak terlalu tinggi. Namun dalam hal kemerataan spesies, komunitas burung di hutan primer memiliki kemerataan spesies yang cukup tinggi (Tabel 5). Komunitas burung di hutan primer tersusun dari 32 spesies yang berasal dari 12 Famili dengan jumlah total individu sebanyak 138 individu. Spesies yang paling sering tertangkap adalah pijantung kecil Arachnothera longirostra yaitu sebanyak 30 individu (χ2=210,29; df=31; P=0,00) dan terdapat 8 spesies yang hanya tertangkap sekali saja (Lampiran 3).

Tabel 5 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan primer Indeks Nilai

Shannon (H') 3,00

Kemerataan (J) 0,87

Berdasarkan kategori kelimpahan sebanyak 17 spesies (53,13%) termasuk ke dalam kategori jarang, 13 spesies (40,62%) ke dalam kategori tidak umum, dan hanya 2 spesies (6,25%) yang masuk ke dalam kategori umum (χ2=11,31; df=2, P=0,00). Jenis yang termasuk ke dalam kategori umum yaitu pijantung kecil

(14)

rufidorsa (12 individu) (Lampiran 3). Sebanyak 12 spesies yang tertangkap di

hutan primer termasuk ke dalam kriteria spesies yang mendekati terancam punah. Pada kategori famili, Timaliidae merupakan famili yang dominan (χ2=384,32; df=16; P=0,00). Jumlah anggota famili ini yang tertangkap sebanyak 49 individu yang berasal dari 12 spesies (Gambar 15). Di sisi lain terdapat famili dengan jumlah individu paling sedikit yaitu Phasianidae dan Dicruridae dengan jumlah masing-masing sebanyak 1 individu.

Gambar 15 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan famili di hutan primer.

5.1.10. Keanekaragaman Guild di Hutan Primer

Komunitas burung di hutan primer tersusun dari 8 guild yang merupakan pemakan serangga murni maupun campuran. Namun, secara spesifik komunitas burung di hutan primer di dominasi oleh kelompok pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) (Gambar 16) baik dalam jumlah spesies (χ2=18, df=9, P=0,04) maupun individu (χ2=122,43; df=9; P=0,00). Dari seluruh kategori guild yang terdapat di lokasi penelitian, sebanyak dua kategori guild tidak berhasil ditangkap di hutan primer yaitu kategori burung pemakan buah di tajuk (AF) dan pemakan buah yang berserakan di lantai hutan (TF).

0 20 40 60 Phasianidae Columbidae Cuculidae Trogonidae Alcedinididae Picidae Eurylaimidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliidae Sylviidae Platysteiridae Monarchidae Dicaeidae Nectariniidae Dicruridae Jumlah Fa mili Individu Spesies

(15)

Gambar 16 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan primer.

5.1.11. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Primer

Nilai kekayaan spesies yang tertinggi diperoleh pada jarak 200m dari tepi, begitu pula halnya dengan tingkat kemerataan spesies (Gambar 17). Jumlah spesies yang tertangkap tidak mengalami kecenderungan penurunan jumlah yang nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi (χ2=0,95; df=2; P=0,62) (Gambar 18). Begitu pula halnya dengan jumlah individu yang tertangkap tidak terdapat perbedaan jumlah yang nyata berdasarkan jarak dari tepi (χ2=1,63; df=2; P=0,44) meskipun terdapat fakta penurunan jumlah individu dengan bertambahnya jarak tepi.

Gambar 17 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies burung berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

0 10 20 30 40 50

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

Ju mlah Guild Individu Spesies 2.89 2.36 2.74 1.86 2.21 1.46 0.60 0.80 0.50 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 0m 200m 400m Jarak tepi

(16)

Gambar 18 Jumlah spesies dan individu burung berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

Berdasarkan famili, tidak terdapat kecenderungan peningkatan atau penurunan jumlah individu dengan bertambahnya jarak dari tepi (Gambar 19). Begitu pula halnya pada spesies, tidak terdapat spesies yang mengalami peningkatan atau penurunan jumlah individu secara linear dengan bertambahnya jarak tepi (Gambar 20).

Gambar 19 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

22 15 18 58 46 48 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 m 200 m 400 m Ju mlah Jarak tepi Spesies Individu 0 5 10 15 20 25 Phasianidae Cuculidae Trogonidae Alcedinidae Picidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliidae Platysteiridae Nectariniidae Dicruridae Individu 400 m 200 m 0 m

(17)

Gambar 20 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

5.1.12.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Primer

Kekayaan guild tertinggi terdapat pada jarak 400m dari tepi dan terendah pada jarak 0m dari tepi (Gambar 21). Jumlah guild yang tertangkap pada jarak 0m dan 200m masing-masing 7 guild dan pada jarak 400m sebanyak 8 guild. Kategori

guild yang tidak terdapat pada jarak 0m adalah pemakan serangga sambil

melayang (FCI) sedangkan pada jarak 200m adalah pemakan serangga di daerah semak. 0 5 10 15 20 25 Rollulus rouloul Cacomantis sepulcralis Surniculus lugubris Harpactes duvaucelii Ceyx rufidorsa Actenoides concretus Sasia abnormis Picus mentalis Picus puniceus Meiglyptes tukki Pitta guajana Pycnonotus eutilotus Pycnonotus brunneus Tricholestes criniger Criniger phaeocephalus Enicurus leschenaulti Pellorneum capistratum Trichastoma rostratum Trichastoma bicolor Malacocincla malacense Malacopteron affine Malacopteron cinereum Malacopteron magnum Stachyris poliocephala Stachyris maculata Stachyris nigricollis Stachyris erythroptera Macronous ptilosus Philentoma pyrhopterum Hypogramma hypogrammicum Arachnothera longirostra Dicrurus paradiseus Jumlah Sp esi es 400 m 200 m 0 m

(18)

Gambar 21 Nilai indeks kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

Berdasarkan jumlah individu, kategori guild yang paling sering tertangkap pada jarak 0m adalah pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) yaitu sebanyak 18 individu, sedangkan pada jarak 200m didominasi oleh pemakan serangga dan nektar (19 individu), pada jarak 400m didominasi oleh IN dan TFGI masing-masing 13 individu (Gambar 22). Dari 8 kategori guild yang tertangkap hanya pemakan serangga di semak (SFGI) yang mengalami penurunan jumlah secara nyata seiring bertambahnya jarak dari tepi (Lampiran 7).

Gambar 22 Jumlah individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

Berdasarkan kategori guild, terdapat asosiasi antara guild dengan jarak dari tepi (χ2=24,71; df=14; P=0,03). Pemakan serangga di serasah dan lantai hutan

0.92 1.07 1.15 1.75 1.58 1.81 0.90 0.81 0.93 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 0m 200m 400m Jarak tepi

Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

in di vi du Guild 0 m 200 m 400 m

(19)

(LGI) lebih sering tertangkap pada jarak 400m dari daerah tepi (Gambar 23). Kondisi sebaliknya terjadi pada pemakan serangga di bagian semak (SFGI) dan pemakan serangga di bagian ranting dan dahan (BGI) yang lebih sering menggunakan daerah pada jarak 0m sebagai tempat beraktivitas.

Gambar 23 Proporsi guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan primer.

5.1.13. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Sekunder

Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 185 individu burung yang berasal dari 31 spesies dan 15 famili. Berbeda dengan hutan primer keanekaragaman spesies burung di hutan sekunder termasuk rendah, namun memiliki kemerataan yang tinggi (Tabel 6). Pada tipe hutan ini pijantung kecil

Arachnothera longirostra mendominasi dengan jumlah individu sebanyak 78

individu (χ2=412,04; df=30; P=0,00).

Tabel 6 Nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies di hutan sekunder Indeks Nilai

Shannon (H') 2,79

Kemerataan (J) 0,81

Berdasarkan kriteria kelimpahan, sebanyak 18 spesies (58,06%) masuk ke dalam kategori jarang, 10 spesies (32,26%) tidak umum dan 3 spesies (9,68%) dengan kategori umum. Sebanyak tiga spesies yang tertangkap di hutan sekunder termasuk ke dalam kategori mendekati terancam punah yaitu Actenoides

concretus, Trichastoma rostratum dan Harpactes diardii. 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

Pe rse nt ase Guild 400m 200m 0m

(20)

Nectariniidae merupakan famili dengan jumlah individu yang paling melimpah di hutan sekunder (58 individu, Gambar 24). Berdasarkan jumlah spesies, famili Pycnonotidae merupakan famili dengan jumlah spesies terbanyak (5 spesies). Famili lain yang memiliki jumlah individu dan spesies cukup banyak adalah Timaliidae yang terdiri dari 4 spesies dan 31 individu. Keempat anggota famili Timaliidae yang tertangkap di hutan sekunder (Stachyris erythroptera,

Macronous gularis, Pellornium capistratum dan Trichastoma rostratum)

merupakan spesies-spesies yang mampu beradaptasi terhadap pembukaan hutan. Terdapat pula 3 famili yang hanya tertangkap dengan jumlah satu individu yaitu Cuculidae, Platysteiridae dan Monarchidae (Lampiran 3).

Gambar 24 Jumlah spesies dan individu berdasarkan famili di hutan sekunder.

5.1.14. Keanekaragaman Guild di Hutan Sekunder

Komunitas burung di hutan sekunder tersusun dari 10 kategori guild (Gambar 25). Berdasarkan jumlah individu, pemakan serangga dan nektar (IN) merupakan kategori guild yang paling sering tertangkap (58 individu; 31,35%) (χ2=31,05; df=9; P=0,00). Namun berdasarkan jumlah spesies maka kategori pemakan serangga dan buah (IF) merupakan jumlah tertinggi (8 spesies; 22,58%) namun tidak berbeda nyata (χ2=11,26; df=9; P=0,26).

0 10 20 30 40 50 60 Phasianidae Columbidae Cuculidae Trogonidae Alcedinididae Picidae Eurylaimidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliidae Sylviidae Platysteiridae Monarchidae Dicaeidae Nectariniidae Dicruridae Jumlah individu Jumlah spesies

(21)

Gambar 25 Jumlah individu dan spesies penyusun guild di hutan sekunder.

5.1.15. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Sekunder

Jumlah individu tidak mengalami peningkatan yang nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi (χ2=2,19; df=2; P=0,33) (Gambar 26). Begitu pula halnya pada jumlah spesies yang tertangkap, tidak mengalami peningkatan yang nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi. Nilai keanekaragaman spesies tertinggi diperoleh pada jarak 200m dari tepi (Gambar 27).

Gambar 26 Jumlah individu dan spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder. 0 10 20 30 40 50 60 70

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

Ju mlah Guild Individu Spesies 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0m 200m 400m Ju m lah Jarak tepi Individu Spesies

(22)

Gambar 27 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

Sebagian besar spesies yang tertangkap tidak mengalami peningkatan atau penurunan jumlah individu yang linear dengan bertambahnya jarak dari tepi. Pijantung kecil Arachnothera longirostra merupakan spesies yang paling sering tertangkap di seluruh jarak dari tepi. Selain itu terdapat pula spesies yang mengalami peningkatan secara tidak nyata jumlah individu seiring bertambahnya jarak dari tepi (misal: Lacedo pulchella, Hypogramma hypogrammicum). Kondisi sebaliknya terjadi pada Pellornium capistratum dan Trichastoma rostratum yang mengalami penurunan jumlah yang tidak nyata dengan bertambahnya jarak dari tepi (Gambar 28). 2.41 2.56 2.60 2.73 2.32 2.43 0.85 0.90 0.80 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 0 m 200 m 400 m Jarak tepi

(23)

Gambar 28 Kelimpahan individu spesies berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

Berdasarkan kategori famili, Nectariniidae merupakan famili yang paling sering tertangkap pada seluruh jarak dari tepi (Gambar 29). Dari seluruh famili yang tertangkap hanya Timaliidae yang mengalami penurunan jumlah individu yang nyata dengan bertambahnya jarak tepi (χ2=6,41; df=2; P=0,04).

0 5 10 15 20 25 30 Chalcophaps indica Cacomantis sonneratii Harpactes diardii Alcedo meninting Ceyx rufidorsa Lacedo pulchella Actenoides concretus Sasia abnormis Picus mentalis Cymbirhynchus macrorhynchos Pitta guajana Pycnonotus melanicterus Pycnonotus plumosus Pycnonotus simplex Pycnonotus erythrophtalmus Criniger phaeocephalus Enicurus leschenaulti Pellorneum capistratum Trichastoma rostratum Stachyris erythroptera Macronous gularis Orthotomus atrogularis Orthotomus sericeus Orthotomus ruficeps Hypothymis azurea Dicaeum triginostigma Dicaeum cruentatum Hypogramma hypogrammicum Aethopyga siparaja Arachnothera longirostra Dicrurus paradiseus 400 m 200 m 0 m

(24)

Gambar 29 Jumlah individu famili berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

5.1.16. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Sekunder

Nilai kekayaan guild tertinggi terdapat pada jarak 200m dari daerah tepi (Gambar 30). Meskipun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan jumlah

guild yang tertangkap pada seluruh jarak dari tepi yaitu masing-masing 9 guild.

Gambar 30 Nilai indeks kekayaan (Mn), keanekaragaman (H’) dan kemerataan (J’) guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

1.08 1.12 0.99 1.52 1.56 1.56 0.69 0.71 0.71 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 0 m 200 m 400 m Jarak tepi

Menhinick (Mn) Shannon (H') Kemerataan (J)

0 10 20 30 40 Columbidae Cuculidae Trogonidae Alcedinidae Picidae Eurylaimidae Pittidae Pycnonotidae Turdidae Timaliide Sylviidae Monarchidae Dicaeidae Nectariniidae Dicruridae Individu Fa mili 400 m 200 m 0 m

(25)

Kategori guild pemakan serangga di bagian tajuk (TFGI) mengalami penurunan seiring bertambahnya jarak dari tepi dan secara statistik berbeda nyata (Gambar 31, Lampiran 8). Namun kondisi sebaliknya terjadi pada kategori pemakan serangga dan vertebrata (CI) yang mengalami peningkatan dengan bertambahnya jarak dari tepi.

Gambar 31 Kelimpahan individu kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

Terdapat asosiasi antara kategori guild dengan jarak dari tepi di hutan sekunder (χ2=53,00; df=18; P=0,00). Kategori pemakan serangga di batang dan dahan (BGI) lebih sering tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi. Sedangkan kategori pemakan serangga di serasah dan lantai hutan (LGI) dan pemakan serangga di bagian tajuk lebih sering tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi (Gambar 32).

Gambar 32 Proporsi kategori guild berdasarkan jarak dari tepi di hutan sekunder.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

In di vi du Guild 0 m 200 m 400 m 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

TFGI BGI SFGI LGI FCI AF TF IN CI IF

Pe rse nt ase Guild 400m 200m 0m

(26)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Vegetasi di Lokasi Penelitian

Sebagian besar hutan yang menjadi lokasi penelitian secara historis merupakan areal hutan yang mengalami degradasi akibat pembalakan liar sebelum ditetapkan sebagai kawasan taman nasional pada tahun 1992. Sebagian besar areal yang dekat dengan permukiman secara nyata memiliki kondisi yang berbeda dibandingkan dengan areal hutan yang jauh dari permukiman. Hal ini dapat terlihat pada parameter vegetasi yang terdapat pada hutan primer dan hutan sekunder.

Meskipun tidak terdapat data awal yang menggambarkan kondisi hutan pasca pembalakan liar di dalam kawasan taman nasional, kondisi kepadatan pohon di hutan primer dan hutan sekunder yang tidak berbeda nyata menunjukkan terjadinya pemulihan hutan sekunder. Meskipun demikian terdapat faktor nyata yang membedakan antara hutan primer dan sekunder, yaitu rendahnya nilai tutupan tajuk di hutan sekunder. Tidak lengkapnya struktur tajuk di hutan sekunder mengakibatkan nilai tutupan tajuk menjadi rendah. Di sisi lain hasil pengukuran bukaan tajuk menunjukkan hutan sekunder lebih terbuka dibanding hutan primer.

5.2.2. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Lokasi Penelitian

Tingkat kekayaan spesies burung di bawah tajuk di lokasi penelitian termasuk tinggi jika dibandingkan dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh Novarino (2008) di wilayah Sipisang, Sumatera yang hanya memperoleh nilai sebesar 2,42. Meskipun demikian dari segi keanekaragaman spesies hasil yang diperoleh Novarino (2008) lebih tinggi yaitu 3,77. Perbedaan ini dapat terjadi sebagai akibat perbedaan jumlah waktu pengoperasian jaring kabut. Pada penelitian tersebut jaring kabut dioperasikan selama 51.120 jaring jam kabut. Waktu pengoperasian jaring kabut yang lebih lama mengakibatkan lebih banyak spesies yang tertangkap. Jika dibandingkan dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Waltert et al. (2005) di Sulawesi dengan waktu pengoperasian jaring kabut yang lebih lama yaitu 3400 jam jaring kabut, keanekaragaman spesies di Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS) terlihat lebih tinggi. Perbedaan nilai indeks tersebut selain disebabkan oleh perbedaan lama waktu pengoperasian jaring kabut,

(27)

juga karena secara alami TNBBS memiliki jumlah spesies yang lebih tinggi. Menurut Novarino (2008), faktor yang mempengaruhi besaran indeks keanekaragaman spesies di suatu lokasi antara lain: lamanya usaha penangkapan, cara peletakan jaring kabut, kondisi vegetasi dan kekayaan jumlah spesies burung pada masing-masing lokasi. Menurut Magurran (1988) perbedaan ukuran sampel akan berpengaruh terhadap besaran indeks, yaitu semakin besar sampel yang digunakan akan cenderung memiliki indeks yang tinggi.

Dominasi jumlah individu famili Nectariniidae di lokasi penelitian terjadi karena penelitian dilaksanakan pada awal musim berbunga tumbuh-tumbuhan di hutan. Famili Nectariniidae tersusun oleh spesies-spesies yang memanfaatkan nektar sebagai sumber pakan. Dominasi famili Nectariniidae di dalam hutan juga dijumpai oleh Sodhi et al. (2005b) pada penelitiannya di daerah Linggoasri, Jawa Tengah. Jumlah pakan yang berlimpah berupa nektar memberikan kesempatan bagi famili burung ini untuk meningkatkan populasinya. Menurut Novarino (2008) dominasi Nectariniidae pada suatu habitat berkaitan dengan pola daerah sebaran famili ini yang luas. Nectariniidae merupakan burung yang sangat umum pada daerah permukiman, perkebunan dan hutan (MacKinnon et al. 1997).

Tingginya jumlah individu Nectariniidae yang tertangkap juga dapat disebabkan oleh pertambahan jumlah individu baru pada akhir musim berbiak. Novarino (2008), melaporkan bahwa individu-individu baru lebih banyak tertangkap pada akhir musim penghujan. Pada waktu tersebut burung-burung dewasa yang tertangkap juga umumnya memiliki brood patch yang merupakan indikasi adanya aktivitas berbiak.

Di sisi lain, famili Timaliidae merupakan famili dengan jumlah spesies yang paling banyak tertangkap. Timaliidae merupakan spesies yang beraktivitas pada bagian strata tajuk bawah dan lantai hutan. Famili ini merupakan kelompok murni pemakan serangga yang umumnya hidup di bagian bawah tajuk. Banyaknya jumlah spesies ini juga menunjukkan ketersediaan artropoda yang melimpah pada bagian lantai hutan. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Wong (1986) di hutan Dipeterokarpa Malaysia. Kondisi hutan yang yang memiliki tingkat penutupan tajuk yang tinggi merupakan habitat yang ideal bagi Timaliidae. Anggota famili

(28)

ini merupakan spesies-spesies yang sangat sensitif terhadap gangguan berupa pembukaan tajuk (Novarino 2008).

Penggunaan jaring kabut meskipun cukup efektif untuk mempelajari kehidupan burung-burung semak yang pemalu, namun di sisi lain juga memiliki bias. Alat ini terbukti tidak sepenuhnya efektif untuk menangkap beberapa spesies yang cukup sering terlihat beraktivitas di hutan seperti tangkar kambing

Platysmurus leucopterus, pelatuk pangkas Blythipicus rubiginosus, dan sempur

hujan-darat Eurylaimus ochromalus (Lampiran 2). Burung-burung yang memiliki tungkai pendek seperti angota famili Trogonidae biasanya sulit terjaring atau mampu melepaskan diri setelah menabrak jaring. Pada beberapa kasus burung yang tertangkap juga mampu untuk melepaskan diri dari jaring terutama sekali yang berukuran besar seperti delimukan zamrud Chalcophaps indica (121g). Ukuran jaring yang digunakan dalam penelitian ini ialah 30mm, dan sebagian besar burung yang tertangkap memiliki bobot kurang dari 50g. Menurut Pardieck dan Waide (1992) burung dengan bobot lebih dari 50g lebih mudah tertangkap jika menggunakan jaring dengan ukuran mesh 36 mm, sedangkan burung dengan bobot kurang dari 50g lebih mudah ditangkap menggunakan jaring dengan ukuran

mesh 30 mm. Studi lainnya juga melaporkan bahwa ukuran mesh jaring kabut

bias terhadap bobot dan ukuran tubuh (Lövei et al. 2001).

Pada daerah yang terbuka, penggunaan jaring juga rawan terhadap bias. Jaring kabut yang tersinari oleh matahari menjadi lebih terlihat dan mudah dikenali oleh burung. Akibatnya beberapa burung cenderung menghindar dari lokasi pemasangan jaring kabut. Kondisi tersebut sangat sulit dihindari terutama apabila pemasangan dilakukan tepat di bawah tajuk yang terbuka.

Burung-burung penghuni tajuk yang tidak pernah turun ke bawah juga akan luput dari jaring kabut. Beberapa spesies yang tidak tertangkap jaring umumnya adalah burung penghuni tajuk salah satunya adalah Treron capellei. Spesies ini sering terlihat bertengger pada puncak tajuk pohon baik sendiri maupun berkelompok dan sangat mudah diidentifikasi melalui suara yang sering dikeluarkannya. Punai besar termasuk ke dalam spesies dengan kategori rentan terhadap kepunahan (BirdLife-International 2009).

(29)

Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2002), menunjukkan bahwa pemasangan jaring kabut pada bagian tajuk atas dan di bagian bawah tajuk menghasilkan tingkat similaritas spesies yang rendah. Jaring kabut yang dipasang pada bagian tajuk atas lebih sering menangkap burung yang hanya aktif di tajuk atas seperti Cuculidae, Capitonidae, Eurylaimidae, Campephagidae, Chloropseidae, Dicruridae dan Oriolidae. sedangkan jaring yang dipasang pada bagian bawah hutan menangkap spesies-spesies yang hidup di bawah tajuk. Fakta ini menunjukkan bahwa pemasangan jaring kabut pada bagian bawah tajuk memiliki tingkat efektifitas penangkapan yang berbeda terhadap famili burung tertentu.

Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan juga merupakan salah satu habitat beberapa burung hutan yang bermigrasi (O'Brien & Kinnaird 1996). Namun pada penelitian ini tidak satu pun burung hutan bermigrasi yang berhasil ditangkap. Hal ini karena pengumpulan data dilakukan pada akhir musim migrasi burung. Namun demikian di Sipisang Sumatera Barat, Novarino (2008) melaporkan bahwa burung bermigrasi masih dapat dijumpai meskipun penelitian dilakukan di akhir musim migrasi burung. Letak lokasi penelitian yang berbeda merupakan salah satu penyebab perbedaan hasil tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Novarino (2008) berlokasi pada bagian utara pulau Sumatera yang secara teoritis lebih dekat dengan daerah asal burung-burung hutan yang bermigrasi. Rentang waktu penelitian yang lama juga memungkinkan lebih banyak burung migrasi tertangkap.

5.2.3. Keanekaragaman Spesies dan Struktur Vegetasi

Korelasi negatif antara jumlah individu dan tingkat kepadatan pohon menggambarkan bahwa komposisi burung di lokasi penelitian lebih didominasi oleh burung yang menyukai daerah tepi dan daerah terbuka (Novarino et al. 2002). Hasil penelitian ini berbeda dengan kesimpulan yang diperoleh oleh Chettri (2005) pada penelitian yang dilakukan di Sikkim, India. Dalam penelitiannya yang dilakukan di sepanjang jalan setapak di jalur pendakian diperoleh fakta bahwa kepadatan burung berkorelasi positif terhadap tingkat kepadatan pohon. Perbedaan ini dapat terjadi karena sebagian besar burung di Sikkim merupakan jenis burung penghuni hutan yang sangat sensitif terhadap

(30)

perubahan habitat. Selain itu perbedaan hasil ini juga disebabkan oleh adanya perbedaan metode yang digunakan. Dalam penelitian tersebut Chettri (2005), menggunakan metode penghitungan titik yang memungkinkanya untuk mendeteksi seluruh spesies burung dari seluruh strata tajuk.

Meskipun terjadi peningkatan jumlah individu dengan menurunnya kepadatan vegetasi, kondisi ini harus disikapi dengan hati-hati. Hal ini disebabkan pada tingkatan tertentu kepadatan vegetasi yang rendah juga mengakibatkan penurunan jumlah individu dan spesies di dalam hutan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan kepadatan vegetasi sebagai akibat dari aktivitas pembalakan hutan mengakibatkan penurunan jumlah spesies dan individu burung-burung di dalam hutan (Thiollay 1999; 1997)

Peningkatan bukaan tajuk juga mengakibatkan peningkatan jumlah individu yang menyukai daerah terbuka. Tajuk yang terbuka memicu peningkatan pertumbuhan tumbuhan bawah yang menjadi habitat bagi burung-burung penghuni semak yang tidak sensitif terhadap gangguan, seperti ciungair koreng

Macronous gularis. Dari 50 spesies burung yang tertangkap di lokasi penelitian,

hanya sebanyak 19 spesies yang merupakan murni penghuni hutan primer, sedangkan sisanya merupakan burung penghuni hutan sekunder murni atau yang bersifat oportunis (memanfaatkan dua tipe hutan). Fuller (2000) melaporkan bahwa kehadiran gap di dalam hutan mempengaruhi kelimpahan burung yang hidup di dalam hutan. Dalam penelitian tersebut Fuller (2000) menjumpai lebih banyak burung pada gap hutan dibanding hutan tanpa gap.

Di sisi lain peningkatan bukaan tajuk dan penurunan tutupan tajuk juga dapat mengakibatkan penurunan jumlah spesies terutama spesies yang sensitive terhadap gangguan. Hal ini terlihat pada famili Timaliidae yang mengalami penurunan jumlah spesies pada hutan sekunder dibandingkan dengan hutan primer. Dari total 12 spesies anggota famili Timaliidae yang tertangkap di hutan primer hanya 3 spesies saja yang berhasil ditangkap di hutan sekunder.

5.2.4.Keanekaragaman Guild di Lokasi Penelitian

Tingginya kategori pemakan serangga dan nektar (IN) berkaitan dengan bersamaannya waktu penelitian dengan awal musim bunga. Selain itu kondisi

(31)

lokasi penelitian yang cukup lembab memungkinkan serangga berkembang dengan baik karena banyaknya pucuk-pucuk daun muda yang merupakan pakan kelompok serangga. Kategori guild IN yang mengandalkan dua sumberdaya pakan (serangga dan nektar) memungkinkan kategori ini untuk menyesuaikan kebutuhan pakan dengan kondisi ketersediaan pakan. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan Novarino (2008) pada penelitiannya di Sipisang Sumatera Barat.

Banyaknya anggota TFGI yang tertangkap menunjukkan bahwa pada bagian tajuk merupakan daerah dengan kelimpahan artropoda yang tinggi. Sinar matahari yang melimpah di bagian tajuk akan meningkatkan produktivitas pertumbuhan pohon. Kondisi ini mengakibatkan lebih banyak serangga yang hidup pada bagian tersebut dibandingkan dengan bagian lainnya. Hasil tersebut berbeda dengan hasil yang diperoleh Wong (1986), dimana TFGI merupakan guild yang berada pada urutan ke 2 setelah SFGI.

Meskipun pada penelitian ini tidak dilakukan pengumpulan kelimpahan biji/buah vegetasi di bawah tajuk, banyaknya jumlah spesies dan individu burung dapat mewakili gambaran ketersediaan pakan di lokasi penelitian. Komposisi

guild penyusun burung di lokasi penelitian yang di dominasi oleh pemakan

serangga baik fakultatif maupun obligat menunjukkan bahwa pada bagian bawah tajuk, sumberdaya yang sangat umum tersedia adalah artropoda dan serangga. Wong (1986) menyatakan bahwa jumlah individu di dalam sebuah guild menggambarkan ketersediaan sumberdaya yang mendukungnya, sedangkan jumlah spesies menggambarkan sejauh mana sumberdaya dapat dibagi dengan baik. Oleh karena itu semakin banyak kategori guild di dalam suatu hutan menunjukkan banyaknya ketersediaan sumberdaya yang mendukung kehidupan burung di dalamnya.

5.2.5. Keanekaragaman Spesies dan Populasi Artropoda

Tingginya kelimpahan artropoda pada hutan sekunder dibanding hutan primer disebabkan oleh rendahnya tingkat penutupan tajuk dan tingginya bukaan tajuk pada hutan sekunder. Kondisi tersebut memungkinkan untuk berkembangnya tumbuhan yang dibutuhkan sebagai sumberdaya pakan artropoda. Nummelin dan Zilihona (2004) melaporkan hasil penelitian yang

(32)

dilakukannya di Uganda bahwa kelimpahan individu artropoda pada hutan yang mengalami suksesi setelah pembalakan lebih tinggi dibandingkan dengan hutan yang belum terganggu. Di sisi lain penelitian yang dilakukan Uehara-Prado et al. (2009) juga melaporkan bahwa dalam hal keanekaragaman spesies, hutan yang tidak terganggu memiliki keanekaragaman spesies yang lebih tinggi dibanding hutan yang mengalami pembalakan. Meskipun demikian pada penelitian tersebut tidak diperoleh data mengenai perubahan kondisi tajuk di lokasi penelitian. Hutan yang mengalami pembalakan pada umumnya mengalami peningkatan bukaan tajuk dan penurunan luas bidang dasar tumbuhan (Thiollay 1997).

Kehadiran areal perkebunan di sekitar hutan juga memungkinkan penambahan individu yang berasal dari kebun ke dalam hutan. Meskipun demikian penambahan individu yang terjadi dapat saja terjadi akibat adanya spesies bukan asli yang berasal dari areal perkebunan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Uehara-Prado et al. (2009) pada hutan yang mengalami gangguan akibat aktivitas manusia menunjukkan bahwa penambahan individu pada hutan terganggu lebih disebabkan oleh kehadiran spesies bukan asli.

Sebagian besar spesies penyusun komunitas burung di lokasi penelitian merupakan spesies pemakan serangga, kondisi ini mengakibatkan burung cenderung untuk berkumpul pada daerah yang memiliki kelimpahan serangga yang tinggi. Kondisi ini terlihat dari tingginya nilai korelasi antara jumlah individu burung terhadap populasi artropoda. Meskipun demikian peningkatan jumlah artropoda tidak berpengaruh terhadap jumlah spesies yang tertangkap.

Keberadaan individu burung di suatu tempat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya pakan (Blake & Loiselle 1991; Wong 1986). Jenis-jenis burung pemakan serangga akan mengeksploitasi daerah-daerah yang memiliki kelimpahan serangga cukup tinggi, maka tak heran komposisi burung pemakan serangga lebih banyak tertangkap pada hutan sekunder yang berbatasan dengan perkebunan. Menurut Wong (1986), besarnya jumlah individu pada suatu guild berkorelasi dengan sumberdaya yang dibutuhkan oleh guild tersebut.

(33)

5.2.6.Keanekaragaman Spesies Berdasarkan Jarak dari Tepi

Meratanya kelimpahan burung yang tertangkap pada seluruh jarak dari tepi menggambarkan bahwa kondisi sumberdaya pendukung kehidupan burung tersebar merata pada seluruh titik pengamatan. Hal ini terjadi karena tingkat gangguan yang pada lokasi penelitian masih dalam tingkat rendah hingga menengah. Menurut Meffe & Carrol (1994), gangguan dengan tingkatan rendah hingga menengah pada suatu ekosistem akan meningkatkan kekayaan spesies yang hidup di dalamnya.

Tipe daerah tepi yang tidak terlalu jauh berbeda dengan bagian hutan juga mengakibatkan tidak adanya fluktuasi sumberdaya yang drastis. Akibatnya spesies-spesies burung yang hidup di dalam hutan tidak mengalami kecenderungan peningkatan atau penurunan jumlah dengan bertambahnya jarak tepi (Ries et al. 2004). Penelitian yang dilakukkan oleh (Berry 2001) menyimpulkan bahwa peningkatan jumlah individu di daerah tepi semata-mata disebabkan oleh adanya peluang yang lebih besar dalam memperoleh pakan dibandingkan oleh adanya perubahan struktur vegetasi dan iklim mikro.

5.2.7. Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi

Tingginya nilai indeks keanekaragaman guild pada jarak 400m, menggambarkan bahwa burung-burung di lokasi penelitian memberi respon negatif terhadap kehadiran habitat yang mengalami modifikasi. Secara umum kategori guild murni (pemakan serangga) mengalami peningkatan pada daerah tepi. Kondisi ini dapat disebabkan karena adanya peningkatan jumlah serangga pada titik tersebut. Kondisi ini ini berbeda halnya pada kategori guild campuran (IN dan CI) yang tidak terlalu mengandalkan serangga sebagai sumberdaya makan.

Tidak adanya perbedaan yang nyata pada jumlah individu di setiap jarak tepi menggambarkan bahwa efek tepi tidak terlihat nyata pada lokasi penelitian. Kondisi serupa juga dilaporkan oleh Berry (2001) pada penelitiannya di negara bagian Victoria, Australia. Peningkatan jumlah individu yang terjadi lebih disebabkan peningkatan kesempatan untuk memperoleh makanan yang lebih besar pada daerah tepi karena adanya pertemuan dua tipe habitat yang berbeda.

(34)

5.2.8. Lebar Relung

Faktor yang mempengaruhi lebar relung suatu spesies adalah kemampuan adaptasi terhadap kondisi lingkungan dalam hal ini termasuk kemampuan adaptasi terhadap tipe makanan dan habitat. Berdasarkan tipe sumberdaya makan, burung udang punggung-merah mampu mengeksploitasi sumberdaya yang cukup beragam. Burung ini merupakan tipe pemakan vertebrata dan serangga yang populasinya cukup melimpah di hutan. Keragaman sumberdaya pendukung suatu spesies akan menentukan kemampuan burung tersebut dalam mengganti suatu sumberdaya yang jumlahnya terbatas dengan jumlah yang lebih melimpah.

Spesies tepus merbah-sampah, meskipun merupakan pemakan serangga murni, agaknya mampu beradaptasi terhadap segala kondisi lingkungan. Meskipun hanya didukung oleh satu tipe sumberdaya makanan, namun burung ini memiliki variasi habitat yang beragam. Burung ini selain memanfaatkan hutan primer dan sekunder juga sering teramati menggunakan areal perkebunan sebagai tempat mencari makan. Hal serupa juga terjadi pada pijantung kecil yang mampu mengeksploitasi semua tipe habitat yang ada. Suplai bunga yang berfluktuatif di hutan memaksa spesies ini untuk mengeksploitasi seluruh tipe habitat. Selain di hutan, burung ini juga dijumpai di areal perkebunan dan terbuka lainnya.

Burung yang termasuk ke dalam kategori guild campuran (IN, CI dan IF) merupakan burung yang didukung oleh dua tipe sumberdaya makan. Ketiga kategori guild ini mampu beradaptasi terhadap ketersediaan makan yang berfluktusi di dalam hutan dengan cara memanfaatkan dua tipe makanan yang berbeda. Craig & Beal (2001) menyatakan bahwa ukuran lebar relung suatu spesies dipengaruhi oleh cara menggunakan sumberdaya pendukung. Burung yang bersifat generalis akan memiliki relung yang lebar karena mampu memanfaatkan spektrum sumberdaya yang luas.

5.2.9. Keanekaragaman Famili dan Spesies di Hutan Primer

Tingginya jumlah individu dan spesies Timaliidae yang tertangkap di hutan primer berkaitan dengan perilaku mencari makan spesies ini di dalam hutan. Sebagian besar anggota Timaliidae merupakan spesies yang hidup pada semak dan tumbuhan bawah (MacKinnon et al. 1997). Selain itu kebiasaan burung ini

(35)

yang bergerak di dalam kelompok mengakibatkan seringnya individu famili ini tertangkap.

Sedikitnya jumlah Phasianidae yang tertangkap berkaitan dengan perilaku burung ini dalam mencari makan. Puyuh sengayan merupakan jenis burung yang beraktivitas dengan cara berjalan mengendap-endap di lantai hutan. Sehingga burung ini sulit tertangkap karena jaring yang dipasang pada ketinggian minimum 20cm. Selain itu ukuran tubuh famili Phasianidae yang besar menjadikannya sulit untuk tertangkap. Begitu pula halnya dengan srigunting batu Dicrurus paradiseus yang sangat mengandalkan bukaan hutan sebagai tempat mencari makan. Oleh karena itu pada hutan-hutan yang rapat spesies ini mengalami kesulitan untuk mencari makan dengan cara menyambar mangsa dari tenggerannya.

Tingginya keanekaragaman spesies di hutan primer disebabkan oleh beberapa faktor terkait yaitu tingginya kepadatan vegetasi, strata tajuk yang mempengaruhi tingkat bukaan dan tutupan tajuk. Vegetasi hutan primer yang relatif padat memberikan kesempatan bagi burung-burung yang sensitif terhadap gangguan, untuk berkembang dan hidup dengan nyaman. Vegetasi hutan yang rapat juga memungkinkan tumbuhnya aneka liana yang menyediakan habitat mikro bagi artropoda yang pada akhirnya menyediakan pakan bagi komunitas burung. Di sisi lain hadirnya bukaan tajuk pada hutan primer juga memberikan kesempatan bagi burung yang menyukai daerah terbuka untuk hidup. Hadirnya bukaan tajuk memberikan kesempatan bagi vegetasi yang tertekan untuk berkembang. Kondisi ini akan menguntungkan bagi aneka burung yang hidup dengan memanfaatkan semak dan tumbuhan bawah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies burung di suatu hutan berkaitan dengan tingkat kepadatan pohon (Chettri et al. 2005), volume vegetasi (Mills et

al. 1991) dan kompleksitas stuktur tajuk (Pearson 1975).

5.2.10. Keanekaragaman Guild di Hutan Primer

Kelompok TFGI mencari makan dengan mengeksploitasi serangga yang hidup pada permukaan daun. Minimnya semak belukar dan penetrasi cahaya matahari yang tidak mencapai lantai hutan, mengakibatkan serangga lebih banyak aktiv di dedaunan. Dari kategori guild yang ada, hanya TFGI yang berhasil dengan baik memanfaatkan kondisi ini.

(36)

Kategori pemakan serangga di batang dan dahan (BGI) merupakan guild dengan jumlah individu paling sedikit tertangkap. Meskipun demikian salah satu anggota guild ini yaitu caladi badok Meiglyptes tukki merupakan jenis yang cukup cukup sering terlihat dan terdengar suaranya, namun sayangnya jenis ini tidak terlalu sering tertangkap.

Meskipun pada hutan primer kategori pemakan buah di bagian tajuk (AF) dan pemakan buah yang berserakan di lantai hutan (TF) tidak berhasil ditangkap, kenyataannya kategori ini dapat dengan mudah dijumpai di hutan primer. Ketiadaan kategori ini lebih disebabkan burung-burung dengan kategori AF lebih sering mencari makan pada bagian tajuk-tajuk pohon dan sangat jarang turun hingga ke bawah tajuk.

Kategori guild hutan primer yang disusun oleh kelompok pemakan serangga murni maupun campuran merupakan fenomena yang umum di beberapa lokasi (Novarino 2008; Wong 1986). Hal ini berkaitan dengan ketersediaan sumberdaya pakan yang lebih didominasi serangga dibandingkan dengan buah atau nektar. Wong (1986) juga menambahkan bahwa kelimpahan serangga lebih stabil dibandingkan dengan kelimpahan buah dan nektar, sehingga populasi burung pemakan serangga relatif lebih stabil dibandingkan dengan pemakan buah atau nektar.

5.2.11.Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Primer

Tidak adanya perbedaan yang nyata pada jumlah individu dan spesies yang tertangkap pada berbagai jarak dari tepi menunjukkan kehadiran jalan setapak tidak memberikan efek yang nyata bagi keanekaragaman spesies burung. Hal ini terjadi karena tidak adanya perubahan yang nyata terhadap struktur vegetasi (kepadatan vegetasi, tutupan dan bukaan tajuk) maupun kelimpahan serangga pada berbagai jarak dari tepi. Kondisi tajuk pohon yang tetap terhubung juga tidak mengakibatkan perubahan iklim mikro yang signifikan pada daerah tepi. Oleh karena itu pembangunan jalan di dalam hutan, sepanjang tidak mengakibatkan terputusnya tajuk dan keutuhan hutan hanya memberi dampak yang kecil bagi keanekaragaman spesies burung yang hidup di dalamnya.

(37)

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Goosem (2007) mengenai dampak negatif kehadiran jalan pada hutan hujan tropika. Hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan bahwa kehadiran jalan dapar mengakibatkan peningkatan laju kematian, predasi dan meningkatnya kepadatan individu pada daerah tepi. Perbedaan hasil ini dimungkinkan karena adanya perbedaan bentuk dan intensitas penggunaan jalan. Penelitian yang dilakukan oleh Goosem (2007) terfokus pada hutan yang terfragmentasi oleh kehadiran jalan raya yang bersifat memutus keutuhan tajuk pohon. Kehadiran jalan raya juga mengakibatkan perubahan iklim mikro yang nyata pada bagian hutan yang berdampingan langsung dengan jalan raya.

5.2.12.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Primer

Penurunan jumlah SFGI yang tertangkap pada bagian dalam hutan disebabkan oleh berkurangnya semak-semak yang menjadi habitat bagi kategori

guild ini. Penutupan tajuk yang meningkat pada jarak 400m dari daerah tepi

(Gambar 5) mengakibatkan berkurangnya semak dan tumbuhan bawah yang hidup di lantai hutan. Di sisi lain, semak dan tumbuhan bawah merupakan habitat bagi kategori guild SFGI. Kondisi berbeda terjadi pada LGI yang meningkat pada jarak 400m. Kondisi tajuk yang tertutup meningkatkan volume serasah di lantai hutan yang tidak terdekomposisi. Hal ini mengakibatkan meningkatnya jumlah artropoda yang hidup di lantai hutan yang dibutuhkan bagi kategori guild LGI.

Perbedaan respon kategori guild terhadap kehadiran daerah tepi sangat tergantung pada tingkat sensitivitas terhadap gangguan (Dale et al. 2000), preferensi habitat dan makanan yang mendukungnya (Gates & Giffen 1991). Pada penelitiannya di hutan yang ditebang di Uganda, Dale et al. (2000) melaporkan bahwa kepadatan vegetasi dan penutupan tajuk tidak memberi pengaruh terhadap tingkat kepadatan spesies di daerah tepi. Hal serupa juga dilaporkan oleh Berry (2001) yang menyimpulkan bahwa peningkatan jumlah individu pada derah tepi lebih disebabkan tersedianya kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh makanan pada daerah tersebut.

(38)

5.2.13. Keanekaragaman Spesies dan Famili di Hutan Sekunder

Famili dan spesies yang tertangkap di hutan sekunder merupakan burung-burung yang menyukai daerah terbuka seperti famili Sylviidae yang terdiri dari

Orthotomus ruficeps, O.atrogularis dan O. sericeus. Hal ini terkait dengan

struktur vegetasi hutan sekunder yang lebih terbuka. Germaine et al. (1997) melaporkan bahwa kehadiran bukaan tajuk pada hutan akan meningkatkan keanekaragaman spesies dan peningkatan jumlah individu, selain itu juga akan mengakibatkan kehadiran spesies yang menyukai daerah terbuka dan tepi. Tingginya famili Nectariniidae yang tertangkap berkaitan dengan hadirnya daerah perkebunan yang bersebelahan dengan hutan. Adanya perkebunan di sekitar hutan mampu menyediakan makanan yang melimpah bagi famili ini. Anggota famili Nectariniidae seringkali teramati terbang mengunjungi daerah perkebunan.

Rendahnya individu famili Dicaeidae yang tertangkap berkaitan dengan kebiasaan anggota famili ini yang menggunakan tajuk tengah dan atas hutan sekunder sebagai tempat mencari makan. Semua anggota famili ini tertangkap pada shelf teratas jaring kabut. Selain itu waktu penangkapan burung yang terjadi pada siang hari menunjukkan bahwa famili ini pada siang hari menggunakan strata hutan yang rendah untuk menghindari panas matahari. Selain itu makanan utama famili ini yang berupa nektar, menyebabkan mereka sangat jarang turun hingga ke bagian bawah tajuk.

5.2.14. Keanekaragaman Guild di Hutan Sekunder

Komposisi burung anggota kategori IN dan IF merupakan burung-burung yang sangat umum di daerah perkebunan (misal: Pycnonotus simplex dan

Dicaeum trigonostigma), hutan sekunder (misal: Pycnonotus erythropthalmus dan P. melanicterus) dan burung generalis (misal: Arachnothera longirostra).

Burung-burung yang merupakan penghuni areal perkebunan umumnya memanfaatkan bukaan-bukaan hutan (forest gap) yang kaya akan serangga sebagai tempat mencari makan.

Sedikitnya jumlah guild AF yang tertangkap berkaitan dengan perilaku burung ini yang lebih sering mengeksploitasi tajuk menengah ke atas di bandingkan tajuk bawah. Pada bagian tajuk menengah ke atas lebih banyak

(39)

tersedia makanan berupa buah-buahan yang diperlukan. Akibatnya burung-burung tersebut sangat jarang turun ke bagian bawah tajuk. Hal serupa juga dilaporkan oleh Novarino et al. (2002) pada penelitiannya di hutan sekunder Sipisang, Sumatera Barat.

Kasus yang berbeda terjadi pada guild TF yang memanfaatkan buah-buahan yang berserakan di lantai hutan sebagai makanan. Meskipun burung ini menggunakan daerah di bawah tajuk sebagai tempat mencari makan, bobot dan ukurannya yang besar mengakibatkan kelompok ini dengan mudah melepaskan diri dari jaring kabut karena bobot. Faktor lain yang juga berpengaruh pada rendahnya jumlah TF yang tertangkap adalah kelimpahannya yang rendah secara alami (Novarino 2008; Wong 1986).

Selain itu kategori TF umumnya tertangkap pada jaring kabut yang dioperasikan berdekatan dengan sungai. Pada musim kemarau guild TF penyebaran burung ini sangat terbatas pada daerah-daerah yang memiliki aliran sungai. Oleh karena itu burung ini sangat jarang tertangkap pada plot-plot yang terletak jauh dari sungai.

5.2.15. Keanekaragaman Spesies dan Famili Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Sekunder

Tingginya jumlah Nectariniidae yang tertangkap di hutan sekunder berkaitan dengan kehadiran areal perkebunan yang berdampingan dengan hutan. Kondisi ini mengakibatkan melimpahnya pakan berupa nektar yang tersedia di areal perkebunan. Kondisi tersebut dapat terlihat dari melimpahnya Nectariniidae pada seluruh jarak dari tepi.

Waktu penelitian yang dilakukan bertepatan dengan akhir musim penghujan dan awal musim berbunga tumbuhan hutan juga merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan melimpahnya famili Nectariniidae di hutan sekunder. Pada penelitian yang dilakukan oleh Novarino (2008) di Sipisang diperoleh fakta bahwa terdapat peningkatan jumlah individu spesies pemakan nektar di akhir mudim penghujan. Tingginya jumlah Nectariniidae yang tertangkap di hutan sekunder juga dilaporkan pada penelitian lain baik di Sumatera (Novarino 2008) dan Jawa (Sodhi et al. 2005b). Fakta ini juga berkaitan dengan penyebaran famili

(40)

Nectariniidae yang luas dan umum pada banyak tipe habitat (MacKinnon et al. 1997).

Pada tingkat spesies, kehadiran areal perkebunan juga menyediakan pakan yang melimpah bagi pijantung kecil Arachnothera longirostra yang mengakibatkan spesies ini sangat melimpah pada seluruh jarak dari tepi. Kondisi daerah tepi yang tidak terlalu jauh berbeda dan merupakan pertemuan dua buah sumberdaya pakan mengakibatkan peningkatan kelimpahan spesies di lokasi tersebut. Ries et al. (2004), menyatakan bahwa pada daerah yang merupakan pertemuan dua buah habitat memiliki kemungkinan terjadinya peningkatan kelimpahan spesies dan individu pada lokasi yang menjadi pertemuan atau juga tidak terjadi peningkatan maupun penurunan kelimpahan.

Penurunan jumlah individu famili Timaliidae yang tertangkap pada jarak 0m dari daerah tepi memberi dugaan hadirnya efek tepi pada hutan sekunder. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian yang dilakukan Dale et al. (2000) di Uganda. Pada penelitian tersebut Dale et al. (2000) melaporkan adanya penurunan jumlah individu burung di daerah tepi. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa efek tepi juga sangat mungkin terjadi pada hutan sekunder. Sebelumnya efek tepi diyakini hanya terjadi pada hutan primer saja.

5.2.16.Keanekaragaman Guild Berdasarkan Jarak dari Tepi di Hutan Sekunder

Dari seluruh kategori guild, kategori pemakan serangga dan nektar (IN) dan pemakan serangga sambil melayang (FCI) mengalami peningkatan seiring bertambahnya jarak dari tepi. Berkurangnya jumlah kategori IN yang tertangkap pada daerah yang berdekatan dengan perkebunan merupakan sebuah fenomena yang masih belum dipahami. Pada kondisi normal kategori ini akan berkumpul pada daerah dimana sumberdaya makanan berupa nektar dan serangga melimpah (Novarino 2008). Kategori FCI tersusun dari spesies yang merupakan penghuni hutan sekunder, beberapa di antaranya merupakan spesies yang tidak terlalu adaptif terhadap perubahan habitat seperti Hypotimis azurea dan Harpactes

diardii. Spesies-spesies tersebut lebih cenderung untuk menghindar dari habitat

(41)

Peningkatan jumlah inividu TFGI di daerah tepi dapat terjadi karena di hutan sekunder kategori guild ini disusun oleh spesies-spesies yang sangat adaptif terhadap perubahan habitat yaitu Trichastoma rostratum, Stachyris erythroptera,

Macronous gularis dan Cacomantis sonneratii. Ketiga spesies ini juga

memanfaatkan areal perkebunan sebagai habitat mencari makan.

5.2.17. Perbandingan Hutan Primer dan Sekunder 5.2.17.1. Keanekaragaman Famili dan Spesies

Tingkat kekayaan dan keanekaragaman spesies di hutan sekunder lebih rendah dibandingkan dengan hutan primer. Namun demikian hutan sekunder memiliki tingkat dominansi yang tinggi. Hal ini dapat disebabkan penurunan jumlah spesies anggota suatu famili di hutan sekunder mengalami kompensasi berupa peningkatan jumlah individu (misal Timaliidae dan Pycnonotidae). Akibatnya pada hutan sekunder terjadi dominansi beberapa spesies yang umumnya adaptif terhadap daerah terbuka.

Jumlah famili yang tertangkap di hutan primer dan hutan sekunder secara statistik tidak berbeda nyata (χ2=0,142; df=1; P=0,71). Di antara 17 famili yang tertangkap terdapat 2 famili yang mengalami penurunan jumlah individu pada hutan sekunder yaitu Picidae dan Timaliidae (Lampiran 9). Penurunan jumlah individu Picidae yang tertangkap berkaitan dengan perilaku famili ini yang mencari makan pada batang dan pohon. Kepadatan pohon di hutan sekunder yang lebih rendah dibandingkan hutan primer mengakibatkan burung-burung familii Picidae kesulitan untuk mencari makanan berupa serangga. Penurunan kepadatan populasi famili Picidae pada hutan sekunder juga dilaporkan oleh Lammertink (2004) pada penelitiannya di hutan dataran rendah Kalimantan yang terdegradasi. Lambert & Collar (2002) juga telah mengidentifikasi beberapa anggota famili Picidae sebagai spesies yang rawan terhadap fragmentasi dan pembalakan.

Penurunan jumlah famili Timaliidae (spesies dan individu) di hutan sekunder diduga berkaitan dengan rendahnya bukaan tajuk dan tutupan tajuk di hutan sekunder. Sebagian besar anggota famili Timaliidae memanfaatkan daerah tajuk sebagai habitat mencari makan. Tutupan tajuk yang rendah dan bukaan yang tinggi akan menyulitkan burung ini dalam mencari makan. Beberapa spesies

(42)

anggota Timaliidae yang sensitif terhadap fragmentasi hutan dan pembalakan menghilang dari hutan sekunder. Namun spesies-spesies yang adaptif terhadap fragmentasi dan pembalakan meningkat jumlahnya seperti Macronous gularis. Penurunan jumlah famili Timaliidae pada hutan sekunder juga dilaporkan oleh Wong (1986) pada penelitiannya di hutan dipterokarpa Malaysia.

Dari seluruh famili yang tertangkap Phasianidae dan Platyseiridae hanya dijumpai di hutan primer, sedangkan Columbidae, Sylviidae, Eurylaimidae, Monarchidae dan Dicaeidae hanya tertangkap di hutan sekunder (Gambar 33). Secara keseluruhan terdapat asosiasi antara tipe hutan dengan famili burung yang hidup di dalamnya (χ2=56,42; df=16; P=0,00).

Gambar 33 Proporsi jumlah famili di hutan primer dan sekunder.

Keterangan:

Phas:Phasianidae, Colu:Columbidae, Cucu:Cuculidae, Trog:Trogonidae, Alc:Alcedidnidae, Pic:Picidae, Eur:Eurylaimidae, Pitt:Pittidae, Pyc:Pycnonotidae, Tur:Turdidae, Tim:Timaliidae, Syl:Sylviidae, Plat:Platysteiridae, Mona:Monarchidae, Dic:Dicaeidae, Nec:Nectariniidae, Dica:Dicaeidae, Dicr:Dicruridae

Jumlah spesies yang tertangkap pada hutan primer tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan hutan sekunder (χ2=0,016; df=1; P=0,899). Fakta ini menunjukkan bahwa hutan sekunder memiliki nilai penting yang sama penting dengan hutan primer dalam pelestarian keanekaragaman spesies burung. Hasil ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Waltert (2004) di Sulawesi dan Newmark (2006) di Tanzania pada komunitas burung di hutan primer dan sekunder. Komunitas burung yang tertangkap di hutan primer di dominasi oleh burung yang menyukai daerah tengah hutan dan daerah tepi. Adapun komunitas

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Ph as Co lu Cuc u Tr og Alc Pic Eur Pitt Pyc Tur Tim Sy l Pl at Mo na Dic Nec Dic Pe rse n Famili

(43)

burung yang tertangkap di hutan sekunder merupakan perpaduan antara spesies yang menghuni daerah tengah hutan, burung daerah tepi dan burung daerah terbuka (Novarino et al. 2002).

Secara keseluruhan keanekaragaman spesies (H’) dan kemerataan spesies (E) di hutan primer lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder. Pada hutan sekunder memiliki nilai kemerataan spesies yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan primer. Kehadiran areal perkebunan di tepi hutan sekunder mengakibatkan peningkatan populasi spesies-spesies yang menyukai daerah terbuka.

Jika dilakukan perbandingan berdasarkan jumlah individu, hutan sekunder memiliki jumlah individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer (χ2 =26,83; df=1; P=0,00). Tingginya individu yang tertangkap di hutan sekunder dapat dimungkinkan karena adanya penambahan individu yang berasal dari famili Sylviidae, Eurylaimidae dan Dicaeidae yang menyukai daerah terbuka. Lokasi hutan sekunder yang berdekatan dengan perkebunan mengakibatkan penambahan individu dan spesies yang berasal dari kebun (Novarino et al. 2002). Kondisi hutan yang terbuka juga mengkibatkan hadirnya spesies-spesies yang menyukai daerah terbuka (Germaine et al. 1997).

Pada hutan primer secara umum memiliki jumlah individu yang lebih merata dibandingkan pada hutan sekunder. Pada tipe hutan ini hanya dua spesies yang memiliki kelimpahan tinggi yaitu burung pijantung kecil Arachnothera

longirostra (21,74%) dan burung udang punggung-merah Ceyx rufidorsa (8,70%)

(Lampiran 3).

Pada hutan sekunder burung pijantung kecil Arachnothera longirostra, cinenen merah Orthotomus sericeus dan burung udang punggung-merah Ceyx

rufidorsa mendominasi dengan jumlah masing-masing 25,95%, 11,89% dan

7,57%. Hasil tersebut tidak berbeda dengan hasil yang diperoleh Novarino et al. (2002) pada penelitiannya di Sipisang Sumatera Barat. Meskipun demikian pada penelitian tersebut cinenen merah bukan termasuk spesies dengan jumlah yang melimpah.

Gambar

Gambar 5 Nilai bukaan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan  pengukuran dengan menggunakan canopy scope
Gambar 6 Nilai tutupan tajuk di hutan primer dan sekunder berdasarkan jarak dari   tepi
Gambar 7 Famili burung di lokasi penelitian berdasarkan jumlah individu dan  spesies.
Gambar 9  Jumlah individu artropoda pada setiap jarak  dari tepi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tocilizumab adalah yang pertama dikelas pengobatan RA dengan menargetkan reseptor interleukin-6 (IL-6) yang merupakan zat kimia dalam tubuh yang menyebabkan rasa

Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya suatu proyek. Potensi setiap sumber daya manusia yang ada dalam proyek seharusnya

Berangkat dari hal-hal yang harus diperhatikan pada readiness assesment untuk organizational change, para peneliti mencoba membuat pendekatan untuk readiness assesment dalam

penyeberangan dari Pulau Bengkalis ke Pulau Sumatera, pengguna jasa penyeberangan ini khususnya penyeberang yang menggunakan kendaran roda empat atau lebih hal ini di

hubungan antara umur dengan gangguan fungsi paru ini dapat disebabkan oleh variabel lain yang berpengaruh secara langsung, antara lain jenis pekerjaan, dimana jenis

Batasan wilayah yang menjadi tempat penelitian adalah wilayah tanah pilih Pusako Betuah kota Jambi, karena wilayah inilah yang banyak terjadi perubahan didalam norma adat

(6) Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan lulusan S1 kependidikan dan S1/D4

Pada tahapan ini adalah tahap permulaan untuk membangun dan mengembangkan aplikasi sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Bagian ini merupakan kegiatan tentang