• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONFORMITAS DAN PENCAPAIAN IDENTITAS DIRI REMAJA. tujuan kurikulum menekankan pada penyiapan peserta didik (SMA) untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONFORMITAS DAN PENCAPAIAN IDENTITAS DIRI REMAJA. tujuan kurikulum menekankan pada penyiapan peserta didik (SMA) untuk"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONFORMITAS DAN PENCAPAIAN IDENTITAS DIRI REMAJA

A. Bimbingan dan Konseling bagi Remaja

Tujuan pendidikan menengah sering kali dibiaskan oleh pandangan umum yaitu demi mutu keberhasilan akademis, seperti tingginnya nilai ujian nasional atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Secara sekilas tujuan kurikulum menekankan pada penyiapan peserta didik (SMA) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau penyiapan peserta didik (SMK) agar sanggup memasuuki dunia kerja. Pada akhirnya tujuan ini akan lebih banyak memperhatikan sisi materi pelajaran (akademis) saja. Akibatnya, proses pendidikan di jenjang sekolah menengah akan kehilangan sisi lain pengembangan potensi siswa yaitu dalam proses pembentukan pribadi. Dengan demikian pembentukan pribadi, pengasahan nila-nilai kehidupan dan pemeliharaan kepribadian menjadi terabaikan. Situasi diperparah dengan kondisi layanan bimbingan dan konseling yang belum maksimal disekolah. Padahal sesungguhnya bimbingan dan konseling di sekolah merupakan bagian paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi. Bimbingan dan konseling disekolah pada hakikatnya difungsikan dalam beberapa hal, diantaranya ; upaya membantu siswa mengembangkan kemampuan akademiknya, mengenal dan memahami diri seta lingkungannya,

(2)

menentukan cita-cita dan tujuan hidupnya serta menyusun rencana masa depan. Siswa Sekolah Menegah Atas berada pada masa yang kritis dalam melewati masa remajanya. Banyaknya tuntutan baik dari dalam dirinya maupu lingkungan seringkali membuatnya bingung, dengan demikian bimbingan dan konseling sangat berperan dalam upaya membimbing remaja untuk melewati fase remajanya dengan baik.

Sesungguhnya pencapaian apa yang diraih pada masa remaja ? Masa remaja dipandang sebagai periode perkembangan yang menentukan, karena didalamnya terdapat proses transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa ini remaja memiliki tuntutan untuk membentuk identitas diri yang dewasa yang ditandai dengan adanya eksplorasi dan komitmen dalam menyikapi berbagai masalah dan pembuatan keputusan dalam kehidupan.

Dalam upaya eksplorasi ini, remaja akan cenderung bertindak berdasarkan pada stimulus eksternalnya, dalam hal ini pengaruh lingkungan atau kelompok memegang peranan yang cukup besar. Salah satu cara remaja untuk dapat mengeksplorasi diri melalui lingkungannya adalah dengan melakukan konformitas terhadap kelompok teman sebaya. Remaja berusaha menyesuaikan sikap, pandangan dan tingkah lakunya dengan aturan-aturan yang ada dalam kelompok. Melalui lingkungan teman sebaya ini sesungguhnya remaja belajar untuk mengidentifikasi dirinya melalui orang

(3)

lain, memahami adanya aturan dan norma dalam kelompok begitu pula dalam masyarakat secara luas. Namun sikap conform ini,membuat remaja terkadang menekan pendapat dan keinginannya agar tetap mendapat dukungan dari kelompok teman sebayanya.

Konformitas dijadikan salah satu alternatif bagi remaja ketika dihadapkan pada situasi yang membuatnya bingung dan hal inilah yang sama sekali tidak diharapkan. Pada kondisi inilah peranan bimbingan dan konseling disekolah diperlukan dalam memfasilitasi perkembangan remaja. Remaja perlu dibimbing untuk dapat membuat keputusannya dengan mandiri dengan mempertimbangkan berbagai potensi yang ada dalam dirinya. Maka sejak awal mereka perlu memperoleh bimbingan dalam menapaki setiap proses pembentukan identitas dirinya. Membimbing mereka untuk selalu bertindak cerdas dalam mengatasi masalah, selalu memiliki motifasi untuk berprestasi (need for achievement), aktualisasi diri, dan mengembangkan konsep diri yang positif.

Seorang tenaga ahli bimbingan dan konseling (konselor) perlu memahami kompleksitas interaksi remaja dengan lingkungannya. Hal ini diperlukan untuk dapat mengidentifikasi berbagai permasalahan psikososial yang muncul pada remaja.

(4)

B. Konsep Dasar Remaja dan Teman Sebaya 1. Pengertian Masa Remaja

Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti De Brun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).

Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.

Papalia & Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan

(5)

dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).

Yang dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001). Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan Olds, 2001).

Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001), yaitu: (1) perkembangan fisik, (2) perkembangan kognitif, dan (3) perkembangan kepribadian dan sosial.

(6)

2. Kelompok Teman Sebaya

Dalam kehidupan sehari-hari remaja hidup dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Selain itu remaja juga tumbuh dan berinteraksi dalam dua dunia sosial yaitu dunia orang dewasa dan dunia teman sebaya (peer-group). Dalam kedua dunia sosial ini remaja mempelajari bahwa dunia orang dewasa memiliki status yang lebih tinggi dari pada kelompok sebayanya dan kondisi ini menimbulkan ketidak nyamanan dalam diri remaja seperti selalu dianggap anak kecil padahal remaja menuntut untuk dianggap sebagai pribadi yang mandiri. Hal in menjadi salah satu penyebab remaja lebih mengurangi interaksinya dalam lingkungan orang dewasa dan cenderung lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman sebaya sehingga pada masa remaja ini pengaruh teman sebaya dirasa sangat besar dalam kehidupan remaja dan pengaruh keluarga semakin kecil.

Hal ini juga sejalan pernyataan bahwa perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).

(7)

Dalam kehidupan sosial tidak setiap himpunan orang disebut kelompok. Kelompok memiliki tujuan dan organisasi (tidak selalu formal) dan melibatkan interaksi diantara anggota-anggotanya. Jadi dengan kata lain kelompok mempunyai dua tanda psikologis. Pertama, anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok (sense of belonging) yang tidak dimiliki orang yang bukan anggota. Kedua, nasib anggota-anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain (Baron dan Byrne, 1979:558).

Sementara yang disebut dengan teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Menurut Connel (1972) kelompok teman sebaya (peer friendship group) merupakan kelompok anak-anak atau pemuda-pemuda yang berumur sama atau berasosiasi sama dan memiliki kepentingan umum tertentu seperti persoalan anak-anak umur sekolah sampai dengan remaja.

Kelompok teman sebaya memberikan tempat bagi remaja untuk

mengembangkan keterampilan sosialnya. Membantunya memahami

lingkungan dan bagaimana cara untuk menjadi bagian dari kelompok juga memahami adanya atuan dan nilai-nilai yang harus dipatuhi dalamkelompok. Kelompok sebaya juga memenuhi kebutuhan remaja untuk menerima penghargaan, yaitu merasakan dirinya dihargai dan menjadi bagian dari kelompok, dengan demikian remaja dapat merasakan adanya kebersamaan

(8)

atau kekompakan dan penerimaan sebagai anggota dari kelompok sosial yang diinginkannya.

Inggersoll (1988) mengemukakan bahwa teman sebaya berperan dalam empat area perkembangan remaja, yaitu : 1) remaja mempelajari cara berinteraksi dengan orang lain dari teman sebaya; 2) Teman sebaya dapat membantu remaja dalam mengenal dan memahami standar moral serta sistem nilai yang berlaku di lingkungan ; 3) teman sebaya dapat memberikan dukungan emosional pada remaja terutama ketika mereka mengalami stress berhubungan dengan keluarga; 4) teman sebaya dapat berfungsi sebagai penasihat dan pemicu setiap tindakan yang diambil remaja.

Sebagai kelompok sosial, kelompok sebaya memiliki banyak fungsi bagi remaja, yaitu : kelompok sebaya mengajarkan kebudayaan, mengajarkan adanya mobilitas sosial, membatu remaja menemukan peran sosialnya, memberikan informasi tentang hubungan sosial, mengajarkan kebersamaan dan kerjasama dalam sebuah kelompok sosial, mengajarkan moral orang dewasa, dan dalam kelompok sebaya remaja mencapai kebebasan sendiri, yaitu kebebasan untuk berpendapat, bertindak atau menemukan identitas dirinya (Santosa,2004:79-80).

Bersama kelompok sebaya remaja merasakan hubungan yang erat karena adanya rasa kesamaan nasib atau kondisi yang dialami dalam menghadapi masa remaja. Karena ini pula remaja merasa lebih nyaman untuk

(9)

menghabiskan banyak waktunya dengan teman sebaya, untuk saling berbagi cerita, atau bahkan berbagi rahasia yng tidak dapat bilakukan jika bersama orang dewasa. Teman sebaya juga membatu remaja untuk menemukan dunianya yang berbeda dengan orang dewasa. Menemukan orang-orang yang membuatnya merasa nyaman dengan adanya berbagi kesamaan seperti hobby, kegiatan rekreasi atau hal-hal lain yang dianggap populer oleh remaja.

C. Konsep Dasar Konfromitas 1. Pengertian konformitas

Myers (1999:203) mengemukakan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku sebagai akibat dari tekanan kelompok. Ini terlihat dari kecenderungan remaja untuk selalu menyamakan perilakunya dengan kelompok acuan sehingga dapat terhindar dari celaan maupun keterasingan. Sementara menurut Baron dan Byrne (1994: 206) konformitas remaja adalah penyesuaian perilaku remaja untuk menganut pada norma kelompok acuan,menerima ide atau aturan-aturan yang menunjukkan bagaimana remaja berperilaku.

Dari kedua definisi yang diungkapkan, terlihat kesamaan yang dimaksud dalam konformitas yaitu konformitas terjadi karena adanya kecenderungan untuk menyamakan atau menyesuaikan perilaku dengan kelompok acuan. Kelompok acuan yang dimaksud adalah kelompok teman sebaya yaitu

(10)

sekumpulan atau beberapa individu sebaya (seusia) yang memiliki hubungan dan interaksi yang erat serta saling terikat dan bergantung satu sama lain dalam mencapai tujuan bersama. Myers juga menyatakan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku atau kepercayaan individu sebagai akibat dari adanya tekanan kelompok secara nyata maupun tidak nyata (hanya bayangan).

Konformitas pada teman sebaya muncul pada masa remaja awal yaitu antara 13 tahun sampai16 atau 17 tahun, yang ditunjukkan dengan cara menyamakan diri dengan teman sebaya dalam hal berpakaian, bergaya, berperilaku, berkegiatan dan sebagainya. Sebagian remaja beranggapan bila mereka berpakaian atau menggunakan aksesoris yang sama dengan yang sedang diminati kelompok acuan, maka timbul rasa percaya diri dan kesempatan diterima kelompok lebih besar. Oleh karena itu remaja cenderung menghindari penolakan dari teman sebaya dengan bersikap konform atau sama dengan teman sebaya.

Dari uraian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konformitas merupakan perubahan perilaku remaja untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok acuan baik ada maupun tidak ada tekanan secara langsung yang berupa suatu tuntutan tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya namun memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada remaja anggota kelompok tersebut.

(11)

Adapun aspek-aspek konformitas yang digunakan diungkapkan oleh Myers (1999), yaitu meliputi :

1) Aspek pengetahuan, yaitu informasi yang dimiliki individu tentang anggota kelompok, aktivitas kelompok, tujuan kelompok, norma dan aturan yang ada dalam kelompok.

2) Aspek Pendapat, yaitu suatu kepercayaan individu tentang anggota kelompok, aktivitas kelompok, tujuan kelompok, serta tentang norma dan aturan yang belum terbukti kebenarannya.

3) Aspek Keyakinan, yaitu anggapan individu terhadap kelompok diangap benar sehingga menerima perlakuan kelompok, bersedia mematuhi perlakuan kelompok serta bersedia mematuhi norma dan aturan kelompok.

4) Aspek ketertarikan (perasaan senang), yaitu ketertarikan individu terhadap anggota kelompoknya, aktivitas kelompok, serta ketertarikan terhadap aturan dan norma kelompok.

5) Aspek Kecenderungan berinteraksi, yaitu kecenderungan individu untuk berinteraksi antar anggota kelompok dengan menghabiskan waktu untuk berinteraksi dengan anggota kelompok, kecenderungan untuk menyesuaikan perilaku individu dengan perilaku kelompok dan kecenderungan untuk menjalin kerjasama antar anggota kelompok.

(12)

2. Situasi yang Menimbulkan Konformitas

Ada beberapa situasi yang mendorong remaja untuk melakukan konformitas terhadap kelompoknya yaitu :

a. Informational influence (pengaruh informasi)

Bagi remaja kelompok merupakan acuan atau dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Kelompok dapat memberikan penilaian terhadap hal-hal yang dianggap benar oleh remaja dan kelompok juga memberikan informasi tentang apa yang diharapkan lingkungan sosial terhadapnya.

b. Normative sosial influence, yaitu keinginan individu untuk dapat diterima sebagai bagian dari kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari kedua alasan ini sering terjadi secara bersama-sama sehingga perilaku conform yang dimunculkan remaja bukan semata-mata karena keinginan untuk diteriama dalam suatu kelompok saja namun juga karena keinginan untuk berperilaku benar seperti yang dilakukan orang lain dalam kelompoknya (Myers,2002).

c. Wish to avoid punishment (menghindari hukuman)

Melakukan konformitas dalam kelompok, bagi remaja dapat berarti menghindari hukuman seperti penolakan atau ejekan. Tujuan remaja melakukan konformitas adalah sebagai salah satu cara untuk memenuhi keinginannya agar dapat diterima menjadi bagian dari kelompok. Remaja

(13)

sangat menghawatirkan pencitraan sosialnya sehingga melakukan penyesuaian dapat membatu membentuk pencitraan dirinya dalam lingkungan sosial.

d. Groups creat barriers to independent behavior (kelompok menciptakan hambatan untuk berperilaku independen)

Situasi indivudu dalam kelompok yang membuatnya melakukan konformitas atau penyesuaian adalah adanya situasi kelompok yang menciptakan hambatan bagi individu untuk berperilaku independen, seperti:

1) Menimbulkan situasi yang memungkinkan adanya resiko penolakan dari anggota kelompok lainnya jika individu tidak menyesuikan dirinya dengan perilaku kelompok.

2) Tidak dibuatnya alternatif lain dan pada akhirnya memaksa individu untuk conform.

3) Memunculkan situasi adanya kekhawatiran independensi dapat mempengaruhi tercapainya tujuan kelompok.

4) Membatasi komunikasi sehingga dapat menutup terjadinya perlawanan kelompok (non-konformitas).

5) Individu dalam kelompok tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap pencapaian tujuan kelompok sehingga merasa tindakan

(14)

independensinya dapat menjadi penghalang tercapainya tujuan kelompok.

6) Menciptakan rasa ketidakberdayaan pada anggota kelompok. jika individu dalm kelompok memiliki rasa ketidakberdayaan maka ia tidak akan memiliki keberanian untuk mencoba menciptakan sesuatu yang baru dalam kelompok dan hanya memilih untuk conform.

Situasi-situasi yang diciptakan kelompok juga dapat berbalik menyerang kelompok jika individu dalam kelompok tetap bertahan untuk mempertahankan independensinya yaitu timbulnya penolakan terhadap tekanan sosial (anti konformitas) yaitu dimana individu bereaksi menolak terhadap harapan kelompok dan kemidian dengan sengaja menjauhi dari tindakan atau kepercayaan kelompok. Situasi ini terjadi ketika tekanan sosial atau tekanan kelompok menjadi sangat jelas dan mengancam kebebasan inividu, maka akan timbul pemberontakan/ penolakan sosial sebagai reaksi. Atau ketika muncul keadaan individu yang menyadari adanya keunikan dalam diri sehingga timbul ketidak nyamanan ketika harus berpenampilan dan berperilaku seperti orang lain. Ketika keunikan individu tidak diakui oleh lingkungan sosialnya maka akan timbul kecenderungan untuk menyatakan keunikan mereka dengan melakukan ketidak sesuaian (anti-konformitas) terhadap tuntutan kelompoknya.

(15)

Reaksi penolakan untuk menyesuaikan dengan kelompok (anti-konformitas) merupakan masalah serius bagi anggota kelompok lainnys. Hal dianggap dapat mempengaruhi terhadap tujuan kelompok. jika dibiarkan berlanjut non-konformitas dapat mengganggu stabilitas kelompok atau bahkan dapat menyebabkan keruntuhan kelompok.

3. Jenis-jenis Konfomitas

Ada tiga jenis perilaku konformitas yang dilakukan individu dalam kelompok, yaitu :

a. Kepatuhan (compliance). Publik berperilaku sesuai dengan tekanan sosial walaupun diri pribadi sesungguhnya tidak menginginkannya. Perilaku ini lebih menggambarkan pada perilaku individu yang termotivasi untuk dapat menghindari hukuman dan diterima dalam kelompok.

b. Identifikasi (identification). Sama halnya dengan kepatuhan, kita tidak begitu saja menyesuaikan diri terhadap sesuatu melainkan karena adanya imbalan. individu mengadopsi suatu perilaku karena menempatkannya pada suatu hubungan yang baik terhadap orang-orang yng diidentifikasi. c. (internalization/ acceptance)

Bertindak dan meyakini tekanan sosial yang ada. Jika orang yang memberikan pengaruh dianggap dapat dipercaya dan memiliki penilaian

(16)

yang baik maka indvidu akan menerima dan meyakini serta mengintegrasikannya kedalam system kepercayaannya.

Perbandingan dari ketiga jenis konformitas :

1) Compliance. Penyesuaian untuk menghindari hukuman dan

memperoleh imbalan. Komponen pentingnya tergantung pada kekuatan hukuman/imbalan yang diberikan.

2) Identification. Dalam identifikasi tidak membutuhkan hukuman atau imbalan. Karena penyesuaian dilakukan atas dasar keinginannya untuk menjadi orang yang diidentifikasinya. Keinginan untuk identifikasi ini dapat hilang jika individu memiliki keinginan untuk berubah menjadi lebih baik dengan dirinya sendiri. Komponen terpentingnya terletak pada daya tarik orang/kelompok yang di identifikasi.

3) Internalization. Sedangkan internalisasi ini merupakan respon penyesuain yang paling permanen karena motivasi penyesuaian bukan karena adanya hukuman/imbalan (compliance) atau karena ingin terlihat seperti seseorang (identifikasi) tetapi terletak pada keinginan individu untuk meyakini dan mempertahankan keyakinan diri teserbut. Komponen terpentingnya terletak pada kredibilitas orang/kelompok yang memberikan informasi.

(17)

4. Konformitas terhadap Teman Sebaya

Bagi banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalan kehidupan mereka, sehingga remaja akan melakukan apapun agar dapat diterima dalam lingkungan sosialnya, khususnya lingkungan kelompok sebayanya. Untuk mereka, dikucilkan oleh lingkungan sosial berarti stress, frustasi dan kesedihan. Dorongan–dorongan inilah yang mendasari remaja untuk berperilaku conform terhadap kelompok teman sebaya.

Konformitas muncul ketika individu meniru sikap/ tingkah laku orang lain karena adanya tekanan yang nyata maupun yang di bayangkan oleh mereka, dan tekanan untuk mengikuti teman sebaya menjadi kuat pada masa remaja. Konformitas terhadap tekanan teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negatif (Camarena,1991; Foster,Clark & Blyth,1991; Pearl, Bryan & Herzog,1990; Wall, 1993). Untuk nilai-nilai sosial dan moral yang dipegang teguh oleh sistem sosial, konformitas diperlukan. Kelompok sebaya dapat menjadi miniatur lingkungan masyarakat yang besar, dimana remaja belajar untuk dapat menemukan perannya dalam lingkungan sosial serta dapat mempelajari nilai-nilai sosial yang harus diikuti dalam sebuah kelompok. konformitas sangat penting sebagi upaya individu untuk dapat diterima dalam lingkungan sosial , tetapi untuk perkembangan pemikiran, untuk menghasilkan hal-hal baru dan kreatif konformitas dapat merugikan.

(18)

Dalam kelompok teman sebaya remaja belajar untuk menjadi individu yang cerdas dalam menyikapi lingkungan sosialnya, karena remaja akan lebih banyak memperoleh pelajaran dari rekan rekan sebaya dibandingkan orang dewasa yang dirasakan terlalu banyak mengatur dan memaksa. Salah satu fungsi teman sebaya adalah menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Remaja belajar apakah apa yang mereka lakukan lebih baik, sama baik atau bahkan lebih buruk dari apa yang dilakukan remaja lain.

Sementara hampir semua remaja melakukan konformitas terhadap kelompok teman sebayanya, beberapa remaja ada juga yang anti-konformitas. Anti konformitas muncul ketika individu bereaksi menolak terhadap harapan kelompok dan kemudian dengan sengaja menjauh dari tindakan atau kepercayaan yang dianut kelompok (Santrock, 2003: 223).

Kesimpulannya, tekanan teman sebaya merupakan ide yang umum dalam kehiupan seorang remaja. Kekuatannya dapat diamati pada hampir tiap sisi kehidupan remaja, seperti pilihan-pilihan mereka atas gaya berpakaian, music yang didengar, cara berbicara dan bahasa, nilai-nilai, aktivitas liburan dan lainnya. Orang tua, guru dan orang dewasa lainnya dapat membantu remaja menhadapi tekanan teman sebaya (Brown, 1990; Clasen & Brown,1987). Para remaja membutuhkan kesempatan untuk berbicara dengan

(19)

teman sebaya dan orang dewasa tentang dunia sosial mereka dan tekanan-tekanan yang ada. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja kadang membawa rasa tidak aman. Para remaja sangat mudah terganggu karena rasa tidak aman tersebut dan banyaknya perubahan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Untuk mengatasi tekanan ini, remaja perlu mengalami kesempatan untuk sukses, baik di dalam maupun di luar sekolah, yang meningkatkan rasa kepemilikan atas kontrol dirinya sendiri. Remaja mempelajari bahwa dunia sosial dapat dikontrol. Orang lain mungkin berusaha untuk mengontrolnya, tapi para remaja ini dapat memunculkan control pribadi atas tindakan mereka dan pengaruh orang lain (Bandura,1989,1991).

D. Konsep Dasar Identitas Diri

1. Pengertian Identitas

Identitas diri didefinisikan sebagai pemahaman yang menyeluruh mengenai gambaran diri sendiri dan dalam posisinya di dalam konteks sosial (Marcia dalam Bosma, 1994). Identitas diri merupakan suatu bentuk pengkonseptualisasian diri atau suatu gambaran tentang bagaimana individu memandang, mempersepsi, atau menilai dirinya (Steinberg, 2002), atau pandangan individu terhadap diri mereka (Marcia, 1980) beberapa penulis lain

(20)

seperti Papalia & Olds (1995) dan Steinberg (2002) menyepadankan identitas dengan suatu bentuk pendefinisian diri (self-definition).

Adam dan Gullota, 1983 (Dalam Desmita, 2005:211) menggambarkan tentang identitas sebagai berikut : “ identity is complex psychological phenomenon. It might be thought of as the person in personality. It includes our own interpretation of early childhood identification with important individual in our lives. It includes a sense of identity integrates sex-role identification, individual ideologi, accepted group norms and standards, and much more”.

Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa identitas diri adalah sebuah fenomena psikologi yang kompleks. Dimana hal itu adalah sebuah cara pemikiran seseorang dalam kepribadiannya. Termasuk didalamnya identifikasi dengan indifidu yang dianggap penting dalam kehidupan mulai dari awal masa kanak-kanak. Dan termasuk identifikasi peran gender, ideologi, penerimaan norma kelompok, dan lain sebagainya.

Lopez (dalam Brown & Lent, 1992), menyatakan bahwa konstruk identitas mewakili suatu konsolidasi dan eksposisi aspek-aspek diri yang telah memperoleh suatu otonomi melalui proses individuasi. Konstruk individuasi itu sendiri, menunjuk pada dialektika sosial dan relasional yang membentuk formasi dan refisi. Lopez (Brown & Lent, 1992) dan beberapa penulis lain

(21)

seperti Papalia & Olds (1995) dan Steinberg (2002) menyepadankan identitas dengan suatu bentuk pendefinisian diri (self-definition atau self determination). Dalam bentuknya yang sederhana identitas merupakan jawaban terhadap beberapa pertanyaan jati diri seperti “Who am I ?”, “Who will I become”, “What do I really want out of life ?”, “What things are important to me ?”, “What kind of person would I really to be ?” (Steinberg, 2002: 257).

Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 1996) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja: 1) terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan 2) tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

Erikson percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada

(22)

mereka, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Marcia mendefinisikan konstruk identitas dari Erikson dalam arti eksplorasi dan komitmen terhadap elemen-elemen diri (nilai, tujuan, keyakinan) dalam berbagai bidang atau domain kehidupan (Marcia et al., 1993).

Remaja juga mengalami perkembangan kepribadian dan perkembangan sosial , yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).

Pencarian identitas berhubungan dengan penemuan peran sosial dan pesan kepribadian yang paling sesuai bagi individu (Steinberg, 2002). Oleh karena itu, pencarian identitas pada dasarnya merupakan serangkaian aktivitas eksplorasi yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh kesadaran tentang berbagai peran sosial yang diharapkan oleh konteks sosial dan menemukan peran-peran sosial (dan kepribadian) yang paling sesuai dengan diri, baik menurut pandangan individu itu sendiri maupun menurut pandangan orang lain. Peran sosial merujuk pada seperangkat harapan tentang bagaimana

(23)

individu seharusnya berperilaku sesuai dengan posisi tertentu di dalam suatu system sosial dalam suatu posisi.

Dalam proses pencarian identitas, nilai, sikap dan konsep ditemukan dalam setiap peran dalam hubungan dengan berbagai bidang kehidupan, misalkan karir atau ideologi, kemudian diintegrasikan kedalam diri dan diakui sebagai bagian identitas individu (Josselson, 1980). Suatu identitas yang telah dipilih seharusnya stabil dan tidak mudah berubah. Dalm istilah Erikson (1968 : 128), stabilitas identitas disebut dengan “sameness and continuity.” Remaja yang mudah mengubah identitasnya menandakan bahwa ia tidak serius dalam eksplorasi maupun dalam mempertimbangkan berbagai alternatif (Marcia, dalam Marcia et al., 1993). Pencarian identitas sering kali menjadi problema remaja, khususnya mereka yang berada dalam lingkungan masyarakat maju. Terjadinya kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi dan informasi menyebabkan terjadinya perubahan dan pergeseran yang cepat dalam berbagai aspek nilai budaya, dan kehidupan.

2. Perkembangan Status Identitas Diri Remaja

Didalam teori Erikson, dikatakan bahwa pencapaian identitas diri terdiri atas dua dimensi yaitu proses eksplorasi dan komitmen. Eksplorasi merupakan proses pencarian alternatif terhadap berbagai nilai, rencana dan tujuan hidup seseorang (Marcia, 1993). Eksplorasi juga dapat dikatakan sebagai krisis, dimana remaja harus menhadapi banyak hal dalam kehidupannya dan mencari

(24)

jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul dalam rangka pencapaian identitas. Sedangkan komitmen adalah kualitas perbedaan tingkah laku dalam berbagai area yang mempengaruhi pembentukan identitas remaja. Komitmen juga diartikan sebagai pilihan yang diambil atas serangkaian alternatif nilai, rencana dan tujuan hidup sesorang (Marcia dalam Bosma, 1994). Komitmen harus jelas terdefinisi dan stabil atau konsisten.

Marcia (1993) mengopresionalisasikan proses pencapaian identitas berdasarkan dimensi eksplorasi dan komitmen tersebut serta menurunkannya menjadi empat status identitas. Status identitas ini merupakan klasifikasi dari pencapaian identitas individu berdasarkan tinggi rendahnya eksplorasi dan komitmen yang dilakukan individu bersangkutan. Keempat status identitas tersebut , yaitu : 1) identity Achievement; 2) Foreclosure; 3) Moratorium; 4) Identity Diffusion. Status identitas inilah yang digunakan sebagai kategorisasi dari pencapaian identitas remaja. Keempat kategori ini juga menunjukan ada atau tidaknya krisis dan komitmen pada remaja tersebut. Kedua hal tersebut dipandang oleh Erikson sebagai hal yang penting dalam pembentukan identitas.

Krisis adalah periode ketika seseorang mengalami kebingungan saat harus mengambil keputusan. Sedangkan komitmen adalah penetapan modalitas diri tentang pekerjaan atau system keyakinan (ideologi) seseorang. Erikson menemukan hubungan antara status identitas dengan beberapa

(25)

karakteristik seperti kecemasan, self esteem, moral reasoning dan pola tingkah laku. Disusun berdasarkan teori Marcia, peneliti lain telah mengidentifikasi kepribadian yang lain dan variabel-variabel keluarga yang berhubungan dengan status identitas.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai keempat status identitas yang telah disebutkan di atas :

1. Identity Achievement (high exploration – high commitment)

Status identitas diri ini menunjukan remaja telah melewati periode eksplorasi (krisis psikososial) dan mampu untuk mengidentifikasi serta menampilkan komitmen.

2. Identity Moratorium (high exploration – low commitment)

Status identitas ini menunjukan remaja yang sedang dalam tahap atau periode eksplorasi namun belum nenampilkan komitmen secara jelas. 3. Identity Foreclosure (low exploration – high commitment)

Menunjukan remaja telah mampu berkomitmen, namun tanpa melewati periode eksplorasi. Dengan kata lain ia memiliki keyakinan dalam arah hidup dan nilai-nilai yang tidaj pernah berubah sejak kanak-kanak. Semua diwariskan oleh orang tua dan dimasukan kedalam diri tanpa banyak mengalami modifikasi.

(26)

4. Identity Difussion (low exploration – low commitment)

Remaja yang tidak terlalu peduli dengan ketidakpastian dalam arah hidupnya. Hal ini bisa dikarenakan ketidakmampuan dalam menentukan arah dan tujuan, atau justru karena memang menolak dan mengabaikan kebutuhan itu.

Gambar 2.1 Matriks status Identitas

Eksplorasi Komitmen Tinggi Rendah Tinggi Identity Achievement Identity Moratorium Rendah Identity Foreclosure Identity Difussion

Identitas memiliki beberapa fungsi bagi individu bersangkutan (Adams, 1998), diantaranya :

a. Menyediakan struktur diri untuk dapat memahami siapa individu itu sebenarnya.

b. Menyediakan makna dan arahan di dalam hidup melalui adanya komitmen, nilai dan tujuan hidup yang dimiliki.

c. Menyediakan rasa control personal dan kehendak bebas.

d. Mempertahankan konsistensi, koherensi dan harmoni diantara nilai, keyakinan dan komitmen individu.

(27)

e. Memungkinkan pengenalan potensi individu melalui adanya gambaran masa depan kemungkinan-kemungkinan dan alternatif pilihan yang bisa diambil.

Bennion & Adams dalam Adams (1998) telah mengembangkan pengukuran terhadap empat status identitas dari Marcia, dari format awal berupa wawancara ke dalam bentuk kuisioner (EOM EIS – 2 Revisoin) dan membaginya dalam dua domain status identitas yaitu identitas ideologi dan identitas interpersonal. Identitas ideologi meliputi pekerjaan, agama, polotik dan falsafah hidup. Sedangkan identitas interpersonal meliputi area pertemanan, hubungan dengan lawan jenis, peran gender (suami dan istri) dan rekreasi.

E. Kontribusi Konformitas pada Pencapaian Status Identitas Diri Remaja

Pandangan yang masa remaja ditandai dengan adanya

kecenderungan identity – identity confusion. Pada masa ini remaja mulai dihadapkan dengan pencarian jati diri. Mereka mulai merasakan suatu perasaan tentang identitas dirinya, yaitu perasaan bahwa ia adalah individu yang unik. Proses pencarian identitas ini berhubungan dengan penemuan peran sosial dan peran kepribadian yang paling sesuai bagi individu tersebut (Steinberg, 2002). Oleh karena itu, pencarian identitas pada dasarnya merupakan serangkaian aktivitas eksplorasi yang dilakukan oleh individu

(28)

untuk memperoleh kesadaran tentang berbagai peran sosial yang diharapkan dalam konteks sosial dan menemukan peran-peran sosial dan kepribadian yang paling sesuai dengan diri, baik menurut pandangan individu itu sendiri maupun menurut pandangan orang lain. Dengan demikian bahwa dalam proses ini juga lingkungan sosial memiliki peran yang cukup besar dalam pembentukan identitas diri seseorang.

Bagi remaja pengaruh lingkungan, khususnya lingkungan kelompok teman sebaya memegang peranan yang cukup besar dalam pemberian norma tingkah laku yang akan dianut. Mereka juga akan menjadi sangat nyaman ketika berada dalam kelompok sebayanya. Dalam kelompok ini remaja sering kali merasa menemukan dirinya serta dapat mengembangkan rasa sosialnya. Dalam kelompok sebaya remaja memperoleh penilaian tentang dirinya yang berasal dari teman-teman sebaya yang memiliki tingkat pemikiran dan pemahaman yang relatif sama, sehingga penilaian-penilaian ini dirasa lebih sesuai dari pada penilaian yang diperoleh dari orang dewasa yang dianggap lebih mengatur dan memaksa. Kelompok teman sebaya adalah suatu stasiun penghubung antara lepasnya ketergantungan terhadap orang tua pada masa kanak-kanak dengan pernyataan diri sendiri, keberhasilan dan otonomi atas diri sendiri sebagai orang dewasa.

Kelompok teman sebaya, sesungguhnya dapat memberikan manfaat yang besar dalam perkembangan remaja. Dalam kelompok ini remaja juga

(29)

dapat mengeksplorasi dan mengaktualisasikan dirinya jika kelompok ini memperoleh pengawasan dan bimbingan yang tepat sehingga remaja tidak terjerumus pada konformitas yang dapat merusak diri dan masa depan mereka sendiri. Konformitas terhadap teman sebaya dapat memberikan ruang bagi remaja untuk dapat diterima dalam lingkungan sosial teman sebaya yang dapat memberikan banyak informasi yang dibutuhkan remaja dalam mengeksplorasi peran sosial dan nilai-nilai sisoal yang ada.

Perubahan pribadi, keluarga dan sosial tidak dapat diperkirakan dan dibutuhkan fleksibilitas dan keterampilan baru dalam mengeksplorasi alternatif baru dan komitmen baru yang dapat memfasilitasi kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah. Menurut Erikson, identitas adalah konsep yang koheren tentang diri sendiri yang terdiri dari tujuan, nilai-nilai dan keyakinan pada seseorang yang komitmennya telah stabil. Seorang individu yang telah mencapai identitas Achievement adalah individu yang telah menentukan komitmennya dengan terlebih dahulu melalui proses eksplorasi (masa krisis). Meskipun dalam perkembangnnya seorang individu remaja belum mencapai pada pencapaian staus identitas yang stabil, karena masih akan dihadapkan pada berbagai pilihan sebelum ia berada pada fase dewasa. .

Pencapaian identitas diperoleh setelah melalui proses eksplorasi yang panjang dan akhirnya individu dapat menentukan komitmen yang sesuai bagi

(30)

dirinya dan tututan lingkungan sosialnya. Dalam kelompok teman sebaya remaja belajar untuk menjadi individu yang tangguh dan peka terhadap lingkungan sosial. Keadaan ini akan lain halnya jika remaja lebih sering berperilaku anti konformitas terhadap lingkungan sosial. Remaja yang sering bersikap anti konformitas akan mendapat penolakan dan dikucilkan dalam lingkungan sosial, dan jika dalam situasi ini remaja tidak dapat belajar untuk mengeksplorasi diri dan lingkungan. Akhirnya, akan muncul suatu kebingungan identitas terhadap diri dan lingkungan. Remaja menjadi seorang individu yang tidak dapat memilih dan memiliki peran dalam lingkungan sosial. Konformitas dibutuhkan ketika individu berada dalam sebuah lingkungan sosial, karena masyarakat atau kelompok memiliki aturan dan nilai-nilai yang harus dipahami dan dipatuhi. Namuan setiap individu pun berhak untuk bersikap anti konformitas, yaitu menunjukan setiap ide dan pemikiran yang dimilikinya.

Dengan kata lain, mengatasi konformitas bukan berarti menjadi anti-konformitas (selalu tidak setuju), melainkan dengan mengembangkan kemandirian (independence). Mandiri juga bukan berarti menentang kelompok, melainkan untuk berbeda pendapat, yaitu memiliki kebebasan dan keberanian untuk berbeda pendapat dalam kelompok (freedom to be different !). Remaja tidak perlu selalu menolak aturan kelompok bahkan aturan sekolah, sehingga ia menjadi pribadi pemberontak dan sulit bersosialisasi.

(31)

Remaja perlu dilatih untuk dapat mengungkapkan pendapatnya dengan bebas dan mau menerima kritikan yang disampaikan padanya. Dengan demikian mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan memahami diri serta lingkungannya.

F. Penelitian Terdahulu

Pada kenyataannya banyak permasalahan yang akan timbul dalam diri siswa-siswi seiring dengan tugas-tugas perkembangan yang dijalaninya. Diluar permasalahan akademik yang menjadi sorotan utama dalam proses belajar mengajar akan banyak ditemukan permasalahn seiring perkembangan siswa baik itu dari aspek kognitif, fisisk, maupun psikososialnya yang pada akhirnya dapat berdampak pada prestasi belajar siswa.

Sebagai konselor masa depan harus selalu terus berusahan meningkatkan kompetensi dan kualitas layanan bimbingan dan konseling. Salah satunya adalah memahami kompleksitas interaksi peserta didik dengan lingkungan, dalam ragam konteks sosial budaya ini berarti konselor harus mampu mengakses kemampuan seorang peserta didik dalam lingkungan sosialnya dengan memahami tingkat perbedaan peserta didik.

Berbagai pengaruh yang muncul sebagai akibat dari hasil eksplorasi lingkungan oleh remaja, menjadi fenomena yang menarik dan banyak diteliti oleh para ahli maupun peneliti pemula. Berikut ini peneliti akan menguraikan beberapa hasil penetian yang berhubungan dengan permasalahan psikososial

(32)

remaja dan identitas diri, khususnya dalam domain identitas interpersonal yang meliputi area pertemanan, hubungan dengan lawan jenis, peran gender dan rekreasi.

Pencarian identitas merupakan tugas perkembangan psikososial utama dalam perkembangan masa remaja. Sebuah penelitian mengenai pentingnya masalah pencapaian identitas pada masa remaja, khususnya remaja akhir yang dilakukan oleh Elsa Lestari Putri (2007) yang mendeskripsikan tentang relasi teman sebaya pada empat status identitas remaja, menguraikan bahwa relasi teman sebaya berpengaruh pada status identitas diri remaja. Remaja yang memiliki pola relasi yang baik akan mampu mengungkapkan dirinya dengan baik pula dalam lingkungannya dan ini menunjukan bahwa remaja tersebut berada pada status identitas achievement. Sementara sebaliknya remaja yang memiliki pola relasi yang buruk dan tidak mampu mengungkapkan pendapatnya berada pada kondisi identity diffusion. Dari penelitian ini peneliti menyimpulkan bahwa pembentukan identitas remaja dapat dipengaruhi oleh cara remaja berrelasi dengan teman sebaya, bagaimana remaja memiliki kelekatan dan berinteraksi dengan teman sebaya.

Dalam lingkungan persahabatan atau pertemanannya, remaja selalu berusaha agar dapat memenuhi tuntutan dan harapan kelompok dalam berbagai aspek kehidupannya. Sehingga dalam kelompok ini seluruh anggotanya akan saling memenuhi harapan dan mendukung satu sama

(33)

lainnya. Adanya dukungan sosial dari teman sebaya juga dapat membentuk konsep diri remaja, salah satunya adalah konsep diri akademik di sekolah. Semakin sering remaja merasakan kenyamanan, perhatian, penghargaan dan bantuan dalam lingkup akademik dari teman sebaya di kelas maka kemungkinan bagi remaja tersebut untuk semakin positif menilai dirinya mengenai keyakinan atau pengetahuan dalam bidang akademik di sekolah (Zakiyah Rahmani, 2008). Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan bahwa remaja akan mempersepsikan bagaimana penilaian dan harapan teman sebaya terhadap tampilan akademiknya (Hattle,1992). Tidak hanya dalam bidang akademik, dukungan teman sebaya juga dapat mempengaruhi orientasi masa depan remaja, artinya adanya bantuan, perhatian, penghargaan dan penerimaan teman sebaya pada remaja memiliki kontribusi pada kondisi orientasi masa depan (Heri Wibowo, 2001)

Kelompok Teman sebaya dapat memberikan tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk aturan tertulis maupun tidak tertulis, sehingga mendorong remaja untuk melakukan konformitas, yaitu merubah keyakinan dan tingkah lakunya sesuai dengan harapan kelompok, sehingga dapat merubah gaya hidup remaja tersebut. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di pusat rehabilitasi narkoba mengenai bagaimana konformitas mempengaruhi sikap remaja terhadap NAPZA (Endang Ika, 2003) dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara konformitas

(34)

dan sikap terhadap NAPZA. Hal ini memberikan arti bahwa konformitas terhadap teman sebaya memberikan kontribusi dalam pembentukan sikap remaja terhadap NAPZA. Penelitian lain dilakukan pada remaja putri yang memiliki tingkat konsumsi tinggi dengan sampel sebanyak 76 orang. Melalui pengujian dengan derajat kepercayaan 95% diperoleh hasil korelasi sekitar 0,472. Hasil korelasi ini menunjukan terdapat hubungan yang cukup signifikan dan positif antara konformitas terhadap teman sebaya dengan perilaku konsumtif remaja putrid. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin besar konformitas terhadap teman sebaya maka semakin besar juga munculnya perilaku konsumtif pada remaja putri (Rismana Sitopu, 2005).

Penelitian-penelitian terdahulu banyak mengungkapkan besarnya peran teman sebaya dalam kehidupan seorang remaja. Teman senya memberikan pengaruh tentang bagaimana seorang remaja berinteraksi dalam lingkungan sosialnya agar ia dapat diterima. Remaja juga belajar memahami dan mematuhi aturan dan norma yang ada dalam kelompoknya. Perubahan sikap dan perilaku remaja ini diuraikan sebagai bentuk perilaku konformis atau konformitas terhadap kelompok teman sebaya, yaitu merupakan perubahan perilaku individu (remaja) dalam kelompok teman sebaya (peer group) sebagai usaha untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok acuan, baik ada maupun tidak ada tekanan secara langsung yang berupa suatu tuntutan tidak tertulis dari kelompok terhadap anggotanya namun memiliki pengaruh

(35)

yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada individu anggota kelompok tersebut.

Untuk menemukan identitas diri ini remaja perlu mengeksplorasi diri dan memiliki komitmen terhadap keyakinannya. Dengan demikian, identitas dirinya akan terbentuk. Sehingga remaja dapat memilah dan memilih apa yang terbaik bagi dirinya dalam kehidupannya.

Penelitian ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mengetahui kontribusi konformitas yang dilakukan remaja, yang bertujuan agar dirinya diterima dalam kelompok sosial terhadap pembentukan identitas diri remaja. Walaupun banyak alternatif nilai, norma dan tujuan hidup yang dapat ditemukan remaja dalam kelompok sebayanya, remaja tetap membutuhkan bimbingan untuk menentukan pilihan yang tepat dan tidak hanya terpengaruh oleh kelompok. Dengan demikian pembentukan identitas diri menjadi stabil dan koheren adalah tantangan bagi remaja sendiri juga orang dewasa khususnya orang tua dan konselor (di sekolah) dalam membimbing remaja untuk menemukan pribadinya, mengenal lingkungan serta merencanakan masa depan. Penelitian ini mencoba mengungkap tingkat konformitas teman sebaya pada remaja dan pencapaian identitas diri remaja serta berapa besar kontribusi konformitas terhadap pencapaian identitas diri.

Gambar

Gambar 2.1  Matriks status Identitas

Referensi

Dokumen terkait

Sumber daya manusia, modal, dan teknologi menempati posisi yang amat strategis dalam mewujudkan tersedianya barang dan jasa.Penggunaan sumber daya manusia, modal,

Pada tabel rekapitulasi akan disajikan rekapan dari hasil penelitian yang menggambarkan ada atau tidaknya perbedaan penggunaan model pembelajaran guided inquiry dengan media papan

Citra merek yang baik akan mengubah konsep pemikiran konsumen tentang produk perusahaan karena dapat membuat konsumen merasakan merek yang akan digunakan memiliki

• Sebagai desain awal – Analisa kehandalan menjadi dasar untuk desain awal dari sistem yang dibangun dengan memperkecil celah antara analisa dan desain seperti yang

Jadi, yang dimaksud dengan melakukan query TRIGGER pada contoh di atas adalah untuk melakukan sebuah output bahwa ada data yang sudah dirubah dimana nama data yang lama tersebut

Perbedaan Miskonsepsi Siswa Kelas XI pada Materi Kesetimbangan Kimia Berdasarkan Tingkatan Sekolah .... Perbedaan Miskonsepsi Siswa Kelas XI pada Materi

The body types of senior and junior elite female triathletes differed in muscle mass, sum. of skinfolds and the percentage of adipose mass in relation to total

Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan Fatwa tentang aborsi pada tanggal 12 Rabi’ul Akhir 1426 H, bertepatan dengan tanggal 21 Mei 2005, sebagai berikut: (a)