• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. barang, yaitu 61 persen berbanding 76 persen (Mudie dan Cotam, 1993 dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. barang, yaitu 61 persen berbanding 76 persen (Mudie dan Cotam, 1993 dalam"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

14 2.1. Kegagalan Layanan (Service Failure)

Umumnya jumlah konsumen yang tidak puas pada suatu layanan dan menyampaikan keluhannya tidaklah sebanyak pada kasus ketidakpuasan terhadap barang, yaitu 61 persen berbanding 76 persen (Mudie dan Cotam, 1993 dalam Tjiptono, 2004:143). Perusahaan di Amerika Serikat diestimasi kehilangan sekitar setengah konsumennya setiap lima tahun karena gagal memfasilitasi umpan balik yang akan memberi jalan bagi konsumen untuk membuat perusahaan memahami apa yang telah berjalan dengan salah (Reiched 1996 seperti yang dikutip Piotr 2004). Pentingnya berita dari konsumen bahwa tidak puas atas layanan atau produk bagi sebuah perusahaan terungkap dalam sebuah artikel yang provokatif yang berjudul “Thank Heavens for Complainers”. Seorang manager yang sukses mengatakan,” The ones I worry about are the ones I never hear from.” Artikel tersebut menyatakan bahwa keluhan merupakan suatu kesempatan untuk mempertahankan pelanggan dan hal yang harus dihindarkan adalah ketika pelanggan mengalami kegagalan layanan namun tidak melakukan keluhan kepada pihak manajemen perusahaan. (Lovelock & Wright 2007:144).

Service failure didefinisikan oleh Lovelock dan Wright (2007) sebagai “a perception by customers that one or more specific aspects of service delivery have not met their expectations”, yang artinya bahwa kegagalan layanan adalah

persepsi yang dimiliki oleh pelanggan terhadap satu atau lebih jenis pelayanan yang tidak memenuhi pengharapan mereka. Kegagalan layanan masih saja dapat

(2)

terjadi, sekalipun perusahaan telah berusaha melakukan atau memberikan layanan dengan baik dari awal. Produk manufaktur berbeda dengan perusahaan jasa dimana produksi dapat dikelola sedemikian rupa sehingga menghasilkan produk yang 100 persen tanpa cacat, bagi produsen jasa, “zero defect” adalah tujuan yang tidak realistis. Kegagalan layanan dapat disebabkan oleh faktor internal yang relatif dapat dikendalikan perusahaan seperti perilaku karyawan yang tidak sopan, kesalahan pencatatan transaksi, dan sebagainya, serta faktor eksternal yang berada di luar kendali perusahaan seperti cuaca, gangguan infrastruktur umum (listrik padam), aktivitas kriminal (terorisme, demonstrasi masal), dan masalah pribadi pelanggan seperti kehilangan dompet. Hoffman & Bateson (dalam Tjiptono, 2005:453) menyatakan bahwa kegagalan didefinisikan sebagai gangguan, keterlambatan, atau kemacetan dalam penyampaian jasa. Faktor yang membedakan secara signifikan antara penyedia jasa unggul dan penyedia jasa jelek adalah kemampuan untuk menangani setiap masalah dan belajar dari kegagalan layanan, serta tindakan perbaikan demi penyempurnaan layanan organisasi (Tjiptono, 2005 : 242).

Lovelock dan Wright (2007 : 98) mengutip Parasuraman bahwa terdapat lima faktor dominan atau kriteria penentu kualitas jasa yaitu:

1. Tangible (berwujud), yaitu wujud fasilitas fisik, peralatan, dan berbagai materi komunikasi yang baik, menarik, terawat, dan sebagainya.

2. Empathy, yaitu kesediaan karyawan dan pengusaha untuk lebih peduli memberikan perhatian secara pribadi kepada pelanggan.

(3)

3. Responsiveness (daya tanggap), yaitu kemauan karyawan dan pengusaha untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat serta mendengar dan mengatasi keluhan konsumen.

4. Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan, terpercaya, akurat, dan konsisten.

5. Assurance (kepastian), yaitu kemampuan karyawan untuk menimbulkan keyakinan dan kepercayaan terhadap janji yang telah dikemukakan kepada konsumen.

2.2. Respon Pelanggan Terhadap Kegagalan Layanan (Service Failure) Lovelock dan Wirtz (2004:144) menyatakan bahwa terdapat empat tindakan yang memungkinkan, jika pelanggan mengalami kegagalan jasa (service

failure):

1. Tidak melakukan apa-apa (take no action)

2. Mengadu dalam suatu bentuk kepada perusahaan jasa tersebut

3. Mengambil tindakan melalui pihak ketiga (organisasi advokasi konsumen, badan pemerintah urusan konsumen atau pengawas, atau pengadilan perdata atau pidana).

4. Pindah ke penyedia jasa lain dan mencegah orang-orang lain agar mereka tidak menggunakan jasa tersebut (cerita negatif dari mulut ke mulut).

Berdasarkan Gambar 2.1 dapat dilihat beberapa kemungkinan reaksi, berbagai hasil dari yang sangat geram hingga yang menyenangkan. Resiko ditinggalkan sangat besar, apalagi ketika ada alternatif lain. Manajer harus sadar akan dampak ditinggalkan konsumen yang dapat memicu kehilangan pendapatan yang lebih besar dimasa yang akan datang. Pelanggan yang marah seringkali

(4)

menceritakan masalahnya kepada orang lain mengenai masalahnya. Internet pada saat ini sudah dapat memfasilitasi hal tersebut, seperti contohnya media internet

Trip Advisor, dapat menayangkan keluhan pelanggan hotel secara langsung ke

ribuan pembaca Trip Advisor melalui eletronik buletin ke seluruh dunia.

Lovelock dan Wright (2007:145) juga melakukan riset tentang perilaku perpindahan pelanggan dalam industry jasa yang menemukan bahwa hampir 60 persen dari semua responden yang melaporkan pindah ke penyedia jasa lain melakukannya karena anggapan kesalahan, 25 persen menyebutkan kesalahan dalam jasa inti, 19 persen melaporkan pertemuan yang tidak memuaskan dengan karyawan perusahaan, 10 persen melaporkan karena tanggapan yang tidak memuaskan terhadap kegagalan jasa sebelumnya, dan 4 persen menggambarkan perilaku yang tidak etis oleh penyedia.

Sumber : Lovelock dan Wirtz, 2004. Service Marketing, People, Technology and

Strategy. 5th ed. New York : Prentice Hall, hal. 382.

Gambar 2.1

(5)

Penelitian yang dilakukan oleh badan Technical Assistance Research

Institute (TARP), yang memfokuskan pada penanganan keluhan konsumen di

beberapa negara. Hasil penelitiannya dipublikasikan pada tahun 1986, mengenai bagaimana seorang manager seharusnya memikirkan dampak dari pelanggan yang tidak puas, terutama bagi mereka yang tidak pernah menyampaikan keluhannya namun berpindah lasngsung ke pesaing lainnya. Dalam penelitian tersebut TARP menyimpulkan tiga alasan mengapa pelanggan yang kurang puas, tidak menyampaikan keluhannya yaitu: (Lovelock dan Wright, 2007:146)

1. Mereka berpikir hal itu hanya akan membuang-buang waktu atau tenaga. 2. Mereka yakin tidak aka nada orang yang peduli dengan masalah mereka atau

dengan pemecahannya.

3. Mereka tidak tahu ke mana harus mengadu dan apa yang harus dilakukan. Hasil studi lebih lanjut yang dilakukan Singh (dalam Tjiptono, 2004: 457) menunjukkan bahwa terdapat empat tipe respon terhadap ketidakpuasan yaitu (1)

passive (14 persen), yaitu konsumen yang jarang melakukan tindakan bila merasa

tidak puas; (2) voices (37 persen), yaitu konsumen yang jarang melakukan private atau public action; (4) irates (21 persen), yaitu konsumen yang melakukan private

action di atas tingkat rata-rata dan direct action dengan tingkat rata-rata, namun public action dengan tingkat rendah, (4) activist (28 persen), yaitu konsumen yang

memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan private, direct, dan khususnya public action.

Huefner & Hunt (dalam Tjiptono, 2004:240) menambahkan tiga perilaku keluhan lainnya, yaitu retaliasi, avoidance, dan grudgeholding. Retaliasi merupakan salah satu bentuk balas dendam yang dilakukan pelanggan yang tidak

(6)

puas terhadap perusahaan yang mengecewakannya. Manifestasi retaliasi bermacam-macam, seperti merusak produk atau peralatan perusahaan, mencuri atau mengutil, melakukan komunikasi getok tular negatif, dan disruptive

behavior. Avoidance dan grudgeholding merupakan bentuk variasi dari exit. Exit

merupakan fenomena jangka pendek, avoidance merupakan fenomena jangka menengah, sebagai bentuk tindakan sengaja untuk “menghukum” perusahaan, sementara grudgeholding merupakan fenomena yang lebih ekstrim dan dapat berlangsung bertahun-tahun atau bahkan selamanya.

Menurut Boote (dalam Tjiptono, 2004:240), exit bisa berupa tindakan memboikot atau berhenti membeli produk yang sama, berhenti membeli produk tipe tertentu (terlepas dari siapapun produsennya), berhenti membeli dari pengecer tertentu, dan berhenti membeli dari pemanufaktur tertentu. Masalah yang kerapkali dijumpai dalam konseptualisasi exit pada sejumlah riset keluhan adalah tidak adanya time frame yang jelas. Konsumen yang berbeda akan berhenti membeli merek atau produk tertentu selama jangka waktu yang berbeda-beda.

2.3. Konsep Pemulihan Layanan (Service Recovery)

Pengalaman yang dialami pada industri jasa tidak akan selalu memuaskan jika di lihat dari sudut pandang pelanggan, betapapun baiknya kualitas yang ditampilkan dan walaupun disediakan oleh perusahan terbaik di dunia, pada suatu ketika akan menemukan situasi dimana kegagalan layanan pelanggan terjadi, sehingga menimbulkan komplain atau keluhan dari konsumen. Suatu bentuk tindakan yang dilakukan penyedia jasa untuk merespon service failure, diistilahkan sebagai pemulihan kembali layanan (service recovery). Sehingga

(7)

pemulihan kembali layanan dapat diartikan sebagai istilah dari usaha-usaha sistematis yang dilakukan penyedia jasa dalam mengkoreksi permasalahan yang disebabkan oleh kegagalan jasa guna mempertahankan pelanggan yang sudah ada (Lovelock dan Wirtz, 2007: 152).

Pemulihan jasa atau service recovery didefinisikan sebagai tindakan-tindakan khusus yang perlu dilakukan untuk meyakinkan pelanggan sehingga mereka dapat menerima dengan tingkat alasan tertentu atas kegagalan jasa atau selama proses penyampaian jasa secara normal terjadi gangguan/kekacauan (Wirtz dan Matilla, 2004:36).

Pemulihan layanan itu sendiri adalah tindakan yang diambil oleh sebuah organisasi dalam menanggapi kegagalan layanan. Service recovery mempunyai dua dimensi yaitu; dimensi outcome (technical) dan dimensi process (fungsional). Dimensi outcome adalah apa yang sebenarnya diterima oleh konsumen sebagai bagian dari usaha pemulihan kembali (to recover), sedangkan dimensi proses dikonsentrasikan dengan bagaimana ini diselesaikan. Dimensi outcome lebih penting ketika original service is delivered tetapi kepentingan dimensi proses adalah ditekankan/ditonjolkan di dalam service recovery (Gronroos, 2000:114).

Tax dan Brown (1998) (dalam Kau dan Loh, 2006) mengemukakan bahwa pemulihan jasa dipersepsikan oleh pelanggan dalam tiga bentuk tindakan dan perlakuan yang adil, yakni: Outcomes fairness, Procedural fairness, dan

Interactional fairness. Peranan pemulihan jasa atau service recovery pada

pemasaran jasa sangat penting. Kepuasan konsumen terhadap proses pemulihan jasa berkontribusi pada minat pembelian ulang (repeat purchase), loyalitas dan

(8)

komitmen (trust), komunikasi gethok tular (word of mouth) positif, dan persepsi pelanggan terhadap keadilan atau fairness (Tjiptono, 2004:465).

Konsumen yang mengeluh akan lebih memungkinkan untuk melakukan pembelian berulang ketika keluhan mereka direspon dan dipulihkan secara memuaskan. Lebih lanjut, proses pemulihan layanan yang dilakukan dengan tepat, cepat serta memuaskan dapat meningkatkan pembelian berulang (repurchase

intentions). Penemuan ini menyatakan secara tidak langsung bahwa strong service recovery mungkin akan meningkatkan loyalitas konsumen, sebuah kesimpulan

yang didukung banyak penulis (Ok, 2004).

Konsep ini sangat didukung oleh teori service recovery paradox yang dikemukakan oleh Matos et al., (2007) yang menyatakan bahwa paradoks upaya pemulihan layanan ialah situasi dimana kepuasan pasca pemulihan setelah kegagalan layanan dirasakan lebih besar daripada layanan dengan kinerja baik yang diberikan sebelumnya. Dalam konteks diatas, upaya pemulihan yang baik dan efektif akan mengakibatkan kepuasan yang lebih tinggi bagi konsumen, dan juga dapat berarti sebuah kesempatan bagi penyedia jasa untuk meningkatkan retensi konsumen.

Schindlholzer (2008) menjelaskan lebih lanjut mengenai paradoks bahwa

recovery yang baik dapat merubah kemarahan dan frustrasi konsumen menjadi

sebuah loyalitas. Faktanya sebuah kegagalan yang terjadi dapat mendatangkan lebih banyak kebaikan daripada tidak pernah terjadi suatu kegagalan sama sekali. Upaya pemulihan layanan yang sangat efektif akan memberikan kesempatan

(9)

untuk meraih tingkat kepuasan yang lebih tinggi dari konsumen daripada jika tidak pernah terjadi suatu kegagalan.

2.4. Dimensi Keadilan Dalam Penanganan Keluhan

Pelanggan yang melakukan komplain pada dasarnya mereka ingin diperlakukan secara adil oleh penyedia layanan jasa. Pendekatan keadilan dalam penanganan keluhan adalah suatu kondisi pelayanan yang dirasakan sesuai oleh pelanggan sebagai pengganti pelayanan jasa yang mengalami kegagalan layanan dalam proses penyampainannya (Tax, et al., 1998).

Gambar 2.2 menunjukkan tiga dimensi keadilan untuk mengukur keadilan yang dirasakan oleh konsumen setelah dilakukan proses service recovery.

Sumber : Lovelock dan Wirtz, 2004. Service Marketing, People, Technology and

Strategy. 5th ed. New York : Prentice Hall, hal. 384.

Gambar 2.2

Three Dimention of Perceived Fairnes in Service Recovery Process

Complaint Handling and Service Recovery Process Interactional Justice Distribution Justice Procedural Justice

Customer Satisfaction with the Service Recovery

(10)

Menurut Tax, et al., (1998) nilai keadilan dalam penanganan keluhan dapat dievaluasi dari tiga variabel yaitu: keadilan prosedural (procedural justice), keadilan distributif (distributive justice), dan keadilan interaksional (interactional

justice).

2.4.1 Keadilan prosedural

Keadilan prosedural sangat penting dalam pemulihan layanan karena konsumen mungkin merasa puas terhadap tipe strategi pemulihan yang ditawarkan tetapi merasa tidak puas bila proses yang dilalui untuk memperoleh penggantian tidak memuasakan. (Varela-Neira et al., 2010). Menurut Maxham dan Netemeyer (2002), keadilan prosedural yaitu keadilan yang melekat pada kehandalan dari proses penyampaian keluhan dan mengacu pada kebijakan, peraturan dan waktu yang digunakan dalam proses penanganan keluhan. Pelanggan mengiginkan akses yang mudah terhadap proses penanganan keluhan dan mereka ingin ditangani dengan cepat, khususnya orang pertama yang dihubungi. Prosedur keadilan dikarakteristikkan oleh kejelasan, kecepatan, dan ketiadaan persengketaan. Prosedur yang adil mencakup tiga elemen penting, yakni perusahaan mengemban tanggung jawab atas kegagalan jasa, setiap complain ditangani dengan cepat, dimulai oleh karyawan yang pertama kali dikontak oleh pelanggan, dan adanya sistem yang fleksibel dan mempertimbangkan pula situasi individual serta masukan dari pelanggan mengenai hasil akhir yang diharapkannya (Lovelock dan Wirtz, 2004:384).

(11)

2.4.2 Keadilan distributif

Keadilan distributif/hasil mengacu pada perhitungan alokasi biaya yang dikeluarkan pelanggan dan manfaat yang diterima pelanggan (Varela-Neira et al., 2010). Menurut Davidow (2003), pelanggan mengharapkan hasil atau kompensasi yang sesuai dengan level ketidak puasannya. Kompensasi ini dapat berbentuk kompensasi materi seperti; penggantian, jasa gratis dimasa yang akan datang, pengurangan harga maupun diskon (Nikbin et al., 2010, 2004; Kau dan Loh, 2006; Smith, 1999; Tax et al., 1998). Blodgett et al., (1993) yang melakukan studi pada bidang penjualan eceran menemukan bahwa keadilan distributif memiliki pengaruh signifikan pada perilaku pelanggan untuk membeli ulang dan niat menyampaikan WOM negatif.

2.4.3 Keadilan interaksional

Keadilan interaksional merupakan nilai keadilan yang dirasakan pelanggan karena adanya proses interaksi antara pelanggan dengan penyedia jasa selama proses pemulihan layanan (Nikbin, 2010). Menurut Davidow (2003) pelanggan mengharapkan diperlakukan dengan sopan, kepedulian, dan kejujuran. Bentuk dari keadilan tersebut bisa mendominasi yang lain jika pelanggan merasa bahwa perusahaan dan karyawan memiliki sikap yang kurang peduli dan tidak berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut (Varela-Neira et al., 2010). Kau dan Loh (2006) dalam jurnalnya mengidentifikasikan empat elemen dalam dimensi keadilan ini, yaitu: penjelasan, usaha, empati dan kesopanan. Riset studi Goodwin dan Ross (1992) mengungkapkan bahwa keadilan interaksional memiliki

(12)

pengaruh paling kuat pada perilaku subyek berikutnya dan niat mereka untuk menyampaikan WOM yang negatif.

2.5. Perilaku Pelanggan Pasca Program Pemulihan Layanan

Tipe perilaku keluhan ketika ketidakpuasan terjadi menurut Suprapti (2009) dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) tidak mengambil tindakan, yang terbagi menjadi tiga jenis tindakan yaitu membeli ulang, WOM negatif, dan beralih, (2) melakukan tindakan komplain berharap keluhan yang diajukan akan memperoleh tanggapan yang semestinya sehingga pada akhirnya dicapai suatu solusi atas ketidakpuasan mereka. Program pemulihan layanan (service recovery

program) memegang peran yang strategis. Pada tindakan yang (2) ini

kemungkinan pelanggan akan puas atau tidak puas terhadap program pemulihan kegagalan layanan, yang mana rasa puas atau tidak puas dipengaruhi oleh keadilan yang dipersepsikan oleh pelanggan yang mengandung makna penilaian terhadap pemulihan layanan itu sendiri, yaitu hasil yang dihubungkan dengan strategi pemulihan dan perilaku antar pribadi yang terjadi selama proses pemulihan, dan penyampaian hasil tersebut.

Pelanggan yang puas terhadap layanan pemulihan akan melakukan tindakan yang terbagi menjadi tiga tindakan yaitu (1) WOM positif, (2) membeli ulang dan (3) beralih. Keadaan beralih meskipun puas dapat terjadi ketika pelanggan tersebut suka mencari variasi (variety seeking behavior), ataupun karena faktor eksternal, misalnya karena pindah alamat ke tempat lain di mana di tempat baru itu sulit atau tidak tersedia merek yang sama. Pelanggan yang mengalami situasi seperti ini tetap dikatakan sebagai pelanggan yang loyal karena memiliki komitmen atau ikatan emosional dengan merek atau toko sebelumnya.

(13)

Mereka akan menyebarkan informasi WOM yang positif kepada pihak lain, dan akan segera beralih bila merek yang tertanam kuat dibenaknya sudah tersedia di pasar.

Sedangkan pelanggan yang tidak puas terhadap layanan pemulihan akan melakukan tindakan yang terbagi menjadi tiga tindakan yaitu (1) membeli ulang, (2) WOM negatif, dan (3) beralih. Keadaan sebaliknya di mana pelanggan yang tidak puas terhadap layanan pemulihan tetap menggunakan merek atau jasa tertentu. Faktor eksternal seperti penjelasan diatas merupakan determinan utama yang menyebabkan pelanggan tetap bertahan, selain itu adanya monopoli yang menyebabkan pelanggan tidak mempunyai pilihan lain meski mereka tidak puas terhadap layanan pemulihan tersebut. Pelanggan seperti inilah yang disebut memiliki loyalitas semu, karena mereka tidak punya komitmen atau ikatan psikologis dengan merek tersebut. Meski mereka membeli atau menggunakan merek tersebut, hal itu tidak disertai dengan informasi WOM yang positif, tetapi lebih sering menyampaikan WOM yang negatif. Bila mereka bisa melepaskan diri dari situasi yang memaksanya harus membeli, maka mereka akan segera beralih kepada produk pesaing, dan ini berakibat sangat buruk bagi perusahaan. Hasil studi menunjukkan bahwa informasi WOM yang negatif lebih berpengaruh daripada WOM yang positif (Davidow, 2003). Taxonomi Suprapti dapat dilihat pada Gambar 2.3

(14)

Sumber : Suprapti, N.W.S., 2009. Perilaku Pasca Pembelian: Sebuah Tinjauan Konseptual Untuk Peluang Penelitian, Jurnal Matrik, 3(1) : 1-14.

Gambar 2.3

Gambar Konseptual Hubungan Antara Variabel Perilaku Pasca Pembelian

Penelitian lain yang dilakukan oleh Kau dan Loh (2006:101-111), menjelaskan mengenai pengaruh service recovery terhadap kepuasan pelanggan bagi pelanggan jasa telekomunikasi yang melakukan komplain dan tidak komplain pada sebuah service center. Dimensi yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari penelitian yaitu persepsi penanganan keluhan bagi pelanggan yang komplain berupa procedural justice, distributive justice, explanation effort, dan

emphaty and politeness. Selain itu, dimensi yang digunakan untuk mengukur

(15)

WOM dan loyalty. Hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa terdapat

perbedaan antara pelanggan yang komplain dan tidak komplain terhadap kepuasan yang dirasakan setelah dilakukan service recovery.

Kepuasan/ketidakpuasan ini pun memberikan behavioral outcomes yang berbeda yang terbagi menjadi tiga yaitu, trust, WOM, dan loyalty pelanggan kepada penyedia jasa. Pelanggan yang komplain dan puas atas service recovery yang diberikan akan menguatkan reliability provider sehingga menghasilkan trust, dan juga menghasilkan word of mouth positif, serta mengarahkan pada loyalitas pelanggan yang besar. Begitu juga sebaliknya, bagi pelanggan yang komplain dan tidak puas akan service recovery yang diberikan. Pelanggan yang puas namun tidak komplain memiliki tingkat pola perilaku (trust, WOM, dan loyalty) pelanggan yang lebih rendah dibandingkan dengan pelanggan puas akan komplain mereka. Peneliti menggunakan penelitian ini sebagai model analisis dalam dimensi kepuasan pelanggan setelah service recovery.

Gambar

Gambar 2.2 menunjukkan tiga dimensi keadilan untuk mengukur keadilan  yang dirasakan oleh konsumen setelah dilakukan proses service recovery

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan Undang-Undang Nomor 25

(2) Setiap orang, lembaga dan/atau badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual dan/atau membeli produk rokok pada fasilitas pelayanan kesehatan

Tingginya tuntutan akan penyelenggaraan pelayanan di ruang IGD sering memicu stres kerja pada karyawan/staf yang bertugas di ruang tersebut, kondisi ini juga

- Memantau tanda- tanda vital An.T - Melakukan tindakan aseptic sebelum melakukan tindakan keperawatan kepada An.T (misalnya memberi susu, memberi terapi obat dengan

Jadi penelitian ini adalah pola atau strategi yang digunakan guru dalam mengajar dengan menggunakan strategi bermain peran pada materi pernan anggota keluarga melalui

Banyaknya proses yang ada, membuat dokumen yang diperlukan dalam proses pelaporan cukup banyak, sehingga terlalu banyak kertas yang dipergunakan dalam membuat

Berdasarkan hasil penelitian terhadap aktivitas guru dan aktivitas siswa selama kegiatan belajar mengajar dengan penerapan metode Team Games Tournament yang

Distribusi langsung yang diterapkan oleh Kelompok Tani Ternak Lembah Makmur Hijau dalam melakukan proses pemasaran susu sapi murni melalui dua cara yaitu konsumen