• Tidak ada hasil yang ditemukan

RAPAT KERJA KOMISI VIII DPR RI DE NGAN MENTERI AGAMA RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RAPAT KERJA KOMISI VIII DPR RI DE NGAN MENTERI AGAMA RI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

RAPAT KERJA KOMISI VIII DPR RI

DE NGAN

MENTERI AGAMA RI

Tanggal 03 Maret 2014

PENJELASAN MENTERI AGAMA RI TENT ANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI

KEMENTERIAN AGAMA RI

2014

(2)

~-....--·~

PENJELASAN

MENTER! AGAMA REPUBLIK INDONESIA

PADA RAP AT KERJA DENGAN KOMISI VIII DPR-RI

MENG EN AI

RANCANGAN

UNDANG~UNDANG

TENTANG

PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI

Senin, 3 Maret 2014

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Yang kami muliakan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

Yang kami hormati Saudara Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, dan pejabat lainnya di lingkungan Kementerian Agama, serta

Hadirin yang berbahagia.

Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya, pada hari ini

kita dapat hadir di forum yang mulia ini untuk bersama-sama mengikuti acara Rapat Kerja antara DPR-RI dengan Pemerintah mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Haji dengan kondisi sehat wal a.fiat.

Selanjutnya, terlebih dahulu kami ingin mengucapkan terima kasih ke-pada Pimpinan dan Anggota Komisi VIII DPR-RI yang berkenan m~ngundang dan memberikan kesempatan kepada kami untuk menjelaskan seputar Ran-cangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Haji, yang naskahnya telah secara resmi disampaikan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia kepada · DPR-RI. Seiring telah disampaikannya naskah Rancangan Undang-Undang ten-tang Pengelolaan Keuangan Haji oleh Bapak Presiden Republik Indonesia kepa-da DPR-RI tersebut, besar harapan kami bahwa Rancangan Unkepa-dang-Unkepa-dang tentang Pengelolaan Keuangan Haji dapat segera dibahas bersama antara DPR-RI dan Pemerintah serta dapat disahkan pada tahun 2014 ini.

Sehubungan hal tersebut, dalam rangka efektivitas pembahasan Ran-cangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Haji, Bapak Presiden

(3)

Republik Indonesia telah pula menunjuk Saudara Menteri Agama, Menteri Keuangan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk mewakili Pemerintah baik secara bersama maupun sendiri, melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan KP11.angan Haji dengan DPR-RI.

Yang Mulia Pimpinan dan Anggota Komisi VIII DPR-RI,

Kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji oleh Pemerintah menunjukkan

trend peningkatan sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 ten-tang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan terbitnya beberapa peraturan pelaksana-annya, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan Menteri Agama. Hal tersebut setidaknya terkonfirmasi secara kuanti-tatif melalui hasil survei kepuasan Jemaah Haji yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 2013.

BPS mengungkapkan bahwa secara umum, indeks kepuasan Jemaah Haji pada musim haji tahun 2013 naik 1,37 poin menjadi 82,69 persen (masuk kategori memuaskan) ketimbang Penyelenggaraan lbadah Haji tahun sebelum-• nya. Transportasi selama prosesi Ibadah Haji menjadi salah satu faktor utama

yang mendorong naiknya indeks kepuasan Jemaah Haji tahun 2013, yaitu indeks kepuasannya berada di level 82 persen atau naik delapan poin ketimbang tahun sebelumnya. Faktor lain yang mendorong kepuasan Jemaah Haji ialah pelayanan

catering dan pelayanan petugas nonkloter.

Namun demikian, sebagaimana terjadi pada Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun-tahun sebelumnya, Penyelenggaraan Ibadah Haji pada tahun 2013 juga tidal< luput dari berbagai kendala. Munculnya kendala-kendala tersebut telah memancing hujan kritik dari berbagai kalangan. Kendala-kend~a tersebut muncul bukan karena tidal< adanya perbaikan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji, tetapi semata-mata karena masalah yang muncul selalu berbeda tiap tahunnya. Salah satu masalah yang sejak tahun 2007 selalu mendapatkan kritik atau sorotan tajam dari banyak kalangan ialah masalah daftar antrian Jemaah Haji yang sangat panjang serta akuntabilitas dan transparasi pengelolaan Biaya Penyelenggaraan lbadah Haji (BPIH).

Berkenaan dengan masalah di atas, hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pendaftaran dengan prinsip first come first seroed, yang

memung-kinkan bagi setiap muslim untuk secara otomatis mendapatkan jatah kuota haji jika telah membayar setoran awal BPIH sebesar Rp 25 juta. Berkenaan dengan

(4)

akuntabilitas dan transparansi pengelolaan BPIH, sebelumnya perlu dijelaskan bahwa sejak tahun 2008 hingga sekarang, setoran awal BPIH dan hasil manfaat-nya telah mencapai kurang lebih Rp 64 triliun. Berkenaan dengan akumulasi dana yang sangat besar tersebut, ada pihak-pihak yang mempertanyakan terkait pengelolaan dan pertanggungjawabannya, tetapi ada pula :p.;.~1ak yang menya-yangkan mengapa dana sebesar itu tidak dinvestasikan sehingga hasilnya dapat dikembalikan kepada J emaah Haji.

Mereka mendasarkan pada kasus Tabung Haji Malaysia yang mampu mengelola secara produktif BPIH-nya dalam bentuk tabungan dan investasi ke berbagai bentuk usaha. Hasil investasi tersebut, kemudian dikembalikan kepada Jemaah Haji dalam bentuk keuntungan yang disimpan dalam tabungan mereka. Dilihat dari jumlah Jemaah Haji, mereka berpandangan bahwa mestinya Indone-sia dapat memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan MalayIndone-sia.

Apa yang mereka pertanyakan tentu sangat baik apabila dapat direalisa-sikan. Namun demikian, mereka tidak boleh lupa bahwa mengapa Tabung Haji Malaysia dapat melakukan hal tersebut, karena memang didukung oleh peratur-an perundperatur-ang-undperatur-angperatur-an yperatur-ang memberikperatur-an kewenperatur-angperatur-an kepada mereka untuk ,. berinvestasi. Sedangkan untuk kasus Indonesia tidaklah demikian.

Yang Mulia Pimpinan dan Anggota Komisi VIII DPR-RI,

Mengapa dana sebesar Rp 64 triliun itu belum dimanfaatkan secara opti-mal, karena mem.ang tidak ada payung hukumnya. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008, sesuai dengan namanya, sebenarnya hanya untuk Penyelenggaraan lbadah Haji, tidak menjadi payung hukum untuk pengelolaan BPIH dan nilai manfaatnya. Dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 memang disebutkan bahwa Menteri Agama berwenang untuk mengelola BPIH, tetapi. payung hukumnya yang hanya dalam bentuk Peraturan Menteri Agama dirasa tidak memadai, mengingat besarnya jumlah akumulasi BPIH dan nilai manfaat-nya pada saat sekarang. Selain, kata pengelolaan dalam Pasal 21 itu lebih dipa-hami hanya sebatas menerima, menyimpan, dan mengeluarkan, tidak termasuk menginvestasikan pada usaha yang tentunya berisiko.

Selama ini, kami berusaha agar pengelolaan BPIH dan hasil manfaatnya dilakukan secara akuntabel dan transparan. Untuk itu, kami mengumumkan neraca hasil audit Penyelenggaraan Ibadah Haji melalui media massa secara rutin. Sebagai bagian dari upaya transparansi Pengelolaan Keuangan Haji, kami terus melakukan kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

(5)

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan menggalakkan pengawasan internal dengan berbagai pendekatan melalui efektivitas auditing

oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama.

Berangkat dari elaborasi di atas, dapat disimpulkan bahwa Pengelolaan Keuangan Haji membutuhkan payung hukum yang kuat dan jelas, karena BPIH merupakan dana masyarakat. Dengan payung hukum yang kuat dan jelas di-harapkan dana masyarakat itu lebih terjaga keamanannya dan dapat dirasakan manfaatnya oleh Jemaah Haji. Potensi BPIH yang besar dapat diinvestasikan dalam produk investasi dan jasa keuangan berbasis syariah yang produktif dan tidak berisiko tinggi. Nilai manfaat yang dihasilkan tentunya menjadi hak calon Jemaah Haji yang telah menyetorkan dana ke Rekening Menteri Agama.

Dengan demikian, Pemerintah sangat memerlukan undang-undang khu-sus yang mengatur Pengelolaan Keuangan Haji, karena status uang yang diteri-ma Pemerintah bukan miliknya tetapi hanya uang titipan dari calon Jediteri-maah Haji. Apabila uang tersebut hanya titipan, lalu bagaimana status uang tersebut? Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 2 huruf h disebutkan bahwa "kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerin-• tah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/ atau kepentingan

umum" merupakan salah satu ruang lingkup dari Keuangan Negara. Karena merupakan bagian dari Keuangan Negara, maka BPIH dan nilai manfaatnya tersebut logikanya harus disetorkan, dikelola, dan dipertanggungjawabkan se-suai dengan mekanisme Keuangan Negara (APBN). Konsekuensi tersebut tentu tidak mudah dipahami dan diterima oleh banyak kalangan, karena itu berarti BPIH dan nilai manfaatnya akan pula terkena dampak negatif dari rnekanisme APBN tersebut.

Menyadari hal tersebut, tidak diragukan lagi bahwa fungsi Undang-Un-dang tentang Pengelolaan Keuangan Haji sangat penting· karena ril.enegaskan· posisi keuangan haji terhadap Keuangan Negara. Hal ini berkaitan dengan tata kelola administrasi. Selama ini keuangan haji dilaporkan terpisah dengan anggaran Kementerian Agama. Selain demi tata kelola administrasi, Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Haji juga akan secara tegas mengatur perihal penggunaan BPIH, yaitu uang tersebut dapat digunakan untuk apa dan siapa atau lembaga yang diberi tugas untuk mengkaji rencana penggunaan. Misalnya, apakah uang itu dapat digunakan untuk berinvestasi di sukuk atau investasi lainnya. Lalu, investasi apa yang boleh dan apa risikonya. Atau hanya boleh disimpan di rekening, dan lain sebagainya.

(6)

Yang mulia Pimpinan dan Anggota Komisi VIII DPR-RI,

Melengkapi penjelasan di atas, izinkan kami untuk menjelaskan pokok-pokok materi muatan yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Haji terdiri dari 5 (Hrna) bab dan 30 (tiga puluh) pasal.

Bab I Ketentuan Umum, memuat pengertian dan batasan istilah penting yang digunakan secara berulang dalam batang tubuh. Ada 2 ( dua) istilah pen-ting yang digunakan, yaitu Keuangan Haji dan Dana Haji. Keuangan Haji ada-lah semua hak dan kewajiban Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang ter-kait dengan Penyelenggaraan lbadah Haji, serta semua kekayaan dalam bentuk uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sedangkan Dana Haji adalah dana setoran Biaya Penyelenggaraan lbadah Haji dan nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka Penyelenggaraan lbadah Haji.

Bab II Keuangan Haji, memuat ruang lingkup Keuangan Haji, sumber, dan peruntukkannya. Dalam bab ini, dijelaskan secara tegas mengenai status hu-kum setoran BPIH, yang selama ini terjadi kesimpangsiuran, apakah termasuk · uang negara atau bukan uang negara. Rancangan Undang-Undang menegaskan bahwa setoran BPIH merupakan dana titipan Jemaah Haji untuk Penyeleng-garaan Ibadah Haji. Rumusan ini menegaskan secara eksplisit bahwa BPIH bukan uang negara, artinya ia tetap uang masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan penggunaan kata /1

yang dikuasai oleh negara" dalam pengertian Dana Haji sebelumnya. Kata /1

dikuasai" bukan berarti /1

memiliki", yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak kepemilikan terhadap BPIH. BPIH tetap menjadi milik masyarakat, namun Pemerintah dapat menggunakannya sesuai perun-tukkannya dengan mengikuti mekanisme Keuangan Negara.

Konsep ini merupakan konsep yang baru. Kami krra kita perlu mer~ nungkannya secara mendalam dan penuh kehati-hatian. Namun demikian, dapat kami sampaikan bahwa rumusan tersebut dapat diterima mitra kami dari Kementerian Keuangan, yang selama ini intensif bersama kami merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

Bab III Pengelola Keuangan Haji, memuat badan atau lembaga khusus yang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang mengelola Keuangan Haji. Dalam bab ini kami mengusulkan agar dibentuk badan atau lembaga baru yang terpi-sah dari Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Selama ini, baik Penyelenggaraan Ibadah Haji maupun pengelolaan Dana Haji berada di bawah

(7)

Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Ke depan kami harapkan tidak lagi demikian. Selain itu, mengingat bahwa badan pengelola keuangan haji diharapkan mampu mengembangkan Dana Haji, kami juga merumuskan bahwa badan tersebut bersifat korporat. Namun, karena pengembangan Dana Haji ditu-jukan untuk penin~katan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Penyelenggaraan Ibadah Haji sendiri merupakan tugas Pemerintah-dalam hal dikoordinasikan oleh Kementerian Agama, maka badan tersebut harus berstatus lembaga Pe-merintah yang berada di lingkungan Kementerian Agama dan bersifat nirlaba. Sifat korporat badan tersebut direpresentasikan dengan adanya badan pelaksana dan dewan pengawas.

Dapat kami sampaikan, badan pengelola keuangan haji bertugas menge-lola Dana Haji yang meliputi penerimaan, pengembangan, dan pertanggung-jawaban Dana Haji. Dalam melaksanakan tugasnya, badan tersebut menyeleng-garakan fungsi: (a) perencanaan penerimaan dan pengembangan Dana Haji; (b)

pelaksanaan penerimaan dan pengembangan Dana Haji; (c) pengendalian dan pengawasan penerimaan dan pengembangan Dana Haji; dan (d) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan penerimaan dan pengembangan Dana Haji.

Bab IV Tata Cara Pengelolaan Keuangan Haji, memuat mekanisme pe-rencanaan, pengeluaran, penyimpanan, penempatan, penginvestasian, pelapor-an, dan pertanggungjawaban Dana Haji. Dalam bab inilah diatur secara rind

dan ketat apa yang wajib dilakukan oleh badan dalam mengelola Dana Haji yang akuntabel dan produktif. Dalam hal penempatan dan/ atau investasi Dana Haji misalnya, badan wajib menempatkan dan/ atau menginvestasikan Dana Haji dengan prinsip syariah dan harus mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas.

Selain itu, Dana Haji dilarang untuk dinvestasikan semua. Badan wajib menyimpan Dana Haji yang tidak diinvestasikan setara dengan kebutuhan 2 ( dua) kali biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, atau mungkin apabila Rancangan Undang-Undang ini dapat dibahas pada tahun 2014 ini, DPR-RI dapat mem-berikan pertimbangan lain. Rancangan Undang-Undang juga membatasi bentuk investasi, yaitu hanya dapat dilakukan dalam bentuk surat berharga, emas, dan investasi langsung.

Rancangan Undang-Undang pun membatasi, bahwa investasi dalam bentuk surat berharga hanya dapat dilakukan untuk surat berharga yang diter-bitkan oleh lembaga dalam negeri. lnvestasi dalam bentuk emas hanya dapat dilakukan dalam bentuk batangan yang dijual di dalam negeri. Investasi

(8)

sung dilakukan melalui pengadaan sarana dan prasarana produktif yang ber-kaitan dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji. Syaratnya, investasi langsung da-pat dilakukan dalam bentuk ketja sama antara BPKH dengan badan usaha dan dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan, nilai manfaat, dan bersifat likuid. TPrakhir, hasil pengelolaan Dana Haji melalui investasi wajib disetorkan ke Kas Haji, yaitu rekening Menteri pada Bank Sentral yang digunakan untuk menampung Dana Haji.

Kami berpendapat bahwa pembatasan investasi di atas penting dilaku-kan semata-mata untuk menjamin keamanan BPIH yang merupadilaku-kan uang titip-an masyarakat tersebut. Terakhir, Bab V Ketentutitip-an Penutup.

Yang Mulia Pimpinan dan Anggota Komisi VIII DPR-RI,

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan. Kami berharap bah-wa penjelasan tersebut dapat mempersatukan tekad kita bersama untuk mewu-judkan tata kelola keuangan haji yang lebih akuntabel, transparan, dan

produk-tif sehingga bermanfaat bagi peningkatan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih kepada DPR-RI atas kesempatan yang _ telah diberikan kepada kami.

Akhirnya, kami bermohon kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, semoga apa yang kita pikirkan dan lakukan senantiasa mendapatkan bimbingan dan ridha-Nya, serta dapat memberikan manfaat dan menjadi sumbangan ber-harga bagi kemakmuran bangsa dan negara. Amin.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith-thariq,

Wassalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Jakarta, 3 Maret 2014

(9)

PENJELASAN MENTERI AGAMA

KEPADA DPR

MENGENAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI

SELASA, 8 JULI 2014

PENDABULUAN

Dampak dari diterapkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pendaftaran Haji, adalah adanya trend meningkatnya jumlah jemaah yang masuk daftar tunggu (waiting list) dan meningkatnya akumulasi dana

setoran awal BPIH.

• Pasal 2 ayat 2 dari PMA tsb · mengatur bahwa pendaftaran haji dilaksanakan setiap hari kerja sepanjang tahun.

• Pasal 10 ayat 1 dari PMA tsb menyatakan bahwa "nomor porsi diberikan kepada setiap calon jemaah haji yang telah membayar setoran awal BPIH sebesar Rp 20.000.000,- (dua puluhjuta rupiah)".

• Selain itu pada ayat (2) nya dinyatakan bahwa "calon jemaah haji yang mendapatkan nomor porsi provinsi tahun yang bersangkutan namun . tidak menyetorkan pelunasan BPIH, atau nomor porsinya tidak masuk dalam porsi provinsi tahun yang bersangkutan, atau telah melunasi BPIH tetapi tidak dapat berangkat, maka secara otomatis menjadi waiting list.

UU nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH), pada hakikatnya mengatur tentang penyelenggaraannya saja. Sedangkan hal-hal yang terkait dengan pengelolaan BPIH belum banyak diatur;

• Dalam pelaksanaannya, UU nomor 13Tahun2008, tidak dapat memayungi fungsi dan keberadaan setoran awal BPIH yang terakumulasi dimaksud, dikarenakan beberapa hal berikut:

• Status dana haji tidak ditegaskan, apakah masuk dalam kategori uang negara atau tidak?

• Pola pengelolaan keuangan tidak dideskripsikan • Pola kelembagaan juga tidak dinyatakan.

• Meskipun, pada pasal 21 ayat 3, UU no 13 dimaksud dinyatakan bahwaketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan BPIH diatur dengan Peraturan Menteri Agama,

(10)

namun hal tersebut dianggap belum terlalu kuat untuk memayungi pengelolaan dana haji yang makin besar jumlahnya.

• Untuk itu diperlukan payung hukum yang lebih tinggi dalam bentuk Undang-Undang untuk pengelolaan keuangan haji sehingga memiliki kepastian hukum dan tingkat keamanan yang tinggi serta mampu memberikan nilai tambah dan merasionalkan biaya untuk kemaslahatan jemaah haji serta umat Islam secara kafah.

• Perlu dipahami bahwa RUU PKH nantinya merupakan lex spesialis UU tentang Keuangan Negara, dan BUKAN lex spesialis UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan lbadah Haji. Penempatan RUU PKH menjadi lex spesialis dari

Im tentang Keuangan Negara merupakan kesepakatan antara Menteri Keuangan dan Menteri Agama serta BPK. Jadi, keberadaan RUU PKH merupakan kepentingan 2 ( dua) kementerian.

POSISIBPm

Perlu ditegaskan bahwa, bahwa dalam konsep Badan Pengelolaan Dana Haji, uang BPIH bukanlah uang negara, melainkan uang masyarakat yang dikelola oleh negara.Dengan demikian, meski itu bukan uang negara, BPIH masuk dalam rezim keuangan negara, sehingga pentasarrufannya tunduk pada ketentuan yang dibuat oleh negara untuk kepentingan sebesar-besamya jamaah haji.

Karena itu bukan uang negara maka tak perlu masuk neraca APBN, melainkan dicatat tersendiri. Jika itu masuk dalam neraca APBN, dikhawatirkan itu akan mempengaruhi posisi APBN secara keseluruhan. Misalnya itu harus terkena eannarking 20% untuk pendidikan dan alokasi umum sebesar 26%. Jika ini terjadi maka dapat dipastikan penyelenggaraan ibadah haji akan terganggu, dan jamaah juga dirugikan. Selain itu, APBN sendiri akan terganggu. Oleh karena itu maka BIPH tidak boleh masuk dalam kategori uang negara, melainkan tetap uang masyarakat yang dikelola oleh negara, dan pengelolaan itu tunduk pada pengelolaan keuangan negara. Hal tersebut merupakan pendapat dari Kementerian Keuangan.

LEMBAGA BPKH

Dalam RUU PKH, keberadaan lembaga BPKH disebutkan secara eksplisit tetapi memang terkait dengan bentuk lembaga, rekrutmen pengelola, model pengelolaan keuangannya belum dinyatakan secara eksplisit.

(11)

Sehubungan hal tersebut, Pemerintah memandang bahwa lembaga BPKH merupakan lembaga Pemerintah. Sebagai lembaga Pemerintah, BPKH bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Selanjutnya, organ yang terdapat dalam BPKH terdiri dari Dewan Pengawas dan Badan Pengelola.

Sementara nonna umum mengenai rekrutmen anggota Dewan Pengawas dan Badart Pengelola, dapat dimuat dapat Undang-Undang, sedangkan rincian teknisnya dapat dimuat di PP dan Perpres. Pola pengelolaan keuangan haji diserahkan dan menjadi tanggung jawab BPKH.

Sebagimana dinyatakan dalam RUU BPKH, BPKH tidak akan mengambil bentuk satker dan tidak pula BUMN. Meski demikian, BLU (dan juga BPJS) juga tidak memungkinkan. Dengan mengaca pada lembaga-fombaga yang sudah ada semisal BAZNAS dan BWI yang menggunakan sistemnya sendiri, maka BPKH juga demikian. Hal ini mengingat bahwa di satu sisi, BPKH bersifat korporatif, namun di sisi lain, itu bersifat nirlaba. Dikhawatirkan jika mengambil bentuk korporatif mumi, maka akan dituntut ada pembagian deviden dan mengejar keuntungan semata (profit

oriented). Padahal itu tidak akan ada. Di sisi lain, jika itu bersifat nirlaba murni, maka keinginan untuk mengembangkan dana haji menjadi tidak tercapai.Kombinasi antara sifat korporatif dan nirlaba inilah yang sampai sekarang belum ada modelnya. Sayangnya model BLU dan BPJS, secara filoso:fis tidak memiliki kesamaan dengan filosofi BPKH. Oleh karena itu dengan mempertimbangkan sejumlah keunikan ini, pemerintah mengusulkan agar BPKH menggunakan modelnya sendiri, yaitu model BPKH.

Perlu diketahui bahwa nama-nama seperti BAZNAS, BWI, Badan Otorita Batam (BOB) tidak hanya mencenninkan nama lembaga tetapi juga sekaligus model pengelolaan keuangannya. Dengan menggunakan logika yang sama, hal ini dapat diterapkan pula pada BPKH.

BENTUK INVESTASI

Salah satu mandat RUU PKH adalah dibolehkannya melakukan investasi atas dana haji. Ini tentu saja merupakan suatu terobosan mengingat sampai hari ini BPIH tidak boleh diinvestasikan. Dengan adanya BPKH nantinya, dan haji boleh diinvestasikan. Hasil investasi tersebut akan dikembalikan untuk kepentingan jamaah haji itu sendiri.

(12)

Dalam RUU PKH, area investasi ada di dalam negeri dan dalam bidang-bidang yang mamsih ada hubungannya dengan ibadah haji. Inilah yang membedakannya Tabung Haji di Malaysia. Di Malaysia Tabung Haji boleh diinvestasikan di luar Malaysia dalam berbagai kegiatan bisnis. RUU PKH membatasi area investasi ini. Salah satu alasan mengapa demikian adalah untuk menjaga agar dana haji tidak dipakai untuk membeayai proyek-proyek yang tak ada hubungannya dengan masalah haji.

Namun demikian, mengingat trend dari portofolio keuangan baik konvensional maupun syariah tidak banyak yang membatasi wilayah dan bentuk investasi, maka perlu dipikirkan kembali pembatasan-pembatasan investasi yang diatur dalam RUU PKHtsb. UsulanStruktur BPKH ~

PRESIDEN

I

MENTE RI

A

GAMA

I

I

I

r

....

r DEWAN DEWAN PELAKSANA PENGAWAS \.. ~

...

Catatan:

• BPKH adalahlembaga non eselon yang

bertanggungjawabkepadaPresidenmelaluiMenteri Agama

• BPKH terdiriatas (1) DewanPengawas; dan (2) BadanPelaksana • BPKH berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia • BPKH mengeloladanadarimasyarakat ( calonjemaah haji)

danhasiloptimalisasi/nilaimanfaatdaridanamasyarakattersebut

~

(13)

DewanPengawas BPKH a. Jumlah danKomposisi

• Anggota Dewan Pengawas berjumlah maksimum 5 (lima) orang • 2 anggota dari unsur Pemerintah: Kemenag & Kemenkeu

• 3 anggota dari unsur Non Pemerintah, baik yang berasal dari profesional maupun tokoh masyarakat

• Dewan Pengawas dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Dewan Pengawas.

• Masa jabatan Dewan Pengawas selama periode tertentu [atau dapat pula disebutkan jangka waktunya misalnya @5 Tahun] dan dapat dipilih· kembali untuk I (satu) kali masa jabatan

b. PolaRekruitmen

• Anggota Dewan Pengawas yang berasal dari unsur Non Pemerintah dipilih oleh Panitia Seleksi

• Panitia seleksi dibentuk oleh Menteri Agama yang keanggotaannya terdiri dari unsur Kementerian Agama, Kementerian Keuangan , kementerian/instansiterkait, dan unsur lain yang diperlukan.

• Calon anggota Dewan Pengawas diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi anggota Dewan Pengawas BPKH. c. Tugas

• Dewan Pengawas mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pengelolaan Keuangan Haji yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pengawasan terhadap penghimpunan, pengembangan, dan penggunaan Dana Haji Haji dan melaporkan basil pengawasannya kepada Presiden secara periodik.

(14)

DewanPelaksana BPKH a. JumlahdanKomposisi

• Anggota Dewan Pelaksana berjumlah maksimum 5 (lima) orang

• Anggota Dewan Pelaksana berasal dari unsur profesional yang memiliki keahlian di bidang Keuangan, Investasi, danPerbankan

• Dewan Pelaksana dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Dewan Pelaksana.

• MasajabatanDewanPelaksanaselamaperiodetertentu [ ataudapat pula disebutkan jangka waktunya misalnya @5 Tahun] dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan

b. PolaRekruitmen

• AnggotaDewanPelaksanadipiliholehPanitiaSeleksi

• Panitia seleksi dibentuk oleh Menteri Agama yang keanggotaannya terdiri dari unsur Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, kementerian/instansiterkait, danunsur lain yang diperlukan.

• Calon anggota Dewan Pelaksana diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi anggota Dewan Pelaksana BPKH. c. Tugas

• Dewan Pelaksana mempunyai tugas merencanakan dan melaksanakan program pemanfaatan dan pengembangan Dana Haji serta mempertanggungjawabkan dan melaporkan pengelolaan KeuanganHaji kepada Presiden melalui MenteriAgama

(15)

PENJELASAN MENTERI AGAMA KEPADA DPR MENGENAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI

KAMIS, 21 AGUSTUS 2014

PENDAHULUAN

Dampak dari diterapkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pendaftaran Haji, adalah adanya trend meningkatnya jumlab jemaah yang masuk daftar tunggu (waiting list) dan meningkatnya akumulasi dana setoran awal BPIH.

• Pasal 2 ayat 2 dari PMA tersebut mengatur bahwa pendaftaran haji dilaksanakan setiap hari kerja sepanjang tahun.

• Pasal 10 ayat 1 dari PMA tersebut menyatakan bahwa "nomor porsi diberikan kepada setiap calon jemaah haji yang telah membayar setoran awal BPIH sebesar Rp 20.000.000,- (d~a puluh juta rupiah)".

• Selain itu pada ayat (2) nya dinyatakan bahwa "calon jemaah haji yang mendapatkan nomor porsi provinsi tahun yang bersangkutan namun tidak menyetorkan pelunasan BPIH, atau nomor porsinya tidak masuk dalam porsi provinsi tahun yang bersangkutan, atau telah melunasi BPIH tetapi tidak dapat berangkat, maka secara otomatis menjadi waiting list.

UU nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH), pada hakikatnya mengatur tentang penyelenggaraannya saja. Sedangkan hal-hal yang terkait dengan pengelolaan BPIH belum banyak diatur;

• Dalam pelaksanaannya, UU nomor 13Tahun 2008, tidak dapat memayungi fungsi dan keberadaan setoran awal BPIH yang terakumulasi dimaksud, dikarenakan beberapa hal berikut:

- Status dana haji tidak ditegaskan, apakah masuk dalam kategori uang negara atau tidak?

- Pola pengelolaan keuangan tidak dideskripsikan - Pola kelembagaan juga tidak dinyatakan.

• Meskipun, pada pasal 21ayat3, UU no 13 dimaksud dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan BPIH diatur dengan Peraturan Menteri Agama, namun hal tersebut dianggap belum terlalu kuat untuk memayungi pengelolaan dana haji yang inakin besar jumlahnya.

• Untuk itu diperlukan payung hukum yang lebih tiliggi dalam bentuk Undang-Undang untuk pengelolaan keuangan haji, sehingga memiliki

(16)

kepastian hukum dan tingkat keamanan yang tinggi serta mampu memberikan nilai tambah dan merasionalkan biaya untuk kemaslahatan jemaah haji serta umat Islam secara kafah.

• Perlu dipahami bahwa RUU PKH nantinya merupakan

lex spesialis

UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan BUKAN

lex

spesialis

UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Penempatan RUU PKH menjadi

lex spesialis

dari UU tentang Keuangan Negara merupakan kesepakatan antara Menteri Keuangan dan Menteri Agama serta BPK. Jadi, keberadaan RUU PKH merupakan kepentingan 2 (dua) kementerian.

POSISI BPIH

Perlu ditegaskan bahwa, bahwa dalam konsep Badan Pengelola Keuangan Haji, uang BPIH bukanlah uang negara, melainkan uang masyarakat yang dikelola oleh negara. Dengan demikian, meski itu bukan uang negara, BPIH masuk dalam rezim keuangan negara, sehingga pentasarrufannya tunduk pada ketentuan yang dibuat oleh negara untuk kepentingan sebesar-besarnya jamaah haji.

Karena itu bukan uang negara maka tak perlu masuk neraca APBN, melainkan dicatat- tersendiri. Jika itu masuk dalam neraca APBN, dikhawatirkan itu akan mempengaruhi posisi APBN secara keseluruhan. Misalnya itu harus terkena earmarking 20% untuk pendidikan dan alokasi umum sebesar 25%. Jika ini terjadi maka dapat dipastikan penyelenggaraan ibadah haji akan terganggu, dan jemaah juga dirugikan. Selain itu, APBN sendiri akan terganggu. Oleh karena itu maka BIPH tidak boleh masuk dalam l<:ategori uang negara, melainkan tetap uang masyarakat yang dikelola oleh negara, dan pengelolaan itu tunduk pada pengelolaan keuangan negara. Hal tersebut merupakan pendapat dari Kementerian Keuangan.

Selanjutnya mengenai mekanisme pengelolaan dana haji secara garis besar dapat kami sampaikan sebagai berikut:

1. Setoran BPIH dari Jemaah Haji dibayarkan ke rekening BPKH melalui bank syariah dan/ atau bank um um nasional yang memiliki layanan yang bersifat nasional dan memiliki layanan syariah

2. BPKH akan lebih berfungsi sebagai lembaga pengembangan dana haji. Untuk operasionalisasi haji tetap ada di Kementerian Agama cq. DJPHU. Sehingga penggunaan dana haji untuk operasional haji akan dilimpahkan oleh BPKH ke Bendahara Operasional Haji di DJPHU secara periodik.

3. BPKH wajib menyampaikan laporan kinerja termasuk laporan keuangan kepada DPR dan Presiden melalui Menteri secara periodik

(17)

LEMBAGA BPKH

Dalam RUU PKH, keberadaan lembaga BPKH disebutkan secara eksplisit tetapi memang terkait dengan bentuk lembaga, rekrutmen pengelola, model pengelolaan keuangannya belum dinyatakan secara eksplisit.

Sehubungan hal tersebut, Pemerintah memandang bahwa lembaga BPKH merupakan lembaga Pemerintah. Sebagai lembaga Pemerintah, BPKH bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Selanjutnya, organ yang terdapat dalam BPKH terdiri dari Dewan Pengawas dan Badan Pengelola.

Sementara norma umum mengenai rekrutmen anggota Dewan Pengawas dan Badan Pengelola, dapat dimuat dapat Undang-Undang, sedangkan rincian teknisnya dapat dimuat di PP dan Perpres. Pola pengelolaan keuangan haji diserahkan dan menjadi tanggung jawab BPKH.

Sebagaimana dinyatakan dalam RUU BPKH, BPKH tidak akan mengambil bentuk satker karena BPKH bersifat korporatif dimana prinsip pengelolaan keuangan didasarkan pada pola pengusahaan sebagaimana dilakukan oleh perusahaan atau korporat, dengan mengutamakan efisiensi dan efektivitas terhadap penggunaan sumber daya dan basil. Namun demikian, BPKH tidak akan bersifat korporatif murni karena dikhawatirkan akan dituntut ada pembagian deviden dan mengejar keuntungan semata

(profit oriented).

Disamping itu, BPKH juga tidak akan berbentuk BUMN, mengingat BPKH juga memiliki sifat nirlaba dengan prinsip pengelolaan keuangan yang mengutamakan penggunaan basil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi penyelenggaraan dan pelayanan lbadah Haji. Namun BPKH juga tidak akan bersifat nirlaba murni, karena dikhawatirkan target pengembangan dana haji menjadi sulit untuk tercapai.

Kombinasi antara sifat korporatif dan nirlaba inilah yang sampai sekarang belum ada modelnya. Sayangnya model BLU dan BPJS, secara filosofis tidak memiliki kesamaan dengan filosofi BPKH. Oleh karena itu dengan mempertimbangkan sejumlah keunikan im, pemerintah mengusulkan agar BPKH menggunakan modelnya sendiri, yaitu model BPKH.

Perlu diketahui bahwa nama-nama seperti BAZNAS, BWI, Badan Otorita Batam (BOB) tidak hanya mencerminkan nama lembaga tetapi juga

(18)

sekaligus model pengelolaan keuangannya. Dengan menggunakan logika yang sama, hal ini dapat diterapkan pula pada BPKH.

BENTUK INVESTASI

Salah satu mandat RUU PKH adalah dibolehkannya melakukan investasi atas dana haji. Ini tentu saja merupakan suatu terobosan mengingat sampai hari ini BPIH tidak boleh diinvestasikan. Dengan adanya BPKH nantinya, dan haji boleh diinvestasikan. Hasil investasi tersebut akan dikembalikan untuk kepentingan jamaah .haji itu sendiri.

Dalam usulan awal RUU PKH, area investasi dibatasi hanya di dalam negeri dan dalam bidang-bidang yang masih ada hubungannya dengan ibadah haji. Namun demikian, mengingat perkembangan dunia investasi dan portofolio keuangan semakin kompetitif, maka kami mengusulkan agar bentuk-bentuk investasi tidak dibatasi hanya yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji. Namun yang perlu ditekankan adalah bahwa investasi tersebut harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas serta berdasarkan syariah islam.

(19)

UsulanStruktur BPKH PRE SID EN

I

MENTE RI

AGAMA

I

I

I

, DEWAN DEWAN PELAKSANA PENGAWAS ..._ Catatan:

• BPKH adalah lembaga non eselon yang bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Agama

• BPKH terdiriatas (1) DewanPengawas; dan (2) BadanPelaksana • BPKH berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia

• BPKH mengelola dana dari masyarakat (cal on jemaah haji) dan basil optimalisasif nilai manfaat dari dana masyarakat tersebut

(20)

DewanPengawas BPKH a. Jumlah dan Komposisi

• Anggota Dewan Pengawas berjumlah maksimum 7 (tujuh) orang

• 2 anggota dari unsur Pemerintah: Kemenag & Kemenkeu

• 5 anggota dari unsur Non Pemerintah, baik yang berasal dari profesional maupun tokoh masyarakat

• Dewan Pengawas dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Dewan Pengawas.

• Masa jabatan Dewan Pengawas selama periode tertentu [atau dapat pula disebutkan jangka waktunya misalnya @5 Tahun] dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan b. Pola Rekrutmen

Usulan pola rekrutmen Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BPKH diusulkan mirip dengan Badan/Lembaga yang telah ada seperti hal nya BPJS, dimana pemilihan Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana BPJS dilakukan oleh Panitia seleksi. Hasil seleksi diusulkan ke Presiden untuk ditetapkan.

Usulan pola rekrutmen Dewas BPKH sebagai berikut:

• Anggota Dewan Pengawas yang berasal dari unsur Non Pemerintah dipilih oleh Panitia Seleksi

• Panitia seleksi dibentuk oleh Menteri Agama yang keanggotaannya terdiri dari unsur Kementerian Agama, Kementerian Keuangan , kementerian/instansi terkait, dan unsur lain yang diperlukan.

• Calon anggota Dewan Pengawas diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi anggota Dewan Pengawas BPKH.

c. Tu2as

• Dewan Pengawas mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pengelolaan Keuangan Haji yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pengawasan terhadap penghimpunan, pengembangan, dan penggunaan Dana Haji Haji dan melaporkan basil pengawasannya kepada Presiden secara periodik.

(21)

Dewan Pelaksana BPKH a. Jumlah dan Komposisi

• Anggota Dewan Pelaksana berjumlah maksimum 7 (orang) orang

• Anggota Dewan Pelaksana berasal dari unsur profesional yang memiliki keahlian di bidang Keuangan, Investasi, dan Perbankan

• Dewan Pelaksana dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Dewan Pelaksana.

• Masajabatan Dewan Pelaksana selama periode tertentu [ataudapat pula disebutkan jangka waktunya misalnya @5 Tahun] dan dapat dipilih kembali untuk

1

(satu) kali masa jabatan

b. Pola Rekrutmen

• Anggota Dewan Pelaksana dipilih oleh Panitia Seleksi

• Panitia seleksi dibentuk oleh Menteri Agama yang keanggotaannya terdiri dari unsur Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, kementerian/instansi terkait, dan unsur lain yang diperlukan.

• Calon anggota Dewan Pelaksana diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi anggota Dewan Pelaksana BPKH.

c. Tuaas

· • Dewan Pelaksana mempunyai tugas mer~ncanakan dan melaksanakan program pemanfaatan dan pengembangan Dana Haji serta mempertanggungjawabkan dan melaporkan pengelolaan Keuangan Haji kepada Presiden melalui MenteriAgama

Referensi

Dokumen terkait

RS ROYAL TARUMA Nama Dokter yang tidak kerjasama dengan Allianz dalam pelayanan Rawat Jalan dan Rawat Inap

Bank Indonesia (BI) mencatat nilai cadangan devisa Indonesia pada akhir April sebesar USD123,2 miliar, naik dari posisi di akhir Maret sebesar USD121,8 miliar.. Posisi cadangan

yaitu pertama Metode Biaya Terkecil (  Least Cost Metho  Least Cost Method  d  ) adalah sebuah metode ) adalah sebuah metode untuk menyusun table awal dengan cara

Brand/ merek dapat digunakan oleh suatu lokasi geografis (destinasi), dalam pemasaran pariwisata brand mencerminkan janji yang akan didapatkan ketika melakukan

Analisis Hasil Isomerisasi dengan HPLC Analisis HPLC dilakukan pada larutan hasil isomerisasi yang menghasilkan konversi glukosa terbesar berdasarkan. analisis dengan

pola-pola attachment, figur attachment pada remaja, pengertian kecerdasan emosi, aspek-aspek kecerdasan emosi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi,

Fatimah (2012) yang melakukan penelitian dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh variabel terbukti berpengaruh positif terhadap Perilaku Disfungsional sehingga

Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya rumput laut jenis Sargassum crassifolium dan Gracilaria coronopifolia dapat berpotensi sebagai sumber