Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2006 menyatakan taman satwa adalah kebun binatang yang melakukan upaya perawatan dan pengembangbiakan terhadap jenis satwa yang dipelihara berdasarkan etika dan kaidah kesejahteraan satwa sebagai sarana perlindungan dan pelestarian jenis dan dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana rekreasi yang sehat.
2.2 Taman Satwa
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 menyatakan bahwa suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:
Tujuan pengelolaan taman wisata alam menurut Rais et al. (2007) yaitu terjaminnya potensi kawasan taman wisata alam, kelestarian kondisi lingkungan kawasan wisata alam, optimalnya manfaat taman wisata alam untuk kegiatan wisata alam, penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, budaya, bagi kesejahteraan masyarakat.
Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam (Undang-Undang No.5 Tahun 1990). Taman wisata alam berfungsi sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman jenis tumbuhan, satwa, dan keunikan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan wisata alam (Rais et
al. 2007).
2.1 Taman Wisata Alam
c. Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian dan potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.
a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem gejala alam serta formasi geologi yang menarik.
TINJAUAN PUSTAKA BAB II
Kriteria Taman Satwa menurut P.53/Menhut-II/2006 meliputi:
a. Koleksi satwa yang dipelihara sekurang-kurangnya 2 kelas, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi undang-undang dan atau ketentuan Convention of International Trade on Endangered Species of
Flora Fauna (CITES).
b. Memiliki lahan seluas sekurang-kurangnya 1 (satu) hektar. c. Ketersediaan air dan pakan yang cukup.
d. Memiliki sarana pemeliharaan satwa, antara lain: kandang pemeliharaan, kandang perawatan, kandang karantina, kandang pengembangbiakan, kandang sapih, kandang peragaan, naungan dan prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain.
e. Memiliki kantor pengelolaan dan sarana pengelolaan.
f. Tersedia tenaga kerja sesuai bidang keahliannya antara lain dokter hewan, ahli biologi atau konservasi, kurator, perawat, dan tenaga keamanan.
2.3 Kesejahteraan Satwa
Kesejahteraan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009) yaitu hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, ketentraman, kesenangan hidup, kemakmuran. Kesejahteraan memiliki banyak aspek yang berbeda dan tidak ada ungkapan sederhana, permasalahannya sangat banyak dan beragam. Animal
welfare mengacu pada kualitas hidup satwa, kondisi satwa, dan
perawatan/perlakuan terhadap satwa (Dallas 2006).
Appleby dan Hughes (1997) menyatakan masalah kesejahteraan itu bermacam-macam, karena kesejahteraan bukan sesuatu yang sederhana, dari yang baik sampai buruk, menyangkut banyak aspek yang berbeda. Satu kesimpulan dari perbedaan aspek-aspek tersebut yaitu kebebasan (the Five Freedoms), Farm
Animal Welfare Council (1992) diacu dalam Appleby dan Hughes (1997)
menyatakan bahwa idealnya satwa harus (1) bebas dari rasa lapar dan haus, (2) bebas dari rasa tidak nyaman, (3) bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, (4) bebas untuk menampilkan perilaku alami, dan (5) bebas dari rasa takut dan tekanan.
Duncan dan Fraser diacu dalam Appleby et al. (2004) juga menyatakan bahwa ada tiga pendekatan untuk kesejahteraan, penekanan terhadap perasaan seperti kesenangan dan penderitaan (pikiran), penghindaran dari luka dan penyakit (tubuh), dan kemampuan untuk menampilkan perilaku alami (sifat). Duncan dan Frasher (1997) menyatakan lebih lanjut bahwa penilaian mengenai animal welfare tidak pernah bisa obyektif karena merupakan gabungan dari pengetahuan mengenai animal welfare dengan pendekatan penilaian. Ada tiga macam pendekatan dalam menerapkan animal welfare yaitu:
a. Pendekatan berdasarkan perasaan, pendekatan ini mendefinisikan kesejahteraan satwa dimana satwa sebagai subyek (perasaan dan emosi) dimana pada pendekatan ini menekankan mengurangi perasaan negatif (cekaman, kesakitan, dan lain-lain) dan meningkatkan perasaan positif (nyaman, kesenangan, dan lain-lain). Terkait dengan metode ini termasuk pengukuran utama terhadap motivasi, perilaku, dan psikologi yang merupakan bagian dari perasaan satwa.
b. Pendekatan berdasarkan fungsi, pendekatan ini mengartikan bahwa kesejahteraan satwa adalah terpenuhinya fungsi-fungsi biologis seekor satwa. Banyak yang terkait bahkan kadang bertentangan, pengukuran yang digunakan adalah berdasarkan kesehatan, umur, kesuksesan bereproduksi, dan gangguan pada perilaku dan psikologinya. Pada pendekatan ini banyak perdebatan mengenai hubungan antara fungsi dengan dasar pengukuran dan kesejahteraan satwa.
c. Pendekatan berdasarkan pengekspresian satwa berdasarkan perilaku normal di alam. Penampilan secara penuh perilaku alamiah menyebabkan timbulnya daftar kritikan luas oleh pengkritisi animal welfare, namun pada sebagian orang pendekatan ini mungkin saja dikembangkan.
Upaya yang dapat dipertimbangkan untuk mewujudkan kesejahteraan satwa ada dua macam, yaitu mengusahakan satwa hidup sealami mungkin atau membiarkan satwa hidup dengan perjalanan fungsi biologisnya (Moss 1992). Menurut Farm Animal Welfare Council (1992) diacu dalam Appleby dan Hughes (1997) kesejahteraan satwa dapat diukur dengan aspek-aspek kebebasan (Five
a. Bebas dari rasa lapar dan haus (freedom from hunger and thirst)
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan pertama dalam hidup. Kebebasan dari rasa lapar dan haus ini ditempatkan di urutan pertama karena ini sangat mendasar, primitif, dan tidak dapat ditolerir. Lapar adalah saat-saat satwa terstimulasi untuk makan. Satwa memerlukan akses yang mudah terhadap makanan dan minuman untuk menjaga kesehatan dan kebugaran. Ukuran kelaparan dapat dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama, termasuk di dalamnya masuknya makan, kedua, jumlah rata-rata memakan, dan ketiga, waktu yang dibutuhkan dalam aktivitas pendistribusian makanan. Metode-metode yang dapat digunakan untuk mengukur rasa haus adalah proses pengukuran jumlah air yang masuk, jumlah rata-rata meminum, dan waktu yang dibutuhkan dalam pendistribusian minuman (Magnen 1985 diacu dalam Islahuddin 2009). b. Bebas dari rasa tidak nyaman (freedom from discomfort)
Ketidaknyamanan disebabkan oleh keadaan lingkungan yang tidak sesuai pada satwa. Bebas dari rasa tidak nyaman dapat diwujudkan dengan menyediakan tempat yang sesuai seperti penyediaan kandang/ tempat berlindung yang nyaman (ventilasi memadai, suhu dan kelembaban yang cukup, adanya lantai, tempat tidur, dan sebagainya). Satwa akan merasa nyaman pada lingkungan yang tepat, termasuk perkandangan dan area beristirahat yang nyaman. Kondisi lingkungan yang ekstrim dan penerapan manajemen yang membuat stres mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan satwa. Akibatnya selain metabolisme, satwa yang stres akan memperburuk penampilan (kurus), satwa juga akan lebih rentan terhadap infeksi agen penyakit (Blecha 2000).
c. Bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit (freedom from pain, injury, and disease)
Sehat pada satwa secara individu secara sangat sederhana dapat didefinisikan negatif sebagai “tidak adanya symptom penyakit” (Ekesbo 1996). Penyakit seringnya diakibatkan oleh kekeliruan manajemen atau sistem yang diberlakukan. Penyakit meliputi malnutrisi, trauma, dan infeksi yang diderita satwa selama satwa dipelihara manusia. Kebebasan
ini dapat diwujudkan dengan pencegahan, diagnosa yang tepat dan perawatan. Pengetahuan yang cukup atau tersedianya dokter hewan sangat penting (Phillips 2000 diacu dalam Islahuddin 2009).
d. Bebas untuk menampilkan perilaku alami (freedom to express normal behaviour)
Satwa mempunyai kebiasaan atau perilaku yang khas untuk masing-masing jenis. Dalam perawatan manusia, satwa mungkin memiliki lebih sedikit kesempatan untuk mengekspresikan perilaku normalnya tersebut. Pada kondisi ekstrim, hal yang mungkin terjadi justru satwa menunjukkan perilaku menyimpang. Penyediaan ruang yang cukup, fasilitas yang benar dan teman bagi satwa dari sejenisnya akan membantu satwa mendapatkan kebebasan menunjukkan perilaku normalnya (Phillips 2000 diacu dalam Islahuddin 2009).
e. Bebas dari rasa takut dan tekanan (freedom from fear and distress) Para peneliti mempunyai takaran tersendiri dalam mengukur tingkat stres, seperti detak jantung dan kadar konsentrasi pada plasma katekolamin dan kortikosteron. Peternak harus memastikan satwanya terbebas dari penderitaan mental akibat kondisi sekitar, perlakuan, dan manajemen. Untuk dapat bertahan seekor satwa harus mampu menyesuaikan diri dan mengatasi tantangan alam (Cook 2000). Respon terhadap tantangan alam ini salah satu wujudnya adalah stres. Stres selalu hadir, dan tanpa kehadiran stres berarti kematian (Wolfle 2000). Rangsangan yang memicu stres disebut dengan istilah stressor. Stres berbeda dari distres, distres adalah stres yang buruk, sementara stres tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kesejahteraan satwa. Istilah eustres digunakan untuk keadaan oleh stressor yang menyenangkan, misalnya saat bermain dengan kawannya (Lay 2000).
Moberg (2000) menyatakan stres berpengaruh terhadap kesejahteraan satwa tergantung besar kecilnya kerugian biologis akibat stres tersebut. Meskipun akomodasi atas stres mungkin terjadi, namun jika tidak maka stres dapat berakibat kematian. Stres tidak hanya merupakan keadaan saat satwa harus beradaptasi melebihi kemampuannya, tetapi juga pada saat
satwa mempunyai respon yang lemah bahkan terhadap rangsangan normal sehari-hari (Duncan dan Fraser 1997).
Rasa takut merupakan emosi primer yang dimiliki satwa yang mengatur respon mereka terhadap lingkungan fisik dan sosialnya. Rasa takut dianggap sebagai stres yang merusak satwa (Jones 1997 diacu dalam Islahuddin 2009). Rasa takut yang berkepanjangan tentu akan berimbas buruk bagi kesejahteraan satwa. Cheeke (2004) diacu dalam Islahuddin (2009) menitikberatkan pada teknik manajemen satwa yang mengurangi atau menghilangkan stres sebagai komponen penting dari animal welfare. Prinsip kesejahteraan satwa yang telah diuraikan diatas, untuk singkatnya dapat dilihat pada Tabel 1 yang sekaligus merupakan batasan kesejahteraan satwa yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 1 The Five Freedoms Satwa menurut the UK’s Farm Animal Welfare
Council (1997) diacu dalam Appleby et al. (2004)
No Prinsip kesejahteraan satwa Deskripsi
1. Bebas dari rasa lapar dan haus Dengan tersedianya air bersih dan makanan untuk mendapatkan kekuatan penuh
2. Bebas dari rasa tidak nyaman Dengan tersedianya lingkungan yang cocok, termasuk tempat berlindung dan tempat beristirahat yang nyaman
3. Bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit Dengan pencegahan atau diagnosa yang tepat dan pengobatan
4. Bebas untuk menampilkan perilaku alami Dengan tersedianya ruang yang cukup, fasilitas yang tepat, dan interaksi dengan jenisnya sendiri
5. Bebas dari rasa takut dan tekanan Dengan menjamin kondisi dan perlakuan dengan menghindari tekanan mental
Di Indonesia kesejahteraan satwa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pada Pasal 1 dikatakan bahwa yang dimaksud kesejahteraan hewan ialah usaha manusia memelihara hewan, yang meliputi pemeliharaan lestari hidupnya hewan dengan pemeliharaan dan perlindungan yang wajar. Tercantum juga dalam hal pemeliharaan hewan pada Pasal 22 yang menyatakan untuk kepentingan kesejahteraan hewan, maka dengan peraturan pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang: a) tempat dan perlindungan, b) pemeliharaan dan perawatan, c) pengangkutan, d) penggunaan dan pemanfaatan, e) cara pemotongan dan pembunuhan, f) perlakuan dan pengayoman yang wajar oleh manusia terhadap
hewan. Pada saat ini undang-undang sedang direvisi dan muatan tentang kesejahteraan hewan disempurnakan sesuai dengan perkembangan masa kini.
2.4 Wisata
2.4.1 Pengertian Wisata
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan sebagai antisipasi perkembangan dunia pariwisata yang semakin mengglobal (Pendit 2002). UU ini mengandung ketentuan meliputi delapan hal, yaitu:
a. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata.
b. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.
c. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.
d. Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata.
e. Usaha pariwisata adalah kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau menyediakan atau mengusahakan obyek dan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata, dan usaha lain yang terkait di bidang tersebut.
f. Obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata.
g. Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
h. Menteri Pariwisata adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kepariwisataan.
Pariwisata merupakan suatu gejala yang menggambarkan kepergian orang-orang di dalam negaranya sendiri (pariwisata domestik) atau melalui batas negara (pariwisata internasional). Proses bepergian ini menimbulkan terjadinya interaksi
dan hubungan, persepsi, motivasi, tekanan, kepuasan, dan lain-lain antar pribadi atau antar kelompok (Wahab 1992).
Goeldner et al. (2000) menyatakan wisata adalah perpaduan dari kegiatan, pelayanan, dan industri yang memberikan sebuah pengalaman perjalanan mulai dari transportasi, akomodasi, makan dan minum, berbelanja, hiburan, fasilitas kegiatan, dan pelayanan lainnya yang tersedia untuk individu atau rombongan yang melakukan perjalanan jauh dari tempat tinggal mereka.
Avenzora (2008) menyatakan wisata merupakan kombinasi berbagai komponen dan aspek pengetahuan yang harus diintegrasikan dalam suatu kesatuan dinamika. Diterangkan lebih lanjut bahwa untuk memudahkan mempelajari wisata maka dapat dilakukan penyederhanaan dengan mengenali determinan yang sangat signifikan mempengaruhi berbagai aspek dalam wisata yaitu ruang dan waktu.
Wisata menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
2.4.2 Pemanfaatan Satwa untuk Wisata
Strategi konservasi yang telah dikembangkan dalam penanganan hidupan liar, menurut Semiadi (2007) dapat dirangkum sebagai berikut yaitu pembentukan kawasan lindung, perlindungan total, olahraga berburu, penangkaran, pengelolaan intensif pada hidupan liar yang memiliki nilai bioprospektif, pemanfaatan hidupan liar di wilayah pengembangan, dan ekowisata.
Ekowisata merupakan konsep yang telah banyak dikembangkan selama 20 tahun terakhir di berbagai negara, dimana memberikan contoh bahwa hidupan liar yang dibiarkan berkembang secara alami lebih berharga dan indah dibandingkan dalam bentuk mati atau jauh dari habitatnya. Kegiatan ini berupa perjalanan dan kunjungan ke wilayah yang masih alami untuk kesenangan, pendidikan dan menghargai keindahan alam (Semiadi 2007).
Satwa yang hidup liar di alam bebas merupakan pemandangan alam yang indah dan khas serta mempunyai nilai seni yang sangat tinggi (Alikodra 2002). Taman Nasional Nairobi (Afrika), dapat menyuguhkan kehidupan liar diantaranya singa yang sedang memangsa antelope dan sebagainya, Taman Nasional Baluran dengan ratusan ekor rusa dan banteng yang melintas savana. Obyek-obyek rekreasi alam ini dapat dikembangkan secara profesional sehingga dapat menarik minat wisatawan baik nusantara maupun mancanegara. Jika keadaan ini dapat berkembang dengan pesat, berarti kita dapat memanfaatkan potensi keindahan alam secara optimal untuk kepentingan pengembangan sektor pariwisata (Alikodra 2002).
Obyek dan daya tarik wisata (UU No. 9 Tahun 1990) terdiri atas:
a. Obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna.
b. Obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreaksi, dan tempat hiburan.
Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam (UU No.9 Tahun 1990) merupakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan tata lingkungannya untuk dijadikan sasaran wisata. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata budaya merupakan usaha pemanfaatan seni budaya bangsa untuk dijadikan sasaran wisata. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata minat khusus merupakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan potensi seni budaya bangsa untuk menimbulkan daya tarik dan minat khusus sebagai sasaran wisata. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata yang berintikan kegiatan yang memerlukan pengamanan terhadap keselamatan wisatawan, kelestarian dan mutu lingkungan, atau ketertiban dan ketenteraman masyarakat diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pemanfaatan jenis menurut PP No. 8 Tahun 1990 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar adalah penggunaan sumber daya alam baik tumbuhan maupun satwa liar dan atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan;
perdagangan; peragaan; pertukaran; budidaya tanaman obat-obatan; dan pemeliharaan untuk kesenangan.
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar bertujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan mengendalikan pendayagunaan jenis tumbuhan dan satwa liar atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dengan tetap menjaga keanekaragaman jenis dan keseimbangan ekosistem (PP No.8 Tahun 1990).
Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar berdasarkan PP No.8 Tahun 1990 dapat berupa koleksi hidup atau koleksi mati termasuk bagian-bagiannya serta hasil dari padanya.
1. Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan oleh lembaga konservasi dan lembaga-lembaga pendidikan formal.
2. Peragaan yang dilakukan oleh orang atau Badan di luar lembaga sebagaimana dimaksud di atas harus dengan izin menteri.
Perolehan dan penggunaan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi untuk keperluan peragaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri (PP No.8 Tahun 1990).
1. Lembaga, badan atau orang yang melakukan peragaan tumbuhan dan satwa liar bertanggung jawab atas kesehatan dan keamanan tumbuhan dan satwa liar yang diperagakan.
2. Menteri mengatur standar teknis kesehatan dan keamanan tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan peragaan.
2.5 Analisis SWOT
Proses pengambilan keputusan strategis, suatu perusahaan atau organisasi sepatutnya menjalani berbagai evaluasi dan analisis. Rangkaian proses panjang ini dimaksudkan untuk memberikan pilihan alternatif terbaik dalam perkembangan selanjutnya (Rangkuti 2008), begitu juga dengan daerah wisata seperti Taman Wisata Alam Punti Kayu.
SWOT menurut Rangkuti (2008) merupakan singkatan dari lingkungan internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal Opportunities dan
Threats yang dihadapi dunia bisnis. Analisisis SWOT membandingkan antara
faktor eksternal peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) dengan faktor internal kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknesses).
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan Ancaman (Threats) (Rangkuti 2008).
Alat yang biasa dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan ialah matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya (Rangkuti 2008).