• Tidak ada hasil yang ditemukan

RAKP KAB. TANAH DATAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RAKP KAB. TANAH DATAR"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI………. ii

DAFTAR TABEL………. iii

DAFTAR GAMBAR……… iii

EXECUTIVE SUMMARY………. v BAB I PENDAHULUAN………. 1 1.1 Latar Belakang……… 1 1.2 Tujuan RAKP……….. 4 1.3 Landasan Hukum………. 4 1.4 Sistematika Penulisan……… 4

BAB II PROFIL KOTA PUSAKA……….. 6

2.1 Sejarah Perkembangan Kabupaten Tanah Datar………. 6

2.1.1 Asal Masyarakat Tanah Datar Menurut Tambo dan Sejarah………... 8

2.1.2 Minangkabau Menurut Tambo……… 9

2.1.3 Luhak Tanah Datar (Luhak Nan tuo)……… 14

2.1.4 Minangkabau Menurut Sejarah………. 17

2.1.5 Kerajaan Alam Minangkabau Pada Masa Islam……… 17

2.1.6 Perang Paderi, Keruntuhan Kerajaan Pagaruyung dan Zaman Kolonial………. 19

2.2 Signifikansi, Otensitas/Keaslian/integritas……….. 31

2.2.1 Pernyataan Arti penting………. 31

2.2.3 Pernyataan Keaslian atau Otensitas……… 31

2.3 Atribut Kota Pusaka……… 32

2.3.1 Aset Pusaka Alam………. 32

2.3.2 Aset Pusaka Saujana……….. 35

2.3.3 Aset Pusaka Budaya………. 110

BAB III TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI………. 116

3.1 Tujuan………. 116

3.2 Arah Kebijakan……….. 117

3.3 Strategi……… 118

BAB IV PENGELOLAAN KOTA PUSAKA………. 119

4.1 Rencana Pengembangan Kota Pusaka………. 119

4.2 Rencana struktur dan Pola Ruang Kota Pusaka……….. 119

4.3 Rencana Pengembangan Kelembagaan……… 120

4.4 Rencana Pemberdayaan Masyarakat……… 119

BAB V PENETAPAN KAWASAN PRIORITAS……….. 126

5.1 Inventarisasi dan Deskripsi Sebaran Aset Pusaka dan Penetapan Kawasan Prioritas……… 128

5.1.1 Deskripsi Benda Cagar Budaya disekitar Kawasan Batusangkar : Bangunan……….. 130

5.1.2 Deskripsi Benda Cagar Budaya disekitar Kawasan Batusangkar : Situs………. 168

5.1.3 Deskripsi Benda Cagar Budaya disekitar Kawasan Batusangkar : Kawasan………. 169

5.2 Konsep dan Kebijakan dalam Penataan serta Pengembangan Kawasan Prioritas Cagar Budaya di Kota Batusangkar………. 175

BAB VI ARAHAN DAN INDIKASI PROGRAM PENATAAN DAN PELESTARIAN KOTA PUSAKA……… 177

DAFTAR PUSTAKA……….. 182 ii

(4)

DAFTAR TABEL

TABEL 2.1 Nama dan Lokasi Benda Cagar Budaya di Kabupaten

Tanah Datar 36

TABEL 2.2 Daftar Inventarisir Status Benda Cagar Budaya di

Kabupaten Tanah Datar 37

TABEL 3.1 Daftar Periodesasi dan Jenis Benda Cagar Budaya di

Kabupaten Tanah Datar 40

TABEL 4.1 Organisasi Masyarakat/Komunitas terkait Pelestarian Budaya dan Pusaka di Kabupaten Tanah Datar 141 TABEL 6.1 Arahan Indikasi Program Penataan dan Pelestarian

Kota Pusaka Kabupaten Tanah Datar 169

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 2.1 Peta Administrasi Kabupaten Tanah Datar 7 GAMBAR 2.2 Batu Batikam di Situs Medan Nan Bapaneh Kubu Rajo 11 GAMBAR 2.3 Luhak Tanah Datar dan Wilayah Rantaunya 16 GAMBAR 2.4 Benteng Van der Capellen di Kota Batusangkar 21 GAMBAR 2.5 Peta Afdeeling Tanah Datar Tahun 1935 22 GAMBAR 2.6 Onderafdeeling, Fort Van der Capellen 23 GAMBAR 2.7 Peta Onderafdeeling, Fort Van der Capellen 24 GAMBAR 2.8 Daftar Nagari-Nagari dibawah Afdeeling Tanah datar dan

Onderafdeeling Fort Van der capellen 25 GAMBAR 2.9 Nagari-Nagari dibawah Afdeeling Tanah datar dan

Onderafdeeling Fort Van dr Capellen, Distrik Batusangkar 26 GAMBAR 2.10 Struktur Kawasan Batusangkar Tahun 1893 28 GAMBAR 2.11 Struktur Kawasan Kota Batusangkar Tahun 1930 28 GAMBAR 2.12 Struktur Kawasan Kota Batusangkar Tahun 1943 29 GAMBAR 2.13 Struktur Kawasan Kota Batusangkar Tahun 1945 29 GAMBAR 2.14 Struktur Kawasan Kota Batusangkar tahun 2013 30 GAMBAR 2.15 Peta perkembangan Batusangkar dilihat dari struktur pola

jalan

30 GAMBAR 2.16 Peta Penyebaran Benda cagar Budaya di Kabupaten Tanah

Datar 42

GAMBAR 2.17 Peta Klasifikasi Benda Cagar Budaya di Kabupaten Tanah Datar

43 GAMBAR 2.18 Peta Penyebaran Benda Cagar Budaya Berdasarkan Periode

Masa di Kabupaten Tanah Datar 44

GAMBAR 2.19 Peta Penyebaran Benda Cagar Budaya Kabupaten Tanah Datar Periode Masa Hindu Budha

45 GAMBAR 2.20 Peta Penyebaran Benda Cagar Budaya Kabupaten Tanah

Datar Periode Masa Islam 46

GAMBAR 2.21 Peta Penyebaran Benda Cagar Budaya Kabupaten Tanah Datar Periode Masa Kolonialisme Belanda-Jepang

47 GAMBAR 2.22 Peta Penyebaran Benda Cagar Budaya Kabupaten Tanah

Datar Periode Masa Tradisional 48

GAMBAR 2.23 Peta Penyebaran Benda Cagar Budaya Kabupaten Tanah Datar Berdasarkan status Penetapan

49 GAMBAR 5.1 Peta Penyebaran Benda Cagar Budaya di sekitar Kawasan

Kota Batusangkar 171

(5)

GAMBAR 5.2 Peta Citra Kawasan Kta Batusangkar: 172 GAMBAR 5.3 Peta Sebaran Benda Cagar Budaya pada kawasan Prioritas

di Kota Batusangkar 173

GAMBAR 5.4 Perbandingan pola dan kondisi Benda Cagar Budaya antara zaman kolonialisme dengan kondisi sekarang

di Kawasan Kota Batusangkar

174

(6)

EXECUTIVE SUMMARY

Kabupaten Tanah Datar adalah salah satu dari 19 Kabupaten Kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Ditinjau dari sisi sejarah, daerah ini memiliki catatan yang cukup panjang. Keberadaan Tanah Datar tidak bisa dilepaskan dengan sejarah dan perkembangan suku Minangkabau, salah satu suku dan etnis yang ada di Indonesia. Kabupaten Tanah Datar dikenal masyarakat Sumatera Barat sebagai “Luhak Nan Tuo” atau daerah yang dituakan.

Menilik sejarah dan perkembangan dari masa ke masa, Kabupaten Tanah Datar ini memiliki potensi sumber daya budaya yang sangat banyak. Nilai penting kawasan ini dapat dilihat dari aspek sejarah, nilai penting situs cagar budaya, kawasan maupun sosial budaya. Nilai penting dan keistimewaan Kabuapten Tanah Datar antara lain adalah :

1. Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah asal dan berkembangnya Suku dan Budaya Minangkabau;

2. Kabupaten Tanah Datar memiliki peninggalan sejarah yang bervariasi dan cukup lengkap. Berbagai peninggalan purbakala yang merupakan aset pusaka baik ragawi maupun non ragawi di Tanah Datar berasal dari beragam tradisi dan budaya, mulai dari zaman prasejarah, Hindu-Budha, Islam, zaman penjajahan kolonial dan tradisional;

3. Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah yang terkaya dengan peninggalan Prasasti Melayu Kuno sekitar abad (13-14 M). Berdasarkan hasil penelitian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat ditemukan bahwa sampai tahun 2016, benda Cagar Budaya/Situs yang terdapat di Kabupaten Tanah Datar yang telah diinventarisasi berjumlah 72 buah, 32 diantaranya telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional. Benda Cagar Budaya/Situs tersebut tersebar ke dalam 14 Kecamatan di wilayah kabupaten Tanah Datar;

4. Kabupaten Tanah Datar merupakan tempat berdirinya Kerajaan Minangkabau atau Kerajaan Pagaruyung. Dari benda situs dan kawasan bersejarah yang ditemukan menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yang luar biasa, dimana menurut beberapa ahli dapat menyaingi peradaban di Pulau Jawa;

5. Kabupaten Tanah Datar juga memiliki sejarah yang cukup panjang di zaman penjajahan kolonial. Berbagai bangunan peninggalan kolonial

(7)

masih bisa kita temui dan saksikan di kabupaten ini terutama di kawasan Kota Batusangkar.

Seiring dengan diterimanya usulan proposal P3KP Kabupaten Tanah datar maka untuk tahapan selanjutnya dilaksanakan Penyusunan Rencana Aksi Kota Pusaka (RAKP) Kabupaten Tanah Datar yang akan dijadikan sebagai basis pelaksanaan dan instrumen dari Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar bersama dengan stakeholder yang terkait dengannya dalam rangka mencapai predikat Kota Pusaka Indonesia.

Dalam pelaksanaan Program P3KP perlu ditetapkan Kawasan Prioritas Pusaka diamana dikawasan ini nantinya penatan dan pelestarian aset pusakanya diprioritaskan karena memilik aset pusaka yang penting yang harus dilindungi sehingga dapat memberi manfaat sosial, budaya, ekonomi dan sistem lingkungan hidup. Berdasarkan hasil kajian Tim Kota Pusaka Kabupaten Tanah Datar maka untuk kawasan prioritas Pusaka diKabupaten Tanah datar dipikih Kawasan Kota Batusangkar. Hal yang mendasari pemilihan ini antara lain adalah hasil inventarisasi aset pusaka, kajian terhadap data dan informasi pendukung serta hasil pemeringkatan terhadap kawasan yang memiliki aset pusaka.

Dokumen RAKP Kabupaten Tanah Datar ini dapat dijadikan sebagai penjabaran RTRW Kabupaten tanah Datar dalam hal penataan dan pelestarian Kawasan lindung dan Cagar Budaya serta dokumen-dokumen turunannya dan dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk perencanaan pelestarian dan pemanfaatan aset pusaka yang ada di Kabupaten Tanah Datar

(8)

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pelestarian benda cagar budaya merupakan hal yang penting berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh benda cagar budaya dan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 yang menyebutkan bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran. Cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya. Upaya pelestarian terhadap benda cagar budaya sampai saat ini masih terus dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Namun upaya pelestarian tersebut belumlah memadai, hal ini disebabkan oleh berbagai masalah antara lain sering dijumpai berbagai pelanggaran dan perusakan terhadap benda cagar budaya, disamping masih kurangnya perhatian dari berbagai pihak dalam penanganan pelestarian sehingga menyebabkan aset-aset budaya tersebut mengalami kemerosotan kualitas fisik. Disisi lain akibat perkembangan suatu daerah memberikan tekanan yang semakin besar dan sering mengancam upaya-upaya pelestarian terhadap benda cagar budaya dan situs.

Upaya pelestarian benda cagar budaya membutuhkan keterlibatan banyak pihak dan yang terpenting adalah keterlibatan masyarakat, terutama pada benda cagar budaya yang masih dipakai (living monument). Pelestarian living monument terkadang lebih sulit, dikarenakan kurangnya pemahaman sang pemilik tentang pentingnya pelestarian benda cagar budaya miliknya.Upaya pelestarian benda cagar budaya dan situs dapat dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, baik bersifat fisik maupun non fisik. Bentuk dan jenis pelestarian itu antara lain pendokumentasian, perlindungan, pemeliharaan dan pemugaran. Salah satu bentuk pelestarian yang berbentuk non fisik dapat berupa pencagarbudayaan benda cagar budaya dan situs. Dalam prakteknya pencagarbudayaan dapat

(9)

meliputi kegiatan pengumpulan data berupa data tulisan (verbal) dan gambar (piktorial) serta data lainnya yang mendukung seperti gambar denah, gambar potongan dan peta situasi. Berdasarkan undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya, perlu untuk melestarikan benda cagar budaya sebagai suatu warisan masa lalu yang memiliki nilai bagi perkembangan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.

Kabupaten Tanah Datar adalah salah satu dari 19 Kabupaten Kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Ditinjau dari sisi sejarah, daerah ini memiliki catatan yang cukup panjang. Keberadaan Tanah Datar tidak bisa dilepaskan dengan sejarah dan perkembangan suku Minangkabau, salah satu suku dan etnis yang ada di Indonesia. Kabupaten Tanah Datar dikenal masyarakat Sumatera Barat sebagai “Luhak Nan Tuo” atau daerah yang dituakan. Dari daerah inilah menurut cerita turun temurun atau yang lebih dikenal dengan tambo berawalnya nenek moyang Suku Minangkabau dari Nagari Tuo Pariangan, sebuah nagari (desa) yang terletak di Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar.

Dalam hal sejarah dan perkembangan dari masa ke masa, Kabupaten Tanah Datar ini memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan Kota/Kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera Barat. Beberapa keistimewaan tersebut antara lain adalah :

1. Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah asal dan berkembangnya Suku dan Budaya Minangkabau;

2. Kabupaten Tanah Datar memiliki peninggalan sejarah yang bervariasi dan cukup lengkap. Berbagai peninggalan purbakala yang merupakan aset pusaka baik ragawi maupun non ragawi di Tanah Datar berasal dari beragam tradisi dan budaya, mulai dari zaman prasejarah, Hindu-Budha, Islam, zaman penjajahan kolonial dan tradisional;

3. Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah yang terkaya dengan peninggalan Prasasti Melayu Kuno sekitar abad (13-14 M). Berdasarkan hasil penelitian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat ditemukan bahwa sampai tahun 2016, benda Cagar Budaya/Situs yang terdapat di Kabupaten Tanah Datar yang telah diinventarisasi berjumlah 72 buah. Benda Cagar Budaya/Situs tersebut tersebar pada 14 Kecamatan di wilayah kabupaten Tanah Datar;

4. Kabupaten Tanah Datar merupakan tempat berdirinya Kerajaan Minangkabau atau Kerajaan Pagaruyung. Dari benda situs dan kawasan bersejarah yang ditemukan menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri

(10)

sebuah peradaban Melayu yang luar biasa, dimana menurut beberapa ahli dapat menyaingi peradaban di Pulau Jawa.

5. Kabupaten Tanah Datar juga memiliki sejarah yang cukup panjang di zaman penjajahan kolonial di Sumatera Barat. Berbagai bangunan peninggalan kolonial masih bisa ditemukan di kabupaten ini terutama di kawasan Kota Batusangkar, salah satunya adalah Benteng Van der Capellen. Benteng ini adalah satu-satunya benteng peninggalan Belanda yang masih berdiri sampai saat ini di Sumatera Barat.

Sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya yang menyatakan bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya serta bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat. Untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya maka Pemerintah Kabupaten Tanah Datar telah berupaya untuk melindungi dan melestarikan benda cagar budaya ini yang secara umum telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Tanah Datar dan didalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Bangunan Gedung.

Seiring dengan perkembangan waktu tidak dapat dipungkiri bahwa upaya pengelolaan dan pelestarian aset-aset pusaka semakin mendapat tantangan yang lebih berat. Berbagai faktor seperti tekanan kebutuhan ekonomi, perubahan prilaku sosial budaya, kurangnya pemahaman serta faktor alam sangat berpotensi untuk menggerus nilai-nilai serta keberadaan fisik warisan sejarah yang sangat berharga ini. Untuk itu diperlukan langkah-langkah dan upaya yang nyata untuk terus berupaya menyelamatkan, mengelola dengan arif serta melestarikan aset-aset pusaka tersebut. Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat adalah salah satu langkah nyata yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk ikut melestarikan warisan warisan sejarah yang ada di seluruh Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, sebagai salah bentuk komitmen dari Pemerintah Kabupaten Datar sebagai salah satu daerah yang memiliki aset-aset pusaka yang penting untuk ikut melestarikan warisan pusaka tersebut dengan ikut bergabung melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP).

(11)

1.2. Tujuan RAKP

Tujuan penyusunan RAKP adalah untuk menyusun sebuah dokumen rencana aksi sebagai basis pelaksanaan dan instrumen dari Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar bersama dengan stakeholder yang terkait dengannya dalam rangka mencapai predikat Kota Pusaka Indonesia.

1.3. Landasan Hukum

1)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

2)

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

3)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya;

4)

Keputusan Menteri Kimpraswil No. 30/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara

5)

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara;

6)

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

7)

Keputusan Menteri Kimpraswil No.339/KPTS/M/2003 tentang pedoman pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi Instansi Pemerintah

8)

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata

No.49/UM.001/MKP/2001 tentang Pedoman Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs;

9)

Peraturan Menteri Kebudayaan & Pariwisata Nomor : PM.05/PW.007/MKP/2010 tentang Penetapan Situs Dan Bangunan Tinggalan Sejarah Dan Purbakala Provinsi Sumatera Barat sebagai Cagar Budaya, Situs atau Kawasan Cagar Budaya;

10)

Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanah Datar Tahun 2011 – 2031;

11)

Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2011 tentang Bangunan Gedung;

12)

Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 6 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016 – 2021.

1.4. Sistematika Penulisan

Bab I, merupakan bagian pendahuluan yang akan menjelaskan tentang latar belakang, tujuan penyusunan Rencana Aksi Kota Pusaka (RAKP) Kabupaten Tanah Datar dan landasan hukum dari penyusunan kegiatan ini.

(12)

Bab II, akan memaparkan profil kota pusaka yang meliputi penjelasan mengenai sejarah perkembangan Kabupaten Tanah Datar (morfologi daerah) yang dilihat dari beberapa periode perkembangan seperti masa Hi ndu/Budha, Zama n Ke rajaan Islaml,masa kolonial dan pasca kolonial. Berdasarkan latar belakang sejarah dan perkembangan Kabupaten Tanah Datar, maka diungkapkanlah signifikansi, otentisitas/keaslian dan integritasnya. Dan juga pada bagian ini akan dijelaskan keragaman pusaka Kabupaten Tanah Datar yang meliputi asset pusaka alam, budaya (tangible dan intangible) serta pusaka saujana.

Bab III, menjelaskan mengenai tujuan, kebijakan dan strategi dalam pencapaian program penataan dan pelestarian kota pusaka.

Bab IV, menjelaskan tentang Konsep Pengelolaan Kota Pusaka yang meliputi rencana pengembangan (rencana struktur ruang, rencana pola ruang dan rencana pengembangan strategis kabupaten yang mendukung pelestarian kota pusaka), rencana pengembangan kelembagaan (organisasi/instansi terkait kota pusaka) dan rencana pemberdayaan masyarakat.

Bab V, merupakan penetapan kawasan prioritas dari program penataan dan pelestarian kota pusaka. Pada bagian ini akan diulas mengenai hasil inventarisasi sebaran pusaka sebagai pendekatan untuk menentukan kawasan prioritas. Pada bagian ini juga dijelaskan ketentuan umum peraturan yang dapat mendukung program pelestarian kota pusaka.

Bab VI, merupakan arahan dan indikasi program yang disusun dalam rangka menindaklanjuti program penataan dan pelestarian kota pusaka. Bagian ini memuat indikasi program yang meliputi Pengembangan Kota Pusaka, Pengembangan Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat. Dalam indikasi program ini akan mencakup 8 instrumen RAKP (kelembagaan dan tata kelola;inventarisasi dan dokumentasi;informasi, edukasi, dan promosi;pengelolaan resiko bencana;olah desain;olah fungsi;penataan ruang;ekonomi pusaka)

(13)

BAB II

PROFIL KOTA PUSAKA 2.1. Sejarah Perkembangan Kabupaten Tanah Datar

Sejarah perkembangan Kabupaten Tanah Datar tidak bisa dilepaskan dari sejarah keberadaan Minangkabau, baik Minangkabau sebagai suku/etnis atau Minangkabau sebagai salah satu kerajaan yang pernah ada di nusantara. Hampir sebagian besar kisah dan sejarah Minangkabau terjadi dan berada di daerah yang secara administrasi pemerintahan saat ini dikenal dengan nama Kabupaten Tanah Datar. Dengan kata lain apabila kita membicarakan tentang Minangkabau maka dapat dipastikan kita akan membahas Kabupaten Tanah Datar.

Kabupaten Tanah Datar merupakan salah satu dari 19 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Tanah Datar mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang, mulai pada kehidupan masa-masa awal yang dalam tambo dituturkan bermula dari Nagari Pariangan, kemudian masa pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha yang dilanjutkan sampai masa Islam dan Kolonial. Kondisi ini membuat Kabupaten Tanah Datar memiliki peninggalan sejarah yang cukup banyak. Sebagai daerah asal adat, budaya dan etnis Suku Minangkabau, di kabupaten Tanah Datar banyak terdapat peninggalan situs-situs dan prasasti sumber sejarah, bangunan tradisional yang masih berdiri sampai saat sekarang ini seperti Nagari Tuo Pariangan, Istano Basa Pagaruyung, Balairung Sari Tabek, Mesjid-mesjid dan Surau (Mushalla) yang telah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu. Berbagai bangunan bersejarah peninggalan Belanda juga masih berdiri kokoh di Kabupaten Tanah Datar seperti benteng Fort Van Der Capellen dan Gedung Indo Jolito dimana bangunan ini pernah menjadi kediaman Residen Belanda yakni Godert Alexander Gerard Philip Van Der Capellen. Kawasan Lembah Anai, Danau Singkarak, Gunung Marapi, Panorama Tabek Patah, Puncak Pato adalah beberapa contoh Pusaka Alam yang terdapat di Kabupaten Tanah Datar. Untuk Pusaka Budaya, terdapat puluhan ragam dan jenis budaya yang sangat menarik di daerah ini seperti pacu jawi, berbagai macam kesenian adat istiadat dan lain-lain.

Secara geografis Kabupaten Tanah Datar berada pada posisi 00°17’ LS - 00°.39’ LS dan 100° 15’ BT - 100° 19’ BT. Terletak pada ketinggian rata-rata 400 sampai 1.000 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Tanah Datar yaitu 133.600 Ha (1.336 km2), merupakan daerah terluas ke-11 dari 19 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat. Jumlah penduduk kabupaten Tanah Datar

(14)

pada tahun 2015 adalah 344.828 jiwa yang mendiami 14 kecamatan, 75 nagari (desa) dan 395 jorong. Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah agraris, lebih 70% penduduknya bekerja pada sektor pertanian, baik pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, maupun peternakan. Topografi wilayah Kabupaten Tanah Datar berbukit–bukit dan bergelombang dengan kemiringan sebagai berikut :

Wilayah datar : 0 – 3 % : ± 6,160 Ha (4,61 %) Wilayah berombak : 3 – 8 % : ± 3,567 Ha (2,67 %) Wilayah bergelombang : 8 – 15 % : ± 44,023 Ha (32,95 %) Wilayah perbukitan : > 15 % : ± 79,850 Ha (59,77 %)

Secara Geologis di Kabupaten Tanah Datar terdapat tiga buah gunung berapi yaitu Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan Gunung Sago, serta dilalui oleh sesar aktif yaitu sesar semangka. Dengan kondisi wilayah sebagaimana tersebut di atas maka potensi terjadinya bencana alam di Kabupaten Tanah Datar menjadi cukup besar, disisi lain kondisi ini juga membuat Kabupaten Tanah Datar dianugerahi Tuhan dengan tanah yang subur dan alam yang indah

Gambar.2.1. Peta Administrasi Kabupaten Tanah Datar

Dari segi sosial budaya, mayoritas penduduk Kabupaten Tanah Datar adalah pemeluk agama Islam dan pemegang adat yang kuat dimana prinsip utama masyarakat Minangkabau adalah ”Adat basandi syarak, Syarak basandi kitabullah”, sebuah kombinasi yang unik antara adat budaya dengan ajaran Agama Islam. Dari ratusan ribu suku bangsa yang ada didunia banyak yang menganut garis keturunan dari ayah (Patrilineal). Hanya ada 5 (lima) suku didunia yang

(15)

menganut sistem garis keturunan ibu (matrilineal), salah satunya adalah Suku Minangkabau. Masyarakat Minangkabau terkenal dengan tata kehidupan yang mencerminkan sistem Matrilineal dengan adat istiadatnya yang unik. Dalam sistem ini harta pusaka, gelar, dan nama suku, diturunkan menurut silsilah garis keturunan ibu.

2.1.1. Asal Masyarakat Minangkabau Menurut Tambo dan Sejarah

Seperti yang telah diuraikan pada paragraf awal Bab II ini bahwa membicarakan sejarah perkembangan Kabupaten Tanah Datar tidak bisa dilepaskan dari keberadaan suku dan daerah Minangkabau. Ada dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula saling melengkapi

Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerangkan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau sekarang. Walaupun penelusuran tambo sulit untuk dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam tambo masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Tambo diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-orang tua dan dianggap sebagai sejarah kaum.

Dalam bentuk lain, tambo menjelaskan pula tentang asal muasal orang Minangkabau. Tambo adalah satu-satunya keterangan mengenai sejarah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena didalam tambo terdapat dua hal:

(1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung;

(2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan.

Dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya sehingga menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara tambo tidak terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi menilik kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat sebuah kisah, sesuatu yang

(16)

pernah terjadi dan berlaku. Jadi apabila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana sejarah, maka akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkan bukti-bukti prasasti.

2.1.2. Minangkabau Menurut Tambo.

Mengikuti tambo yang ditulis oleh Batuah (1985), Diradjo (1987), serta Moenir (1985), daerah asal usul masyarakat Minangkabau dimulai dari Pariangan yaitu sebuah daerah di pinggang gunung Merapi yang kemudian menyebar ke berbagai daerah sekitarnya. Secara administratif saat ini Pariangan merupakan sebuah Nagari (Desa) yang terletak di Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar.

Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina. Suri Maharajo Dirajo berlayar ke Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring yang yang disebut; Kucing Siam, Harimau Campo, Anjiang Mualim, Kambiang Hutan. Dalam pelayarannya, kapal yang membawa Suri Maharajo Dirajo dan rombongannya ini terdampar di puncak Gunung Marapi. Puncak Gunung Marapi ketika itu digambarkan masih sagadang talua itiak (masih sebesar telur itik). Pepatah ini sering ditafsirkan bahwa pada waktu kedatangan Sultan Sri Maharajo Dirajo ini, dari kejauhan sudah terlihat gunung Merapi sehingga kalau dipandang dari kejauhan, maka bentuknya masih sebesar telur itik. Artinya dalam pelayaran ini, Suri Maharajo Dirajo sudah menjadikan gunung Merapi sebagai pedoman dalam pelayarannya, apakah akan terus berlayar atau akan mendarat di sekitar daratan (Gunung Marapi) tersebut.

Berdasarkan temuan Team Research Pengumpulan Data Sejarah Minangkabau tahun 1970 yang dikutip Djamaris (1991), cerita asal usul seperti ini masih dipercayai orang Minangkabau. hal ini disebabkan karena penjelasan tentang keberadaan gunung Merapi sebagai tempat asal usul pertama orang Minangkabau, diungkapkan dalam pantun adaik yang sampai

(17)

sekarang masih sering dikutip dalam pengangkatan penghulu-penghulu baru (batagak penghulu). Adapun pantun adaik tersebut berbunyi sebagai berikut :

“Manuruik warih nan dijawek, pusako nan ditolong, kaba asa nan daulu, kok gunuang sabingkah tanah, bumiko sapahimbauan, kok lauik sacampak jalo, tanah darek balun lai leba, nan timbua gunuang marapi. Lorong nan niniak moyang kito, asa usuanyo kalo dikaji, iyo di dalam tambo lamo, sapiah balahan tigo jurai, asa nan dari banua Ruhun. Dimano titiak palito, dibaliak telong nan batali, dimano turun niniak kito, dari lereang gunuang marapi”.

(Menurut warisan yang diterima, (dan) pusaka yang diberikan, kabar asal usul (Minangkabau) dahulunya, (yaitu ketika) gunung masih sebingkah tanah, bumi masih kecil, laut masih selemparan jala, tanah daratan belumlah lebar, yang ada hanya Gunung M arapi. Tentang nenek moyang kita, kalau dikaji asal usulnya, (yaitu) dari tambo lama, (berasal dari) salah satu dari 3 keturunan, (yaitu) dari benua Ruhum. Di mana titik cahaya, di balik lampu yang bertali, dari mana turunnya nenek moyang kita, dari lereng Gunung Marapi).

Suri Maharajo Dirajo mempunyai 3 orang istri,salah satunya bernama Indo Jolito dan mempunyai seorang anak bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Setelah Suri Maharajo Dirajo meninggal maka Indo Jolito kawin dengan Cati Bilang Pandai yang merupakan salah seorang penasihat Suri Maharajo Dirajo dan melahirkan lima orang anak yaitu Jalang Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam, Puti Jamilan, Puti Reno Suda dan Sutan Mambang. Setelah menikah dengan Cati Bilang Pandai, Indo Jolito membawa keluarganya, termasuk anak tirinya Sutan Maharajo Basa pindah ke daerah baru yaitu Dusun Tuo (Lima Kaum) sementara daerah asal (Pariangan dan Padang Panjang) tetap dihuni keluarga kerajaan.

Setelah anak-anaknya besar, Cati Bilang Pandai lalu mengusulkan kepada Datuak Suri Dirajo (sebagai pemimpin kerajaan Koto Batu) dan Datuak Bandaro Kayo (penghulu wilayah Pariangan) serta Datuak Maharajo Basa (penghulu wilayah Padang Panjang) untuk mengangkat anak-anaknya sebagai penghulu dan memberikan gelar datuak kepada mereka. Anak tiri Cati Bilang Pandai (hasil perkawinan Indo Jelito dengan Suri Maharajo Dirajo) yaitu Sutan Maharajo Basa lalu diberi gelar Datuak Katamenggungan, sementara Jatang Sutan Balun lalu diberi gelar dengan Datuak Prapatih Nan Sabatang, sementara

(18)

Sutan Bakilap Alamp Dunio diberi gelar sebagai Datuak Sri Maharajo Nan Banego-Nego.

Dengan diangkatnya ketiga datuak ini sebagai penghulu-penghulu baru, maka Cati Bilang Pandai lalu mendirikan “kerajaan Dusun Tuo” sebagai kerajaan baru meneruskan “kerajaan Koto Batu” yang didirikan Suri Maharajo Dirajo yang dipercayai mulai pudar. Sebagai “raja” baru di daerah tersebut, maka diangkatlah Datuak Katamenggungan sebagai raja pertamanya. Walaupun Datuak Katamenggungan diangkat sebagai raja, tetapi dalam kepemimpinannya selalu didampingi oleh Datuak Prapatiah Nan Sabatang, orangtuanya (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito), serta para penghulu yang sebelumnya diangkat oleh Sultan Sri Maharajo Dirajo sebagai penghulu, yaitu Datuak Suri Dirajo (pemimpin kerajaan Koto Batu Pariangan), Datuak Bandaro Kayo (penghulu wilayah Pariangan) serta Datuak Maharajo Basa (penghulu wilayah Padang Panjang).

Kekompakan dua datuak ini dalam membangun kerajaan Dusun Tuo (Lima Kaum) mulai goyah seiring meninggalnya Cati Bilang Pandai, yang kemudian juga disusul dengan meninggalnya Indo Jelito. Sepeninggal kedua orangtua mereka ini, kerajaan Dusun Tuo sebenarnya masih utuh, akan tetapi hubungan antara dua datuak ini sudah mulai sedikit renggang. Ini misalnya ditunjukkan dengan mulai semakin seringnya Datuak Katamenggungan menyendiri di nagari Sungai Tarab, sementara Datuak Prapatiah Nan Sabatang juga sudah mulai membuat tempat istirahat tersendiri di daerah Dusun Tuo. Bahkan di antara keduanya sudah mulai muncul pembicaraan untuk membagi seluruh daerah Minangkabau ini menjadi dua sistem politik (lareh) yang masing-masing lareh akan dikepalai oleh kedua datuak ini.

Hal ini akhirnya menimbulkan pertikaian antara mereka yang berakhir dengan perpecahan dan pertempuran. Selanjutnya sebagaimana dikisahkan dal am tambo , akhir dari “pertempuran” ini, diselesaikan melalui peristiwa penikaman batu yang kemudian dikenal dengan sebutan batu batikam yang dipercaya masyarakat sekarang ada di nagari Lima Kaum.

Gambar. 2.2 Batu Batikam, terletak di Situs Medan Nan Bapaneh, Kec Lima Kaum Kab. Tanah Datar

(19)

Peristiwa inilah yang mengakhiri pertikaian mereka dan sepakat untuk tetap bersatu sebagaimana mereka lakukan sebelumnya. Tali persaudaraan lalu mereka rajut kembali, dan bersama-sama dengan Datuak Bandaro Kayo (penghulu dari Pariangan) dan Datuak Maharajo Basa (penghulu dari Padang Panjang) lalu disepakati untuk tetap membagi wilayah yang telah ada menjadi dua lareh dan menyerahkan salah satunya kepada Datuak Prapatiah Nan Sabatang. Daerah lareh milik Datuak Katamenggungan lalu disepakati diberi nama lareh Koto Piliang yang berarti koto (daerah) yang telah dipilih atau ditentukan sendiri. Sementara lareh milik Datuak Parapatieh Nan Sabatang ini lalu diberi nama lareh Bodi Caniago yang berarti budi yang berharga, atau sebagai bukti bahwa begitu tingginya kearifan dan budi pekerti seorang Datuak Prapatiah Nan Sabatang. Sementara untuk daerah kekuasaan Datuak Bandaro Kayo (Pariangan) dan Datuak Maharajo Basa (Padang Panjang), keputusannya diserahkan kepada kedua datuak ini. Musyawarah akhirnya mensepakati bahwa untuk daerah Pariangan – Padang Panjang merupakan daerah netral yang tidak memihak salah satu lareh. Sebagai daerah netral, maka ia akan memakai kedua-duanya, sehingga lareh ini kemudian diberi nama lareh Nan Panjang.

Datuak Katamenggungan untuk kemudian lebih banyak menetap dan menjalankan pemerintahanya dari nagari Sungai Tarab. Di daerah Sungai Tarab inilah, Datuak Katamenggungan lalu mengembangkan kerajaan baru yang lebih dikenal dengan sebutan “kerajaan” Bungo Setangkai, dan menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung sementara Datuak Prapatiah Nan Sebatang tetap berdiam di Dusun Tuo (Lima Kaum).

Urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah: (1) Kerajaan Pasumayan Koto Batu,

(2) Kerajaan Pariangan Padang Panjang (3) Kerajaan Dusun Tuo

(4) Kerajaan Bungo Sitangkai

(5) Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir (6) Kerajaan Pagaruyung.

Secara administratif, daerah asal Minangkabau ini dibagi atas tiga luhak, namun tidak ada penjelasan secara tegas akan makna kata luhak itu sendiri. Beberapa tambo cuma menceritakan bahwa pada masa Sri Sultan Maharajo Dirajo pembagian daerah ke dalam tiga luhak ini masih dalam pemikiran (hanya ditunjuk arah daerahnya saja). Pembagian secara tegas baru dilakukan

(20)

setelah Sri Maharajo ini mangkat atau ketika wilayah Minangkabau diperintah oleh Datuk Katamenggungan dan Datuk Prapatiah Nan Sabatang.

Mengikuti Kamus Lengkap Bahasa Minangkabau yang ditulis Gouzali Saydan (2004), kata luhak lebih diartikannya sebagai kesatuan asal usul wilayah tradisional Minangkabau pada masa lalu, di mana di dalamnya terdiri dari federasi berbagai nagari. Ada tiga luhak yang kemudian sering disebut dengan istilah luhak nan tigo (luhak yang tiga buah) yaitu luhak Tanah Datar, luhak Agam dan luhak 50 Kota.

Luhak Tanah Datar dianggap sebagai wilayah awal sehingga sering disebut sebagai luhak nan tuo (luhak tertua), kemudian luhak Agam sebagai luhak nan tangah (luhak kedua atau yang tengah), dan luhak 50 Kota sebagai luhak terakhir atau disebut luhak nan bongsu (luhak paling bungsu). Dalam tambo, masing-masing luhak ini sering dilukiskan melalui ciri-cirinya seperti luhak Tanah Datar dicirikan dengan airnya jernih, ikannya jinak, buminya dingin. Luhak Agam dilukiskan dengan airnya keruh, ikannya liar dan buminya hangat, sedangkan luhak Limapuluah Kota dilukiskan dengan airnya sejuk, ikannya jinak, buminya sejuk (Batuah, 1985). Penggambaran ini lebih ditafsirkan bahwa sebagai gambaran tentang watak dan tingkah laku penduduknya. Hamka (dikutip dari Djamaris, 1991) misalnya, melukiskan bahwa masyarakat luhak Tanah Datar memiliki sifat seperti seorang raja dan pendekar, masyarakat luhak Agam memiliki sifat seperti seorang hulubalang dan disegani (juaro), sedangkan masyarakat luhak Limapuluah Kota memiliki sifat seperti seorang penghulu dan cerdik. Daerah-daerah persebaran dari masyarakat dari luhak nan tigo ini di dalam adaik kemudian sering disebut dengan istilah rantau.

Kesatuan wilayah luhak (luhak nan tigo) dan daerah rantau yang dimiliki masing-masing luhak inilah yang kemudian dianggap sebagai wilayah adaik Minangkabau. Dengan kata lain, bagi masyarakat Minangkabau, wilayah adaik yang mereka miliki tidak saja meliputi wilayah dataran tinggi yang ada (luhak), tetapi juga meliputi wilayah rantau di sekitarnya, bahkan sampai ke Negeri Sembilan Malaysia. Akan tetapi, sejak masa kolonial Belanda, wilayah adaik Minangkabau ini lalu dimasukkan sebagai bagian dari wilayah jajahan Belanda dengan sebutan “Residentie van Sumatera Westkust” (Salmadanis, 2003). Menurut Salmadanis, sejak inilah wilayah Minangkabau terjadi pengecilan, bahkan ada kecenderungan hal ini disengaja sebagai bagian dari politik penjajahan.

(21)

2.1.3. Luhak Tanah Datar (Luhak Nan Tuo)

Luhak Tanah Datar sebagai luhak nan tuo, dipercaya sebagai asal mula keberadaan dan terbentuknya masyarakat Minangkabau. Secara adat, wilayah yang dianggap sebagai bagian dari luhak Tanah Datar ini, meliputi daerah sekitar kaki gunung Merapi bagian selatan sampai ke kaki gunung Sago bagian selatan dan timur. Adapun wilayah-wilayah yang termasuk dalam wilayah luhak Tanah Datar ini, meliputi 132 nagari yang secara adaik terkelompok ke dalam tujuh wilayah federasi nagari yaitu : Limo Kaum Duobaleh Koto, Sungai Tarab Salapan Batu, Ujuang Labuah Tanjung Sungayang, Lintau Sambilan Koto, Pariangan dan Batipuah Sapuluah Koto, Sambilan Koto di bawah dan Tujuah Koto di Ateh, serta Talawi Tigo Tumpuak - Kubuang Tigo Baleh - Alam Surambi Sungai Pagu. Berkenaan dengan wilayah yang termasuk luhak Tanah Datar ini, ada kecenderungan memiliki perbedaan antara penulis satu dengan lainnya, namun menurut penuturan seorang penghulu di nagari Ampek Suku (Dt.Bijak) adalah sebagai berikut :

(1) Wilayah Limo Kaum Duobaleh Koto, yang kemudian terbagi lagi ke dalam dua wilayah yaitu wilayah Sambilan Koto di Dalam dan Duabaleh Koto di Lua, yang secara kesemuanya terdiri dari 21 nagari yaitu :

(a) Sambilan Koto di Dalam, meliputi : (1) Tabek Boto, (2) Salagonda, (3) Baringin, (4) Koto Baranjak, (5) Lantai Batu, (6) Bukik Gombak, (7) Sungai Ameh, (8) Tanjuang Barulak, dan (9) Rajo Dani.

(b) Duobaleh Koto di Lua, meliputi : (1) Ngungun, (2) Panti, (3)

Cubadak,(4) Supanjang, (5) Pabalutan, (6) Sawah Jauah, (7) Padang Magek, (8)Labuah, (9) Parambahan, (10) Tabek, (11) Sawah Tangah, dan (12) Rambatan.

(2) Wilayah Sungai Tarab Salapan Baatua, yang secara keseluruhan terdiri dari 24 nagari yaitu : (1) Sungai tarab, (2) Koto Tuo, (3) Pasia Laweh, (4) Koto Panjang, (5) Selo, (6) Sumaniak, (7) Patia, (8) Situmbuak, (9) Gurun, (10)Ampalu, (11) Sijangek, (12) Kumango, (13) Rao-Rao, (14) Ampek Suku, (15)Talang Tangah, (16) Talang Dusun, (17) Koto Baru, (18) Salimpaung, (19)Supayang, (20) Mandahiling, (21) Tabek Patah, (22) Tanjung Alam, (23) Tungka, dan (24) Barulak.

(3) Wilayah Ujuang Labuah Tanjung Sungayang yang secara keseluruhan terdiri dari 7 nagari yaitu : (1) Tanjuang, (2) Sungayang, (3) Talago, (4) Sungai Patai, (5) Minangkabau, (6) Koto Badampiang, dan (7) Sawah Liek.

(22)

(4) Wilayah Lintau Sambilan Koto yang terbagi ke dalam dua wilayah yaitu wilayah Lima Koto di Ateh dan Ampek Koto di Bawah, yang secara keseluruhan terdiri dari enam nagari yaitu :

(a) Limo Koto di Ateh, meliputi : (1) Tanjuang Bonai, dan (2) Tapi Selo. (b) Ampek Koto di Bawah, meliputi : (1) Buo, (2) Pangian, (3) Taluak, (4)

Tigo Jangko.

(5) Batipuah Sapuluah Koto dan Pariangan Padang Panjang, yang secara keseluruhan terdiri dari 21 nagari yaitu :

(a) Batipuah Sapuluah Koto, meliputi : (1) Sumpu, (2) Malalo, (3)

Pitalah,(4) Tanjuang Barulak, (5) Jaho, (6) Tambangan, (7) Pandai Sikek, (8) Koto Laweh, dan (9) Gunuang Paninjauan.

(b) Pariangan – Padang Panjang, meliputi : (1) Sungai Jambu, (2) Lubuk Atan, (3) Pariangan, (4) Padang Panjang, (5) Guguak, (6) Sikaladi, (7)Sialahan, (8) Koto Tuo, (9) Batu Basa, (10) Simabua, (11)

Balimbiang,dan (12) Simawang.

(6) Sambilan Koto di Bawah dan Tujuah Koto di Ateh yang secara keseluruhan terdiri dari 16 nagari yaitu : (1) Koto Basa dan Abai Siat, (2) Koto Salah dan Ampalu, (3) Koto Padang dan Koto Baru, (4) Tiumang dan Sialang Gauang, (5) Siguntua dan Sungai lansek, (6) Pulau Punjung dan Sungai Dareh, (7) Tanjuang Gadang dan Labuah Tarok, (8) Sijunjuang dan Pamatang Panjang, (9) Palangki dan Muaro Bodi, (10) Silungkang dan Padang Sibusuak, (11) Tanjuang Ampalu, (12) Tanjuang Baringin, (13) Palalu Ajo dan Ampek Suku, (14) Sisawah dan Silantai, (15) Unggan, dan (16) Sumpur Kudus.

(7) Talawi Tigo Tumpuak, Kubuang Tigo Baleh dan Alam Surambi Sungai Pagu yang terbagi ke dalam lima wilayah yaitu wilayah Talawi Tigo Tumpuak, Kubuang Tigobaleh, Sapuluah Koto Diateh, Nilam Payuang Sakaki, Alam Surambi Sungai Pagu, yang secara keseluruhan terdiri dari 37 nagari yaitu :

(a) Talawi Tigo Tumpuak, meliputi : (1) Talawi, (2) Kolok dan Sijantang, dan(3) Kubang dan Sawah Lunto.

Kubuang Tigobaleh atau sering juga disebut dengan istilah Tanah Data nan di Ilia, meliputi : (1) Kubuang, (2) Solok, (3) Selayo, (4) Kinari,

(5)Muaro Paneh, (6) Cupak, (7) Gantuang Ciri, (8) Guguak, (9) Koto gadang, (10) Sungai lasi, (11) Taruang-Taruang, (12) Tigo Baleh, dan (13) Koto Baru.

(23)

(b) Sapuluah Koto di Ateh, meliputi : (1) Singkarak, (2) Saning Baka, (3) Sumani, (4) Koto Sani, (5) Panyinggahan, (6) Kacang, (7) Tanjung Balik, Sulik Aia, (8) Aripan, dan (9) Bukik Kanduang.

(c) Nilam Payuang Sakaki, meliputi : (1) Sirukam dan Supayang, (2) Koto Anau dan Bukik Sileh, (3) Panyangkalan dan Aia Batumbuak, (4) Alahan Panjang dan Sungai Nanam, dan (5) Salimpat dan Aia Dingin.

(d) Alam Surambi Sungai Pagu, meliputi : (1) Sariak Alam Tigo, (2) Talang Babungo, (3) Tanjung Lolo dan Surian, (4) Pasiah Talang Muaro Labuah, (5) Koto Baru dan Tanjung Gadang, (6) Lubuk Malako dan Bidar Alam,(7) Abai Sangie dan Sungai Kunik.

Dari tujuh wilayah federasi nagari asal inilah kemudian nagari-nagari baru dikembangkan (balahan) di luhak Tanah Datar ini. Masyarakat luhak Tanah Datar ini, juga melakukan persebaran ke daerah-daerah lain di luar luhak nan tigo, yang kemudian sering disebut sebagai daerah rantau nya luhak Tanah Datar. Mengikuti pemikiran De Jong (1960), khusus daerah Kubuang Tigobaleh Muara Labuah, Kerinci (Jambi), serta pesisir barat dan selatan Sumatera Barat itu sendiri mulai dari Padang sampai ke Indrapuro. Sementara menurut Kato (1982) dan juga Naim (1984), wilayah rantau dari luhak Tanah Datar, lebih mengarah ke arah selatan mulai dari Padang sampai ke daerah Kerinci dan Batanghari (Jambi), bahkan sampai ke Muko-Muko, Majuto dan Bangkahulu yang sekarang masuk menjadi bagian dari wilayah Propinsi Bengkulu.

Gambar. 2.3

Luhak Tanah Datar dan Wilayah Rantaunya

2.1.3. Minangkabau Menurut Sejarah

Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum

Kerinci dan Batang Hari (Jambi) Pesisir Barat dan

Selatan Sumatera Barat

Pesisir Utara Provinsi Bengkulu LUHAK TANAH DATAR

(24)

Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman Kerajaan Pagaruyung. Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad pertama Masehi.Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerajaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ketujuh sampai 14.

Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal dengan kerajaan Pagaruyung. Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung, seperti Deli, Siak, Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya.

Keberadaan kerajaan Melayu Minangkabau, terutama raja Adityawarman dapat dibuktikan dengan ditemukannya bukti tertulis berupa prasasti. Terdapat 19 prasasti yang memuat keberadaan dari kerajaan Pagaruyung umumnya dan raja Adityawarman khususnya, yang mengungkap tabir tentang hal ikhwal dari kerajaan dan raja yang pernah ada di alam Minangkabau ini. Bukti-bukti lain yang berasal dari masa Hindu-Budha selain candi adalah batu-batu bersurat (Prasasti) yang banyak terdapat di Kabupaten Tanah Datar. Kabupaten ini merupakan daerah yang terkaya dengan peninggalan prasati Melayu Kuno sekitar abad (13-14 M). Prasasti-prasasti tersebut sebagian besar dikeluarkan oleh Raja Adityawarman yang memerintah sekitar pertengahan sampai seperempat akhir abad XIV M.

2.1.4. Kerajaan Alam Minangkabau Pada Masa Islam

Pasca berakhirnya kekuasaan Adityawarman, kerajaannya lebih terkenal dengan sebutan Kerajaan Pagaruyung. Setelah masa Adityawarman tidak berkuasa lagi, ada mata rantai sejarah yang terputus selama lebih kurang dua abad, karena

(25)

belum ditemukannya bukti tertulis mengenai keberlanjutan dari pemerintahan di Minangkabau. Berdasarkan bukti-bukti peninggalan dari Ananggawarman, anak Adityawarman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara periode Adityawarman yang beragama Hindu-Budha dan raja pertama Minangkabau yang telah memeluk Islam. Bukti tersebut diantaranya keris Curik Simalagiri diwarisi oleh raja-raja berikutnya dan sampai hari ini masih tersimpan dengan baik di Rumah Tuan Gadih Istano Si Linduang Bulan

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir & guru agama yang singgah atau datang dari Aceh & Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala) adalah Syaikh Burhanuddin Ulakan. Beliaulah yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi Kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif. Raja Islam pertama Pagaruyung adalah Yamtuan Raja Bakilap Alam Raja Bagewang Yamtuan Rajo Garo Daulat Yang Dipertuan Sultan Alif I. Namanya itu menunjukkan bahwa Raja Pagaruyung telah memeluk Islam dan berkuasa pada pertengahan abad ke-16 Masehi. Raja Kerajaan Pagaruyung yang bertahta di Pagaruyung disebut sebagai Yang Dipertuan Raja Alam, yang dibantu oleh dua orang Raja, yakni Raja Adat dan Raja Ibadat. Kedua Pembantu Raja itu berkedudukan di tempat yang berbeda, yaitu di Buo dan Sumpur Kudus. Dalam periode kepemimpinan raja-raja Alam Minangkabau pada masa Islam terjadi perluasan dan perkembangan nagari dibawah koordinasi raja Alam Minangkabau.

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yg bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yg pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yg terkenal: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan sehingga inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum Padri [ulama] dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.

Dari reruntuhan Kerajaan Pagaruyung ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa. Banyak situs dan bangunan kini tak ada lagi, hancur akibat peperangan yang terjadi pada masa-masa itu.

(26)

2.1.5. Perang Padri, Keruntuhan Kerajaan Pagaruyung dan Zaman Kolonial Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri & kaum Adat yang menyebabkan terjadinya Perang Padri. Perang yang tercatat sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda di Sumatera Barat. Yang berlangsung dari Tahun 1803-1838. Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, & puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yg berada di Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Pemberian wewenang tersebut hanyalah sebagai taktik Sultan Alam Bagagar Syah dan tidak mungkin dijangkau oleh pemerintah Belanda ketika itu. Taktik tersebut hanyalah mengelabui Belanda, pada hal mereka sesungguhnya bekerja sama dengan tentara Paderi di daerah pedalaman Minangkabau.

Pada tahun 1821 adalah titik belok dalam perjuangan Sultan Alam Bagar Syah, karena terjadi persatuan dan perjuangan secara menyeluruh antara Kaum Adat dan kaum Paderi. Pada tahun 1822 Pemerintah Hindia Belanda mulai menyerang Pagaruyung. Untuk menghadapi serangan tentara Paderi, Belanda membangun sebuah benteng yang dinamakan Fort Van der Capellen. Benteng itu berlokasi di kota Batusangkar yang kemudian kota Batusangkar disebut juga

(27)

dengan kota Fort Van der Capellen. Sultan Alam Bagagar Syah, Tuanku Lintau dan Tuanku Imam Bonjol memperjuangkan Minangkabau secara gigih supaya tidak dijajah oleh Belanda. Namun kekuatan senjata tradisional memang tidak kuat untuk melawan Belanda. Pada Tanggal 11 Januari 1833 terjadilah pemberontakan besar secara serentak di Minangkabau Kekuatan yang dibentuk terdiri atas Kekuatan Paderi di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, Kekuatan Raja Alam Minangkabau di bawah pimpinan Sultan Alam Bagagar Syah, dan Kekuatan tentara Diponegoro di bawah pimpinan Sentot Ali Basya Prawirodirjo.

Fort van der Capellen adalah salah satu bukti sejarah penjajahan Kolonial Belanda dan menjadi salah satu pusat pemerintahan juga merupakan benteng pertahanan militer Belanda yang dibangun sekitar tahun 1824. Keberadaan benteng Van Der Capellen yang ada di kota Batusangkar, Kab. Tanah Datar, Sumatera Barat tidak dapat dilepaskan dengan peristiwa peperangan antara Kaum Adat dengan Kaum Agama yang terjadi pada sekitar tahun 1821. Konflik terbuka yang berupa peperangan fisik antara kaum Adat dan Kaum Agama akhirnya dimenangkan oleh Kaum Agama. Kaum Adat kemudian meminta bantuan Belanda yang waktu itu berkedudukan di Padang. Di bawah pimpinan Kolonel Raff pasukan Belanda kemudian masuk di daerah Tanah Datar untuk menumpas gerakan Kaum Agama. Sesampai di Batusangkar Ibukota Tanah Datar pasukan Belanda dipusatkan di tempat ketinggian yang jauhnya lebih kurang 500 m dari pusat kota. Pada tempat ketinggian inilah pasukan Belanda sekaligus membangun kubu pertahanan. Kubu pertahanan yang dibangun Belanda waktu itu berupa bangunan gedung dari beton yang kemudian diberi nama Benteng Van Der Capellen sesuai dengan nama Gubernur Jenderal Belanda waktu itu.

Gambar 2.4. Benteng Van der Capellen di Batusangkar Kabupaten Tanah Datar

sekarang Tahun 1895

Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga berdampak merosotnya

(28)

perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.

Awal abad 19 Sumatera Barat dijadikan Resident dengan nama daerah administratifnya yaitu Residentie Padang en Onderboorigbeden (Keresidenan Padang dan daerah taklukannya). Residen ini dibagi menjadi dua District yaitu District Padang dan District Minangkabau. District dipimpin oleh seorang Adsistent Resident. Adsistent Resident Padang berkedudukan di Padang dan Adsistent Resident Minangkabau berkedudukan di Fort van der Capellen. Gubernur Jenderal Van der Capellen inilah yang mengangkat de Stuers menjadi Residen pada tahun 1824.

Gambar 2.5 Peta Afdeeling Tanah Datar, tahun 1935, Koleksi KITLV

(29)

Gambar 2.6. Onderafdeeling: Fort Van der Capellen Koleksi KITLV

Pemerintah Kolonial Belanda sering mengganti bentuk daerah administratifnya seiring dengan pergantian gubernur jenderalnya di Sumatera Barat. Pergantian daerah administratif ini juga berpengaruh terhadap wilayah yang ada di Sumatera Barat khususnya Tanah Datar. Tanah Datar pada tahun 1825 adalah bagian dari Afdeeling Darek (Afdeeling Padangsche Bovenlanden), namun pada tahun 1833 bagian dari Afdeeling van Padangsche Bovenlanden yang dibagi ke dalam enam Onderafdeelingen yang salah satunya yaitu Fort van der Capellen, dengan seorang Controleur kelas 1 di Fort van der Capellen dan seorang Controleur kelas 4 di Tanjung Alam. Afdeeling yang dahulu dipimpin oleh seorang Adsistent Resident, tahun 1833 menjadi Onderafdeeling yang dipimpin oleh seorang Controlleur.

(30)

Gambar 2.7. Peta Onderafdeeling Fort Van der Capellen, sekitar tahun 1935, koleksi KILTV. Pada tahun 1841 pemerintah Kolonial Belanda kembali melakukan reorganisasi pemerintahan Sumatra’s Westkust sesuai dengan dikeluarkannya Besluit No. 1 pada tanggal 13 April 1841. Berdasarkan besluit ini, Tanah Datar kembali menjadi Afdeeling yang terdiri dari Distrik Tanah Datar, XX koto, IX Koto, Sumawang dan Batipuh. Tidak hanya pada tahun ini, reorganisasi pemerintahan Sumatra’s Westkust juga terjadi pada tahun 1865, 1866, 1876, 1880, 1892, 1898. Perubahan bentuk pemerintahan ini juga memberikan pengaruh terhadap daerah adminstratifnya. Misalnya berkurang dan bertambahnya suatu wilayah afdeeling,

(31)

bertukarnya nama afdeeling menjadi distrik, dan masih banyak lagi bentuk perubahan yang dilakukan oleh Kolonial di Sumatra’s Westkust akibat reorganisasi tersebut Pada tahun 1913 terjadi lagi reorganisasi pemerintahan Kolonial. Pada tahun inilah nama Batusangkar baru muncul.

Afdeeling Tanah Datar yang kembali dipimpin oleh seorang adsistent resident dengan ibu kota Sawahlunto dibagi ke dalam empat Onderafdeeling. Salah satu Onderafdeeling tersebut yaitu Fort van der Capellen yang terdiri dari Districten Batusangkar dan Pariangan, di bawah pimpinan seorang Controleur dari Bestuur Binnenlandsch, dengan ibu kota Fort van der Capellen. Pada tahun 1913 inilah Batusangkar muncul sebagai distrik yang sebelumnya hanya sebagai daerah kecil/dusun kecil yang berada di dekat benteng Van der Capellen.

Gambar 2.8. Daftar Nagari-Nagari di bawah Afdeeling Tanah Datar dan Onderafdeeling Fort van der Capellen, Distrik Pariangan, 1935. Sumber: KITLV.

(32)

Gambar 2.9. Nagari-nagari di bawah Afdeeling Tanah Datar dan Onderafdeling Fort Van der Capellen, Distrik Batusangkar, 1935. Sumber: KITLV.

Reorganisasi pemerintahan Kolonial masih tetap berlanjut. Pada tahun 1935 susunan Afdeeling Tanah Datar kembali berganti. Afdeeling Tanah Datar berganti ibu kota yaitu di Padang Panjang. Hal ini terjadi karena adanya perlawanan rakyat baik melalui partai politik yang menjamur awal abad 20 maupun perlawanan bersenjata. Selain itu Afdeeling Tanah Datar terdiri dari tiga Onderafdeeling, salah satunya Fort van der Capellen yang juga terdiri dari Distrik Batusangkar-Pariangan. Distrik ini juga dibagi menjadi Onderdistricten Pagaruyung, Salimpaung, Buo, Sungai Tarab-Limo Kaum dan Pariangan. Pejabat tertinggi di Onderafdeeling ini dipegang oleh seorang Controleur yang berkedudukan di Fort van der Capellen.

Dari peta lama zaman kolonialisme yang ditemukan dapat diperoleh gambaran informasi mengenai keadaan KAbupaten Tanah Datar khususnya Kawasan Kota Batusangkar.

(33)

1. Tahap I : Kondisi masa sebelum Perang Paderi

yaitu berupa penetrasi fisik kolonial dalam bentuk benteng awal di kawasan yang mendekat ke pusat kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, sementara di sekitarnya sudah berkembang permukiman nagari yang lingkage-nya dapat dilihat dari peta lama yang ada.

Jika dikaitkan dengan lokasi administratif, pada peta Belanda tahun 1893 nampak bahwa posisi Fort Van der Capellen berada di laras Limo Kaoem yang diapit oleh laras-laras lain.

2. Tahap II : Kondisi setelah Perang Paderi

yaitu ketika kekuasaan kolonial semakin kuat dan benteng sudah berkembang sedemikian rupa, dan perluasan wilayah pengaruh kolonial yang membentuk wilayah perkotaan, dengan semakin tumbuhnya pemukiman multi etnik di sekitarnya. Formasi wilayah perkotaan semakin lengkap dengan pusat orientasi seperti pasar, ruang pubik serta kantor pemerintahan kolonial.

3. Tahap III : Kondisi pusat pemerintahan pindah ke Fort De Kock

yaitu (diperkirakan setelah 1850-an) dan kawasan ini relatif tidak berkembang, selain terjadi pemadatan ruang yang merupakan pusat atau serikat dari nagari-nagari yang ada di Afdeling Tanah datar. Formasi ruang kota relatif tidak berubah, kecuali akibat pertumbuhan penduduk.

4. Tahap IV : Kondisi awal abad ke-20

sampai kemerdekaan dan setelah peristiwa PRRI tahun 1960-an sampai 1980-an, dapat dikatakan perkembangan fisiknya tidak terlalu tinggi kecuali pemadatan di wilayah permukiman, terutama setelah kemerdekaan.

5. Tahap V : Kondisi setelah tahun 1980-an

yaitu pemindahan pusat pemerintahan baru di sekitar Istana Pagaruyung, sehigga pusat orientasi perkotaan Batusangkar menjadi dua, yang dapat disebut sebagai pusat pemerintahan baru yang terdiri dari Istana Pagaruyung, Masjid, Kantor Bupati dan DPRD serta kantor-kantor lainnya. Sementara itu dikawasan perkotaan lama, lahan bekas bangunan kantor tersebut masih difungsikan sebagai kantor pemerintahan.

(34)

Secara kronologis perkembangan kota Batusangkar dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.10 Struktur Kawasan Kota Batusangkar Tahun 1893

Gambar 2.11 Struktur Kawasan Kota Batusangkar Tahun 1930 27

(35)

Gambar 2.12. Struktur Kawasan Kota Batusangkar Tahun 1943

Gambar 2.13 Struktur Kawasan Kota Batusangkar Tahun 1945

(36)

Gambar 2.14. Struktur Kawasan Kota Batusangkar tahun 2013

Gambar 2.15 Peta perkembangan Batusangkar dilihat dari struktur pola jalan (1930; 1945 dan 2013)

Ket : Jalan Berdasarkan Peta Tahun 1830

Perkembangan Jalan berdasarkan Peta Tahun 1945 Perkembangan Jalan berdasarkan kondisi sekarang

(37)

LINI MASA SEJARAH KABUPATEN TANAH DATAR

Sumber : “telah diolah kembali”

PERIODE KERAJAAN MELAYU MINANGKABAU (MASA HINDU – BUDHA)

1. PERIODE GUNUNG MARAPI PARIANGAN 2. PERIODE BULAKAN BUNGO SATANGKAI DI 3. SUNGAI TARAB

4. PERIODE DUSUN TUO LIMA KAUM 5. PERIODE BUKIK BATU PATAH 6. PERIODE PAGARUYUNG

- Semua pusat kerajaan pada zaman ini berada di Kabupaten Tanah Datar

- didirikan oleh Raja Adityawarman pada akhir abad ke-13 M - mencapai puncak kejayaan pada abad ke 14 & 15 M

- ada 18 Raja pada periode Pariangan

- kekuasaan Adityawarman berakhir, masuk periode Islam

PERIODE KERAJAAN PAGARUYUNG (MASA ISLAM) - Islam mulai berlembang pada abad ke-16

- Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung berubah menjadi Kesultanan Islam

- 1803, timbul konflik Kaum Ulama dan Kaum Adat

- Kerajaan Pagaruyung kerjasama dengan Belanda melawan Kaum Padri 1821

- Kaum Adat dan Ulama akhirnya bergabung melawan Belanda

- Perang Padri berlangsung dari tahun 1803 -1838 - Kerajaan Pagaruyung runtuh

PERIODE ZAMAN KOLONIALISME BELANDA - Tanah Datar:district Minangkabau

- 1824, Benteng Van der capellen selesai dibangun untuk Perang Padri

- 1837, Gedung asisten Residen di Fort Van der Capellen (Gedung Indo Jolito)

- 1913, terbentuk Distrik Batusangkar

- 1932, Los Pasar Batusangkar selesai dibangun SETELAH KEMERDEKAAN S/D SEKARANG

- 1985, Batusangkar ditetapkan sebagai Kota Budaya - Pemindahan Pusat Pemerintahan ke kawasan Pagaruyung - 2010, benda Cagar Budaya/Situs yang terdapat di Kab.

Tanah Datar ditetapkan melalui Permenbudpar

(38)

2.2. Signifikansi, Otentisitas/Keaslian/Integritas 2.2.1. Pernyataan Arti Penting

Kabupaten Tanah Datar adalah sumber dan simbol kebudayaan suku Minangkabau. Di daerah inilah menurut tambo dan sejarah bermulanya suku dan budaya Minangkabau. Kabupaten Tanah Datar dikenal juga sebagai “Luhak nan Tuo” yakni sebagai daerah tertua di Minangkabau dan di daerah ini pula terdapat Nagari Tuo Pariangan yakni nagari/desa tertua di Provinsi Sumatera Barat. Di daerah ini juga pernah berdiri Kerajaan Pagaruyung dimana menurut beberapa ahli memiliki wilayah kekuasaan yang melebihi wilayah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Dalam masa penjajahan kolonial, Kabupaten Tanah juga memiliki sejarah penting di Sumatera Barat terutama dalam masa Perang Paderi. Batusangkar sebagai Ibukota Kabupaten Tanah Datar juga dicanangkan sebagai Kota Budaya, karena di daerah ini banyak memiliki potensi Budaya. Pencanangan Batusangkar sebagai Kota Budaya dilakukan oleh Prof. DR. Haryati Soebadio, Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang disaksikan Sri Sultan Hamengkubowono ke IX dan Ir. H. Azwar Anas Gubernur Sumatera Barat, pada tanggal 16 Juli 1985

Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa warisan cagar budaya yang dimiliki oleh Kabupaten Tanah Datar memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan maupun kebudayaan

2.2.2. Pernyataan Keaslian atau Otentisitas

Otentisitas Kabupaten Tanah Datar sebagai simbol budaya Minangkabau dan sebagai daerah yang penting pada masa kolonialisme dapat dilihat dari banyaknya benda Cagar Budaya yang tersebar didaerah ini. Dimulai dari masa Hindu/Budha, Peradaban Islam, masa kolonialisme Belanda dan Jepang hingga sekarang. Sebagian besar bukti-bukti sejarah tersebut masih dipertahankan dengan baik seperti Benteng Van Der Capellen yang dibangun untuk menghadapi Perang Padri di Sumatera Barat di kawasan Batusangkar. Benteng Van Der Capellen merupakan salah satu jejak situs dalam peristiwa perang tersebut yang memiliki nilai sejarah bagi masyarakat Minangkabau khususnya. Dalam Perang Padri, Belanda membangun 2 Benteng yakni Benteng Van Der Capellen dan benteng Fort De Kock di Bukitinggi. Benteng Van der Capellen bernilai Arsitektur bagi Sumatera Barat karena Benteng ini adalah satu-satunya Benteng yang dibangun Belanda di Sumatera Barat yang dapat ditemukan strukturnya secara

(39)

utuh, karena Benteng Fort de Kock telah hancur dan tidak dapat dilihat lagi wujudnya. Dari sudut keunikan Arsitektur, Benteng Van Der Capellen sebagai satu-satunya bangunan Benteng Kolonial tinggalan Belanda di Sumatera Barat, berada di atas bukit yang terletak di Pusat Kota Batusangkar, di pedalaman (hinterland). Hal lain yang dapat diperhatikan adalah struktur ruang Kawasan Batusangkar yang sebagian besar masih dipertahankan seperti pada masa kolonialisme Belanda sekitar Tahun 1830-an.

2.3. Atribut Kota Pusaka 2.3.1. Aset Pusaka Alam

Pusaka Alam adalah kondisi atau bentukan alam yang istimewa. Proses perkembangan dan perubahan yang terjadi di alam sekitar kita dalam kurun waktu yang panjang mengandung banyak pelajaran yang berharga. Kabupaten Tanah Datar memiliki banyak aset pusaka alam seperti:

1. Nagari Tuo Pariangan

Nagari Tuo Pariangan memiliki posisi istimewa di Minangkabau sebagai daerah yang merupakan asal – musal lahirnya kebudayaan dan adat di Minangkabau. Di Nagari

Pariangan, terdapat peninggalan – peninggalan

Sejarah yang masih terlihat dan terjaga saat ini. Peninggalan tersebut terkait dengan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan dan adat Minangkabau.

Seperti tempat sawah pertama di Minangakabau yang dikenal dengan “Sawah Satampang Baniah”, Medan Nan Bapaneh yang merupakan susunan batu untuk melakukan sidang, Batu Tungku Tigo Sajarangan, Makam Arsitek Balairung Sari “Tantejo Gurhano” sepanjang +25 meter, Prasasti Pariangan yang menandakan bahwa Adityawarmanpernah bermukim di nagari ini, dan Rumah – rumah gadang tua yang masih banyak terlihat hingga saat ini. Bahkan konon pernah ditemukan tapak Candi yang menjadi nama daerah ditempat ini, daerah kecil di Pariangan ini dikenal dengan nama “Biaro” atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan “Biara” yang merupakan tempat beribadah agama Budha.

(40)

Ada dua hal yang bisa dipelajari dari Nagari Pariangan sebagai kawasan pelestarian cagar budaya

1. Nagari Pariangan sebagai sebuah kawasan lanskap sejarah

Terkait dengan sejarah atau cerita asal usul nenek moyang Minangkabau yang turun dari Gunung Marapi dan membangun pemukiman/nagari awal di Pariangan. Hal in idirepresentasikan melalui tinggalan fisik seperti Situs Sandi Laweh, Makam Tantejo Gurhano, Makam-makam keramat, Balai Katiak, Balai Pasujian, Galundi nan baselo, Sawah Satampang Baniah, Batu lantak tigo, prasasti Pariangan,Lesung gadang, dll 2. Nagari Pariangan sebagai sebuah kawasan lanskap budaya

Terkait dengan Nagari Pariangan sebagai representasi sebuah pemukiman tradisional Minangkabau lengkap dengan komponen pembentuk nagari yang masih utuh. basasok bajarami (batas wilayah dengan tanda-tanda tertentu), bapandam pakuburan (kuburan), balabuah batapian (jalan dan sarana MCK), barumah batanggo (rumah tempat tinggal), bakorong bakampuan (kelompok pemukiman), basawah baladang (kawasan pertanian), babalai bamusajik (balai adat dan masjid), pakan (pasar) nagari serta galanggang (lapangan terbuka)

Budget Travel, sebuah media pariwisata internasional dunia dari USA pernah menganugerahkan 5 desa terindah didunia pada akhir tahun 2012, salah satu Desa terindah di dunia menurut media tersebut berada di Indonesia yakni Desa (Nagari) Pariangan di Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Desa ini bersanding dengan Desa Wengen (Swiss), Eze (Prancis), Niagara on the Lake (Kanada) serta Cesky Krumlov (Ceko). Paduan harmonisasi alam, masyarakat, sejarah dan kebudayaan yang tumbuh menjadi alasan atas penghargaan dari Budget Travel sebagai salah satu desa terindah didunia.

2. Danau Singkarak

Danau Singkarak merupakan danau terluas kedua di

Indonesia setelah Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara. Danau Singkarak merupakan salah satu bendungan alam di Propinsi Sumatera Barat yang di batasi oleh

Gambar

Gambar 2.4. Benteng Van der Capellen di Batusangkar Kabupaten Tanah Datar
Gambar 2.5 Peta Afdeeling Tanah Datar, tahun 1935, Koleksi KITLV
Gambar 2.6.  Onderafdeeling: Fort Van der Capellen Koleksi KITLV
Gambar 2.7. Peta Onderafdeeling Fort Van der Capellen, sekitar tahun 1935, koleksi KILTV
+7

Referensi

Dokumen terkait

Program pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif UMKM dengan kegiatan prioritas Penyediaan sistem insentif dan pembinaan untuk memacu pengembangan

33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah intinya menyatakan bahwa sumber- sumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka

Penelitian tentang hubungan pengetahuan lingkungan dengan sikap peduli lingkungan sebelumnya telah dilakukan oleh Supeni (2016: 133), pada jenjang Sekolah Menengah

Hal ini disebabkan karena semakin besar debit air maka massa aliran akan semakin besar begitu pula dengan kecepatan aliran fluida yang menumbuk sudu kincir

Yang bertanda tangan di bawah ini Pejabat Pengadaan/Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala

Banjir Air Pasang di kecamatan kuala indragiri kabupaten Indragiri Hilir lahan petani yang rusak akibat banjir air pasang bahwa banyak menimbulkan sisi negatif

Pada tulisan ini, disampaikan suatu Teori Neraca Energi untuk membahas besarnya uap yang dilepaskan dari suatu tangki yang dilengkapi dengan Katup Pernafasan

Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang strategi pemasaran Mobile Banking BTN yang dilakukan oleh pihak Bank BTN KC Bandung dan