• Tidak ada hasil yang ditemukan

WACANA KONFLIK KELAS DALAM NOVEL DAWUK: KISAH KELABU DARI RUMBUK RANDU KARYA MAHFUD IKHWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WACANA KONFLIK KELAS DALAM NOVEL DAWUK: KISAH KELABU DARI RUMBUK RANDU KARYA MAHFUD IKHWAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

63 Muhammad Teguh Saputroa*, Novi Diah Haryantib*

aUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jalan Ir. H. Juanda No. 95, Kota Tangerang Selatan, Indonesia.

bUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jalan Ir. H. Juanda No. 95, Kota Tangerang Selatan, Indonesia.

Pos-el: [email protected]

(Diterima: 10 Februari 2021; Direvisi: 24 April 2021; Disetujui 29 April 2021)

Abstrak

Dalam sosiologi klasik yang berkembang pada abad XIX, Marx mengeluarkan gagasan tentang kritik sosial terkait klasifikasi strata sosial (kelas) yang menghasilkan sebuah titik kompetisi antarkelas berupa konflik dalam masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif kualitatif yang menggunakan metode studi kepustakaan dengan teknik baca-catat berdasarkan pendekatan sosiologi sastra. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu menampilkan nuansa konflik sosial secara dominan. Di tengah jalannya konflik yang begitu padat ditemukan permasalahan dan perjuangan kelas yang memicu pecahnya konflik sosial dalam masyarakat Rumbuk Randu. Pangkal konflik kelas tersebut menyangkut permasalahan Sinder Harjo sebagai wajah kelas borjuis dengan Mbah Dulawi sebagai wajah kelas proletar dalam masyarakat Rumbuk Randu. Perkara konflik keduanya diakibatkan oleh sistem ekonomi kapitalisme yang terus terjadi.

Kata Kunci: Sosiologi Sastra, kapitalisme, konflik kelas.

Class Conflict Discourse in Novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu by Mahfud Ikhwan

Abstract

In the classical sociology that is developed in the XIX century, Marx issued ideas about social criticism related to the classification of social strata (class) which resulted from a point of competition between classes in the form of conflict in society. The research is a qualitative descriptive study using the literature review method with the reading and note-taking technique based on the sociological approach. Based on the analysis, it was found that Dawuk's novel carried the dominant nuances of social conflict. In the middle of a very dense conflict, problems and class struggles were found that triggered the outbreak of social conflict in the Rumbuk Randu community. The root of the class conflict concerns the problem of Sinder Harjo as the face of the bourgeoisie with Mbah Dulawi as the face of the proletarian class in Rumbuk Randu society. Both cases of conflict are caused by the economic system of capitalism which continues to occur.

Keywords:Sociology of Literature, capitalism, class conflict.

PENDAHULUAN

Novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk

Randu adalah sebuah karya Mahfud Ikhwan

pada tahun 2016. Penulis yang tergolong baru tersebut memberikan warna berbeda dengan tradisi-tradisi konsep karya sastra “kanon” dalam dunia kesusastraan Indonesia. Dawuk: Kisah Kelabu dari

Rumbuk Randu berhasil meraih Kusala

Sastra Khatulistiwa pada tahun 2017.

Ajang ini adalah penghargaan di bidang kesusastraan yan diinisiasi oleh Richard Oh, tokoh yang cukup berperan dalam khazanah kebudayaan Indonesia.

(2)

64

Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk

Randu menceritakan kehidupan masyarakat

di pesisir utara Jawa dan lekat hubungannya dengan seluk-beluk hutan jati yang berada di sekeliling desa bernama Rumbuk Randu. Desa itu mempunyai banyak konflik bahkan berujung tragis bagi para tokoh utama. Konflik-konflik inilah yang menjadi pokok jalannya cerita. Pembawaan cerita Dawuk: Kisah Kelabu

dari Rumbuk Randu oleh Makhfud Ikhwan

yang meniadakan bias garis yang memisahkan antara realitas dan fiksi menjadi ciri tersendiri. Ide cerita disajikan dengan gaya bahasa Jawa Timuran yang ceplas-ceplos sehingga menggambarkan suasana khas. Penyajian ini cukup menegaskan bahwa Makhfud Ikhwan berhasil membawakan cerita dengan nuansa lokalitas yang luar biasa. Konsep cerita dan gaya bahasa yang semacam itu, membuat Dawuk: Kisah Kelabu dari

Rumbuk Randu mempunyai sisi sosiologis

yang sangat kental, termasuk perihal konflik di dalamnya.

Persoalan-persoalan seperti yang diuraikan tersebut dapat ditemui di sepanjang jalannya alur cerita novel

Dawuk. Atas dasar latar belakang itu,

penulis mengangkat permasalahan terkait sumber daya ekonomi apa yang diperebutkan, sistem ekonomi seperti apa yang sedang berjalan, bagaimana pembagian kelas masyarakat, serta bagaimana kompetisi antarkelas dan berujung konflik antarkelas secara terbuka.

Penelitian yang menggunakan novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk

Randu sebagai bahan analisisnya sudah

beberapa kali dilakukan, terutama yang berfokus pada pembahasan mengenai konflik sosial, seperti Konflik Sosial dalam

Novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk

Randu Karya Mahfud Ikhwan (Kajian Teori Ralf Dahrendorf) yang dilakukan

oleh Putri(Putri, 2018). Selanjutnya ada

Konflik Sosial Tokoh Utama dalan Novel Dawuk Karya Mahfud Ikhwan oleh

Wahyudi (Wahyudi, 2020)., dan penelitian

Konflik Sosial dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu Karya Mahfud Ikhwan oleh Putra, dkk.

Dari penelitian Putri, konflik sosial yang dianalisis mengacu pada konflik dua wajah masyarakat, kekuasaan dan wewenang, serta mendeskripsikan pengendalian konflik berupa abitrase. (Putri, 2018). Penelitian Wahyudi, berhasil mendeskripsikan bentuk konflik dengan sangat jelas, berupa akibat dari kontak relasi antartokoh, terutama yang dipengaruhi oleh faktor asmara–perebutan perempuan–secara kuat, (Wahyudi, 2020). Sedangkan penelitian Putra, dkk. (2019), tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, yakni hanya memperlihatkan bentuk konflik tanpa analisis lebih luas terhadap pangkal atau penyebab konflik yang terjadi.

Sebagai literatur relevan, penelitian-penelitian tersebut memberikan pijakan bagaimana unsur konflik menjadi fokus utama dan sangat sentral pengaruhnya dalam struktur besar isi novel. Namun, penelitian tersebut belum melihat faktor sumber daya ekonomi, kompetisi kelas, bahkan mengarah pada konflik terbuka antarkelas yang akan menjadi pembahasan utama dalam penelitian ini. Hal yang juga membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pendekatan yang digunakan, yakni pendekatan sosiologi sastra dengan menggunakan teori konflik kelas yang dipopulerkan oleh Karl Marx.

(3)

65 TEORI

Pernyataan De Bonald, Literature is an

expression of society, yang berarti sastra

adalah ungkapan perasaan masyarakat, merupakan sebuah pernyataan yang menggambarkan betapa erat dan mustahil untuk dipisahkan antara sastra sebagai produk kebudayaan masyarakat dengan masyarakat itu sendir. Sastra dapat dikatakan sebagai institusi sosial yang memakai medium bahasa (Wellek dan Warren, 2016). Hal ini dipertegas oleh Semi (1989), bahwa bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan.

Gambaran kehidupan yang

disajikan sastra sangatlah kompleks, bukan hanya data fakta sejarah pada kurun masa tertentu, sastra juga menjelma sebagai cerminan dan ekspresi kehidupan sosial, politik, ekonomi, ideologi, dan masalah-masalah kehidupan dalam masyarakat. Bahkan, peran sastra dalam paradigma dan dinamika masyarakat sangatlah signifikan. Seringkali sastra turut berperan bahkan menjadi peran utama dalam mengubah kondisi zaman. Singkatnya, sejarah, sastra, ataupun masyarakat yang meliputi segala aspeknya adalah keterkaitan yang saling bahu-membahu menciptakan sebuah jalan panjang peradaban dan mustahil untuk dipisahkan. Pembahasan-pembahasan mengenai hubungan antara sastra dan masyarakat dikenal dengan istilah Sosiologi Sastra, sebuah disiplin ilmu yang penting dan tak pernah luput dalam sejarah kehidupan manusia.

Dalam sosiologi, istilah konflik sudah menjadi istilah yang tidak asing lagi. Sebagai ilmu sosial yang membicarakan masyarakat secara khusus, konflik menjadi

komponen pokok dalam struktur general kehidupan masyrakat. Istilah konflik sendiri berasal dari bahasa latin “con” yang berarti bersama dan “figere” yang berarti benturan atau tabrakan (Haryanto dan Nugroho, 2011). Benturan atau kontradiksi ini bisa berupa berbagai macam, seperti nilai, pemikiran, bahkan tindakan.

Masyarakat sebagai kumpulan manusia yang tidak sempurna, terhindar dari kemungkinan tidak terbatas dari kombinasi sesuatu dengan sesuatu lainnya, sehingga melahirkan adanya interaksi sosial berupa konflik. Menurut Wirawan (2012), konflik lebih banyak dipahami sebagai keadaan tidak berfungsinya

komponen-komponen masyarakat

sebagaimana mestinya atau gejala penyakit dalam masyarakat yang terintegrasi secara tidak sempurna. Selain itu, konflik mempunyai fungsi-fungsi yang positif. Salah satunya adalah sebagai penyeimbang dan pengurang ketegangan dalam masyarakat, juga pencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah sehingga menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan. Oleh karena itu, keberadaan konflik dalam realitas sosial masyarakat adalah sesuatu yang harus ada dan keberadaannya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini menjadikan konflik sebagai suatu hal fundamental yang menjadi fakta sosial sebagai syarat keseimbangan jalannya kehidupan bermasyarakat.

Istilah teori konflik dalam sosiologi klasik pertama kali dipopulerkan Karl Marx di abad XIX. Karl Marx (1818-1883) adalah seorang filsuf di abad modern yang mempunyai berbagai gagasan penting yang

(4)

66

mewarnai dunia akademik internasional terkait sosial, ekonomi, dan politik. Marx adalah seseorang yang terkenal gagasan-gagasannya mengenai perjuangan kelas yang sampai saat ini menjadi rujukan dari berbagai ideologi dan analitik-krtitis berbagai ilmu pengetahuan. Salah satu gagasan penting Marx di bidang sosial adalah tentang konflik. Pemikiran Marx yang mengklasifikasikan manusia berdasarkan cara-cara produksi masyarakat menghasilkan pembagian kelas masyarakat berdasarkan sumber pendapatan dan sumber daya ekonominya sehingga menciptakan sebuah garis pemisah yang membedakan orientasi hasrat ekonomi

dalam memenuhi kehidupannya.

Perbedaan kondisi ekonomi tersebut memengaruhi juga perbedaan dalam hal kepentingan, kekuasaan, dan keyakinan atau ideologi yang nantinya berujung pada titik kompetisi. Tahapan kompetisi dalam kehidupan masyarakat menurut Marx inilah yang menjadi awal adanya konflik antarkelas atau antarkelompok masyarakat.

“Konflik kelas diambil sebagai titik sentral dari masyarakat. Konflik antara kaum kapitalis dan proletar adalah sentral dari masyarakat. Segala macam konflik mengasumsikan bentuk dari peningkatan konsolidasi terhadap kekacauan. Kaum kapitalis telah mengelompokkan populasi, memusatkan tujuan produksi, dan mengonsentrasikan produksi pada segelintir orang saja. kaum borjuis telah menciptakan kekuatan produktif dari semua generasi dalam sejarah sebelumnya. Tetapi kelas-kelas itu juga berlawanan antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat menjadi terpecah ke dalam dua kelas besar yaitu borjuis dan proletar (Bachtiar, 2006: 125).

Wacana klasifikasi kelas Marx

dalam komunal masyarakatnya

melahirkan dua kelas besar yang saling berkompetisi dan berebut dominasi, sering kali tidak berjalan sebagaimana fungsinya dalam roda masyarakat. Kelas borjuis, sebagai kelas yang dominan, berusaha memanfaatkan bahkan mengeksploitasi kelas di bawahnya demi sistem dan tujuan ideologi ekonominya sendiri. Pecahnya sebuah konflik kelas juga disebabkan oleh sistem ekonomi masyarakat yang mengatur roda kehidupannya serta adanya sumber daya ekonomi yang diperebutkan, dan tidak berjalannya regulasi atau kelas sosial yang berperan mengatur segala regulasi

ekonomi masyarakat sehingga

menyebabkan ketidakseimbangan jalannya sistem kehidupan masyarakat.

METODE

Sebagai upaya memperoleh data penelitian dan simpulan secara objektif seputar wacana konflik kelas yang terdapat pada novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk

Randu, metode yang digunakan adalah

studi kepustakaan dengan teknik baca catat. Penelitian menggunakan sumber data primer novel Dawuk: Kisah Kelabu dari

Rumbuk Randu karya Makhfud Ikhwan

yang diterbitkan penerbit Marjin Kiri pada tahun 2017 dan terdiri atas 181 halaman. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.

Penelitian memanfaatkan metode kualitatif yang memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam

hubungannya dengan konteks

keberadaannya (Ratna, 2007). Sebagai penilitian karya sastra, penelitian ini melibatkan data-data dalam teks, data terkait pengarang teks, data mengenai lingkungan dan ideologi pengarang, serta

(5)

67

data mengenai kondisi dan kultur sosial dalam latar teks ataupun pengarang secara langsung. Langkah-langkah metode deskriptif mencakup beberapa tahap, yaitu: mengidentifikasi masalah, menganalisis, menafsirkan data, serta mengkaji dan menyimpulkan terkait hubungan data teks dengan teori yang dijadikan acuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum, Novel Dawuk: Kisah

Kelabu dari Rumbuk Randu merupakan

cerita perjalanan hidup seorang yang buruk rupa dari desa Sumur Jeru, tetangga desa Rumbuk Randu yang sepanjang hidupnya tidak pernah lepas dari konflik yang membelenggu dirinya. Dawuk dilahirkan dengan kondisi yang agak berbeda.Tokoh yang bernama asli Muhammad Dawud ini memiliki perwakan yang sedikit aneh dan membedakan serta mengubah pola pandang dan penilaian dirinya oleh masyarakat. Ia memiliki bentuk raut muka yang aneh, buruk, dekil, serta menyeramkan membuat dirinya menjadi bahan olokan dan citra buruk yang paling menakutkan secara komunal pada masyarakat desa Rumbuk Randu. Terlebih, si Dawuk mempunyai kepribadian yang sering menyendiri, pemalu, bahkan diceritakan tidak pernah bergaul dan bermain dengan teman sebayanya. Dia lebih sering menghabiskan waktu bersama kesendiriannya di ladang, hutan, kuburan, langgar yang sepi, serta sekolahan yang sudah ditinggalkan seisi penghuninya. Gambaran Dawuk adalah gambaran seorang yang menjalani hidup di luar nalar masyarakat pada umumnya. Dia menjalani masa kecil bagai anak ayam tanpa induknya, lalu tumbuh besar menjadi

anjing tanpa tuannya. Dawuk berubah liar dan semakin menyeramkan sehingga menjadi momok bagi masyarakat setempat.

Persoalan Dawuk dengan

masyarakat Rumbuk Randu semakin runyam ketika Dawuk kembali dari tanah

perantauannya dan memutuskan

membangun rumah tangga dengan kembang desa Rumbuk Randu, Inayatun. Inayatun adalah putri Pak Imamudin, keluarga tersohor di Rumbuk Randu. Ia seorang wanita jelita yang kecantikannya menjadi kesukaan banyak laki-laki. Terjalinnya hubungan antara Dawuk dan Inayatun inilah yang menjadi titik awal dari munculnya bara konflik dalam kehidupan masyarakat Rumbuk Randu. Hubungan mereka dianggap sebuah hubungan yang tergolong aneh dan membuat heran masyarakat serta ditolak oleh keluarga Inyatun karena dianggap sebagai penghinaan bagi keluarganya sendiri.

Hubungan Dawuk dan keluarga Inayatun yang semakin panas mencapai puncaknya ketika pada suatu saat terjadi tragedi kelabu yang tidak pernah dibayangkan. Di tengah kehamilan Inayatun, terjadi upaya pemerkosaan oleh Mandor Har, mantan kekasih Inayatun. Tindakan ini juga dilakukan oleh Hasan. Pada saat itu, Mat Dawuk sedang pergi ke hutan untuk mencari keinginan ‘ngidam’ dari istrinya. Karena tiba-tiba muncul perasaan yang kurang enak, Dawuk pulang kembali ke rumah kandangnya. Di rumah kendang, Dawuk menyaksikan hal yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya, yakni melihat Inayatun telah bersimbah darah. Sungguh kejadian yang tak pernah terbayangkan terjadi dalam hidupnya.

(6)

68

Kemarahan Dawuk yang

memuncak membuat terjadinya kontak fisik di dalam rumah kandang sehingga mengakibatkan terbunuhnya Mandor Har. Tubuh Mandor Har terbelah oleh Hasan yang salah sasaran saat mengayunkan kampaknya ketika mencoba membunuh Dawuk. Kejadian sore itu menewaskan dua orang dalam waktu yang singkat, yaitu Mandor Har dan Inayatun. Masyarakat marah dan menuduh Mat Dawuk sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas peristiwa mengerikan tersebut. Mat Dawuk menjadi sasaran tuduhan masyarakat dan menjadi korban amuk massa di depan Puskesmas Geleng Gede. Mat Dawuk dipukul, dikeroyok, dan dibantai tanpa ampun. Inilah tragedi yang menjadi titik awal konflik sosial dalam masyarakat Rumbuk Randu terjadi.

Konflik yang diartikan sebagai keadaan tidak berfungsinya komponen-komponen masyarakat sebagaimana mestinya, mencapai puncaknya ketika segenap elemen masyarakat Rumbuk Randu saling bahu-membahu membuat rencana menyingkirkan Mat Dawuk dari lingkungan desa Rumbuk Randu. Pembunuhan berencana pun terjadi. Pembakaran rumah kandang Dawuk dilakukan masyarakat Rumbuk Randu dan berhasil mengakhiri hidup lelaki malang ini. Sebuah pembunuhan dan pembantaian paling kejam di Rumbuk Randu. Hal ini relevan dengan teori konflik yang mengatakan bahwa konflik terjadi ketika komponen masyarakat tidak berjalan dengan semestinya. Pada novel Dawuk:

Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu, teori ini

sesuai dengan segmen cerita ketika aturan dan norma sosial tidak berlaku lagi, bahkan kepala desa, carik, dan pemuka agama yang seharusnya menjadi pengayom serta

penyelesai konflik justru berbalik menjadi penyulut terjadinya konflik sosial. Berikut kutipan yang mendukung pernyataan ini.

Ini menjadi bagian penting dalam rangkaian panjang permusuhan turun temurun antara polisi hutan dengan para blandong miskin. Atau pakai cara mereka menyebutnya, antara aparat dengan para penjahat (Ikhwan, 2017: 123).

Konflik sosial yang terjadi antara sebagian masyarakat Rumbuk Randu dengan Mat Dawuk bukan semata-mata respon balas dendam dari kematian Inayatun dan Mandor Har. Ada permasalahan lama yang di dalam cerita diistilahkan sebagai dendam tiga turunan. Permasalahan ini masih saja kuat mengakar dan menjadi pangkal dari konflik secara luas.

Adanya perbedaan kekuasaan dapat dipastikan menjadi sumber konflik dalam sistem sosial (baca: masyarakat), terutama masyarakat yang kompleks dan heterogen. Tidak hanya itu, sumber daya yang langka (terutama sumber daya ekonomi) di dalam masyarakat akan membangkitkan kompetisi di antara

pelaku ekonomi yang

memperebutkannya dan bukan mustahil berujung pada pertikaian akibat persoalan distribusi sumber daya tersebut yang tidak pernah merata. Kondisi semacam ini, dalam banyak kasus, kerap menyebabkan terjadinya konflik terbuka (Wirawan, 2012: 59).

Mengacu pada asumsi di atas serta membuka lembaran lama dalam sejarah desa Rumbuk Randu sebelum era Mat Dawuk. Rumbuk Randu berada di tengah persoalan yang kompleks, yaitu kemiskinan dan kesenjangan karena sistem

(7)

69

ekonomi kapitalisme yang menjarah Rumbuk Randu dengan dikuasainya perhutanan jati oleh segelintir pemodal saja sehingga melahirkan dua komponen dalam masyarakat. Pertama adalah kelompok populis yang menjadi kelompok mayoritas, tetapi tidak mempunyai banyak kekuatan dalam sistem sosial. Kelompok kedua adalah kelompok dominan yang hanya berisi beberapa orang, tetapi karena mempuyai modal dan kekuatan penyokong yang besar mampu menguasi sistem sosial. Dalam konteks novel Dawuk: Kisah

Kelabu dari Rumbuk Randu, kelompok

populis dicitrakan oleh Mbah Dulawi dan masyarakat pada umunya yang nantinya melahirkan keturunan bernama Dawuk, sedangkan kelompok dominan dicitrakan oleh Sinder Harjo yang nantinya melahirkan keturnan semacam Mandor Har, Hasan, dan Inayatun.

Penyebab Terjadinya Konflik

Mengacu pada teori kelas Marx, setidaknya ada tiga alasan yang menjadi penyebab adanya konflik antar kelas dalam masyarakat Rumbuk Randu. Pertama, adanya garis demarkasi yang membedakan antara komponen masyarakat satu dengan komponen masyarakat lainnya sehingga memicu munculnya kompetisi yang saling

mendominasi dalam lingkungan

masyarakat tersebut. Kedua, adanya sumber daya ekonomi yang saling diperebutkan oleh setiap kelas masyarakat. Ketiga, sistem perekonomian yang tidak merata sehingga terjadi disintegrasi di antara kelas masyarakat, dalam hal ini adalah adanya distribusi yang tidak merata. Selain itu, penyebab-pennyebab lain yang tak kalah menjadi pemicu pecahnya

konflik adalah faktor kekuasaan– pemerintah–yang seolah tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam perannya menjadi unsur masyarakat.

Hal ini dikuatkan oleh pendapat Marx (dalam Wirawan, 2012) sendiri yang mengatakan bahwa fenomena sosial yang mendasari terjadinya konflik kelas ini adalah negara terlibat dalam konflik melalui paksaan dalam bidang hukum untuk memelihara sosial (integrasi), kesenjangan sosial sumber utama konflik, aliensi terjadi karena keterasingan dari sarana dasar produksi, sarana subsistem dan pekerjaan, kelas adalah motor dari segala perubahan dan kemajuan, dan sejarah kehidupan manusia tidak lebih dari pertentangan antarkelas atau golongan. Pembagian Kelas dalam Masyarakat Rumbuk Randu

Kelas sosial menurut Marx (dalam Wirawan, 2012) merupakan suatu keniscayaan yang terdapat pada

masyarakat pascafeodal. Dalam

mastarakat kapitalis Marx menyebutkan ada tiga kelas sosial, yaitu kelas atas (kaum pemilik modal dan alat-alat industri, disebut borjuis), ditandai dengan menjalani hidup dari hasil laba, dan kelas bawah (buruh atau proletar) yang ditandai dengan menjalani hidup dari sistem upah.

Kelas borjuis adalah kelas pemilik modal, penguasa alat produksi dalam sistem ekonomi kapitalisme tergolong pada tokoh-tokoh antagonis dalam cerita. Tokoh-tokoh seperti Sinder Harjo, Mantri Hartoyo, Mandor Har, dan Hasan adalah gambaran tokoh-tokoh kelas borjuis yang jumlahnya sangatlah sedikit namun mendominasi dalam setiap jalannya cerita

(8)

70

perjalanan masyarakat Rumbuk Randu. Kelas borjuis dalam masyarakat Rumbuk Randu ini adalah orang-orang yang menguasai sebagian besar lahan perhutanan, dan orang-orang yang menjadi penebang kayu ilegal yang menjadi tempat bekerjanya sebagian besar masyarakat Rumbuk Randu.

Ia bisa dibilang sevagai kuturunan ketiga penguasa hutan Rumbuk Randu. Anak mantri Hartoyo dan cucu sinder Harjo (Ikhwan, 2017: 70).

Kelas kedua adalah kelas proletar. Berjumlah sangat populis dalam artian menjadi mayoritas dalam komunal masyarakat Rumbuk Randu namun menjadi kelompok yang harus turut menunduk dalam aturan sistem yang berjalan dan kerap kali menjadi korban dari sistem kapitalisme yang merugikan. Kelompok kelas ini menjadi tidak berdaya dengan jumlahnya yang besar karena kelas proletar ini berada dalam dominasi sistem baik ekonomi maupun regulasi yang menyangkut jalannya sistem ekonomi tersebut. Dalam novel Dawuk: Kisah

Kelabu dari Rumbuk Randu, gambaran

kelas proletar ini diwakili oleh sebagian besar masyarakat Rumbuk Randu termasuk Mbah Dulawi, kakek Mat Dawuk sendiri. Kelas proletar dalam masyarakat Rumbuk Randu hampir sebagian besar berprofesi menjadi petani, penggarap lahan Perhutani, atau bekerja menjadi penebang kayu ilegal

‘blandong’ di bawah mandor-mandor dan

sinder-sinder yang menjadi penguasa hutan jati di sekitaran daerah Rumbuk Randu, sebagaimana terbaca dalam kutipan berikut.

Tak seperti tetangga-tetangga di selatan hutan yang setiap tahun mendapatkan kiriman lumpur subur dari luapan air Bengawan. Karena

itulah secara turun temurun mereka hanya menjadi pesanggem, penggarap lahan hutan, “orang kontrakan” begitu mereka menyebut diri (Ikhwan, 2017: 93).

Di tengah bias pemisah dari kedua kelas dalam masyarakat tersebut, terdapat sekelompok masyarakat yang posisinya bukan borjuis karena tidak menguasai alat produksi dalam perekonomian masyarakat, dan tidak proletar karena tidak menjadi bagian dari korban keganasan sistem ekonomi, dan tidak dirugikan karena keberadaan kelas borjuis dengan segala sistem ekonomi yang ada. Kelompok ini mempunyai kekuasaan legalitas politik dalam mendukung praktik kapitalisme yang dilakukan oleh kelompok borjuis. Kelompok ini digambarkan oleh tokoh-tokoh seperti Kades Agus, Carik Muksin, dan petugas-petugas perhutani yang menjadi mitra kerja para pemilik produksi di Rumbuk Randu bahkan menjalin hubungan gelap dengan menjalankan bisnis ilegal yakni pemotongan kayu-kayu di perhutanan secara terlarang.

Menemukan seorang mandor bersama dengan pemilik penggergajian liar di tengah hutan seharusnya sama ganjilnya dengan melihat polisi bersama maling di gedung pengadilan (Ikhwan, 2017: 71).

Sumber Daya Ekonomi Rumbuk Randu Salah satu penyebab adanya konflik antarkelas dalam sebuah masyarakat adalah keberadaan sumber daya ekonomi yang diperebutkan. Sumber daya ekonomi ini dapat berupa berbagai macam, seperti sumber daya alam ataupun lahan pekerjaan. Dalam konteks masyarakat Rumbuk Randu, mengingat kondisi

(9)

71

geografis desa Rumbuk Randu yang jauh dari pesisir pantai dan terlalu ke dalam hingga jauh dari bibir sungai Bengawan Solo yang menjadi sumber kehidupan kebanyakan daerah pedalaman Jawa. Desa Rumbuk Randu menggantungkan hidupnya hanya dari lahan yang untung-untungan, yakni perhutanan jati yang mengelilingi desa. Hutan jati menjadi satu-satunya yang dimiliki oleh masyarakat Rumbuk Randu untuk dijadikan sebagai bahan produksi

yang memompa jalannya roda

perekonomian masyarakat. Namun, kondisi distribusi sumber daya ekonomi Rumbuk Randu tidak berjalan secara merata, banyak lahan yang hanya dikuasai segelintir kaum borjuis Rumbuk Randu serta banyak lahan-lahan hutan jati miliki Perhutani yang disewakan secara ilegal kepada para pemodal penebangan kayu jati. Kutipan berikut menjadi dasar dari pernyataan ini.

Jati jawa jelas kayu terbaik di dunia, tak diragukan lagi. (jika bangunan di surga memaki kusen-kusen dari kayu, pastilah itu dibuat dari jati Jawa) tapi siapapun tahu, orang Jawa, lebih-lebih para penebangnya, tak pernah mendapatkan berkah dari hutan jatinya (Ikhwan, 2017: 93).

Sistem Ekonomi Kapitalisme di Rumbuk Randu

Latar waktu yang dibangun dalam cerita

Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu

adalah di tahun 1980-an. Suatu periode di Indonesia, termasuk desa kecil bernama Rumbuk Randu, yang merupakan masa modernisasi dalam segala hal, termasuk sistem ekonomi. Sistem ekonomi modern adalah sistem ekonomi kapitalis, yang berarti kegiatan ekonomi di mana alat

produksi milik tuan kapitalis (pemilik modal) dan buruh sebagai pekerja upahan (Prawironegoro, 2010). Kapitalisme sendiri berarti sistem perekonomian dikuasai oleh pihak swasta dengan orientasi keuntungan dan menguasai pasar. Dalam konteks Rumbuk Randu, aktualisasi dari kapitalisme bisa dilihat dari bagaimana distribusi perekonomian itu terjadi. Perhutanan jati yang menjadi sumber daya ekonomi bukan dikusai oleh pihak negara atau pemerintah, melainkan dikuasai oleh pihak-pihak swasta yang mempunyai kekuatan modal untuk membangun dominasi ekonomi masyarakat Rumbuk Randu. Terlihat bagaimana keluarga Sinder Harjo yang menurunkan Mantri Hartoyo dan anaknya. Mandor Har bersama mitra kerjanya, keluarga Hasan, menguasai lahan perhutanan di daerah Rumbuk Randu. Di sisi lain, kelas sosial yang menjadi korban eksploitasi dari sistem kapitalisme adalah para blandong yang berperan menjadi buruh di bawah sistem kapitalisme tersebut.

Konflik Terbuka

Kompetisi yang terus menerus dalam sebuah sistem sosial menciptakan disintegrasi dari antar komponen masyarakat. Persaingan memperebutkan dominasi antarkelas sosial dalam novel

Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu

menciptakan konflik terbuka yang berkepanjangan. Konflik yang terjadi mencapai tatanan konflik dalam artian adalah sudah berwujud dalam bentuk kontak fisik dan dapat dilihat akibat dari konflik tersebut. Wacana konflik terbuka yang menjadi konsentrasi dari pembahasan analisa ini adalah konflik kelas dalam

(10)

72

masyarakat Rumbuk Randu. Sistem ekonomi yang dikuasi oleh kelompok borjuis dalam hal ini adalah Sinder Harjo pada masanya menciptakan sebuah tindakan ekploitasi kepada para blandong yang menjadi buruh di perusahaan kayu ilegalnya yang diisi sebagian besar masyarakat Rumbuk Randu. Terlebih perlakuan-perlakuannya sebagai kelas yang mendominasi semena-mena kapada para

blandong sebagai kelas populis bernilai

semena-mena. Pemberian upah yang tidak sebanding dengan hasil usaha kerjanya menjadi titik interaksi yang menjadi pemicu konflik. Hal ini relevan dengan proposisi teori konflik yang berbunyi semakin tidak merata distribusi sumber di dalam suatu sistem, akan semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominasi dan segmen lemah di dalam suatu sistem. (Wirawan, 2012)

Itu pun dibayar dengan upah setengah lebih rendah dibanding kerbau-kerbau yang mereka tuntun untuk menyereti gelondongan-gelondongan jati dari tengah rimba ke tepian Jalan Raya atau bahkan sampai ke galangan-galangan perahu di utara sana, dari Gresik, Sedayu, hingga Jepara (Ikhwan, 2017: 94)

Upaya eksploitasi pun berlanjut ketika Sinder Harjo menyiksa Dulawi,

blandong-nya, hanya karena urusan kerja

dan tuduhan mencuri. Merasa penindasan semakin menjadi, Dulawi sebagai citra kelas proletar membuat respon yang tidak diduga. Dulawi mengangkat segelondong jati yang biasa diangkat para blandong dan menyuruh Sinder Harjo untuk mencoba mengangkatnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan bahwa pekerjaan yang dilakukan para blandong bukanlah pekerjaan remeh dan sembarangan. Dan tentu saja hal ini

dilakukan atas kesadaran Dulawi sebagai kelas populis bahwasanya kelas yang selama ini didominasi mempunyai kekuatan membuat perlawanan demi mengubah sistem yang selama ini dirasa merugikannya. Pemicu konflik ini juga relevan dengan proposisi teori konflik yang berbunyi apabila segmen yang lebih lemah semakin menyadari akan kepentingan kolektif mereka, maka akan semakin besar kemungkinannya mereka itu akan mempertanyakan keabsahan distribusi sumber yang tidak merata. (Wirawan, 2012).

“saya yang blandong kuat kok, Pak. Masa bapak yang sinder tidak kuat. Dicoba dulu, Pak” Dulawi menukas (Ikhwan, 2017: 129).

“Pak sinder kaya dan dihormati karena jati, meskipun tak pernah menanamnya, atau bersusah-susah menebangnya, tak seperti kami para blandong ini. Mungkin pak sinder perlu sesekali mengangkatnya” kata Dulawi dengan bahasa Jawa halus (Ikhwan, 2017: 128-129).

Konflik antarkelas sosial tersebut semakin meruncing menjadi konflik antarindivdu karena rasa balas dendam akibat konflik yang terjadi sebelumnya, dan menurun hingga ke generasi-generasi selanjutnya, sampai dialami oleh Dawuk sebagai tokoh utama dan cucu Dulawi akibat dari konflik berkepanjangan yang dipicu dari sistem dan persaingan kekuatan antar kelas dalam masyarakat Rumbuk Randu. Gambaran wacana konflik kelas memang tidak menjadi bahan pokok pembicaraan novel Dawuk: Kisah Kelabu

dari Rumbuk Randu secara keseluruhan.

Akan tetapi, karena posisinya menjadi kunci dari analisis memahami alur konflik

(11)

73

yang dibangun, konflik kelas ini dirasa penting untuk dibedah dan dibuka sebagai pengantar memahami konsep gagasan yang tertuang dalam novel Dawuk: Kisah

Kelabu dari Rumbuk Randu, karya

Makhfud Ikhwan. PENUTUP

Novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk

Randu karya Makhfud Ikhwan merupakan

novel dengan konsep cerita yang membawa unsur lokalitas dengan beragam konflik yang sangat padat. Konflik-konflik tersebut terangkum menjadi rangkaian alur konflik secara terbuka, yakni kekerasan. Beragam konflik yang terjadi, dari lingkup personal (antartokoh) sampai lingkup sosial (tokoh dan lingkungan) berpangkal dari konflik kelas akibat sistem ekonomi kapitalisme di desa Rumbuk Randu. Permasalahan kelas yang terjadi diakibatkan perebutan sumber daya ekonomi berupa hutan jati. Konflik kelas menyangkut permasalahan Sinder Harjo sebagai representasi kelas borjuis, dengan Mbah Dulawi sebagai representasi kelas proletar, yang berkepanjangan sampai tiga turunan yang menyangkut Dawuk sebagai tokoh utama menjalin konflik dengan tokoh-tokoh lainnya di masyarakat Rumbuk Randu.

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, W. (2006). Sosiologi Klasik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Haryanto, D., & Nugroho, E. (2011).

Pengantar Sosiologi Dasar. Jakarta:

PT. Prestasi Pustaka Karya.

Ikhwan, M. (2017). Dawuk: Kisah Kelabu

dari Rumbuk Randu. Tangerang

Selatan: Marjin Kiri.

Prawironegoro, D. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta: Nusantara Consulting.

Putra, dkk. (2019) Konflik Sosial dalam Novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu Karya Mahfud Ikhwan. Jurnal FKIP UNS: Prosiding

Seminar Nasional Inovasi

Pembelajaran Bahasa Indonesia di Era Revolusi Industri 4.0. 221-223.

Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret.

Putri, Rany Rizkyah. (2018). Konflik Sosial Dalam Novel Dawuk : Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu Karya Mahfud Ikhwan (Kajian Teori Ralf Dahrendorf). Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia. Vol. 1. No. 1. 1-7. Surabaya: Universitas

Negeri Surabaya.

Ratna, N. K. (2007). Teori, Metode, dan

Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Semi, A. (1989). Kritik Sastra. Bandung: Aksara.

Wahyudi, Dicki. (2020). 3 Konflik Sosial

Tokoh Utama dalam Novel Dawuk Karya Mahfud Ikhwan. Skripsi.

Malang: Universitas Islam Malang. Wellek, R., & Warren, A. (2016). Teori

Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Wirawan, I.(2012). Teori-teori Sosial

dalam Tiga Paradigma. Jakarta:

Referensi

Dokumen terkait

Diksi (pilihan kata). Berdasarkan data di atas, diperoleh gambaran atau temuan bahwa kemampuan PHQXOLV NHPEDOL LVL FHUSHQ ³ Sepotong Burger ´ NDU\D 6DQLFH $OILHWD oleh siswa

Berdasarkan hasil analisis diketahui ada hubungan negative yang sangat signifikan antara kestabilan emosi dengan kecemasan berbicara di depan umum dengan koefisien korelasi (r)

reinforcement (penguatan) untuk meningkatkan kedisiplinan mahasiswa mahasiswa semester III B Program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Bangun Nusantara

Terkait dengan uraian di atas cukup jelas bahwa di samping upaya pemenuhan akan kayu pertukangan yang cukup besar, juga terus dilakukan untuk membangun industri pulp

dari contoh soal dalam materi. Penjelasan tersebut dapat membantunya subjek S4 karena komentar sumato membuatnya mengingat pemisalan variabel dari contoh soal yang ada

Dari data tersebut diatas dapat terlihat bahwa nilai PNT > 15% yang berarti tanah tambak di Kabupaten Takalar adalah tergolong dalam kelompok tanah salin.. Tanah bukan

Perkembangan teknologi informasi yang semakin bersaing mendorong penggunaan dan pemanfaatan di berbagai aspek bidang, seperti pada perusahaan penyedia air bersih (PDAM)

Keempat, kekuatan atau keampuhan yang disebabkan oleh penggunaan suatu teknologi selalu dapat digunakan untuk sesuatu yang merugikan masyarakat. 28 Dari pernyataan-pernyataan di