• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III: Kursus Dasar Faham Hak-hak Asasi Manusia Pengertian dan Prinsip-Prinsip HAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab III: Kursus Dasar Faham Hak-hak Asasi Manusia Pengertian dan Prinsip-Prinsip HAM"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

Bab III: Kursus Dasar Faham Hak-hak Asasi Manusia

3.1. Pengertian dan Prinsip-Prinsip HAM

Apa itu hak-hak asasi manusia? UU No. 39/1999 tentang HAM mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 ayat 1 UU No. 39/1999).

Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia melihat HAM sebagai hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan, yang tak boleh dirampas atau diabaikan oleh siapa pun. HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia kerena kemanusiaannya. Karena itu hak-hak asasi manusia bersifat kodrati dan keberadaannya mendahului sebuah institusi negara. Keberadaan HAM tidak bergantung pada faktor-faktor kontingen seperti asal-usul, ras, jenis kelamin, bangsa dan agama. Karena bersifat kodrati, hak asasi tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Negara dapat saja tidak mengakui hak-hak asasi itu. Dengan demikian, hak-hak asasi tidak dapat dituntut di depan hakim. Tetapi, dan itulah yang menentukan, hak-hak itu tetap dimiliki. Orang boleh saja merampas jam tangan saya, tapi jam tangan tersebut tetap milik saya. Karena itu hak asasi seharusnya diakui. Tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia menunjukkan bahwa dalam negara itu martabat manusia belum diakui sepenuhnya.

Sebagai hak kodrati faham hak-hak asasi manusia memiliki beberapa prinsip umum: 1) Universal: hak asasi manusia dimiliki manusia karena ia manusia, maka hak-hak itu berlaku bagi semua manusia atau bersifat universal. Setiap orang memiliki hak-hak itu sejauh ia termasuk species homo sapiens, dan bukan karena cirri-ciri tertentu yang melekat pada dirinya. Hal ini dirumuskan secara jelas dalam Deklarasi Universal HAM PBB tahun 1948, Pasal 2: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Pernyataan ini dengan tak ada perkecualian apa pun, seperti misalnya bangsa, wana kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik kelahiran ataupun kedudukan lain.”

2) Kesetaraan dan non diskriminasi: semua manusia memiliki martabat dan hak yang sama. Tidak seorang pun boleh didiskriminasi berdasarkan ras, suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seks, usia, bahasa, agama, keyakinan politik, kebangsaan, kepemilikan, kelahiran, daerah asal. 3)Tidak dapat dicabut: hak asasi melekat pada setiap manusia dan tidak seorangpun yang boleh mengurangi atau

(2)

2 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

menghilangkan hak tersebut. 4) Tidak bisa dibagi: setiap hak asasi punya posisi yang sama pentingnya bagi martabat manusia. Tidak ada satu hak asasi yang lebih tinggi dari hak asasi lainnya. Terpenuhinya hak yang satu mengandaikan atau mensyaratkan terpenuhinya hak lain. Hak sipil politik ada kaitannya dan tidak bisa dipisahkan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. 5)Saling tergantung dan

berkaitan: semua hak asasi bergantung dan berkaitan satu sama lainnya. 6) Akuntabilitas/tanggung gugat: negara dan pihak-pihak lain memiliki kewajiban untuk

menegakkan hak asasi dan memasukkan standard internasional hak asasi ke dalam hukum nasional. 7) Partisipasi/inklusi: setiap manusia berhak untuk berpartisipasi dalam dan mendapatkan akses atas informasi terkait dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

3.2. Sejarah Perkembangan HAM

Ernst Tugendhat menyebut dua fase penting dalam sejarah perkembangan faham

hak-hak asasi manusia. Tahap pertama ialah fase perkembangan di Inggris dari munculnya Magna Charta hingga Bill of Richts. Tahap kedua ditandai dengan masa transisi menuju demokratisasi.1

Pada tahap pertama perkembangan sejarah hak asasi manusia berpuncak pada abad ke-17 sebagai masa lahirnya faham hak-hak asasi manusia di Inggris. Prestasi ini melewati tahapan perkembangan selama empat abad yang berawal dengan lahirnya

Magna Charta Libertatum. Sebelum adanya Magna Charta Libertatum raja Inggris

memiliki kekuasaan berdasarkan tradisi. Tradisi merupakan sumber legitimasi kekuasaan raja. Pada tahun 1215 lahirlah Magna Charta Libertatum yang membatasi kekuasaan absolut sang raja. Magna Charta melindungi warga masyarakat, kendati hanya berlaku untuk kelas tertentu (bangsawan), dari tahanan, hukuman dan perampasan harta benda secara sewenang-wenang.

Pada tahun 1679 muncul sebuah dokumen juridis bernama Habeas Corpus. Dokumen ini merupakan sebuah dokumen keberadaban hukum bersejarah yang menetapkan bahwa seseorang yang ditangkap dan ditahan selambat-lambatnya tiga hari setelahnya harus dihadapkan ke depan hakim dan diberitahu atas alasan apa dia ditahan. Penahahanan terhadap seseorang hanya memiliki legitimasi atas perintah hakim.

1 Bdk. E. Tugendhat, “Die Kontroverse um die Menschenrechte“, dalam: S. Gosepath dan G. Lohmann (Ed.), Philosophie der Menschenrechte, Frankfurt am Mein: Suhrkamp Verlag, 1998, hal. 48

(3)

3 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

Ketika Glorious Revolution berhasil menggulingkan Raja James II, muncullah penggantinya William von Orange. Berdasarkan Bill of Rights (1689) ia harus mengakui kekuasaan dan hak-hak parlemen. Dengan demikian Inggris merupakan negara pertama yang memiliki konstitusi moderen. Dan abad ke-17 dipandang sebagai abad lahirnya faham hak-hak asasi manusia. Akan tetapi pada fase ini tatanan kekuasaan tradisional tak pernah dipersoalkan. Yang ada ialah pembatasan kekuasaan dan wewenang raja. Perkembangan di Inggris ini sangat dipengaruhi oleh filsafat John Locke (1632-1704) yang, di samping menuntut toleransi religius (kecuali terhadap orang Katolik dan ateis), megemukakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah (natural rights) yang tidak dapat dilepaskan seperti hak hidup, kemerdekaan, milik dan mengusahakan kebahagiaan. Fase kedua ialah masa transisi menuju demokrasi. Pada masa ini sumber legitimasi kekuasaan tradisional mulai dipersoalkan. Legitimasi kekuasaan bukan lagi tradisi tapi dibangun di atas kehendak bebas individu. Warga negara bukan lagi bawahan sang raja. Ia berhak mengambil bagian dalam konstelasi kekuasaan lewat hak memilih. Dengan demikian setiap individu ikut menentukan perputaran roda politik.

Hak-hak asasi manusia dirumuskan dalam perjalanan sejarah sebagai tanggapan atas persoalan dan tantangan yang dihadapi masyarakat dalam konteks tertentu. Tidak semua hak itu dirumuskan dalam waktu bersamaan, tapi dalam waktu berbeda sesuai dengan tantangan zaman. Atas dasar perkembangan persoalan dan jawaban atasnya, faham hak-hak asasi manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga generasi dan lima kelompok.

Generasi pertama adalah hak asasi manusia yang diangkat dalam perlawanan terhadap kesewenangan para raja dan bangsawan, jadi dalam pemberontakan masyarakat terhadap monopoli kekuasaan kaum feodal. Hak- hak itu dirumuskan sejak akhir abad ke-17 dan mendapat rumusan klasik dalam daftar hak-hak asasi manusia dan warga negara yang disahkan oleh Parlemen Prancis 1789 sebagai salah satu buah pertama dari Revolusi Prancis. Dalam generasi pertama itu, termuat tiga kelompok hak-hak asasi manusia: (1) Kebebasan-kebebasan dasar, seperti misalnya kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang, kebebasan beragama, kebebasan untuk bergerak, kebebasan untuk mencari informasi. (2) Hak-hak dasar demokratis, seperti: hak untuk berkumpul dan berserikat, untuk menyatakan pendapatnya secara lisan dan tertulis, hak untuk ikut aktif dan pasif dalam pemilihan umum. (3) Hak atas perlindungan negara, misalnya terhadap serangan kriminal, hak atas proses pengadilan yang adil, termasuk untuk mendapat pembela. Latar belakang

(4)

4 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

filosofis tiga macam hak asasi itu adalah liberalism (John Locke dan Montesquieu) dan republikanisme (J.J. Rousseau).

Generasi kedua hak-hak asasi manusia lahir sebagai hasil perjuangan kaum buruh industri dan kelompok-kelompok kelas bawah lain di abad ke-19. Latar belakang filosofisnya adalh sosialisme. Generasi kedua ini memuat hak-hak asasi sosial, seperti hak atas tempat tinggal atas pekerjaan, atas upah yang adil, atas nafkah hidup. Pasal 33 dan 34 UUD 1945 termasuk kelompok ini.

Generasi ketiga hak-hak asasi manusia baru muncul sesudah kolonialisme dipatahkan dan memuat kelompok hak-hak asasi manusia yang kelima, hak-hak

kolektif, misalnya hak minoritas atas kelestarian budaya dan identitas sosial dan

religius mereka.

3.3. Universalitas dan Kontekstualitas HAM

Prinsip universalitas HAM sering mendapat gugatan dan kritik. Pertanyaan fundamental yang muncul di sini ialah mengapa faham HAM itu baru disadari dan dirumuskan di Inggris pada abad ke-17 jika hak-hak tersebut memang dianggap

universal? 2 Kenyataan itu menunjukkan sesuatu yang amat penting: Kesadaran

bahwa manusia memiliki hak-hak asasi itu baru muncul dalam sebuah konteks. Konteks itu adalah modernitas.

Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa konteks munculnya kesadaran akan hak-hak asasi manusia adalah robohnya masyarakat tradisional dan munculnya masyarakat moderen. Hak-hak asasi manusia baru dapat disadari sesudah struktur-struktur sosial tradisional yang melindungi individu dan kelompok-kelompok masyarakat tidak lagi berdaya, jadi sesudah masing-masing kelompok dan golongan tidak lagi dilindungi oleh adat dan tradisi.

Selama keutuhan manusia masih terjamin oleh adat dan struktur-struktur sosial lainnya belum ada kebutuhan untuk merumuskan paham hak asasi manusia. Tetapi dalam situasi perubahan sosial di mana individu (yang ditangkap kopkamtib), kelompok orang (kelompok tani yang tanahnya digusur untuk lapangan golf), golongan (misalnya agama minoritas) maupun suku ( suku terasing yang hutan ulayatnya mau dieksploitasi) terancam oleh kekuasaan negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lain, hak-hak asasi manusia semakin menjadi sarana untuk menjamin keutuhan individu, kelompok, golongan dan suku itu.

Antara kontekstualitas dan universalitas hak-hak asasi manusia tak ada pertentangan. Universalitas menyangkut isi hak-hak asasi manusia, sedangkan

(5)

5 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

kontekstualitas menyangkut relevansinya. Hak-hak asasi memang berlaku universal, jadi segenap orang harus diperlakukan sesuai dengan hak-hak itu, tetapi dalam konteks pramoderen kewajiban itu belum relevan, karena sudah dijamin lewat sarana-sarana sosial tradisional.

Pertimbangan itu tadi menunjukkan sesuatu: memang ada kaitan antara paham hak asasi manusia dan masyarakat moderen yang lebih individualistik. Akan tetapi, kaitan itu berbeda dari apa yang sering dituduhkan. Hak-hak asasi manusia bukannya mendukung penyebaran individualisme, melainkan membendungnya. Hak-hak asasi manusia adalah sarana etis dan hukum untuk melindungi individu, kelompok maupun golongan yang lemah terhadap kekuatan-kekuatan raksasa dalam masyarakat moderen.

Itu juga berlaku di Indonesia. Indonesia sudah lama bukan lagi masyarakat tradisional. Bukan konsepsi hak-hak asasi manusia yang membongkar struktur-struktur sosial tradisional di Indonesia, melainkan proses modernisasi sendiri yang membongkarnya. Proses itu untuk sebagian merupakan akibat tak terelakkan globalisasi komunikasi dan perekonomian, tetapi untuk sebagian sudah diinisiasikan oleh kekuasaan colonial, dan kemudian secara sadar dipacu oleh semua pemerintah kita. Jauh sebelum hak-hak asasi manusia menjadi isu dalam masyarakat luas, individualisasi individu Indonesia sudah menjadi kenyataan. Hal ini dapat ditunjukkan lewat empat faktor berikut: Pertama, kita mempunyai sistem pendidikan yang 100 persen Barat, modern, individualistik dengan sistem penilaian yang berfokus pada prestasi individu. Kedua, ekonomi pasar diganti dengan ekonomi uang, di mana pemilikan individual terhadap uang menentukan hidup matinya seseorang. Ketiga, segala urusan administrasi negara maupun swasta individualistik murni (tak ada KTP kolektif). Keempat, semakin banyak orang harus secara individual mencari tempat kerja untuk tidak mati kelaparan.

Keempat fakta di atas menunjukkan bahwa mekanisme sosial kita yang bernama kekeluargaan dan gotong-royong sudah tak mampu lagi melindungi individu. Struktur-struktur sosial lama tinggal kulitnya saja, tapi substansinya sudah rusak dan individu berada dalam bahaya dihancurkan oleh tekanan dari kekuatan-kekuatan sosial moderen (negara dan birokrasi, korporasi dan kekuatan-kekuatan-kekuatan-kekuatan raksasa lainnya). Persis itulah situasi di mana konsepsi hak-hak asasi manusia memainkan peranannya: hak-hak itu secara efektif melindungi manusia, baik individu maupun kelompok atau golongan, terhadap kekuatan-kekuatan sosial raksasa itu. Memacu modernisasi masyarakat di semua bidangdan sekaligus memakai nilai-nilai budaya tradisional untuk menolak pengakuan hak-hak asasi masyarakat kelihatan kontradiktif.

(6)

6 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

Jadi bukannya hak asasi manusia mendorong individualism, melainkan hak-hak asasi manusia itu melindungi individu, kelompok dan golongan-golongan yang terancam dalam masyarakat moderen. Karena itu keliru kalau ada anggapan bahwa hak-hak asasi manusia merupakan tanda egoisme. Sebaliknya yang benar: jaminan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan tanda solidaritas dan kepedulian sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena menjamin hak-hak asasi manusia berarti: Masyarakat memasang standar atau tolok-ukur bagaimana segenap anggota masyarakat harus diperlakukan dan bagaimana tidak, entah dia kuat atau lemah, menang atau kalah. Hak-hak asasi selalu berupa perlindungan bagi pihak yang lemah: Minoritas-minoritas etnis, religius, budaya, atau bahasa dilindungi terhadap mayoritas kuat, mayoritas mereka yang secara sosial dan ekonomi lemah terhadap elite atau kelompok berkuasa di atas, wanita terhadap pria, dll.

Hak-hak asasi manusia adalah jaminan yang diberikan oleh pihak kuat kepada pihak lemah dalam masyarakat: meskipun kau tak punya kekuatan, tetapi kau tetap akan diperlakukan sebagai manusia dan tetap boleh hidup sesuai dengan harkatmu sebagai manusia. Maka, jauh daripada individualisme, hak-hak asasi manusia merupakan sarana utama untuk menjamin solidaritas antara yang kuat dan lemah dalam masyarakat modern. Mengakui hak-hak asasi manusia berarti, bahwa dalam masyarakat itu mereka yang lemah atau minoritas tetap merupakan warga masyarakat yang sama bebas dan terhormat dalam harkat kemanusiaannya dengan yang lain-lain. Semua kasus hak asasi manusia selalu menyangkut pihak yang lemah, yang terancam, yang tidak dapat membela diri, yang dianggap tidak berguna.

Dalam kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik moderen, hak-hak asasi manusia bukanlah pendukung individualisme, melainkan sebaliknya tanda solidaritas nyata sebuah bangsa dengan warga-warganya yang paling lemah. Dalam kondisi modern,

kekeluargaan dan gotong –royong sebuah bangsa justru menjadi nyata apabila ia

menyatakan dengan seresmi-resminya bahwa semua warganya, dalam situasi apa pun, selalu akan diperlakukan sebagai manusia.

3.4. Pengelompokan Hak-hak Asasi Manusia dan Kewajiban Negara

Seperti sudah diuraikan, faham hak-hak asasi manusia dalam sejarahnya digolongkan ke dalam tiga generasi. Ketiga generasi tersebut melahirkan lima kelompok hak-hak asasi manusia. 3

4.1. Hak-hak Asasi Negatif atau Liberal

3 Bdk. Ibid., hal. 173 dst.

(7)

7 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

Kelompok hak-hak asasi liberal berperan untuk melindungi otonomi individu dari intervensi negara atau kekuasaan-kekuasaan lainnya. Keutuhan martabat dan otonomi individu hanya mungkin terwujud jika ia memiliki ranah privat yang dijauhkan dari campur tangan kekuasaan manapun juga. Disebut hak negatif karena mengungkapkan larangan bagi negara atau kekuasaan lain untuk mencampuri urusan privat individu. Hidup saya tidak boleh dicampuri oleh pihak luar.

Hak asasi negatif menggambarkan kewajiban negara untuk menghargai (obligation to respect) otonomi warga atau untuk tidak mengintervensi ranah privat warga negara serta batas-batas yang tak boleh diabaikan oleh negara. Yang tegolong dalam hak-hak liberal adalah hak atas hidup, keutuhan jasmani, kebebasan bergerak, kebebasan untuk memilih jodoh, perlindungan terhadap hak milik, hak untuk mengurus kerumahtanggaan sendiri, untuk memilih perkerjaan dan tempat tinggal; hak atas kebebasan beragama, kebebasan untuk mengikuti suara hati sejauh tidak mengurangi kebebasan serupa orang lain, kebebasan berpikir, kebebasan untuk berkumpul dan berserikat; hak untuk tidak ditahan secara sewenang.

4.2. Hak-Hak Asasi Aktif atau Demokratis

Esensi demokrasi adalah kedaulatan rakyat atau penyelenggaraan kekuasaan oleh rakyat. Dalam demokrasi sebuah pemerintahan hanya memiliki legitimasi jika dikehendaki oleh rakyat yang secara prosedural dibentuk lewat proses pemilihan umum. Itu berarti, pemerintah hanya menjalankan kedaulatan yang didelegasikan oleh rakyat. Hak-hak asasi demokratis mengungkapkan hal ini. Warga negara aktif dan berhak untuk menentukan arah perkembangan masyarakat sebat semua manusia sama derajadnya. Hak-hak demokratis menentang anggapan tradisional dan feodal, bahwa ada orang atau golongan tertentu yang karena garis keturunan (raja) berhak untuk memerintah masyarakat dan menguasai negara. Maka sistem dinasti dalam partai politik jelas bertentangan dengan prinsip hak demokratis. Hak demokratis diperjuangkan oleh kaum liberal dan republikan menentang kekuasaan feodal para raja. Contoh hak demokratis adalah hak untuk mengikut pemilu atau memilih wakil-wakil rakyat, hak untuk mengangkat dan mengontrol pemerintah. Juga hak menyatakan pendapat, kebebasan pers, hak untuk berserikat dan berdemonstrasi.

4.3. Hak-Hak Asasi atas Perlindungan atau Hak Positif

Hak asasi ini menunjukkan bahwa ada hal-hal yang berhak dituntut oleh individu dan masyarakat dari negara. Alasannya, negara bukan tujuan pada dirinya sendiri tetapi alat yang diciptakan oleh masyarakat untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Karena itu, masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan dari

(8)

8 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

negara dan negara berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Prinsipnya, pelayanan negara terhadap masyarakat bukanlah suatu hadiah atau anugerah yang harus dimohonkan oleh masyarakat, melainkan masyarakat berhak untuk menuntutnya.

Hak asasi atas perlindungan berkorelasi dengan kewajiban negara untuk melindungi (obligation to protect) hak-hak asasi warga dari serangan atau pelanggaran yang dilakukan pihak ketiga. Misalnya, jika segerombolan massa menyerang orang-orang yang sedang beribadat, negara tanpa syarat dan tawar menawar berkewajiban untuk melindungi warga korban.

Yang tergolong dalam hak positif adalah hak atas perlindungan hukum. Di sini termasuk hak atas perlakuan sama di depan hukum, hak agar suatu pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki tidak dibiarkan, dan hak-hak yang mau menjamin keadilan perkara pengadilan, misalnya larangan terhadap hukum yang berlaku surut. Di sini juga dapat dikelompokkan hak warga masyarakat atas kewarganegaraan.

4.4. Hak-Hak Asasi Sosial

Hak asasi sosial merupakan buah dari perjuangan kaum buruh dalam membebaskan diri dari eksploitasi kaum kapitalis abad ke-19. Tanpa hak asasi sosial, maka kebebasan dasar yang diperjuangkan kaum liberal dan republikan hanya dapat dinikmati oleh kelompok kaya atau kuat. Sebab hidup sosial itu ibarat membiarkan domba dan serigala hidup bebas di kandang yang sama, dan sudah pasti serigala akan memangsa domba. Atau dalam uangkapan Benjamin Franklin, demokrasi liberal tanpa hak asasi sosial itu ibarat menyuruh dua serigala dan satu domba melakukan pemungutan suara untuk memutuskan mau makan apa. Tentu saja dua serigala menjatuhkan pilihan untuk memangsa domba.

Berhadapan dengan para pemilik modal, kaum buruh tidak berdaya untuk memperoleh upah dan syarat-syarat kerja yang memadai. Walaupun buruh secara formal bebas untuk mengikat diri dalam suatu perjanjian kerja, namun kerena yang memerlukan pekerjaan adalah buruh, sedangkan majikan dapat memilih di antara buruh-buruh yang mencari pekerjaan, buruh terpaksa menerima syarat-syarat kerja yang ditentukan oleh majikan secara sepihak.

Hak asasi sosial sejajar dengan kewajiban negara untuk memenuhi (obligation to

fulfill) tuntutan hak-hak asasi manusia. Di sini negara berkewajiban membangun

struktur-struktur sosial agar warga negara dapat menikmati hak-hak dasarnya. Contohnya, kewajiban negara untuk menyediakan sistem pendidikan dasar gratis, memastikan adanya sistem pengadilan yang berfungsi baik dan adil, adanya

(9)

9 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

asuransi sosial dan tersedianya sistem pelayanan kesehatan yang terjangkau. Juga yang tergolong dalam hak-hak asasi sosial adalah hak atas pekerjaan, atas pilihan tempat dan jenis pekerjaan, atas syarat-syarat kerja yang memadai, atas upah yang wajar, atas perlindungan terhadap pengangguran, hak untuk membentuk serikat kerja dengan bebas, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural masyarakat.

Kelompok hak-hak asasi sosial ini mempunyai suatu persoalan yakni sulit diproses secara hukum jika terjadi pelanggaran. Orang misalnya tak mungkin menuntut di pengadilan agar mendapat pekerjaan, tempat tinggal dan keluar dari kondisi miskin. Namun kesulitan ini juga tak perlu dilebih-lebihkan. Pelanggaran di dunia kerja dapat diproses secara hukum. Hak-hak asasi sosial juga memberikan pesan moral bahwa kewajiban negara ialah memilih option for the poor, artinya negara harus mengangkat warganya keluar dari kemelaratan dan kemiskinan serta menciptakan kesejahteraan. Tanpa kesejahteraan maka hak-hak lain sulit terpenuhi.

4.5. Hak-Hak Asasi kolektif

Hak asasi ini tidak merujuk pada individu-individu, tapi pada sekelompok orang. Kelompok yang dimaksud adalah minoritas etnik atau religius, penduduk asli, komunitas adat yang cara hidupnya terancam punah di tengah dominasi mayoritas. Hak ini lahir setelah masa kolonialisasi berakhir dan muncul negara-negara baru. Dalam situasi baru ini muncul kesadaran bahwa dalam sebuah negara merdeka masih terdapat suku-suku asli, komunitas agama, minoritas ras dan etnik yang hak-haknya tidak dilindungi oleh negaranya. Adat, budaya dan keyakinan mereka berada di bawah ancaman budaya mayoritas negara. Sebagai jawaban atas persoalan ini maka dirumuskan hak-hak kolektif yang wajib dilindungi dan dihormati.

Yang tergolong dalam hak kolektif adalah hak untuk menggunakan bahasa mereka sendiri dan mendidik anak dalam bahasa tersebut, hak penduduk asli atas tanah dan sumber daya alam yang mereka miliki secara kolektif, hak atas udara, air dan tanah yang bersih (tidak dikotori oleh perusahan tambang misalnya), pengambilan tanah yang dicuri dari mereka di masa lampau, hak otonomi khusus terbatas, dll. Hak-hak kolektif biasanya selalu berhadapan dengan ancaman korporasi-korporasi internasional, kebijakan politik pemerintah pusat dan pihak asing.

3.5. Instrumen-Instrumen HAM

Sebagai landasan moral dan juridis tatanan masyarakat global HAM memiliki beberapa instrumen. Instrumen hak asasi manusia adalah kesepakatan/perjanjian internasional yang berisikan standar internasional tentang hak asasi manusia. Instrumen ini bertujuan untuk melindungi seluruh hak asasi manusia yang

(10)

10 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

dibutuhkan guna mewujudkan kehidupan yang bebas dan aman (Kovenan hak sipil politik), serta sejahtera (Kovenan Hak ekosob) bagi semua manusia

Instrumen hak asasi manusia terdiri dari: 1) Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), 2) Kovenan Hak Sipil Politik (SIPOL), 3) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (EKOSOB), 4) Konvensi (Anti Penyiksaan, Hak Anak, Anti Diskriminasi Rasial, Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, dll).

Dengan berpijak pada instrumen-instrumen di atas, dapat dideteksi soal pelanggaran HAM. Ada dua macam pelanggaran HAM yakni pelanggaran karena tindakan (by commission) dan pelanggaran karena pembiaran (by ommission).

Pelanggaran karena tindakan adalah pelanggaran yang dilakukan karena negara/pemerintah melakukan tindakan atau mengambil kebijakan yang berdampak pada hilangnnya/ terampas-nya/ tidak terpenuhinya hak semua orang. Contohnya, penangguhan atau penarikan kebijakan atau undang-undang yang diperlukan untuk pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Atau pengingkaran hak-hak individu atau kelompok khusus lewat aturan yang diskriminatif.

Pelanggaran karena pembiaran adalah pelanggaran yang dilakukan negara/ pemerintah ketika membiarkan pihak lain melakukan pelanggaran HAM. Beragam bentuk pelanggaran karena pembiaran: Kegagalan untuk mengambil langkah-langkah yang sepatutnya untuk memenuhi ketentuan dalam kovenan-kovenan HAM, kegagalan mengubah atau memperbaiki perundang-undangan yang secara nyata tidak sejalan dengan kewajiban yang tercantum instrument HAM.

3.6. Beberapa Pertimbangan Tambahan

4

Hak-hak asasi manusia merupakan ukuran moral apakah suatu sistem hukum etis atau tidak etis, benar atau tidak benar, karena hormat terhadap hak-hak asasi manusia menjadi tanda dan bukti apakah suatu sistem hukum menghormati martabat manusia. Hukum yang melanggar hak-hak asasi manusia adalah busuk.

a. Hak asasi apa yang boleh dibatasi?

Dengan demikian, sudah jelas bahwa hak-hak asasi manusia tidak dapat ditawar. Hormat terhadap hak-hak asasi manusia tidak bisa berlebihan, tidak bisa kebablasan, karena merupakan garis dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Apakah itu berarti bahwa hak-hak asasi manusia sama sekali tidak boleh dibatasi? Kebanyakan hak asasi yang dalam kondisi tertentu boleh dibatasi. Misalnya, hak atas kebebasan mengungkapkan pendapat- kebebasan pers- dapat dalam situasi

(11)

11 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

tertentu, misalnya ada bahaya kerusuhan, dibatasi. Atau, kebebasan bergerak. Namun, pembatasan suatu hak asasi menusia hanyalah sah apabila berdasarkan ketentuan dalam undang-undang dasar, disetujui oleh para wakil rakyat dan hanya untuk sementara waktu.

Bisa juga ada ketegangan antara dua hak asasi. Kalau kebebasan berlebihan, keadilan sosial sudah pasti menderita. Kalau makanan terbatas dan ada kebebasan penuh, para penjual akan menaikkan harga makanan sehingga mereka yang mempunyai uang dapat makan sekenyang-kenyangnya, sementara yang lain kelaparan. Kalau mau dijamin bahwa semua dapat sama-sama makan, kebebasan untuk menaikkan harga, maupun untuk membeli, harus dibatasi. Kalau kesamaan dimutlakkan, kebebasan orang untuk mengembangkan kemampuannya dan untuk berusaha akan lumpuh. Suatu aturan tentang mana yang harus didahulukan tidak dapat diberikan.

Namun ada patokan. Makin terbatas kepentingan yang bersangkutan, makin kebebasan harus didahulukan terhadap tuntutan untuk menjaga kesamaan situasi. Dan sebaliknya, semakin umum kepentingan yang bersangkutan, semakin kewajiban untuk memperlakukan semua pihak dengan sama harus diunggulkan terhadap kebebasan masing-masing. Seorang ibu rumah tangga bebas memilih pembantunya, misalnya menurut agamanya sendiri, sedangkan sebuah perusahan besar tidak boleh menolak calon karyawan atas dasar agamanya. Negara yang per

defitionem bersifat umum tidak boleh memilih pegawai-pegawainya berdasarkan

kriteria etnik atau agama, melainkan seleksi harus berdasarkan kecakapan calon untuk mengerjakan pekerjaan yang harus dikerjakan. Kesimpulannya: baik kebebasan maupun kesamaan tidak boleh dimutlakkan supaya tidak meniadakan dirinya sendiri.

b. Hak asasi paling dasar

Akan tetapi, tidak semua hak asasi manusia boleh dibatasi. Di antara hak-hak asasi ada hak-hak yang paling dasar, paling dasar dalam arti bahwa hak-hak itu dengan alasan apa pun tidak boleh ditangguhkan atau dibatasi. Hak-hak asasi paling dasar itu bersifat larangan terhadap tindakan-tindakan yang tidak pernah dapat dibenarkan: Pembunuhan sewenang-wenang; penggunaan sistematik penyiksaan (torture), baik fisik maupun psikis; hukuman kejam dan bengis, pengekangan kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk beragama dan berkepercayaan menurut iman atau keyakinan mereka, penangkapan sewenang-wenang, perbudakan, perdagangan orang (misalnya wanita, anak di bawah umur), kekejaman rutin oleh aparat keamanan seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, penghancuran basis penghidupan terhadap para penduduk dalam wilayah operasi pemulihan keamanan; penindasan berbentuk genosida,

(12)

12 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

pemeroksaan hak minoritas-minoritas etnik, agama, atau budaya atas budaya, bahasa, agama, dan atas otonomi terbatas berdasarkan adat-istiadat.

Salah satu hak asasi paling dasar mengungkapkan hormat terhadap kewajiban manusia untuk mengikuti suara hati dalam hubungan dengan Tuhan, yaitu hak asasi

kebebasan beragama, yang, menurut rumusan pasal 18 DUHAM PBB, menyatakan:

Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan agama; dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun yang tersendiri. Adalah suatu kehormatan bagi bangsa Indonesia bahwa beberapa “hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dimasukkan ke dalam pasal 28I UUD 1945 yang sudah diamandemen.

c. Berkembang ke depan

Apakah hak-hak asasi dapat berubah? Hak-hak asasi manusia ditetapkan sebagai hasil suatu proses pertumbuhan dalam kesadaran manusia. Manusia menjadi sadar akan martabatnya sebagai manusia ciptaan Allah yang khusus, dan tentang hal-hal mana yang harus dihormati agar martabat manusia itu tidak tercoreng. Proses itu tidak dapat dibalik. Maka, sudah jelas bahwa sesuatu yang pernah diakui sebagai hak asasi manusia tidak dapat dihapus lagi. Misalnya tidak mungkin pernah hak atas kebebasan suara hati dicoret lagi.

Tetapi yang dapat berubah atau berkembang adalah rumusan. Bahasa manusia sering tidak pernah sempurna sehingga rumusan hak-hak asasi manusia barangkali masih perlu diperbaiki, dipertajam. Tetapi, dari segi isi pun, hak-hak asasi dapat berubah. Namun, hanya ke depan. Ke depan dalam arti bahwa perumusannya dapat diperbaiki, dipertajam, diimbangi oleh hak-hak lain (seperti hak-hak kebebasan yang diperjuangkan oleh liberalisme perlu diimbangi oleh hak-hak sosial yang dijagokan oleh sosialisme), tetapi intinya, apa yang dimaksud, tidak dapat dihapus kembali.

Tambahan lagi, struktur-struktur kehidupan sosial manusia akan terus berkembang. Akan timbul situasi baru dengan masalah-masalah baru yang memerlukan tanggapan baru pula. Tetapi, masyarakat tidak dapat berkembang ke belakang, tidak dapat, misalnya, menjadi naif dan tradisional kembali. Suatu tahap kesadaran sosial dan individual yang pernah ditinggalkan tidak dapat seakan-akan diambi kembali. Itu tidak berarti bahwa pola-pola tradisional yang pernah dibuang berdasarkan semangat modernisasi yang bergelora, kemudian tidak dapat dicari kembali apabila orang sudah kecewa. Tetapi, gerak “kembali ke yang lama” itu tetap

(13)

13 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

berada di tingkat perkembangan yang lebih tinggi, tidak mungkin polos, mirip dengan beberapa pelukis modern yang “keprimitifannya” merupakan ekspresi kecanggihan mereka. Dan, karena masyarakat di seluruh dunia tidak akan berkembang kembali ke arah masyarakat tradisional, maka juga tak mungkin muncu kembali suatu situasi di mana penjaminan hak-hak asasi manusia tidak dibutuhkan.

Belum tentu bahwa para suami istri di zaman dulu kurang bahagia di mana mereka dipertemukan oleh kepala keluarga atau marga mereka, daripada di zaman sekarang di mana mereka saling memilih sendiri. Tetapi sesudah hak untuk memilih jodohnya sendiri menjadi kesadaran umum, tidak mungkin, bahwa hak untuk memilih sendiri siapa yang mau dikawini dibatalkan lagi.

Tambahan pula, perkembangan hak-hak asasi manusia menunjukkan juga suatu kemajuan dalam paham tentang martabat manusia sendiri. Walaupun ada cukup alasan untuk meragukan klaim bahwa umat manusia maju dalam kemanusiaannya, namun sulit untuk meragukan bahwa ada kemajuan dalam paham tentang kemanusiaan dan dalam kesadaran tantang apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita.

Di sini dapat disebut suatu kesadaran baru akan harga nyawa manusia (betapa mudahnya orang dulu dihukum mati di seluruh dunia!); kesadaran bahwa hukuman yang melanggar keutuhan fisik terhukum adalah biadab (dan bahwa suatu kebrutalan tidak menjadi terhormat hanya karena dibenarkan dengan argumen-argumen suci); kesadaran bahwa lembaga sosial perbudakan dan perhambaan secara prinsipiil harus ditolak; penghargaan terhadap kebebasan suara hati dalam hal-hal menyangkut seorang pribadi, seperti dalam hal agama; kesadaran akan nilai unik setiap orang secara individual (yang, berbeda dengan binatang, tak pernah boleh dipakai semata-mata sebagai sarana, juga tidak atas nama kekeluargaan).

Oleh sebab itu, hak-hak asasi manusia yang pernah diakui boleh saja diperbaiki dan diperlengkapi, tetapi intinya tidak dapat dihapus lagi. Kita tidak dapat meramalkan masa depan. Mungkin sekali martabat manusia akan berhadapan dengan ancaman-ancaman yang belum dapat kita bayangkan sekarang dan yang akan memerlukan usaha pengamanan yang baru juga. Tetapi tidak mungkin bahwa suatu tindakan atau perlakuan yang sekarang kita anggap sebagai bertentangan dengan martabat manusia, di masa yang akan datang akan dinilai sebagai tidak apa-apa. Dalam hubungan ini, kita harus membedakan dua hal dengan tajam: perkembangan umat manusia yang de facto akan terjadi, dan norma-norma kemanusiaan yang seharusnya mengatur perkembangan masyarakat di masa mendatang belum kita ketahui. Barangkali kaum pesimis akan dibenarkan yang meramalkan bahwa

(14)

14 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

masayarakat masa depan adalam masyarakat yang dikontrol secara ketat oleh suatu elite tekonokratis melalui peralatan elektoronik mutakhir di mana segala kebebasan dan individualitas akan hilang dan masyarakat akan mirip dengan sarang semut. Akan tetapi, meskipun masyarakat berkembang ke situ, penghapusan kebebasannya tidak menghapuskan hak masyarakat atas kebebasan itu. Hak-hak asasi manusia tidak kehilangan kekuatan moralnya hanya karena tidak diakui oleh mereka yang berkuasa. Mungkin sekali bahwa perlu dirumuskan juga hak-hak asasi manusia baru bagi komunitas dunia virtual.

Inti paham hak-hak asasi manusia terletak dalam kesadaran bahwa masyarakat atau umat manusia tidak dapat dijunjung tinggi, kecuali setiap manusia individual, tanpa diskriminasi dan tanpa pengecualian, dihormati dalam keutuhannya. Hanya kalau satu orang pun tidak boleh dipakai sebagai alat bagi kemajuan yang lain-lain, martabat semua manusia tetap utuh. Paham adanya hak-hak yang dimiliki manusia karena ia diciptakan sebagai manusia merupakan batas moral bagi segenap positivisme kekuasaan. Kesadaran akan hak-hak asasi manusia secara historis sudah terasa dampaknya karena menaikkan ambang legitimasi moral yang dibutuhkan oleh kekuasaan. Tingkat keberadaban dan kemanusiaan yang adil suatu masyarakat diukur dalam jaminan terhadap hak-hak asasi manusia yang diberikan olehnya.

3.7. Kebebasan Suara Hati

Dalam sejarah perkembangan hak-hak asasi manusia, ada dua hak yang sejak masa Renaisans semakin diperjuangkan, yaitu hak untuk mengikuti suara hati dan kebebasan beragama. Hormat terhadap dua hak paling dasariah ini sampai hari ini dianggap ukuran tentang harkat kemanusiaan dan keberadaban suatu negara. Maka, saya menutup pembicaraan tentang hak-hak asasi manusia dengan membahas dua hak teramat inti ini.

Dalam arti sempit, dengan kebebasan suara hati dimaksud hak asasi setiap orang untuk berpikir dan beragama menurut keyakinannya sendiri. Dalam arti luas dan umum dimaksud hak asasi individu untuk menolak ketaatan terhadap suatu peraturan atau perintah negara apabila ketaatan itu bertentangan dengan suara hatinya. Berdasarkan apa etika politik modern menuntut pengakuan terhadap hak untuk menolak ketaatan terhadap negara dan dalam batas-batas apa?

Dasar tuntutan itu adalah martabat manusia sebagai person. Manusia adalah person, berarti manusia adalah makhluk yang berakal budi. Itulah martabat yang membedakan manusia dari binatang. Binatang dalam kelakuannya ditentukan oleh struktur aparatur instingtualnya. Binatang tidak sanggup untuk

(15)

15 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

mempertimbangkan kelakuannya sehingga tidak mempunyai tanggung jawab terhadapnya. Binatang dapat menimbulkan kerugian, tetapi tidak dapat dikatakan bersalah dalam arti moral. Binatang tidak dapat berdosa, sedangkan manusia sebagai makhluk berakal budi mempunyai pengertian dan kehendak. Oleh sebab itu, ia memiliki kebebasan. Itu berarti bahwa ia dapat, bahkan tidak dapat tidak, mengambil sikap terhadap lingkungannya dan terhadap dorongan instingtualnya sendiri (yang memang sangat lemah dan tidak spesifik).

Perbedaan manusia dengan binatang sangat mencolok misalnya kalau ia lapar, sendirian dan ada makanan tersedia: binatang pasti akan melahapnya, tapi manusia bagaimanapun juga harus mengambil keputusan apakah ia mau makan atau tidak mau, misalnya karena ia sedang berpuasa. Jadi, ia harus mempertanggungjawabkan sikapnya. Misalnya kalau ia makan padahal sedang puasa, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan.

Mempertangungjawabkan berarti membedakan mana sikap yang baik dan mana yang tidak. Keluruharan manusia terletak dalam kemampuannya untuk membedakan antara apa yang baik dan apa yang tidak. Kemampuan itu yang disebut suara hati.

Martabat manusia memuncak dalam suara hatinya. Setiap orang mempunyai suara hati, artinya ia sadar bahwa ia berkewajiban untuk memilih yang baik dan menolak yang buruk. Ia sadar bahwa ia berkewajiban berat – berkewajiban di hadapan Tuhan Penciptanya- untuk selalu bertindak sesuai dengan apa yang disadarinya sebagai kewajiban dan tanggung jawabnya, untuk tidak pernah melakukan tindakan yang disadarinya sebagai buruk. Tentang tindakan mana yang betul dan salah, manusia bisa saja keliru, ia harus mempelajari permasalahannya, mencari orientasi, minta nasihat, ia bisa saja terkena prasangka, dan terlalu terpengaruh oleh pendidikannya sewaktu kecil. Dan belum tentu penilaiannya, meskipun jujur, sudah betul. Tetapi, itu tidak sedikit pun mengubah bahwa manusia bagaimanapun juga berkewajiban untuk selalu bertindak sesuai dengan kesadaran dan keyakinannya. Ia tidak pernah boleh melakukan sesuatu yang ia sadari sebagai jahat. Kesadaran itulah suara hatinya.

Oleh karena itu, kuasa apa pun di dunia tidak berhak untuk memaksa seseorang untuk bertindak bertentangan dengan suara hatinya. Pemaksaan itu memerkosa manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan bebas, karena membuatnya bertindak melawan kesadarannya sendiri. Bersikap dan bertindak menurut suara

(16)

16 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

hatinya sendiri merupakan salah satu hak setiap orang yang paling asasi. Dengan mangakui hak asasi atas kebebasan, suara hati masyarakat menyatakan pengakuan terhadap martabat anggota-anggotanya sebagai manusia.

Jadi, kebebasan suara hati merupakan hak asasi manusia. Tetapi apa jangkauan hak itu? Dalam arti apa dan sejauh mana negara harus menjamin hak itu?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus membedakan antara dua hal: hak seseorang untuk tidak pernah dipaksa untuk bertindak bertentangan dengan suara hatinya dan haknya untuk selalu dibiarkan bertindak sesuai dengan suara hatinya. Dua-duanya tidak sama. Jelaslah bahwa kebebasan suara hati menuntut agar seseorang tidak pernah diharuskan atau dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan suara harinya. “Bertentangan dengan suara hati” dalam bahasa sehari-hari dapat diterjemahkan dengan berdosa, berbuat jahat, berbuat tidak bertanggung jawab, bertindak dengan melanggar tuntutan keadilan. Kebebasan suara hati mengandung tuntutan untuk tidak pernah memaksa seseorang untuk melakukan hal semacam itu. Apakah kita sendiri sepandapat dengan suara hati orang itu atau tidak, tidaklah relevan. Penilaian kita sendiri tidak memberi kita hak untuk memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang dianggapnya sebagai dosa atau tindakan jahat. Misalnya, negara tidak berhak untuk memaksa anggota mazhab religius untuk menerima transfusi darah guna menyelamatkan nyawanya apabila kepercayaannya melarang transfusi darah sebagai dosa. Lain halnya kalau yang memerlukan transfusi darah adalah anak orang itu. Demi perlindungan hak anak itu atas perawatan medis yang biasa (transfusi darah termasuk di situ) negara seperlunya dapat mencabut hak orangtua anak itu untuk memeliharanya.

Sebagai contoh kewajiban militer. Kalau seorang merasa mutlak terlarang untuk membunuh orang lain, juga dalam rangka pembelaan tanah air terhadap penyerang, hak kebebasan suara hati menuntut agar ia tidak dipaksa untuk memakai senjata. Akan tetapi, negara berhak untu menuntut suatu pelayanan pengganti, misalnya sebagai perawat.

Jadi, hak kebebasan suara hati menunut agar manusia tidak dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya. Hak ini berlaku tanpa kecuali. Tetapi lain halnya dengan hak untuk dibiarkan bertindak sesuai dengan suara hatinya. Hak ini tidak berlaku tanpa batas. Hak untuk bertindak sesuai dengan suara hatinya menemukan batasnya pada hak orang lain yang sama besarnya untuk hidup sesuai dengan suara hatinya sendiri. Kebebasan suara hati tidak boleh sampai mengurangi hak orang lain

(17)

17 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

atau bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang wajar. Jadi apabila hati saya menyuruh saya untuk melempari kaca toko yang mereklamekan barang-barang porno dengan batu, masyarakat tidak berkewajiban untuk membiarkan saya. Kepentingan wajar masyarakat dan hak anggota-anggotanya dirumuskan dalam hukum dan undang-undang yang berlaku, asal saja sesuai dengan hak-hak asasi manusia. Hak orang lain dan hak-hak masyarakat yang dirumuskan dalam hukum, merupakan batas bagi hak saya untuk bertindak menurut desakan hati saya. Negara tidak berkewajiban untuk membiarkan segenap perbuatan asal saja mengatasnamakan suara hati. Suara hati tidak memberikan hak kepada saya untuk melanggar hukum (kecuali yang jelas tidak adil). Saya harus menerima bahwa saya tidak sendirian di dunia, melainkan hidup bersama dan berkat orang lain; bahwa orang-orang lain itu juga mempunyai suara hati, hak dan kepentingan dan berhak atas kebebasan yang sama dengan saya.

Kita dapat merangkum: hak asasi kebebasan suara hati menuntut agar seorang tidak dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya dan agar setiap orang dibiarkan hidup dan bertindak sesuai dengan suara hatinya sejauh tidak mengurangi hak anggota-anggota masyarakat lain atau bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang wajar.

3.8. Kebebasan Berpikir dan Beragama

3.8.1. Kebebasan Berpikir

Realisasi terpenting kebebasan suara hati adalah kebebasan berpikir dan kebebasan beragama. Dengan kebebasan berpikir dimaksud hak setiap orang untuk membentuk pendapatnya sendiri tentang segala segi kehidupan, untuk memberi penilaian terhadap pola kehidupan masyarakat dan tatanan hukum, untuk menyetujui atau tidak menyetujui pandangan-pandangan, nilai-nilai, harapan-harapan dan norma-norma moral masyarakat, untuk mempunyai pandangan politik tersendiri dan untuk mengikuti pandangan dunia yang dikehendaki sendiri.

Dasar kebebasan berpikir itu adalah di satu pihak bahwa lembaga-lembaga yang memiliki suatu kekuasaan dalam masyarakat tidak mempunyai wewenang di bidang pikiran, melainkan sejauh mereka memang mempunyai wewenang, wewenang itu terbatas pada praktik kehidupan anggota-anggotanya. Di lain pihak, dalam hal berpikir, setiap manusia mempunyai hak dan kedudukan yang sama dan tidak ada orang atau kelompok orang yang berhak untuk mendahulukan yang satu dan mematikan yang satunya. Hal itu tidak berarti bahwa semua pikiran sama

(18)

18 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

benarnya, atau bahwa kita tidak boleh mengkritik ataupun menolak pikiran orang lain, melainkan hanya bahwa pikiran orang lain tidak boleh dilarang, ditekan, atau dimatikan secara paksaan.

Kritik, tuntutan pertanggungjawaban, debat dan konfrontasi antara pelbagai pikiran justru perlu. Cara untuk menentang pikiran yang dianggap salah bukanlah dengan membungkamkannya secara paksa, melainkan melalui konfrontasi dalam dialog atau debat yang tetap menjamin kebebasan setiap peserta untuk membela pendapatnya.

3.8.2. Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk menentukan sendiri apakah dan bagaimanakah ia beragama atau tidak, untuk hidup sesuai dengan keyakinan keagamaannya sendiri, untuk mengamalkan dan mengomunikasikan agamanya kepada orang lain yang ingin menerima komunikasi itu, untuk memilih kepercayaan atau agama yang diyakininya, untuk meninggalkan agamanya yang lama dan memeluk agama baru yang diyakininya; untuk tidak dikriminalisasikan karena agama atau kepercayaannya. Kebebasan beragama juga mengatakan bahwa “kebebasan menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya boleh dibatasi sesuai dengan undang-undang dan hanya sejauh perlu untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral umum, atau hak-hak serta kebebasa fundamental orang lain”. 5

Seperti kebebasan untuk berpikir, begitu pula kebebasan beragama termuat langsung dalam kebebasan suara hati. Sebagai makhluk yang berakal budi, manusia tidak dihormati dalam martabatnya apabila ia dipaksa untuk mengakui sesuatu sebagai benar yang dianggapnya tidak benar atau untuk tidak mengakui sesuatu yang disadarinya sebagai benar. Maka, pengakuan budi dan hati manusia terhadap Realitas Adikodrati dan Mutlak tidak mungkin dipaksakan, melainkan hanya dapat diberikan secara bebas. Saya dapat saja didesak untuk menunjukkan sikap-sikap lahiriah religius, tetapi saya tidak dapat dipaksa untuk percaya dalam hati. Percaya secara hakiki merupakan sikap hati yang mengandaikan kesadaran bahwa yang dipercayai itu ada dan pantasi dipercayai. Sikap-sikap dan tindakan-tindakan keagamaan lahiriah seperti mengucapkan pengakuan iman menurut agama dan kepercayaan, ikut dalam ritus dan ibadat tertentu, menjalankan

5 Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan yang diproklamasikan oleh Sidang Raya PBB pada 25 Nov 1981.

(19)

19 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

kewajiban lahiriah agamanya, hanya masuk akal dan wajar sejauh dilakukan karena dipercayai sebagai tuntutan Realitas Mutlak yang diimani. Tanpa iman, semua sikap dan tindakan kepercayaan itu tidak bernilai sama sekali.

Oleh karena itu, hormat terhadap kebebasan beragama bukan hanya merupakan tuntutan etika, melainkan dituntut oleh hakikat iman sendiri. Orang yang percaya kepada Tuhan tahu bahwa segala sikap lahiriah di mata Tuhan hanya bernilai sejauh mengungkapkan sikap hati yang ikhlas. Keanggotaan dalam suatu agama, pelaksanaan doa-doa tertentu, partisipasi dalam ibadat umat beragama berupa kemunafikan belaka kalau tidak dilakukan berdasarkan keyakinan sendiri. Kemunafikan adalah haram di mata Tuhan. Sikap-sikap religius yang tidak diyakini, sedikit pun tidak bernilai. Maka, menahan seseorang dalam suatu agama yang tidak lagi diyakininya, membuat seseorang ateis mengaku beragama atau melakukan kegiatan doa, menekankan ketatan terhadap hukum agama pada orang yang tidak meyakininya: itu semua merusak citra agama sendiri karena orang mesti meragukan apakah agama yang melakukan praktik-praktik itu murni tujuannya; cara-cara itu sudah pasti tidak berkenan di mata Tuhan.

Itulah sebabnya mengapa tekanan dalam hal iman kepercayaan juga tidak dapat dibenarkan apabila dilakukan oleh pimpinan agama terhadap anggota agamanya sendiri. Bagaimanapun juga sikap-sikap keagamaan, ketaatan lahiriah terhadap aturan agamanya sendiri, pengucapan doa-doa tertentu, di hadapan Tuhan hanya bernilai dan berkenan sejauh mengungkapkan sikap-sikap batin yang dimaksud, jadi sikap-sikap seperti percaya, menyerahkan diri, mohon pengampunan dan berkat.

Tetapi sikap-sikap batin itu bagaimanapun tidak dapat dipaksakan dan tidak dapat dihasilkan melalui tekanan dari luar, juga tidak oleh lembaga-lembaga dari agama yang dianut sendiri. Paksaan dan tekanan hanya dapat menghasilkan sikap-sikap lahiriah. Sikap-sikap yang dituntut oleh Tuhan adalah pada dasarnya sikap-sikap batin atau hati, sedangkan sikap lahir hanya dituntut sebagai wahana sikap-sikap batin itu. Dan sikap-sikap-sikap-sikap batin itu hanya dapat diberikan dengan bebas, kalau ditunjang oleh keyakinan. Di mana tidak ada, atau tidak ada lagi keyakinan, sikap-sikap keagamaan percuma ditekankan.

Maka, tekanan atau paksaan dari pihak agama terhadap para anggotanya, entah secara langsung, entah dengan bantuan negara (misalnya dengan membuat peraturan bahwa orang Katolik pada hari Minggu harus ke Gereja), tidak

(20)

20 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

menghasilkan perbaikan kualitas kehidupan beragama, melainkan paling-paling menambah kadar kemunafikan dalam masyarakat. Oleh karena itu, sangat tepatlah kalau negara melawan segala usaha untuk dipakai guna merongrong kebebasan beragama, bukan hanya karena kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling utama, melainkan juga demi kemurnian dan citra baik agma-agama sendiri.

Dapat ditambah, bahwa demi alasan yang sama, seseorang juga tidak boleh dipaksa untuk beragama. Kebebasan beragama juga memuat kebebasan untuk tidak baragama. Memaksa orang untuk menunjukkan sikap-sikap pengakuan terhadap Tuhan, padahal ia tidak mengakuinya, adalah percuma. Orang tidak dapat dipaksa untuk mengakui Tuhan. Ia paling-paling dapat diimbau untuk membuka hatinya. Dan imbauan itu akan semakin berhasil, semakin martabat orang ateis itu sebagai manusia bebas dihormati.

Jadi negara memang wajib untuk menghormati kebebasan agama dan untuk melindunginya terhadap segala rongrongan, justru apabila negara mementingkan kualitas kehidupan beragama dalam masyarakat. Tugas negara adalah menjamin agar kebebasan beragama satu pihak tidak merugikan orang lain, merampas hak-haknya, dan mengganggu ketertiban umum. Kebebasan agama tidak memberikan hak untuk memamerkan sikap-sikap di depan umum yang bertentangan dengan pandangan-pandangan moral sebagian besar masyarakat. Begitu pula kebebasan beragama memang mengandung hak untuk mengamalkan dan mempermaklumkan iman kepercayaannya, tetapi tidak untuk menyeberluaskannya dengan cara-cara yang tidak wajar, misalnya dengan memaksa-maksa, dengan menekan, atau membujuk, dengan menjanjikan keuntungan material atau dengan membingungkan orang sederhana melalui debat-debat tentang agama. Praktik-praktik itu tidak wajar, karena justru tidak bisa menimbulkan iman kepercayaan yang sejati. Orang yang memasuki suatu agama atau kepercayaan karena usaha-usaha semacam itu justru tidak memasukinya karena ia yakin dan percaya. Maka praktik-praktiksemacam itu tidak termasuk kebebasan beragama yang harus dilindungi oleh negara.

Dalam hubungan dengan kebebasan beragama sering dipertanyakan wewenang orangtua terhadap anak-anak mereka: apakah mereka berhak untuk menentukan agama anak-anak mereka? Apabila orangtua memasukkan anak mereka ke dalam agama mereka sendiri, apakah ini tidak melanggar hak anak untuk menentukan sendiri apakah ia mau memasuki salah satu agama dan agama mana yang mau dimasuki? Umumnya memang diakui bahwa anak kecil belum mampu untuk

(21)

21 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

mengadakan satu pilihan dalam hal agama. Pilihan itu mengandaikan tingkat kedewasaan tertentu. Tetapi apakah tidak lebih baik kalau orangtua tidak memasukkan anaknya ke dalam agama mereka sendiri dulu, sehingga anak apabila sudah cukup dewasa, dapat menentukan pilihannya sendiri?

Terhadap argumentasi ini dapat dikemukakan dua hal. Pertama, argumentasi ini berdasarkan pengandaian yang tidak tepat. Kedua, kalaupun anak sejak kecil sepenuhnya dilibatlan dalam agama orangtuanya, kebebasannya untuk mengambil sikap apabila ia sudah dewasa, tidak hilang. Mari kita melihat gagasan itu satu demi satu.

Pertama, dari psikologi, kita ketahui bahwa setiap orang secara mendalam

dipengaruhi oleh lingkungan sosialnnya. Ia menemukan identitasnya berhadapan dengan orang-orang dan masyarakat tertentu. Dimensi-dimensi kepribadiannya berkembang dalam rangsangan-rangsangan dari lingkungan sosialnya. Dalam segala dimensi itu ia belum mampu menangkapnya, ia memerlukan bimbingan. Cara ia memberi penilaian, memandang dunia, sikap-sika mana yang dianggapnya baik atau terkutuk, sopan atau kurang ajar, jadi perasaan moralnya, gaya ia berpikir (yang ditentukan secara mendalam ditentukan oleh bahasa yang menjadi bahasa pertamanya), tetapi juga makanan mana yang disenanginya dan warna-warna mana yang dapat dibedakannya, semuanya itu tergantung dari lingkungannya.

Hal yang sama berlaku untuk dimensi religius. Dimensi itu hanya dapat berkembang apabila sejak kecil dirangsang dan dibenahi. Apabila dibiarkan kosong, dimensi ini kena atrofi dan semakin tertutup. Seperti orang yang waktu kecil tidak diajak untuk memperhatikan keindahan apabila sudah dewasa akan tertutup terhadap dimensi estetis, begitu pula halnya anak yang dididik tanpa agama. Pendidikan tanpa agamatidak berarti bahwa ia dibiarkan dalam keadaan terbuka dan bebas untuk kemudian hari menentukan sikapnya sendiri, melainkan bahwa perasaan religiusnya tidak dapat berkembang. Ruang penghayatan religius, karena tidak diisi, terdesak oleh penghayatan dan pengalaman lain.

Apabila ia telah dewasa, sulit sekali untuk mengaktifkan dimensi religius kembali. Dengan kata lain, suatu pendidikan netral dalam bidang religius tidak ada. Pendidikan tanpa agama bukannya menjamin kebebasan anak untuk menentukan sikapnya sendiri, melainkan menentukan anak ke arah bukan agama. Kemampuan psikis anak untuk menghayati dimensi kepercayaan dibongkar oleh pendidikan yang tidak menyangkut agama.

(22)

22 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o

Kedua, dan di lain pihak: pendidikan anak dalam agama orangtua tidak

menghilangkan hak dan kemungkinan untuk kemudian, apabila ia sudah dewasa, menentukan sikapnya sendiri. Apabila ia semakin dewasa, bagaimanapun juga ia sendirilah yang menentukan apakah mau melanjutkan kehidupan agamanya atau tidak, apakah ia mau tetap pada agamanya atau pindah agama. Dan apabila ia memang tidak percaya lagi, ia dapat dan akan berhenti beragama. Tentu saja, kebebasan itu mengandaikan bahwa kebebasan beragama dihormati dalam masyarakat.

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa orangtua berhak, bahkan berkewajiban untuk mendidik anak mereka dalam agama mereka sendiri. Sebabnya ialah bahwa perkembangan anak dalam segala dimensi, termasuk dalamdimensi agama, pertama-tama ditentukan oleh orangtuanya. Mereka berkewajiban untuk mendukung perkembangan itu. Mereka tidak boleh membiarkan dimensi religius menjadi tertutup. Dan kedua, pendidikan religius tidak menghilangkan, melainkan justru mempersiapkan, kemungkinan anaknya untuk, apabila sudah dewasa, memakai hak kebebasan beragamanya.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan diketahui pada Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Samboja struktur jenis vegetasi dan komposisi jenis terdiri dari 342

Kematian ibu terutama karena perdarahan dan infeksi pada kehamilan aterm, kematian yang terjadi karena trias klasik yaitu; perdarahan, infeksi dan gestosis (preeklamsia)

Guru dan Karyawan pulang sesuai jam kerja yang telah ditentukan Yayasan atau setelah menyiapkan kegiatan dan perlengkapan KBM untuk esok

Panasonic Shikoku Electronics Indonesia (PSECI) Blok O-1 Kawasan Berikat MM2100 Industrial Town, Cikarang Barat -Bekasi

Pendekatan keterampilan proses harus diterapkan karena ilmu pengetahuan berlangsung semakin cepat sehingga tak mungkin lagi para guru mengajarkan semua fakta dan

100 Dalam makalah ini diuraikan pembuatan sebuah OLAP yang terintegrasi dengan sistem informasi harga bahan pokok yang dapat dipakai untuk membantu staf pegawai bidang

Pengetahuan merupakan faktor yang paling dominan, yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan

Anita Hartini Suryaman (2010) peta wisata interaktif adalah peta yang menggambarkan atau menjelaskan lokasi-lokasi tempat tujuan wisata di dalam suatu kota atau