• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Sampah

2.1.1.1 Pengertian Sampah

Sampah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas keseharian manusia. Apriadji (1989) memberikan definisi mengenai sampah sebagai zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak digunakan lagi, baik berupa bahan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun sebagai sisa proses industri. Hadiwiyoto (1983) memberikan ciri-ciri sampah sebagai bahan sisa, baik bahan-bahan yang sudah tidak digunakan lagi maupun bahan yang sudah diambil bagian utamanya, dari segi sosial ekonomis sudah tidak memiliki harga, dan dari segi lingkungan merupakan bahan buangan yang tidak berguna dan banyak menimbulkan masalah pencemaran dan gangguan pada kelestarian lingkungan. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, Hadiwiyoto (1983) mendefinisikan sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan, baik karena telah diambil bagiannya utamanya, atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya, yang ditinjau dari segi sosial ekonomis tidak ada harganya, dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian.

Slamet (1996) menyatakan bahwa secara kuantitas maupun kualitasnya, sampah dipengaruhi oleh berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat, antara lain:

1. Jumlah penduduk. Semakin banyak penduduk semakin banyak pula sampah yang dihasilkan.

2. Keadaan sosial ekonomi. Semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat, semakin banyak pula jumlah per kapita sampah yang dibuang.

3. Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kualitas sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan produk manufaktur yang semakin beragam.

(2)

Sampah dapat dibedakan atas dasar sifat-sifat biologis dan kimianya, sehingga mempermudah pengelolaanya menurut Slamet (1996), antara lain:

a. Sampah yang mudah membusuk, seperti sisa makanan, daun, sampah kebun, sampah pertanian, dan lainnya.

b. Sampah yang tidak membusuk, seperti kertas, platik, karet, gelas, logam, dan lainnya.

c. Sampah yang berupa debu atau abu hasil pembakaran.

d. Sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan, seperti sampah-sampah yang berasal dari indusri yang mengandung zat-zat kimia maupun zat fisis berbahaya.

Apriadji (1989) menjelaskan bahwa sampah dapat digolongkan ke dalam empat kelompok, antara lain meliputi: (1) human excreta yang merupakan bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia, meliputi tinja (faeces) dan air kencing (urine), (2) sawage yang merupakan limbah yang dibuang oleh pabrik maupun rumah tangga, (3) refuse yang merupakan bahan pada sisa proses industri atau hasil sampingan kegiatan rumah tangga, dan (4) industrial waste yang merupakan bahan-bahan buangan dari sisa proses industri.

Penggolongan yang lebih rinci lagi diajukan oleh Hadiwiyoto (1983) menyatakan bahwa sampah dapat digolongkan berdasarkan tujuh karakteristik, yaitu penggolongan sampah berdasarkan asal, komposisi, bentuk, lokasi, proses terjadi, sifat dan jenisnya (Tabel 1). Penggolongan sampah yang dilakukan oleh Apriadji (1989) tidak dimasukkan ke dalam Tabel 1 karena belum jelasnya dasar penggolongan yang digunakan. Penggolongan sampah yang dilakukan oleh Apriadji (1989) hanya dapat digambarkan pada Gambar 1.

(3)

Tabel 1. Penggolongan Sampah menurut Hadiwiyoto (1983)

Karakteristik Sampah Keterangan

Asal

Sampah dari hasil kegiatan rumah tangga, Sampah dari hasil kegiatan industri atau pabrik, Sampah dari hasil kegiatan pertanian,

Sampah dari hasil kegiatan perdagangan, Sampah dari hasil kegiatan pembangunan, Sampah dari hasil kegiatan jalan raya.

Komposisi Sampah yang seragam

Sampah yang tidak seragam (campuran) Bentuk Padatan (solid), Cairan (termasuk bubur, gas.)

Lokasi Sampah kota (urban)

Sampah daerah Proses terjadi Sampah alami

Sampah non-alami

Sifat Sampah organik

Sampah non-organik

Jenis

Sampah makanan

Sampah kebun atau pekarangan Sampah kertas

Sampah plastik, karet, dan kulit Sampah kain

Sampah kayu Sampah logam

Sampah gelas dan keramik Sampah berupa abu dan debu

(4)

Gambar 1. Penggolongan Sampah menurut Apriadji (1989) 2.1.1.2 Pengelolaan Sampah

Terdapat tiga jenis teknologi yang saat ini banyak diterapkan dalam pengelolaan sampah menurut Nainggolan dan Safrudin (2001)3, yaitu:

1. Pengomposan Sampah

Pengomposan merupakan salah satu cara dalam mengolah bahan padatan organik untuk menjadi kompos yang secara nasional ketersediaan bahan organik dalam sampah kota cukup melimpah yaitu antara 70-80 persen. Akan tetapi, sebagian besar sampah kota belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai kompos. Pada dasarnya pengomposan merupakan proses degradasi materi organik menjadi stabil melalui reaksi biologis mikroorganisme dalam kondisi yang

Nainggolan, Azas Tigor, dan Ahmad Safrudin. 2001. A Long Way To Zero Waste Management.

www.Geocities.Com/Persampahan/0-Waste.Doc. Diakses tanggal 20 Desember 2008, 20.00.

Sampah (waste) Human Excreta Sawage Refuse Garbage Rubbish Tak lapuk Tak mudah lapuk

Yang bisa terbakar Yang tidak terbakar

(5)

terkendali. Teknologi pengomposan sampah yang dilakukan saat ini sangat beragam ditinjau dari segi teknologi maupun kapasitas produksinya antara lain: pengomposan dengan cara aerobik, pengomposan dengan cara semi aerobik, pengomposan dengan reaktor cacing, dan pengomposan dengan menggunakan additive.

Kompos sebenarnya mempunyai nilai pasar, akan tetapi studi BPP Teknologi pada tahun 1990 menemukan bahwa hanya 4 persen dari pedagang tanaman hias yang menjual kompos karena kompos ini kurang populer pada masyarakat. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah ini dapat digunakan untuk: menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanian; menggemburkan kembali lahan pertamanan, sebagai bahan penutup sampah di TPA, reklamasi pantai, pasca penambangan, dan sebagai media tanaman, mengurangi pupuk kimia.

2. Pembakaran Sampah

Teknologi pembakaran sampah dalam skala besar atau skala kota dilakukan di instalasi pembakaran yang disebut juga dengan incinerator. Dengan teknologi ini, pengurangan sampah dapat mencapai 80 persen dari sampah yang masuk, sehingga hanya sekitar 20 persen yang merupakan sisa pembakaran yang harus dibuang ke TPA. Sisa pembakaran ini relatif stabil dan tidak dapat membusuk lagi, sehingga lebih mudah penanganannya. Keberhasilan penerapan teknologi pembakaran sampah sangat tergantung dari sifat fisik dan kimia sampah serta kemampuan dana maupun manajemen dari Pemerintah Daerah. Pemanfaatan sisa abu hasil pembakaran ini dapat digunakan antara lain: sebagai pengganti tanah penutup lahan TPA, pasca penambangan; sebagai tanah urug; sebagai campuran bahan konstruksi (batako, paving block, dsb); dan sebagai campuran kompos.

3. Daur Ulang Sampah

Kegiatan daur ulang sampah sudah dimulai sejak beberapa tahun terakhir ini yang dilakukan oleh sektor informal. Para pemungut barang bekas yang disebut pula dengan pemulung, melaksanakan kegiatan pemungutan sampah dihampir seluruh subsistem pengelolaan sampah. Komponen sampah yang

(6)

mempunyai nilai tinggi untuk dimanfaatkan kembali, berdasarkan penelitian BPP Teknologi tahun 1990, adalah sampah kertas, logam dan gelas. Prosentase sampah tersebut (dari jumlah awal) yang diambil oleh pemulung adalah seperti pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2. Prosentase Pengambilan Sampah oleh Pemulung

No. Komponen Sampah Persentase

1. Kertas 71,20

2. Plastik 67,05

3. Logam 96,09

4. Gelas 85,05

Beberapa pemanfaatan sampah kering yang dapat dihasilkan dari pengolahan sampah untuk daur ulang dan mempunyai nilai ekonomis antara lain : a. Sampah Kertas. Jenis kertas bekas serta produk daur ulang yang dapat

dihasilkan dari hasil pengolahan kertas dapat dilihat pada Tabel 3.

b. Sampah Plastik. Pada umumnya sampah plastik sebagian besar dapat diolah menjadi produk baru berupa alat rumah tangga seperti ember, bak tali plastik; digunakan kembali seperti pembungkus, pot tanaman, tempat bumbu; dan sebagai bahan industri daur ulang seperti pellet, biji plastik.

c. Logam. Logam yang dihasilkan dari sampah kota dapat dimanfaatkan antara lain: digunakan kembali seperti kaleng susu; dijadikan produk baru, seperti tutup botol kecap, mainan; dan sebagai bahan tambahan atau bahan baku industri seperti industri logam.

d. Bahan lain. Bahan lain seperti, gelas, karet mempunyai prosentase yang cukup kecil dalam komponen sampah kecuali pada kasus tertentu. Oleh karena itu dalam skala kecil tidak ekonomis untuk diolah.

(7)

Tabel 3. Jenis Kertas Bekas dan Produk Daur Ulang yang Dihasilkan dari Pengolahan Kertas

No. Jenis Kertas Bekas Sumber Produk Recycling

1. Kertas komputer dan kertas

tulis Perkantoran, percetakan dan sekolah

Kertas komputer, kertas tulis dan art paper 2. Kantong kraft Pabrik, pasar dan

pertokoan Kertas kraft dan art paper 3. Karton dan box Pabrik, pertokoan dan

pasar Karton dan art paper

4. Koran, majalah dan buku Perkantoran, pasar

dan rumah tangga Kertas koran dan art paper 5. Kertas bekas campuran Rumah tangga,

perkantoran, LPS/ TPA dan Pertokoan

Kertas tissue, kertas tulis kualitas rendah dan art paper

6. Kertas pembungkus

makanan Pertokoan, rumah tangga dan perkantoran

Tidak dapat di daur ulang

7. Kertas tissu Rumah tangga,

perkantoran, rumah makan dan pertokoan

Kertas tissu (tetapi sangat jarang yang dapat didaur ulang kembali)

Sumber : Kajian Pengelolaan Kertas, Dep. PU, DTW, 1999

Masalah sampah di berbagai kota besar di Indonesia sebenarnya dapat dipecahkan dengan baik sebagaimana yang berhasil dilakukan di negara maju apabila peran aktif masyarakat meningkat. Kastaman (2006) menyatakan bahwa pada umumnya proses pengelolaan sampah dengan basis partisipasi aktif masyarakat terdiri dari beberapa tahapan proses, antara lain:

1. Mengupayakan agar sampah dikelola, dipilah dan diproses tahap awal mulai dari tempat timbulan sampah itu sendiri (dalam hal ini mayoritas adalah lingkungan rumah tangga). Upaya ini setidaknya dapat mengurangi timbulan sampah yang harus dikumpulkan dan diangkut ke TPS sehingga bebannya menjadi berkurang.

2. Pada fase awal di tingkat rumah tangga setidaknya diupayakan untuk mengolah sampah organik menjadi kompos dan sampah non organik dipilah serta mengumpulkan menurut jenisnya sehingga memungkinkan untuk didaur ulang. Sampah organik sebenarnya telah dapat diproses menjadi kompos

(8)

disetiap rumah tangga pada tong-tong sampah khusus kompos yang mampu memproses sampah menjadi kompos untuk periode tampung antara 18 hingga 28 hari dengan bantuan mikroba pengurai. Bila proses pengomposan di tiap rumah tangga belum mungkin dilakukan, selanjutnya petugas sampah mengangkut sampah yang telah terpilah ke tempat pembuangan sampah sementara untuk diproses. Hasil pengamatan di beberapa tempat pembuangan sampah atau TPS di beberapa bagian kota diketahui bahwa masing-masing sampah non organik masih memiliki nilai ekonomi. Pewadahan dan pengumpulan dari wadah tempat timbulan sampah sisa yang sudah dipilah ke tempat pemindahan sementara. Pada tahapan ini beban kerja petugas pembuangan sampah menjadi lebih ringan.

3. Pengangkutan sampah ke tempat pembuangan atau ke tempat pengolahan sampah terpadu. Pada tahapan ini diperlukan kotak penampungan sampah dan gerobak pengangkut sampah yang sudah dipilah.

4. Tahapan selanjutnya adalah pengolahan sampah yang tidak memungkinkan untuk diolah di setiap lingkungan rumah tangga di TPS. Tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang ada dengan menggunakan pendekatan ini kemudian diubah fungsinya menjadi semacam pabrik pengolahan sampah terpadu, yang produk hasil olahnya adalah kompos, bahan daur ulang dan sampah yang tidak dapat diolah lagi.

5. Tahapan akhir adalah pengangkutan sisa akhir sampah sampah yang tidak dapat didaur ulang atau tidak dapat dimanfaatkan lagi ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Pada fase ini barulah proses penimbunan atau pembakaran sampah akhir dapat dilakukan dengan menggunakan incinerator.

Peningkatan peran masyarakat dalam menangani sampah menurut Djajadiningrat (1997), dapat dilaksanakan melalui jalur sektor formal dan informal. Pada sektor formal peran serta masyarakat tidak terlampau sulit. Peran serta masyarakat pada jalur formal dapat berbentuk:

1. Penyediaan sarana: institusi pemerintah dan swasta dapat diikutsertakan dalam penyediaan sarana, seperti tempat sampah dan lainnya.

(9)

3. Gerakan masyarakat peduli lingkungan: melakukan berbagai gerakan peduli lingkungan seperti gerakan konsumen hijau, kerja bakti membersihkan lingkungan dan lainnya.

4. Gerakan lingkungan melalui RT/RW: pengembangan upaya kebersihan lingkungan yang berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat.

5. Sistem insentif untuk gerakan kebersihan: untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan perkotaan, pemerintah dapat bekerja sama dengan ORMAS (KADIN, Asosiasi, Lembaga Masyarakat peduli lingkungan, Karang Taruna, dll).

2.1.2 Partisipasi Masyarakat

2.1.2.1 Pengertian Partisipasi Masyarakat

Partisipasi menurut Siswanto (2004) berkaitan dengan proses pembebasan manusia dari segala macam hambatan yang berupa ketidaksederajatan, tekanan ancaman, ketakutan dan penindasan dari pihak eksternal yang merasa lebih berpengetahuan-berpangkat-berjabatan dan lain sebagainya. Salah satu konsep partisipasi merupakan social learning dengan cara mempertemukan top-down approach dengan bottom-up approach. Melalui proses ini, kedua macam pengetahuan tersebut akan melebur menjadi satu. Pada saat pengetahuan kedua pihak melebur, maka persepsi dari pihak satu terhadap pihak yang lain akan berubah.

Mardikanto (1998) dalam Rasminawati (2005) menjelaskan bahwa partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Melalui kesadaran mengenai kondisi yang tidak memuaskan, sehingga harus diperbaiki dengan kegiatan manusia (masyarakat) sendiri, kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan, serta adanya kepercayaan diri bahwa ia dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat adalah merupakan landasan tumbuhnya interaksi dan komunikasi tersebut. Sementara itu, Cohen dan Uphoff (1977) dalam Intania (2003) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu:

(10)

a. Tahap pengambilan keputusan (perencanaan) yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud di sini yaitu pada saat perencanaan suatu kegiatan.

b. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini dapat berupa partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran, partisipasi dalam bentuk sumbangan materi, dan partisipasi dalam bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek.

c. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek yang dirasakan berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran.

d. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.

Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan seseorang secara sukarela tanpa dipaksa sebagaimana yang dijelaskan oleh Sastropoetro (1988) dalam Suhendar (2004) bahwa partisipasi adalah keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan.

2.1.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang menurut Pangestu dalam Pratiwi (2008) meliputi dua hal, yaitu:

a. Faktor internal dari individu yang mencakup ciri-ciri atau karakteristik individu yang meliputi: umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, luas lahan garapan, pendapatan, pengalaman berusaha, dan kosmopolitan. b. Faktor eksternal yang merupakan faktor diluar karakteristik individu yang

meliputi hubungan antara pengelola dengan masyarakat, kebutuhan masyarakat, pelayanan pengelola, dan kegiatan penyuluhan.

(11)

Selain faktor pendukung terdapat pula faktor penghambat partisipasi masyarakat. Menurut Nasdian (2003), faktor penghambat partisipasi antara lain adalah masalah struktural. Masalah struktural mengalahkan masyarakat lapisan bawah terhadap interest pribadi akibat aparatur pemerintah yang lebih kuat. Faktor lain yang menghambat partisipasi adalah budaya yang tumbuh dalam masyarakat, yakni sikap masyarakat yang pasrah terhadap nasib dan terlalu tergantung kepada pemimpin sehingga masyarakat menjadi kurang kreatif. Budaya tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan.

Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi faktor-faktor yang mendukungnya menurut Slamet (1994), yaitu:

a. Adanya kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi.

b. Adanya kemauan, yaitu adanya sesuatu yang mendorong atau menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut.

c. Adanya kemampuan, yaitu adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu, atau sarana dan material lainnya

Menurut Sahidu (1998) dalam Suhendar (2004) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan untuk berpartisipasi adalah motif harapan, needs, rewards, dan penguasaan informasi. Faktor yang memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi adalah pengaturan dan pelayanan, kelembagaan, struktur, dan stratifikasi sosial, budaya lokal, kepemimpinan, sarana, dan prasarana. Faktor yang mendorong adalah pendidikan, modal, dan pengalaman yang dimiliki.

(12)

2.1.3 Evaluasi Program

2.1.3.1 Pengertian Evaluasi Program

Evaluasi menurut Jabar dan Arikunto (2004) adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan. Menurut Deptan (1989) evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektivitas dan dampak kegiatan-kegiatan proyek atau program sesuai dengan tujuan yang akan dicapai secara sistematik dan obyektif. Evaluasi proyek dapat dilaksanakan pada waktu-waktu sebagai berikut: 1. Pada waktu pelaksanaan (proyek sedang berjalan atau on going evaluation). 2. Pada waktu penyelesaian (evaluasi akhir proyek atau terminal evaluation). 3. Beberapa tahun setelah proyek selesai (evaluasi dilakukan pada saat proyek

diperkirakan telah berhasil mencapai perkembangannya secara penuh atau ex post evaluation).

Deptan (1989) menjelaskan bahwa proyek atau program bertujuan untuk mengubah seperangkat sumber-sumber daya menjadihasil yang diinginkan melalui serangkaian kegiatan atau proses. Sumber-sumber daya yang diubah disebut input (masukan), sedangkan hasil yang dicapai dibagi menjadi tiga golongan yaitu output (hasil),effect (pengaruh langsung), dan impact (dampak).

Musa (2005) memaparkan pengertian bahwa evaluasi program adalah suatu kegiatan untuk memperoleh gambaran tentang keadaan suatu objek yang dilakukan secara terencana, sistematik dengan arah dan tujuan yang jelas. Unsur-unsur pokok yang harus ada dalam kegiatan evaluasi menurut Musa (2005) adalah: objek yang dinilai, tujuan evaluasi, alat evaluasi, proses evaluasi, hasil evaluasi, standar yang dijadikan pembanding, dan proses perbandingan antara evaluasi dengan standar. Hasil evaluasi adalah sebagai bahan bagi pengambilan keputusan. Dalam evaluasi program terdapat tiga tujuan yang diperoleh, yaitu: a. Mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan atau ketercapaian apabila

dibandingkan dengan rencana yang telah ditetapkan.

b. Mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dari program yang sedang dilakukan.

(13)

c. Sebagai bahan masukan bagi pelaksanaan program selanjutnya.

Prinsip-prinsip yang perlu diindahkan ketika melakukan evaluasi program menurut Musa (2005), antara lain:

1. Obyektif, bahwa data dan informasi yang diperoleh adalah benar berdasarkan fakta yang ada.

2. Menyeluruh, bahwa data dan informasi yang diperoleh mencakup aspek-aspek dari program yang bersangkutan.

3. Partisipatif, bahwa data dan informasi yang diperoleh bukan semata-mata dari persepsi pihak evaluator, tetapi juga sumber informasi lain.

Tayibnapis (2008) mengemukakan pemahaman evaluasi dengan memakai contoh kasus pendidikan. Evaluasi adalah penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang manfaat atau guna berbagai objek (Join committee, 1981). Scriven (1996) dalam Tayibnapis (2008) membedakan evaluasi menjadi dua yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilaksanakan selama program berjalan untuk memberikan informasi kepada pemimpin program sebagai bahan perbaikan program. Evaluasi sumatif dilaksanakan pada akhir program untuk memberikan informasi kepada konsumen yang potensial tentang manfaat atau kegunaan program. Selain informasi formatif dan sumatif ada juga evaluasi internal dan eksternal, dimana evaluasi eksternal dilakukan oleh orang diluar program dan evaluasi internal dilakukan oleh orang dari dalam program. Evaluasi dapat memiliki dua fungsi, yaitu fungsi formatif dan fungsi sumatif. Fungsi formatif digunakan untuk perbaikan dan pengembangan program yang sedang berjalan, sedangkan fungsi sumatif digunakan sebagai pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau kelanjutan program. Oleh karena itu, evaluasi seharusnya dapat membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan, dan dukungan dari mereka yang terlibat.

Committee on Standard for Educational Evaluation (Join Committee, 1981) yang diketuai oleh Daniel Stufflebeam mengembangkan standar untuk kegiatan evaluasi, yaitu:

(14)

b. Accuracy (secara tekhnik tepat) c. Feasibility (realitik dan teliti)

d. Propriety (dilakukan dengan legal dan etik)

Evaluasi yang baik adalah yang memberikan dampak positif pada perkembangan program. Menurut Jabar dan Arikunto (2004) evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui implementasi dari suatu kebijakan. Dengan demikian, kegiatan evaluasi program mengacu pada tujuan atau dengan kata lain tujuan tersebut dijadikan tolak ukur keberhasilan suatu program. Terdapat dua macam tujuan evaluasi yaitu, tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum evaluasi diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen program.

Proses pengevaluasian memiliki enam pendekatan (Tayibnapis, 2008). Pendekatan yang dimaksud adalah berkaitan dengan tujuan dari pengevaluasian yang dilakukan. Pendekatan yang dilakukan menilai dari segi mana baiknya proses evaluasi dijalankan. Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan dalam mengevaluasi program, diantaranya adalah:

1. Pendekatan Eksprimental

Tujuan dari pendekatan ini adalah memperoleh kesimpulan yang bersifat umum tentang dampak suatu program dengan menciptakan situasi yang dikontrol, seperti membandingkan kelompok yang menerima program dan yang tidak. Pendekatan ini membuat evaluator sebagai orang ketiga yang objektif dalam menarik kesimpulan.

2. Pendekatan yang berorientasi pada pencapaian tujuan

Pada pendekatan ini evaluator mencoba mengukur sampai dimana pencapaian tujuan telah dicapai. Evaluator juga dapat membantu klien menerangkan rencana penerapan dan melihat proses pencapaian tujuan yang memperlihatkan kemampuan program menjalankan kegiatan sesuai rencana. 3. Pendekatan yang berfokus kepada keputusan

Pendekatan ini menekankan peranan informasi yang sistematik untuk pengelola program dalam menjalankan tugasnya. Pada pendekatan ini evaluator memerlukan dua macam informasi dari klien. Pertama ia harus

(15)

mengetahui butir-butir keputusan penting pada setiap periode selama program berjalan. Kedua ia perlu mengetahui macam informasi yang mungkin akan sangat berpengaruh untuk setiap keputusan. Keunggulan program ini adalah perhatiannya terhadap kebutuhan pembuat keputusan dan kerelevanan program.

4. Pendekatan yang berorientasi kepada pemakai

Pada pendekatan ini evaluator lebih terlibat dalam kegiatan program, mereka lebih bertindak sebagai orang dalam daripada sebagai konsultan luar. Pendekatan ini dilakukan dengan bersahabat, evaluator mencari pengetahuan tentang fungsi program dan keperluan orang-orang yang mempengaruhi keputusan. Pendekatan ini membuat evaluator dapat memberikan ide kepada kelompok pemakai, menerima saran mereka dan mengadaptasikan evaluasi sesuia dengan kebutuhan pemakai atau klien. Evaluator harus seorang yang komunikatif, karena interaksi dengan orang-orang program dan klien mempengaruhi kegunaan hasil evaluasi.

5. Pendekatan yang responsif

Pendekatan ini berusaha mencari pengertian suatu isu dari berbagai sudut pandang dari semua orang yang terlibat, berminat, dan yang berkepentingan dengan program. Evaluator bertujuan berusaha mengerti urusan program melalui berbagai sudut pandang yang berbeda. Evaluasi responsif memiliki ciri-ciri penelitian yang kualitatif apa adanya. Evaluator harus dilatih teknik-teknik penelitian kualitatif. Kelebihan dari Pendekatan ini adalah memiliki kepekaan terhadap berbagai titik pandang.

6. Goal Free Evaluation (Evaluasi bebas tujuan)

Ciri-ciri evaluasi ini adalah: evaluator sengaja menghindar untuk mengetahui tujuan program, tujuan yang telah dirumuskan terlebih dahulu tidak menyempitkan fokus evaluasi, berfokus pada hasil yang sebenarnya dan bukan pada hasil yang telah direncanakan, hubungan dengan orang-orang program dibuat seminimal mungkin dan evaluasi dimungkinkan akan ditemukannya dampak yang tidak diramalkan.

(16)

2.1.3.2 Pendekatan Evaluasi Berorientasi Pencapaian Tujuan (Goal Oriented Approach)

Pendekatan yang berorientasi pada tujuan (goal oriented approach) menurut Tayibnapis (2008) merupakan pendekatan evaluasi dengan memakai tujuan program sebagai kriteria untuk menentukan sampai sejauh mana program telah berhasil. Menurut Tyler dalam Jabar dan Arikunto (2004) goal oriented approach merupakan pendekatan evaluasi yang dilakukan secara berkesinambungan, terus-menerus, melihat sejauh mana tujuan sudah terlaksana dalam proses pelaksanaan program. Model ini memberikan petunjuk tentang perkembangan program, menjelaskan hubungan antara kegiatan khusus yang ditawarkan dan hasil yang akan dicapai. Dalam pendekatan ini terdapat hubungan yang logis antara kegiatan, hasil, dan prosedur pengukuran hasil. Pada pendekatan ini evaluator mencoba mengukur sejauh mana pencapaian tujuan telah dicapai. Evaluator membantu klien dalam merumuskan tujuan dan menjelaskan hubungan antara tujuan dan kegiatan, evaluator juga dapat membantu klien dalam menerangkan rencana penerapan dan melihat proses pencapaian tujuan yang memperlihatkan kemampuan program menjalankan kegiatan sesuai rencana.

Pendekatan goal oriented mempengaruhi hubungan antara evaluator dengan klien, hal ini disebabkan karena proses dalam memperjelas tujuan memerlukan interaksi yang intens antara evaluator dengan klien. Pada pendekatan yang berorientasi tujuan evaluator juga menentukan sampai sejauh mana tujuan program telah tercapai dengan melihat dari tujuan umum dan tujuan khusus program tersebut. Dalam hal ini keberhasilan suatu program diukur dengan kriteria program khusus bukan dengan kelompok kontrol atau dengan perbandingan program lain. Pendekatan yang berorientasi pada tujuan ini memiliki kelebihan yang terletak pada hubungan antara tujuan dan kegiatan serta penekanan pada elemen yang penting dalam program yang melibatkan individu. Namun, keterbatasan pendekatan ini yaitu kemungkinan evaluasi melewati konsekuensi yang tidak diharapkan akan terjadi.

(17)

2.2 Kerangka Pemikiran

Dalam evaluasi program pengelolaan sampah dapat melihat dengan menggunakan pendekatan evaluasi berorientasi tujuan (goal oriented approach) dari program pengelolaan sampah tersebut. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah mempengaruhi keberhasilan dan keefektifan dari adanya program pengelolaan sampah berbasis masyarakat, partisipasi masyarakat dapat dilihat melalui tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil dan evaluasi mengenai pengelolaan sampah tersebut. Selain itu, terdapat faktor pendukung dan faktor penghambat yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat tersebut.

Salah satu pengelolaan sampah yang dapat dievaluasi adalah pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dilakukan warga Perumahan Pondok Pekayon Indah, Bekasi Selatan. Pengelolaan sampah yang dilakukan di kawasan ini adalah dengan membentuk Gerakan Peduli Lingkungan (GPL). Dalam pelaksanaan program GPL input yang tergolong dalam program ini yaitu para kader dan fasilitator GPL serta warga Kompleks PPI. Program Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) yang utama adalah pemberdayaan masyarakat, pemilahan dan pengomposan sampah, serta pembibitan atau penghijauan. Program pengelolaan sampah berbasis masyarakat GPL yang dilakukan antara lain pemilahan sampah, pengomposan skala rumah tangga dan kawasan, keterampilan dari limbah atau sampah, penghijauan dan pembibitan, dan pembatan lubang biopori. Dalam pelaksanaan program pengelolaan sampah berbasis masyarakat tersebut melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil dan evaluasi sehingga dapat dilihat apakah terjadi ketercapaian tujuan program sesuai dengan visi dan misi dalam pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang telah ditetapkan Gerakan peduli Lingkungan (GPL) yakni menciptakan Pondok Pekayon Indah menjadi lingkungan yang bersih, sehat, asri, harmoni dan lestari serta memberdayakan masyarakat dalam bidang pengelolaan dan pelestarian lingkungan.

(18)

Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran Keterangan:

: mempengaruhi

2.4 Definisi Konseptual

1. Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) adalah kelompok masyarakat Perumahan Pondok Pekayon Indah yang mempunyai komitmen tinggi dalam upaya melestarikan lingkungan, salah satunya melalui pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

2. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah.

3. Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat secara sukarela disertai dengan tanggung jawab terhadap keterlibatannya dalam program

INPUT a. Kader GPL b. Fasilitator GPL c. Warga PPI PROSES OUTPUT Evaluasi Pendekatan Berorientasi Tujuan Tahap partisipasi: a. Sosialisasi b. Perencanaan c. Pelaksanaan d. Menikmati hasil e. Evaluasi Pengelolaan sampah berbasis

masyarakat:

a. Pemilahan sampah

b. Pengomposan skala RT dan kawasan

c. Keterampilan dari limbah/sampah

d. Penghijauan dan pembibitan e. Lubang biopori

(19)

pengelolaan sampah berbasis masyarakat oleh Gerakan Peduli Lingkungan (GPL).

4. Tahap perencanaan adalah keikutsertaan masyarakat dalam merencanakan dan membuat keputusan terhadap program yang yang dilaksanakan Gerakan Peduli Lingkungan (GPL).

5. Tahap pelaksanaan adalah keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan program pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dilaksanakan Gerakan Peduli Lingkungan (GPL).

6. Tahap menikmati hasil adalah keikutsertaan masyarakat dalam menikmati hasil program pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dilaksanakan Gerakan Peduli Lingkungan (GPL).

7. Tahap evaluasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam mengevaluasi program pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dilaksanakan Gerakan Peduli Lingkungan (GPL).

8. Goal oriented approach adalah pendekatan evaluasi yang digunakan dalam mengevaluasi program pengelolaan sampah berbasis masyarakat dengan mengacu pada tujuan program Gerakan Peduli Lingkungan (GPL).

9. Pemilahan sampah rumah tangga adalah pengelolaan sampah yang dilakukan pada tingkat rumah tangga dengan cara memilah sampah rumah tangga (organik, anorganik, dan sampah B3).

10. Pengelolaan kompos kawasan adalah pengelolaan sampah yang dilakukan secara bersama-sama warga PPI (sampah berasal dari lingkungan sekitar tempat tinggal).

11. Daur ulang sampah anorganik adalah pengelolaan sampah dengan memanfaatkan sampah anorganik menjadi barang yang memiliki nilai jual. 12. Penghijauan dan pembibitan adalah salah satu upaya untuk menciptakan

lingkungan yang lebih asri, nyaman dan menciptakan udara segar bagi sekitar dengan cara penghijauan atau pembibitan.

13. Pembuatan lubang Biopori adalah metode resapan air dengan tujuan untuk meningkatkan daya resap air pada tanah dengan cara membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos.

(20)

14. Kader GPL adalah anggota tetap GPL yang juga menjadi anggota majlis ta’lim darussalam dan taman bacaan.

15. Fasilitator GPL adalah perwakilan dari setiap RW sasaran yang menjadi penanggung jawab setiap kegiatan GPL.

2.5 Definisi Operasional

1. Sosialisasi program adalah tahap penyampaian informasi dan publikasi dari Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) kepada warga PPI, baik secara langsung maupun tidak langsung. Terdapat 6 pertanyaan yang terkait dengan variabel ini. Dengan kategori: jawaban “Ya” diberi nilai 1 dan jawaban “tidak” diberi nilai 0.

Sosialisasi baik yaitu nilai 4-6 Sosialisasi buruk yaitu nilai 1-3

2. Tahap perencanaan adalah keikutsertaan masyarakat dalam merencanakan dan membuat keputusan terhadap program yang akan dijalankan. Pada tahap perencanaan yang dinilai adalah keterlibatan responden dalam program dan keahdiran responden dalam rapat perencanaan program serta melihat keaktifan dalam rapat tersebut. Terdapat 4 pertanyaan yang terkait dengan variabel ini. Dengan kategori: jawaban “Ya” diberi nilai 1 dan jawaban “tidak” diberi nilai 0. Untuk pertanyaan mengenai kehadiran dalam rapat memiliki nilai berbeda, kehadiran 4 kali diberi nilai 4, kehadiran > 2 kali diberi nilai 3, jika kehadirannya 2 kali diberi nilai 2, kehadiran < 2 kali diberi nilai 1 dan jika tidak pernah hadir dalam rapat diberi nilai 0. Untuk pertanyaan mengenai perilaku yang responden lakukan dalam rapat perencanaan diberi nilai 1-4. Partisipasi tinggi yaitu nilai 6-10

Partisipasi rendah yaitu nilai 1-5

3. Tahap pelaksanaan adalah keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan program pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Partisipasi pada tahap pelaksanaan dinilai berdasarkan keikutsertaan responden dalam program-program Gerakan peduli Lingkungan (GPL). Terdapat 15 pertanyaan yang terkait dengan variabel ini. Dengan kategori: jawaban “Ya” diberi nilai 1 dan jawaban “tidak” diberi nilai 0.

(21)

Partisipasi tinggi yaitu nilai 12-23 Partisipasi rendah yaitu nilai 0-11

4. Tahap menikmati hasil adalah keikutsertaan masyarakat dalam menikmati hasil program pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dilaksanakan Gerakan Peduli Lingkungan (GPL). Pada tahap menikmati hasil dinilai dari manfaat yang dirasakan responden setelah adanya program Gerakan Peduli Lingkungan (GPL). Terdapat 2 pertanyaan yang terkait dengan variabel ini. Dengan kategori: jawaban “Ya” diberi nilai 1 dan jawaban “tidak” diberi nilai 0.

Partisipasi tinggi yaitu nilai 2 Partisipasi rendah yaitu nilai 0-1

5. Tahap evaluasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam mengevaluasi program pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dilaksanakan Gerakan Peduli Lingkungan (GPL). Terdapat 2 pertanyaan yang terkait dengan variabel ini. Dengan kategori: jawaban “Ya” diberi nilai 1 dan jawaban “tidak” diberi nilai 0.

Partisipasi tinggi yaitu nilai 2 Partisipasi rendah yaitu nilai 0-1

Gambar

Tabel 1. Penggolongan Sampah menurut Hadiwiyoto (1983)
Gambar 1. Penggolongan Sampah menurut Apriadji (1989)
Tabel 2. Prosentase Pengambilan Sampah oleh Pemulung
Tabel  3.  Jenis  Kertas  Bekas  dan  Produk  Daur  Ulang  yang  Dihasilkan  dari  Pengolahan Kertas
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui: 1) pengaruh pendidikan kewirausahaan terhadap minat berwirausaha, 2) pengaruh lingkungan keluarga terhadap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas laboratorium sebagai penunjang praktikum Biologi di SMA N 1 Polanharjo Klaten tahun pelajaran 2017/2018 memiliki kategori

Penulisan Laporan Tugas Akhir dengan judul ”PERANCANGAN KOLOM KOMPOSIT PADA STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN BRESING KONSENTRIK KHUSUS” disusun guna melengkapi syarat untuk

Setelah bayi lahir massase uterus dengan arah gerakan circular atau maju mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik.massase yang berlebihan

Diagnosis mencakup kriteria sebagai berikut: gagal hati kronis lanjut disertai dengan hipertensi portal; kreatinin serum melebihi 1,5 mg/dL atau kreatinin serum 24-jam &lt;

Sasaran dari Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat yang akan dibuat adalah siswa – siswi Madrasah Aliyah Laboratorium (MAL) Kota Jambi dan MAN Sungai Gelam.. Melalui

Mesoderm lateral terdiri dari lapisan somatis dan lapisan splankhnis yang melebar jauh di luar embrio, karenanya pada somatis dan lapisan splankhnis yang melebar jauh di luar

“ Pembuatan penumpu turbin angin tipe helix 45 watt jenis rooftop “ Adalah hasil karya saya, dan dalam naskah tugas akhir ini tidak terdapat karya ilmiah yang