• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN HASIL PENELITIAN KAJIAN PALUDIKULTUR DAN AGROFORESTRY UNTUK PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT YANG BERKELANJUTAN TIM PUSAT LITBANG HUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN HASIL PENELITIAN KAJIAN PALUDIKULTUR DAN AGROFORESTRY UNTUK PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT YANG BERKELANJUTAN TIM PUSAT LITBANG HUTAN"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN HASIL PENELITIAN

KAJIAN PALUDIKULTUR DAN AGROFORESTRY UNTUK

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT YANG

BERKELANJUTAN

TIM PUSAT LITBANG HUTAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN

BADAN PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INOVASI

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

(2)

ii

LAPORAN HASIL

RISET AKSI

KERJASAMA ANTARA

BADAN RESTORASI GAMBUT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN

TAHUN 2018

(JUDUL)

KAJIAN PALUDIKULTUR DAN AGROFORESTRY UNTUK

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT YANG

BERKELANJUTAN

Dr. Yunita Lisnawati, M.Si (Ketua Tim)

NIP. 19680606 199803 2002

Mengetahui:

(Dr. Ir. Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc)

NIP. 19640108 199003 2001

Menyetujui:

Pejabat Pembuat Komitmen

Kedeputian Penelitian dan Pengembangan BRG

Ir. C. Nugroho S. Priyono, MSc

NIP. 19601116 198703 1 001

(3)

iii

DAFTAR

ISI

LEMBAR PENGESAHAN………. ii

DAFTAR ISI………... iii

DAFTAR TABEL………... iv DAFTAR GAMBAR………... v I. PENDAHULUAN……… 1 A. Latar belakang………... 1 B. Rumusan Masalah………. 3 C. Tujuan……… 5 D. Sasaran……….. 6 E. Luaran kegiatan………. 7

F. Manfaat kegiatan riset……… 7

G. State of the art……… 8

II. METODOLOGI……… 9

A. Lokasi……… 9

B. Bahan dan Alat……….. 11

C. Metode penelitian……….. 11

1. Aspek revegetasi………... 13

2. Aspek kajian kelayakan finansial………. 13

3. Saluran pemasaran………. 15

III. HASIL DAN PEMBAHASAN……….……… 16

A. Kegiatan di HLG Sei Londerang……….. 16

1. Revegetasi………... 16

2. Kajian ekonomi dan saluran pemasaran………. 32

a. Tanaman bira-bira……….. 32

b. Pinang………. 38

c. Kopi gambut………... 42

B. Kegiatan di HLG Bram Itam……… 45

1. Revegetasi………... 45

2. Analisis kelayakan finansial……… 49

a. Pola tanam sawit monokultur………. 49

b. Pola tanam beberapa kombinasi tanaman kehutanan dan tanaman pinang……….. 49 IV. KESIMPULAN………. 56

(4)

iv DAFTAR TABEL

1. Hasil pengukuran diameter, tinggi, dan persen hidup tanaman

pada demplot paludikultur di HLG Londerang……….. 26 2. Biaya, penerimaan, dan keuntungan petani bira-bira…………. 35 3. Skenario pola tanam yang diterapkan di HLG Bram Hitam….. 50 4. Biaya yang dikeluarkan untuk budidaya sawit di HLG Bram

Hitam……….. 50

5. Biaya yang dikeluarkan dalam revegetasi lahan gambut di HLG Bram Hitam………

51 6. Produktivitas sawit di HLG Bram Hitam……… 51 7. Perkiraan pendapatan dari tanaman pinang……… 52 8. Hasil kelayakan finansial berdasarkan scenario jika akan

diterapkan berbagai pola tanam di HLG Bram Hitam (per ha)..

(5)

v DAFTAR GAMBAR

1. Permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut……. 5 2. Peta lokasi demplot paludikultur di Kabupaten Tanjung Jabung

Timur, Jambi……….

10 3. Peta lokasi demplot paludikultur di Kabupaten Tanjung Jabung

Barat, Jambi……….

11 4. Tahapan dan alur kegiatan……… 12 5. Kondisi tutupan vegetasi di HLG Londerang sebelum dilakukan

pembangunan demplot paludikultur………..

17 6. Proses kegiatan penyiapan lahan, penyemprotan dan pengajiran.. 18 7. Proses penanaman di demplot paludikultur HLG Londerang…… 20 8. Beberapa kenampakan petak coba penanaman paludikultur

setelah 1.5 bulan di tanam……….

24 9. Beberapa kenampakan tutupan vegetasi setelah beberapa waktu

dilakukan penebasan gulma………..

25 10. Kondisi beberapa jenis tanaman pada saat awal penanaman dan

setelah 1 tahun tanam………

31 11. Pohon bira-bira yang tumbuh secara liar di kebun masyarakat… 33 12. Produk dari kayu bira-bira……… 34 13. Saluran pemasaran kayu bira-bira di Tanjung Jabung Timur…… 38 14. Proses pengeringan buah pinang……….. 39 15. Saluran pemasaran pinang di Desa Sungai Beras………. 41

16. Buah kopi Libtukom………. 42

17. Bagan saluran pemasaran kopi gambut di Desa Sungai Beras…. 44 18. Rata-rata survival tanaman pada umur 1 tahun di HLG Bram

Itam………

46 19. Rata-rata diameter tanaman pada umur 1 tahun di HLG Bram

Itam………

47 20. Rata-rata tinggi tanaman pada umur 1 tahun di HLG Bram Itam.. 47 21. Kenampakan tanaman pada umur 1 tahun di HLG Bram Itam….. 48

(6)
(7)

1 I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia mendapat tantangan yang besar dalam memanfaatkan dan mengelola lahan gambut yang berkelanjutan. Potensi lahan gambut yang luas yaitu menurut data terakhir dari Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB) pada hutan primer dan gambut menyebutkan angka 14,9 juta ha. Luas tersebut berarti sekitar 50% dari luas seluruh lahan gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia, sehingga dikatakan Indonesia memiliki luas lahan gambut tropika terbesar di dunia (Agus et al., 2012).

Potensi luasan lahan gambut merupakan suatu tantangan utama dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, sosial dan lingkungan. Sementara itu, lahan gambut tropis memiliki keragaman sifat fisik dan kimia yang besar, baik secara spasial maupun vertikal. Karakteristiknya sangat ditentukan oleh ketebalan gambut, substratum atau tanah mineral di bawah gambut, kematangan, dan ada tidaknya pengayaan dari luapan sungai disekitarnya. Karakteristik lahan seyogyanya dijadikan acuan arah pemanfaatan lahan gambut untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan.

Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem gambut. Kejadian kebakaran tahun 2015 ditenggarai sebagai akibat akumulasi kesalahan dalam teknis pengelolaan ekosistem gambut. Dampak kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 mencapai 2,6 juta hektar (sekitar 890.000 hektar diantaranya di lahan gambut), dengan perkiraan kerugian mencapai Rp. 221 triliun (KLHK, 2016). Komitmen pemerintah untuk mencegah degradasi lahan dan kebakaran gambut dengan menempatkan program restorasi dan rehabilitasi ekosistem gambut sebagai prioritas dalam pengelolaan gambut masa depan merupakan hal yang sangat penting.

Upaya memperbaiki kembali kondisi sumberdaya lahan gambut yang terdegradasi yaitu dengan cara melakukan kegiatan restorasi lahan gambut. Restorasi gambut telah ditargetkan sebesar 2,4 juta ha mulai tahun 2016 sampai 2020. Areal tersebut tersebar di 7 Provinsi yaitu: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalbar, Kalteng,

(8)

2 alsel dan Papua). Dari target restorasi tersebut, terdapat 400 ribu hektar areal target restorasi di APL dan dapat melibatkan masyarakat. Upaya pemulihan ekosistem gambut dilakukan melalui tiga pilar kegiatan restorasi yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya, yaitu restorasi hidrologi, rehabilitasi vegetasi dan revitalisasi sosial masyarakat.

Restorasi hidrologi dapat dilakukan dengan cara menyekat kanal-kanal yang telah terbangun di ekosistem gambut (Suryadiputra et al., 2005; Ritzema et al., 2015). Kanal meningkatkan laju subsiden gambut (Lisnawati et al., 2015), menurunkan tinggi muka air tanah (Turetsky et al., 2014), mempercepat pengeringan gambut, sehingga gambut akan mudah terbakar (Taufik et al., 2015). Dengan melakukan sekat kanal, maka air gambut tidak dengan mudah keluar menuju sungai, sehingga kelembaban gambut dapat terjaga. Hal ini mengurangi resiko kebakaran dan menurunnya laju dekomposisi gambut.

Rehabilitasi vegetasi dilakukan melalui penanaman kembali dengan jenis-jenis asli yang tumbuh di gambut, dan jenis adaptif di lahan gambut dan tidak bersifat invasif. Teknik rehabilitasi gambut dengan jenis asli rawa dan rawa gambut pada lahan gambut basah dan dibasahkan kembali dikenal dengan istilah paludikultur (Wicthmann

et al., 2016; Tata & Susmianto, 2016). Paludikultur atau budidaya di lahan gambut

merupakan salah satu teknik restorasi dan budidaya di lahan gambut yang diharapkan dapat mengembalikan kondisi biofisik, fungsi ekologis dan dan fungsi ekonomi dari ekosistem gambut. Beberapa jenis asli gambut potensial untuk dikembangkan adalah jelutung rawa (Dyera lowii) (Tata et al., 2015; Bastoni, 2014; Harun, 2013), balangeran (Shorea balangeran) (Atmoko, 2011; Darwo dan Bogidarmanti, 2016b), gelam (Melaleuca sp.) (Prayitno dan Bakri, 2014).

Riset paludikultur telah dilakukan oleh beberapa pihak dan hasil-hasilnya telah tersedia, namun dukungan Litbang untuk tehnologi paludikultur dan agroforestry sangat dibutuhkan. Kegiatan pembangunan demplot paludikultur dan agroforestry telah dilakukan oleh Puslitbang Hutan yaitu di daerah Tanjung Jabung Timur yaitu Hutan Lindung Gambut Sungai Londrang untuk tipe gambut dalam, tergenang periodic, dan merupakan areal bekas terbakar total serta di Tanjung Jabung Barat di

(9)

3 HLG Sungai Bram Itam untuk tipe gambut dangkal, ada draenase, dan merupakan kawasan yang sudah ada perambahan masyarakat. Kajian yang dilakukan adalah uji adaptibilitas jenis yang tahan genangan yang terintegrasi dengan kajian aspek hidrologi, social ekonomi masyarakat sekitar dan kajian agrosilvopasteur untuk mengatasi perluasan perambahan. Kajian dari Tim Puslitbang Hutan diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan pada kedua kawasan tersebut.

Keberlanjutan program paludikultur membutuhkan pelibatan masyarakat di dalam pengelolaan lahan gambut hal ini terkait dengan kearifan lokal masyarakat dalam mengembangkan paludikultur. Kegiatan perencanaan pengelolaan lahan dapat melibatkan masyarakat secara aktif sejak tahap perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi kegiatan menjadi salah satu bentuk pendekatan yang dapat mendukung program restorasi gambut. Penguatan kelembagaan kelompok tani diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan dari demplot disamping adanya kegiatan pemeliharaan. Tujuan utama perencanaan pengelolaan lahan gambut dengan melibatkan masyarakat adalah untuk meningkatkan keberhasilan kegiatan restorasi dengan memastikan bahwa kegiatan pengelolaan lahan gambut dilakukan secara berkelanjutan dan menghindari terjadinya konflik dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi dari masyarakat. Selanjutnya potensi usaha dan peluang pasar untuk produk-produk yang dihasilkan dari kegiatan rehabilitasi perlu digali lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

Berbagai upaya pengendalian dan penurunan laju kerusakan ekosistem gambut telah dilaksanakan, namun laju degradasi gambut masih terjadi. Konversi lahan, kebakaran, dan kanalisasi telah menyebabkan terjadinya degradasi terhadap lahan gambut. Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama kerusakan hutan tropis di Indonesia. Pada tahun 2015 kebakaran hutan dan lahan tercatat mencapai 2,6 juta hektar, sekitar 890.000 hektar diantaranya di lahan gambut. Sebagian besar kebakaran yang terjadi di hutan gambut tergolong berat, dampaknya menyebabkan hilangnya vegetasi di atasnya dan rusaknya lapisan gambut. Selain itu, kelemahan dalam pengelolaan lahan gambut hanya menitik beratkan pada aspek teknis saja,

(10)

4 kurang memperhatikan aspek ekologis dan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitarnya. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan IPTEK yang berkembang, maka harus ada pergeseran titik berat pengelolaan lahan gambut dari hanya untuk memperoleh keuntungan kelompok ekonomi kuat ke arah peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, tanpa mengabaikan fungsi hutan terhadap perlindungan lingkungan.

Permasalahan utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut adalah lansekap gambut belum dikelola dan dimanfaatkan secara ramah gambut sehingga berakibat lansekap gambut belum mampu menjamin manfaat ekonomi, ekologi dan sosial secara berkelanjutan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh tiga hal, yaitu (a) masih adanya jenis-jenis tanaman yang berasal dari lahan kering ditanam di lahan gambut; (b) kebakaran hutan dan lahan gambut belum mampu dikendalikan sepenuhnya; dan (c) dukungan IPTEK belum maksimal dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan yang ramah gambut. Dukungan IPTEK belum maksimal dikarenakan: (a) teknologi agroforestry belum diterapkan secara ramah gambut, (b) jenis-jenis tanaman yang dikembangkan belum menerapkan teknik paludikultur, (c) kurangnya dukungan riset jenis-jenis yang adaptif dan mempunyai nilai ekonomi dan ekologi yang tinggi, dan (c) masyarakat sekitar hutan belum dilibatkan secara aktif dalam perencanaan sampai pengelolaan tanaman. Permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut disajikan dalam Gambar 1.

Kegiatan riset aksi ini dilakukan dalam upaya memperbaiki kondisi lahan gambut yang rusak akibat kebakaran dan perambahan. Pelaksanaan kegiatan merupakan riset aksi yang bersinergi dengan beberapa pihak untuk mendukung keberhasilan restorasi gambut. Pelaksanaan kegiatan adalah merupakan perluasan riset aksi yang meliputi beberapa aspek yaitu hidrologi, biofisik lahan, silvikultur, sosial ekonomi, peningkatan nilai hasil produk dan penguatan kelembagaan yang bersinergi dengan beberapa pihak untuk mendukung pelaksanaan restorasi gambut sehingga penerapan teknologi pada restorasi lahan gambut dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Disamping itu, kegiatan tersebut diharapkan dapat untuk meningkatkan

(11)

5 pengelolaan dan produktivitas lahan gambut yang terdegradasi sehingga menjadi lahan yang dapat dikelola secara berkelanjutan.

Gambar 1. Permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut.

C. Tujuan

Tujuan kegiatan ini adalah mengimplementasikan teknik paludikultur dan agoforestry menuju lansekap gambut produktif yang mampu menjamin manfaat ekonomi, ekologi dan sosial secara berkelanjutan.

Lansekap gambut belum mampu menjamin manfaat ekonomi,

ekologi dan sosial secara berkelanjutan

Lansekap gambut belum dikelola dan dimanfaatkan secara ramah gambut

Banyak Jenis-jenis tanaman yang berasal

dari lahan kering ditanam di lahan gambut

Dukungan IPTEK belum maksimal dalam pengelo-laan dan pemanfaatan lahan

yang ramah gambut

Kebakaran hutan dan lahan gambut belum mampu dikendalikan Teknologi agro-forestry belum diterapkan secara ramah gambut Jenis-jenis tanaman yang dikembangkan belum menerapkan teknik paludikultur Masyarakat dan kelembagaan sekitar hutan belum dilibatkan secara optimum. Kunci masalah Penyebab Dampak Kurangnya dukungan hasil riset jenis-jenis adaptif gambut yg mempunyai nilai ekonomi dan ekologi tinggi

(12)

6 D. Sasaran

Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah:

1. Tersedianya demplot paludikultur dan agroforestry yang dapat direplikasi untuk penyempurnaan implementasi restorasi gambut oleh BRG.

2. Show window IPTEK pengelolaan lahan ramah gambut.

3. Tersedianya hasil kajian jenis-jenis tanaman hutan dan tanaman pertanian yang adaptif dan bernilai ekonomi untuk dikembangkan di lahan gambut.

4. Tersedianya hasil analisis sosial, ekonomi dan kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut yang produktif.

5. Tersedianya hasil kajian model-model pemanfaatan lahan gambut.

6. Tersedianya hasil kajian dinamika pertumbuhan jenis-jenis tanaman pada petak ukur permanen yang dibangun.

Capaian kegiatan 2017 (September s/d Desember 2017):

1. Uji tingkat adaptasi jenis-jenis vegetasi lokal gambut dengan melakukan kegiatan penanaman dengan menggunakan tehnik paludikultur.

2. Telah terbangunnya demplot riset tehnik paludikultur di hutan lindung gambut Sungai Londerang seluas 12 ha dan di lokasi partisipatif masyarakat di APL sekitar HLG Sungai Londrang seluas 1,5 ha.

3. Telah terbangunnya demplot agroforestry di HLG Sungai Bram Hitam seluas 10,5 ha dengan pola agroforestry (tanaman kehutanan dengan pinang dan kopi liberika) dan silvopasteur kambing yang diberikan secara bergulir.

2. Telah terbangun permanen sampel plot dan pembuatan Petak Ukur Permanen (PUP) di demplot riset paludikultur di HLG Sungai Londerang.

3. Telah dilakukan pengukuran awal pertumbuhan, pemeliharaan, dan penghitungan persen hidup tanaman.

4. Telah dilakukan kajian nilai harapan hasil dalam praktek pengelolaan lahan gambut oleh masyarakat di daerah Tanjung Jabung Timur, Jambi.

5. Telah dilakukan kajian sosial ekonomi masyarakat disekitar areal kegiatan demplot di HLG Sungai Londerang dan HLG Sungai Bram Hitam.

(13)

7 Target kegiatan 2018:

1. Melakukan kegiatan pemeliharaan (penyiangan gulma) dan pengukuran pertumbuhan tanaman.

2. Melakukan pengamatan pertumbuhan tanaman pada areal studi kajian paludikultur di masyarakat untuk jenis bira-bira.

3. Melakukan kajian analisis biaya dan manfaat untuk tanaman paludikultur dan tanaman di lahan gambut.

Target tahun 2019:

1. Replikasi kegiatan pada lokasi yang mempunyai karakteristik hampir sama baik karakteristik tanah gambutnya maupun masyarakatnya.

2. Rekomendasi jenis-jenis yang adaptif untuk kegiatan restorasi dan rehabilitasi lahan gambut bekas terbakar.

E. Luaran Kegiatan Sampai Tahun 2019:

1. Terbangunnya demplot paludikultur dan agroforestry yang dapat direplikasi untuk penyempurnaan implementasi restorasi gambut oleh BRG.

2. Show window IPTEK pengelolaan lahan gambut yang bisa digunakan untuk diseminasi.

3. Rekomendasi jenis-jenis tanaman hutan dan tanaman pertanian yang adaptif untuk dikembangkan di lahan gambut.

4. Rekomendasi model-model pemanfaatan lahan gambut yang ramah lingkungan.

F. Manfaat Kegiatan Riset

1. Melalui program revegetasi dengan tehnik paludikultur dan agroforestry diharapkan parameter sifat fisik gambut yang telah terdegradasi akibat drainase dan kebakaran akan semakin membaik, kelembaban gambut tetap terjaga sehingga kebakaran lahan gambut dapat dicegah, bertambahnya tutupan vegetasi, dan masyarakat memperoleh alternatif sumber penghasilan sehingga dapat meningkatkan ketahanan sosial masyarakat.

(14)

8 2. Menjadi jendela pembelajaran dan transfer pengetahuan untuk produktivitas lahan maupun untuk fungsi hidro-orologis dan bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar hutan.

G. State of the art

Penelitian tentang lahan gambut sampai saat ini telah berkontribusi pada aspek kehutanan dan lingkungan. Teknik silvikultur dan pola agroforestry di lahan gambut sudah dihasilkan oleh Puslitbang Hutan (Tata & Susmianto., 2016; Tata et al., 2015; Bogidarmanti et al., 2015; Darwo & Bogidarmanti, 2016a; 2016b). Hasil penelitian terkait pemanfaatan gambut menunjukan makin masifnya pemanfaatan gambut untuk kelapa sawit (Tata et al., 2013). Selain itu, terjadinya kebakaran pada lahan gambut menunjukan kontribusi lebih tinggi pada bahan bakar yang berasal dari serasah daun, bahan terdekomposisi dan tumbuhan hidup yang terdapat di permukaan gambut (Possel

et al., 2015).

Oleh sebab itu state of the art pembangunan demplot paludikultur dan demplot

agroforestry ini diharapkan diperoleh kebaharuan, yaitu:

1. Uji adaptif jenis bira-bira (F. crenulata) yang merupakan jenis yang umum tumbuh di daerah mangrove. Bira-bira termasuk kayu endemic Tanjung Jabung Timur, banyak dijumpai tumbuh liar, tahan terhadap genangan dan asam, namun belum banyak dibudidayakan dan dapat dijadikan kayu alternatif yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Menurut penelitian Puslitbang Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan (2014) tentang Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Sumatera, bahwa bira-bira termasuk kayu keras, termasuk Kelas Kuat III dan Kelas Awet II. Kayu bira-bira memiliki warna yang cerah menyerupai ramin, mudah dikerjakan, permukaan kayu halus dan mudah difinishing. Diharapkan bira-bira dapat dijadikan kayu andalan setempat untuk dikembangkan pada kegiatan restorasi dan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi.

2. Membuat suatu kebijakan untuk pengelolaan lahan gambut berkelanjutan yang tidak mudah terbakar, memberikan dampak sosial dan ekonomi yang lebih tinggi pada masyarakat yang tinggal di dalamnya serta didukung oleh semua pihak.

(15)

9 II. METODOLOGI

A. Lokasi

Kegiatan ini dilakukan di dua areal prioritas untuk direstorasi di Propinsi Jambi yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupatern Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Lokasi penelitian terletak di Hutan Lindung Gambut (HLG) Sungai Londerang dan HLG Sungai Bram Itam. Demplot penelitian di HLG Sungai Londerang terletak di Blok I, secara administrasi berada di Kelurahan Parit Culum II, Kecamatan Muara Sabak Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi. Secara geografis lokasi Blok I berada pada koordinat 103046’37,42’’–103047’18,19’’ BT dan 1018’0,97’’ – 1019’7,59’’ LS. HLG Sei Londerang merupakan kawasan hutan lindung gambut yang berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jambi 2013-2033 memiliki luasan 12.488 hektar. HLG Sei Londerang merupakan kawasan hutan lindung gambut terluas di Provinsi Jambi. Secara administratif, HLG Londerang terletak diantara 2 Kabupaten yaitu: Kabupaten Muaro Jambi di bagian selatan dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur di bagian Utara. Peta lokasi demplot penelitian di HLG Londerang disajikan pada Gambar 2. Total luas demplot riset paludikultur pada tahun 2017 adalah di HLG Londrang 12,5 ha dan di areal penggunaan lain yang dikelola masyarakat adalah 1,5 ha.

Demplot yang dibangun di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dilakukan di KPHL Sungai Bram Itam dalam KHG Baung Batara (Gambar 3). Total luas demplot yang dibangun 10,5 hektar yaitu di lokasi 1 seluas 7,5 hektar, lokasi 2 seluas 2 hektar dan lokasi 3 seluas 1 hektar. Secara administrasi pemerintahan ketiga lokasi tersebut berada di Desa Bram Itam Raya, Kecamatan Bram Itam, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi.

(16)

10 Gambar 2. Peta lokasi demplot paludikultur di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

(17)

11 Gambar 3. Peta Lokasi Demplot di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi

B. Bahan dan Alat

Bahan dan peralatan yang diperlukan dalam kegiatan teknik paludikultur dan

agroforestry berupa jenis-jenis tanaman hutan asli gambut, jenis-jenis tanaman

pertanian, herbisida, dan bahan penelitiannya lain.

Peralatan yang digunakan meliputi tongkat berskala (untuk mengukur kedalaman genangan), pipa paralon 1 inci (Piezometer), plat besi untuk mengukur laju subsiden, dan peralatan lapangan lainnya.

C. Metode penelitian

Kegiatan ini merupakan lanjutan kegiatan riset paludikultur dan pilot project implementasi paludikultur dan agroforestry. Tahapan dan alur kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 4.

(18)

12 PPP

Gambar 4. Tahapan dan alur kegiatan kajian paludikultur dan agroforestry

Kajian paludikultur dan

agroforestry

Survey lokasi: Kondisi vegetasi Tingkat kerusakan Potensi genangan Aksesibilitas Kendala-kendala yang ada

Survey sosial ekonomi: Wawancara informan kunci Baseline social ekonomi

Kajian analisis nilai harapan dan dari praktek-praktek paludikultur di masyarakat. Analisis finansial

Penentuan lokasi dan pembuatan demplot

Demplot riset paludikultur di HLG Sungai Londerang

(±13,5 ha)

Demplot implementasi paludikultur dan agroforestry

di HLG Sungai Bram Itam (±10.5 ha)

Aspek hidrologi Pengukuran TMA Laju subsiden

Pengukuran level air di kanal

Pengukuran fluktuasi tinggi genangan

Aspek revegetasi:  Menanam jenis-jenis asli gambut dan jenis yg adaptif di gambut. Membuat PUP Aspek revitalisasi:  Melakukan penanaman dengan pola agroforestry dan agrosilvopasteur

(dengan ternak kambing secara bergulir).

Pengukuran secara periodik

Pemeliharaan

(19)

13 1. Aspek revegetasi

Kegiatan revegetasi telah dimulai pada tahun 2017 dengan pembuatan demplot riset paludikultur, implementasi paludikultur dan agroforestry. Penanaman telah dilakukan untuk luasan 12 ha di kawasan Hutan Lindung Gambut Sei Londerang. Penanaman dengan menggunakan sistem jalur dengan pola monokultur dan campuran untuk koleksi jenis (model arboretum). Jenis-jenis yang ditanam pada pola monokultur (10.5 ha) adalah pasir-pasir (Elaeocarpus floribundus BI), jelutung rawa (Dyera lowii), balangeran (Shorea balangeran), bira-bira (Fragraea crenulata), pulai (Alstonia

pneuciflorum), gaharu (Aquilaria microcarpa Baill), dan sagu (Metroxylon sp). Pola

campuran model arboretum (1,5 ha) terdiri dari jenis-jenis balangeran (Shorea

balangeran), punak (Tetramerista glabra), perupuk (Lopopethalum javanicum),

medang (Alseodaphne sp), beriang (Alseodaphne sp), bintaro (Cerbera manghas), meranti rawa (Shorea ovalis), jambu-jambu (Eugenia sp), pisang-pisang (Polyalthia

sp), ramin (Gonistylus bancanus), keranji (Dialium indum) dan rotan jernang

(Daemonorops sp), kayu labu (Endospermum diadenum), tembesu (Fragraea

fragrans).

Pada kegiatan revegetasi tahun 2018 dititikberatkan untuk pemeliharaan tanaman dan demplot yang sudah dibangun pada tahun 2017.

 Kegiatan pemeliharaan pada tahun pertama dapat dilakukan apabila persentase hidup tanaman mencapai ≥ 60%. Pada plot sagu pada tahun 2018 tidak dilakukan pemeliharaan karena hamper semua tanaman dirusak oleh hama babi.  Kegiatan pemeliharaan pada tahun 2018 berupa penyulaman, dan pembersihan

gulma.

2. Kajian kelayakan finansial

Salah satu aspek penting yang harus dikaji untuk mendukung penerapan teknologi inovasi paludikultur di lahan gambut adalah kajian mengenai kelayakan secara finansial dari pola-pola yang telah dibangun. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah analisis kelayakan usaha menggunakan parameter Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio (BCR). Data yang

(20)

14 diperlukan adalah komponen pendapatan dan biaya-biaya yang dikeluarkan selama jangka waktu satu daur kegiatan penanaman.

a. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi di lapangan dan studi pustaka pada hasil-hasil penelitian dan dokumen-dokumen pendukung yang terkait dengan penelitian ini. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung di lapangan melalui wawancara dengan petani dan pencatatan langsung terhadap biaya-biaya penanaman. Data sekunder yang diperlukan adalah data riap pertumbuhan pohon, data kondisi biofisik tanah, dan iklim setempat yang berpengaruh terhadap kondisi tempat tumbuh. Penentuan narasumber kunci (key informant) ditentukan secara sengaja (purposive) yaitu pelaku-pelaku usaha baik di tingkatan petani, pengumpul, industry dan konsumen.

b. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis Kelayakan usaha merupakan salah satu metode perhitungan ekonomi untuk melihat kelayakan sebuah usaha atau bisnis berdasarkan parameter yang terukur. Beberapa parameter yang umumnya digunakan adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Sebuah bisnis dikategorikan layak jika nilai NPV > 0, BCR > 1, dan IRR lebih dari tingkat suku bunga yang sedang berlaku.

Analisis Finansial; meliputi analisis terhadap parameter NPV, IRR, BCR dengan

formulasi sebagai berikut ;

NPV = (Rt)/(1+r)t Keterangan:

Rt = Pendapatan bersih selama masa daur tanam (Pemasukan – Biaya) r = suku bunga

t = tahun

BCR = ∑ B/(1 + r)t / ∑ C/(1 + r)t

Keterangan :

(21)

15 C = Cost (Biaya)

r = suku bunga

t = masa daur tanaman

IRR = r1 – (r2 - r1 ) X NPV1 (NPV2 - NPV1)

Keterangan:

r1 = Tingkat bunga ke-1 r2 = Tingkat bunga ke-2

NPV1 = NPV yang dihitung berdasarkan Dr1 NPV2 = NPV yang dihitung berdasarkan Dr2 3. Saluran Pemasaran

Pengambilan data penelitian dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur menggunakan kuesioner. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga komoditas bira-bira, pinang, dan kopi seperti : petani, pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul sedang, agen dan konsumen. Lembaga tataniaga yang terlibat ditelusuri mulai dari produsen (petani) sampai dengan konsumen. Data-data sekunder diperoleh dari hasil-hasil penelitian/kajian dan laporan dari instansi terkait antara lain : Dinas Perkebunan dan Badan Pusat Statistik. Metode analisis dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif untuk mengidentifikasi lembaga pemasaran dan saluran pemasaran.

(22)

16 III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kegiatan di Hutan Lindung Gambut Sei Londerang 1. Revegetasi.

Kondisi HLG Londerang saat ini sudah tidak sesuai dengan statusnya sebagai kawasan berhutan, karena tutupan/tegakan vegetasi bertajuk rapat sudah sangat jarang didapati (kurang dari 10% dari luasan HLG Londerang). Salah satu upaya pemulihan untuk menjadikan fungsi ekosistem gambut di HLG Londerang berfungsi kembali maka dilakukan kegiatan restorasi revegetasi yang didanai oleh Badan Restorasi Gambut. Kegiatan revegetasi yang merupakan kegiatan kerjasama penelitian antara BRG dan Puslitbang Hutan dimulai pada tahun 2017, dengan membangun demplot paludikultur seluas 12,5 ha dengan jenis tanaman asli gambut dan atau rawa gambut. Kegiatan revegetasi akan berhasil dengan baik apabila dilandasi suatu persiapan dan perencanaan yang matang serta memperhatikan beberapa tahapan untuk menunjang keberhasilannya. Tahapan-tahapana tersebut meliputi:

a. Penilaian terhadap areal yang akan direhabilitasi, b. Persiapan lahan,

c. Penanaman d. Pemeliharaan.

e. Pemantauan pertumbuhan

a. Penilaian awal terhadap lokasi yang akan dijadikan demplot

Lokasi demplot merupakan lahan gambut bekas terbakar pada tahun 2015. Kejadian kebakaran pada tahun 2015 merupakan kejadian kebakaran terparah, karena hampir menghabiskan seluruh vegetasi yang ada. Pada saat ini kondisi disekitar areal demplot telah dikelilingi perkebunan milik masyarakat umumnya menanam sawit, pinang dan karet serta perusahaan swasta yang umumnya menanam sawit atau akasia.

Kedalaman gambut di lokasi demplot bervariasi antara 3–4 meter (termasuk katagori gambut dalam dan sangat dalam); dengan tingkat kematangan saprik (gambut matang); pH berkisar 2,62–4,08; kadar air 83–91%; kondisi drainase terhambat sampai sangat terhambat; pada saat musim hujan muka air tanah 5 – 19 cm dan terdapat potensi

(23)

17 genangan ± 50 cm; pada musim kemarau muka air tanah dapat mencapai 90 cm dibawah permukaan tanah; secara umum kondisi keseburan alami mempunyai status sedang. Curah hujan tahunan di HLG Sei Londrang cukup berfluktuatif, dengan curah hujan tertinggi terjadi paada Bulan November dan terendah terjadi pada Bulan Juni. Kondisi vegetasi sebelum dilakukan pembangunan demplot adalah merupakan semak belukar yang didominasi oleh jenis pakis-pakisan. Tutupan vegetasi sebelum dilakukan pembangunan demplot disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Kondisi tutupan vegetasi di HLG Londerang sebelum dilakukan pembangunan demplot paludikultur.

b. Penyiapan Lahan

Penyiapan lahan dilakukan untuk luasan 12,5 ha, dilakukan secara manual dan tanpa pembuatan parit. Tahap penyiapan lahan meliputi:

1) pembabadan yang dilakukan secara manual, 2) penyemprotan dengan herbisida,

3) pengajiran.

Proses kegiatan penyiapan lahan, penyemprotan, dan pengajiran disajikan pada Gambar 6.

(24)

18 Pembersihan lahan dengan

pembabadan.

Lokasi demplot yang telah dilakukan pembersihan lahan.

Lahan yang telah dilakukan penyemprotan herbisida.

Kegiatan pengajiran.

(25)

19 c. Penanaman

Penanaman dilakukan dengan menggunakan sistem jalur dengan pola monokultur dan campuran untuk koleksi jenis (model arboretum). Sebagian besar kondisi lahan terdapat genangan, dari genangan rendah hingga sedang. Konsep penanaman tidak melakukan pengeringan dengan membuat kanal, namun dengan cara manipulasi lingkungan dan pemilihan jenis yang adaptif pada genangan, sehingga konsep tehnik paludikultur dapat dicapai. Penanaman dilakukan dengan menggunakan sistem jalur, dengan jarak tanam 3 x 3 m (1200/ha), dan khusus untuk tanaman sagu menggunakan jarak tanam 10 x 10 m. Pada saat penanaman tidak dilakukan pembuatan lubang tanam hanya dengan cara menugal, terkecuali untuk jenis sagu.

Sistem penugalan disamping lebih efisien juga untuk mencegah tersingkapnya lapisan pirit. Polybag pada saat penanaman tidak dilepas hanya disobek bagian bawahnya, hal ini untuk menjaga agar media bibit tetap kompak, dengan demikian diharapkan persentase hidup tanaman lebih tinggi. Untuk areal tanam yang mempunyai tinggi genangan > 50 cm, penanaman dilakukan dengan cara membuat manipulasi lingkungan dengan menggunakan bronjong, karung dan ember bekas cat. Proses penanaman disajikan pada Gambar 7.

Penanaman bibit balangeran. Pengikatan bibit balangeran yang mempunyai batang kecil dan tinggi agar bibit tetap kokoh.

(26)

20 Manipulasi lingkungan pada penanaman

pasir-pasir dengan menggunakan bronjong.

Manipulasi lingkungan pada penanaman pasir-pasir dengan menggunakan ember bekas cat.

Gambar 7. Proses penanaman di demplot paludikultur HLG Sei Londerang Jenis-jenis yang ditanaman dengan menggunakan pola monokultur adalah jelutung rawa (Dyera lowii), pulai rawa (Alstonia pneuciflorum), balangeran (Shorea

balangeran), bira-bira (Fragraea crenulata), pasir-pasir (Elaeocarpus floribundus BI),

gaharu (Aquilaria microcarpa Baill), sagu (Metroxylon sp), sedangkan perupuk (Lopopethalum javanicum), keranji (Dialium indum), beriang (Ploiarum

alternifolium), bintaro (Cerbera manghas), kayu labu (Endospermum diadenum),

punak (Tetramerista glabra), medang (Alseodaphne sp), meranti rawa (Shorea ovalis), pisang-pisang (Polyalthia sp), jambu-jambu (Eugenia sp) ditanam secara campuran dalam satu plot. Beberapa kenampakan petak coba penanaman paludikultur setelah 1,5 bulan ditanam disajikan pada Gambar 8.

(27)

21 Petak coba paludikultur pola tanam campuran jenis

(28)

22 Petak coba paludikultur pola tanam monokultur jenis pasir-pasir

(29)

23 Petak coba paludikultur pola tanam monokultur jenis bira-bira

(30)

24 Petak coba paludikultur pola tanam monokultur jenis sagu

Gambar 8. Beberapa kenampakan petak coba penanaman paludikultur setelah 1,5 bulan ditanam.

d. Pemeliharaan

Salah satu tantangan atau kendala kegiatan penanaman di lahan gambut adalah kecepatan pertumbuhan gulma yang mengalahkan pertumbuhan tanaman pokok, sehingga dapat berakibat mengganggu pertumbuhan tanaman pokok maupun menurunkan persen hidup tanaman. Pertumbuhan gulma yang cepat juga menjadikan biaya pemeliharaan menjadi tinggi.

Dalam kegiatan ini pemeliharaan dilakukan secara semi intensif full land

clearing, yaitu pembersihan total gulma dan meninggalkan sisa penebasan di lahan

tanpa menggunakan herbisida. Kegiatan pemeliharaan dilakukan sebanyak tiga kali dalam setahun. Pertumbuhan gulma pada musim penghujan lebih cepat dibandingkan pada musim kemarau. Dari hasil pengamatan pada musim penghujan bahwa gulma

(31)

25 yang sudah ditebas total dapat tumbuh kembali setelah 10 hari tebas. Beberapa kenampakan kondisi lahan setelah beberapa waktu dilakukan penebasan gulma disajikan pada Gambar 9.

Kondisi setelah dibersihkan gulma, siap untuk dilakukan penyulaman

Satu bulan setelah dilakukan penyiangan

Dua bulan setelah dilakukan penyiangan

Enam bulan tidak dilakukan penyiangan

Gambar 9. Beberapa kenampakan kondisi lahan setelah beberapa waktu dilakukan penebasan gulma.

(32)

26 Kegiatan pemeliharaan disamping pembersihan gulma juga dilakukan kegiatan penyulaman tanaman. Petak tanaman yang disulam adalah yang mempunyai persen hidup diatas 60%. Rata-rata persen hidup tanaman masih di atas 75% setelah satu tahun tanam, terkecuali gaharu yang dibawah 50% dan sagu yang mengalami kegagalan total karena dirusak oleh hama babi.

e. Pemantauan pertumbuhan tanaman

Untuk memantau pertumbuhan dan keberhasilan kegiatan penanaman maka dilakukan pembuatan petak ukur permanen berbentuk persegi dengan ukuran 30 x 30 m, yang digunakan untuk pemantauan riap tegakan. Kegiatan pengukuran awal pada petak ukur permanen dilakukan untuk mengetahui kharakteristik tanaman/bibit setelah dilakukan penanaman (±1,5 bl). Hasil dari kegiatan ini juga sebagai bahan monitoring awal untuk mengetahui % hidup paska kegiatan penanaman sehingga dapat dilakukan tindakan lebih cepat untuk meningkatkan % hidup, melalui kegiatan penyulaman. Hasil pengukuran diameter dan tinggi tanaman pada demplot paludikultur di HLG Sei Londerang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengukuran diameter, tinggi dan persen hidup tanaman pada demplot paludikultur di HLG Sei Londerang.

Nama Jenis Jumlah bibit Waktu tanam Rata-rata diameter bibit setelah 1.5 bulan tanam (mm) Rata-rata diameter bibit setelah 1tahun tanam (mm) Rata-rata tinggi bibit setelah 1.5 bulan tanam (cm) Rata-rata tinggi bibit setelah 1 tahun tanam (cm) Persen hidup setelah 1 tahun tanam (%) Jelutung rawa 1.200 Oktober 2017 6.8 8.9 57.5 62.7 76 Shorea balangeran 1800 Oktober 2017 4.1 7.0 91.1 103.8 94 Pasir-pasir 1200 Oktober 2017 5.0 59.0 80 Bira-bira 2400 Oktober 2017 7.0 11.0 31.8 44.3 78 Pulai 1200 Oktober 2017 5.8 7.0 69.8 76.0 81 Gaharu 1200 Oktober 2017 4.9 45.3 38

(33)

27 Sagu 250 Novemb er 2017 0 (dirusak hama babi) Campuran jenis 1.200 Oktober 2017 81 Mangga 30 Oktober 2017 100 Nanas 5000 Oktober 2017 Mahkota buah nanas Sudah mulai berbuah 95 Rambutan 30 Oktober 2017 100

Beberapa kenampakan pertumbuhan tanaman setelah 1 tahun tanam disajikan pada Gambar 10.

Pada awal penanaman Setelah 1 tahun penanaman

(34)

28 Meranti rawa

(35)

29 Bira-bira

(36)

30 Kenampakan tanaman gaharu satu tahun setelah tanam

(37)

31 Kenampakan tanaman keranji satu tahun setelah tanam

Gambar 10. Kondisi beberapa jenis tanaman pada saat awal penanaman dan setelah satu tahun penanaman.

(38)

32 2. Kajian ekonomi dan saluran pemasaran

Dari beberapa jenis yang ditanam di demplot paludikultur di HLG Londerang, bira-bira mempunyai potensi ekonomi yang cukup tinggi dan dapat dikembangkan di lahan gambut, oleh karena itu perlu dilakukan kajian ekonomi dan saluran pemasaran untuk jenis tersebut sebagai gambaran untuk peluang bisnisnya. Disamping jenis bira-bira terdapat jenis tanaman pertanian yang ditanam di lahan gambut di sekitar HLG Londerang yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti pinang dan kopi liberika.

a. Tanaman Bira-bira (Fagraea crenulata Maingay ex C.B.Clarke) a.1. Kajian ekonomi dan manfaat

Fagraea crenulata Maingay ex C.B.Clarke yang dikenal dengan nama bira-bira

merupakan jenis cepat tumbuh dan sering ditemukan di daerah rawa dan dekat dengan pantai. Jenis ini juga dapat tumbuh pada daerah terbuka dan di hutan sekunder. Jenis ini dapat di temukan di wilayah Asia Tenggara mulai dari Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaysia sampai ke Indonesia. Di Indonesia jenis ini dapat ditemukan di Sumatera dan Kalimantan. Jenis ini memiliki famili Gentianaceae dan merupakan jenis yang berhabitus pohon berukuran sedang, dengan ketinggian pohon mencapai 23 m dan diameter dapat mencapai 50 cm. Batang berbentuk silindris lurus, biasanya berduri lebat pada waktu muda dan memiliki tinggi bebas cabang yang tinggi pada saat tua. Jenis ini biasanya di panen di alam secara liar untuk dimanfaatkan kayunya (Fern, 2014).

Bira-bira termasuk kayu endemic Tanjung Jabung Timur, banyak dijumpai tumbuh liar di pinggir-pinggir Sungai Batanghari, sebaran alaminya banyak ditemukan di daerah Muara Sabak Hulu dan Muara Sabak Ilir yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sabak Timur. Bira-bira tahan terhadap genangan dan asam, namun belum banyak dibudidayakan dan dapat dijadikan kayu alternatif yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Menurut penelitian Puslitbang Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan (2014) tentang Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Sumatera, bahwa bira-bira termasuk kayu keras, termasuk Kelas Kuat III dan Kelas Awet II. Kayu bira-bira memiliki warna yang

(39)

33 cerah menyerupai ramin, mudah dikerjakan, permukaan kayu halus dan mudah difinishing. Profil pohon Bira-bira disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Pohon Bira-Bira umur 25 tahun

Kayu Bira-bira memiliki serat kayu yang halus dan berwarna putih dan kuning yang bersih, namun tetap kuat, tahan air dan tahan rayap. Beberapa kelebihan kayu bira-bira tersebut menjadi alasan mengapa masyarakat di Sabak Timur menggunakannya sebagai kayu pertukangan yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan seperti : kayu reng untuk atap bangunan rumah seperti kusen, pintu, jendela, serta dimanfaatkan juga untuk pembuatan furniture seperti : kursi, meja dan lemari. Kegunaan kayu Bira-bira disajikan pada Gambar 12.

(40)

34

(a) (b)

Gambar 12 (a) dan (b). Produk dari Kayu Bira-bira

Analisis ekonomi kayu Bira-bira dilakukan melalui pendekatan analisis pendapatan dari kegiatan pengelolaan kayu bira-bira di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Analisis pendapatan digunakan untuk menggambarkan factor keuntungan usaha (margin). Pendapatan dapat didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan total dengan biaya total, atau dapat dirumuskan sebagai berikut: Π = TR – TC dimana: Π = Keuntungan (benefit) TR = Penerimaan total (total revenue) TC = Biaya total (total

(41)

35 Tabel 2. Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Petani Bira-bira

Waktu Pengelolaan Biaya Pengelolaan (Rp/Ha) Penerimaan (Rp/Ha) Keuntungan (Rp/Ha) Tahun I 11.875.000 0 0 Tahun II 3.700.000 0 0 Tahun III 3.700.000 0 0 Tahun IV 2.700.000 0 0 Tahun V 2.700.000 0 0 Tahun VI 2.700.000 0 0 Tahun VII 2.700.000 0 0 Tahun VIII 2.700.000 0 0 Tahun IX 2.700.000 0 0 Tahun X 1.700.000 0 0 Tahun XI 1.700.000 0 0 Tahun XII 1.700.000 0 0 Tahun XIII 1.700.000 0 0 Tahun XIV 1.700.000 0 0 Tahun XV 0 312.500.000 267.525.000 TOTAL 44.975.000 312.500.000 267.525.000

Pohon bira-bira dapat dipanen pada rentang usia 10 s.d 15 tahun. Kekuarangan kayu bira-bira yang dipanen pada usia 10 tahun adalah masih terdapat pulur (hati) pada kayu, hal ini kurang disukai oleh pengrajin atau bangsal kayu sehingga umumnya petani memanen pohon bira-bira pada usia 15 tahun. Pohon bira-bira umur 15 tahun umumnya memiliki diameter > 25 cm dan tinggi sekitar 8 meter, umumnya papan kayu yang diperoleh adalah sekitar 0,5 meter kubik per pohon. Petani ada yang langsung menjual pohon bira-bira dengan harga Rp. 1.000.000 per pohon. Jika di dalam luasan satu hektar terdapat 625 batang pohon bira-bira (jarak tanam 4 x 4 m), maka penerimaan petani dari kegiatan pengelolaan kebun bira-bira adalah sebesar Rp. 312.500.000,- per hektar.

Komponen biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan pohon Bira-bira terdiri dari biaya pembelian bibit tanaman, biaya terbas, biaya pembelian herbisida (gramason) dan biaya upah pekerja harian. Kegiatan pemeliharaan intensif dilakukan pada tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-3 saja, Tajuk pohon bira-bira yang lebar

(42)

36 membuat daerah dibawah tegakan tertutupi tajuk, sehingga tidak banyak gulma yang tumbuh dan biaya pemeliharaan tumbuhan bawah pembersihan lahan akan berkurang pada saat tanaman menginjak usia tahun ke 4 dan tahun ke-10.

Total biaya yang dikeluarkan oleh petani di dalam pengelolaan pohon bira-bira adalah sebesar Rp. 44. 975.000,- per hektar, dan keuntungan yang diperoleh petani dalam mengelola pohon Bira-bira adalah sebesar Rp. 267.525.000,- per hektar. Jika dikonversi ke dalam tegakan, maka keuntungan menanam bira-bira adalah sebesar Rp. 428.040 per pohon atau jika diasumsikan 1 pohon menghasilkan 0,5 m3 kayu maka margin (keuntungan) pemasaran kayu bira-bira di tingkatan petani adalah sebesar Rp. 856.080/m3.

a.2. Lembaga-lembaga Pemasaran Bira-Bira

Pelaku-pelaku usaha yang menyelenggarakan kegiatan pemasaran dari mulai produsen sampai ke konsumen disebut dengan istilah lembaga-lembaga pemasaran atau dikenal juga dengan sebutan lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga dapat berasal dari golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa. Kayu Bira-bira memang sudah memiliki pasar di tingkatan local yaitu di wilayah Kecamatan Sabak Timur. Lembaga- Lembaga pemasaran yang terdapat pada saluran pemasaran kayu terdapat di Desa Muara Sabak Hulu dan Muara Sabak Ilir. Berdasarkan hasil penelitian dapat diidentifikasi lembaga-lembaga pemasaran kayu bira-bira sebagai berikut :

1) Petani pemilik pohon bira-bira. 2) Pedagang pembuat perabot 3) Konsumen akhir

a.3. Saluran Pemasaran Bira-Bira

Terdapat 3 saluran pemasaran untuk kayu Bira-bira di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yaitu: (1) Petani → rumah tangga lokal atau konsumen akhir; (2) Petani → Pedagang pembuat perabotan; (3) Petani → pedagang pembuat perabotan → konsumen akhir.

(43)

37 Saluran Pemasaran 1,

Petani menjual produk kayu Bira-bira dalam bentuk pohon berdiri (standing

stock) yang dimilikinya kepada konsumen akhir yang pada umumnya adalah

masyarakat atau rumah tangga yang berdomisili dekat dengan petani tersebut atau pun kebun lokasi pohon tersebut. Masyarakat yang membeli kayu Bira-bira langsung kepada pemilik pohon umumnya dikarenakan sedang membutuhkan kayu untuk pembangunan rumah. Harga pohon Bira-bira yang dijual petani berkisar dari Rp.700.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- per batang tergantung dari besaran diameter pohonnya.

Saluran Pemasaran 2,

Petani menjual produk kayu Bira-bira dalam bentuk pohon kepada pengrajin pembuat perabotan atau dikenal dengan sebutan bangsal kayu. Pengrajin di bangsal kayu membeli pohon bira-bira dengan diameter minimal 25 cm dengan harga Rp.1.000.000,- per pohon . Pengrajin menyimpan papan kayu bira-bira sebagai stock untuk digunakan sebagai bahan pembuatan furniture atau perabot. Jumlah stock papan kayu Bira-bira pada bangsal kayu di Muara Sabak hulu adalah sebanyak 2 meter kubik. Saluran Pemasaran 3,

Petani menjual produk kayu Bira-bira dalam bentuk papan kayu ukuran 2 meter kepada pengrajin pembuat perabotan atau bangsal kayu. Pengrajin di bangsal kayu membeli papan bira-bira seharga Rp. 3.000.000,- per meter kubik. Petani yang menjual dalam bentuk papan umumnya menggunakan jasa penggesek kayu (penebang kayu), dengan upah sebanyak Rp. 500.000,- per meter kubik papan kayu yang dihasilkan. Biaya penebangan dan pembuatan papan dibebankan kepada petani pemilik pohon bira-bira.

Pengrajin di bangsal kayu membuat bahan bangunan seperti : kusen, jendela dan pintu serta furniture pesanan masyarakat seperti meja, kayu dan lemari dari kayu Bira-bira. Masyarakat membeli bahan bangunan serta furniture dari pengrajin kayu. Harga jual pintu kayu bira-bira adalah sebesar Rp. 800.000,- per unit sedangkan harga lemari dari kayu bira-bira berkisar Rp. 1.000.000 s.d Rp. 3.0000.000,- per unit. Bagan saaluran pemasaran kayu bira-bira disajikan pada Gambar 13.

(44)

38 Gambar 13. Saluran Pemasaran Kayu Bira-Bira di Tanjung Jabung Timur b. Saluran Pemasaran komoditas Pinang

b.1. Komoditas Pinang (Areca catechu)

Pohon Pinang (Areca catechu L merupakan tanaman dari famili Arecaceae yang

memiliki batang tegak lurus dengan tinggi pohon dapat mencapai 15-20 m dan diameter batang mencapai 15 cm. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan pohon pinang dapat berbuah pada saat umur tanaman mencapai 5-8 tahun. Tanaman ini berbunga pada awal dan akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Panen buah pinang umumnya dapat dilakukan setiap 15 hari sekali.

Tanaman pinang merupakan salah satu komoditas andalan dari Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Desa Sungai Beras merupakan kawasan lahan gambut dalam, tanaman pinang sangat

Petani Pohon Bira-Bira

Tukang gesek kayu

Bengkel Perabot

(45)

39 adaptif dan cocok ditanam pada lahan gambut dalam. Masyarakat di Desa Sungai beras`menanam pinang sebagai monokultur dan maupun tumpang sari dengan tanaman lainnya (kelapa, sawit dan kopi). Tanaman pinang merupakan komoditas dari Desa Sungai Beras yang memiliki prospek yang baik, bahkan melebihi komoditas sawit. Saat ini harga pinang kering di petani adalah berkisar Rp. 13.000 s/d Rp. 15.000,- per kilogram. Proses pengeringan pinang disajikan pada Gambar 14.

Gambar 4. Proses penjemuran buah pinang b.2. Lembaga Pemasaran

Hampir sebagian besar masyarakat di Desa Sungai Beras menanam Pinang. Hasil wawancara dengan ketua Pengelola Hutan Desa Sungai Beras diketahui bahwa 90 persen petani di Sungai Beras adalah produsen Pinang. Buah Pinang sudah memiliki pasar yang bagus di Sungai Beras. Berdasarkan hasil penelitian dapat diidentifikasi lembaga-lembaga pemasaran Pinang sebagai berikut :

1) Petani pemilik pohon pinang

(46)

40 3) Pedagang pengumpul sedang di Desa Sungai Beras

4) Pedagang pengumpul sedang di luar Desa Sungai Beras (Mendahara Tengah dan Sinar Wajo)

5) Pedagang pengumpul besar (agen) di Tungkal, Tanjung Jabung Barat

b.3. Saluran Pemasaran

Terdapat 3 saluran pemasaran untuk komoditas Pinang di Desa Sungai Beras yaitu: (1) Petani → pengumpul kecil di Desa→pengumpul sedang di Desa→Agen di Tungkal→Ekspor ; (2) Petani → pengumpul kecil di Desa→pengumpul sedang di luar Desa→ Agen di Tungkal→Ekspor; (3) Petani → pengumpul sedang di Desa→ Agen di Tungkal→Ekspor

Saluran Pemasaran 1, Petani di Desa Sungai Beras menjual produk berupa biji buah pinang baik dalam kondisi pinang basah maupun pinang kering kepada pedagang pengumpul kecil yang berada di Desa Sungai Beras. Pedagang pengumpul kecil akan menampung pinang-pinang dari petani dan kemudian menjual kembali kepada pedagang pengumpul besar yang ada di Desa Sungai Beras. Pedagang pengumpul sedang umumnya menyimpan pinang-pinang dari para pengumpul kecil di dalam gudang pinang milik mereka. Pedagang pengumpul sedang umumnya sudah memiliki kontrak dengan pedagang pengumpul besar (agen) yang berada di Tungkal (Kabupaten Tanjung Jabung Barat) dengan target pengiriman pinang adalah sebanyak 15-20 ton per bulan. Agen Besar kemudian membawa ke luar negeri (ekspor).

Saluran Pemasaran 2,

Petani di Desa Sungai Beras menjual produk berupa biji buah pinang baik dalam kondisi basah maupun kering kepada pedagang pengumpul kecil yang berada di Desa Sungai Beras. Pedagang pengumpul kecil akan menampung pinang-pinang dari petani dan kemudian menjual kembali kepada pedagang pengumpul sedang yang berada diluar Desa Sungai Beras seperti di Desa Mendahara tengah dan Sinar wajo. Pedagang pengumpul kecil menjual pinang ke pedangan pengumpul sedang di luar desa adalah karena alas an selisih harga. Pedagang pengumpul sedang

(47)

41 kemudian membawa biji pinang kering dan menjualnya kepada agen yang berada di Tungkal (Kabupaten Tanjung Jabung Barat). Agen Besar kemudian membawa ke luar negeri (ekspor).

Saluran Pemasaran 3,

Petani di Desa Sungai Beras menjual produk berupa biji buah pinang dalam kondisi kering langsung kepada pedagang pengumpul sedang yang berada di Desa Sungai Beras. Umumnya petani yang menjual ke pedagang pengumpul sedang yang berada di desa karena memiliki jumlah panenan biji pinang dalam kondisi kering yang cukup banyak seperti sebanyak 100 kilo. Pedagang pengumpul sedang kemudian membawa biji pinang kering kepada agen yang berada di Tungkal (Kabupaten Tanjung Jabung Barat). Agen Besar kemudian membawa ke luar negeri (ekspor). Saluran pemasaran pinang di Desa Sungai Beras disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Saluran Pemasaran Pinang di Desa Sungai Beras

Pengumpul besar (agen) di Tungkal Petani

Pengumpul sedang di Desa Sungai Beras

Pengumpul kecil di Desa Sungai Beras

Pengumpul sedang di Luar Desa Sungai Beras

(48)

42 c. Saluran Pemasaran komoditas Kopi gambut

Kopi gambut atau dikenal dengan nama liberika tungkal komposit atau biasa disingkat Libtukom merupakan salah satu varietas kopi yang cocok dengan kondisi lahan gambut. Tanaman kopi ini membutuhkan naungan untuk dapat berkembang dengan baik. Petani dapat membudidayakan jenis kopi ini dengan system tumpang sari dengan pohon pinang atau pohon kelapa. Salah satu ciri khas kopi gambut adalah ukuran buahnya yang relative lebih besar bila dibandingkan dengan varietas kopi lainnya. Kenampakan buah kopi libtukom disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Buah Tanaman kopi Libtukom

Di Desa Sungai Beras`terdapat kelompok tani bernama kelompok kopi organic gambut lestari yang membudidayakan varietas kopi gambut libtukom. Kelompok tani tersebut saat ini telah memiliki 20 orang anggota tani dengan menanam kopi baik secara monokultur dan tumpang sari dengan tanaman pinang. Adapun jumlah tanaman kopi jika dilakukan secara monokultur adalah sebanyak 1600 batang per hektar sedangkan yang ditumpangsarikan adalah sebanyak 800 batang per hektar.

(49)

43 c.1. Lembaga Pemasaran

Berdasarkan hasil penelitian dapat diidentifikasi lembaga-lembaga pemasaran untuk komoditas kopi gambut di Sungai Beras sebagai berikut :

1. Petani pemilik pohon kopi

2. Pedagang pengumpul kecil di Desa Sungai Beras 3. Penggiling kopi

4. Pedagang pengumpul sedang di Serdang

5. Pedagang pengumpul besar (agen) di Tungkal, Tanjung Jabung Barat 6. Konsumen

c.2. Saluran Pemasaran

Terdapat 3 saluran pemasaran untuk komoditas kopi di Desa Sungai Beras yaitu: (1) Petani → konsumen (kafe); (2) Petani → pedagang pengumpul di desa → konsumen (kafe); (3) Petani → pedagang pengumpul di Serdang→ Agen di Tungkal→Ekspor

Saluran Pemasaran 1,

Petani di Desa Sungai Beras menjual langsung biji kopinya sesuai dengan permintaan konsumen yaitu pemilik kafe. Umumnya untuk saluran pemasaran ini petani telah memiliki keterampilan mengolah biji kopi sesuai dengan keinginan konsumen. Umumnya proses pengolahannya dilakukan sedemikian rupa untuk menghasilkan pengolahan kopi yang menghasilkan mutu dan citarasa kopi specialty dengan harga jual kopi mencapai Rp. 80.000,- per kilogram.

Saluran Pemasaran 2,

Petani di Desa Sungai Beras menjual biji kopinya kepada pedagang pengumpul yang kemudian menjual kopi kepada pemilik kafe. Umumnya untuk saluran pemasaran ini petani dan pedagang pengumpul telah memiliki pengetahuan mengolah biji kopi sesuai dengan keinginan konsumen di kafe. Pemilihan buah-buah kopi yang berkualitas menjadi dan proses pengolahan kopi menjadi kunci di dalam saluran pemasaran 1 dan 2.

(50)

44 Saluran Pemasaran 3,

Petani di Desa Sungai Beras menjual produk biji kepada pedagang pengumpul di daerah Serdang Pedagang pengumpul kemudian membawa kopi kepada agen yang berada di Tungkal (Kabupaten Tanjung Jabung Barat). Agen Besar kemudian membawa ke luar negeri (ekspor). Untuk saluran pemasaran 3 tidak dilakukan pemilihan biji kopi secara selektif, dan pengolahan kopi dilakukan secara biasa saja. Untuk saluran pemasaran 3 ini tidak dihasilkan kopi dengan citarasa yang maksimal dengan harga kopi Rp. 25.000,- per kilogram. Bagan saluran pemasaran kopi gambut di desa Sungai Beras disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17. Saluran Pemasaran Kopi Gambut di Desa Sungai Beras

Pengumpul besar (agen) di Tungkal Petani

Pengumpul kecil di Desa Sungai Beras

Konsumen (Kafe) Pengumpul sedang di Serdang

(51)

45 B. Kegiatan di HLG Sungai Bram Itam

1. Revegetasi

Dalam rangka pemulihan fungsi ekosistem lahan gambut di HLG Sungai Bram Itam, telah dilakukan 2 (dua) kegiatan dari 3 (tiga) kegiatan dalam restorasi yakni revegetasi dan revitalisasi. Kegiatan revegetasi dilakukan dengan memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat yang sudah lama bergantung terhadap lahan yang ada di kawasan HLG Sungai Bram Itam. Sehingga aspek revitalisasi kehidupan masyarakat menjadi faktor lain yang dipertimbangkan dalam kegiatan revegetasi tersebut.

Kawasan HLG Sungai Bram Itam merupakan areal dengan status konservasi, namun ada ± 5.000 ha wilayah HLG Sungai Bram Itam telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Hal ini dikarenakan masyarakat sekitar HLG Sungai Bram Itam yang mayoritas merupakan pendatang dan memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Terkait dengan ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap lahan gambut di kawasan HLG Sungai Bram Itam tersebut, maka dalam kegiatan revegetasi perlu diarahkan untuk merevitalisasi kehidupan masyarakat.

Masyarakat telah memanfaatkan lahan di kawasan HLG Sungai Bram Itam untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Mayoritas masyarakat menanam kelapa sawit dan pinang di kawasan HLG Sungai Bram Itam tersebut. Pola penanaman yang dilakukan oleh masyarakat berupa sawit monokultur, pinang monokultur, sawit dicampur dengan pinang dan kopi dicampur dengan pinang.

Untuk mengakomodir fungsi ekologi, sosial dan ekonomi dari kawasan HLG Sungai Bram Itam, kegiatan pembuatan demplot paludikultur dan agroforestri ini dibangun dengan mengkombinasikan jenis tanaman asli gambut dengan komoditi tanaman pertanian/perkebunan berupa tanaman pinang. Pada demplot ini dibangun dengan menanam kombinasi antara tanaman asli gambut dengan tanaman pinang yang ditanam sistem jalur yang selang-seling antara tanaman kehutanan dengan tanaman pinang.

Pemilihan tanaman asli gambut diharapkan dapat berperan dalam pemulihan fungsi ekosistem, sedangkan pemilihan jenis pinang diharapkan dapat mengakomodir fungsi ekonomi untuk merevitalisasi kehidupan masyarakat sekitar hutan. Dipilih jenis

(52)

46 pinang dikarenakan jenis pinang hanya menghasilkan buahnya sehingga cocok untuk dikembangkan di kawasan lindung.

Tanaman pinang telah lama dibudidayakan di lahan gambut oleh masyarakat dan terbukti mampu memberikan dampak yang baik secara ekonomi dan sosial. Terdapat jenis asli gambut yang menghasilkan HHBK berupa getah yakni jenis jelutung. Namun saat ini getah jelutung belum ada lagi nilai ekonominya karena belum ada pasar yang menampung getah jelutung.

Dari hasil pengukuran pertumbuhan tanaman pada demplot yang dibangun diperoleh rata-rata diameter, tinggi dan persen hidup (survival) tanaman menunjukan bahwa semua jenis tanaman kehutanan yaitu jelutung rawa (Dyeara lowii), balangeran (Shorea balangeran), kelat (Sizigium campanulatum), jambu-jambu (Sizigium

accuminata), laban (Vitex pinnata), kayu teluk (Illex cymosa), medang putih (Litsea caiseapolia), dan medang mangga (Litsea robusta) mampu tumbuh baik di lahan

gambut tersebut. Persen hidup kedelapan jenis tanaman kehutanan tersebut pada umur 1 tahun berkisar antara 55,6 – 82,7% (Gambar 18). Persen hidup yang tertinggi jenis kayu telak (Illex cymosa) dan terendah jenis medang putih (Litsea caiseapolia).

Gambar 18. Rata-rata survival tanaman pada umur 1 tahun di HLG Sungai Bram Itam

Dari 8 jenis asli gambut tanaman kehutanan diperoleh rata-rata diameter antara 1,55 – 3,11 cm dengan diameter yang terbesar adalah jenis laban (Vitex pinnata) dan

(53)

47 terkecil ialah medang putih (Litsea caiseapolia) (Gaambar 2). Rata-rata tinggi tanaman berkisar antara 2,45 – 1,03 m dengan tinggi tanaman yang tertinggi adalah balangeran (Shorea balangeran) dan terrendah ialah jelutung rawa (Dyera lowii) (Gambar 19 dan 20). Kondisi pertumbuhan tanaman disajikan pada Gambar 21.

Gambar 19. Rata-rata diameter tanaman pada umur 1 tahun di HLG Sungai Bram Itam

(54)

48 Medang putih Jambu-jambu Illex cymosa

Medang mangga Kelat Laban

Shorea balangeran Jelutung rawa Pinang

(55)

49 Untuk tanaman pinang diperoleh rata-rata survival 63,3% dengan standar deviasi 3,3%. Rata-rata persen hidup tanaman kopi liberika adalah 32,0% dengan standar deviasi 15,5%. Kopi liberika tidak mampu tumbuh baik jika ditanam pada lahan gambut yang tergenang dan tidak cocok untuk dikembangkan pada gambut dengan kedalaman lebih dari 75 cm.

2. Analisis kelayakan finansial pola pemulihan fungsi ekosistem di HLG Sungai Bram Itam

Memperhatikan permasalahan di atas, maka dilakukan beberapa analisis kelayakan finansial untuk membandingkan pola pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat dengan pola penanaman dalam demplot yang dilakukan Puslitbang Hutan. Ada beberapa pola yang dilakukan analisis finansial:

a. Pola tanam sawit monokultur (Pola tanam 1)

b. Pola campuran antara tanaman asli gambut (25%) dengan pinang (75%) (Pola tanam 2)

c. Pola campuran antara tanaman asli gambut (50%) dengan pinang (50%) (Pola tanam 3)

d. Pola campuran antara tanaman asli gambut (75%) dengan pinang (25%) (Pola tanam 4)

a. Pola tanam sawit monokultur (Pola tanam 1)

Pola tanam 1 ini merupakan komposisi tanaman yang dilakukan masyarakat yang merambah di HLG Sungai Bram Itam. Jarak tanam tanaman sawit 8 x 9 m atau 9 x 9 m (jumlah perhektar berkisar 125 sd 150 batang) (Pola tanam 1)

b. Pola tanam dengan beberapa kombinasi tanaman kehutanan dan tanaman pinang

Tanaman asli gambut di sini berupa jeltung rawa, balangeran, medang putih, medang mangga, jambu-jambu, kelat, laban, dan kayu teluk (Illex cymosa). Pola tanam dilakukan dengan sistem jalur yang diselang-seling antara tanaman kehutanan dengan

(56)

50 tanaman pinang. Jarak tanamnya adalah 3 x 3 m. Total tanaman dalam 1 hektar sebanyak 1.100 batang. Komposisi pola tanam disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Skenario pola tanam yang diterapkan di HLG Sungai Bram Itam

Pola tanam

Komposisi (per Haktar) Tanaman kehutanan asli

gambut (Batang) Pinang (Batang)

Pola tanam 2 275 825

Pola tanam 3 550 550

Pola tanam 4 825 275

c. Komposisi biaya

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, maka diperoleh data dan infomrasi berupa biaya yang dikeluarkan pada pola pemanfaatan lahan saat ini. Lahan gambut yang sudah dirambah telah membuat parit utama dan parit cacing. Jika parit utama ini disekat, maka akan menimbulkan masalah dengan masyarakat karena parit utama digunakan juga untuk sarana transportasi. Untuk menyelesaikan permasalahan lahan gambut yang telah terlanjur dirambah tersebut, maka perlu dicari solusinya yaitu menerapkan skenario pola tanam campuran seperti pada Tabel 3. Untuk besarnya biaya yang diperlukan disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4. Biaya yang dikeluarkan untuk budidaya sawit di HLG Sungai Bram Itam

No Komponen kegiatan dan barang lainnya Jumlah (Rp) 1. Penebangan kayu dan tebas 3.500.000/ha 2. Pembuatan parit utama 1.275.000/ha 3. Pembuatan parit cacing 3.750.000/ha 4. Penebangan kayu dan tebas 3.500.000/ha 5. Pembelian bibit sawit 25.000/batang 6. Penanaman sawit (melorong, memancang, menanam) 3.750.000/ha 7. Tebas gulma (3 kali setahun) 4.500.000/ha/tahun

8. Dolomit 250.000/ha

9. Herbisida 1.080.000/ha

10. Ongkos semprot herbisida 1.000.000/ha

11. Ongkos unduh sawit 200/kg

(57)

51 Tabel 5. Biaya yang diperlukan dalam revegetasi lahan gambut di HLG Sungai Bram

Itam

No Komponen kegiatan dan barang lainnya Jumlah (Rp) 1. Penebangan kayu dan tebas 3.500.000/ha 2. Pembuatan parit utama 1.275.000/ha 3. Pembuatan parit cacing 3.750.000/ha 4. Pembelian bibit pinang 5.500/batang 5. Pembelian bibit tanaman kehutanan 5.500/batang 6. Penanaman tanaman kehutanan dan pinang (lubang

tanam, langsir bibit, mengajir, menanam)

6.000.000/ha

7. Urea 600.000/ha

8. Dolomit 750.000/ha

9. Herbisida 1.050.000/ha

10. Penyemprotan 1.000.000/ha

10. Pupuk untuk buah 1.200.000/ha 11. Pemeliharaan 3 kali setahun sampai tahun ke-3 4.500.000/ha/tahu

n 12. Pemeliharaan 2 kali setahun mulai tahun ke-4 3.000.000/ha/tahu

n 13. Biaya panen pinang per kg buah pinang basah 200/kg 14. Biaya angkut pinang basah per kg buah pinang basah 200/kg 15. Biaya belah, cungkil, jemur menjadi biji pinang kering 2000/kg d. Pendapatan

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, maka diperoleh data dan infomrasi berupa pendapatan yang diperoleh pada pola pemanfaatan lahan jika ditanami sawit secara monokultur saat ini seperti disajikan pada Tabel 6, sedangkan perkiraan produksi dan pendatan dari buah pinang disajikan pada Tabel 7.

Tabel 6. Produktivitas sawit di lahan gambut di HLG Sungai Bram Itam

Produksi buah tandan sawit segar Produktivitas (ton/ha/tahun)

Tahun ke-3 6 Tahun ke-4 12 Tahun ke-5 18 Tahun ke-6 24 Tahun ke-7 24 Tahun ke-8 24 Tahun ke-9 24

(58)

52 Tahun ke-10 24 Tahun ke-11 24 Tahun ke-12 24 Tahun ke-13 18 Tahun ke-14 12 Tahun ke-15 6

Tabel 7. Perkiraan pendapatan dari tanaman pinang

Pinang Produktivitas biji pinang kering (kg/ pohon/20 hari) Tahun ke-4 0,3 kg Tahun ke-5 0,6 kg Tahun ke-6 0,9 kg Tahun ke-7 0,9 kg Tahun ke-8 0,9 kg Tahun ke-9 0,9 kg Tahun ke-10 0,9 kg Tahun ke-11 0,9 kg Tahun ke-12 0,9 kg Tahun ke-13 0,9 kg Tahun ke-14 0,9 kg Tahun ke-15 0,9 kg

Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis finansial:

(1) Suku bunga sebagai discount rate (tingkat diskon) sebesar 9% (sesuai dengan suku bunga kredit usaha rakyat di Propinsi Jambi)

(2) Umur produktif tanaman sawit mencapai 15 tahun (3) Umur produktif tanaman pinang mencapai 15 tahun (4) Harga sawit ditingkat petani sebesar Rp. 600/kg

(5) Harga biji pinang kering di tingkat petani sebesar Rp. 11.000/kg (6) Tanaman pinang mulai dipanen pada umur 4 tahun

(7) Tanaman sawit mulai panen umur 3 tahun (8) Masa panen pinang 20 hari sekali

(9) Masa panen sawit 15 hari sekali

(10) Produktivitas tanaman pinang perpohon 0,9 kg pinang kering (pinang beras)/panen

Gambar

Gambar 1.  Permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut.
Gambar 4. Tahapan dan alur kegiatan kajian paludikultur dan agroforestry Kajian paludikultur dan
Gambar  5.    Kondisi  tutupan  vegetasi  di  HLG  Londerang  sebelum  dilakukan  pembangunan demplot paludikultur
Gambar 6.  Proses kegiatan penyiapan lahan, penyemprotan, dan pengajiran.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bangunan pembawa mempunyai fungsi membawa/mengalirkan air dari sumbernya menuju petak irigasi. Bangunan pembawa meliputi saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier

Penyebaran Islam seterusnya telah dikembangkan oleh para ulama sehinggalah Islam menjadi salah satu agama yang dianuti oleh sebahagian besar masyarakat Asia Tenggara.... 1249/3

Penelitian ini memberikan gambaran mengenai pelaksanaan tax amnesty di beberapa negara yang relatif lebih berhasil dalam melaksanakan kebijakan pengampunan pajak seperti di

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan stres negatif pada mahasiswa yang sedang menulis skripsi adalah suatu tuntutan/ keadaan yang dialami mahasiswa yang membuat mereka menjadi

z Pada masa kini, terdapat pelbagai aplikasi robot di dalam industri pembuatan /Manufactur.. di dalam industri

a) Berat minimum contoh kerja disesuaikan dengan ukuran sebagaimana tercantum pada Tabel 5. b) Contoh kerja diambil dari contoh kiriman yang telah diaduk merata. c) Contoh

Aplikasi agen bisa dikembangkan dengan kerangka pemrograman berorientasi aspek, namun memerlukan usaha yang lebih dibandingkan menggunakan kerangka pemrograman agen bergerak yang

Pada tahap ini guru memberikan apersepsi dan memotivasi siswa dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa yang berkaitan dengan materi dan hal-hal uang diketahui siswa,